BAB I - repositori.unud.ac.id file(sistranas), serta memenuhi standar keselamatan jalan, dan...
Transcript of BAB I - repositori.unud.ac.id file(sistranas), serta memenuhi standar keselamatan jalan, dan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pembangunan infrastruktur jalan bertujuan untuk memperlancar arus
distribusi barang dan jasa, serta berperan dalam peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan manusia. Pembangunan jalan dan jembatan sebagai infrastruktur
transportasi mengacu pada tata ruang, terintegrasi sistem transportasi nasional
(sistranas), serta memenuhi standar keselamatan jalan, dan berwawasan
lingkungan. Pembangunan infrastruktur jalan harus pula memperhatikan 3 aspek
penting sekaligus yaitu: aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (pro green).
Menjawab tuntutan zaman, teknologi yang pro environment dengan prinsip reuse,
reduce & recycle pada pekerjaan jalan perlu semakin dikembangkan.
Selama pengoperasian infrastruktur jalan terus berlangsung penurunan
layanan sampai dengan umur ekonomisnya. Untuk mengembalikan kondisi
layanan jalan ini perlu pemeliharaan jalan. Satu diantara jenis pemeliharaan jalan
adalah peningkatan jalan. Peningkatan jalan dapat berupa peningkatan struktur
perkerasan jalan dan juga pelebaran jalan untuk meningkatkan kapasitas jalan.
Pada masa pelaksanaan ini memerlukan zona kerja untuk rung kerja pengaturan
peralatan dan keselamatan pekerja. Zona kerja ini selalu berdampak negative bagi
pengguna jalan dan lingkungan.
Gilchrist A. et al (2005), Andrew et al (2005), Hunken et al (2006),
Allauche et al (2004), Ting et al (2010), Borchrdt et al (2009), Matthews Jon C et
al (2010), menyatakan dampak lain adanya zona kerja adalah kerugian pelaku
ekonomi masyarakat dan tercemarnya lingkungan disekitarnya. Bahkan
Borchardt et al (2009) mendapatkan adanya peningkatan partikel emisi
mendekati 40% dan tereduksinya kapasitas jalan mencapai 20% pada zona kerja
IH35 di San Antonio. Hasil pengamatan Greenwood I.D. (2007) pada ruas jalan 2
lajur di Thailand, mendapatkan bahwa jika terjadi kemacetan berindikasi
terjadinya peningkatan percepatan kebisingan dari 0.1 m/s2 menjadi 0,7 m/s2.
Antara tahun 1999 sampai 2003 Federation of Highway Administration (FHWA)
(2006) mendapatkan bahwa pada zona kerja setiap tahunnya terjadi 41.000
2
kecelakaan dan sekitar 1000 orang meninggal. Menurut catatan Midwest
Trasportation Consortium (MTC) 2010, tahun 2001-2008 pada zona kerja di
Iowa statewide terjadi kejadian sebanyak 5.405 tabrakan, yang mengakibatkan
kecelakaan 10.639 kendaraan atau rata-rata kecelakaan adalah 1,9 kendaraan
setiap kejadian tabrakan. Menurut Bai Young et al (2006) menemukan bahwa di
Kansas Departemen of Trasportation prosentase terjadi tabrakan yang signifikan
(32%) pada malam hari, dimana jalan pada zona kerja tanpa penerangan. Allauche
et al (2004), menyebut kerugian-kerugian masyarakat terkait adanya zona kerja
pada pelaksanaan pemeliharaan jalan ini sebagai kerugian biaya sosial (social
cost).
Keselamatan Jalan merupakan isu yang cenderung mengemuka dari tahun
ke tahun dan saat ini sudah menjadi permasalahan global dan bukan semata-mata
masalah transportasi saja tetapi sudah menjadi permasalahan sosial
kemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat dengan dicanangkannya Decade of Action
for Road Safety 2010-2020 oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sejalan
dengan pesatnya pertumbuhan pemilikan kendaraan bermotor di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir, dikombinasikan pula dengan bertambahnya penduduk
dan beragamnya jenis kendaraan telah mengakibatkan masalah keselamatan jalan
yang semakin memburuk. Oleh karena itu, keselamatan jalan menjadi
pertimbangan pertama dalam menentukan kebijakan yang menyangkut jalan raya
Di Indonesia, keselamatan jalan telah diatur dalam Peraturan Perundang-
undangan seperti UndangUndang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Peraturan
Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan, Undang-Undang No. 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta RUNK (Rencana Umum
Nasional Keselamatan) jalan yang baru-baru ini diluncurkan. Direktorat Jenderal
Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum, sebagai instansi yang memiliki tugas
dalam mengelola jalan nasional di Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya
dalam peningkatan keselamatan jalan.
Sebelum infrastruktur jalan mulai dipergunakan atau operasional, terlebih
dahulu dilakukan audit keselamatan jalan/Road Safety Audit (RSA). Setelah
beroperasinya infrastruktur jalan ini, seiring dengan perjalanan waktu infrastruktur
jalan ini mengalami penurunan tingkat layanan. Penurunan tingkat layanan ini
3
akibat dari penurunan kondisi struktur lapisan perkerasan jalan yang disebakan
beban kendaraaan dan cuaca. Jenis pemeliharaan jalan yang berdampak terhadap
pennguna jalan adalah jenis Peningkatan Kapasitas Jalan baik berupa rekonstruksi
maupun pelebaran. Upaya pencegahan keselamatan dijalan selama masa
rekonstruksi telah diatur dalam kontrak pelaksanaan jalan. Namun cara penilaian
pemeriksaan keselamatann di jalan pada zona kerja pelaksanaan rekonstruksi
belum diteliti.
1.2 Perumusan Masalah.
Permasalahan yang dapat diangkat pada penelitian ini adalah:
1) Atribut apa saja yang terkait keselamatan di zona kerja pelaksanaan proyek
peningkatan jalan Nasional?.
2) Bagaimana prioritas dari atribut keselamatan di zona kerja pada pelaksanaan
peningkatan jalan Nasional?.
1.3 Manfaat Penelitian.
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan:
1. Sebagai referensi bagi pengelola proyek peningkatan jalan dalam
manajemen pelaksanaan proyek peningkatan jalan Nasional yang
berkeselamtan.
2. Sebagai referensi bagi peneliti lain yang berkaitan pada pelaksanaan
proyek peningkatan jalan Nasional.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi, Bagian dan Ruang Jalan
Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang
Jalan, jalan didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat, yang meliputi
segala bagiannya, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel
Sesuai peruntukannya jalan terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. Jalan
umum merupakan jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, sedangkan
jalan khusus merupakan jalan yang bukan diperuntukkan untuk lalu lintas umum
dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan. Menurut Undang
Undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan, jalan umum dapat diklasifikasikan dalam
sistem jaringan jalan, fungsi jalan, status jalan, dan kelas jalan. Pengetahuan
mengenai klasifikasi jalan menjadi penting pada penelitian ini untuk menerangkan
definisi Jalan Nasional beserta aturannya.
2.1.1 Klasifikasi Menurut Status Jalan
Berdasarkan PP No. 34 tahun 2006 Pasal 25 sampai 30, jaringan jalan yang
diklasifikasikan menurut statusnya dibedakan menjadi 5 (lima) jenis, yaitu sebagai
berikut:
a) Jalan Nasional
b) Jalan Provinsi
c) Jalan Kabupaten
d) Jalan Kota
e) Jalan Desa
5
2.1.2 Bagian-bagian Jalan
Bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan (RUMAJA), ruang milik
jalan (RUMIJA), dan ruang pengawasan jalan (RUWASJA). Penjelasan mengenai
bagian-bagian jalan menjadi penting pada penelitian ini untuk mengetahui
persyaratan ideal bagi ruang jalan, sehingga kriteria pada informasi kondisi sosial
dapat didefinisikan. Penjelasan dari masing-masing bagian jalan tersebut dapat
dilihat sebagai berikut.
2.1.3 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA)
Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh
lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan
yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri, yang
meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. RUMAJA
hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan,
saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian,
gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya. Dalam
rangka menunjang pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan serta pengamanan
konstruksi jalan, maka badan jalan dilengkapi dengan ruang bebas, dimana ruang
bebas disini maksudnya adanya pembatasan untuk lebar, tinggi, dan kedalaman
tertentu. Ruang bebas untuk jalan arteri maupun kolektor adalah dengan tinggi
paling rendah 5 (lima) meter serta kedalaman paling rendah 1,5 (satu koma lima)
meter dari permukaan jalan.
2.1.4 Ruang Milik Jalan (RUMIJA)
Ruang milik jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh
lebar, kedalaman, dan tinggi tertentu, dimana terdiri dari ruang manfaat jalan dan
sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang dapat dimanfaatkan sebagai
ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai landscape jalan. Ruang milik jalan
diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur
lalu lintas di masa akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan.
Jika mengacu pada PP Nomor 34 Tahun 2006, maka terdapat lebar minimum
RUMIJA, seperti sebagai berikut:
6
a. Jalan Bebas Hambatan : 30 meter
b. Jalan Raya : 25 meter
c. Jalan Sedang : 15 meter
d. Jalan Kecil : 11 meter
2.1.5 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA)
Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan
yang penggunaannya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan, dimana
diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi
jalan serta pengamanan fungsi jalan. Terdapat lebar ruang pengawasan jalan
minimum yang ditentukan dari tepi badan jalan dengan ukuran sebagai berikut:
a. Jalan Arteri Primer : 15 meter
b. Jalan Kolektor Primer : 10 meter
c. Jalan Lokal Primer : 7 meter
d. Jalan Lingkungan Primer : 5 meter
e. Jalan Arteri Sekunder : 15 meter
f. Jalan Kolektor Sekunder : 5 meter
g. Jalan Lokal Sekunder : 3 meter
h. Jalan Lingkungan Sekunder: 2 meter
i. Jembatan 100 meter kearah hulu dan hilir.
Menurut Penjelasan Pasal 35 PP Nomor 34 tahun 2006, yang dimaksud
badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah, dan bahu
jalan.
2.2 Jalan Nasional di Provinsi Bali
Jalan nasional merupakan jalan arteri primer; jalan kolektor primer yang
menghubungkan antar ibukota provinsi; jalan tol; serta jalan yang mempunyai
nilai strategis terhadap kepentingan Nasional. Berdasarkan Keputusan Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 376/KPTS/M/2004, Tentang
Penetapan Ruas-ruas Jalan Menurut Statusnya Sebagai Jalan Nasional, tanggal
19 Oktober 2004, maka pemerintah menetapkan sebanyak 58 ruas jalan di
provinsi Bali sebagai Jalan Nasional. Selain nama ruas jalan yang ditetapkan,
7
Kepmen tersebut juga menetapkan panjang masing-masing ruas jalan, dimana
panjang total ruas jalan tersebut adalah 501,64 km. Pemerintah membentuk dua
SNVT yang bertanggung jawab atas kondisi ruas tersebut, yaitu SNVT P2JJ Bali
dan SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar.
2.3 Pengertian Proyek
Proyek merupakan kombinasi sumberdaya manusia dan non manusia yang
bekerja sama dalam suatu organisasi yang bersifat sementara untuk mencapai
tujuan tertentu. Proyek dapat juga diartikan sebagai suatu kegiatan sementara
yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumberdaya
tertentu, dan dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Soeharto, 1995).
Ciri-ciri proyek sebagai berikut:
1) Memiliki tujuan yang khusus berupa produk atau hasil akhir
2) Jumlah biaya, sasaran jadwal serta mutu dalam proses mencapai tujuan telah
ditentukan
3) Waktu awal dan akhir ditentukan jelas
4) Jenis dan intensitas kegiatan berubah sepanjang proyek berlangsung
5) Bersifat kompleks.
2.4 Infrastruktur Jalan Ramah Lingkungan
Permintaan masyarakat untuk transportasi jalan yang bersih , lebih
tenang dan lebih hemat energi dengan dampak minimal pada masyarakat dan
habitat alami , menimbulkan tantangan mengatasi kesenjangan yang saling
bertentangan antara keinginan masyarakat dengan industri yang terlibat dengan
transportasi jalan . Melalui desain, konstruksi dan penggunaan bahan , rekayasa
sektor jalan dapat memberikan kontribusi yang ramah lingkungan (green)
infrastruktur .
Inovasi konsep infrastruktu yang ramah lingkungan yang dikembangkan di Eropa
dikenal dengan New Road Construction Concept (NR2C) visi Eropa 2040
(fehrl.org,2010). Visi ini didasarkan pada empat kunci konsep yang mewakili
karakteristik dominan dari harapan masyarakat untuk infrastruktur jalan masa
depan :
8
1. Infrastruktur yang handal (reliable), berpijak untuk mengoptimalkan
ketersediaan infrastruktur.
2. Infrastruktur Hijau/ ramah lingkungan (green) , berpijak untuk mengurangi
dampak lingkungan lalu lintas dan pada masyarakat, sehinnga menjadi
infrastruktur berkelanjutan.
2) Infrastruktur yang aman dan cerdas (safe and smart), berpijak untuk
mengoptimalkan arus lalu lintas dari semua kategori pengguna jalan dan
konstruksi jalan yang berkeselamatan.
3) Infrastruktur manusiawi (human), berpijak untuk menyelaraskan
infrastruktur dengan dimensi manusia
Keempat konsep berlaku untuk tiga bidang proyek NR2C : jalan perkotaan dan
antarkota dan konstruksi . Masyarakat kandang-kadang menuntut komposisi
infrastruktur handal, hijau, manusia, aman dan cerdas. Keempat konsep
konstruksi membentuk kerangka berpikir tentang solusi teknis dan program
penelitian. Pada Gambar 2.1, digambar dan dijabarkan visi NR2C, yang meliputi
4 konsep NR2C yaitu konsep infrastruktur yang handal, ramah lingkungan, aman
serta cerdas dan humanitis.
Gambar 2.1 Karakteristik, Konsep Konstruksi dan Arahan Solusi dari NR2C
visi Eropa 2040 (fehrl.org, 2010)
9
2.5 Zona Kerja (Work Zone)
Zona kerja (work zone) adalah suatu area atau segmen jalan dimana satu
atau lebih lajur jalan ditutup untuk pelaksanaan konstruksi jalan yang
mengakibatkan berkurangnya pergerakan lalu lintas dan menurunannya kapasitas
jalan (Jiang et al, 2010; FHWA, 2011; MTI, 2012)
Proyek rekonstruksi jalan bertujuan untuk meningkatkan perekonomian
masyarakat (Jiang et al, 2010). Namun selama masa konstruksi menimbulkan
dampak negatif bagi masyarakat pengguna jalan dan lingkungan sekitarnya akibat
adanya zona kerja (work zone). Zona kerja ini mengakibatkan para pengemudi
mengalami stress, terganggunya lalu-lintas seperti tertundanya perjalanan,
kemacetan dan juga terjadinya kecelakaan (Jiang et al, 2003). Dampak lainnya
adalah kerugian pelaku ekonomi masyarakat pada zona kerja dan tercemarnya
lingkungan disekitarnya (DJBM, 1991; Allauche et al, 2004). Dampak merugikan
pelaksanaan rekonstruksi jalan digolongkan menjadi dampak lalu lintas,
lingkungan dan ekologi/kesehatan (Allauche et al, 2004):
1) Dampak lalu lintas (traffic) meliputi dampak akibat penutupan lajur lebih
panjang (prolonged closure of road space) yang diperuntukkan untuk
proteksi tenaga kerja dan penempatan peralatan, dampak pengalihan arus
(detours/altered traffic pattern), dampak terputusnya utilitas (utility cuts)
infrastruktur seperti jaringan air bersih dan telekomunikasi yang tertanam
pada jalan dan kecelakaan bagi pengendara dan pekerja
2) Dampak polusi (pollution) yang merugikan seperti bising (noise), debu
(dust), getaran (vibration) dan polusi udara dan air (air/water pollution).
3) Dampak ekologi/sosial/kesehatan (ecologi/social/health) seperti kerusakan
permukaan dan sub permukaan (surface/subsurface disruption) misalnya
terganggunya aliran drainase dan kerusakan fisik fasilitas rekreasi (physical
damage to recreasional facilities).
2.6 Instrumen Keselamatan pada Masa Pelaksanaan Peningkatan Jalan
Zona kerja adalah ruang kerja yang diperlukan untuk menempatkan
material, ruang gerak melaksanaan bagian pekerjaan selama pelaksanaan
10
peningkatan jalan. Untuk menjaga keselamatan di lokasi pekerjaan jalan
diperlukan rambu peringatan bagi pengguna jalan, dan instrumen
keselamatan (IndII, 2011). Pada Gambar 2.2, dapat dilihat pedoman
pemasangan rambu dan istrumen keselamatn kerja.
Gambar 2.2. Pemasangan rambu dan instrumen keselamatan di lokasi pekerjaan jalan (IndII, 2011)
2.7 Metoda Skala Prioritas Menggunakan Analytical Hierarchy Process
AHP
AHP (Analytical Hierarchy Process) atau Proses Hirarki Analisa dalam
buku ” Proses Hirarki Analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang
kompleks ” (Thomas L. Saaty, 1986). AHP adalah suatu metoda yang
sederhana dan flexibel yang menampung kreativitas dalam ancangannya terhadap
suatu masalah. Metoda ini menstruktur masalah dalam bentuk hierarki dan
memasukan pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas
relatif.
Ada tiga prinsip dasar Proses Hierarki Analitik yaitu :
1. Menggambarkan dan menguraikan secara hierarki yang disebut menyusun
secara hierarkis yaitu : mecah-mecah persoalan menjadi unsur yang terpisah
pisah.
2. Pembedaan prioritas dan sintesis, yang disebut penetapan prioritas yaitu
menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya.
11
3. Konsistensi Logis yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokan secara
logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang
logis.
Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang
kompleks dimana masalah tersebut diuraikan kedalam elemen-elemen yang
bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarki dan akhirnya
melakukan penilaian atas elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan mana
yang diambil. Proses penyusunan elemen secara hirarkis meliputi pengelompokan
elemen komponen yang sifatnya homogen dan menyusun komponen tersebut
dalam level hirarki yang tepat. Hirarki juga merupakan abstraksi struktur suatu
sistem yang mepelajari fungsi interaksi antara komponen dan juga dampaknya
pada sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling terkait tersusun dalam
suatu sasaran utama (ultimate goal) turun ke sub-sub tujuan, ke pelaku (aktor)
yang emberi dorongan dan turun ke tujuan pelaku, kemudian kebijakan-kebijakan,
strategi-strategi tersebut.
Dengan demikian Hirarki adalah sistem yang kegiatan-kegiatan (level)
keputusan berstratifikasi dengan elemen-elemen keputusan pada setiap tingkatan
keputusan.
Abstraksi susunan hirarki keputusan adalah sebagai berikut :
Level 1 : Fokus / sasaran utama / Goal
Level 2 : Faktor/kriteria/ objectives
Level 3 : Alternatif/sub objectives
(Sumber : Thomas L. Saaty, 1986)
Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4
Goal
Alternatif Alternatif Alternatif Alternatif
12
2.7.1 Menentukan Prioritas
Dalam pengambilan keputusan hal yang perlu diperhatikan adalah pada
saat pengambilan data, dimana data ini diharapkan dapat mendekati nilai yang
sesungguhnya. Derajat kepentingan pelanggan dapat dilakukan dengan
pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering
digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen dan kriteria yang
ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap
tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak
dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif kita harus
melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yaitu
membandingkan setiap elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara
berpasangan sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk
pendapat kualitatif.
Untuk mengkuantitatifkan pendapat kualitatif tersebut digunakan skala
penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka
(kuantitatif). Menurut Saaty untuk berbagai permasalahan skala 1 sampai dengan
9 merupakan skala terbaik dalam mengkualifikasi pendapat, yaitu berdasarkan
akurasinya berdasarkan nilai RMS (Root Mean Squre Deviation) dan MAD
(Median Absolute Deviation). Nilai dan difinisi pendapat kualitatif dalam skala
perbandingan Saaty sperti pada Tabel 2-1.
13
Tabel 2-1 Skala Matrik Perbandingan Berpasangan
Intensitas
Kepentingan
1
3
5
7
9
Definisi
Elemen yang sama pentingnya
dibanding dengan elemen yang lain
( equal importen)
Elemen yang satu sedikit lebih penting
dari pada elemen lain (Moderate more
importance)
Elemen yang satu jelas lebih penting
dari pada elemen lain ( essential,
strong more impotance)
Elemen yang satu sangat jelas lebih
penting dari pada elemen lain
(demonstrated importance)
Elemen yang satu mutlak lebih penting
dari elemen lain (absolutely more
importance)
Penjelasan
Kedua elemen menyumbang
sama besar pada sifat tersebut.
Pengalaman menyatakan sdikit
berpihak pada satu elemen
Pengalaman menunjukan secara
kuat memihak pada satu elemen
Pengalaman menunjukan secara
kuat disukai dan dominannya
terlihat dalam praktek
Pengalaman menunjukan satu
elemen sangat jelas lebih
penting.
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai
uang berdekatan (grey area)
Nilai ini diberikan bila
diperlukan kompromi
Kebalikan
I / (2-9)
Jika kriteria CI mendapat satu angka
bila dibandingkan dengan kriteria C2
memiliki nilai kebalikan bila
dibandingkan CI
Jika kriteria CI mempunyai nilai
x bila dibandingkan dengan
kriteria C2, maka kriteria C2
mendapat nilai 1/x bila
dibandingkan kriteria CI
(Sumber : Thomas L. Saaty, 1986)
2.7.2 Proses-proses dalam Metoda Analytical Hierarchy Process ( AHP )
Prosses yang terjadi pada Metoda AHP :
14
1. Mendifinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
2. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum dilanjutkan dengan
kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah.
3. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap kriteria yang setingkat di atasnya.
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgment
(keputusan) sebanyak n x ((n-1)/2) buah, dengan n adalah banyaknya elemen
yang dibandingkan.
5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya jika tidak konsisten maka
pengambilan data diulangi lagi.
6. Mengulangi langkah 3,4 dan 5 untuk setiap tingkatan hirarki
7. Menghitung vektor eigen dari setiap matrik perbandingan berpasangan
8. Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10 persen maka
penilaian data judgment harus diperbaiki.
2.7.3 Matriks Perbandingan Berpasangan
Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada nilai-nilai fundamental
AHP dengan pembobotan dari nilai 1 untuk sama penting sampai 9 untuk sangat
penting sekali sesuai dengan tabel 2.1. Dari susunan matrik perbandingan
berpasangan dihasilkan sejumlah prioritas yang merupakan pengaruh relatif
sejumlah elemen pada eemen di dalam tingkat yang ada di atasnya. Perhitungan
eigenvektor dengan mengalikan elemen-elemen pada setiap baris dan mengalikan
dengan akar n, dimana n adalah jumlah elemen. Kemudian melakukan normalisasi
untuk menyatukan jumlah kolom yang diperoleh. Dengan membagi setiap nilai
dengan total nilai. Pembuat keputusan bisa menentukan tidak hanya urutan
ranking prioritas setiap tahap perhitungannya tetapi juga besaran prioritasnya.
Kriteria tersebut dibandingkan berdasarkan opini setiap pembuat
keputusan dan kemudian diperhitungkan prioritasnya.
15
Tabel 2.2 Perbandingan Kriteria Berpasangan
Pembuat
Kriteria
A
Kriteria
B
Kriteria
C
Kriteria
D
Kriteria
E Prioritas
Keputusan
Kriteria A 1,00
Kriteria B 1,00
Kriteria C 1,00
Kriteria D 1,00
Kriteria E 1,00
(Sumber : Thomas L. Saaty, 1986)
2.7.4 Perhitungan bobot elemen
Perhitungan bobot elemen dilakukan dengan menggunakan suatu matriks.
Dalam suatu sub sistem operasi terdapat ” n ” elemen yaitu elemen operasi
tersebut akan membentuk suatu matrik perbandingan. Perbandingan berpasangan
dimulai dari tingkat hirarki paling tinggi, dimana suatu kriteria digunakan sebagai
dasar pembuatan perbandingan. Bentuk matrik perbandingan berpasangan dapat
dilihat dalam gambar berikut :
A1 A2
…………. An
A1 A11 A12 ……….. A1n
A2 A21 A22 ………… A2n
…. … … ………… …..
An An1 An2 ………… Ann
Matrik A nxn di atas merupakan matrik resiprokal dan diasumsikan
terdapat n elemen yaitu W1, W2, ……..,Wn yang akan dimulai secara
perbandingan nilai (judgement) perbandingan secara berpasangan antara (Wi, Wj)
dapat dipresentasikan seperti matrik tersebut
Wi = a(i,j) ; I,j = 1,2, …, n ………………………………………………… (2-1)
16
Wj
Dalam hal ini matrik perbandingan adalah matrik A dengan unsur-unsurnya
adalah a dengan I,j = 1,2,….. n
Unsur-unsur matrik tersebut diperoleh dengan membandingkan satu elemen
operasi terhadap elemen operasi lainnya untuk tingkat Hirarki yang sama
misalnya unsure a11 adalah perbandingan kepentingan elemen operasi A1 dengan
elemen operasi sendiri, sehingga dengan sendirinya nilai unsur a11 adalah sama
dengan 1. Dengan cara yang sama maka diperoleh semua unsur diagonal matrik
perbandingan sama dengan 1.
Nilai unsur a12 adalah perbandingan kepentingan elemen operasi A1 terhadap
elemen A2, besarnya elemen a21 adalah 1/a12 yang menyatakan tingkat intensitas
kepentingan elemen operasi A2 terhadap elemen operasi A1.
Bila vector pembobotan elemen operasi A1,A2, …,An tersebut dinyatakan
sebagai vektor W dengan W = (W1,W2, …,Wn) maka nilai intensitas kepentingan
elemen operasi A1 dibandingkan dengan A2 dapat pula dinyatakan sebagai
perbandinganbobot elemen operasi A1 terhadap A2 yakni W1/W2 yang sama
dengan a12 sehingga matrik perbandingan dapat pula dinyata pada Gambar 2.4.
A1 A2
…………. An
A1 W1/W1 W1/W2 ……….. W1/Wn
A2 W2/W1 W2/W2 ………… W2/Wn
…. … … ………… …..
An Wn/W1 Wn/W2 ………… Wn/Wn
Gambar 2.4. Matrik Perbandingan berpasangan
(Sumber : Thomas L. Saaty, 1986 halaman 86)
Nilai Wi/Wj dengan i,j = 1,2,...,n dijajagi dengan partisipan yaitu orang-
orang yang berkompeten dalam permasalahan yang dianalisis. Matrik
perbandingan preferensi tersebut diolah dengan melakukan perhitungan pada tiap
baris tersebut dengan menggunakan rumus :
Wi = n √ (ai1 x ai2 x ai3, ..., x aij ) ............................................................................(2-2)
17
Perhitungan dilanjutkan dengan memasukan nilai Wi pada matrik hasil
perhitungan tersebut kerumus :
Wi
Xi = ── ................................................................................. (2-3)
∑Wi
Matrik yang diperoleh tersebut merupakan eigen vektor yang juga
merupakan bobot kriteria.
Nilai eigen vektor terbesar ( λmaks) diperoleh dari rumus
λ max = ∑aij.Xj ............................................................................................... ( 2-4 )
2.7.5 Perhitungan Konsistensi
Matrik bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan
tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut :
1. Hubungan kardinal : aij-ajk = aik
2. hubungan ordinal : Ai>Aj, Aj>Ak maka Ai>Ak
Hubungan di atas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut :
a. Dengan melihat preferensi multiplikatif misalnya keselamatan lalu lintas lebih
penting 4 kali dari kerusakan jalan, dan kerusakan jalan lebih penting 2 kali
dari kemacetan maka keselamatan lalu lintas lebih penting 8 kali dari
kemacetan.
b. Dengan melihat preferensi trasitif, misalnya keselamatan lalulintas lebih
penting dari kerusakan jalan dan kerusakan jalan lebih penting dari kemacetan,
maka keselamatan lalulintas lebih penting dari kemacetan.
Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan
tersebut, sehingga matrik tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi
karena ketidak konsistenan dalam preferensi seseorang.
Contoh konsistensi matriks sebagai berikut :
18
I J K
I 1 4 2
A = J 1/4 1 1/2
K 1/2 2 1
(Sumber : Thomas L. Saaty, 1986)
Matrik A tersebut konsisten karena :
aij x ajk = aik → 4 x ½ = 2
aik x akj = aij → 2 x 2 = 4
ajk x aki = aji → ½ x ½ = ¼
Dalam teori matrik diketahui bahwa kesalahan kecil pada koefisien akan
menyebabkan penyimpangan kecil pada eigen value. Dengan mengkombinasikan
apa yang telah diuraikan sebelumnya, jika diagonal utama dari matrik A bernilai
satu dan jika konsisten, maka penyimpangan kecil dari aij akan tetap
menunjukan eigen value terbesar. λmaks nilainya akan mendekati n dan
eigenvalue sisanya akan mendekati nol.
Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi
didapat dari rumus :
CI = (λ maks-n ) / ( n-1) ............................................................... (2 – 5)
Dimana λmaks = Eigen value maksimum dan n = ukuran matriks
Indeks konsistensi ( CI ), matrik random dengan skala penilaian 1 sampai dengan
9 beserta kebalikannya sebagai indeks random (RI). Berdasarkan perhitungan
Saaty dengan menggunakan 500 sampel, jika jugdment numerik diambil secara
acak dari skala 1/9, 1/8, ...,1, 2, ....., 9 akan diperoleh rata-rata konsistensi untuk
matriks dengan ukuranyang berbeda.
Tabel 2.3 Nilai Indeks Random
Ukuran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Matriks
Indeks 0,00 0,00 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
Random
(Sumber : Thomas L. Saaty, 1994)
19
Perbandingan antara CI dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai ratio
konsistensi (CR). Untuk model AHP matrik perbandingan dapat diterima jika nilai
ratio konsistensinya tidak lebih dari 10 % atau sama dengan 0,1
CR = CI / RI ≤ 0,1 ( OK ) .................................................................... ( 2-6)
20
BAB III
METODE PENELITIAN
Metoda yang dipergunakan adalah metoda deskriptif meliputi suvai
langsung melalui wawancara. Responden adalah stakeholder sekaligus sebagai
pengguna jalan. Jumlah responden ditentukan berdasarkan metode non
probabality sampling jenis purposive. Kerangka penelitian ini disajikan pada
Gambar 3.1
Gambar 1 Kerangka Penelitian
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Provinsi Bali. Responden adalah
stakeholder yang memiliki pengetahuan dan pengalaman terkait pelaksanaan
proyek peningkatan jalan Nasional.
Studi Kasus: Proyek Peningkatan Jalan
Nasional, Bali
Identifikasi Atribut Keselamatan di Zona Kerja
Sebelum Zona Pendekat
Taper Awal
Analisis dan Pembahasan
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pegumpulan data dengan quisioner
Zona Kerja Taper Penjauh
21
3.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan survey langsung dengan
menggunakan kuisioner.
3.3 Analisis Data
Analisis data secara deskriptif untuk mendeskripsikan hasil analisis dan
kemudian membahasnya.
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penyusunan Hirarki
Acuan penyususnan hirarki adalah merujuk pada Petunjuk Praktis Keselamatan di
Zona Kerja di Jalan seperti digambarkan pada Gambar 4.1
Gambar 4.1 Tipikal Zona Kerja (DJBM, 2010)
Tipikal pembagian zona kerja di jalan dan fungsi masing-masing zona disajikan
pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Pembagian Zona Kerja dan Fungsinya
Sumber : DJBM, 2010
23
Atribut pada masing-masing zona dapat berupa perambuan, Alat Pengendali
Isyarat Lalu Lintas (APILL), guardrail serta jarak aman untuk masing-masing
zona. Atribut dari masing-masing zona dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2. Atribut-atribut keselamatan di zona kerja pekerjaan jalan
Zona Kerja Atribut
Zona pendekat (A)
Rambu peringatan ada pekerjaan jalan (A1`)
Rambu petunjuk penggunaan lajur jalan (A2)
Rambu peringatan kecepatan kendaraan maksimum
(A3)
Rambu peringatan penyempitan lajur jalan (A4)
Jarak zona pendekat untuk jalan arteri 300-500m
(A5)
Taper Awal (B)
Panjang Taper awal minimum 280 m (B1)
Pemasangan kercut lalu lintas/ guardrail (B2)
Pertemuan Taper awal dengan Zona kerja dipasang
Reflektor/Lampu kedip (B3)
Zona kerja (C)
Panjang zona kerja minimalkan (C1)
Lebar zona kerja minimalkan (C2)
Pemasangan kercut lalu lintas/ guardrail (C2)
Jarak antar zona kerja minimal 1 km (C4)
Taper akhir (D) Panjang Taper akhir minimal 45-90 m (D1)
Pemasangan kercut lalu lintas/ guardrail (D2)
Atribut-atribut pada Tabel 4.2 selanjutnya disusun hirarkinya menurut kaidah
AHP. Hirarki ini dapat dilihat pada Gambar 4.1
Pada Gambar 4.1 dapat dijelaskan hirarki teratas adalah tujuan studi (Goal) pada
level 1, dilanjutakan penjabarannya ke level 2 dibawahnya adalah sasaran/kreteria
(Objectives) dengan 4 kreteria yaitu A,B,C dan D, kemudian dilanjukan pada
level 3 yaitu alternative (sub objectives) dengan kreteria A terdiri dari 5 sub
kreteria (A1. A2, A3, A4 dan A5), kreteria B terdiri dari 3 sub kreteria (B1, B2
24
dan B3), kreteria C terdiri dari 4 sub kreteria (C1, C2, C3 dan C4) dan kreteria D
terdiri dari 2 sub kreteria (D1 dan D2).
Rambu peringatan ada pekerjaan jalan
(A1`) Rambu petunjuk penggunaan lajur jalan (A2) Rambu peringatan kecepatan kendaraan maksimum (A3) Rambu peringatan penyempitan lajur jalan (A4) Jarak zona pendekat untuk jalan arteri 300-500m (A5)
Panjang Taper awal minimum 280 m
(B1) Pemasangan kercut lalu lintas/ guardrail (B2) Pertemuan Taper awal dengan Zona kerja dipasang Reflektor/Lampu kedip (B3)
Panjang zona kerja minimal (C1)
Lebar zona kerja minimal (C2) Pemasangan kercut lalu lintas/ guardrail (C2) Jarak antar zona kerja minimal 1 km (C4)
Panjang Taper akhir minimal 45-90 m
(D1) Pemasangan kercut lalu lintas/ guardrail (D2)
Goal
Objectives
Sub Objectives
Gambar 4.1. Hirarki Penilaian aspek keselamatan di zona kerja Peningkatan Jalan Nasional
Zona pendekat (A)
Taper Awal (B)
Zona kerja (C)
Taper akhir (D)
Penilaian aspek keselamatan di Zona kerja (C)
25
4.2 Pengumpulan dan Kompilasi Data
Data yang dikumpulkan sebanyak 11 responden dari stakeholders expert,
kemudian dikompilasi dengan mencari nilai modusnya. Berikut hasil kompilasi
dalam bentuk matrik.
4.2.1 Matrik Objectives
Kompilasi untuk matrik objective untuk level 2 disajikan pada Tabel 4.3a, dan
matrik resiprocalnya disajika pada Tabel 4.3b
Tabel 4.3a Kompilasi data untuk matrik objectives
Pembuat Kriteria A Kriteria B Kriteria C Kriteria D
Keputusan
Kriteria A 1.00 6.00 3.00
Kriteria B 1.00 3.00
Kriteria C 3.00 7.00 1.00 8.00
Kriteria D 1.00
Tabel 4.3b Matrik reciprocal dari objectives
Pembuat Kriteria A Kriteria B Kriteria C Kriteria D
Keputusan
Kriteria A 1.00 6.00 0.33 3.00
Kriteria B 0.17 1.00 0.14 3.00
Kriteria C 3.00 7.00 1.00 8.00
Kriteria D 0.33 0.33 0.13 1.00
4.2.1 Matrik Sub Objectives Sub Kreteria Zona Pendekat (A)
Kompilasi untuk matrik Sub objective kreteria zona A untuk level 3
disajikan pada Tabel 4.4a, dan matrik reciprocal-nya disajika pada Tabel 4.4b
26
Tabel 4.4a Kompilasi untuk matrik Sub objective Sub Kreteria A
Pembuat
Sub Kriteria
A1
Sub Kriteria
A2
Sub Kriteria
A3
Sub Kriteria
A4
Sub Kriteria
A5
Keputusan
Sub Kriteria
A1 1.00 7.00 6.00 6.00 7.00 Sub Kriteria
A2 1.00 7.00 7.00 7.00 Sub Kriteria
A3 1.00 7.00 Sub Kriteria
A4 7.00 1.00 7.00 Sub Kriteria
A5 1.00
Tabel 4.4b Matrik reciprocal dari sub objectives A
Pembuat
Sub Kriteria
A1
Sub Kriteria
A2
Sub Kriteria
A3
Sub Kriteria
A4
Sub Kriteria
A5
Keputusan
Sub Kriteria
A1 1.00 7.00 6.00 6.00 7.00 Sub Kriteria
A2 0.14 1.00 7.00 7.00 7.00 Sub Kriteria
A3 0.17 0.14 1.00 0.14 7.00 Sub Kriteria
A4 0.17 0.14 7.00 1.00 7.00 Sub Kriteria
A5 0.14 0.14 0.14 0.14 1.00
4.2.2 Matrik Sub Objectives Sub Kreteria Taper Awal (B)
Kompilasi untuk matrik Sub objective kreteria B untuk level 3 disajikan pada
Tabel 4.5a, dan matrik reciprocal-nya disajika pada Tabel 4.5b
27
Tabel 4.5a Kompilasi untuk matrik Sub objective/Sub Kreteria B
Sub Kriteria B1 Sub Kriteria B2 Sub Kriteria B3
Kreteria
Sub Kriteria B1 1.00
Sub Kriteria B2 3.00 1.00 2.00
Sub Kriteria B3 2.00 1.00
Tabel 4.5b Matrik reciprocal dari sub objectives/ Sub Kreteria B
Sub Kriteria B1 Sub Kriteria B2 Sub Kriteria B3
Kreteria
Sub Kriteria B1 1.00 0.33 0.50
Sub Kriteria B2 3.00 1.00 2.00
Sub Kriteria B3 2.00 0.50 1.00
4.2.3 Matrik Sub Objectives Sub Kreteria Zona Kerja (C )
Kompilasi untuk matrik Sub objective kreteria C untuk level 3 disajikan pada
Tabel 4.6a, dan matrik reciprocal-nya disajika pada Tabel 4.6b
Tabel 4.6a Kompilasi untuk matrik Sub objective Sub Kreteria C
Tabel 4.6b Matrik reciprocal dari sub objectives/ Sub Kreteria C
Kreteria Sub Kriteria C1 Sub Kriteria C2 Sub Kriteria C3 Sub Kriteria C4
Sub Kriteria C1 1.00 7.00 7.00 9.00 Sub Kriteria C2 1.00 3.00 2.00
Sub Kriteria C3 1.00 Sub Kriteria C4 2.78 1.00
Kreteria Sub Kriteria C1 Sub Kriteria C2 Sub Kriteria C3 Sub Kriteria C4
Sub Kriteria C1 1.00 7.00 7.00 9.00 Sub Kriteria C2 0.14 1.00 3.00 2.00 Sub Kriteria C3 0.14 0.33 1.00 0.36 Sub Kriteria C4 0.11 0.50 2.78 1.00
28
4.2.4 Matrik Sub Objectives Sub Kreteria Zona Taper Penjauh (D)
Kompilasi untuk matrik Sub objective kreteria D untuk level 3 disajikan pada
Tabel 4.7a, dan matrik reciprocal-nya disajika pada Tabel 4.7b
Tabel 4.7a Kompilasi untuk matrik Sub objective/Sub Kreteria D
Sub Kriteria D1 Sub Kriteria D2
Kreteria
Sub Kriteria D1 1.00
Sub Kriteria D2 5.00 1.00
Tabel 4.7b Matrik reciprocal dari sub objectives/ Sub Kreteria D
Sub Kriteria D1 Sub Kriteria D2
Kreteria
Sub Kriteria D1 1.00 0.20
Sub Kriteria D2 5.00 1.00
4.3 Analisis Eigen Vector dan Eigen Value
Untuk mendapatkan nilai eigen vector yang merupakan bobot prioritas dari
masing-masing kreteria atau sub kreteria/ alternative, maka dilakukan perhitungan
pada matrik preferensi pada Tabel 4.3b, Tabel 4.4b, Tabel 4.5b, Tabel 4.6b dan
Tabel 4.7b dengan menggunakan formula (2-2) dan (2-3).
Sedangkan untuk menghitung indek konsistensi (CI) dimulai dengan
menggunakan formula (2-4) untuk perhitungan eigen value dan formula (2-5)
untuk CI. Selanjutnya dikontrol dengan menggunakan rasio konsistensi (CR)
menggunakan formula (2-6).
Hasil perhitungan untuk kreteria/objectives level 2 disajikan pada Tabel 4.8, Sub
kreteria/ alternative A, B, C dan D disajikan pada Tabel 4.9, Tabel 4.10, Tabel
4.11 dan Tabel 4.12
Pada Tabel 4.8 dapat dijelaskan jawaban responden sudah konsisten hal ini dapat
dilihat dari nilai rasio konsistensi CR= 0.09 <0.10.
Bobot prioritas pada level 2 atau kreteria atau objectives untuk penanganan aspek
keselamatan pada bagian-bagian zona kerja yang didapat adalah mulai dari
prioritas utama pemasangan atribut keselamatan yaitu pada zona kerja (C=59%),
29
diikuti dengan zona pendekat (A=27%), Taper awal (B=9%) dan Taper penjauh
(D=6%).
Tabel 4.8 Matrik reciprocal objectives , nilai Eigen vector dan Eigen value dan
CI dan CR untuk level 2 atau goal
Kreteria
Kriteria
A
Kriteria
B
Kriteria
C Kriteria D Eigen-Vektor Eigen-Value
Kriteria A
1.00
6.00
0.33
3.00 0.27 1.15
Kriteria B
0.17
1.00
0.14
3.00 0.09 0.39
Kriteria C
3.00
7.00
1.00
8.00 0.59 2.45
Kriteria D
0.33
0.33
0.13
1.00 0.06 0.25
Jumlah 1.00 4.24
Indek Konsistensi (CI) 0.08
Rasio Konsistensi (CR) 0.09 < 0.10
Tabel 4.9 Matrik reciprocal sub objectives Zona Pendekat (A), nilai Eigen
vector dan Eigen value dan CI dan CR.
Sub Kreteria A1 A2 A3 A4 A5
Eigen-Vektor
Eigen-Value
A1
1.00 7.00
6.00 6.00 1.00 0.46 2.44
A2 0.14 1.00
7.00 7.00 1.00 0.23 1.54
A3 0.17 0.14
1.00 0.14 1.00 0.05 0.33
A4 0.17 0.14
7.00 1.00 1.00 0.11 0.71
A5 1.00 1.00
1.00 1.00 1.00 0.15 1.00
Jumlah 1.00 5.04
Indek Konsistensi (CI) 0.01
Rasio Konsistensi (CR) 0.08 < 0,10
30
Pada Tabel 4.9 dapat dijelaskan jawaban responden sudah konsisten hal ini dapat
dilihat dari nilai rasio konsistensi CR= 0.08 <0.10.
Bobot prioritas pada level 3 atau sub kreteria atau sub objectives atau alternatif
untuk penanganan aspek keselamatan pada bagian Zona Pendekat yang didapat
adalah mulai dari prioritas utama pemasangan atribut keselamatan yaitu Rambu
peringatan ada pekerjaan jalan (A1=46%), diikuti dengan Rambu petunjuk
penggunaan lajur (A2=23%), Jarak zona pendekat untuk jalan arteri 300-500 m
(A5=15%), Rambu peringatan penyempitan lajur jalan (A4=11%) dan Rambu
peringatan batas kecepatan (A3=5%).
Tabel 4.10 Matrik reciprocal sub objectives zona Taper awal (B) , nilai Eigen
vector dan Eigen value dan CI dan CR
Sub Kreteria
Sub Kriteria
B1
Sub Kriteria
B2
Sub Kriteria
B3 Eigen-Vektor
Eigen-Value
Sub Kriteria
B1 1.00 0.33 0.50 0.17 0.50
Sub Kriteria
B2 3.00 1.00 2.00 0.53 1.64
Sub Kriteria
B3 2.00 0.50 1.00 0.30 0.91
Jumlah 1.00 3.05
Indek Konsistensi (CI) 0.03
Rasio Konsistensi (CR) 0.04 < 0,10
Pada Tabel 4.10 dapat dijelaskan jawaban responden sudah konsisten hal ini dapat
dilihat dari nilai rasio konsistensi CR= 0.04 <0.10.
Bobot prioritas pada level 3 atau sub kreteria atau sub objectives atau alternatif
untuk penanganan aspek keselamatan pada bagian zona Taper awal yang didapat
adalah mulai dari prioritas utama pemasangan atribut keselamatan yaitu dengan
Pemasangan kerucut/guardrail (B2=53%) diikuti Pemasangan reflector (lampu
31
berkedip pada pertemua taper awal dengan zona kerja (B3=30%) dan persyaratan
panjang taper minimum (B1=17%).
Tabel 4.11 Matrik reciprocal sub objectives pada Zona kerja (C ), nilai Eigen
vector dan Eigen value dan CI dan CR
Kreteria
Sub
Kriteria C1 Sub Kriteria C2
Sub
Kriteria
C3
Sub
Kriteria
C4 Eigen-Vektor
Eigen-Value
Sub
Kriteria C1 1.00 7.00 7.00 9.00 0.70 2.90 Sub
Kriteria C2 0.14 1.00 3.00 2.00 0.15 0.63 Sub
Kriteria C3 0.14 0.33 1.00 0.36 0.09 0.26 Sub
Kriteria C4 0.11 0.50 2.78 1.00 0.06 0.45
Jumlah 1.00 4.25
Indek Konsistensi (CI) 0.08
Rasio Konsistensi (CR) 0.09 < 0.10
Pada Tabel 4.11 dapat dijelaskan jawaban responden sudah konsisten hal ini dapat
dilihat dari nilai rasio konsistensi CR= 0.09 <0.10.
Bobot prioritas pada level 3 atau sub kreteria atau sub objectives atau alternatif
untuk penanganan aspek keselamatan pada bagian Zona kerja yang didapat adalah
mulai dari prioritas utama pemasangan atribut keselamatan yaitu Panjang zona
kerja diminimalkan (C1=70%) diikuti dengan atribut Lebar zona kerja
diminimalkan (C2=15%), Pemasangan kerucut/guardrail (C3=9%) dengan dan
jarak antar zona kerja minmal 1 km (C4=6%).
32
Tabel 4.12 Matrik reciprocal sub objectives zona Taper akhir (D) , nilai Eigen
vector dan Eigen value dan CI dan CR
Kreteria Sub Kriteria D1 Sub Kriteria D2 Eigen-Vektor Eigen-Value
Sub Kriteria D1 1.00 0.20 0.18 0.34
Sub Kriteria D2 5.00 1.00 0.82 1.71
Jumlah 1.00 2.05
Indek Konsistensi (CI) 0.05
Rasio Konsistensi (CR) 0.05 <0.1
Pada Tabel 4.12 dapat dijelaskan jawaban responden sudah konsisten hal ini dapat
dilihat dari nilai rasio konsistensi CR= 0.05 <0.10.
Bobot prioritas pada level 3 atau sub kreteria atau sub objectives atau alternatif
untuk penanganan aspek keselamatan pada bagian zona Taper akhir yang didapat
adalah mulai dari prioritas utama pemasangan atribut keselamatan yaitu dengan
Pemasangan kerucut/guardrail dan diikuti dengan atribut persyaratan panjang
taper akhir minimum dengan bobot masing-masing: 82%; 18%.
Bobot prioritas pemasangan atribut aspek keselamatan di zona kerja pelaksanaan
peningkatan jalan dari goal (level 1) sampai alternative (level 3) disajikan pada
Gambar 4.2
33
Rambu peringatan ada pekerjaan jalan
(A1) = 46% Rambu petunjuk penggunaan lajur jalan
(A2) = 23% Rambu peringatan kecepatan kendaraan
maksimum (A3)=5% Rambu peringatan penyempitan lajur
jalan (A4)=11% Jarak zona pendekat untuk jalan arteri
300-500m (A5)=15%
Panjang Taper awal minimum 280 m (B1)= 17%
Pemasangan kercut lalu lintas/ guardrail (B2)= 53%
Pertemuan Taper awal dengan Zona kerja dipasang Reflektor/Lampu kedip
(B3)= 30%
Panjang zona kerja minimal (C1)=70%
Lebar zona kerja minimal (C2)=15%
Pemasangan kercut lalu lintas/ guardrail (C2)= 9%
Jarak antar zona kerja minimal 1 km (C4)=6%
Panjang Taper akhir minimal 45-90 m
(D1)=18% Pemasangan kercut lalu lintas/ guardrail
(D2)=82%
Goal (level 1)
Objectives (level 2)
Sub Objectives (level 3)
Gambar 4.2 Bobot prioritas pemasangan atribut aspek keselamatan di zona kerja
pekerjaan peningkatan jalan Nasional
Zona pendekat (A) = 27%
Taper Awal (B)= 9%
Zona kerja (C)= 59%
Taper akhir (D)= 6%
Penilaian aspek keselamatan di Zona kerja
34
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil analisis dan pembahasan untuk rancangan penilaian pemeriksaan aspek
keselamatan pada masa eksekusi proyek peningkatan jalan Nasional di Bali
adalah:
1) Atribut yang terkait keselamatn di zona kerja pada masa eksekusi peningkatan
jalan pada 4 zona adalah:
a) Pada zona pendekat ada 5 atribut meliputi: Rambu peringatan ada
pekerjaan jalan; Rambu petunjuk penggunaan lajur; Rambu peringatan
batas kecepatan; Rambu peringatan penyempitan lajur jalan; Jarak zona
pendekat untuk jalan arteri 300-500 m.
b) Pada zona Taper awal ada 3 atribut meliputi: Persyaratan panjang taper
minimum; Pemasangan kerucut/guardrail dan Pemasangan reflector
(lampu berkedip pada pertemua taper awal dengan zona kerja.
c) Pada zona Kerja ada 4 atribu meliputi : Panjang zona kerja diminimalkan;
Lebar zona kerja diminimalkan; Pemasangan kerucut/guardrail dan
jarak antar zona kerja minmal 1 km
d) Pada zona Taper akhir ada 2 atribut meliputi : atribut persyaratan panjang
taper akhir minimum dan Pemasangan kerucut/guardrail
2) Bobot prioritas atau bobot kepentingan untuk penilaian aspek keselamatan di
zona yang terdiri dari 4 kretria pembagian zona kerja secara teurut dari bobot
kepentingan yang lebih besar adalah zona kerja; zona pendekat; zona taper
awal dan zona taper akhir dengan bobot adalah 59%; 27%; 9% dan 6%
a) Bobot penilaian atribut alternative untuk kreteria zona pendekat secara
teurut dari bobot kepentingan yang lebih besar adalah: rambu peringatan
ada pekerjaan jalan; rambu petunjuk penggunaan lajur; jarak zona
pendekat untuk jalan arteri 300-500 m; Rambu peringatan penyempitan
lajur jalan dan rambu peringatan batas kecepatan dengan bobot masing-
masing adalah: 46%; 23%; 15%; 11%; 5%.
35
b) Bobot penilaian atribut alternative untuk kreteria zona Taper awal secara
teurut dari bobot kepentingan yang lebih besar adalah: pemasangan
kerucut/guardrail; pemasangan reflector (lampu berkedip pada pertemua
taper awal dengan zona kerja) dan persyaratan panjang taper minimum
dengan bobot masing-masing: 53%; 30%; 17%.
c) Bobot penilaian atribut untuk kreteria zona kerja secara teurut dari bobot
kepentingan yang lebih besar adalah: panjang zona kerja diminimalkan;
diikuti dengan atribut lebar zona kerja diminimalkan; pemasangan
kerucut/guardrail; dengan dan jarak antar zona kerja minmal 1 km
dengan bobot masing-masing: 70%; 15%; 9%; 6%.
d) Bobot penilaian atribut untuk kreteria zona Taper akhir secara teurut dari
bobot kepentingan yang lebih besar adalah: Pemasangan kerucut/guardrail
dan diikuti dengan persyaratan panjang taper akhir minimum dengan bobot
masing-masing: 82%; 18%.
5.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan untuk studi lanjutan adalah penilaian skor
masing-masing atribut sesuai dengan kesesuain pelaksanaan dilapangan sehingga
pemeriksaan penilaian aspek keselamatan di zona kerja selama eksekusi
mendapatkan hasil penilaian kuantitatif yang memadai.
36
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Pedoman Pengumpulan Data Lalu Lintas Jalan. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Republik Indonesia
Anonim. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan angkutan Jalan Umum. Dewan Perwalikan Rakyat Republik Indonesia
Allouche Erez N., Gilcrist Andrew. 2004. Quantifying Construction Realated
Social Costs, North American Society for Trenchless Technology (NASTT), New Orleans,Lusiana
Bai Yong, Li Yingfeng. 2006. Determining Major Causes of Highway Work Zone
Accident in Kansas. Kansas Department of Transportation.
Borchartdt Darrell W., Pesti Geza, Sun Dazhi, Ding Liang. 2009. Capacity and Road User Cost Analysis of Selected Freeway Work Zones in Texas. Report 0-5619-1,Texas Transportation Institute.
Busbhait Abdulaziz A. 2003. Incentive/Disincentive Contracts and Its Effects on
Industrial Projects, International journal of Project Management.[21], 63-70, Enselvier.
Chen Yali, Qin Xiao, Noyce David A., Lee Chanyoung. 2010. Interactive Process
of Microsimulation and Logistic Regression for Short-Term work Zone Traffic Diversion, Journal of Transportation Engineering. 136 (3): 243-254, ASCE
Choi Kunhee, Kwak Young Hoon, Yu Byunggu. 2010. Quantitative Model for
Determining Incentive/Disincentive Amounts through Schedule Simulation, Proceedings of the 2010 Winter Simulation Conference.
Choi Kunhee, Kwak, Young Hoon. 2011. Decision Support Model for
Incentive/Disincentive Time-Cost Tradeoff, Journal of Automation in Construction. 21: 210-228. Enselvier
DPU (Departemen Perhubungan). 2004. Undang-undang No. 38 Tahun 2004
Tentang Jalan, Pustaka Widyatama, Yogyakarta. DPU (Departemen Pekerjaan Umum). 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia
(MKJI), Direktorat Jendral Bina Marga, Jakarta. FEHRL. Org. 2010. New Road Construction Concepts: Vision 2040. http://nr2c.fehrl.org/?m=23&id_directory=429
37
Gilchrist, Andrew and Allouche Erez N. 2005.Quantification of social costs associated with construction projects: state-of-the-art review, Journal Tunnelling and underground Space Technology. 20 (1): 89-104. Elsevier
Garry D. Creedy, Martin Skitmore, and Johnny K. W. Wong. 2010. Evaluation of Risk Factors Leading to Cost Overrun in Delivery of Highway Construction Projects,J. Constr. Engrg. and Mgmt. 136, 528
Gilcrist Andrew and Allouche Erez N. 2005.Quantification of Social Costs
Associated with Construction Project: State of the Art Review, Journal Tunneling and Undenground Space Technology. (20): 89-104, Enselvier
IndII (Indonesia Infrastructure Inisiatives). 2011. Petunjuk Praktis- Keselamatan
Jalan Pada Zona Kerja Di Jalan, Dalam Mendukung Proyek-Proyek EINRIP.
Jennifer Shane, Kelly Strong, Daniel Enz. 2009. Construction Project
Administration and Management for Mitigating Work Zone. Crashes and Fatalities: An Integrated Risk Management Model. MTC (Midwest Transportation Consortium) Report 2008-02
KMUDJBM (Kementerian Pekerjaan Umum Dirtektorat Jendral Bina Marga).
2012. Serial Rekayasa Keselamatan Jalan, Panduan Teknis 3 Keselamatan Di Lokasi Pekerjaan, “Mewujudkan lokasi pekerjaan jalan yang lebih berkeselamatan” Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII)- SMEC-AusAID.
KMUDJBM (Kementerian Pekerjaan Umum Dirtektorat Jendral Bina
Marga).2010. Dokumen Pelelangan Nasional Penyedia Jasa an Pekerjaan Konstruksi (Pemborongan) untuk Kontrak Harga Satuan, Bab VII Spesifikasi Umum, Edisi 2010 (Revisi).
Kelly C. Strong and Jennifer S. Shane, 2011. Risk Mitigation Strategies for
Operations and Maintenance Activities. Report from Institute for Transportation Iowa State University, 2711 South Loop Drive, Suite 4700 Ames, IA 50010-8664
. Saaty, Thomas L. 1986. The Analytical Hierarchy Process. Great Britain: Eta
service Ltd.
Saaty, Thomas L. 1993. Proses Hirarki Analitik untuk pengambilan keputusan
dalam Situasi yang kompleks. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.
38
Saaty, Thomas L., and Luis G. Vargas. 1994. The Analytical Hierarchy Process
Vol. VII; “ Decision Making in Economic, Poliyical, Social, Technological
Environments, 1st Edition P,9. Pittsburg: RWS Publications.
Soeharto, Imam. 2001. Manajemen Proyek dari Konseptual sampai Operasional.
Jakarta: Erlangga
39
LAPORAN PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN BAGI DOSEN PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK SIPIL
RANCANGAN PENILAIAN PEMERIKSAAN ASPEK KESELAMATAN PADA MASA EKSEKUSI PROYEK
PENINGKATAN JALAN NASIONAL
Nama Peneliti :
Dr. Ir. Dewa Ketut Sudarsana, MT. Ir. Mayun Nadiasa, MT. Ida Bagus Artamana, ST.
Program Magister Teknik Sipil Program Pascasarjana Universitas Udayana
2015
40
ABSTRAK
Keselamatan Jalan merupakan isu yang cenderung mengemuka dari tahun
ke tahun dan saat ini sudah menjadi permasalahan global dan bukan semata-mata masalah transportasi saja tetapi sudah menjadi permasalahan sosial kemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat dengan dicanangkannya Decade of Action for Road Safety 2010-2020 oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan pemilikan kendaraan bermotor di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, dikombinasikan pula dengan bertambahnya penduduk dan beragamnya jenis kendaraan telah mengakibatkan masalah keselamatan jalan yang semakin memburuk. Oleh karena itu, keselamatan jalan menjadi pertimbangan pertama dalam menentukan kebijakan yang menyangkut jalan raya. Upaya pencegahan keselamatan dijalan selama masa rekonstruksi telah diatur dalam kontrak pelaksanaan jalan. Namun cara penilaian pemeriksaan keselamatann di jalan pada zona kerja pelaksanaan rekonstruksi belum diteliti. Metode deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi atrikait aspek keselamatan di zona kerja pekerjaan jalan. Hirarki dan pembobotan penilaian masing atribut menggunakan metode Proses Hirarki Analitikal (PHA). Hasil rancangan pembobotan pada level kreteria medapatkan 4 kreteria pembagian zona kerja secara teurut dari bobot kepentingan yang lebih besar adalah zona kerja; zona pendekat; zona taper awal dan zona taper akhir dengan bobot adalah 59%; 27%; 9% dan 6% . Penilaian atribut alternative untuk kreteria zona pendekat secara teurut dari bobot kepentingan yang lebih besar adalah: rambu peringatan ada pekerjaan jalan; rambu petunjuk penggunaan lajur; jarak zona pendekat untuk jalan arteri 300-500 m; rambu peringatan penyempitan lajur jalan dan rambu peringatan batas kecepatan dengan bobot masing-masing adalah: 46%; 23%; 15%; 11%; 5%. Penilaian atribut alternative untuk kreteria zona taper awal secara teurut dari bobot kepentingan yang lebih besar adalah: pemasangan kerucut/guardrail; pemasangan reflector pada pertemua taper awal dengan zona kerja; persyaratan panjang taper minimum dengan bobot masing-masing: 53%; 30%; 17%. Penilaian atribut untuk kreteria zona kerja secara teurut dari bobot kepentingan yang lebih besar adalah: panjang zona kerja diminimalkan; diikuti dengan atribut lebar zona kerja diminimalkan; pemasangan kerucut/guardrail; dan jarak antar zona kerja minmal 1 km dengan bobot masing-masing: 70%; 15%; 9%; 6%. penilaian atribut untuk kreteria zona penjauh secara teurut dari bobot kepentingan yang lebih besar adalah: pemasangan kerucut/guardrail dan diikuti dengan persyaratan panjang taper akhir minimum dengan bobot masing-masing: 82%; 18%. Kata kunci : penilaian, metode PHA, keselamtan, zona kerja, peningkatan jalan
i
41
DAFTAR ISI ABSTRAK........................................................................................... ...... i DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................ 2
1.3 Manfaat Penelitian ................................................................ 2 BAB II TINJAUN PUSTAKA ................................................................... 3 2.1 Klasifikasi, Bagian dan Ruang .................................................. 3 2.1.1 Klasifikasi menurut Status Jalan…………………… 4 2.1.2 Bagian Bagian Jalan ……………………………… 4 2.1.3 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA) ………………… 4 2.1.4 Ruang Milik Jalan (RUMIJA)……………………… 5 2.1.5 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA)…………….. 6 2.2 Jalan Nasional di Provinsi Bali ............................................ 6
2.3 Pengertian Proyek.............................. ................................... 7 2.4 Infrastruktur Jalan Ramah Lingkungan ……………………. 7 2.5 Zona Kerja (Work Zone) …………………………………… 9
2.6 Instrumen Keselamatan pada Masa Pelaksanaan Peningkatan Jalan Matrik Risiko …………………………… 9 2.7 Metode Skala Prioritas dengan Menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) ……………………….. 10 2.7.1 Menentukan Prioritas……………………………….. 12 2.7.2 Proses dengan Menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) ……………… 13 2.7.3 Matrik Perbandingan Berpasangan………………… 14 2.7.4 Perhitungan Bobot Elemen ……………………….. 15 2.7.5 Perhitungan Konsistensi …………………………… 17 BAB III METODE PENELITIAN…………………………………… 20 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian…………………………… 20 3.3 Metode Pengumpulan Data………………………………… 21 3.4 Analisa Data………………………………………………… 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………….. 22 4.1 Penyusunan Hirarki …………………………………………. 22 4.2 Pengumpulan dan Kompilasi Data………………………….. 25 4.3 Analisa Eigen Vector dan Eigen Value ……………………….. 28 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………….. 34 5.1 Kesimpulan …………………………………………………. 34 5.2 Saran ……………………………………………………….. 35 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 36
ii