BAB I.anak

download BAB I.anak

of 35

Transcript of BAB I.anak

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Intususepsi adalah keadaan yang umumnya terjadi pada anak-anak, dan merupakan kejadian yang jarang terjadi pada dewasa, intususepsi adalah masuknya segmen usus proksimal (kearah oral) kerongga lumen usus yang lebih distal (kearah anal) sehingga menimbulkan gejala obstruksi berlanjut strangulasi usus Definisi lain Invaginasi atau intususcepti yaitu masuknya segmen usus (Intesusceptum) ke dalam segment usus di dekatnya (intususcipient). Invaginasi atau intususepsi sering ditemukan pada anak dan jarang pada orang dewasa. Invaginasi pada anak biasanya bersifat ideopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Kebanyakan ditemukan pada kelompok umur 2 12 bulan dan sering ditemukan pada anak laki-laki. Invaginasi terjadi karena adanya sesuatu di usus yang menyebabkan peristaltik berlebihan, biasanya terjadi pada anakanak tetapi dapat juga terjadi pada dewasa. Pada anak-anak 95% penyebabnya tidak diketahui, hanya 5% yang mempunyai kelainan pada ususnya sebagai penyebabnya. Misalnya diiverticulum Meckeli, Polyp, Hemangioma (Schrock, 88). Sedangkan invaginasi pada dewasa terutama adanya tumor yang menyebabkannya (Dunphy 80). Perbandingan kejadian antara pria dan wanita adalah : 3 : 2 (Swenson,90), pada orang tua sangat jarang dijumpai (Ellis ,90).Invaginasi atau intususepsi merupakan keadaan gawat darurat, dimana bila tidak ditangani segera dan tepat akan menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Mengingat invaginasi sangat berbahaya bagi anak-anak maka diperlukan tindakan unuk menangani kasus ini salah satunya adalah dengan operasi. Selain itu,dalam memberikan perawatan kepada bayi atau anak dengan gangguan saluran pencernaan obstruksi usus mekanik ini yaitu intususepsi harus diperhatikan ancaman yang dapat muncul selain rasa nyeri yaitu resiko terjadinya syok yang dapat menyebabkan kematian. Sehingga tenaga kesehatan harus benar benar memperhatikan tanda tanda yang mengarah ke arah syok.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem pencernaan? 2. Asuhan keperawatan apa saja yang di berikan pada anak-anak yang mengalami gangguan pencernaan yang meliputi labiopalatoskisis,

hirchprung, invaginasi, dan omphalecele? C. Tujuan 1. Tujuan umum Agar dapat lebih memperdalam, memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada penyakit sistem pencernaan yang meliputi labiopalatoskisis, hirchprung, invaginasi, dan omphalecele. Tujuan khusus a. Memahami anatomi dan fisiologi sistem pencernaan. b. Dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan labiopalatoskisis, hirchprung, invaginasi, dan omphalecele. D. Manfaat Penyusunan Dengan adanya penyusunan makalah ini, maka diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk memperdalam asuhan keperawatan yang tepat dan lebih lanjut untuk klien dengan kelainan tersebut. E. Sistematika Penyusunan Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai makalah ini, penyusun menggunakan sistematika penyusunan makalah sebagai berikut : Bab I : Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang, tujuan penyusunan, manfaat penyusunan, sistematika penyusunan dan metode pengumpulan data. Bab II : Merupakan pembahasan masalah yang meliputi Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan, asuhan keperawatan : labiopalatoskisis, hirchprung, invaginasi, dan omphalecele.

Bab III : Simpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

F. Metode Pengumpulan Data Dalam penyusunan makalah ini penysusun melakukan pengkajian pustaka dalam mengumpulkan teori-teori, dan melalui searching internet untuk sumber lain sebagai pelengkap dan pendukung dari isi makalah ini.

BAB II PEMBAHASAN PENYAKIT HIRSCHSPRUNG

PENGERTIAN Penyakit hirschprung atau megacolon kongenital, adalah tidak adanya sel-sel ganglion dalam rektum atau rektosegmoid kolon. Ketiakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristalsis serta tidak adanya evakuasi usus spontan.selain itu,sfingter rectum tidak dapat berelaksasi,mencegah keluarnya feses seccara normal.isi usus terdorong ke dalam segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut,menyebabkan

dilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu. Penyakit hirschprung diduga terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor lingkungan namun etiologi sebenarnya tidak diketahui.penyakit hirschprung dapat muncul pada sembarang usia,walaupun sering terjadi pada neonatus. INSIDENS 1. Penyakit hirshprung terjadi diantara 5.000 kelahiran hidup 2. Insidens penyakit ini tiga atau empat kali lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. 3. Insidens meningkat pada saudara kandung atau turunan dari anak yang terkena. 4. 10%-15% dari bayi penderita hirshprung didiagnosis dengan sindrom down. 5. Penyakit ini bertanggung jawab atas 15%-20% obstruksi neonatus.

KLASIFIKASI 1. Penyakit Hirschsprung segmen pendek / HD klasik (75%). Segmen aganglionosis muali dari anus sampai sigmoid.Merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan 2. Penyakit Hirschsprung segmen panjang/ Long segment HD (20%)

daerah agonglionosis dapat melebihi sigmoid malahan dapat mengenai seluruh kolon taua sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan. 3. Total colonic aganglionosis (3-12%) MANISFESTASI KLINIS MASA NEONATUS 1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir 2. Muntah berisi empedu 3. Enggan minum 4. Distensi abdomen MASA BAYI dan KANAK-KANAK 1. Konstipasi 2. Diare berulang 3. Tinja seperti pita,dan berbau busuk 4. Distensi abdomen 5. Gagal tumbuh KOMPLIKASI 1. Gawat pernapasan (akut) 2. Enterokolitis (akut) 3. Striktura ani (pasca bedah) 4. Inkontenesia (jangka panjang)

UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSIS 1. Foto andomen (telentang,tegak,telungkup,dekubitus lateral)-diagnostik 2. Enema barium-diagnostik 3. Biopsi rektal-untuk mrndiagnosi ada atau tudaknya sel ganglion 4. Manometri anorektal-untuk mencatat hasil refluk sfingter ekterna dan internal PENATALAKSANAAN BEDAH Pembedahan padan penyakit hirshprung dilakukan dalam dua tahap.mula-mula dilakukan kolostomi loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3-4 bulan). Bila umur bayi itu 6 dan 12 bulan (atau bila beratnya antara 9 dan 10 kg),satu adri 3 prosedur berikut dilakukan dengan cara memotong usus aganglionik dan menganasotomosiskan usus yang berganglion ke rektum dengan jarak 1cm dari anus.prosedur Dohamel umunya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1 tahun.prosedur ini terdiri atas penarikan kolon normal yang ditarik tersebut. Pada prosedur Swenson,bagian kolon yang aganglionik itu dibuang.kemudian dilakukan nanastomosis end-to-end pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi.sfingterotomi dilakukan pada bagian posterior.prosedur Soave dilakukan pada anakanak yang lebih besar dan merupakan prosedur yang paling banyak dilakukan untuk mengobati penyakit hirshprung.Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh.kolon yang bersyaraf normal ditarik sampai ke naus,tempat dilakukan anastomosis anatara klon normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa. PENGKAJIAN KEPERAWATAN PRABEDAH 1. Kaji status klinik anak (tanda-tanda vital,asupan dan keluaran) 2. Kaji adanya tanda-tanda perforasi usus 3. Kaji adanya tanda-tanda enterokolosis 4. Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakuakan koping terhadap pembedahan yang akan datang

5. Kaji tingkat nyeri yang dialami anak PASCABEDAH 1. Kaji status pascabedah (tanda-tanda vital,bising usus,distensi abdomen) 2. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan 3. Kaji adanya komplikasi 4. Kaji anaya tanda-tanda infeksi 5. Kaji tingkayt nyeri yang dialami anak 6. Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadpa pengalamannya di rumah sakit dan pembedahan 7. Kaji kemampuan orng tua dalam melaksanakan pengobatan dan keperawatan yang berkelanjutan DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Asupan gizi 2. Ansietas 3. Resiko tinggi infeksi 4. Resiko tinggi cedera 5. Nyeri 6. Kurang volume cairan 7. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit 8. Kurang pengetahuan 9. Resiko tinggi penetalaksanaan program teurapetik tidak efektif 10. Sesak napas INTERVENSI KEPERAWATAN PERAWATAN PRABEDAH 1. Pantau status nutrisi anak sebelum pembedahan a. Beri makan tinggi kalori,tinggi protein,dan tinggi sisa b. Gunakan rute makan alternatif jika pasien tidak dapat minum per oral c. Kaji asupan dan haluaran secara cermat setiap 8 jam d. Timbang berat badan setiap hari

2. Persiapkan bayi dan anak secara emosional untuk menghadap pembedahan 3. Pantau status klinik prabedah a. Ppantau tanda-tanda viatal setiap 2 jam,bila perlu b. Pantau asupan dan haluaran c. Observasi tanda dan gejala perforasi usus 1) Muntah 2) Pengkatan nyeri tekan 3) Distensi abdomen 4) Iritabilitas 5) Gawat pernapasa(dispnea) d. Panatau adanya tanda-tanda enterokolitis e. Ukur lingkar perut setiap 4 jam (untuk mengkaji distensi abdomen) 4. Pantau reaksi bayi terhadap persiapan prabedah a. Enema sampai bersih (untuk membersihkan usus sebelum pemebedahan) b. Pasang selang intervena(IV) c. Pasang kateter voley d. Obat prabedah e. Uji diagnostik f. Dekompresi usus dan lambung(selang nasogastrik atau selang rektal) g. Puasa selama 12 jam sebelum operasi PERAWATAN PASCABEDAH 1. Panatau dan laporkan status pasca bedah anak a. Auskultasi kembali bising usus b. Pantau tanda-tanda vital setiap 2 jam sampai stabuil,kemudia setiap 4 jam(tergantung protokol rumah sakit) c. Pantau adanya distensi abdomen(pertahankan kepatenan selang NG) 2. Pantau status hidrasi anak (tergantung status anak dan protokol rumah sakit) a. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan b. Ukur dan cata dainase nasogastrik c. Ukur dan cata drainase kolostomi d. Ukur dan catat drainase kateter Foley e. Pantau infus IV(jumlah,kecepatan,infiltrasi)

f. Observasi adanya gangguan keseimbangan elektrolit(hiponatremia dan hipokalemia) 3. Observasi dan laporkan adanya tanda-tanda komplikasi a. Obstruksi usus karena perlengketan,volvulus,atau insusepsi b. Kebocoran pada anastomosis c. Sepsis d. Fistula e. Enterokolitis f. Frekuensi defekasi g. Konstifasi h. Perdarahan i. Kambuhnya gejala 4. Usahakan kembalinya peristalsis a. Pertahankan selang NG b. Irigasi debngan cairan garam normal setiap 4 jamdan bila perlu 5. Tingkatkan dan pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit a. Catat asupan per rute (IV,oral) b. Catat haluaran per rute (urine,feses,emesis,stoma) c. Konsultasikan dengan dokter jika terdapat ketidakcockan. 6. Atasi atau kurangi nyeri dan ketidaknyamanan a. Pertahankan kepatenan selang NG b. Pertahankan posisi yang nyaman c. Pantau respon anak terhadap pemberian obat 7. Cegah infeksi a. Pantau tempat insisi b. Berikan perawatan kateter Foley setiap pergantian dinas c. Ganti balutan bila perlu d. Rujukpedoman prosedur institusi untuk perawatan yang berhubungan prosedur tertentu e. Ganti popok dengan sering untuk menghindari kontaminasi feses 8. Lakukan intervensi yang spesifik untuk prosedur;rujuk pada pedoman prosedur intitusi 9. Beri dukungan emosi pada anak dan keluarga

PERENCANAAN PLANG DAN PERAWATAN DI RUMAH 1. Ajarkan pada orang tua untuk memantau adanya tanda dan gejala komplikas jangka-jangka berikut ini. a. Stenosis dan kontriksi b. Inkontenesia c. Pengosongan usus yang tidak adekuat 2. Ajarkan tentang perawatan kolostmi pada orang tua dan anak a. Persiapan kulit b. Penggunaan alat alat kolostomi c. Komplikasi stomal(perdarahan,gagal defekasi,diare meningkat,prolaps,feses seperti pita) d. Perawatan dan pembersihan alat kolostomi e. Irigasi kolostomi 3. Beri dan kuatkan informasi-informasi tentang penatalaksaan diet. a. Makanan rendah sisa b. Masukan cairan tanpa batas c. Tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi 4. Dorong orang tua dan anak untuk mengekspresikan perasaannya tentang kolostomi a. Tampilan b. Bau c. Ketidaksesuaian antara anak mereka dan anak,ideal 5. Rujuk ke prosedur intitusi spesifik untuk informasi yang dapat diberikan pada orang tua tentang perawatan rumah. HASIL YANG DIHARAPKAN 1. tanda-tanda infeksi tidak ada 2. hidrasi bayi adekuat 3. tidak ada kerusakan jaringan pada area stoma.

Labiopalatoskisis ( Cleft Lip and Cleft Palate ) Definisi Merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut, palatosisis (sumbing palatum), labiosisis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya jaringan lunak (struktur tulang) untuk menyatu selama perkembangan embrio. Patofisiologi Proses terjadinya labiopalatosisis ini terjadi ketika kahamilan trimester ke 1 dimana terjadinya gangguan oleh karena berbagai penyakit seperti virus. Pada trimester pertama terjadi proses perkembangan pembentukan berbagai organ tubuh dan saat itu terjadi kagagalan dalam penyatuan atau pembentukan jaringan lunak dan atau tulang selama fase embrio. Apabila terjadinya kegagalan dalam penyatuan proses nasal medial dan maksilaris ,akan dapat mengalami labiosisis (sumbing bibir), dan proses penyatuan tersebut akan terjadi pada usia 6-8 minggu. Kemudian apabila terjadi kegagalan penyatuan pada susunan palato selama masa kehamilan 7-12 minggu maka dapat mengakibatkan sumbing pada palatum (palatosisis).

Patoflow

Penyebab tidak jelas, resiko pada orang tua memiliki kasus labio palatosisis Labiopalatosisis

Sumbing alveolar

pra

Sumbing alveolar Sumbing pada tonjolan alveolar dan palatum

Sumbing pasca alveolar Sumbing palatum pada

Sumbing pada bibir dan hidung

Tindakan pembedahan

Komplikasi Gangguan bicara dan pendengaran Terjadinya otitis media Aspirasi Distress pernapasan Resiko infeksi saluran napas Pertumbuhn dan perkembangan terlambat Etiologi Kegagalan fase embrio penyebabnya belum diketahui Faktor herediter Dapat dikaitkan dengan abnormal kromosom, mutasi gen, dan teratogen (agen atau faktor yang menimbulkan cacat pada masa embrio)

Manifestasi Klinis Pada labio skisis : Distorsi pada hidung Tampak sebagian atau keduanya Adanya celah pada bibir Pada palato skisis : Tampak ada celah pada tekak (uvula), palate lunak, dan keras dan atau foramen incisive Adanya rongga pada hidung Distorsi hidung Teraba ada celah atau terbukanya langit- langit saat diperiksa dengan jari Kesukaran dalam menghisap atau makan Pemeriksaan Diagnostik Foto rontgen Pemeriksaan fisik MRI untuk evaluasi abnormal Penatalaksanaan Terapeutik Penatalaksanaan tergantung pada beratnya kecacatan Prioritas pertama adalah pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat Mencegah komplikasi Fasilitas pertumbuhan dan perkembangan Pembedahan; pada labio sebelum kecacatan palatum; perbaikan dengan pembedahan usia 2-3 hari atau sampai usia beberapa minggu prosthesis intraoral atau ekstraoral untuk mencegah kolaps maxilaris, merangsang pertumbuhan tulang, dan membantu dalam perkembangan bicara dan makan, dapat dilakukan sebelum pembedahan perbaikan. Pembedahan pada palatum dilakukan pada waktu 6 bulan dan 5 tahun, ada juga antara 6 bulan dan 2 tahun; tergantung pada derajat kecacatan. Awal fasilitas penutupan adalah untuk perkembangan bicara.

Asuhan Keperawatan Anak dengan Masalah Labiopalatoskisis Pengkajian Keperawatan Pada pengkajian didapatkan terjadi kesukaran dalam menghisap, menelan, makan, terjadi penurunan bernapas, mudah tersedak, distres pernapasan, dan dispnea. Pada pengkajian faktor penyebab kemungkinan adalah faktor kromosom,mutasi gen, atau adanya teratogen (faktor yang menimbulkan kecatatan pada masa otot), faktor herediter, serta danya virus saat kehamilan trimester pertama. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distorsi hidung, adanya celah pada bibir apabila terjadi bibir sumbing (labiosisis), adanya rongga pada hidung, celah atau terbukanya langit- langit, adanya celah pada uvula apabila terjadi sumbing palatum (palatosisis). Diagnosa Keperawatan 1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh atau tidak efektif dalam meneteki ASI berhubungan dengan ketidakmampuan menelan/kesukaran dalam makan sekunder dari kecacatan dan pembedahan 2. Resiko aspirasi berhubungan dengan ketidakmampuan mengeluarkan sekresi sekunder dari palatoskisis 3. Resiko infeksi berhubungan dengan kecacatan (sebelum operasi) dan atau insisi pembedahan 4. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan teknik pemberian makan dan perawatan di rumah 5. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan 6. Tidak efektif bersihan jalan napas berhubungan dengan efek anastesi , edema setelah pembedahan, sekresi yang meningkat 7. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan 8. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan tampak kecacatan pada anak Intervensi dan Implementasi 1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh atau tidak efektif dalam meneteki ASI berhubungan dengan ketidakmampuan menelan/kesukaran dalam makan sekunder dari kecacatan dan pembedahan

Intervensi Pada diagnosis kekurangan nutrisi (kurang dari kebutuhan) dapat disebabkan karena ketidakmampuan menelan atau terjadi kesukaran dalam makan oleh karena kecacatan pada daerah palatum, maka rencana yang dapat dilakukan adalah dengan mempertahankan asupan nutrisi agar kebutuhan terpenuhi. Implementasi Monitor atau mengobservasi kemampuan menelan dan menghisap Gunakan dot/botol dengan lubang di pinggir dan letakkan lubang dot tersebut di atas lidah atau pada bayi letakkan dot di samping biibir mulut dan usahakan lidah mendorong ke dalam,kemudian dot sering dikeluarkan untuk memberikan kesempatan istirahat Jangan diangkat dot selama bayi menghisap Sendawakan dengan sering selamapemberian makan Kolaborasi dengan rencana pembedahan : 2. Resiko aspirasi berhubungan dengan ketidakmampuan mengeluarkan sekresi sekunder dari palatoskisis Intervensi Masalah resiko aspirasi pada kelainan sumbing pada bibir dan palatum ini dapat disebabkan oleh karena ketidakmampuan mengeluarkan sekresi secara spontan karena sumbing palatum dan bibir sehingga terjadi ketidakmampuan dalam menghisap, maka rencana yang dapat dilakukan adalah mencegah agar tidak terjadi aspirasi dengan mempertahankan kepatenan jalan napas dan saluran cerna. Implementasi Atur posisi kepala dengan mengangkat kepala waktu minum atau makan dan gunakan dot yang panjang Gunakan palatum buatan (kalau perlu) Lakukan penepukan punggung setelah pemberian makan Monitor status pernapasan selama pemberian makan seperti frekuensi napas, irama, serta tanda- tanda adanya aspirasi

3. Resiko infeksi berhubungan dengan kecacatan (sebelum operasi) dan atau insisi pembedahan Intervensi Resiko infeksi dapat terjadi setelah pembedahan yang dapat disebabkan oleh karena adanya insisi luka akibat proses pembedahan,maka rencana yang dapat dilakukan adalah mempertahankan kesterilan dariluka akibat insisi dengan mencegah terjadinya infeksi. Implementasi Atur posisi miring ke kanan serta kepala agak ditinggikan pada saat makan Lakukan monitor tanda adanya infeksi seperti bau, keadaan luka, keutuhan jahitan Lakukan monitor adanya pendarahan dan edema Lakukan perawatan luka pasca-operasi dengan aseptik Hindari gosok gigi kurang lebih 1-2 minggu 4. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan teknik pemberian makan dan perawatan di rumah Intervensi Orang tua dapat memahami dan dapat mendemonstrasikan dengan metode pemberian makan pada anak, pengobatan setelah pembedahan dan harapan perawatan sebelum dan sesudah operasi Implementasi Tingkatkan partisipasi keluarga dalam perawatan Jelaskan dan demonstrasikan kepada keluarga cara perawatan, pemberian makan dengan alat, mencegah infeksi, cara pengaturan posisi pada saat pemberian makan/minum, dan cara membersihkan mulut setelah makan 5. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan Intervensi Rasa nyaman anak dapat dipertahankan yang ditandai dengan anak tidak menangis, tidak labil, dan tidak gelisah

Implementasi Kaji pola istirahat dan kegelisahan pada anak Tenangkan anak Berikan aktivitas bermain yang sesuai dengan usia dan kondisinya Support emosional bayi/ anak; sentuhan Berikan analgetik sesuai program 6. Tidak efektif bersihan jalan napas berhubungan dengan efek anastesi , edema setelah pembedahan, sekresi yang meningkat Intervensi Pada anak tidak ditemukan komplikasi sistem pernapasan yang ditandai dengan jalan napas bersih dan perbapasan teratur dan bunyi paru vesikuler Implementasi Kaji status pernapasan; bunyi napas, sianosis, retraksi dada, cuping hidung, abnormal bunyi napas setiap 4 jam Ubah posisi sesuai kebutuhan atau 2 jam sekali setelah pembedahan untuk memudahkan drainage Posisi yang tepat selama makan; tegak atau setengah duduk Lakukan isap lendir bila perlu Bersihkan mulut setelah makan/ minum 7. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan Intervensi Masalah gangguan integritas kulit ini adalah masalah yang umum terjadi pada pasca pembedahan yang dapat disebabkan oleh karena insisi akibat pembedahan, maka rencana yang dapat dilakukan adalah mempertahankan keutuhan kulit agar gangguan integritas kulit dapat teratasi.

Implementasi Monitor adanya keutuhan kulit,perdarahan Bersihkan daerah insisi dengan menggunakan normal saline dan bersihkan sisa makanan disekitar mulut Hindari menangis dengan keras kaena dapat meregangkan kulit Lakukan pergerakan aktif atau pasif untukmemperbaiki sirkulasi Lakukan pembilasan mulut dengan air bersih sebelum dan sesudah pemberian makan Pertahankan alat pelindung bibir Lakukan perawatan luka pasca pembedahan secara aseptik Bersihkan daerah garis sutura dan oleskan salep antibiotika 8. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan tampak kecacatan pada anak Intervensi Orang tua sering melakukan bonding dengan anak yang ditandai dengan keinginan untuk merawat anak dan mampu mengidentifikasi aspek positif pada anak Implementasi 1. Kaji pemahaman orang tua tentang kecacatan dan keperluan setelah pembedahan 2. Jelaskan tentang prosedur operasi; lamanya, harapan yang diinginkan setelah pembedahan 3. Demonstrasikan pada orang tua cara pemberian makan pada bayi/ anak 4. Ajarkan melakukan bonding pada anak

Perencanaan pemulangan 1. Ajarkan dalam pemberian makan/ minum pada anak dengan menggunakan alat dot yang ssesuai dan cara merangsang untuk minum 2. Ajarkan pada orang tua untuk mencegah infeksi 3. Ajarkan cara mencegah aspirasi saat pemberian formula 4. Ajarkan bagaimana melakukan resusitasi jantung paru bila ada bahaya terutama palatoskisis yang resiko aspirasi atau distress pernapasan 5. Ajarkan untuk melakukan rangsangan bicara pada tahap awal bila perlu rujuk ke terapi bicara 6. Ajarkan cara merawat gigi dan mulut

INVAGINASIA. Pengertian Intususepsi adalah invaginasi atau masuknya bagian usus ke dalam perbatasan atau bagian yang lebih distal dari usus (umumnya invaginasi ileum masuk ke dalam kolon desendens). (Nettina, 2002) Suatu intususepsi terjadi bila sebagian saluran cerna terdorong sedemikian rupa sehingga sebagian darinya akan menutupi sebagian lainnya hingga seluruhnya mengecil atau memendek ke dalam suatu segmen yang terletak di sebelah kaudal. (Nelson, 1999).

B. Review anatomi Fisiologi 1. Usus buntu Merupakan suatu tonjolan kecil berbentuk seperti tabung, yang terletak di kolon asendens, pada perbatasan kolon asendens dengan usus halus. 2. Usus besar Menghasilkan lendir dan berfungsi menyerap air dan elektrolit dari tinja. Ketika mencapai usus besar, isi usus berbentuk cairan, tetapi ketika mencapai rektum bentuknya menjadi padat. usus besar terdiri dari: a) kolon asendens (kanan) b) kolon transversum c) kolon desendens (kiri) d) kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum ). 3. Rektum Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar.

C. Etiologi Penyebab intusepsi ini belum diketahui pasti. Namun diduga adanya infeksi virus pernafasan atas, perisaltik yang meningkat, polip pada intestinum, trauma tumpul pada abdominal. Kebanyakan intususepsi adalah ileokolik dan ileoileokolik, sedikit sekokolik dan jarang hanya ileal. Secara jarang, suatu intususepsi apendiks membentuk puncak dari lesi tersebut. Bagian atas usus, intususeptum, berinvaginasi ke dalam usus di bawahnya, intususipiens sambil menarik mesentrium bersamanya ke dalam ansa usus pembungkusnya. Pada mulanya terdapat suatu konstriksi mesentrium sehingga menghalangi aliran darah balik. Penyumbatan intususeptium terjadi akibat edema dan perdarahan mukosa yang menghasilkan tinja berdarah, kadang-kadang mengandung lendir. Puncak dari intususepsi dapat terbentang hingga kolon tranversum desendens dan sigmoid bahkan ke anus pada kasus-kasus yang terlantar. Setelah suatu intususepsi idiopatis dilepaskan, maka bagian usus yang memebentuk puncaknya tampak edema dan menebal, sering disertai suatu lekukan pada permukaan serosa yang menggambarkan asal dari kerusakan tersebut. Kebanyakan intususepsi tidak menimbulkan strangulasi usus dalam 24 jam pertama, tetapi selanjutnya dapat mengakibatkan gangren usus dan syok

D. Manifestasi klinik : Keadaan umum bayi baik Nyeri perut hebat secara tiba-tiba Muntah Keluarnya darah beserta lendir per rectum Palpasi abdomen menunjukkan adanya massa yang berbentuk menyerupai pisang (silindris).

E. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah : leukosit meningkat, crp meningkat 2. AXR : mencari usus kecil yang dilatasi dan tidak ada gas pada daerah caecum 3. Enema barium/udara/kontras larut air : diagnostic dan kuratif pada 75% anak, memperlihatkan gangguan pengisian atau pembentukan cekungan pada ujung barium ketika bergerak maju dan dihalangi oleh intususepsis tersebut. 4. Foto rontgen abdomen : menunjukkan adanya kepadatan seperti suatu massa di tempat terjadinya intususepsis. 5. Plat datar dari abdomen menunjukkan pola yang bertingkat (invaginasi nampak seperti anak tangga).

F. Komplikasi 1. Peritonitis 2. Intususepsi lama dapat menyebabkan syok 3. Perforasi usus 4. Kerusakan / kematian jaringan 5. Infeksi rongga perut, hingga menyebabkan kematian

G. Penatalaksanaan 1. Penurunan dari intususepsi dapat dilakukan dengan suntikan salin, udara atau barium ke dalam kolon. Metode ini tidak sering dikerjakan selama terdapat suatu resiko perforasi, walaupun demikian kecil, dan tidak terdapat jaminan dari penurunan yang berhasil. 2. Reduksi bedah: a. Perawatan prabedah: Rutin Tuba naso gastric Koreksi dehidrasi (jika ada) b. Reduksi intususepsi dengan penglihatan langsung, menjaga usus hangat dengan salin hangat. Ini juga membantu penurunan edema. c. Plasma intravena harus dapat diperoleh pada kasus kolaps. d. Jika intususepsi tidak dapat direduksi, maka diperlukan reseksi dan anastomosis primer. 3. Penatalaksanaan pasca bedah: a. Rutin b. Perawatan inkubator untuk bayi yang kecil c. Pemberian oksigen d. Dilanjutkannya cairan intravena e. Antibiotika

f.

Jika dilanjutkannya suatu ileostomi, drainase penyedotan dikenakan pada tuba ileostomi hingga kelanjutan dari lambung dipulihkan.

g. Observasi fungsi vital

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian 1. Pengkajian fisik secara umum 2. Riwayat kesehatan 3. Observasi pola feses dan tingkah laku sebelum dan sesudah operasi 4. Observasi tingkah laku anak/bayi 5. Observasi manifestasi terjadi intususepsi: Nyeri abdomen paroksismal Anak menjerit dan melipat lutut ke arah dada Anak kelihatan normal dan nyaman selama interval diantara episode nyeri Muntah Letargi Feses seperti jelly kismis mengandung darah dan mucus, tes hemocculi positif. Feses tidak ada meningkat Distensi abdomen dan nyeri tekan Massa terpalpasi yang seperti sosis di abdomen Anus yang terlihat tidak biasa, dapat tampak seperti prolaps rectal. Dehidrasi dan demam sampai kenaikan 41Oc Keadaan seperti syok dengan nadi cepat, pucat dan keringat banyak

6. Observasi manifestasi intususepsi yang kronis Diare Anoreksia

Kehilangan berat badan Kadang kadang muntah Nyeri yang periodic Nyeri tanpa gejala lain Kaji dengan prosedur diagnostik dan tes seperti pemeriksaan foto polos abdomen, barium enema dan ultrasonogram

B. Diagnosa keperawatan 1. Nyeri berhubungan dengan invaginasi usus. 2. Syok hipolemik berhubungan dengan muntah, perdarahan dan akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen. 3. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan. C. Perencanaan 1. Nyeri berhubungan dengan invaginasi usus. a. Tujuan: Berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi yang dirasakan anak. b. Kriteria hasil: Anak menunjukkan tanda tanda tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan yang minimum. c. Intervensi Kaji tingkat nyeri

R/ Untuk mengetahui seberapa berat rasa nyeri yang dirasakan dan mengetahui pemberian terapi sesuai indikasi. Berikan posisi senyaman mungkin

R/ Untuk mengurangi rasa nyeri dan memberikan kenyamanan. Berikan lingkungan yang nyaman

R/ Untuk mendukung tindakan yang telah diberikan guna mengurangi rasa nyeri. Kolaborasi dalam pemberian terapi analgetik sesuai indikasi ( Profenid 3x1 supp ) / analgesic R/ Untuk mengurangi rasa nyeri 2. Syok hipovolemik b.d muntah, perdarahan dan akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen a. Tujuan: Volume sirkulasi (keseimbangan cairan dan elektrolit) dapat dipertahankan. b. Kriteria hasil: Tanda tanda syok hipovolemik tidak terjadi. c. Intervensi Monitor keadaan umum

R/ Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya. Observasi tanda-tanda vital

R/ Merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien. Menyarankan agar klien minum banyak

R/ Untuk menggantikan cairan yang keluar Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena

R/.Untuk memenuhi keseimbangan cairan.

3. Post operasi : Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan. a. Tujuan : Berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi pada anak. b. Kriteria hasil :

Anak menunjukkan tanda-tanda tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan yang minimum. c. Intervensi Hindarkan palpasi area operasi jika tidak diperlukan. Dorong klien untuk buang air untuk mencegah distensi vesika urinaria. Berikan posisi yang nyaman pada anak jika tidak ada kontraindikasi. Kolaborasi : berikan analgesic.

d. Evaluasi Nyeri pada abdomen dapat berkurang. Syok hipovolemik dapat teratasi dengan segera melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit. Obstruksi usus dapat teratasi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.

OMPHALECELE A. PENGERTIAN

Omphalokel (omfalokel) adalah adanya protrusi (keadaan menonjol kedepan) pada waktu lahir dibagian usus yang melalui suatu defek besar pada dinding abdomen di umbilikus dan usus yang menonjol hanya ditutupi oleh membrane tipis transparan yang terdiri dari amnion dan peritoneum (W. A. Newman Dorland, 2002).

Omfalokel adalah penonjolan dari usus atau isi perut lainnya melalui akar pusar yang hanya dilapisi oleh peritoneum (selaput perut) dan tidak dilapisi oleh kulit (copyright www.medicastore.com, 2004).

Omfalokel yaitu hernia umbilikalis inkomplet terdapat waktu, lahir ditutup oleh peritonium, selai Warton dan selaput amnion (Cermin Dunia Kesehatan. http://www. Medicastore.com, 1997).

Omphalocel adalah protrusi visera intra abdominal ke dasar korda umbilical kantong tertutup peritoneum tanpa kulit (Donna L. Wong, 2004)

B. Etiologi Penyebabnya tidak diketahui. Pada 25 - 40% bayi yang menderita omfalokel, kelainan ini disertai oleh kelainan bawaan lainnya, seperti kelainan masalah genetic atau abnormalitas kromosom. Factor kehamilan seperti penyakit maternal dan infeksi, penggunaan obat (antibiotic oxytetracycline), merokok, factor tersebut dikonstribusikan dengan insufisiensi plasenta dan kelahiaran dengan usia kehamilan rendah (small gestation age) atau bayi premature. Selain itu bisa juga karena hypoxia (penurunan suplai oksigen ke jaringan) dan kandungan lemah.(Copy right@ www.medicastore.com, 2004). Bentuk kerusakan dinding abdomen pada bayi mengakibatkan terganggunya pada pembentukan organ selama periode embrio. Berikut ini beberapa teori pada etiologi omphalocel : 1.Keadaan sederhana yang mengikuti bentuk tubuh secara terus menerus. 2.Kegagalan isi perut untuk kembali ke abdomen. 3.Kegagalan lipatan tubuh bagian lateral yang sempurna untuk berpindah dan dinding tubuh yang menutup. 4.Ketidakmampuan usus untuk bermigrasi secara normal. (http://patient.update.com/lisense.asp, 2006)

C. Manifestasi klinis Omphalocel dapat dilihat dengan jelas, karena isi abdomen menonjol atau keluar melewati area perut yang tertekan. Berikut ini perbedaan ukuran omphalokel, yaitu : Omphalocel kecil hanya usus yang keluar atau menonjol, sedangkan omphalocel besar : usus, hati atau limpa yang mungkin bisa keluar dari tubuh yang sehat. (Townsend CM, 2004 & Ledbetter DJ, 2006, in http://www.google.com)

Omphalocel memperlihatkan sedikit pembesaran pada dasar tali pusat atau kantong membrane yang menonjol pada umbilicus. Kantong tersebut berukuran dari kecil sampai berukuran raksasa dan mengenai hati, limfe dan tonjolan besar pada bowel (isi perut). Tali pusat biasanya diimsersi ke dalam kantong jika kantong rupture pada

uteru, maka usus akan terlihat gelap dan edematous. Jika tidak ditutup maka selama pelepasan, usus menunjukkan normal yang esensial. Kira kira 1 dari 3 bayi dengan omphalocel diasosiasikan sebagai congenital anomaly atau abnormal. (Jackson, D.B.& Sounders, 1993). D. Patofisiologi Disebabkan oleh kegagalan alat dalam untuk kembali ke rongga abdomen pada waktu janin berumur 10 minggu sehingga menyebabkan timbulnaya omfalokel atau omphalocel. Kelaianan ini dapat segera dilihat yaitu berupa protrusi dari kantong yang berisi usus dan visera abdomen melalui defek dinding abdomen pada umbilicus. Angka kematian tinggi apabila omfalokel besar karena kantong pecah dan terjadi infeksi. (DR. Iskandar Wahidiyat (FKUI), 1985). Suatu portusi pada dinding abdomen sampai dasar tali pusat. Selama 6 10 minggu kehamilan. Protrusi tersebut tumbuh dan keluar dari dalam abdomen, pada tali pusat karena abdomen berisi terlalu sedikit sekitar 10 11 minggu, normalnya usus akan berpindah kemabali ke dalam abdomen. Ketidakmampuan usus untuk bermigrasi secara normal akan menyebabkan Omphalocele. Omphalocele biasanya ditutupi oleh membrane yang dilindungi oleh visera. Bayi dengan omphalocele mempunyai insiden yang tinggi terhadap obnormalitas yang lain, seperti imperforasi, agenesis colon dan defek diafragma atau jantung (Jackson, D.B.& Sounders, 1993).

E. Penatalaksanaan Medis Agar tidak terjadi cedera pada usus dan infeksi perut, segera dilakukan pembedahan untuk menutup omfalokel. Sebelum dilakukan operasi, bila kantong belum pecah harus diberi merkurokrom dan diharapakan akan terjadi penebalan selaput yang menutupi kantong tersebut, sehingga operasi dapat ditunda sampai beberapa bulan. Sebaiknya operasi dilakukan segera sesudah lahir, tetapi harus diingat bahwa dengan memasukkan semua isi usus dan alat visera sekaligus kerongga abdomen akan menimbulkan tekanan yang mendadak pada paru, sehingga timbul gangguan pernafasan (DR. Iskandar Wahidiyat (FKUI), 1985). Menurut Ngastiah, 1997 penatalaksanaan pada penderita omphalocel anatara lain : a. Medik Operasi dilakukan setelah lahir, akan tetapi mengingat dengan memasukkan semua usus dan alat visera sekaligus ke dalam rongga abdomen akan terjadi tekanan yang mendadak pada paru, sehingga dapat menimbulkan gangguan

pernafasan, maka operasi biasanya dilakukan penundaan sampai beberapa bulan

b. Keperawatan Masalah keperawatan yang dapat terjadi adalah resiko infeksi, sebelum dilakukan operasi bila kantong belum pecah dapat dioleskan merkurokrom setiap hari untuk mencegah infeksi. Operasi ditunda sampai beberapa bulan atau menunggu terjadinya penebalan selaput yang menutupi kantong tersebut. Setelah diolesi merkurokrom dapat ditutupi dengan kasa steril kemudian diatasnya ditutupi lagi dengan kapas agak tebal baru dapat dipasangkan gurita. Pada Ompohalocel diperbaiki dengan pembedahan, meskipun tidak selalu. Sebuah kantong melindungi isi abdomen dan waktu yang tepat untuk masalah berat yang lain (seperti gangguan hati) harus diberi lebih dulu, jika diperlukan. Untuk memfiksasi omphalocel, kantung tersebut dibalut dengan benda buatan psesial , dimana kemudian dijahit ditempat tersebut. Secara perlahan, lama lama isi abdomen (Usus yang keluar) ditekan ke dalam abdomen. Ketika omphalocel telah nyaman dalam rongga abdomen, maka benda buatan tersebut dikeluarkan dan abdomen kemudian ditutup. (Townsend CM, 2004 & Ledbetter DJ, 2006, in http://www.google.com)

Menurut Sjamsuhidajat, tindakan pada penderita omphalocel : Besarnya kantong, luasnya cacat dinding perut dan ada tidaknya hati di dalam kantong akan menentukan cara pengelolaan. Bila kantong omphalocel kecil dapat dilakukan operasi satu tahap. Dinding kantong di buang, isi kantong dimasukkan ke dalam rongga perut, kemudia lubang ditutup dengan peritoneum, fasia dan kulit. Tetapi biasanya omphalocel terlalu besar dan rongga perut terlalu besar, sehingga isi kantong tidak dapat dimasukkan ke dalam perut. Jia dipaksakan maka karena regangan pada dinding perut, diafragma akan terdorong ke atas sehingga akan terjadi gangguan pernafasan. Obstruksi vena cava inferior dapat juga terjadi karena tekanan tersebut. Tindakan yang dapat dilakukan ialah melindungi kantong omphalocel dengan cairan antiseptic, musalnya betadin dan menutupnya dengan kain kasa atau dakron agar tidak tercemar. Pemberian obat analgesic :

1. untuk memberikan analgesik yang telah ditentukan sebelum prosedur a) Oral : efek obat terjadi setelah 11/2 2 jam untuk hapir semua obat analgesik. b.Intravena : efek paling cepat setelah 5 menit. 2.Kuatkan efek dari analgesik dengan memberitahukan bahwa anak akan merasa lebih baik. 3.Berikan obat mulai dengan dosis yang dianjurkan sesuai dengan BB, contoh obat : a) Obat - obat anti inflamasi nonsteroid : asetaminofen dengan 10 20 mg/kg per dosis setiap 4 -6 jam, tidak boleh lebih dari 5 dosis dalam 24 jam. b) Opioid pilihan untuk nyeri sedang sampai berat (dosis awal anak dengan BB < 50kg) contohnya : Morfin : oral 0,20,4 mg/kg tiap 3 4 jam. Parenteral 0,1 0,2 mg/kg. IM 3 4 jam 0,02 0,1 mg/kg dan IV bolus 2 jam. Fentanil : oral 5 15 mg/kg. Parenteral 0,5 2,5 mg/kg dan IV bolus setiap 0,5 jam. Kodein: oral 1 mg/kg tiap 34 jam. Parenteral tidak dianjurkan.

F. Komplikasi Komplikasi yang terjadi pada penderita Omphalocel, yaitu : a. Infeksi usus b. Kematian jaringan usus yang bisa berhubungan dengan kekeringan atau trauma oleh karena usus yang tidak dilindungi. (Townsend CM, 2004 & Ledbetter DJ, 2006, in http://www.google.com) c. Pada omphalocel mempunyai resiko sebagai berikut : 1.Pemberian anestesi : a) Bereaksi dengan pengobatan atau obat anestesi b) Masalah pernafasan atau gangguan pola nafas, karena dapat menyebabkan menurunnya kerja organ pernafasan. c) Perdarahan d) Resiko infeksi terhadap luka atau kurangnya perawatan (strerilisasi) e) Luka pada organ

f) Kesulitan bernafas (mungkin terjadi akibat pertambahan tekanan pada abdomen, ketika omphalocel ditutup). g) Peritonitis (radang pada selaput lambung) h) Kelumpuhan sementara pada usus halus (http://www.google.com).

G. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian 1.Pengkajian Pre-Operatif a) Kelainan embrional b) Pembesaran tali pusat c) Pemeriksaan abdomen Pritusi visera intra abdominal ke dasar korada umbilical Ukuran defek abdomen sekitar 4 12 cm Lokasi defek, epigastrik atau hypogastrik. Penutupannya hanya lapisan amnion dan peritoneum (membrane tipis transparan) Omphalocel kecil hanya usus saja yang menonjol Omphalocel besar terjadi distorsia dan injuri pola hati d) System pernafasan Bunyi nafas (mengi, mur - mur) Frekuensi pernafasan e) Riwayat kesehatan dan kebiasaan ibu seperti merokok, minium alcohol dan penggunaan obat. f) Observasi perilaku anak Menangis keras Gelisah g) Imaging studies Fetal sonography untuk mendeteksi genetic abnormal Fetal echocardiogram untuk mendeteksi jantung yang abnormal Amniosintesis untuk menegakkan penemuan positif terhadap genetic yang abnormal.

2.Pengkajian Post-Operatif a) Kaji integritas kulit : tekstur, warna dan suhu kulit b) Amati tanda tanda terjadinya infeksi c) Amati apakah ada kebocoran pada area amniosintesis d) Amati pola eliminasi e) Amati pola nafas f) Kaji status nutrisi anak : BB dan TB g) Kaji adanya nyeri

b. Diagnosa Keperawatan 1.Diagnosa keperawatan Pre-operatif a) Gangguan rasa nyaman terhadap nyeri berhubungan dengan penekanan pada susunan saraf perifer. b) Resiko infeksi berhubungan dengan inavasi bakteri c) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan defek dinding abdomen.

2.Diagnosa keperawatan Post-operatif a) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka insisi abdomen. b) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah c) Gangguan rasa nyaman terhadap nyeri berhubungan dengan luka insisi pembedahan. d) Resti gangguan pola nafas berhubungan dengan tekanan yang mendadak pada paru paru. e) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru. f) Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan absorbsi nutrisi yang diperlukan tubuh. g) Koping individu tidak efektif : cemas berhubungan dengan proses hospitalisasi dan pembedahan serta perpisahan

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A.

KESIMPULAN Penyakit hirschprung atau megacolon kongenital, adalah tidak adanya sel-sel ganglion dalam rektum atau rektosegmoid kolon. Ketiakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristalsis serta tidak adanya evakuasi usus spontan.selain itu,sfingter rectum tidak dapat berelaksasi,mencegah keluarnya feses seccara normal.isi usus terdorong ke dalam segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut,menyebabkan dilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu. Labiopalatoskisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut, palatosisis (sumbing palatum), labiosisis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya jaringan lunak (struktur tulang) untuk menyatu selama perkembangan embrio. Intususepsi adalah invaginasi atau masuknya bagian usus ke dalam perbatasan atau bagian yang lebih distal dari usus (umumnya invaginasi ileum masuk ke dalam kolon desendens). (Nettina, 2002) Suatu intususepsi terjadi bila sebagian saluran cerna terdorong sedemikian rupa sehingga sebagian darinya akan menutupi sebagian lainnya hingga seluruhnya mengecil atau memendek ke dalam suatu segmen yang terletak di sebelah kaudal. (Nelson, 1999).

Omphalokel (omfalokel) adalah adanya protrusi (keadaan menonjol kedepan) pada waktu lahir dibagian usus yang melalui suatu defek besar pada dinding abdomen di umbilikus dan usus yang menonjol hanya ditutupi oleh membrane tipis transparan yang terdiri dari amnion dan peritoneum (W. A. Newman Dorland, 2002).

B.

SARAN Bagi perawat yang akan memberikan asuhan keperawatan kepada anak yang mengalami gangguan peencernaan diharapkan untuk memperhatikan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak guna keberhasilan asuhan yang akan diberikan.

DAFTAR PUSTAKAWong, Donna L, Marilyn Hockenberry. 2001. Wongs Essentials of Pediatric Nursing.America :Mosby Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman praktik keperawatan. Jakarta : Alih Bahasa Brooker, C. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta : EGC