BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka...

34
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam melangsungkan kehidupannya, baik secara langsung maupun tidak langsung dan bahkan seringkali tanpa disadarinya akan selalu bergantung pada lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup. Manusia dari satu segi menjadi sebagian dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup, dan di sisi lainnya lingkungan fisik dan alam adalah sebagian dari diri manusia. Kerangka landasan bagi menciptakan dan membuat manusia menjadi tergantung serta menjadi bagian dari lingkungan fisik dan alam adalah kebudayannya. Suparlan (1980: 238) menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak begitu saja diturunkan, tetapi manusia harus mempelajari kebudayaannya melalui proses enkulturasi dan sosialisasi yang diwujudkan dalam proses pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan luar sekolah. Suparlan (1980: 239) mengatakan, bahwa pengetahuan tidak diperoleh manusia melalui warisan genetika yang ada dalam tubuhnya tetapi kedudukannya sebagai

Transcript of BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka...

Page 1: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 1!

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dalam melangsungkan kehidupannya, baik secara langsung maupun

tidak langsung dan bahkan seringkali tanpa disadarinya akan selalu bergantung

pada lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup. Manusia dari satu segi menjadi

sebagian dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup, dan di sisi lainnya

lingkungan fisik dan alam adalah sebagian dari diri manusia. Kerangka landasan

bagi menciptakan dan membuat manusia menjadi tergantung serta menjadi bagian

dari lingkungan fisik dan alam adalah kebudayannya. Suparlan (1980: 238)

menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai

makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi

lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi

mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia.

Kebudayaan tidak begitu saja diturunkan, tetapi manusia harus mempelajari

kebudayaannya melalui proses enkulturasi dan sosialisasi yang diwujudkan dalam

proses pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan luar sekolah.

Suparlan (1980: 239) mengatakan, bahwa pengetahuan tidak diperoleh manusia

melalui warisan genetika yang ada dalam tubuhnya tetapi kedudukannya sebagai

Page 2: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 2!

makhluk sosial. Ini berarti bahwa kebudayaan tersebut telah diperoleh melalui

proses belajar dari lingkungannya dan dengan proses belajar ini manusia

memperoleh berbagai macam pengetahuannya. Hubungan antara kegiatan

manusia dengan lingkungan fisik dan alamnya dijembatani oleh pola-pola

kebudayaan yang dipunyai manusia, dengan kebudayaan inilah manusia

beradaptasi dengan lingkungannya, dan dalam proses adaptasi ini manusia

mendayagunakan lingkungannya (Forde dalam Suparlan, 1963:463)

Soemarwoto (2004: 20) menegaskan suatu sistem ekologi terbentuk oleh

hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Hubungan

timbal balik yang harmonis antara manusia dengan alam terwujud dalam etika

ekosentrisme. Etika ini melihat kepentingan manusia bukan sebagai yang paling

utama dan dengan penuh kesadaran melibatkan alam secara keseluruhan,

sehingga menciptakan eksosistem yang seimbang.

Paham ekosentrisme justru banyak dihayati oleh masyarakat bersahaja

(indigenous people) yang meyakini bahwa alam dan dirinya adalah unsur yang

tidak terpisahkan (inklusionisme). Ryan (1992: 29) mengatakan sebenarnya

masyarakat telah melindungi sistem ekologis secara sadar selama ribuan tahun.

Para petani di Asia Selatan dan Asia Tenggara dari dahulu secara tradisional

selalu menganggap hutan sebagai tempat keramat dan sangat menghormatinya,

mereka menaruh kepercayaan bahwa hutan merupakan tempat berkuasanya para

dewa serta tempat tinggal para leluhur.

Page 3: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 3!

Sekitar tahun 2000-an wacana mengenai lingkungan hangat dibicarakan

karena rusaknya hutan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Food and

Agriculture Organisation (FAO) memperkirakan angka kerusakan hutan di

Indonesia terus meningkat. Setiap tahunnya 300.000 ha pada dekade 70-an

meningkat drastis menjadi 600.000 ha pada awal tahun 80-an. FAO juga

memprediksikan laju kerusakan hutan terus meningkat mencapai 1,3 juta ha/tahun

(Tanah Air, 9/5/90). Majalah Buletin Lestari (9/3/06) melaporkan, sejak tahun

1990 hingga tahun 2000 laju deforestasi kawasan hutan di Indonesia mengalami

peningkatan. Tahun 1997 masih sekitar 1,8 juta ha/tahun, periode 1997-2000

telah meningkat mencapai 2,8 juta ha/tahun.

Saat ini diperkirakan sekitar 31.817,75 hektar atau 25 persen dari luas

keseluruhan hutan daratan di Bali, yang seluas 127.271,01 hektar, mengalami

konversi fungsi lahan. Perubahan fungsi lahan hutan tersebut disebabkan

beberapa hal, antara lain perambahan kawasan hutan oleh kelompok-kelompok

masyarakat yang berdiam di dekat hutan dan penggunaan kawasan hutan untuk

pembangunan di luar sektor kehutanan, penebangan liar dan kebakaran, serta

khusus untuk kebakaran, diperkirakan rata-rata 350 ha lahan hutan di Bali

terbakar setiap tahunnya (Anonim, 2005). Berdasarkan data Dinas Kehutanan

Bali pada tahun 2000, luas kawasan hutan daratan di Bali adalah 127.721,01

hektar atau hanya 22,59 persen dari luas keseluruhan kawasan daratan Bali yang

seluas 563.286 hektar (Anonim, 2006). Berita terkini pada bulan Agustus sampai

Page 4: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 4!

dengan Nopember 2014 kembali terjadi kebakaran hutan di lereng Gunung Batur

seluas 10 hektar (Bali Post, 15/09/14 ) serta di lereng Gunung Agung seluas 15

hektar. Salah satu dampak vital dari kerusakan hutan adalah bencana kekeringan,

sebab kerusakan hutan secara langsung mengganggu aktivitas hidrologi.

Data di atas menunjukkan keadaan hutan yang kian memprihatinkan,

sehingga menimbulkan suatu kesadaran untuk meniru pola pengelolaan hutan

yang secara turun temurun dalam keadaan sengaja maupun tidak telah

dipraktekkan oleh beberapa desa yang ada di Bali, salah satunya di Desa Bayung

Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa Bayung Gede salah satu

Desa Bali Mula yang sampai saat ini masih memelihara tradisi dan nilai-nilai

tradisional yang diwarisi secara turun-temurun.

Masyarakat Bali Mula di Bayung Gede juga menganut sistem desa adat yang

berlandaskan awig-awig (aturan adat setempat) yang berfungsi untuk

menjalankan fungsi-fungsi kegiatan adat yang ada di Desa Bayung Gede. Tatanan

sosial-budaya masyarakat Bayung Gede memperlihatkan bahwa desa adat

merupakan simbol sakralisasi yang telah bertahan ratusan mungkin ribuan tahun,

memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Hal ini bisa dilihat dari

eksistensi politis dan sosiologis yang diperankan oleh desa adat dalam

memajukan maupun mempertahankan nilai-nilai kultural masyarakat setempat

(Lasmawan, 2002; Suastika, 2008). Salah satu nilai-nilai kultural tersebut adalah

penguburan ari-ari dengan cara digantung di pohon bukak (Cerbera manghas)

Page 5: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 5!

yang dipercaya oleh masyarakat setempat dapat memelihara dan melindungi bayi

mereka secara magis, sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit dan

gangguan yang tidak dapat dilihat secara kasat mata.

Manusia tidak pernah menghadapi lingkungan fisik secara langsung, mereka

selalu mendekati alam dengan budaya, dalam berbagai sistem simbol, makna dan

nilai (Sahlin, 1997). Mitologi asal-usul masyarakat Bayung Gede menyebutkan

bahwa leluhur mereka berasal dari tued kayu (pangkal pohon) yang dihidupkan

dengan tirta kamandalu yang dibawa dari Pulau Jawa oleh titisan Bhatara Bayu.

Masyarakat Bayung Gede meyakini, bahwa asal mula mereka adalah kayu yang

mendapatkan restu dari Bhatara Bayu untuk menjelma menjadi manusia. Oleh

karena asal mereka dari kayu, maka ketika bayi baru lahir dari rahim ibunya harus

dikembalikan kepada asalnya, yaitu kepada kayu. Pelaksanaan prosesi sistem

gantung ini disimboliskan dengan menggantung ari-ari bayi atau saudara sang

bayi di pohon bukak atau bungkak (Cerbera manghas).

Masyarakat Bali Dataran pada umumnya akan menanam ari-ari bayi di

halaman rumah keluarga yang melahirkan. Ari-ari bayi memiliki kaitan yang erat

dengan kepercayaan empat saudara. Keempat saudara ini berupa unsur yeh nyom

(air ketuban), getih (darah), lamad dan ari-ari yang semuanya disebut dengan

Catur Sanak atau Kandapat (Eiseman, 1989:103). Catur Sanak memiliki fungsi

melindungi si bayi dari penyakit, mengusir roh-roh jahat yang mengganggu si

Page 6: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 6!

bayi dan menjamin si bayi dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat serta

kuat.

Prosesi gantung ari-ari di pohon bukak (Cerbera manghas) merupakan tradisi

unik yang terkadang sulit diterima oleh akal sehat, apalagi ari-ari yang digantung

di areal setra (kuburan) tidak menimbulkan bau busuk. Tradisi langka ini masih

tetap dipertahankan oleh masyarakat Bayung Gede di tengah gempuran penetrasi

budaya oleh Bali Dataran ( Hindu Majapahit) dan gempuran globalisasi.

Pohon bukak (Cerbera manghas) sebagai tempat menggantung ari-ari bayi

adalah pohon yang banyak ditemukan di Desa Bayung Gede. Pohon bukak

(Cerbera manghas) dapat tumbuh dari 3 sampai dengan 10 meter dan memiliki

buah yang terbelah dua, yang memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Bayung

Gede. Secara filosofis pohon bukak (Cerbera manghas) diyakini merupakan ibu

saudara sang bayi yang akan mengasuhnya secara magis, saudara ini

dilambangakan oleh ari-ari yang lahir bersama dengan sang bayi. Prosesi upacara

ari-ari dengan sistem gantung juga merupakan bentuk penghormatan terhadap

nenek moyang masyarakat Bayung Gede. Dalam prosesi ini pohon dimaknai

sebagai manusia yang menjaga saudara bayi (ari-ari) dari berbagai macam

gangguan.

Areal setra ari-ari bertempat di sebelah Selatan pusat Desa Bayung Gede dan

merupakan bagian integral dari Desa Bayung Gede berdasarkan pada zona

pembagian ruang desa yang tegas dan sesuai dengan awig-awig Desa Bayung

Page 7: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 7!

Gede. Tempat ini merupakan sebuah hutan kecil dengan luas 60 are yang

ditumbuhi berbagai jenis pohon lebat dan didominasi oleh pohon bukak (Cerbera

manghas). Setra ari-ari termasuk ke dalam kawasan sakral yang dilindungi,

segala jenis pohon yang berada dalam areal setra ari-ari dilarang untuk ditebang,

sehingga kelestarian hutan tetap terjaga.

Mengacu pada pemikiran Rappaport, bahwa masyarakat pribumi memiliki

interpretasi tentang dunia, serangkaian peraturan dan ekspektasi, menghargai

prinsip, konsep dan nilai yang signifikan dengan pengemban budaya individu dan

mencatat mengapa dia melakukan sesuatu (Rappaport, 1968). Para penganut

aliran materialisme budaya melihat kearifan ekologi sebagai logika rasionalisme

yang tersembunyi di balik selubung budaya. Menurut paham aliran ini bahwa di

balik berbagai bentuk kepercayaan tradisional sesungguhnya terdapat logika-

logika rasional yang mencerminkan prinsip-prinsip adaptasi ekologi (Pujaastawa,

2013:4)

Bali serta banyak daerah lainnya telah mengalami degradasi hubungan

manusia dengan lingkungannya. Pembangunan yang pesat di satu sisi telah

melupakan pentingnya memperhitungkan resapan air (biopori) yang berakibat

terjadinya bencana banjir atau tanah longsor (erosi). Kawasan Gunung Batur dan

sekitarnya, termasuk Bayung Gede memiliki peran yang sangat penting dalam

mempertahankan ketersediaan air serta pelestarian hutan (Anonim, 2014).

Page 8: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 8!

Fenomena keberadaan hutan Setra Ari-ari menarik untuk dikaji, karena hasil

observasi dan wawancara dengan masyarakat Bayung Gede, menunjukkan bahwa

di dalam hutan setra ari-ari terkandung logika-logika rasional yang terselubung

di dalam berbagai bentuk simbol dan makna yang mencerminkan prinsip-prinsip

ekologi.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini mengkaji kearifan ekologi masayarakat Bayung Gede dalam

pelestarian hutan setra ari-ari di Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani,

Kabupaten Bangli, Bali. Bayung Gede berada pada ketinggian 1.100 meter di atas

permukaan laut sehingga memiliki hawa sejuk. Lokasi Bayung Gede yang berada

di daerah pegunungan memiliki peranan yang sangat penting dalam pelestarian

hutan. Berdasarkan pada latar belakang di atas Desa Bayung Gede yang termasuk

dalam Desa Bali Mula, memiliki tradisi ritual yang mengandung kearifan ekologi

terutama dalam bentuk pelestarian hutan. Secara lebih eksplisit, permasalahan

dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Mengapa masyarakat Bayung Gede melakukan pelestarian hutan Setra

Ari-ari?

2. Bagaimana makna simbolik Setra Ari-ari bagi masyarakat Bayung Gede?

Page 9: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 9!

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Uraian tentang latar belakang penelitian yang kemudian dirumuskan dalam

dua permasalahan mendasar pada kajian ini, berimplikasi pada tujuan dan

manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Adapun tujuan dan manfaat

tersebut yakni sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kearifan ekologi masyarakat Bayung Gede dalam

mengatasi masalah pelestarian hutan setra ari-ari.

2. Untuk memahami makna simbolik Setra Ari-ari bagi masyarakat Bayung

Gede.

1.3.2 Manfaat Akademis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan bagi

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Antropologi Ekologi.

2. Penelitian ini dapat memotivasi dan menginspirasi peneliti-peniliti lain

yang tertarik untuk melihat permasalahan lingkungan hidup berbasiskan

kearifan lokal.

Page 10: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 10!

1.3.3 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian Setra Ari-ari ini, dapat dijadikan sebagai sumbangan

informasi mengenai salah satu kearifan ekologi yang ada di Nusantara.

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi para pengambil

keputusan dalam upaya pengembangan dan pengelolaan hutan berbasiskan

kearifan ekologi.

1.4 Kerangka Teori dan Konsep

1.4.1 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan etnoekologi

dan teori interpretatif Geertz.

1.4.1.1 Pendekatan Etnoekologi

Etnoekologi menjadi pendekatan antropologi ekologi yang sangat

berkembang hampir dalam 2 dasawarsa terakhir. Pendekatan ini muncul

setelah pendekatan ekologi budaya Julian Steward yang dinilai masih kurang

memadai dalam penelitian hubungan kebudayaan dan lingkungan. Dalam

kritiknya Harris melihat adanya inkonsistensi Steward dalam konsep cultural

core miliknya, di samping itu Steward tidak mempertimbangkan bahwa

kebudayaan mungkin dapat memengaruhi lingkungan dengan cara yang kelak

akan merugikan manusia (Harris dalam Ahimsa Putra 1964: 75). Pendekatan

Page 11: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 11!

dalam etnoekologi banyak berasal dari pendekatan etnosains yang melukiskan

lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti (Arifin, 1998:

61).

Pendekatan etnoekologi mendapat banyak pengaruh dari konsep

etnosain yang mengacu pada paradigma kebudayaan yang menyatakan bahwa

kebudayaan tidak berwujud fisik tapi berupa pengetahuan yang ada pada

manah manusia. Etnosain banyak mengkaji klasifikasi untuk mengetahui

struktur yang digunakan untuk mengatur lingkungan dan apa yang dianggap

penting oleh suatu etnik, penduduk suatu kebudayaan. Setiap suku bangsa

membuat klasifikasi yang beda atas lingkungan nya dan hal ini tercermin pula

pada kata-kata atau leksikon yang mengacu benda, hal, kegiatan bahkan juga

struktur sintaksis yang diperlukan untuk mempresentasikan pengalaman yang

berbeda unik (Goodenough dalam Ahimsa Putra, 1964).

Etnoekologi dapat diartikan sebagai upaya manusia dalam beradaptasi

dengan lingkungan, cara manusia menggunakan lingkungan dan juga

keselarasan hidup sosial dengan lingkungan alam manusia. Ahimsa Putra

(2007) juga mengungkapkan konsep etnoekologi menelaah cara-cara

masyarakat tradisional memakai ekologi dan hidup selaras dengan lingkungan

alam dan sosialnya. Kehidupan masyarakat tradisional pada umumnya amat

dekat dengan alam, dan manusia mengamati alam dengan baik, mengenal

karakteristiknya sehingga mereka tahu bagaimana menanggapinya.

Page 12: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 12!

Pendekatan etnoekologi dipandang relevan dengan permasalahan yang

penulis angkat. Masyarakat Bayung Gede merupakan masyarakat Bali Mula

yang masih konsisten dengan kepercayaannya untuk menjaga dan mentaati

peraturan yang berkaitan dengan keberadaan Setra Ari-ari serta pelestarian

hutan yang diatur dalam awig-awig Desa Adat Bayung Gede. Masyarakat

Bayung Gede memiliki idea atau pemikirannya sendiri mengenai konsep

hutan yang berhubungan dengan asal-usul leluhur mereka, sehingga secara

tidak langsung menjaga kelestarian hutan. Fenomena ini sangat menarik untuk

diungkap lebih jauh untuk mencari keterkaitan serta makna dari keyakinan

masyarakat Bayung Gede.

1.4.1.2 Interpretatif Clifford Geertz

Penulis menggunakan metode interpretatif dari Clifford Geertz dalam

mengungkapkan pikiran masyarakat setempat mengenai setra ari-ari.

Paradigma interpretatif Geertz melihat kebudayaan sebagai model

pengetahuan masyarakat, yang dengan model tersebut menjadi acuan

masyarakat dalam mengambil keputusan terhadap lingkungan (Syam, 2007:

91). Clifford Geertz (1973:89) mengemukakan suatu definisi kebudayaan

sebagai: (1) suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang

dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia

mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian

Page 13: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 13!

mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang

terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk

simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan

mengembangkan pengetahuan mereka mengenai sikap terhadap kehidupan;

(3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber

ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu

sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan

diinterpretasi. Masyarakat menggunakan simbol untuk mengekspresikan

pandangan-pandangan dunianya, orientasi-orientasi nilai, etos, dan berbagai

aspek budaya lain (Ortner 1983:129). Ritus-ritus dalam budaya masyarakat

Bayung Gede, khususnya yang menyangkut setra ari-ari merupakan salah

satu medium yang tepat untuk mencermati pandangan masyarakat tersebut

terhadap alamnya.

Menurut Geertz, kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal utama,

yaitu sistem pengetahuan atau sistem kognitif, sistem nilai atau sistem

evaluatif, dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau

interpretasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang

dimungkinkan oleh simbol ialah yang dinamakan makna (system of meaning).

Dengan demikian, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol

dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai

menjadi pengetahuan. Untuk memahami budaya, seorang pengkaji tidaklah

Page 14: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 14!

berangkat dari pikirannya sendiri, tetapi harus berdasar atas apa yang

diketahui, dirasakan, dialami oleh pelaku budaya yang dikajinya “to grasp the

native’s point of view, his relation to life, to realize his vision of his world

(Malinowski dalam Lahajir, 2001:27) yang merupakan hakikat dari

pemahaman antropologis.

1.4.2 Konsep

1.4.2.1 Kearifan Ekologi

Kearifan Ekologi ialah logika masyarakat yang tanpa disadari telah

mendukung pelestarian lingkungan. Kearifan ekologi dapat ditemukan dalam mitos-

mitos dan tabu yang diyakini memiliki nilai kebenaran oleh masyarakat setempat.

Kearifan ekologi termasuk dalam bentuk kearifan local (local genius). Mengutip dari

Kementrian Lingkungan Hidup, kearifan lokal ialah nilai-nilai luhur (sistem

pengetahuan, sistem sikap dan perilaku, pengetahuan dan kegiatan pelestarian

lingkungan hidup dan ingatan kolektif) yang berlaku di dalam masyarakat untuk

antara lain melindungi serta mengelola lingkungan hidup secara lestari. Hal yang

sama dikemukakan oleh Astika (2008: 39) bahwa local genius atau kearifan lokal

sebenarnya memberi arti pada keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki oleh

suatu masyarakat atau bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau.

1.4.2.2 Masyarakat Bali Mula di Bayung Gede

Page 15: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 15!

Konsep Bali Mula merupakan sebutan bagi masyarakat Bali Asli yang tinggal

di pegunungan sehingga masyarakat ini juga seringkali disebut dengan Bali Aga. Aga

secara etimologi berasal dari bahasa Jawa yakni arga yang berarti gunung dan dalam

bentuk rusak menjadi aga (Danandjaja, 1980: 1). Masyarakat Bali Mula merupakan

masyarakat pra Hindu dari desa-desa yang menolak pengaruh dan budaya termasuk

juga praktek-praktek keagamaan dari kerajaan Majapahit yang tinggal di area

pegunungan bagian Utara Bali (Dalton, 1989: 406).

Wikarman (1998:45) dalam bukunya “Leluhur Orang Bali: Dari Dunia Babad

dan Sejarah” menyebutkan bahwa orang-orang Bali Mula atau Bali Asli adalah

orang-orang keturunan Austronesia yang dari jaman Megalitik telah mengenal sistem

organisasi sosial yang diaktualisasikan lewat persekutuan masyarakat yang disebut

dengan thani atau Banua (Wanua), dipimpin secara kolektif oleh 16 Jero dan oleh

para ahli disebut sebagai Republik Desa. Persekutuan kepemimpinan ini masih tetap

dipertahankan di desa-desa Bali Mula terutama dalam bidang adat. Persekutuan

kepemimpinan orang-orang Austronesia ini telah merata di seluruh wilayah di Bali

dan menjadi cikal bakal desa-desa di Bali. Orang-orang Austronesia ini dianggap

sebagai leluhur sebagian orang Bali Mula yang berarti orang-orang Bali Asli. Adanya

sebutan Bali Mula adalah untuk membedakannya dengan orang-orang yang

leluhurnya datang belakangan ke Bali yang umumnya dari Jawa. Pada jaman

Megalitik orang-orang Bali Mula ini belum beragama, mereka hanya menyembah

leluhur yang mereka sebut sebagai Hyang, dari pandangan spiritual, mereka masih

Page 16: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 16!

hampa. Oleh karenanya pulau Bali ketika itu oleh purana-purana dikatakan masih

kosong dan keadaan ini berlangsung sampai abad ke-4 Masehi.

Rsi Markandya yang mengetahui keadaan Pulau Bali yang hampa

berkeinginan untuk memajukan Bali dalam berbagai sektor kehidupan. Menurut

purana, Rsi Markandya adalah seorang rsi yang berasal dari India, yaitu dari garis

keturunan Markandya. Rsi Markandya datang ke kepualauan Nusantara untuk

menyebarkan Agama Hindu dari sekte Waisnawa. Di Jawa beliau mendirikan asrama

di wilayah pegunungan Dieng, yang kemudian ber-dharmayatra ke timur dan sampai

di Gunung Raung di Jawa Timur dan kembali membuka asrama dengan murid-

muridnya dari Wong Aga (orang Aga). Beberapa tahun kemudian Rsi Markandya

pergi ke Timur, ke pulau Bali tepatnya di wilayah Taro, di sana Rsi Markandya juga

membangun Pura Gunung Raung untuk mengenang asrama beliau di Gunung Raung

Jawa Timur. Murid-murid beliau kemudian berbaur dengan orang-orang Bali Asli

atau Bali Mula dan mengajarkan berbagai pengetahuan sehingga mereka dapat

berbaur dengan baik. Istilah Bali Aga dan Bali Mula seringkali menimbulkan

kerancuan, perbedaan ini dapat dilihat dari silsilah dan latar belakang historisnya.

Orang Bali Mula adalah orang-orang Bali Asli yang dalam analisis arkeologis berasal

dari Tonkin, Cina Selatan, namun diterima dan disepakati sebagai leluhur orang Bali

Mula, sedangkan orang Bali Aga adalah orang-orang keturunan atau murid dari Rsi

Markandya yang datang ke Bali dan membaur dengan penduduk asli Bali.

Page 17: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 17!

Secara geokultural, orang-orang Bali keturunan Majapahit tinggal di daerah

Bali dataran yang berlimpah dengan air. Sehingga, mereka mengenal sistem

pengairan (subak) dan juga menganut sistem apanage. Secara politis, orang Bali

dataran lebih memilih sistem kepemimpinan tunggal dan monolitik. Mereka

mengenal Puri dan Grya sebagai pemegang otoritas ekonomi-politik dan kultural.

Sebaliknya, orang Bali Mula tinggal di wilayah pedalaman yang berbukit-bukit.

Secara ekologis, mereka sangat tergantung pada alam dan sumber daya hutan. Secara

politis, mempunyai sistem sosial yang komunal dan kepemimpinan kolektif

(Dwipayana, 2007: 1).

Perbedaan orang Bali Mula dengan orang Bali belakangan (Bali Majapahit),

tampak sekali pada upacara kematiannya. Orang Bali Mula melaksanakan upacara

kematiannya dengan mendhem atau menanam, yang disebut bea tanem. Orang Bali

Mula merupakan keturunan orang-orang Austronesia dari zaman perundagian

(Megalithikum) yang memiliki tradisi menguburkan dalam upacara kematian. Tradisi

ini begitu mendarah daging dan sulit diubah. Orang Bali Mula menerima kepercayaan

Agama Hindu yang datang belakangan, namun tradisi asli tetap mereka pertahankan.

Salah satu kepercayaan yang mereka terima adalah upacara ngaben, tetapi tidak

seperti orang Bali Dataran mereka tidak membakar mayat, mereka hanya menerima

upacara dan upakaranya saja. Sistem bea tanem sampai sekarang masih dilaksanakan

oleh orang-orang Bali Mula. Ciri lainnya yang memperlihatkan keturunan orang-

orang Austronesia dari zaman Megalithikum adalah ketika ngaben, mereka tidak

Page 18: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 18!

berani menghias wadahnya dengan kertas, perasbaan, kapas, dan lain-lainnya.

Mereka hanya mempergunakan bahan-bahan lokal, seperti ambu, padang-padang,

plawa, dan lain-lainnya (Singgih, 1998: 12-13).

Salah satu ciri unik dalam tradisi penguburan masyarakat Bayung Gede

sebagai salah satu Bali Mula adalah tradisi penguburan ari-ari. Tradisi penguburan

ini masih bertahan, karena konsep dan ideanya berkaitan erat dengan mitologi asal

usul masyarakat Bayung Gede yang masih dipercayai hingga kini.

1.4.2.3 Hutan

Hutan menurut pemerintah berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan

No. 5 tahun 1967 adalah “suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara

keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati, alam lingkungannya dan

yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan”.Food and Agriculture Organization

(FAO 2010) menyatakan hutan adalah “Lahan yang luasnya lebih dari 0,5 hektar

dengan pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih dari

10 persen, atau pohon dapat mencapai ambang batas ini di lapangan. Tidak termasuk

lahan yang sebagian besar digunakan untuk pertanian atau permukiman”.

Setra Ari-ari adalah kawasan hutan kecil seluas 60 are atau 0,6 hektar yang

terletak di sebelah selatan Desa Bayung Gede . Hutan ini ditumbuhi banyak

pepohonan yang didominasi oleh pohon bukak (Cerbera manghas) yang memiliki

ketinggian dari 3 sampai dengan 10 meter. Pohon ini dipergunakan sebagai sarana

Page 19: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 19!

menggantung ari-ari, karena mencegah timbulnya bau busuk, sehingga setiap

pepohonan yang tumbuh di areal setra ini dilindungi oleh peraturan adat setempat.

1.4.2.4 Setra Ari-ari

Orang Hindu menganggap plasenta bayi yang lahir bersamaan dengan sang

bayi sebagai saudara si bayi, sehingga tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus

dikubur secara layak dan dilakukan dengan rangkaian upacara (Putra, 1988). Desa

Bali Mula Bayung Gede memiliki tradisi penguburan plasenta yang unik. Pada

umumnya plasenta bayi akan dikuburkan di pekarangan rumah orang yang

melahirkan, tetapi di Bayung Gede plasenta akan dikuburkan di tempat khusus yang

disebut dengan setra ari-ari.

Setra atau sema adalah areal kuburan, sedangkan ari-ari adalah plasenta.

Setra ari-ari memiliki pengertian sebagai tempat penguburan plasenta bayi yang baru

lahir. Ari-ari ini akan digantung di sebuah pohon yang disebut dengan pohon bukak

(Cerbera manghas) dan dibungkus di dalam tempurung kelapa bersama dengan

rempah-rempah. Prosesi upacara ari-ari dengan sistem gantung ini didasarkan pada

sejarah yang dipercayai dan diyakini oleh masyarakat Bayung Gede.

1.4.2.5 Konsep Simbol

Simbol-simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia

dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu

Page 20: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 20!

berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat

dilihat sebagai “suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang

signifikan (Geertz, 1973: 93). Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau

bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari

simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi

dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur,

mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama,

kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya.

Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian tindakan, atau objek yang

berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi (Geerzt 1973: 93).

1.4.2.6 Konsep Makna

Geertz melihat kebudayaan sebagai suatu sistem keteraturan dari makna dan

simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu

mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan

membuat penilaian mereka (1973:89). Penelitian ini mempergunakan konsep makna

Roland Barthes (2007) yang menjelaskan konsep makna denotatif dan konotatif.

Makna denotatif adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna

definisional, literal, gamblang atau common sense dari sebuah tanda. Makna

konotatif mengacu pada asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa

ideologis, emosional dan lain sebagainya (Barthes, 2007:303-304). Konsep makna

Barthes mencerminkan konsep kebudayaan yang diungkapkan Geertz mengenai

Page 21: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 21!

definisi dunia dan ekspresi perasaan berdasarkan pada apa yang diinterpretasikan oleh

masyarakat setempat.

Page 22: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 22!

1.5 Model Penelitian

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian akan lebih mudah dipahami

dengan model seperti pada gambar di bawah ini :

Keterangan Model

Masyarakat Bayung Gede adalah masyarakat Bali Mula yang memiliki tatanan

sosial budaya yang berbeda dari Bali Dataran. Masyarakat Bayung Gede memiliki

sistem adat atau yang disebut dengan drestasima yang mengandung aturan-aturan dan

Masyarakat Bayung Gede

Sistem Adat Kepercayaan Mitologi

Ulu Apad dan awig-awig desa

!

Pandangan masyarakat,

simbol dan ritual

Pelestarian Hutan Setra

Ari-ari

Kearifan lokal Makna

Page 23: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 23!

sanksi-sanksi adat yang mengatur pola tingkah laku masyarakat. Sistem adat di

Bayung Gede secara khusus mengatur pola tingkah laku masyarakat yang berkaitan

dengan lingkungan, seperti pola pemukiman dan pembagian zona desa serta peraturan

pemanfaatan hutan adat terutama kawasan hutan setra ari-ari yang berpengaruh

terhadap lingkungan fisik Desa Bayung Gede. Sistem adat ini juga dilandasi oleh

suatu sistem pemerintahan yang hanya ditemukan di Bali Mula dan disebut dengan

sistem pemerintahan Ulu Apad yang bertugas untuk menjalankan adat keagamaan

serta penegakan awig-awig atau peraturan adat di Desa Bayung Gede.

Sejarah orang Bayung Gede tidak bisa dipisahkan dari mitologi dan

kepercayaan yang menyangkut asal-usul leluhur masyarakat. Mitologi masyarakat

Bayung Gede berangkat dari kepercayan animisme dan dimanisme, kepercayaan ini

mengisahkan bahwa leluhur mereka terlahir dari tued kayu atau pangkal pohon yang

diperciki tirta atau air suci oleh kera putih putra Betara Bayu dalam perjalanannya

menuju Gunung Agung. Kepercayaan yang diwariskan secara lisan ini telah melekat

pada pemikiran masyarakat, sehingga mempengaruhi konsep kosmologi mereka

terhadap alam semesta. Masyarakat Bayung Gede percaya bahwa mereka adalah

refleksi dari alam semesta yang terkandung dalam ajaran bhuana alit (mikrokosmos

atau alam manusia) dan bhuana agung (makrokosmos atau alam semesta), serta

kepercayaan mereka terhadap Catur Sanak yang memberikan kehidupan pada

manusia. Ajaran ini diaplikasikan di dalam pola pemukiman serta sikap mereka

dalam pelaksanaan ritual untuk tumbuhan dan hewan. Ajaran ini juga menjadi

Page 24: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 24!

landasan dalam ritual penggantungan ari-ari di setra ari-ari yang berkaitan erat

dengan mitologi tued kayu yang mereka percayai. Ritual penggantungan ari-ari ini

mengandung makna bahwa keempat saudara atau Catur Sanak akan dikembalikan

pada unsur alam semesta yang disimbolkan dengan pohon bukak sebagai ibu niskala

dari Catur Sanak.

Berkaitan dengan kawasan hutan setra ari-ari, kepercayaan mitologi ini

mengandung pandangan hidup, simbol-simbol dan makna yang mengandung kearifan

ekologi. Kearifan ekologi ini terutama ditemukan di dalam penggunaan buah bukak

(Cerbera manghas) sebagai sarana ritual penggantungan ari-ari yang berpengaruh

pada pelestarian hutan. Mitologi dan sistem adat yang dianut oleh masyarakat

Bayung Gede sekaligus juga melindungi kawasan hutan setra ari-ari.

Keberadaan setra ari-ari menunjukkan hubungan antara kepercayaan (idea),

sistem adat (mengatur pola tingkah laku) dan lingkungan (wujud fisik). Prosesi

menggantung ari-ari di setra ari-ari menurunkan dua permasalahan pokok yang

menarik untuk dikaji. Dua permasalahan ini adalah kearifan ekologi yang ada di Desa

Bayung Gede dan makna simbolik dari setra ari-ari bagi masyarakat Bayung Gede.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini mengacu kepada keseluruhan upaya memperoleh data, dari mana

data diperoleh, dan bagaimana data itu diolah. Hal ini penting dikemukakan karena ia

memperlihatkan aspek metodologis yang merupakan jaminan keandalan dan

Page 25: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 25!

keakuratan data. Penelitian setra ari-ari ini mempergunakan model penelitian

etnografi yang termasuk ke dalam penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif

adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi

yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini,

peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari

pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell,

1998:15). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi

kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Etnografi merupakan ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami

cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam

kehidupan sehari-hari. Etnografi lazimnya bertujuan untuk menguraikan budaya

tertentu secara holistik, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Etnografi

bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya

baik yang bersifat material, seperti artefak budaya dan yang bersifat abstrak, seperti

pengalaman, kepercayaan norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Model

etnografi mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya atau to grasp the

native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world

(Malinowsky dalam Lahajir, 2001:27 ). Metode etnografi membuktikan bahwa

sebagai metode penelitian kualitatif, ia mampu melakukan analisis yang lebih

Page 26: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 26!

mendalam serta menyajikan refleksi kritis secara detil dalam lingkup mikro sebuah

kehidupan manusia (Spradley, 1997).

1.6.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani,

Kabupaten Bangli, Bali yang secara khusus memfokuskan sasaran kepada masyarakat

Bali Mula yang ada di Desa Bayung Gede. Pemilihan Desa Bayung Gede didasari

oleh adanya berbagai kepercayaan dan tradisi yang mengatur hubungan masyarakat

Bayung Gede dengan lingkungannya. Kondisi alam Bayung Gede juga memiliki daya

tarik tersendiri yang juga berhubungan dengan kepercayaan mereka, daya tarik ini

adalah Setra Ari-ari yang menunjukkan adanya prinsip-prinsip ekologi yang

mengandung kearifan dalam pelestarian hutan.

1.6.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari referensi yang

relevan dengan topik permasalahan yang dibahas dan observasi lapangan. Jenis data

yang diperoleh berupa data primer dan sekunder yang bersifat kualitatif. Data primer

dalam penulisan ini bersumber dari informan-informan yang terpilih. Selanjutnya,

sumber data sekunder yang menunjang penelitian ini diperoleh dari buku-buku teks

dan dokumen serta monografi desa bersangkutan. Sumber data utama dari penelitian

kualitatif budaya adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan

seperti dokumen dan lain-lain. Data penelitian dapat berupa human sources dan non

Page 27: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 27!

human sources. Kedua sumber data tersebut memiliki kedudukan sama dan saling

mendukung.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

1.6.3.1 Teknik Penentuan Informan

Informan dalam penelitian kualitatif menggunakan teknik purposive

sampling, yaitu cara penentuan informan yang ditetapkan secara sengaja atas dasar

kriteria atau pertimbangan tertentu. Pemilihan informan, terutama informan kunci

adalah masyarakat asli Bayung Gede yang dipilih berdasarkan kriteria dan kategori

tertentu yang dapat merepresentasikan kondisi objek penelitian, baik dalam dimensi

umur, status dan peran sosial, pengetahuan agama, maupun kategori lainnya.

Spradley (1997:61), secara lebih khusus memaparkan kriteria informan yaitu : (1)

enkulturasi penuh (mengetahui budayanya dengan baik secara alami), dalam hal ini

penulis memilih informan yang memiliki pengetahuan budaya lokal dan memiliki

pengaruh dalam tradisi adat di Bayung Gede. Jero Kebayan Muncuk adalah informan

kunci yang dipilih oleh penulis, karena pengetahuannya mengenai adat Bayung Gede

tidak diragukan lagi serta sebagai pemuka adat beliau memiliki pengetahuan lokal

Bayung Gede yang diwariskan secara turun-temurun; (2) keterlibatan langsung,

penulis memilih informan yang secara langsung terlibat di dalam tradisi ritual yang

diteliti, salah satu informan utama adalah Jero Kebayan Muncuk, selain itu warga

masayarakat Bayung Gede yang pernah mengalami sekaligus menjalani tradisi ritual

yang diteliti juga memberikan informasi penting, segala yang terlibat dan memiliki

Page 28: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 28!

kaitan dengan objek yang diteliti bagi penulis penting untuk dimasukkan ke dalam

fieldnote penelitian; (3) suasana budaya yang tidak dikenal (informan berasal dari

luar daerah peneliti), penulis berasal dari daerah Ubud yang memiliki jarak cukup

jauh dengan tempat penelitian. Memerlukan waktu paling lama satu jam dan paling

cepat 40 menit untuk mencapai Bayung Gede, peneliti hanya memiliki pengetahuan

berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Bayung Gede, oleh

karena itu proses pencarian data menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi penulis,

karena begitu banyak pengetahuan baru serta perlakukan masyarakat Bayung Gede

yang ramah dan terbuka dalam memberikan informasi, hal ini juga mencegah penulis

untuk tidak terlalu memihak objek penelitian, sehingga tidak timbul romantisme

budaya yang berlebihan dan data yang direpoleh merupakan kombinasi penelitian

emik dan etik; (4) waktu yang cukup, penulis berusaha secara maksimal

memanfaatkan waktu yang dimiliki di sela-sela kegiatan lain selain penelitian, tetapi

tentu saja penelitian ini menjadi prioritas utama, kesulitan yang paling sering terjadi

adalah memilih waktu yang tepat untuk melakukan wawancara dengan warga Bayung

Gede, sehingga penulis memiliki jadwal khusus untuk bertemu dengan beberapa

informan dan melakukan wawancara random yang dilakukan dengan santai, tanpa

mengganggu aktifitas informan, penulis juga memberikan batas waktu dalam proses

penelitiannya, terutama apabila telah mencapai data jenuh agar proses penelitian tidak

melewati batas waktu yang ditentukan; (5) non-analitis (informan menggunakan teori

penduduk asli “folk theory” untuk menginterpretasikan kejadian, penulis dalam

Page 29: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 29!

mencari data yang berkaitan dengan makna, melakukan proses wawancara yang

mendalam, agar apa yang diungkapkan oleh informan dapat diinterpretasikan dengan

baik, penulis juga berusaha untuk tidak mengintervensi dan menginterupsi informan

selama wawancara berlangsung, agar apa yang diungkapkan oleh informan murni

dari apa yang mereka pikirkan dan merupakan ungkapan dari hati nurani mereka

berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki.

Proses penelitian ini membutuhkan waktu selama hampir delapan bulan.

Penelitian ini diawali dengan pendekatan terhadap perangkat desa untuk mencari

sumber data awal, seperti monografi desa serta pengetahuan umum mengenai desa

Bayung Gede. Kemudian penulis melakukan pendekatan dengan informan kunci

yang dipilih secara purposif melalui teknik pemilihan informan dari Spradley dan

dalam penelitian ini jumlah informan kunci 10 orang, karena pengetahuan mereka

dalam sistem adat dan keagamaan di Bayung Gede. Pemilihan informan lainnya yaitu

informan biasa yang berjumlah 11 orang dilakukan dengan santai dan acak, tidak

terburu-buru karena pendapat setiap informan yang relevan dengan tujuan penelitian

ini sangat penting. Pendekatan juga dilakukan dengan perlahan, agar data yang

didapat bisa mendetail dan akurat sesuai dengan kebutuhan penelitian.

1.6.3.2 Teknik Observasi-Partisipasi

Metode etnoekologi memerlukan teknik pengumpulan data yang tepat untuk

mencapai hasil yang maksimal, yaitu sedalam mungkin melihat suatu fenomena pada

Page 30: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 30!

suatu masyarakat melalui perspektif masyarakat tersebut. Teknik observasi-

partisipasi adalah teknik yang relevan dengan pendekatan etnoekologi. Pengumpulan

data primer dilakukan dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian dan

melakukan interaksi guna memperoleh data. Peneliti melakukan pengamatan dengan

cara ikut langsung dalam keseharian masyarakat Bayung Gede, salah satu kegiatan

utama di Bayung Gede adalah berkebun di kebun jeruk. Masyarakat Bayung Gede

adalah masyarakat yang ramah dan terbuka, di sela-sela kegiatan, mereka

menyempatkan diri untuk wawancara yang dilakukan dengan santai. Peneliti tidak

hanya mengamati serampangan saja, melainkan ikut terlibat dan menghayati sebuah

fenomena. Peneliti juga merekam secara visual selama proses observasi yang

dilakukan dengan berkeliling desa untuk mengamati kegiatan keseharian dari warga

Bayung Gede, terutama kegiatan yang relevan dengan tujuan penelitian ini. Dengan

cara ini, akan terjadi interaksi sosial, psikologis, dan kultural antara subjek penelitian

dan peneliti. Hal ini sekaligus untuk mendekatkan peneliti kepada hal yang diteliti,

sehingga subjek penelitian merasa lebih simpatis. Vredenbregt (1978: 72)

menyebutkan bahwa, walaupun untuk para antropolog dari generasi 70-an metode

observasi dan partisipasi tidak dinilai begitu mutlak, namun metode tersebut tetap

sangat penting artinya. Dalam metode ini juga disertakan fieldnote yang lengkap,

sehingga hasil laporan akan menyeluruh untuk meneliti masyarakat Bayung Gede.

1.6.3.3 Teknik Wawancara

Page 31: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 31!

Mengutip dari Vredenbregt (1978: 89), kalau untuk tujuan penelitian kita

ingin mengetahui sesuatu mengenai kehidupan dan kelakuan manusia, maka salah

satu cara yang tepat ialah mengajukan pertanyaan mengenai masalah tersebut kepada

orang yang bersangkutan. Sejalan dengan pengertian di atas Koentjaraningrat (1977:

129) menegaskan metode wawancara meliputi cara yang digunakan untuk tujuan

tugas tertentu mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari

seseorang responden dan dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.

Teknik wawancara (interview) digunakan sebagai pendukung teknik

observasi-partisipasi. Interview dalam pandangan Vredenbregt sekurang-kurangnya

dibagi menjadi 2 tipe, antara lain unstructured dan structured. Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan wawancara unstructured yang memungkinkan peniliti

melakukan probing. Jenis wawancara yang lainnya wawancara mendalam yang

sejalan dengan wawancara unstructured. Wawancara mendalam biasanya dinamakan

wawancara baku etnografi atau wawancara kualitatif. Wawancara dilakukan dengan

santai, informal, dan masing-masing pihak seakan-akan tidak ada beban psikologis.

Selama proses wawancara ini peneliti mencatat di dalam fieldnote serta merekam

secara visual dan audiovisual. Teknik perekaman ini dilakukan agar tidak ada data

yang tercecer serta mempermudah peneliti di dalam penyusunan data, hasil rekaman

visual ini dimanfaatkan peneliti dalam pembuatan film pendek yang mengangkat

tema sesuai dengan judul penelitian.

Page 32: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 32!

1.6.3.4 Studi Pustaka

Dalam rangka menunjang data primer yang sudah dikumpulkan dari lapangan,

bahan bacaan yang relevan sebagai data sekunder, dari berbagai buku, majalah, jurnal

dan surat kabar adalah penting untuk diikutsertakan. Melalui kajian-kajian tersebut

peneliti dapat mengembangkan konsep-konsep dan teori baru tanpa meninggalkan

konsep atau teori yang telah dikemukakan terlebih dahulu.

1.6.4 Analisis Data

Maryaeni (2005: 75) mendefinisikan analisis data sebagai kegiatan

pengurutan data sesuai dengan rentang permasalahan atau urutan pemahaman yang

ingin diperoleh; pengorganisasian data dalam formasi, kategori. Menggunakan

metode observasi-partisipasi didukung dengan teknik wawancara unstructured akan

menghasilkan data-data deskriptif kualitatif. Analisis data kualitatif dilakukan secara

deskriptif etnografik. Analisis ini berusaha mendeskripsikan subjek penelitian dan

cara mereka bertindak serta berkata-kata. Model analisis dapat menggunakan model

interaktif yang ditawarkan Haberman dan Miles (1994:429) yang melalui tiga proses :

reduksi data atau data reduction, penyajian data atau data display, dan penarikan

serta pengujian kesimpulan atau drawing and verifying conclucion.

Page 33: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 33!

Langkah reduksi data melibatkan langkah-langkah editing, pengelompokan,

dan meringkas data baik yang diperoleh dari studi pustaka atau melalui observasi

yang dilakukan di Bayung Gede. Pertama-tama peneliti mengumpulkan data fieldnote

serta rekaman audiovisual yang kemudian dicatat kembali dalam bentuk catatan

etnografi yang lengkap. Setelah itu peneliti menyusun kode dan catatan mengenai

berbagai hal yang berisikan gagasan atau ungkapan yang mengarah pada teorisasi

berkenaan dengan data yang ditemui. Pada tahap akhir peneliti menyusun rancangan

konsep serta penjelasan berkenaan dengan tema, pola atau kelompok data yang

bersangkutan. Penelitian ini adalah bentuk penelitian ekologi yang memfokuskan

pada pelestarian hutan. Pengumpulan dan penyusunan data tidak hanya dilakukan

dengan wawancara informan, tetapi juga dibarengi dengan mencari berbagai referensi

dan literatur yang berkaitan dengan tumbuhan dan kehutanan. Peneliti juga

melakukan beberapa wawancara di luar dari informan Desa Bayung Gede. Informan

ini adalah dosen dari Fakultas Biologi Universitas Udayana yang memberikan banyak

penjelasan serta referensi yang mendukung keakuratan data peneliti, terutama yang

berkaitan dengan klasifikasi tumbuhan dan hutan.

Tahap penyajian data melibatkan langkah-langkah mengorganisir data, yakni

menjalin kelompok data yang satu dengan yang lainnya sehingga seluruh data yang

dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan karena dalam penelitian

kualitatif, data biasanya beraneka ragam perspektif sehingga penyajian data diyakini

sangat membantu proses analisis. Penelitian ini merupakan penelitian multidisipliner,

Page 34: BAB I SKRIPSI - sinta.unud.ac.id 1 skripsi.pdflingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak

! 34!

oleh karena itu penyajian data adalah proses yang paling sulit, karena peneliti harus

cermat menyajikan data secara sistematis sehingga tujuan dari penelitian ini dapat

tercapai dan pembaca dapat menangkap apa yang dimaksud oleh penulis. Penulisan

data ini diawali dengan gambaran umum setra ari-ari untuk mengetahui kearifan

ekologi yang terkandung di dalamnya, kemudian peneliti berusaha menemukan

berbagai simbol dan makna yang terkandung di dalam setra ari-ari serta prosesi

ritualnya, sehingga didapatkan jawaban dari dua rumusan masalah penelitian.

Proses terakhir adalah penarikan dan pengujian kesimpulan, penarikan

kesimpulan ini dilakukan setelah semua data tersusun secara sistematis. Hasil

penelitian ini berupa pelukisan dan verifikasi data yang telah diperoleh selama proses

penelitian berlangsung.

!