Bab I-V , Daftar Pustaka

30
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS) 1 ; ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi. 2 Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4. 3 Infeksi dengue diakibatkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albocpitus. 4 Host alamiah dari DBD adalah manusia dan vektor DBD yang utama adalah nyamuk Aedes aegypti.Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari family Flaviviridae. Oleh karena ditularkan melalui gigitan artropoda maka virus dengue termasuk arbovirus. 5 Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan.Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di negara tropis dan subtropis, terutama di Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia. 6 Data Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP&PL) angka kesakitan DBD tahun 2013 tercatat 45,85 per 100.000 penduduk (112.511 kasus) dengan angka kematian sebesar 0,77 % (871 kematian).

description

dentistry

Transcript of Bab I-V , Daftar Pustaka

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar belakang

    Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

    virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara

    yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai

    renjatan atau dengue shock syndrome (DSS)1; ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan

    Ae. albopictus yang terinfeksi.2Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah

    virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri

    dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4.3

    Infeksi dengue diakibatkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk

    Aedes aegypti dan Aedes albocpitus.4 Host alamiah dari DBD adalah manusia dan

    vektor DBD yang utama adalah nyamuk Aedes aegypti.Penyakit ini disebabkan oleh

    virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari family Flaviviridae.

    Oleh karena ditularkan melalui gigitan artropoda maka virus dengue termasuk

    arbovirus.5

    Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan

    peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari

    kota ke lokasi pedesaan.Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang

    banyak ditemukan di negara tropis dan subtropis, terutama di Asia Tenggara,

    Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.6 Data Direktorat Jendral Pengendalian

    Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

    (Ditjen PP&PL) angka kesakitan DBD tahun 2013 tercatat 45,85 per 100.000

    penduduk (112.511 kasus) dengan angka kematian sebesar 0,77 % (871 kematian).

  • 2

    Sedangkan pada tahun 2014 ini sampai awal bulan April tercatat angka kesakitan

    DBD sebesar 5,17 per 100.000 penduduk (13.031 kasus) dengan angka kematian

    sebesar 0,84% (110 kematian).7 2

    Tingginya angka kejadian DBD di Indonesia disebabkan masih rendahnya

    penanganan kasus DBD yang tergantung pada ketepatan diagnosa secara dini. Hal

    tersebut disebabkan diagnosis DBD tidak mudah dipastikan karena infeksi virus

    dengue mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi dari yang paling

    ringan (mild undifferentiated fe- brile illness), dengue fever (DF), dengue

    haemorrhagic fever (DHF) sampai dengue shock syndrome (DSS).8 Keterlambatan

    penderita DBD mendapatkan pertolongan akibat kesalahan atau kegagalan diagnosa

    dapat mengakibatkan DSS.9 (depkes,2005) Sampai saat ni DSS merupakan penyebab

    utama kematian pada penderita DBD dan 30%kasus DBD berkembang menjadi DSS

    (subahagio,2009).10

    Diagnosa laboratorik yang sudah digunakan pada DBD beberapa

    diantaranya adalah haemaglutination inhibition (HI) test dan RDT (Rapid Diagnistic

    Test). HI test merupakan uji serologi untuk mendeteksi antibodi anti-dengue pada

    pasien yang sampai sekarang masih direkomendasikan oleh WHO. Sedangkan RDT

    mendeteksi antibodi ( IgG dan IgM anti-dengue ) pada serum, plasma atau darah

    segar. Diagostik yang selama ini digunakan dinilai masih memunyai kekurangan

    yaitu tekniknya yang rumit, memerlukan tenaga ahli dan prosesnya membutuhkan

    waktu yang lama.8

    Teknologi intregated peptide nanosensor test merupakan salah satu teknologi

    sebagai deteksi dini melalui gingiva crevikular fluid.Teknik ini mengandalkan

    gingiva crevikular fluid (GCF) yang merupakan produk filtrasi fisiologis dari

    pembuluh darah mengandung elektriolit pembuluh darah dan molekul organik seperti

    albumin, globulin, lipoprotein dan komonen selular. GCF menggambarkan kondisi

    kesehatan tubuh yang didalamnya sering ditemukan komponen biomarker DBD

    berupa NS1.NS1 Akan disekresikan kedalam sirkulasi darah pada individu yang

    terinfeksi virus dengue dan bersirkulasi dengan konsentrasi tinggi pada serum pasien

  • 3

    mulai hari ke 1 sampai hari ke 9.11

    Keunggulan intergated peptide nanoreader test

    adalah alatnya lebih sederhana, teknik pengambilan sampel yang lebih mudah dan

    lebih cepat, serta tidak membutuhkan tenaga ahli.

    1.2 Rumusan masalah

    Berdasarkan uraian di atas, kami ingin mengkaji potensi biomarker non-

    structural 1 (ns1) antigen pada gingival crevicular fluid dalam integrated peptide

    nanoreader test sebagai teknologi alternatif deteksi dini demam berdarah dengue

    (dbd)

    1.3 Tujuan penulisan

    Tujuan penulisan kajian ilmiah ini adalah untuk mengkaji potensi biomarker

    non-structural 1 (ns1) antigen pada gingival crevicular fluid dalam integrated

    peptide nanoreader test sebagai teknologi alternatif deteksi dini demam berdarah

    dengue (dbd)

    1.4 Manfaat penulisan

    Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan karyatulisi lmiah ini adalah

    sebagai berikut:

    1. Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu mengenai mengkaji potensi

    biomarker non-structural 1 (ns1) antigen pada gingival crevicular fluid dalam

    integrated peptide nanoreader test sebagai teknologi alternatif deteksi dini

    demam berdarah dengue (DBD)

    2. Memberikan informasi mengenai peran dari mengkaji potensi biomarker non-

    structural 1 (ns1) antigen pada gingival crevicular fluid dalam integrated

    peptide nanoreader test sebagai teknologi alternatif deteksi dini demam

    berdarah dengue (DBD)

  • 4

    BAB II

    TELAAH PUSTAKA

    2.1 Gingival Crevicular Fluid

    Komponen darah humoral dan seluler dapat mencapai permukaan gigi dan

    epitel dalam rongga mulut melalui aliran, cairan menembus epitel perlekatan

    gingival. Struktur dan fungsi epitel perlekatan adalah dalam pengertian hubungan

    biologi antara komponen vaskuler dan struktur periodontal. Epitel perlekatan

    membentuk perlekatan organis pada gigi dan berdampingan dengan epitel sulkus

    yang berlanjut ketepi gingiva. Epitel perlekatan berbeda dengan epitel lainnya terdiri

    dari dua lamina besar, satu melekat pada jaringan ikat dan lainnya pada gigi. Epitel

    hanya mempunyai sedikit jalur yang bercabang dan mempunyai ruang interseluler

    yang lebih lebar.12

    Cairan sulkus gingiva (CSG) adalah suatu produk filtrasi fisiologis dari

    pembuluh darah yang termodifikasi. Cairan sulkus gingiva dapat berasal dari jaringan

    gingiva yang sehat. Cairan sulkus gingiva berasal dari serum darah yang terdapat

    dalam sulkus gingiva baik gingiva dalam keadaan sehat maupun meradang.13

    CSG

    mengalir dari kapiler ke jaringan subepitel sampai ke epitel perlekatan. CSG

    kemudian akan bercampur dengan saliva di dalam rongga mulut.14

    Dalam keadaan

    sehat, kecepatan aliran CSG keluar ke sulkus gingiva sangat lambat yaitu 0,24-

    1,56l/menit. Kecepatan aliran CSG akan meningkat dengan adanya peradangan,

    yaitu pada gingivitis atau periodontitis. Kecepatan aliran CSG dalam keadaan radang

    mencapai 220l/menit.15 CSG mengandung jumlah polimorfonuklear, makrofag,

    limfosit, monosit, elektrolit, protein plasma, dan endotoksin bakteri.15

    Dalam kondisi

    normal, tiap ml GCF mengandung lebih dari 500 sel leukosit/detik, 159-222mEq/L

    ion Ca++, 80g/l immunoglobulin (IgG, IgA, IgM) dan komponen C3, C4, dan C5.14

    GCF pada penderita gingivitis akan ditemukan 20104 sel neutrofil per ml, 25103

  • 5

    sel monosit, peningkatan konsentrasi ion Ca++, 240g/l immuno-globulin (IgG, IgA,

    IgM), dan komponen C3, C4, dan C5. Selain itu, juga ditemukan lebih dari 40

    senyawa yang kemungkinan berasal dari dari host atau mikroorganisme, misalnya

    kolagenase, PMN, enzim dan lainnya.14

    Pada CSG dari gingiva yang meradang jumlah PMN, makrofag, limfosit,

    monosit, ion elektrolit, protein plasma dan endotoksin bakteri bertambah banyak,

    sedangkan jumlah urea menurun. Komponen seluler dan humoral dari darah dapat

    melewati epitel perlekatan yang terdapat pada celah gusi dalam bentuk CSG. Cairan

    sulkus gingiva bersifat alkali sehingga dapat mencegah terjadinya karies pada

    permukaan enamel dan sementum yang halus. Keadaan ini menunjang netralisasi

    asam yang dapat ditemukan dalam proses karies di area tepi gingiva. Cairan sulkus

    gingiva juga dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai keadaan jaringan

    periodontal secara objektif sebab aliran CSG sudah lebih banyak sebelum terlihatnya

    perubahan klinis radang gingiva bila dibandingkan dengan keadaan normal.13

    Fungsi cairan krevikuler gingiva atau CSG adalah sebagai berikut 16

    :

    1. Mencuci daerah leher gingiva, mengeluarkan sel-sel epitelial yang

    terlepas, leukosit, bakteri, dan kotoran lainnya.

    2. Protein plasma dapat mempengaruhi perlekatan epitelial ke gigi.

    3. Mengandung agen antimikrobial misalnya lisosim.

    4. Membawa leukosit PMN dan makrofag yang dapat membunuh bakteri,

    juga menghantarkan IgG, IgA, IgM dan faktor-faktor lain dari sistem imun.

    5. Jumlah cairan gingiva dapat diukur dan digunakan sebagai indeks dari

    inflamasi gingival.

    2.2 Demam Berdarah Dengue

    2.2.1 Epidemiologi

  • 6

    Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan

    oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi

    antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang

    disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS)17

    ; ditularkan nyamuk Aedes

    aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi.18

    Host alami DBD adalah manusia,

    agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus

    Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4.19

    Gambar 2.1 Virus Dengue

    Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan

    peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari

    kota ke lokasi pedesaan.17

    Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah

    tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan

    Karibia.19

    Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan

    subtropik bahkan cenderung terus meningkat20

    dan banyak menimbulkan kematian

    pada anak21

    90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.22

    Di Indonesia,

    setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun

  • 7

    1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800

    orang lebih.23

    Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah

    kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus

    tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality

    rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian

    1.384 orang atau CFR 0,89%.24

    Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk

    subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor

    primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor

    sekunder,17

    selain itu juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk jantan ke

    nyamuk betina melalui perkawinan17

    serta penularantransovarial dari induk nyamuk

    ke keturunannya.25-26

    Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti

    terjadi Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik.27

    Dari

    beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan melalui

    gigitan nyamuk Ae. aegypti.28

    Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk)

    berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia)

    berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun.29

    Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk

    Aedes spp.berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat;

    tetapi infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih

    tergantung pada faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue, status

    kekebalan host dan lain-lain.30

    Vector capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk

    yang terpengaruh iklim mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari,

    lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus

    dengue serta pemilihan Hospes.31

    Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya

    dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan

    lebih banyak digigit nyamuk Ae. Aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih

    aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk

  • 8

    tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga

    dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae.

    aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya

    terhadap manusia dibanding yang kurang padat.31

    Kekebalan host terhadap infeksi

    dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut

    akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi.32

    Status status gizi yang salah

    satunya dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat

    gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh.33

    Selain zat gizi makro,

    disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon

    kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan

    merusak sistem imun.34

    Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok

    umur 45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa

    Timur berkisar 3,64%.35

    Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya

    munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya

    agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh

    dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp.36

    Selain itu, juga dipengaruhi faktor

    predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan,

    jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa,

    kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.37

    2.2.2 Manifestasi Simptomatik Infeksi Virus Dengue

    Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut: 38

    a. Demam tidak terdiferensiasi

  • 9

    b. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama

    2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri

    retroorbital, mialgia/atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie atau uji

    bendung positif, leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau

    ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada

    lokasi dan waktu yang sama.

    c. DBD (dengan atau tanpa renjatan)

    2.2.3 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue

    Gambar 2.2 Skema Pektrum Klinis Infeksi Virus Dengue

    2.2.4 Manifestasi Klinis Demam Dengue

    Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap

    masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan

    ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala

    dan berakhir setelah lima hari gejala panas, makrofag akan segera bereaksi dengan

    menangkap virus dan memprosesnya. Makrofag sendiri merupakan Antigen

    Presenting Cell (APC). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi

    sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T

    Helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah

  • 10

    memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 2 jenis

    antibodi yang telah dikenali yaitu:

    1. antibodi netralisasi

    2. antibodi hemaglutinasi

    3. antibodi fiksasi komplemen.

    Proses di atas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang

    merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan

    gejala lainnya. Dapat terjadi manifestasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit

    yang menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. 39

    Monosit dan makrofag lebih mudah terinfeksi dan teraktivasi dengan

    adanya infeksi virus yang kedua dengan mengeluarkan Interleukin-1 (IL-1),

    Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor (TNF), dan Platelet- Activating

    Factor (PAF). Mediator-mediator tersebut akan mempengaruhi endotel yang

    menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan. 39

    2.2.5 Diagnosis

    Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD 40

    yaitu:

    1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya

    manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.

    2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan

    peredaran lain.

    3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan

    lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) ata hipotensi,

    sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.

    4. Derajat 4: Syok berat Diagnosa terdiri dari klinis dan laboratoris,

    disamping menentukan derajat beratnya penyakit. 40

    Tabel 2.1 Derajat Penyakit DBD

  • 11

    2.2.6 Patogenesis DBD

    Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif

    sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat

    menggigit dan menghisap darah.17

    Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-

    ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,

    nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan,

    sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan

    menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan

    membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen

    struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi

  • 12

    immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective

    terhadap serotipe virus lainnya.41

    Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi

    biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-

    mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE.41

    Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi

    netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat

    mencegah infeksivirus, dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran

    reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis

    DBD dan DSS(7).

    Gambar 2.3 Bagan kejadian inveksi virus dengue

    Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang

    masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan

    antibody dependent enhancement (ADE).42

    Dalam teori atau hipotesis infeksi

  • 13

    sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe

    virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue

    tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan

    infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang

    berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer,

    akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda

    yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius

    dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-

    1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF);

    akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue.7 TNF alpha

    akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma

    ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang

    mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.43

    Pendapat lain

    menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang

    farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga

    menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan.44

    Anak di bawah

    usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari

    ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat

    adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak

    tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu

    makrofagmudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF

    alpha juga PAF.45-46

    Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis

    virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut,

    tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan

    menimbulkan penyakit yang berat.42

    Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di

    dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.47

    Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di

  • 14

    antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe

    virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat

    ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya.

    Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian

    DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar

    C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks

    imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B

    dan sel organ tubuh lainnya danakan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun

    yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang

    terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6,

    IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggungjawab pada

    terjadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.48

    Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam

    beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan

    (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian

    karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan

    metabolic.42

    2.2.7 Struktur Genom Dan Replikasi Virus Dengue

    Virus dengue merupakan virus RNA rantai tunggal (singA stranded /

    ssRNA yang termasuk ke dalam famili flaviviridae, genus flavivirus dan terdapat 4

    serotipe yang berbeda yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4. Keempat serotipe

    tersebut didapati di Indonesia. Virus dengue memi[iki genom 11 kb. Genom tersebut

    mengkode 10 macam protein virus yaitu 3 protein struktural (C/protein Care,

    M/protein Membrane, E/ protein envelope) dan 7 protein non struktural (NSI, NS2a,

    NS2b, NS3, NS4b, dan NS5). Pada saat virus masuk ke sel melalui proses

    endositosis yang diperantarai reseptor, genom virus yang terdiri dari ssRNA akan

    dilepaskan ke dalam sitoplasma dan digunakan sebagai cetakan / template untuk

  • 15

    proses translasi menjadi prekursor protein yang besar. Pemotongan pada bagian

    terminal dari poliprotein ini oleh enzirn enzim sel inang / host (signalase, furin) akan

    menghasilkan protein-protein struktural yang membentuk partikel virus yang

    berselubung. Polprotein yang tersisa dibutuhkan untuk menghasilkan lebih banyak

    virus. Protein-protein non struktural virus tersebut diduga bersma-sama dengan

    protein-protein host yang belum diketahui, membentuk mesin replikasi di dalam

    sitoplasma sel-sel yang terinfeksi yang mengkatalisis pcrbanyakan RNA. Sebagai

    contob NS3 dan NS5 memiliki aktivitas protease, belicase, polymerase yang sangat

    berperan pada proses replikasi. NS3 hanya akan aktif bila berikatan dengan NS2b di

    mana NS2b juga berperan pada protein folding. RNA yang baru dihasilkan kernudian

    digunakan kembali untuk proses translasi dan menghasilkan kembali protein-protein

    virus, untuk sintesis lebih banyak RNA virus atau untuk enkapsidasi ke dalam

    partikel virus. Pada akhirnya virion meninggalkan sel dengan proses eksositosis yang

    sering mcnycbabkan kematian sel.49

    2.2.8 Protein Non Structural-1 (NS1 Dengue)

    NS1 adalah glikoprotein non struktural dengan berat molekul 46-50 kD

    dan merupakan glikoprotein yang sangat conserved. Pada mulanya NSI digambarkan

    sebagai suatu antigen Soluble Complement Fixing (SCF) pada kultur sel yang

    terinfeksi. NS1 diperlukan untuk kelangsungan hidup virus namun tidak diketahui

    dengan pasti aktivitas biologisnya. Dan bukti yang sudah ada menunjukkan bahwa

    NS1 terlibat dalam proses replikasi virus. NS1 dihasilkan dalam 2 bentuk yaitu

    membrane associated (mNS1) dan secreted form (sNS1). NS1 pada rnulanya di

    translokasikan ke retikulum endoplasma melalui sekuens signal hidrofobik yang

    dikode di bagian C terminal E, dan secara cepat didimerisasi di dalam organel-

    organel intrasel, kemudian ditransfer ke membran sitoplasma. NS1 dilepaskan dalam

    bentuk hexameric solubilized (sNS1),yang dibentuk dan 3 sub unit dimerik yang

    heksamer dihubungkan secara kovalen. Selama infeksi sel, NS1 ditemukan berkaitan

  • 16

    dengan organel-organel intrasel atau ditransfer melalui jalur sekresi ke pernukaan sel

    (membran sitoplasma). Bentuk yang larut dilepaskan dan sel mamalia yang terinfeksi.

    NS1 bukan bagian dan struktur virus tetapi diekspresikan pada permukaan sel yang

    terinfeksi dan memiliki determinan-determinan dan spesifik grup dan tipe. NS1

    flavivirus telah dikenal sebagai imunogcn yang penting dan menunjukkan peran

    dalam proteksi terhadap penyakit. Namun, peran NS1 dalam imunopatogenitas juga

    telah dikemukakan berdasarkan temuan anti-SCF antibodies dalam serum pasien-

    pasien dengan infeksi sekunder tetapi tidak pada infeksi primer.49

    2.2.9 NS1 dan Infeksi dengue

    NS1 dengue disekresikan ke dalam sistem darah pada individu-individu

    yang terinfeksi dengan virus dengue. NS1 bersirkulasi pada konsentrasi yang tinggi di

    dalam serum pasien dengan infeksi primer maupun sekunder selama fase klinik sakit

    (clinical phase of illness) dan hari-hari pertama fase konvalesens (pemulihan). Dari

    penelitian juga ditunjukkan bahwa deteksi NS1 dapat memberikan diagnosis spesifik

    infeksi dengue.50

    Konsisten dengan penelitian pada manusia, antibodi yang diproduksi

    sewaktu infeksi virus dengue menunjukkan adanya reaksi silang dengan beberapa

    self-antigens (antigen pasien). Reaksi silang antara antibodi virus dengue, terutama

    anti-NS1 dengan sel dari endotel dan platelet dapat dijadikan dasar dari hipotesis

    terjadinya trombositopenia. Antibodi anti-NS1 yang bereaksi silang dengan sel

    endotel dapat merangsang sel ini untuk menghasilkan NO dan apoptosis. Nitric oxide

    berfungsi untuk menghambat replikasi virus dengue, akan tetapi jika diproduksi

    dalam jumlah berlebihan akan menyebabkan kerusakan sel.51

    Antibodi anti-NS-1 juga menunjukkan adanya reaksi silang dengan

    platelet dan menyebabkan trombositopenia.52

    Hal tersebut terjadi pada fase akut

    pasien DBD, diduga platelet mengekspresikan molekul permukaan spesifik yang

  • 17

    dikenali oleh autoantibodi seperti anti-NS-1 tersebut,53

    khususnya regio C terminal

    dari NS1.54

    Pengaruh dari reaksi silang antara antibodi dengan platelet adalah terjadi

    lisis dari platelet dan inhibisi agregasi platelet. Platelet yang bereaksi silang dengan

    antibodi anti-NS1 akan mengaktivasi komplemen yang akhirnya akan mengakibatkan

    bertambah banyaknya lisis dari platelet. Induksi platelet lisis melalui reaksi silang

    dengan Antibodi anti-NS1 menjelaskan mekanisme terjadinya trombositopenia pada

    fase akut virus dengue.3, 51

  • 18

    BAB III

    METODE PENULISAN

    3.1 Teknik Penulisan

    Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan metode sintesis dengan

    pendekatan teoritik atau telaah pustaka untuk memperoleh data dan informasi.

    3.2 Waktu dan Tempat Penulisan

    3.2.1 Waktu Penulisan

    Karya tulis ilmiah ini disusun dan diselesaikan pada bulan November

    2014

    3.2.2 Tempat Penulisan

    Lokasi penulisan dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

    Jember dengan sumber referensi yang berasal dari Perpustakaan Pusat UniversitasJ

    ember, Ruang Baca Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember, dan browsing di

    situs-situs (website) yang ada di internet serta melalui konsultasi dengan dosen

    pembimbing.

    3.3 Bahan dan Sumber Referensi

    Bahan dan sumber referensi dikumpulkan dari berbagai macam literatur yang

    berasal dari hasil penelitian dalam jurnal ilmiah, artikel ilmiah, serta buku teks ilmiah

    dan berbagai sumber yang berhubungan dengan karya tulis ilmiah ini.

  • 19

    3.4 Pendekatan Metode Penulisan

    Literatur-literatur yang telah didapatkan pada tahap ini, selanjutnya dilakukan

    pengolahan data dengan cara mengedit kata atau kalimatnya kemudian disesuaikan

    dengan alur penulisan. Penyesuaian yang dilakukan tanpa merubah maksud dan

    tujuan dari penulisan tersebut, sehingga didapatkan suatu pembahasan yang

    sistematis.

    Data yang diperoleh dianalisis melalui analisis deskriptif yaitu menguraikan

    data dan fakta dari hasil telaah pustaka. Analisis data digunakan dalam menganalisis

    permasalahan yang akhirnya menentukan sintesis berupa usulan alternatif dalam

    pemecahan masalah.

    Langkah-langkah dalam penulisan karya tulis ilmiah ini meliputi: (1) penentuan

    masalah; (2) mengumpulkan bahan referensi dan mencari informasi mengenai

    masalah tersebut; (3) mengembangkan dan menganalisis permasalahan berdasarkan

    referensi yang didapat; (4) mencari pemecahan masalah dan mencari alternatif usulan

    berdasarkan analisis yang telah disusun, kemudian (5) diambil suatu simpulan serta

    rekomendasi.

    3.5 Alur Penulisan

    Alur penulisan karya tulis ilmiah ini dapat dijelaskan secara singkat melalui

    diagram dibawah ini:

  • 20

    Gambar 3.1 Skema alur penulisan karya tulis ilmiah

  • 21

    BAB IV

    ANALISIS DAN SINTESIS

    4.1 Analisis permasalahan

    Diagnosis DBD tidak mudah dipastikan karena infeksi virus dengue

    mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi dari yang paling ringan

    (mild undifferentiated fe- brile illness), dengue fever (DF), dengue haemorrhagic

    fever (DHF) sampai dengue shock syndrome (DSS). Diagnosa lebih awal menjadi

    sangat dibutuhkan agar penanganannya lebih cepat dan sesuai.Keterlambatan dan

    kesalahan dalam diagnose DBD menyebabkan penderita ditemukan dalam fase yang

    sudah lanjut, sehingga prognosa dari DBD relatif buruk.

    Beberapa metode diagnosa yang sudah digunakan pada DBD beberapa

    diantaranya adalah haemaglutination inhibition (HI) test dan RDT (Rapid Diagnistic

    Test). HI test merupakan uji serologi untuk mendeteksi antibodi anti-dengue pada

    pasien yang sampai sekarang masih direkomendasikan oleh WHO. Sedangkan RDT

    mendeteksi antibodi ( IgG dan IgM anti-dengue ) pada serum, plasma atau darah

    segar. Diagostik yang selama ini digunakan dinilai masih memunyai kekurangan

    yaitu tekniknya yang rumit, memerlukan tenaga ahli dan prosesnya membutuhkan

    waktu yang lama.

    4.2 Sintesis permasalahan

    Gingival Crevikular Fluid (GCF) adalah suatu produk filtrasi fisiologis dari

    pembuluh darah yang termodifikasi. GCF berasal dari serum darah sehingga

    merupakan cerminan dari darah dan komponen lain yang menggambarkan kondisi

    kesehatan tubuh.Kandungan kandungan pada GCF dapat menunjukkan potensi

  • 22

    dalam menentukan diagnosis klinis DBD. NS1 dengue disekrcsikan ke dalam sistem

    darah pada individu-individu yang terinfelcsi dengan virus dengue. NS1 bersirkulasi

    pada konsentrasi yang tinggi di dalam serum pasien dengan infeksi primer maupun

    sckunder selama fase klinik sakit (thnical phase of illness) dan hanh an pertama fase

    konvalesens (pemulihan). Dad penclidari juga ditunjukkan bahwa deteksi NSI dapat

    memberikan diagnosis spesifik infeksi dengue.Keunggulan GCF sebagai biomarker

    dalam mendeteksi suatu penyakit, yaitu non-invasif, sensitifitas dan spesifitas yang

    tinggi, sederhana, serta menjadi alternatif pemeriksaan darah, urin, ataupun biopsi.

    Intregrated peptide nanosenor test merupakan salah satu teknologi sebagai

    deteksi dini melalui gingiva crevikular fluid. Teknik ini mengandalkan gingiva

    crevikular fluid (GCF) dan mengkombinasikannya dengan teknologi mutkhir berupa

    nanosensor. Intregrated peptide nanosenor testbekerja dengan melepaskan kandungan

    analit konjugat untuk mendeteksi non-structural 1 (NS1) antigen yang diproduksi

    virus dengue berupa anti-dengue NS1 antigen capture.

    Prinsip kerja integrated peptide nanosensor yaitu pipet kapilerdimasukkan

    dalam margin gingival, 1 mm dalam sulkus lalu segera diteteskan kedalam tabung

    sampel sapnortest. Saliva akan mengalir ke zona detektor bersama dengan Anti-

    dengue NS1 antigen-colloid gold. Berbagai macam protein pada saliva akan diikat

    oleh nanosensor. Nanosensor yang terdapat pada zona detektor integrated peptide

    nanosensor bekerja selektif terhadap Anti-dengue NS1 antigen yang hanya diproduksi

    oleh virus dengue akan terikat peptide nanosensor. Hal tersebut akan membuat setiap

    Anti-dengue NS1 antigen yang terikat akan selalu menempel pada zona detektor

    untuk melakukan ikatan dengan komponen peptide sensor sehingga tidak ada protein

    yang lolos dari pemeriksaan. GCF bergerak sepanjang membran yang akan

    membentuk kompleks antibody-antigen-antibody gold particle.

    Pada layar integrated peptide nanosensor, hasil uji akan dinyatakan positif jika

    tampak tulisan validity dengue test > 50%; analytic non-structural 1 (NS1)

  • 23

    antigen>90%.Hal tersebut menandakan bahwa integrated peptide nanosensor telah

    melakukan diagnosa positif terhadap DBD. 22

    Gambar 4.1 Prototype Integrated Peptide Nanosensor

    Output Saliva

    Tombol ON

    Tombol OFF

    Layar pembaca

    Input Saliva

  • 24

    BAB V

    SIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Teknis pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosa DBD beberapa

    diantaranya adalah haemaglutination inhibition (HI) test dan RDT (Rapid Diagnistic

    Test dinilai masih memunyai kekurangan yaitu tekniknya yang rumit, memerlukan

    tenaga ahli dan prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Potensi biomarker non-

    structural 1 (ns1) antigen pada gingival crevicular fluid (GCF) dalam integrated

    peptide nanosensor test dapat digunakan sebagai teknologi alternatif deteksi dini

    Demam berdarah dengue (DBD) yang lebih sederhana, teknik yang lebih mudah dan

    cepat, serta tidak membutuhkan tenaga ahli.

    5.2 Saran

    Perlu adanya penelitian dan pengembangan lebih lanjut tentang penggunaan

    biomarker non-structural 1 (NS1) antigen pada gingival crevicular fluid (GCF) dalam

    integrated peptide nanosensor test khususnya dalam bidang kedokteran gigi.

  • 25

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Hartanto F. Hubungan Golongan Darah O dengan kejadian shock pada

    penderita Demam Berdarah Dengue. Semarang:Diponegoro Univesity

    Pers.2005

    2. Wahjudi P, Hartanti RI, Cahyo WH. Frekuensi dan distribusi Demam

    Berdarah Dengue di Kecamatan Sumbersari Kab.Jember tahun 2004-2006.J

    Biomed Vol.1(1):60-70.2006

    3. Lei YH, Yeh TM, Liu HS, Lin YS, Chen SH, Liu CC. Immunopatogenesis of

    Dengue Virus Infection. J Biomed Sci. 2001;8:37788.

    4. Chen, K., Pohan, H.T., dan Sinto, R. 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan pada

    Demam Berdarah Dengue. J. Medicinus. Vol. 22 (1): 3-8.

    5. Dharma, R., Hadinegoro, S.R., dan Priatni, I. 2006. Disfungsi Endotel pada

    Demam Berdarah Dengue. Makara Kesehatan. Vol.10(1):17-23.

    6. WHO. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan

    Demam Berdarah Dengue. Jakarta: WHO & Depar- temen Kesehatan RI;

    2003

    7. pppl.depkes.go.id

    8. Nimmannitya S, Halstead SB, Cohen SN, Margiotta MR. Dengue and

    Chikungunya virus infection in man in Thailand, 1962-1964:I. Obsevations

    on hospitalized patiens with hemorrhagic fever. Am J Trop Med Hyg. 1969;

    18:954

    9. Depkes RI.2005. Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di

    Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

    Lingkungan.

    10. Subahgio.2009.Menentukan faktor risiko dominan kejadian sindrom syok

    dengue pada penderita DBD. Http://digilib.bmf.litbang.depkes.go.id

    11. Rothman AL. 2004. Dengue : definingi protective versus patologic immunity.

  • 26

    J clin Invest 113, pp 346-951

    12. Barid, I., Indahyani, D.E., dan Rahayu, Y.C. 2007. Biologi Mulut I. Jember:

    Universitas Jember.

    13. Vindani, D. 2008. Cairan Sulkus Gingiva dan Peranannya dalam Bidang

    Kedokteran Gigi. Makara Kesehatan. Vol.1(2):56-59.

    14. Uitto VJ. Gingival crevice fluid-an introduction. Periodontol 2000. 2003;31;9-

    11.

    15. Zhou H, McCombs GB, Darby ML, Marinak K. Sulphur by-product:the

    relationship between volatile sulphur compounds and dental plaque-induced

    gingivitis. J Contemp Dent Pract. 2004;5:27-39.

    16. Manson, J.D. & Eley, B.M .1993. Buku Ajar Periodonti (Outline of

    Periodontic).Diterjemahkan oleh :drg. Anastasia S. Editor: drg.Susianti K.Ed.

    Ke-2. Jakarta: Hipokrates.

    17. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.

    New Edition. Geneva: World Health Organization; 2009.

    18. Supartha I, editor. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah

    Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse)

    (Diptera:Culicidae). Pertemuan Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis 2008

    Universitas Udayana; 3-6 September 2008; Denpasar: Universitas Udayana

    Denpasar.

    19. Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on

    Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious

    Disease. 2007; Vol 30:329-40.

    20. Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Noowotny K. Zoonotic Mosquito-

    borne Flaviviruses: Worldwide Presence of Agent with Proven Pathogenesis

    and Potential candidates of Future Emerging Diseases. Vet Microbiol.

    2010;Vol 140:271- 80.

  • 27

    21. Novriani H. Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam Berdarah Dengue

    dan Dengue Syndrome Pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2002;Vol

    134:46-9.

    22. Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection.

    Postgraduate Medical Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601.

    23. Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue Di

    Indonesia. Jakarta: Depkes R.I; 2005.

    24. Kusriastuti R. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 2009

    dan Tahun 2008. Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI; 2010.

    25. Josi V, Sharma R. Impact of Verticallytransmitted Dengue Virus on Viability

    of Eggs of Virus-Inoculated Aedes aegypti. Dengue Bulletin. 2001;Vol

    25:103-6.

    26. Rohani A, Zamree I, Lee HL, I M. Detection of Transovarian Dengue for

    Field Caught Aedes aegypti and Aedes albopictus Mosquitoes Using C6/36

    Cool Line Culture and RT-PCR. Institue for Medical Research press. Kuala

    Lumpur; 2005.

    27. Tambyah PA, Koay ESC, Poon MLM, Lin RVTP, Ong BKC. Dengue

    Hemorrhagic Fever Transmitted by Blood Transfusion. The England Journal

    of Medicine. 2008; Vol. 359: p. 1526-7.

    28. Gubler DJ. Epidemic Dengue Hemorrhagic Fever as a Public Health, Sosial

    and Economic Problem in Tha 21st Century. Trends Microbiol. 2002; Vol.

    10: p. 100-13.

    29. Kristina, Ismaniah, Wulandari L. Kajian Masalah Kesehatan : Demam

    Berdarah Dengue. In: Balitbangkes, editor.: Tri Djoko Wahono. . 2004. p. hal

    1-9.

    30. Lubis I. Peranan Nyamuk Aedes dan Babi Dalam Penyebaran DHF dan JE di

    Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 1990; Vol. 60.

  • 28

    31. Canyon D. Advances in Aedes aegypti Biodynamis and Vector Capacity:

    Tropical Infectious and Parasitic Diseases Unit, School of Public Health and

    Tropical Medicine, James Cook University; 2000.

    32. Fatmah. Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia Lanjut.

    Makara Kesehatan. 2006 Juni 2006; Vol. 10 No. 1: hal. 47-53.

    33. Harahap H. Masalah Gizi Mikro Utama dan TumbuhKembang Anak Di

    Indonesia.: Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah Pasca Sarjana

    / S3 Institut Pertanian Bogor.; 2004.

    34. Husaini MA, Siagian UL, Suharno J. Anemia Gizi: Suatu Kompilasi

    Informasi dalam Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan

    Program. Direktorat Gizi dan Puslitbang Gizi, Depkes R.I; 2003.

    35. Wirahjanto A, S. Epidemilogi Demam Berdarah Dengue, dalam Demam

    Berdarah Dengue Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 1-10.;

    2006.

    36. Kasjono H, Kristiawan H. Intisari Epidemiologi. Jakarta: Mitra Cendikia

    Press; 2008.

    37. Sari CIN. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Penyakit Malaria

    Dan Demam Berdarah Dengue. Bogor: IPB; 2005.

    38. Chen, K., Pohan, H.T., dan Sinto, R. 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan pada

    Demam Berdarah Dengue. J. Medicinus. Vol. 22 (1): 3-8.

    39. Soegijanto, S. 2010. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus

    Dengue. J. Biol. Chem. Vol.1(3):26-29.

    40. Ratnaningsih, A. 2005. Skor Kebocoran Vaskuler Sebagai Penanda Awal

    Terjadinya Syok pada Demam Berdarah Dengue. Semarang : Diponegoro

    University Press.

    41. Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, et al.

    Kinetics of Dengue Virus-specific Immunoglobulin Classes and Subclasses

    Correlate with Clinical Outcome of Infection. J Clin Microbio. 2001;Vol. 39

    4332-8.

  • 29

    42. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue.

    www.pediatrikcom/buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc; 2002 [cited 2010];

    Available from: www.pediatrikcom/buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc.

    43. Dewi BE, Takasaki T, Sudiro TM, Nelwan R, Kurane I. Elevated Levels of

    Solube Tumour Necrosis Factor Receptor 1, Thrombomodulin and Solube

    Endothelial Cell adhesion Molecules in Patients with Dengue Hemorrhagic

    Fever. Dengue Bulletin. 2007;Vol 31:103 10.

    44. Gibson RV. Dengue Conundrums. International Journal of Antimicrobial

    Agents. 2010;Vol 36(26-39).

    45. Sowandoyo E, editor. Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa, Gejala

    Klinik dan Penatalaksanaannya. Seminar Demam Berdarah Dengue di

    Indonesia 1998; RS Sumberwaras. Jakarta.

    46. Wang S, Patarapotikul HR. Antibody-Enhanced Binding of Dengue Vitus to

    Human Platelets. J Virology. 1995;Vol. 213:1254-7.

    47. Soegijanto S. Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue Untuk Menurunkan

    Prevalensi di Masyarakat. Dipresentasikan di Peringatan 90 Tahun

    Pendidikan Dokter di FK Unair; Surabaya; 2003.

    48. Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakti S, Husmann M. Dengue Virus

    Infection of Human Endothelial Cells Leads to Chemokin Production,

    Complement Activation, and Apoptosis. J Immunol. 1998;Vol 161:6338-46.

    49. Alcon S, Talarmin A, Dcbruyne M, et al, 2002, Enzyme-linked Immunoassay

    specific to dengue virus type I nonstructural protein NS1 reveals circulation

    of the antigen in the blood during the acute phase of the disease in patients

    cxpericncing primary or secondary infections. Journal of Clinical

    Microbiology, 40 (2), pp 376-381.

    50. Rothman AL. 2004. Dengue : defining protective versus pathologic immunity.

    J Clin Invest 113, Pp 346-951.

    51. Martina BEE, Koraka P, Ossterhaus ADME. Dengue Virus Pathogenesis : an

    Integrated View. Clin. Micrbiol. Rev. 2009;22:564-81.

  • 30

    52. Dinesh N, Patil ND.Persistent Thrombocytopenia after Dengue Hemorrhagic

    Fever. Indian Pediatrics.2006;43:1010-1.

    53. Lin CF, Kei YH, Liu CC, Liu HS, Yeh TM, Wang ST, dkk.Generation of

    IgM Anti-Platelet Autoantibody in Dengue Patients. J. of Med Virol.

    2001;63:143-9.

    54. Chen MC, Lin FC, Lei HY, Lin SC, Liu HS, Yeh TM, dkk. Deletion of the

    Cterminal Region of Dengue Virus Nonstructural Protein 1 (NS1) Abolishes

    Anti-NS1- Mediated Platelet Dysfunction and Bleeding Tendency. Exp Biol

    Med. 2011;236:515-23.