BAB II 2.1.1 Pertumbuhan yang cepat baik tinggi maupun ... 2.pdf · berhubungan dengan besarnya...

26
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Status Gizi 2.1.1 Prinsip Gizi Pada Remaja Perempuan Pertumbuhan yang cepat (growth spurt) baik tinggi maupun berat badan merupakan salah satu tanda periode adolensia. Kebutuhan zat gizi sangat berhubungan dengan besarnya tubuh hingga kebutuhan yang tinggi terdapat pada periode pertumbuhan yang cepat. Growth spurt pada anak perempuan sudah dimulai pada umur antara 10-12 tahun sedangkan pada laki-laki pada umur 12-14 tahun. Permulaan growth spurt pada setiap anak tidak selalu pada umur yang sama, terdapat perbedaan antara individual. Pengingkatan aktivitas fisik yang mengiringi pertumbuhan yang cepat ini sehigga kebutuhan zat gizi akan bertambah. Nafsu makan anak laki-laki sangat bertambah sehingga tidak akan menemukan kesukaran untuk memenuhi kebutuhannya. Anak perempuan biasanya lebih mementingkan penampilan, mereka enggan menjadi gemuk sehingga membatasi diri dengan memilih makanan yang tidak mengandung banyak energi dan tidak mau makan pagi. Mereka harus diyakinkan bahwa masukan zat gizi yang kurang dari yang dibutuhkan akan berakibat buruk baik bagi pertumbuhan maupun kesehatannya (Ambarwati, 2012). Usia reproduksi, tingkat aktivitas, dan status nutrisi mempengaruhi kebutuhan energi dan nutrisi pada remaja, sehingga dibutuhkan nutrisi yang sedikit lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya tersebut. Remaja

Transcript of BAB II 2.1.1 Pertumbuhan yang cepat baik tinggi maupun ... 2.pdf · berhubungan dengan besarnya...

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi

2.1.1 Prinsip Gizi Pada Remaja Perempuan

Pertumbuhan yang cepat (growth spurt) baik tinggi maupun berat badan

merupakan salah satu tanda periode adolensia. Kebutuhan zat gizi sangat

berhubungan dengan besarnya tubuh hingga kebutuhan yang tinggi terdapat pada

periode pertumbuhan yang cepat. Growth spurt pada anak perempuan sudah

dimulai pada umur antara 10-12 tahun sedangkan pada laki-laki pada umur 12-14

tahun. Permulaan growth spurt pada setiap anak tidak selalu pada umur yang

sama, terdapat perbedaan antara individual. Pengingkatan aktivitas fisik yang

mengiringi pertumbuhan yang cepat ini sehigga kebutuhan zat gizi akan

bertambah. Nafsu makan anak laki-laki sangat bertambah sehingga tidak akan

menemukan kesukaran untuk memenuhi kebutuhannya. Anak perempuan

biasanya lebih mementingkan penampilan, mereka enggan menjadi gemuk

sehingga membatasi diri dengan memilih makanan yang tidak mengandung

banyak energi dan tidak mau makan pagi. Mereka harus diyakinkan bahwa

masukan zat gizi yang kurang dari yang dibutuhkan akan berakibat buruk baik

bagi pertumbuhan maupun kesehatannya (Ambarwati, 2012).

Usia reproduksi, tingkat aktivitas, dan status nutrisi mempengaruhi

kebutuhan energi dan nutrisi pada remaja, sehingga dibutuhkan nutrisi yang

sedikit lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya tersebut. Remaja

9

rentan mengalami defisiensi zat besi, karena kebutuhan remaja yang meningkat

seiring pertumbuhannya, namun seorang remaja sering terlalu memperhatikan

penambahan berat badannya. Remaja dengan berat badan kuarang dan anemia

beresiko melahirkan bayi BBLR jika dibandingkan dengan wanita usia reproduksi

yang aman untuk hamil (Ambarwati, 2012). Gizi atau makanan tidak saja

diperlukan bagi pertumbuhan, perkembangan fisik dan mental serta kesehatan,

tetapi diperlukan juga untuk fertilitas atau kesuburan seseorang agar mendapatkan

keturunan yang selalu didambakan dalam kehidupan berkeluarga.

2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi

2.1.2.1 Jenis Kelamin

Obesitas lebih umum dijumpai pada wanita terutama pada saat remaja, hal

ini disebabkan faktor endokrin dan perubahan hormonal (Arisman, 2004).

2.1.2.2 Umur

Obesitas yang muncul pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai

dengan perkembangan rangka yang cepat. Anak yang obesitas cenderung menjadi

obesitas pada saat remaja dan dewasa serta dapat berlanjut ke masa lansia

(Arisman, 2004). Menurut Dietz, ada empat periode kritis terjadinya obesitas,

yaitu: masa prenatal, masa bayi, masa adiposity rebound dan masa remaja.

Obesitas yang terjadi pada masa remaja, 30% akan melanjut sampai dewasa

menjadi obesitas persisten. Obesitas yang terjadi pada masa remaja ini perlu

mendapatkan perhatian, sebab obesitas yang timbul pada waktu anak dan remaja

bila kemudian berlanjut hingga dewasa akan sulit diatasi secara konvensional (diet

dan olahraga). Selain itu, obesitas pada remaja tidak hanya menjadi masalah

10

kesehatan di kemudian hari, tetapi juga membawa masalah bagi kehidupan sosial

dan emosi yang cukup berarti pada remaja (Virgianto dan Purwaningsih, 2006).

Menurut Spear (Spear, 1996), masa remaja adalah masa terjadinya perubahan

yang dramatik dalam kehidupan setiap manusia. Pertumbuhan yang relatif sama

pada masa kanak-kanak secara tiba-tiba berubah dengan adanya suatu

peningkatan kecepatan pertumbuhan. Lonjakan yang tiba-tiba ini berhubungan

dengan perubahan hormonal, kognitif dan emosional yang menciptakan

kebutuhan-kebutuhan khusus.

2.1.2.3 Tingkat Sosial Ekonomi

Peningkatan pendapatan juga dapat mempengaruhi pemilihan jenis dan

jumlah makanan yang dikonsumsi. Peningkatan kemakmuran di masyarakat yang

diikuti oleh peningkatan pendidikan dapat mengubah gaya hidup dan pola makan

dari pola makan tradisional ke pola makan makanan praktis dan siap saji yang

dapat menimbulkan mutu gizi yang tidak seimbang. Pola makan praktis dan siap

saji terutama terlihat di kota-kota besar di Indonesia, dan jika dikonsumsi secara

tidak rasional akan menyebabkan kelebihan masukan kalori yang akan

menimbulkan obesitas (Virgianto dan Purwaningsih, 2006).

2.1.2.4 Faktor Lingkungan

Remaja belum sepenuhnya matang dan cepat sekali terpengaruh oleh

lingkungan. Kesibukan menyebabkan mereka memilih makan di luar, atau

menyantap kudapan (jajanan). Lebih jauh lagi kebiasaan ini dipengaruhi oleh

keluarga, teman dan terutama iklan di televisi. Teman sebaya berpengaruh besar

pada remaja dalam hal memilih jenis makanan. Ketidakpatuhan terhadap teman

11

dikhawatirkan dapat menyebabkan dirinya terkucil dan akan merusak kepercayaan

dirinya (Arisman, 2004).

2.1.2.5 Faktor Genetik

Genetik memegang peranan penting dalam mempengaruhi berat dan

komposisi tubuh seseorang. Jika kedua orang tua mengalami obesitas,

kemungkinan bahwa anak-anak mereka akan mengalami obesitas sangat tinggi

(75-80%), jika salah satu orangtuanya mengalami obesitas kemungkinan tersebut

hanya 40%, sedangkan jika tidak seorangpun dari orang tuanya mengalami

obesitas, peluangnya relatif kecil (kurang dari 10%) (Hegarty, 1996; Whitney et

al., 1990).

2.1.2.6 Metabolisme Basal

Metabolisme basal adalah metabolisme yang dilakukan oleh organ-organ

tubuh dalam keadaan istirahat total (tidur). Kecepatan metabolisme basal setiap

orang berbeda-beda, seseorang yang memiliki kecepatan metabolisme yang

rendah cenderung lebih gemuk dibanding dengan orang yang kecepatan

metabolismenya tinggi (Purwati, 2005).

2.1.2.7 Enzim Tubuh dan Hormon

Enzim adipose tissue lipoprotein memiliki peranan penting dalam

mempercepat proses peningkatan berat badan. Enzim ini berfungsi untuk

mengontrol kecepatan pemecahan triglisida dalam darah menjadi asam-asam

lemak dan kemudian disalurkan ke sel-sel tubuh untuk disimpan. Ketika

seseorang membutuhkan bahan bakar untuk oksidasi, diperlukan sejumlah energi

dan tubuh akan memilih glikogen atau lemak sebagai sumber energinya. Menurut

12

sejumlah penelitian, penggunaan glikogen akan menurunkan glukosa darah

sehingga menyebabkan orang merasa lapar (Purwati, 2005).

Insulin dapat menyebabkan kegemukan. Seseorang yang mengalami

peningkatan insulin juga akan mengalami peningkatan penimbunanan lemak.

Gangguan produksi hormon juga berhubungan dengan obesitas, misalnya

hipotiroidism dan hipopituitorism. Orang yang seperti ini biasanya telah

mengalami kegemukan sejak kecil. Obesitas yang berlanjut (menetap) sampai

dewasa, terutama bila obesitas dimulai pada masa pra pubertas (Purwati, 2005).

Berdasarkan penelitian longitudinal bahwa 25-50% atau paling banyak 74% anak

obesitas akan mengalami obesitas pada masa dewasa (Subardja, 2005).

2.1.2.8 Status tinggal

Status tinggal merupakan status bersama siapa remaja tinggal, baik

bersama orang tua maupun tidak bersama orang tua (kos atau tinggal bersama

keluarga lainnya). Ibu memegang peranan penting dalam menyediakan makanan

yang bergizi bagi keluarga, sehingga memiliki pengaruh terhadap status gizi anak

(Lazzeri et al., 2006; Rina dan Oktia, 2008).

2.1.2.9 Aktivitas Fisik

Sebagian besar energi yang masuk melalui makanan pada anak remaja dan

orang dewasa seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas

fisik menyebabkan banyak energi yang tersimpan sebagai lemak, sehingga orang-

orang yang kurang melakukan aktivitas cenderung menjadi gemuk. Studi kasus

yang dilakukan di SMU Semarang menunjukkan bahwa semakin tinggi aktivitas

fisik remaja, semakin rendah kejadian obesitas. Hal ini menjelaskan bahwa tingkat

13

aktivitas fisik juga berkontribusi terhadap kejadian obesitas terutama kebiasaan

duduk terus-menerus, menonton televisi, penggunaan komputer dan alat-alat

berteknologi tinggi lainnya (Virgianto dan Purwaningsih, 2006).

2.1.2.10 Pola Makan

Pola makan dengan kalori berlebih dan kurangnya aktivitas fisik

merupakan faktor yang dominan untuk terjadinya obesitas. Orang yang banyak

makan akan memiliki gejala cenderung untuk menderita kegemukan. Kebiasaan

mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang serat merupakan faktor

penunjang timbulnya masalah kegemukan. Berdasarkan hasil penelitian pada

remaja di Yogyakarta dan Bantul terlihat bahwa semakin tinggi asupan energi dan

lemak semakin tinggi kemungkinan terjadinya obesitas. Penelitian ini juga

menunjukkan adanya hubungan kontribusi lemak terhadap total energi dengan

terjadinya obesitas (Medawati et al., 2005).

2.1.3 Standar Status Gizi

Status gizi merupakan hasil dari keseimbangan atau perwujudan dari

nutrisi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2014). Keseimbangan antara

asupan dan kebutuhan zat gizi menentukan seseorang tergolong dalam kriteria

status gizi tertentu, dan merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam

rentang waktu yang cukup lama (Sayogo, 2011). Status gizi baik memungkinkan

perkembangan otak, pertumbuhan fisik, kemampuan kerja dan kesehatan secara

umum pada tingkat yang paling tinggi (Almatsier, 2009).

14

2.1.3.1 Gizi Seimbang (Balanced Nutrition)

Gizi seimbang merupakan susunana makanan sehari-hari yang mengadung

zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan

memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas fisik,

kebersihan, dan berat badan ideal. Prinsip Gizi Seimbang (PGS) divisualisasikan

sesuai dengan budaya dan pola makan setempat. Bentuk tumpeng dengan

nampannya di Indonesia disebut sebagai Tumpeng Gizi Seimbang (TGS) yang

dirancang untuk membantu memilih makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat,

sesuai dengan berbagai kebutuhan menurut usia (bayi, balita, remaja, dewasa dan

usia lanjut) dan sesuai keadaan kesehatan (hamil, menyusui, aktivitas fisik, sakit)

(Irianto, 2014).

Remaja merupakan kelompok umur yang rentan terhadap masalah gizi

karena beberapa alasan, diantaranya: pertama, percepatan pertumbuhan dan

perkembangan tubuh (growth spurt) memerlukan energi lebih banyak. Kedua,

perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan menuntut penyesuaian masukan

energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olah raga, kecanduan

alkohol dan obat-obatan meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi (Arisman,

2004).

2.1.3.2 Gizi Kurang (Undernutrition)

Menurut Guthrie (1995), gizi kurang disebabkan oleh ketidakseimbangan

antara asupan energi (energy intake) dengan kebutuhan gizi. Dalam hal ini terjadi

ketidakseimbangan negatif, yaitu asupan lebih sedikit dari kebutuhan. Secara

umum, kekurangan gizi menyebabkan beberapa gangguan dalam proses

15

pertumbuhan, mengurangi produktivitas kerja dan kemampuan berkonsentrasi,

struktur dan fungsi otak, pertahanan tubuh, serta perilaku (Almatsier, 2009).

2.1.3.3 Gizi Lebih (Overnutrition)

Ketidakseimbangan antara asupan energi (energy intake) dengan

kebutuhan gizi memengaruhi status gizi seseorang. Ketidakseimbangan positif

terjadi apabila asupan energi lebih besar dari pada kebutuhan sehingga

mengakibatkan kelebihan berat badan atau gizi lebih (Guthrie, Helen A., 1995).

Makanan dengan kepadatan energi yang tinggi (banyak mengandung lemak atau

gula yang ditambahkan dan kurang mengandung serat) turut menyebabkan

sebagian besar keseimbangan energi yang positif ini. Selanjutnya penurunan

pengeluaran energi akan meningkatkan keseimbangan energy yang positif. Faktor

penyebabnya adalah aktivitas fisik golongan masyarakat rendah, efek toksis yang

membahayakan, kelebihan energi, kemajuan ekonomi, kurang gerak, kurang

pengetahuan akan gizi seimbang, dan tekanan hidup (stress). Akibat dari

kelebihan gizi di antaranya obesitas (energi disimpan dalam bentuk lemak),

penyakit degenerative seperti hiperensi, diabetes, jantung koroner, hepatitis, dan

penyakit empedu, serta usia harapan hidup semakin menurun (Irianto, 2014).

2.1.4 Pengukuran Status Gizi

Penilaian status gizi dengan pengukuran langsung berupa: antropometri,

biokimia, klinis, dan biofisik; dan pengukuran tidak langsung berupa survei

konsumsi, statistik vital, dan faktor ekologi.

16

2.1.3.1 Antropometri

Penggunaan antropometri untuk menilai status gizi merupakan pengukuran

yang paling sering dipakai. Antropometri dilakukan dengan mengukur beberapa

parameter sebagai salah satu indikator status gizi diantaranya umur, tinggi badan,

berat badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan

tebal lemak di bawah kulit. Pada penelitian ini menggunakan pengukuran dengan

antropometri untuk menghitung status gizi (Supariasa, 2014). Namun hanya ada

empat parameter dalam pembahasan ini, yaitu:

1. Berat badan

Antropometri paling sering digunakan adalah berat badan. Berat badan

menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Berat

badan dijadikan pilihan utama karena berbagai pertimbangan, antara lain:

pengukuran atau standar yang paling baik, kemudahan dalam melihat perubahan

dan dalam waktu yang relatif singkat yang disebabkan perubahan kesehatan dan

pola konsumsi; dapat mengecek status gizi saat ini dan bila dilakukan secara

berkala dapat memberikan gambaran pertumbuhan; berat badan juga merupakan

ukuran antropometri yang sudah digunakan secara luas dan umum di Indonesia;

keterampilan pengukur tidak banyak mempengaruhi ketelitian pengukuran. Faktor

penting lainnya untuk penilaian status gizi adalah umur, maka perhitungan berat

badan terhadap tinggi badan merupakan parameter yang tidak tergantung pada

umur. Pengukuran berat badan dilakukan dengan menimbang. Alat yang

digunakan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan yaitu: mudah dibawa dari

satu tempat ke tempat yang lain dan mudah digunakan; harganya relatif murah

17

dan mudah diperoleh; skalanya mudah dibaca dan ketelitian penimbangan

maksimum 0,1 kg (Supariasa, 2014).

2. Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah

lalu dan keadaan sekarang. Selain itu, faktor umur dapat dikesampingkan dengan

menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (Quac stick). Pengukuran

tinggi badan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur tinggi mikrotoa

(microtoise) dengan ketelitian 0,1 cm (Supariasa, 2014).

3. Lingkar Lengan Atas (LILA)

Pengukuran LILA merupakan suatu cara untuk mengetahui resiko

Kekurangan Energi Protein (KEP) pada wanita usia subur (WUS). Pemantauan

LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka

pendek. Menurut Depkes RI (1994) pengukuran LILA pada kelompok WUS

adalah salah satu cara deteksi dini yang mudah untuk mengetahui resiko

Kekurangan Energi Kronis (KEK) (Supariasa, 2014).

4. Lingkar Perut (LP)

LP lebih banyak digunakan secara klinis untuk menilai obesitas

abdominal, dengan mengukur lemak yang terpusat di perut. Beberapa hasil

penelitian menunjukkan, LP merupakan prediktor terbaik untuk risiko penyakit

degeneratif (Triwinarto et al., 2012).

2.1.3.2 Penilaian Status Gizi Pada Remaja

Penilaian status gizi menggunakan bebercara apa parameter antropometri

sebagai dasar. Kombinasi beberapa parameter disebut indeks antropometri.

18

Penilaian status gizi pada remaja dapat dilakukan secara antropometri dengan

menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), LILA, dan lingkar perut.

a. Indeks Massa Tubuh (IMT)

IMT digunakan sebagai alat untuk memantau status gizi orang dewasa

yang berhubungan dengan kelebihan dan kekurangan berat badan (Supariasa,

2014). Perhitungan staus gizi remaja IMT/U dihitung dengan menggunakan

software WHO Anthro Plus dengan indikator status gizi normal -2 SD hingga +2

SD. Status gizi kurang jika nilai IMT/U kurang dari -2 SD dan status gizi lebih

jika IMT/U lebih dari +2 SD.

b. Lingkar Lengan Atas (LILA)

Ambang batas LILA WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5

cm. apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau bagian merah pita LILA

artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan diperkirakan akan

melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai resiko kematian,

gizi kurang, gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak

(Supariasa, 2014).

c. Lingkar Perut

Lingkar perut sebagai indeks distribusi lemak tubuh baik tersebar di

subkutan (perifer) dan sentral (visceral). Obesitas sentral jika lingkar perut lebih

dari 90 cm pada laki-laki dan lebih dari 80 cm pada wanita (Persatuan Ahli Gizi

Indonesia, 2009).

19

2.1.3.3 Pengukuran konsumsi

Pengukuran konsumsi dengan survei konsumsi melalui: 1). metode

kualitatif dilakukan dengan: metode dietary history, metode pendaftaran makanan

(food list), metode frekuensi makanan (food frequency), dan metode telepon; 2).

metode kuantitatif dengan: metode recall 24 jam, penimbangan makanan (food

weighing), perkiraan makanan (estimated food records), metode inventaris

(inventory method), metode food account, dan pencatatan (household food

record); 3). metode kualitatif dan kuantitatif dengan metode riwayat makan

(dietary history) dan metode recall 24 jam (Supariasa, 2014). Dalam penelitian ini

menggunakan semi quantitative food frequency questionnaires (SQ-FFQ). Hasil

pengukuran menggunakan SQ-FFQ akan dibandingkan dengan angka kecukupan

gizi (AKG) remaja.

Semi Quantitative Food Frequency Questionnaires (SQ-FFQ)

Data yang diperoleh berupa frekuensi konsumsi bahan makanan atau

makanan jadi selama periode tertentu (seperti hari, minggu, bulan atau tahun)

(Supariasa, 2014). Metode SQ-FFQ ini memodifikasi frekuensi konsumsi pangan

dengan cara menambahkan patokan ukuran rumah tangga (URT) dan berat pangan

(gram). Berat pangan ditampilkan dalam porsi. Metode ini memudahkan peneliti

untuk mendapatkan variasi, frekuensi, dan kuantitas pangan sehingga zat gizi

dapat dikorelasikan dengan indeks masa tubuh, status penyakit, sosial ekonomi,

kondisi atau kesehatan lingkungan dan perilaku seseorang atau masyarakat

(Gibson, 2005; Widajanti, 2009).

20

2.2 Pola Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik menurut BPS merupakan pergerakan anggota tubuh yang

menyebabkan pembakaran kalori yang dilakukan minimal 30 menit berturut untuk

memelihara kesehatan fisik dan mental serta mempertahankan kualitas hidup agar

tetap bugar dan sehat sepanjang hari (Badan Pusat Statistik, 2013). Saat

beraktivitas, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak,

sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk

menghantarkan oksigen dan zat-zat gizi keseluruh tubuh dan digunakan untuk

mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Seberapa banyak otot yang bergerak, seberapa

lama dan seberapa berat pekerjaan yang dilakukan mempengaruhi jumlah energi

yang dibutuhkan (Almatsier, 2009). Berikut beberapa aktivitas harian remaja

selain sekolah:

2.2.1 Aktivitas Aktif

2.2.1.1 Olahraga

Derajat kesehatan optimal dapat dipertahankan melalui aktivitas fisik

seperti olahraga cukup dan dilakukan secara teratur. Olahraga dan aktivitas fisik,

yang tidak berimbang dengan asupan nutrisi yang dikonsumsi dapat menyebabkan

berat badan tidak normal. Olahraga dan kegiatan fisik diharapkan selalu seimbang

dengan asupan nutrisi dan masukan energi yang diperoleh dari makanan sehari-

hari (Departemen Kesehatan RI, 1995). Olah raga yang baik harus dilakukan

secara teratur, sedangkan macam dan takaran olahraga tergantung menurut usia,

jenis kelamin, jenis pekerjaan dan kondisi kesehatan.

21

2.2.1.2 Ekstrakurikuler

Ekstrakurikuler merupakan bagian dari aktivitas pendidikan di luar mata

pelajaran yang diselenggarakan untuk membantu pengembangan siswa sesuai

dengan potensi, bakat, kebutuhan, dan minat siswa melalui kegiatan yang dibuat

oleh tenaga kependidikan dan pendidik yang berkewenang dan berkemampuan di

sekolah (Kurniawan dan Karyono, 2010).

2.2.2 Aktivitas Pasif (Perilaku Sedentari)

Anak-anak harus diberikan dukungan untuk beraktivitas di luar rumah

agar tidak menghabiskan sepanjang waktu sepulang sekolah melakukan kegiatan

kurang gerak (sedentarian) seperti menonton televisi atau main komputer dan

video game. Kegiatan sedentarian yang dilakukan lebih dari dua jam dapat

menyebabkan obesitas pada anak (Dowshen, 2005).

2.2.2.1 Menonton Televisi dan Main Game

Televisi juga memberikan dampak terhadap pemilihan makanan anak

karena iklan-iklan menarik yang ditayangkan biasanya merupakan iklan makanan

dengan kalori tinggi (Astrup, 2006). Berdasarkan penelitian di Semarang tahun

2012 pada remaja usia 18-20 tahun didapatkan hasil perilaku sedentari, 89,5%

memiliki kebiasaan menonton televisi, 100% memiliki kebiasaan bekerja dengan

komputer atau laptop, 26,7% memiliki kebiasaan bermain video game, 100,0%

memiliki kebiasaan duduk-duduk, 48,8% remaja memiliki lama waktu tidur yang

buruk (Cahyani, 2012). Penelitian yang dilakukan kepada alumni Harvard

University, sepanjang tahun 1962-1978 terdapat 1413 orang meninggal, 45%

disebabkan karena penyakit jantung dan 32% lainnya disebabkan kanker. Mereka

22

yang meninggal memiliki gaya hidup sedentari. Sedangkan yang memiliki

kebiasaan berjalan/ berlari 20 mil/minggu memiliki kecenderungan hidup 2 tahun

lebih lama dibandingkan yang berjalan/ berolahraga kurang dari 5 mil/minggu

(Rosita, 2012).

2.2.2.2 Media Sosial

Media yang banyak digunakan remaja saat ini salah satunya adalah

internet dan social media. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika

(Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini

mencapai 63 juta orang, dimana 95 persennya menggunakan internet untuk

mengakses jejaring sosial (Kemenkominfo, 2013). Persentase aktivitas jejaring

sosial Indonesia mencapai 79,72 persen, tertinggi di Asia, mengalahkan Filipina

(78 persen), Malaysia (72 persen), China (67 persen) (Mohamad, 2013). Pengguna

aktif berada pada rentan usia 18 hingga 29 tahun dan pengguna social media dan

social sharing tertinggi adalah perempuan (Heni, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Nurmihasti pada tahun 2012, diketahui bahwa

pelaku utama yang meramaikan pergerakan sosial media di Indonesia sebagian

besar didominasi oleh usia remaja, khususnya mereka para peserta didik atau

pelajar. Penelitian lain memaparkan bahwa pengguna situs jejaring sosial di

Indonesia mayoritas adalah dari kalangan remaja usia sekolah, dengan

peningkatan pengguna situs jejaring sosial Facebook pada 2009 sebanyak 700%

dibanding pada tahun 2008. Penggunaan sosial media merupakan salah satu

kegiatan sedentari. Kemajuan teknologi ini membuat remaja menghabiskan

23

banyak waktu untuk mengecek sosial media melalui gadget yang dimiliki baik

laptop maupun smartphone (Isnainiyah, 2012).

2.2.3 Istirahat

Anak usia sekolah sebaiknya diberikan jadwal waktu tidur untuk mereka

tepati karena waktu tidur yang kurang dapat menjadi pemicu terjadinya obesitas

selain perilaku-perilaku negatif lainnya seperti terlalu mengantuk di sekolah

sehingga tidak dapat menerima pelajaran dengan baik (Chaput dan Jean-Phillippe,

2007). Pola tidur dengan durasi kurang dari 7 jam dihubungkan dengan kenaikan

indeks massa tubuh, baik pada anak-anak, remaja maupun pada orang dewasa

pada penelitian- penelitan sebelumnya. Durasi waktu tidur yang pendek dikaitkan

dengan penurunan leptin dan meningkatnya grelin. Perubahan hormon ini yang

mungkin berkontribusi terhadap kenaikan indeks masaa tubuh (Taheri et al.,

2004). Hasil penelitian (Papalia et al., 2010) menyatakan bahwa remaja yang

obesitas tidur lebih sedikit dibanding remaja yang normal dan underweight.

Durasi tidur ditemukan berhubungan dengan risiko overweight dan obesitas pada

remaja Australia 10-15 tahun.

2.3 Pola Makan

2.3.1 Pola makan harian

Orang Indonesia makan tiga kali sehari yaitu sarapan di pagi hari, makan

siang dan makan malam. Makanan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

perkembangan khususnya di usia remaja. Konsumsi makanan yang kurang, baik

secara jumlah maupun kualitas akan mengakibatkan terjadinya gangguan proses

24

metabolisme dalam tubuh, yang tentunya mengarah pada timbulnya suatu

penyakit. Sehingga dalam hal mengkonsumsi makanan, yang perlu diperhatikan

adalah kecukupannya agar didapatkan suatu fungsi tubuh yang optimal

(Almatsier, 2009).

Angka kecukupan gizi dihitung menggunakan hasil perhitungan nutrisurvey yang

kemudian dibandingkan dengan AKG remaja perempuan. Cut off points tingkat

kecukupan zat gizi (Jayanti et al., 2011):

a. Kurang (<80%)

b. Normal (80-120%).

c. Lebih (≥ 120% AKG)

2.3.2 Aspek Sosio-Kultural Makanan

Selain peran biologik yaitu untuk memenuhi rasa lapar, makanan

mempunyai peranan sosio-kultural. Den Hartog et. al (Almatsier, 2009)

mengelompokkannya sebagai berikut :

2.3.2.1 Fungsi Kenikmatan (Gastronomik)

Manusia makan untuk mendapatkan kenikmatan. Kesukaan makanan antar

bangsa dan suku berbeda. Makanan di daerah tropik biasanya lebih berbumbu. Ini

kemungkinan secara naluri penduduk negara tropik sejak dulu kala telah tahu

bahwa pemberian bumbu banyak pada makanan dapat menghambat pembusukan.

Secara umum, makanan yang disukai adalah makanan yang memenuhi selera

yaitu dalam rasa, bau, dan tekstur (Almatsier, 2009).

25

2.3.2.2 Makanan Untuk Menunjukkan Jati Diri

Makanan sering dianggap sebagai bagian penting untuk menyatakan jati

diri seseorang atau sekelompok orang. Di Jepang misalnya, sushi merupakan

makanan terhormat untuk disajikan kepada tamu-tamu. Di sebagian besar

Sumatera, daging dianggap sebagai makanan berprestise (Almatsier, 2009).

2.3.2.3 Fungsi Religi Dan Magis

Banyak symbol religi dan magis dikaitkan dengan makanan. Dalam agama

Islam, kambing sering dikaitkan dengan upacara-upacara penting dalam

kehidupan, seperti pada upacara akikoh dan khitan. Pada masyarakat Jawa di

berbagai upacara selamatan dihidangkan nasi tumpeng atau nasi kuning

(Almatsier, 2009).

2.3.2.4 Fungsi Komunikasi

Makanan merupakan media penting dalam upaya manusia bersosialisasi.

Dalam keluarga, kehangatan hubungan antar anggotanya terjadi saat makan

bersama. Begitu pula di keluarga besar diupayakan pertemuan secara berkala

dengan makan bersama untuk mempererat hubungan silaturahmi. Antar tetangga

juga sering dilakukan tukar-menukar makanan. Dalam dunia bisnis, kesepakatan

sering diperoleh dalam jamuan makanan (Almatsier, 2009).

2.3.2.5 Fungsi Status Ekonomi

Makanan sering digunakan untuk prestise atau status ekonomi. Semua

budaya memiliki makanan yang dianggap berprestise (Almatsier, 2009). Saat ini

makanan dianggap sebagai gaya hidup. Remaja sering makan di tempat-tempat

bergengsi dan mengunggah foto-foto makanannya di situs jejaring sosial.

26

2.3.2.6 Simbol Kekuasaan

Melalui makanan seseorang atau sekelompok masyarakat dapat

menunjukkan kekuasaannya terhadap orang atau kelompok masyarakat lain.

Majikan member makanan yang berbeda kepada bawahan atau pembantunya.

Dalam keadaan berperang atau bermusuhan, suatu negara menetapkan embargo

bahan pangan terhadap negara musuhnya (Almatsier, 2009).

2.3.3 Pola Makan Seimbang (Well Balanced Diet)

Tumpeng Gizi Seimbang (TGS) menggambarkan empat prinsip gizi

seimbang yaitu beragam makanan sesuai kebutuhan, kebersihan makanan,

aktivitas fisik, dan pemantauan berat badan ideal. TGS terdiri dari beberapa

potongan tumpeng: satu potong besar, dua potong sedang, dua potong kecil, dan

di puncak terdapat potongan terkecil. Luas potongan TGS menunjukkan porsi

yang harus dikonsumsi per hari oleh setiap orang. TGS dialasi oleh air putih,

karena air putih merupakan bagian terbesar dan zat gizi esensial untuk hidup sehat

dan aktif (Irianto, 2014).

Pesan-pesan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) diantaranya: 1). Syukuri dan

nikmati aneka ragam makanan, 2). Banyak makan sayuran dan cukup buah-

buahan, 3). Biasakan mengkonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi,

4). Biasakan mengkonsumsi anekaragam makanan pokok, 5). Batasi konsumsi

pangan manis, asin, dan berlemak, 6). Biasakan sarapan, 7). Biasakan minum air

putih yang cukup dan aman, 8). Biasakan membaca label pada klemasan pangan,

9). Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih mengalir, 10). Lakukan

aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal (Irianto, 2014).

27

Gambar 2.1 Tumpeng Gizi Seimbang (Irianto, 2014)

Kebutuhan air putih dalam sehari minimal dua liter (delapan gelas).

Potongan besar tumpeng selanjutnya merupakan golongan makanan pokok

(sumber karbohidrat) yang dianjurkan dikonsumsi tiga hingga delapan porsi per

hari. Selanjutnya, terdapat golongan sayur dan buah sebagai sumber vitamin dan

mineral. Potongannya berbeda luas untuk menekankan pentingnya peran dan porsi

setiap golongan. Ukuran potongan sayur dalam PGS sengaja dibuat lebih besar

dari buah yang terletak di sebelahnya, ini berarti jumlah sayur yang harus

dikonsumsi setiap hari sedikit lebih besar (3-4 porsi) daripada buah (2-3 porsi).

Kemudian di lapisan ketiga ada golongan protein seperti daging, telur, ikan, susu,

dan produk susu (yogurt, mentega, keju, dan lain-lain) dipotongan kanan dan

dipotongan kiri kacang-kacangan serta hasil olahan seperti tahu, tempe, dan

oncom. Puncak TGS makanan dalam potongan yang sangat kecil adalah minyak,

gula dan garam yang dianjurkan dikonsumsi seperlunya. Pada bagian bawah

tumpeng terdapat PGS lain yaitu pola hidup aktif dengan berolahraga, menjaga

kebersihan, dan memantau berat badan (Irianto, 2014).

28

2.3.4 Pola Makan Remaja

Dibandingkan segmen usia lain, diet yang tidak adekuat adalah masalah

yang paling umum dialami remaja putri. Gizi tidak adekuat akan menimbulkan

masalah kesehatan yang akan mengikuti sepanjang kehidupan. Kekurangan gizi

dalam masa remaja dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk emosi yang

tidak stabil, keinginan untuk menjadi kurus yang tidak tepat, dan ketidakstabilan

dalam gaya hidup dan lingkungan sosial secara umum. Beberapa perilaku spesifik

yang umumnya dipercaya menyebabkan masalah gizi pada ramaja putrid adalah:

(1). Kurang didampingi ketika mengkonsumsi makanan tertentu, (2). Kurangnya

perhatian dalam memilih makanan di luar rumah, (3). Kurangnya waktu uantuk

mengkonsumsi secara teratur, (4). Melewatkan waktu makan satu kali atau lebih

setiap hari, (5). Mulai mengkonsumsi alcohol, (6). Pemilihan makanan selingan

yang kurang tepat, (7). Perhatian terhadap makanan tertentu yang menyebabkan

jerawat, (8). Takut mengalami obesitas, (9). Tidak mau minum susu (Irianto,

2014). Selain itu remaja juga memiliki kebiasaan makan cemilan diluar jam

makan. Gaya hidup duduk lama sambil ngemil makanan tinggi kalori dan lemak

dan rendah gizi serta nutrisi memicu kelebihan berat badan pada remaja

(Hasdianah et al., 2014).

2.3.5 Makanan cepat saji (Fast food)

Makanan cepat saji merupakan makanan yang tersedia dan siap untuk

dimakan dalam waktu cepat, seperti fried chiken, hamburger atau pizza. Makanan

cepat saji umumnya mengandung kalori, sodium (Na), gula, dan kadar lemak yang

tinggi tetapi rendah serat, asam akorbat, kalsium, vitamin A, dan folat. Makanan

29

cepat saji merupakan gaya hidup remaja (Khomsan, 2004). Mudahnya

memperoleh makanan siap saji mempermudah tersedianya variasi makanan sesuai

daya beli dan selera. Selain itu, cocok bagi mereka yang selalu sibuk karena

pengolahan dan penyiapannya lebih cepat dan mudah (Restiani, 2012).

Kehadiran makanan cepat saji dalam industri makanan Indonesia dapat

mempengaruhi pola makan khususnya remaja di kota dengan tingkat

kesejahteraan menengah ke atas. Tempat makan makanan fast food menjadi

tempat bersantai. Makanan di restoran fast food menawarkan harga terjangkau

bagi mereka, penyajiannya cepat dan jenis makanannya memenuhi selera remaja.

Manajemen yang handal dan juga dilakukannya terobosan misalnya pelayanan

yang praktis, desain interior restoran dibuat rapi, menarik dan bersih tanpa

meninggalkan unsur kenyamanan, serta rasanya yang lezat membuat mereka yang

sibuk dalam pekerjaanya memilih alternatif untuk mengkonsumsi jenis fast food,

karena pelayanan lebih cepat dan juga mengandung gengsi bagi sebagian

masyarakat. Bahkan banyak keluarga yang memilih makanan diluar dengan

jajanan fast food di hari libur (Khomsan, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian, kentang goreng dan fried chicken merupakan

makanan cepat saji yang banyak dimakan saat makan siang atau makan malam

remaja di enam kota besar di Indonesia seperti di Denpasar, Surabaya,

Yogyakarta, Semarang, Bandung, dan Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan 15-

20% remaja di Jakarta mengonsumsi fried chicken dan burger sebagai makan

siang dan 1-6% lainnya mengonsumsi pizza dan spaghetti. Apabila makanan jenis

ini dikonsumsi berlebih dan terus-menerus dapat menyebabkan gizi lebih

30

(Restiani, 2012). Dalam penelitian ini akan dilihat konsumsi fast food diantaranya:

ayam goreng, kentang goreng, burger, pizza, spaghetti, hot dog, donat, mie instan

dan soft drink, diantaranya : coca-cola, sprite, fanta, pepsi (Badjeber et al., 2009).

2.3.6 Pengontrolan Berat Badan

Buruknya status gizi remaja diduga disebabkan berbagai praktik

penurunan berat badan yang dilakukan remaja demi mendapatkan tubuh ideal

yang di tampilkan di berbagai media (Tucci dan Peters, 2008; Vonderen, 2012)

dan tekanan teman sebaya (Ryde et al., 2011). Pengaruh lingkungan dalam

menentukan perilaku diakui cukup kuat pada remaja. Perilaku remaja banyak

dipengaruhi oleh tekanan dari teman sebaya. Teman sebaya diakui dapat

mempengaruhi seorang remaja dalam berperilaku. Kelompok teman sebaya

merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang

berkaitan dengan gaya hidup (Papalia et al., 2001). Penelitian sebelumnya

mengenai gangguan makan dan perilaku penurunan berat badan yang tidak sehat

pada remaja wanita di Australia di dapatkan hasil 33% remaja mengalami

gangguan makan, 57% responden melakukan praktik penurunan berat badan yang

tidak sehat, dan 12% mengalami disorientasi body image. Faktor yang

mempengaruhi pola perilaku ini adalah tekanan teman sebaya, tekanan media dan

persepsi bahwa penurunan berat badan yang tidak sehat tidak berbahaya bagi

mereka (Ryde et al., 2011).

Remaja memiliki pandangan tersendiri mengenai tubuhnya (body image)

yang seringkali salah (Notoatmodjo, 2010). Hal itu sering menjadi penyebab

masalah, karena remaja menerapkan pengaturan pembatasan makanan yang salah

31

untuk memelihara kelangsingan tubuhnya, sehingga kebutuhan gizi tidak

terpenuhi dan mendorong terjadinya gangguan gizi (Kathlen dan Sylvia, 2008;

Sayogo, 2011). Perilaku pengontrolan berat badan yang tidak sehat yang banyak

dilakukan remaja berdasarkan beberapa penelitian diantaranya melewatkan jam

makan untuk menurunkan berat badan (skipping meals), mengkonsumsi suplemen

diet, sengaja memuntahkan makan untuk menurunkan berat badan (self-induced

vomiting), puasa 24 jam atau lebih, metode diet khusus seperti OCD (Obsessive

Corbuzier’s Diet), vegetarian, atau hanya makan satu jenis makanan tertentu

(crush dieting). Dalam beberapa penelitian puasa merupakan perilaku yang paling

banyak dilakukan, diikuti dengan makan satu jenis makanan, memuntahkan

makanan dengan sengaja, diuretik/obat pencahar, pil penurun berat badan, dimana

puasa dan melewatkan jam makan adalah perilaku yang paling banyak dilakukan

(Ryde et al., 2011; Thøgersen-ntoumani et al., 2011; Yu, 2011). Melewatkan jam

makan juga merupakan praktik pengontrolan berat badan yang banyak dilakukan

remaja. Berdasarkan data BPS tahun 2013 didapatkan data masyarakat Bali yang

berusia 10 tahun ke atas melewatkan sarapan pagi 23,2%, lebih tinggi jika

dibandingkan angka nasional 14,33% (Badan Pusat Statistik, 2013).

Penelitian lainnya di Amerika, 11% remaja melakukan pengontrolan berat

badan yang ekstrim yaitu dengan memuntahkan makanan secara teratur untuk

menurunkan berat badan (self-induced vomiting). Di Australia dari 606 remaja

perempuan yang disurvey didapatkan 9% memuntahkan makanan, 6%

menggunakan pil diet, 6% menggunakan diuretik/pencahar secara teratur untuk

mengontrol berat badannya dan 11% dari responden melakukan paling tidak salah

32

satu praktik penurunan berat badan yang ekstrim, dan 0,4% tetap melakukan diet

walaupun mereka sudah sangat kurus (underweight berdasarkan standar BMI)

(Ryde et al., 2011; Thøgersen-ntoumani et al., 2011). Penelitian lain di Australia

menyebutkan bahwa proporsi perempuan sangat signifikan yaitu 10-20%

melakukan praktik penurunan berat badan yang tidak sehat yang menghambat

intake nutrisi dan energi, termasuk menghindari daging (sumber zat besi, protein,

dan zink), produk susu (sumber kalsium), makanan mengadung tepung (sumber

energi dan serat), dan menggunakan suplemen diet atau mengganti makanan

dengan makanan diet yang tidak mengandung gizi seimbang (Ryde et al., 2011).

2.4 Hubungan Pola Aktivitas dan Pola Makan dengan Status Gizi

Faktor yang mempengaruhi status gizi diantaranya zat gizi dalam bahan

makanan, ada/tidak program pemberian makanan di luar keluarga, daya beli

keluarga yang berhubungan dengan pendapatan, kebiasaan makan orang tua

pemeliharaan kesehatan dan faktor lingkungan (Supariasa, 2014). Kesehatan

mempengaruhi kebutuhan nutrisi seseorang. Ketika saat dibutuhkan asupan yang

lebih baik seperti protein tinggi untuk mempercepat proses penyembuhan.

Sedangkan menurut Ambarwati, status gizi secara tidak langsung dipengaruhi

oleh faktor umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. Ketiga faktor ini

mempengaruhi tingkat kebutuhan nutrisi yang selanjutnya mempengaruhi status

gizi (Ambarwati, 2012). Semakin muda usia maka kebutuhan nutrisi semakin

tinggi. Nutrisi dibutuhkan untuk proses tumbuh kembang. Sedangkan untuk pola

aktivitas, semakin banyak aktivitas yang dilakukan maka semakin banyak energi

33

yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga diperlukan asupan nutrisi yang lebih banyak

(Irianto, 2014).

Bagan Hubungan Pola Aktivitas dan Pola Makan dengan Status Gizi

Gambar 2.2 Teori faktor yang mempengaruhi status gizi, modifikasi teori Call dan Levinson dan teori Ambarwati (Ambarwati, 2012; Supariasa, 2013).

Konsumsi makan

Kesehatan

STATUS GIZI

Tingkat kebutuhan

nutrisi

Umur

Jenis kelamin

Aktivitas fisik