BAB Ia

38
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Pendahuluan Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila oxygen delivery ke mitokondria sel diseluruh tubuh manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan oksigen yangtidak cukup ini, metabolisme energi sel terbatas, selanjutnya dapat timbul kerusakan irreversible pada organ vital. Pada tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis terganggu akibat kurangnya oksigen pada saat syok. Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat syok tiap tahun, meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara. Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan. Syok bersifat progresif dan teru memburuk jika tidak segera ditangani. Syok mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penangannya memerlukan pemahaman tentang patofisiologi syok. 1

description

n

Transcript of BAB Ia

BAB IPENDAHULUAN

1. 1. PendahuluanSyok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila oxygen delivery ke mitokondria sel diseluruh tubuh manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan oksigen yangtidak cukup ini, metabolisme energi sel terbatas, selanjutnya dapat timbul kerusakan irreversible pada organ vital. Pada tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis terganggu akibat kurangnya oksigen pada saat syok.Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat syok tiap tahun, meskipunpenyebabnya berbeda tiap-tiap negara. Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan. Syok bersifat progresif dan teru memburuk jika tidak segera ditangani. Syok mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penangannya memerlukan pemahaman tentang patofisiologi syok.

BAB IIPEMBAHASAN

2. 1. DefinisiSyok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan dimana fungsi ventrikel kiri yang cukup baik.Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk tekanan darah sistolik yang sering dipakai adalah 3 mm) padamultiple leads. Foto rontgen thoraxPada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda kongetsi paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau keadaan hipovolemia. Ekokardiografi Modalitas pemeriksaan yang non-invasik ini sangat banyak membantu dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini relatif cepat dan aman. Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh dari pemeriksaan ini antara lain : penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental), fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitas), tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt (misalnya pada defek septal ventrikel dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi perikardial atau tamponade. Pemantauan hemodinamik Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan arteri pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru sangat berguna, khususnya untuk memastikan diagnosis dan etiologi dari syok kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi yang diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat, akan terjadi peningkatan baji paru. Bila pada pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh darah paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard akut menunjukkan bahwa volume intravaskular pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau hipovelemia yang signifikan, akan menunjukkan tekanan baji pembbuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan afterload (resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi afterload sangat diperlukan, karena bila terjadi peningkatan afterload akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang akan menghasilkan penurunan curah jantung.

2.5. FarmakologiPenanganan syok kardiogenik merupakan contoh yang baik mengenai keadaan aliran darah yang rendah yang membutuhkan berbagai intervensi otonomik yang juga digunakan pada bentuk lain dari sindrom output rendah. Reduksi akut dalam kontraktilitas ventrikel kiri (inotropisme) menghasilkan suatu kaskade efek yang semakin memburuk dalam suatu proses siklik. Seseorang dapat menggambarkan kaskade ini dengan diawali salah satu dari lima penentu curah jantung. Penurunan konraktilitas akan menghasilkan penurunan dalam curah jantung, peningkatan tekanan ventrikel kiri pada akhir diastol dan menimbulkan berbagai refleks kompensasi. Mekanisme kompensasi ini salah satunya adalah hukum Frank-Starling dan peningkatan aktivitas simpatis yang memperkuat kontraktilitas dan denyu jantung. Disfungsi kronis akan menimbulkan mekanisme kompensasi yang ketiga, yaitu hipertrofi. Karena obat inotropik yang ideal tidak ada, maka efek samping perifer dari obat inotropik manapun sangat perlu dipertimbangkan dalam menentukan pilihan karena semuanya merupakan agonis multireseptor.Pemberian obat-obat simpatomimetik harus diletakkan dalam perspektif yang tepat dalam penatalaksanaan syok kardiogenik, oleh sebab itu ditekankan peran penting monitoring hemodinamik invasif dan manajemen volume dalam mengkonfirmasi suatu diagnosis kegagalan kardiogenik. Walaupun ekspansi volume dan pengurangan afterload dapat memperbaiki curah jantung, intervensi farmakologis lainnya mungkin masih dibutuhkan untuk mengoptimalisasi curah jantung dan distribusinya. Monitoring invasif merupakan suatu keharusan dalam penggunaan obat vasoaktif yang rasional untuk (1) menentukan perlu atau tidaknya suatu obat simpatomimetik, (2) memilih obat sesuai dengan kondisi hemodinamik, (3) mengikuti perubahan-perubahan hemodinamik yang timbul karena sebagian besar efek katekolamin yang menguntungkan dapat tersembunyi dan (4) untuk menghindari komplikasi terapi presor yang dapat terlihat oleh semua. Pemilihan obat untuk keadaan output rendah masih membingungkan.

Bolus Infusion Rate iv

Dobutamine No 2 20 /kg/min ( + )

Dopamine No < 3 /kg/min: renal ( + ) 3 5 /kg/min: inotropic ( + )>5 /kg/min: ( + ) vasopressor ( + )

Milrinone 25 75 /kg over 10 20 min0,375 0,75 /kg/min

Enoximone 0,25 -0,75 mg/kg 1,25 7,5 /kg/min

Levosimendan 12 - 24 /kg over 10 min0,1 /kg/min ( 0,05 0,2 /kg/min )

Nor Epinephrine No Bolus 0,2 1 /kg/min

Epinephrine 1 mg can be given iv for resuscitation, may be repeated after 3 5 min 0,05 0,5 /kg/min

Dobutamin merupakan katekolamin sintetik yang ditinjau secara primer sebagai agen inotropik. Dobutamin secara dominan adalah suatu agonis b1 dengan alfa yang lemah dan efek b2. Aktivitas selektivitas b1 dobutamin secara primer meningkatkan efek inotropik karena peningkatan volume sekuncup (stroke volume) dan denyutan jantung dengan efek yang bervariasi pada pembuluh darah. Efek akhir respon stimulus dobutamin adalah peningkatan CO dan penurunan SVR yang menghasilkan reduksi global tekanan dinding ventikel, tekanan stress simpatik, dan konsumsi oksigen miokardial. Dopamin adalah bentuk stabil dan digunakan dalam campuran pengobatan emergensi; dan sering tersedia dalam agen vasoaktif. Dopamin juga mempunyai kegunaan klinis dalam mengobati neurogenik dan keadaan lainnya dimana stimulasi denyutan jantung, kontraktilitas dan kemampuan dalam memodulasi resistensi vaskular. Amrinone dan milrinone adalah inhibitor 3 fosfodiasterase yang menyebabkan akumulasi cAMP intraseluler, mangakibatkan rantai yang sama dalam vaskular dan jaringan jantung yang dapat dilihat dengan stimulasi b-adrenergik. Hasil akhir aktivitas ini menghasilkan vasodilatasi dan respon inotropik positif. Obat ini menyebabkan perbaikan jangka pendek dalam tampilan hemodinamik dan memperbaiki variabel hemodinamik. Sama seperti dobutamin, amrinone dan milrinone digunlkan dalam memperbaiki fungsi jantung dan mnengobati kegagalan jantung refrakter. Agen ini terbatas kegunaannya dalam status syok karena sifat vasodilator. Walaupun obat ini telah menunjukkan perbaikan hemodinamik klinis jangka pendek, penelitian secara luas gagal menerjemahkan obat ini dalam manfaat mortalitas jangka panjang. Levosimendan adalah sensitizer kalsium. Levosimendan meningkatkan kontraksi dengan peningkatan sensitivitas troponin C hingga kalsium. Kemampuan bertahan hidup pasien dengan gagal jantung akut dalam percobaan kebutuhan bantuan inotropik intravena, akan tetapi, kegagalan dalam mendemonstrasikan perbedaan dalam bertahan hidup antara dobutamin dan levosimendan. Selain itu, walaupun levosimendan tersedia di negara lain, obat ini hanya tersedia dalam obat pemeriksaaan (investigational drug) di Amerika Serikat. Epinefrin adalah hormon katekolamin yang bersirkulasi yang disintesis dari norepinephrine terutama di medula adrenal. Hormon Ini memiliki berbagai sifat alfa dan beta agonistik dengan sejumlah efek yang pada akhirnya membatasi kemudahan penggunaan klinisnya. Keterbatasan utama epinefrin adalah yang potensinya memprovokasi terjadinya disritmia, potensi terjadinya miokard iskemia, dan vasokonstriksi splanknikus yang lebih mendalam daripada agen lain yang mana dapat menyebabkan iskemia organ perut. Di instalasi gawat darurat, epinefrin paling bermanfaat sebagai agen primer untuk pengobatan anafilaksis dan sebagai agen sekunder untuk pengobatan sepsis dan bronkospasme berat. Pada dosis 2 sampai 10 mg / menit, rangsangan reseptor beta epinefrin mendominasi. Rangsangan 1 epinefrin menyebabkan peningkatan denyut jantung (kronotropi) dan peningkatan volume tekanan / kekuatan aliran darah (stroke volume) (inotropi) dengan berakibat peningkatan cardiac output dan konsumsi oksigen jantung. Pada dosis ini, epinefrin juga menginduksi sejumlah rangsangan 2 yang mengakibatkan vasodilatasi pada arteriol otot rangka yang mengimbangi sedikit vasokonstriksi (yang diinduksi alpha) nya. Hasil akhir dari aktivitas beta dominan ini berakibat pada meningkatnya cardiac output, SVR menurun, dan beragam efek terhadap MAP. Pada dosis diatas 10 mg / menit, rangsangan reseptora alfa menghasilkan vasokonstriksi umum dan peningkatan MAP yang diperantarai dengan peningkatan SVR. Pada dosis yang beragam (tidak tetap), epinefrin juga merangsang sejumlah respon metabolik penting dan secara langsung merangsang ginjal, yang menghasilkan renin. Melalui aktivasi sistem renin-angiotensin, epinefrin secara tidak langsung menyebabkan vasokonstriksi tambahan. NE dan metaraminol menghasilkan efek hemodinamik yang hampir sama. NE merupakan mediator alami SNS dan merupakan prekursor langsung EPI. NE menghasilkan efek hemodinamik secara langsung pada reseptor dan dengan mekanisme yang dipengaruhi dosis saat diberikan melalui secara infusi. NE meningkatkan curah jantung dan tekanan darah apabila diberikan dalam dosis yang kecil, terutama sebagai akibat kerja predominannya pada tingkat ini. Dosis yang lebih tinggi menurunkan aliran darah karena adanya konstriksi arteri sebagai efek yang timbul sebelum timbulnya efek .2. 6 Penanganan Syok KardiogenikLangkah penatalaksanaan syok kardiogenikLangkah 1. Tindakan resusitasi segeraTujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa untuk terapi definitif. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamin atau noradrenalin (norepinefrin), tergantung pada derajat hipotensi, harus diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis minimal yang dibutuhkan. Dobutamin dapat dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata.Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum transportasi jika fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan saturasi oksigen harus dimonitor dengan memberikan continuous positive airway pressure atau ventilasi mekanis jika ada indikasi. EKG harus dimonitor secara terus menerus, dan peralatan defibrilator, obat antiaritmia amiodaron dan lidokain harus tersedia.Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2 jam. Metode menghancurkan trombus dengan obat dikenal sebagaiterapi fibrinolitik. Trombus intra koroner yang baru terbentuk dapat hancur atau lisis bila diberikanobat yang tepatpadawaktu yang tepat. Di Indonesia obat yang paling umum dipakai adalah Streptokinase. Streptokinase menghancurkan fibrin yang melapisi trombus. Itu sebabnya dinamakan fibrinolitik. Fibrin dan trombus dapat lisis bila baru terbentuk. Bila streptokinase diberikan dalam waktu kurang dari 1 jam sejak onset serangan, angka kematian dapat diturunkan sampai 47%. Hasil optimal dicapai bila streptokinase diberikan kurang dari 3 jam setelah onset serangan jantung. Tetapi masih ada manfaat sampai 12 jam setelah onset serangan jantung. Mortalitas 35 hari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 100 mmHg yang mendapatkan trombolitik pada meta analisis FTT adalah 28,9% dibandingkan 35,1% dengan plasebo. Meningkatkan trombolisis dengan meningkatkan tekanan perfusi koroner. Pada syok kardiogenik karena infark, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan.

Langkah 2. Menentukan secara dini anatomi koronerHal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik yang berasal dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik yang predominan. Hipotensi diatasi segera dengan IABP. Langkah 3. Melakukan revaskularisasi dini Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemilihan modalitas terapi secepatnya. Tidak ada trial acak yang membandingkan PCI dengan CABG emergensi pada left main atau penyakit 3 pembuluh darah besar.

Tahapan-tahapan di dalam penatalaksanaan syok kardiogenik adalah sebagai berikut: 1. Pasien diletakkan dalam posisi berbaring mendatar.2. Pastikan jalan nafas tetap adekuat dan yakinkan ventilasi yang adekuat, bila tidak sadar sebaiknya diakukan intubasi. 3. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi. 4. Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk mempertahankan PaO2 70-120 mmHg. a. PaO2 (tekanan yang ditimbulkan oleh O2 yang terlarut dalam darah) minimal 60 mmHg b. Intubasi jika PaO2 < 60 mmHg pada FIO2 (konsentrasi oksigen inspirasi) maksimal dengan masker muka atau PaCO2 > 55 mmHg (tekanan yang ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut dalam darah) c. Semua pasien harus mendapat suplemen oksigen untuk meyakinkan oksigenasi yang adekuat. 5. Terapi terhadap gangguan elektrolit, terutama Kalium.Pada kondisi hiperkalium dapat diberikan diuretik.Diuretik digunakan untuk mengurangi volume plasma dan edema perifer. Pengurangan cairan ekstrasel dan volume plasma yang berhubungan dengan diuresis awalnya dapat menurunkan cardiac output dan, akibatnya, tekanan darah, dengan peningkatan kompensasi dalam resistensi pembuluh darah perifer. Semua diuretika dengan titik kerja di bagian muka tubuli distal memperbesar ekskresi ion K+dan H+karena ditukarkan dengan ion Na+.6. Koreksi asidosis metabolik dengan Bikarbonas Natrikus sesuai dosis. 7. Pasang Folley catheter, ukur urine output 24 jam. Pertahankan produksi urine > 0,5 ml/kg BB/jam. 8. Lakukan monitor EKG dan rontgen thoraks. 9. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin. 10. Hilangkan agitasi, dapat diberikan Diphenhydramin HCL 50 mg per oral atau intra muskular : 3-4 x/hari. 11. Bila terdapat takiaritmia, harus segera diatasi: a. Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan pemberian digitalis. b. Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 kali/menit harus diatasi dengan pemberian sulfas atropin. 12. Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama dalam penanganan syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang adekuat secara parenteral (koreksi hipovolemia) dengan menggunakan pedoman dasar PCWP atau pulmonary artery end diastolic pressure (PAEDP) atau CVP. Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya, tetapi dianjurkan untuk memakai cairan salin isotonik. Intravenous fluid tolerance test merupakan suatu cara sederhana untuk menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat dalam penanganan syok kardiogenik. Caranya: a. Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 cmH2O), sulit untuk mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih lanjut, volume cairan intravaskuler harus ditingkatkan hingga LVEDP mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume sebanyak 100 ml cairan (D5%) melalui infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respon, berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak ada atau tidak semakin berat, dan bila PCWP atau PAEDP tidak berubah atau tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika CVP tetap atau tidak meningkat > 2-3 cmH2O di atas nilai awal), maka diberikan cairan tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit. b. Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat > 2 mmHg atau tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15 cmH2O), tekanan darah tetap stabil atau meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam sampai tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP atau PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan paru setiap 15 menit. Diharapkan PCWP atau PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg (atau CVP meningkat sampai 15 cmH2O). c. Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara 15-18 mmHg (atau nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP atau PAEDP (atau CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis kongesti paru. d. Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau jika nilai awal CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakukan tes toleransi cairan intravena, dan pengobatan dimulai dengan pemberian vasodilator. e. Jika PCWP atau PAEDP menunjukan nilai yang rendah (< 5 mmHg), atau jika nilai CVP < 5cmH2O, infus cairan dapat diberikan walaupun didapatkan edema paru akut. f. Jika pasien menunjukan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau PAEDP yang rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus cairan menyebabkan peningkatan kongesti paru serta perburukan keadaan klinis, maka infus cairan harus dihentikan dan keadaan pasien dievaluasi kembali.

13. Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume intravaskular yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade jantung sebelum pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor dimulai. Tamponade jantung akibat infark miokard memerlukan tindakan volume expansion untuk mempertahankan preload yang adekuat dan dilakukan perikardiosentesis segera.

14. Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan pasien dapat berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan memerlukan perubahan dalam regimen terapi. a. Subset 1: LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg, dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan adanya gagal jantung kiri dengan tekanan arteri cukup tinggi, sehingga pengurangan afterload dapat dilakukan sebagai terapi pertama. - Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin dan nitroprusid. Pada waktu pemberian nitroprusid harus dilakukan monitor terhadap tekanan darah dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pemberian nitroprusid dimulai dengan dosis 0,4 mg/kg BB/menit (dosis awal jangan lebih dari 10 mg/menit), kemudian dosis ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit sampai tercapai efek hemodinamik yang diinginkan. Bila curah jantung meningkat dan gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan darah menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak mencukupi, maka ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5 mg/kg BB/menit dan ditingkatkan sampai maksimal 15 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka dobutamin diganti dengan dopamin (mikro drip) sesuai dosis efektif 2-10 ug/kg BB/menit atau Isoproterenol drip jika disertai bradikardia. - Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam penanganan syok kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila proses iskemia masih berlangsung dan didapatkan adanya kongesti paru yang berat. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5 mg/menit dan ditingkatkan 5 mg/ menit setiap 10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok dan pump failure, maka nitrogliserin dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah menurun dengan tekanan preload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan ditambahkan dobutamin dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah lebih cepat menurun, maka dobutamin diganti dengan dopamin. - Selama periode ini, pemasangan intra aortic ballon pump (IABP) counterpulsation harus dipertimbangkan, karena hanya dengan tindakan ini aliran darah koroner dapat ditingkatkan, dan secara bersamaan kerja ventrikel kiri dapat dikurangi. - Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru masih tetap, maka pemberian diuretik secara perlahan dapat dipertimbangkan. b. Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan tanda klasik adanya syok akibat hipotensi pada pasien infark miokard akut, dimana tim ballon perlu digerakan dan sarana untuk kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini - Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan pilihan utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan darah sistolik mencapai 80-90 mmHg, kemudian diusahakan untuk mengganti dengan dopamin. - Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin dapat digunakan untuk terapi awal dengan dosis 5-15 mg/kg BB/menit, dimana efek utamanya merangsang adrenergik perifer, lebih baik digunakan norepinefrin. - Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang terbaik adalah dobutamin yang dapat diberikan bersama-sama dopamin untuk mengurangi kebutuhan dosis dopamin. Dobutamin tidak dapat digunakan secara tunggal pada pasien dengan hipotensi berat. c. Subset 3: Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium kanan dan ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2, tekanan sistolik < 100 mmHg, LVEDP normal atau meningkat. Pasien dalam keadaan ini sangat sensitif terhadap kekurangan volume cairan dan sering menunjukan respon dengan terapi cairan. - Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan dengan pemberian cairan secara cepat sampai tekanan darah stabil, tekanan pengisian ventrikel kiri > 20 mmHg, atau tekanan atrium kana > 20 mmHg. - Pemakaian vasodilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada keadaan ini pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada dopamin. - Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan, maka dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation.

15. Penggunaan trombolitik pada awal terapi infark miokard akan mengurangi jumlah miokard yang mengalami nekrosis, sehingga insiden sindrom syok kardiogenik akan berkurang. Penelitian GUSTO I menunjukan angka mortalitas untuk 6 minggu follow up 58% pada pasien syok kardiogenik yang mendapat terapi trombolisis dan aspirin serta heparin. Pada GUSTO I TPA lebih baik dari streptokinase bila tidak ada syok dan insiden syok juga lebih kecil, tetapi pada syok mortalitas pada streptokinase lebih rendah walaupun secara statistik tidak bermakna. 16. Sementara menunggu uji yang membandingkan angioplasti dan terapi medis, saat ini dianggap bahwa angioplasti direk lebih superior daripada terapi suportif semata-mata maupun terapi trombolitik. Keberhasilan percutaneus transluminal coronary angioplasty (PTCA) terutama bila dilakukan pada 24 jam pertama setelah timbulnya gejala syok kardiogenik, pada pasien berusia < 65 tahun, dan dengan single-vessel disease. Kegagalan PTCA terutama dikaitkan dengan usia pasien yang lanjut (> 70 tahun) dan riwayat infark sebelumnya. Data-data menunjukan PTCA pada syok kardiogenik menurunkan angka kematian menjadi 46% atau kurang. PTCA sebaiknya dikerjakan dengan support IABP. Semula PTCA dengan balon saja untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat secepatnya pada kasus-kasus infark menunjukan hasil lebih baik dari trombolisis. Akhir-akhir ini dengan pemasangan stent pada kasus infark akut menunjukan hasil lebih baik dari angioplasti dengan memakai balon saja, terutama untuk mencegah penyempitan kembali. Angka mortalitas didalam rumah sakit untuk pasien infark akut yang dilakukan angioplasti primer 2-6%, tetapi pada infark akut dengan syok kardiogenik yang dilakukan PTCA, angka kematian di rumah sakit masih tinggi, menurut PAMI 39%, dan GUSTO 38%. 17. Harapan hidup jangka panjang yang mengecewakan dari penanganan syok kardiogenik akibat infark miokard dengan terapi medis telah mendorong dilakukannya tindakan bedah revaskularisasi dini pada pasien yang telah stabil dengan terapi farmakologis dan IABP. Guyton menyimpulkan bahwa coronary-artery bypass surgery (CABS/CABG) merupakan terapi pilihan pada semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard, kecuali pada kelompok oktogenarian. CABS juga dianjurkan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan tindakan angioplasti. Tindakan operasi dilakukan apabila didapatkan adanya kontraksi dari segmen yang tidak mengalami infark dengan pembuluh darah yang stenosis. Bedah revaskularisasi sebaiknya tidak dilakukan pada pasien oktogenarian, pasien dengan LVEDP > 24 mmHg, skor kontraktilitas ventrikel kiri > 13, dan adanya kerusakan pada organ sistemik yang irreversibel. Pada pasien dengan kerusakan mekanik, misalnya robeknya otot papilaris, robeknya septum interventrikel, maka tindakan operasi akan efektif terutama bila revaskularisasi juga dapat dilaksanakan. Kumpulan data dari 370 pasien dari 22 studi menunjukan CABG yang dilakukan pada pasien dengan infark jantung akut dan syok kardiogenik mempunyai mortalitas sebesar 36%. CABG perlu dipertimbangkan pada pasien dengan penyempitan di banyak pembuluh darah (multivessel disease) dan bila PTCA tidak berhasil. 18. Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat kerusakan miokard irreversibel, mungkin diperlukan tindakan transplantasi jantung

BAB IIIKESIMPULAN

Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan dimana fungsi ventrikel kiri yang cukup baik. Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada miokardium ventrikel kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri.Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan keluhan tipikal nyeri dada yang akut, dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya.Pemberian obat-obat simpatomimetik harus diletakkan dalam perspektif yang tepat dalam penatalaksanaan syok kardiogenik, oleh sebab itu ditekankan peran penting monitoring hemodinamik invasif dan manajemen volume dalam mengkonfirmasi suatu diagnosis kegagalan kardiogenik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rackley CE. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Edisi 3. EGC. Jakarta. 1995. Hal. 243-249 2. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Binarupa Aksara. Jakarta. 2000. Hal: 47-57 3. Kaligis RWM. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. 2002. Hal: 90-93 4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. EGC. Jakarta. 1995. Hal: 593-6065. Braunwald, Fauci, Isseibacher, Martin, Petersdorf, Wilson. Harrisons Principles of Internal Medicine vol.1. 13th ed. EGC. Jakarta. 1999. Hal. 218-223 6. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency Surgery. 2006. 1-147.Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 8.Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical updates emergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008

5