Bab I-V , Daftar Pustaka
-
Upload
faris-adly -
Category
Documents
-
view
42 -
download
4
description
Transcript of Bab I-V , Daftar Pustaka
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara
yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai
renjatan atau dengue shock syndrome (DSS)1; ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan
Ae. albopictus yang terinfeksi.2Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah
virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri
dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4.3
Infeksi dengue diakibatkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albocpitus.4 Host alamiah dari DBD adalah manusia dan
vektor DBD yang utama adalah nyamuk Aedes aegypti.Penyakit ini disebabkan oleh
virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari family Flaviviridae.
Oleh karena ditularkan melalui gigitan artropoda maka virus dengue termasuk
arbovirus.5
Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan
peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari
kota ke lokasi pedesaan.Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang
banyak ditemukan di negara tropis dan subtropis, terutama di Asia Tenggara,
Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.6 Data Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(Ditjen PP&PL) angka kesakitan DBD tahun 2013 tercatat 45,85 per 100.000
penduduk (112.511 kasus) dengan angka kematian sebesar 0,77 % (871 kematian).
-
2
Sedangkan pada tahun 2014 ini sampai awal bulan April tercatat angka kesakitan
DBD sebesar 5,17 per 100.000 penduduk (13.031 kasus) dengan angka kematian
sebesar 0,84% (110 kematian).7 2
Tingginya angka kejadian DBD di Indonesia disebabkan masih rendahnya
penanganan kasus DBD yang tergantung pada ketepatan diagnosa secara dini. Hal
tersebut disebabkan diagnosis DBD tidak mudah dipastikan karena infeksi virus
dengue mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi dari yang paling
ringan (mild undifferentiated fe- brile illness), dengue fever (DF), dengue
haemorrhagic fever (DHF) sampai dengue shock syndrome (DSS).8 Keterlambatan
penderita DBD mendapatkan pertolongan akibat kesalahan atau kegagalan diagnosa
dapat mengakibatkan DSS.9 (depkes,2005) Sampai saat ni DSS merupakan penyebab
utama kematian pada penderita DBD dan 30%kasus DBD berkembang menjadi DSS
(subahagio,2009).10
Diagnosa laboratorik yang sudah digunakan pada DBD beberapa
diantaranya adalah haemaglutination inhibition (HI) test dan RDT (Rapid Diagnistic
Test). HI test merupakan uji serologi untuk mendeteksi antibodi anti-dengue pada
pasien yang sampai sekarang masih direkomendasikan oleh WHO. Sedangkan RDT
mendeteksi antibodi ( IgG dan IgM anti-dengue ) pada serum, plasma atau darah
segar. Diagostik yang selama ini digunakan dinilai masih memunyai kekurangan
yaitu tekniknya yang rumit, memerlukan tenaga ahli dan prosesnya membutuhkan
waktu yang lama.8
Teknologi intregated peptide nanosensor test merupakan salah satu teknologi
sebagai deteksi dini melalui gingiva crevikular fluid.Teknik ini mengandalkan
gingiva crevikular fluid (GCF) yang merupakan produk filtrasi fisiologis dari
pembuluh darah mengandung elektriolit pembuluh darah dan molekul organik seperti
albumin, globulin, lipoprotein dan komonen selular. GCF menggambarkan kondisi
kesehatan tubuh yang didalamnya sering ditemukan komponen biomarker DBD
berupa NS1.NS1 Akan disekresikan kedalam sirkulasi darah pada individu yang
terinfeksi virus dengue dan bersirkulasi dengan konsentrasi tinggi pada serum pasien
-
3
mulai hari ke 1 sampai hari ke 9.11
Keunggulan intergated peptide nanoreader test
adalah alatnya lebih sederhana, teknik pengambilan sampel yang lebih mudah dan
lebih cepat, serta tidak membutuhkan tenaga ahli.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas, kami ingin mengkaji potensi biomarker non-
structural 1 (ns1) antigen pada gingival crevicular fluid dalam integrated peptide
nanoreader test sebagai teknologi alternatif deteksi dini demam berdarah dengue
(dbd)
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan penulisan kajian ilmiah ini adalah untuk mengkaji potensi biomarker
non-structural 1 (ns1) antigen pada gingival crevicular fluid dalam integrated
peptide nanoreader test sebagai teknologi alternatif deteksi dini demam berdarah
dengue (dbd)
1.4 Manfaat penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan karyatulisi lmiah ini adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu mengenai mengkaji potensi
biomarker non-structural 1 (ns1) antigen pada gingival crevicular fluid dalam
integrated peptide nanoreader test sebagai teknologi alternatif deteksi dini
demam berdarah dengue (DBD)
2. Memberikan informasi mengenai peran dari mengkaji potensi biomarker non-
structural 1 (ns1) antigen pada gingival crevicular fluid dalam integrated
peptide nanoreader test sebagai teknologi alternatif deteksi dini demam
berdarah dengue (DBD)
-
4
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Gingival Crevicular Fluid
Komponen darah humoral dan seluler dapat mencapai permukaan gigi dan
epitel dalam rongga mulut melalui aliran, cairan menembus epitel perlekatan
gingival. Struktur dan fungsi epitel perlekatan adalah dalam pengertian hubungan
biologi antara komponen vaskuler dan struktur periodontal. Epitel perlekatan
membentuk perlekatan organis pada gigi dan berdampingan dengan epitel sulkus
yang berlanjut ketepi gingiva. Epitel perlekatan berbeda dengan epitel lainnya terdiri
dari dua lamina besar, satu melekat pada jaringan ikat dan lainnya pada gigi. Epitel
hanya mempunyai sedikit jalur yang bercabang dan mempunyai ruang interseluler
yang lebih lebar.12
Cairan sulkus gingiva (CSG) adalah suatu produk filtrasi fisiologis dari
pembuluh darah yang termodifikasi. Cairan sulkus gingiva dapat berasal dari jaringan
gingiva yang sehat. Cairan sulkus gingiva berasal dari serum darah yang terdapat
dalam sulkus gingiva baik gingiva dalam keadaan sehat maupun meradang.13
CSG
mengalir dari kapiler ke jaringan subepitel sampai ke epitel perlekatan. CSG
kemudian akan bercampur dengan saliva di dalam rongga mulut.14
Dalam keadaan
sehat, kecepatan aliran CSG keluar ke sulkus gingiva sangat lambat yaitu 0,24-
1,56l/menit. Kecepatan aliran CSG akan meningkat dengan adanya peradangan,
yaitu pada gingivitis atau periodontitis. Kecepatan aliran CSG dalam keadaan radang
mencapai 220l/menit.15 CSG mengandung jumlah polimorfonuklear, makrofag,
limfosit, monosit, elektrolit, protein plasma, dan endotoksin bakteri.15
Dalam kondisi
normal, tiap ml GCF mengandung lebih dari 500 sel leukosit/detik, 159-222mEq/L
ion Ca++, 80g/l immunoglobulin (IgG, IgA, IgM) dan komponen C3, C4, dan C5.14
GCF pada penderita gingivitis akan ditemukan 20104 sel neutrofil per ml, 25103
-
5
sel monosit, peningkatan konsentrasi ion Ca++, 240g/l immuno-globulin (IgG, IgA,
IgM), dan komponen C3, C4, dan C5. Selain itu, juga ditemukan lebih dari 40
senyawa yang kemungkinan berasal dari dari host atau mikroorganisme, misalnya
kolagenase, PMN, enzim dan lainnya.14
Pada CSG dari gingiva yang meradang jumlah PMN, makrofag, limfosit,
monosit, ion elektrolit, protein plasma dan endotoksin bakteri bertambah banyak,
sedangkan jumlah urea menurun. Komponen seluler dan humoral dari darah dapat
melewati epitel perlekatan yang terdapat pada celah gusi dalam bentuk CSG. Cairan
sulkus gingiva bersifat alkali sehingga dapat mencegah terjadinya karies pada
permukaan enamel dan sementum yang halus. Keadaan ini menunjang netralisasi
asam yang dapat ditemukan dalam proses karies di area tepi gingiva. Cairan sulkus
gingiva juga dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai keadaan jaringan
periodontal secara objektif sebab aliran CSG sudah lebih banyak sebelum terlihatnya
perubahan klinis radang gingiva bila dibandingkan dengan keadaan normal.13
Fungsi cairan krevikuler gingiva atau CSG adalah sebagai berikut 16
:
1. Mencuci daerah leher gingiva, mengeluarkan sel-sel epitelial yang
terlepas, leukosit, bakteri, dan kotoran lainnya.
2. Protein plasma dapat mempengaruhi perlekatan epitelial ke gigi.
3. Mengandung agen antimikrobial misalnya lisosim.
4. Membawa leukosit PMN dan makrofag yang dapat membunuh bakteri,
juga menghantarkan IgG, IgA, IgM dan faktor-faktor lain dari sistem imun.
5. Jumlah cairan gingiva dapat diukur dan digunakan sebagai indeks dari
inflamasi gingival.
2.2 Demam Berdarah Dengue
2.2.1 Epidemiologi
-
6
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi
antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang
disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS)17
; ditularkan nyamuk Aedes
aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi.18
Host alami DBD adalah manusia,
agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus
Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4.19
Gambar 2.1 Virus Dengue
Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan
peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari
kota ke lokasi pedesaan.17
Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah
tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan
Karibia.19
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan
subtropik bahkan cenderung terus meningkat20
dan banyak menimbulkan kematian
pada anak21
90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.22
Di Indonesia,
setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun
-
7
1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800
orang lebih.23
Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah
kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus
tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality
rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian
1.384 orang atau CFR 0,89%.24
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk
subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor
primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor
sekunder,17
selain itu juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk jantan ke
nyamuk betina melalui perkawinan17
serta penularantransovarial dari induk nyamuk
ke keturunannya.25-26
Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti
terjadi Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik.27
Dari
beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan melalui
gigitan nyamuk Ae. aegypti.28
Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk)
berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia)
berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun.29
Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk
Aedes spp.berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat;
tetapi infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih
tergantung pada faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue, status
kekebalan host dan lain-lain.30
Vector capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk
yang terpengaruh iklim mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari,
lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus
dengue serta pemilihan Hospes.31
Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya
dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan
lebih banyak digigit nyamuk Ae. Aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih
aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk
-
8
tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga
dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae.
aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya
terhadap manusia dibanding yang kurang padat.31
Kekebalan host terhadap infeksi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut
akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi.32
Status status gizi yang salah
satunya dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat
gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh.33
Selain zat gizi makro,
disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon
kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan
merusak sistem imun.34
Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok
umur 45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa
Timur berkisar 3,64%.35
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya
munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya
agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh
dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp.36
Selain itu, juga dipengaruhi faktor
predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan,
jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa,
kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.37
2.2.2 Manifestasi Simptomatik Infeksi Virus Dengue
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut: 38
a. Demam tidak terdiferensiasi
-
9
b. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama
2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri
retroorbital, mialgia/atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie atau uji
bendung positif, leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau
ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada
lokasi dan waktu yang sama.
c. DBD (dengan atau tanpa renjatan)
2.2.3 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue
Gambar 2.2 Skema Pektrum Klinis Infeksi Virus Dengue
2.2.4 Manifestasi Klinis Demam Dengue
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap
masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan
ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala
dan berakhir setelah lima hari gejala panas, makrofag akan segera bereaksi dengan
menangkap virus dan memprosesnya. Makrofag sendiri merupakan Antigen
Presenting Cell (APC). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi
sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T
Helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah
-
10
memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 2 jenis
antibodi yang telah dikenali yaitu:
1. antibodi netralisasi
2. antibodi hemaglutinasi
3. antibodi fiksasi komplemen.
Proses di atas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan
gejala lainnya. Dapat terjadi manifestasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit
yang menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. 39
Monosit dan makrofag lebih mudah terinfeksi dan teraktivasi dengan
adanya infeksi virus yang kedua dengan mengeluarkan Interleukin-1 (IL-1),
Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor (TNF), dan Platelet- Activating
Factor (PAF). Mediator-mediator tersebut akan mempengaruhi endotel yang
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan. 39
2.2.5 Diagnosis
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD 40
yaitu:
1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
peredaran lain.
3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) ata hipotensi,
sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat Diagnosa terdiri dari klinis dan laboratoris,
disamping menentukan derajat beratnya penyakit. 40
Tabel 2.1 Derajat Penyakit DBD
-
11
2.2.6 Patogenesis DBD
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah.17
Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-
ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,
nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan,
sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan
menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan
membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen
struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi
-
12
immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective
terhadap serotipe virus lainnya.41
Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi
biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-
mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE.41
Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi
netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat
mencegah infeksivirus, dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran
reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis
DBD dan DSS(7).
Gambar 2.3 Bagan kejadian inveksi virus dengue
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang
masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan
antibody dependent enhancement (ADE).42
Dalam teori atau hipotesis infeksi
-
13
sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe
virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue
tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan
infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang
berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer,
akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda
yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius
dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-
1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF);
akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue.7 TNF alpha
akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma
ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang
mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.43
Pendapat lain
menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang
farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan.44
Anak di bawah
usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari
ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat
adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak
tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu
makrofagmudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF
alpha juga PAF.45-46
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis
virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut,
tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan
menimbulkan penyakit yang berat.42
Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di
dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.47
Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di
-
14
antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe
virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat
ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya.
Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian
DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar
C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks
imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B
dan sel organ tubuh lainnya danakan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun
yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang
terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6,
IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggungjawab pada
terjadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.48
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam
beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan
(tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian
karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan
metabolic.42
2.2.7 Struktur Genom Dan Replikasi Virus Dengue
Virus dengue merupakan virus RNA rantai tunggal (singA stranded /
ssRNA yang termasuk ke dalam famili flaviviridae, genus flavivirus dan terdapat 4
serotipe yang berbeda yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4. Keempat serotipe
tersebut didapati di Indonesia. Virus dengue memi[iki genom 11 kb. Genom tersebut
mengkode 10 macam protein virus yaitu 3 protein struktural (C/protein Care,
M/protein Membrane, E/ protein envelope) dan 7 protein non struktural (NSI, NS2a,
NS2b, NS3, NS4b, dan NS5). Pada saat virus masuk ke sel melalui proses
endositosis yang diperantarai reseptor, genom virus yang terdiri dari ssRNA akan
dilepaskan ke dalam sitoplasma dan digunakan sebagai cetakan / template untuk
-
15
proses translasi menjadi prekursor protein yang besar. Pemotongan pada bagian
terminal dari poliprotein ini oleh enzirn enzim sel inang / host (signalase, furin) akan
menghasilkan protein-protein struktural yang membentuk partikel virus yang
berselubung. Polprotein yang tersisa dibutuhkan untuk menghasilkan lebih banyak
virus. Protein-protein non struktural virus tersebut diduga bersma-sama dengan
protein-protein host yang belum diketahui, membentuk mesin replikasi di dalam
sitoplasma sel-sel yang terinfeksi yang mengkatalisis pcrbanyakan RNA. Sebagai
contob NS3 dan NS5 memiliki aktivitas protease, belicase, polymerase yang sangat
berperan pada proses replikasi. NS3 hanya akan aktif bila berikatan dengan NS2b di
mana NS2b juga berperan pada protein folding. RNA yang baru dihasilkan kernudian
digunakan kembali untuk proses translasi dan menghasilkan kembali protein-protein
virus, untuk sintesis lebih banyak RNA virus atau untuk enkapsidasi ke dalam
partikel virus. Pada akhirnya virion meninggalkan sel dengan proses eksositosis yang
sering mcnycbabkan kematian sel.49
2.2.8 Protein Non Structural-1 (NS1 Dengue)
NS1 adalah glikoprotein non struktural dengan berat molekul 46-50 kD
dan merupakan glikoprotein yang sangat conserved. Pada mulanya NSI digambarkan
sebagai suatu antigen Soluble Complement Fixing (SCF) pada kultur sel yang
terinfeksi. NS1 diperlukan untuk kelangsungan hidup virus namun tidak diketahui
dengan pasti aktivitas biologisnya. Dan bukti yang sudah ada menunjukkan bahwa
NS1 terlibat dalam proses replikasi virus. NS1 dihasilkan dalam 2 bentuk yaitu
membrane associated (mNS1) dan secreted form (sNS1). NS1 pada rnulanya di
translokasikan ke retikulum endoplasma melalui sekuens signal hidrofobik yang
dikode di bagian C terminal E, dan secara cepat didimerisasi di dalam organel-
organel intrasel, kemudian ditransfer ke membran sitoplasma. NS1 dilepaskan dalam
bentuk hexameric solubilized (sNS1),yang dibentuk dan 3 sub unit dimerik yang
heksamer dihubungkan secara kovalen. Selama infeksi sel, NS1 ditemukan berkaitan
-
16
dengan organel-organel intrasel atau ditransfer melalui jalur sekresi ke pernukaan sel
(membran sitoplasma). Bentuk yang larut dilepaskan dan sel mamalia yang terinfeksi.
NS1 bukan bagian dan struktur virus tetapi diekspresikan pada permukaan sel yang
terinfeksi dan memiliki determinan-determinan dan spesifik grup dan tipe. NS1
flavivirus telah dikenal sebagai imunogcn yang penting dan menunjukkan peran
dalam proteksi terhadap penyakit. Namun, peran NS1 dalam imunopatogenitas juga
telah dikemukakan berdasarkan temuan anti-SCF antibodies dalam serum pasien-
pasien dengan infeksi sekunder tetapi tidak pada infeksi primer.49
2.2.9 NS1 dan Infeksi dengue
NS1 dengue disekresikan ke dalam sistem darah pada individu-individu
yang terinfeksi dengan virus dengue. NS1 bersirkulasi pada konsentrasi yang tinggi di
dalam serum pasien dengan infeksi primer maupun sekunder selama fase klinik sakit
(clinical phase of illness) dan hari-hari pertama fase konvalesens (pemulihan). Dari
penelitian juga ditunjukkan bahwa deteksi NS1 dapat memberikan diagnosis spesifik
infeksi dengue.50
Konsisten dengan penelitian pada manusia, antibodi yang diproduksi
sewaktu infeksi virus dengue menunjukkan adanya reaksi silang dengan beberapa
self-antigens (antigen pasien). Reaksi silang antara antibodi virus dengue, terutama
anti-NS1 dengan sel dari endotel dan platelet dapat dijadikan dasar dari hipotesis
terjadinya trombositopenia. Antibodi anti-NS1 yang bereaksi silang dengan sel
endotel dapat merangsang sel ini untuk menghasilkan NO dan apoptosis. Nitric oxide
berfungsi untuk menghambat replikasi virus dengue, akan tetapi jika diproduksi
dalam jumlah berlebihan akan menyebabkan kerusakan sel.51
Antibodi anti-NS-1 juga menunjukkan adanya reaksi silang dengan
platelet dan menyebabkan trombositopenia.52
Hal tersebut terjadi pada fase akut
pasien DBD, diduga platelet mengekspresikan molekul permukaan spesifik yang
-
17
dikenali oleh autoantibodi seperti anti-NS-1 tersebut,53
khususnya regio C terminal
dari NS1.54
Pengaruh dari reaksi silang antara antibodi dengan platelet adalah terjadi
lisis dari platelet dan inhibisi agregasi platelet. Platelet yang bereaksi silang dengan
antibodi anti-NS1 akan mengaktivasi komplemen yang akhirnya akan mengakibatkan
bertambah banyaknya lisis dari platelet. Induksi platelet lisis melalui reaksi silang
dengan Antibodi anti-NS1 menjelaskan mekanisme terjadinya trombositopenia pada
fase akut virus dengue.3, 51
-
18
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Teknik Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan metode sintesis dengan
pendekatan teoritik atau telaah pustaka untuk memperoleh data dan informasi.
3.2 Waktu dan Tempat Penulisan
3.2.1 Waktu Penulisan
Karya tulis ilmiah ini disusun dan diselesaikan pada bulan November
2014
3.2.2 Tempat Penulisan
Lokasi penulisan dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Jember dengan sumber referensi yang berasal dari Perpustakaan Pusat UniversitasJ
ember, Ruang Baca Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember, dan browsing di
situs-situs (website) yang ada di internet serta melalui konsultasi dengan dosen
pembimbing.
3.3 Bahan dan Sumber Referensi
Bahan dan sumber referensi dikumpulkan dari berbagai macam literatur yang
berasal dari hasil penelitian dalam jurnal ilmiah, artikel ilmiah, serta buku teks ilmiah
dan berbagai sumber yang berhubungan dengan karya tulis ilmiah ini.
-
19
3.4 Pendekatan Metode Penulisan
Literatur-literatur yang telah didapatkan pada tahap ini, selanjutnya dilakukan
pengolahan data dengan cara mengedit kata atau kalimatnya kemudian disesuaikan
dengan alur penulisan. Penyesuaian yang dilakukan tanpa merubah maksud dan
tujuan dari penulisan tersebut, sehingga didapatkan suatu pembahasan yang
sistematis.
Data yang diperoleh dianalisis melalui analisis deskriptif yaitu menguraikan
data dan fakta dari hasil telaah pustaka. Analisis data digunakan dalam menganalisis
permasalahan yang akhirnya menentukan sintesis berupa usulan alternatif dalam
pemecahan masalah.
Langkah-langkah dalam penulisan karya tulis ilmiah ini meliputi: (1) penentuan
masalah; (2) mengumpulkan bahan referensi dan mencari informasi mengenai
masalah tersebut; (3) mengembangkan dan menganalisis permasalahan berdasarkan
referensi yang didapat; (4) mencari pemecahan masalah dan mencari alternatif usulan
berdasarkan analisis yang telah disusun, kemudian (5) diambil suatu simpulan serta
rekomendasi.
3.5 Alur Penulisan
Alur penulisan karya tulis ilmiah ini dapat dijelaskan secara singkat melalui
diagram dibawah ini:
-
20
Gambar 3.1 Skema alur penulisan karya tulis ilmiah
-
21
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
4.1 Analisis permasalahan
Diagnosis DBD tidak mudah dipastikan karena infeksi virus dengue
mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi dari yang paling ringan
(mild undifferentiated fe- brile illness), dengue fever (DF), dengue haemorrhagic
fever (DHF) sampai dengue shock syndrome (DSS). Diagnosa lebih awal menjadi
sangat dibutuhkan agar penanganannya lebih cepat dan sesuai.Keterlambatan dan
kesalahan dalam diagnose DBD menyebabkan penderita ditemukan dalam fase yang
sudah lanjut, sehingga prognosa dari DBD relatif buruk.
Beberapa metode diagnosa yang sudah digunakan pada DBD beberapa
diantaranya adalah haemaglutination inhibition (HI) test dan RDT (Rapid Diagnistic
Test). HI test merupakan uji serologi untuk mendeteksi antibodi anti-dengue pada
pasien yang sampai sekarang masih direkomendasikan oleh WHO. Sedangkan RDT
mendeteksi antibodi ( IgG dan IgM anti-dengue ) pada serum, plasma atau darah
segar. Diagostik yang selama ini digunakan dinilai masih memunyai kekurangan
yaitu tekniknya yang rumit, memerlukan tenaga ahli dan prosesnya membutuhkan
waktu yang lama.
4.2 Sintesis permasalahan
Gingival Crevikular Fluid (GCF) adalah suatu produk filtrasi fisiologis dari
pembuluh darah yang termodifikasi. GCF berasal dari serum darah sehingga
merupakan cerminan dari darah dan komponen lain yang menggambarkan kondisi
kesehatan tubuh.Kandungan kandungan pada GCF dapat menunjukkan potensi
-
22
dalam menentukan diagnosis klinis DBD. NS1 dengue disekrcsikan ke dalam sistem
darah pada individu-individu yang terinfelcsi dengan virus dengue. NS1 bersirkulasi
pada konsentrasi yang tinggi di dalam serum pasien dengan infeksi primer maupun
sckunder selama fase klinik sakit (thnical phase of illness) dan hanh an pertama fase
konvalesens (pemulihan). Dad penclidari juga ditunjukkan bahwa deteksi NSI dapat
memberikan diagnosis spesifik infeksi dengue.Keunggulan GCF sebagai biomarker
dalam mendeteksi suatu penyakit, yaitu non-invasif, sensitifitas dan spesifitas yang
tinggi, sederhana, serta menjadi alternatif pemeriksaan darah, urin, ataupun biopsi.
Intregrated peptide nanosenor test merupakan salah satu teknologi sebagai
deteksi dini melalui gingiva crevikular fluid. Teknik ini mengandalkan gingiva
crevikular fluid (GCF) dan mengkombinasikannya dengan teknologi mutkhir berupa
nanosensor. Intregrated peptide nanosenor testbekerja dengan melepaskan kandungan
analit konjugat untuk mendeteksi non-structural 1 (NS1) antigen yang diproduksi
virus dengue berupa anti-dengue NS1 antigen capture.
Prinsip kerja integrated peptide nanosensor yaitu pipet kapilerdimasukkan
dalam margin gingival, 1 mm dalam sulkus lalu segera diteteskan kedalam tabung
sampel sapnortest. Saliva akan mengalir ke zona detektor bersama dengan Anti-
dengue NS1 antigen-colloid gold. Berbagai macam protein pada saliva akan diikat
oleh nanosensor. Nanosensor yang terdapat pada zona detektor integrated peptide
nanosensor bekerja selektif terhadap Anti-dengue NS1 antigen yang hanya diproduksi
oleh virus dengue akan terikat peptide nanosensor. Hal tersebut akan membuat setiap
Anti-dengue NS1 antigen yang terikat akan selalu menempel pada zona detektor
untuk melakukan ikatan dengan komponen peptide sensor sehingga tidak ada protein
yang lolos dari pemeriksaan. GCF bergerak sepanjang membran yang akan
membentuk kompleks antibody-antigen-antibody gold particle.
Pada layar integrated peptide nanosensor, hasil uji akan dinyatakan positif jika
tampak tulisan validity dengue test > 50%; analytic non-structural 1 (NS1)
-
23
antigen>90%.Hal tersebut menandakan bahwa integrated peptide nanosensor telah
melakukan diagnosa positif terhadap DBD. 22
Gambar 4.1 Prototype Integrated Peptide Nanosensor
Output Saliva
Tombol ON
Tombol OFF
Layar pembaca
Input Saliva
-
24
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Teknis pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosa DBD beberapa
diantaranya adalah haemaglutination inhibition (HI) test dan RDT (Rapid Diagnistic
Test dinilai masih memunyai kekurangan yaitu tekniknya yang rumit, memerlukan
tenaga ahli dan prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Potensi biomarker non-
structural 1 (ns1) antigen pada gingival crevicular fluid (GCF) dalam integrated
peptide nanosensor test dapat digunakan sebagai teknologi alternatif deteksi dini
Demam berdarah dengue (DBD) yang lebih sederhana, teknik yang lebih mudah dan
cepat, serta tidak membutuhkan tenaga ahli.
5.2 Saran
Perlu adanya penelitian dan pengembangan lebih lanjut tentang penggunaan
biomarker non-structural 1 (NS1) antigen pada gingival crevicular fluid (GCF) dalam
integrated peptide nanosensor test khususnya dalam bidang kedokteran gigi.
-
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartanto F. Hubungan Golongan Darah O dengan kejadian shock pada
penderita Demam Berdarah Dengue. Semarang:Diponegoro Univesity
Pers.2005
2. Wahjudi P, Hartanti RI, Cahyo WH. Frekuensi dan distribusi Demam
Berdarah Dengue di Kecamatan Sumbersari Kab.Jember tahun 2004-2006.J
Biomed Vol.1(1):60-70.2006
3. Lei YH, Yeh TM, Liu HS, Lin YS, Chen SH, Liu CC. Immunopatogenesis of
Dengue Virus Infection. J Biomed Sci. 2001;8:37788.
4. Chen, K., Pohan, H.T., dan Sinto, R. 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. J. Medicinus. Vol. 22 (1): 3-8.
5. Dharma, R., Hadinegoro, S.R., dan Priatni, I. 2006. Disfungsi Endotel pada
Demam Berdarah Dengue. Makara Kesehatan. Vol.10(1):17-23.
6. WHO. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan
Demam Berdarah Dengue. Jakarta: WHO & Depar- temen Kesehatan RI;
2003
7. pppl.depkes.go.id
8. Nimmannitya S, Halstead SB, Cohen SN, Margiotta MR. Dengue and
Chikungunya virus infection in man in Thailand, 1962-1964:I. Obsevations
on hospitalized patiens with hemorrhagic fever. Am J Trop Med Hyg. 1969;
18:954
9. Depkes RI.2005. Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.
10. Subahgio.2009.Menentukan faktor risiko dominan kejadian sindrom syok
dengue pada penderita DBD. Http://digilib.bmf.litbang.depkes.go.id
11. Rothman AL. 2004. Dengue : definingi protective versus patologic immunity.
-
26
J clin Invest 113, pp 346-951
12. Barid, I., Indahyani, D.E., dan Rahayu, Y.C. 2007. Biologi Mulut I. Jember:
Universitas Jember.
13. Vindani, D. 2008. Cairan Sulkus Gingiva dan Peranannya dalam Bidang
Kedokteran Gigi. Makara Kesehatan. Vol.1(2):56-59.
14. Uitto VJ. Gingival crevice fluid-an introduction. Periodontol 2000. 2003;31;9-
11.
15. Zhou H, McCombs GB, Darby ML, Marinak K. Sulphur by-product:the
relationship between volatile sulphur compounds and dental plaque-induced
gingivitis. J Contemp Dent Pract. 2004;5:27-39.
16. Manson, J.D. & Eley, B.M .1993. Buku Ajar Periodonti (Outline of
Periodontic).Diterjemahkan oleh :drg. Anastasia S. Editor: drg.Susianti K.Ed.
Ke-2. Jakarta: Hipokrates.
17. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
New Edition. Geneva: World Health Organization; 2009.
18. Supartha I, editor. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah
Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse)
(Diptera:Culicidae). Pertemuan Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis 2008
Universitas Udayana; 3-6 September 2008; Denpasar: Universitas Udayana
Denpasar.
19. Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on
Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious
Disease. 2007; Vol 30:329-40.
20. Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Noowotny K. Zoonotic Mosquito-
borne Flaviviruses: Worldwide Presence of Agent with Proven Pathogenesis
and Potential candidates of Future Emerging Diseases. Vet Microbiol.
2010;Vol 140:271- 80.
-
27
21. Novriani H. Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam Berdarah Dengue
dan Dengue Syndrome Pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2002;Vol
134:46-9.
22. Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection.
Postgraduate Medical Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601.
23. Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue Di
Indonesia. Jakarta: Depkes R.I; 2005.
24. Kusriastuti R. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 2009
dan Tahun 2008. Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI; 2010.
25. Josi V, Sharma R. Impact of Verticallytransmitted Dengue Virus on Viability
of Eggs of Virus-Inoculated Aedes aegypti. Dengue Bulletin. 2001;Vol
25:103-6.
26. Rohani A, Zamree I, Lee HL, I M. Detection of Transovarian Dengue for
Field Caught Aedes aegypti and Aedes albopictus Mosquitoes Using C6/36
Cool Line Culture and RT-PCR. Institue for Medical Research press. Kuala
Lumpur; 2005.
27. Tambyah PA, Koay ESC, Poon MLM, Lin RVTP, Ong BKC. Dengue
Hemorrhagic Fever Transmitted by Blood Transfusion. The England Journal
of Medicine. 2008; Vol. 359: p. 1526-7.
28. Gubler DJ. Epidemic Dengue Hemorrhagic Fever as a Public Health, Sosial
and Economic Problem in Tha 21st Century. Trends Microbiol. 2002; Vol.
10: p. 100-13.
29. Kristina, Ismaniah, Wulandari L. Kajian Masalah Kesehatan : Demam
Berdarah Dengue. In: Balitbangkes, editor.: Tri Djoko Wahono. . 2004. p. hal
1-9.
30. Lubis I. Peranan Nyamuk Aedes dan Babi Dalam Penyebaran DHF dan JE di
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 1990; Vol. 60.
-
28
31. Canyon D. Advances in Aedes aegypti Biodynamis and Vector Capacity:
Tropical Infectious and Parasitic Diseases Unit, School of Public Health and
Tropical Medicine, James Cook University; 2000.
32. Fatmah. Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia Lanjut.
Makara Kesehatan. 2006 Juni 2006; Vol. 10 No. 1: hal. 47-53.
33. Harahap H. Masalah Gizi Mikro Utama dan TumbuhKembang Anak Di
Indonesia.: Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah Pasca Sarjana
/ S3 Institut Pertanian Bogor.; 2004.
34. Husaini MA, Siagian UL, Suharno J. Anemia Gizi: Suatu Kompilasi
Informasi dalam Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan
Program. Direktorat Gizi dan Puslitbang Gizi, Depkes R.I; 2003.
35. Wirahjanto A, S. Epidemilogi Demam Berdarah Dengue, dalam Demam
Berdarah Dengue Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 1-10.;
2006.
36. Kasjono H, Kristiawan H. Intisari Epidemiologi. Jakarta: Mitra Cendikia
Press; 2008.
37. Sari CIN. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Penyakit Malaria
Dan Demam Berdarah Dengue. Bogor: IPB; 2005.
38. Chen, K., Pohan, H.T., dan Sinto, R. 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. J. Medicinus. Vol. 22 (1): 3-8.
39. Soegijanto, S. 2010. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus
Dengue. J. Biol. Chem. Vol.1(3):26-29.
40. Ratnaningsih, A. 2005. Skor Kebocoran Vaskuler Sebagai Penanda Awal
Terjadinya Syok pada Demam Berdarah Dengue. Semarang : Diponegoro
University Press.
41. Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, et al.
Kinetics of Dengue Virus-specific Immunoglobulin Classes and Subclasses
Correlate with Clinical Outcome of Infection. J Clin Microbio. 2001;Vol. 39
4332-8.
-
29
42. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue.
www.pediatrikcom/buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc; 2002 [cited 2010];
Available from: www.pediatrikcom/buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc.
43. Dewi BE, Takasaki T, Sudiro TM, Nelwan R, Kurane I. Elevated Levels of
Solube Tumour Necrosis Factor Receptor 1, Thrombomodulin and Solube
Endothelial Cell adhesion Molecules in Patients with Dengue Hemorrhagic
Fever. Dengue Bulletin. 2007;Vol 31:103 10.
44. Gibson RV. Dengue Conundrums. International Journal of Antimicrobial
Agents. 2010;Vol 36(26-39).
45. Sowandoyo E, editor. Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa, Gejala
Klinik dan Penatalaksanaannya. Seminar Demam Berdarah Dengue di
Indonesia 1998; RS Sumberwaras. Jakarta.
46. Wang S, Patarapotikul HR. Antibody-Enhanced Binding of Dengue Vitus to
Human Platelets. J Virology. 1995;Vol. 213:1254-7.
47. Soegijanto S. Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue Untuk Menurunkan
Prevalensi di Masyarakat. Dipresentasikan di Peringatan 90 Tahun
Pendidikan Dokter di FK Unair; Surabaya; 2003.
48. Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakti S, Husmann M. Dengue Virus
Infection of Human Endothelial Cells Leads to Chemokin Production,
Complement Activation, and Apoptosis. J Immunol. 1998;Vol 161:6338-46.
49. Alcon S, Talarmin A, Dcbruyne M, et al, 2002, Enzyme-linked Immunoassay
specific to dengue virus type I nonstructural protein NS1 reveals circulation
of the antigen in the blood during the acute phase of the disease in patients
cxpericncing primary or secondary infections. Journal of Clinical
Microbiology, 40 (2), pp 376-381.
50. Rothman AL. 2004. Dengue : defining protective versus pathologic immunity.
J Clin Invest 113, Pp 346-951.
51. Martina BEE, Koraka P, Ossterhaus ADME. Dengue Virus Pathogenesis : an
Integrated View. Clin. Micrbiol. Rev. 2009;22:564-81.
-
30
52. Dinesh N, Patil ND.Persistent Thrombocytopenia after Dengue Hemorrhagic
Fever. Indian Pediatrics.2006;43:1010-1.
53. Lin CF, Kei YH, Liu CC, Liu HS, Yeh TM, Wang ST, dkk.Generation of
IgM Anti-Platelet Autoantibody in Dengue Patients. J. of Med Virol.
2001;63:143-9.
54. Chen MC, Lin FC, Lei HY, Lin SC, Liu HS, Yeh TM, dkk. Deletion of the
Cterminal Region of Dengue Virus Nonstructural Protein 1 (NS1) Abolishes
Anti-NS1- Mediated Platelet Dysfunction and Bleeding Tendency. Exp Biol
Med. 2011;236:515-23.