BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun...

76
PENGARUH VARIABEL-VARIABEL KEWIRAUSAHAAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA Parulian Simanjuntak Tito Hutabarat Abstrak Organisasi usaha baru menciptakan bagian inovasi yang besar terhadap produk barang dan jasa yang mampu merubah cara manusia untuk bekerja dan hidup. Melalui keinginannya untuk menciptakan produk yang diinginkan pasar, mereka menggunakan sumber daya yang ada, seperti modal, tenaga kerja, tanah, dan sifat mereka sendiri, yaitu kewirausahaan sebagai mesin penggeraknya. Pembangunan yang dilakukan pemerintah, terutama atas sarana dan prasarana akan menambah gairah pertumbuhan perusahaan di negaranya, walaupun tentunya tidak terlepas dari kondisi politik negara tersebut, sebab fasilitas yang semakin bagus akan semakin memperlancar kegiatan produksi yang mereka lakukan. Tak jarang investor asing tertarik mendirikan usahanya di negara-negara itu. Peningkatan kesejahteraan negara - yang ditandai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, menandakan bahwa negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian yang dilakukan dengan mengunakan data-data yang tersedia menunjukkan nilai korelasi dari variabel–variabel kewirausahaan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu jumlah perusahaan industri manufaktur, jumlah investasi baru di Indonesia, jumlah modal modal tetap baru, dan hasil produksi dari sektor industri manufaktur, memiliki nilai korelasi yang positif, yang berarti bahwa variabel–varaibel tersebut memiliki pengaruh yang positif terhadap pendapatan nasional Indonesia, sehingga jika ingin membuat perekonomian Indonesia bertumbuh, maka jumlah dari masing-masing variabel tersebut harus ditingkatkan, dimana faktor-faktor lainnya dianggap tetap. Hal ini berarti hipotesis yang menyatakan bahwa variabel – variabel kewirausahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia diterima. Hasil regresi variabel–variabel kewirausahaan dan Pendapatan Nasional Indonesia menunjukkan 1

Transcript of BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun...

Page 1: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

PENGARUH VARIABEL-VARIABEL KEWIRAUSAHAAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Parulian SimanjuntakTito Hutabarat

Abstrak

Organisasi usaha baru menciptakan bagian inovasi yang besar terhadap produk barang dan jasa yang mampu merubah cara manusia untuk bekerja dan hidup. Melalui keinginannya untuk menciptakan produk yang diinginkan pasar, mereka menggunakan sumber daya yang ada, seperti modal, tenaga kerja, tanah, dan sifat mereka sendiri, yaitu kewirausahaan sebagai mesin penggeraknya. Pembangunan yang dilakukan pemerintah, terutama atas sarana dan prasarana akan menambah gairah pertumbuhan perusahaan di negaranya, walaupun tentunya tidak terlepas dari kondisi politik negara tersebut, sebab fasilitas yang semakin bagus akan semakin memperlancar kegiatan produksi yang mereka lakukan. Tak jarang investor asing tertarik mendirikan usahanya di negara-negara itu. Peningkatan kesejahteraan negara - yang ditandai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, menandakan bahwa negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi.

Hasil penelitian yang dilakukan dengan mengunakan data-data yang tersedia menunjukkan nilai korelasi dari variabel–variabel kewirausahaan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu jumlah perusahaan industri manufaktur, jumlah investasi baru di Indonesia, jumlah modal modal tetap baru, dan hasil produksi dari sektor industri manufaktur, memiliki nilai korelasi yang positif, yang berarti bahwa variabel–varaibel tersebut memiliki pengaruh yang positif terhadap pendapatan nasional Indonesia, sehingga jika ingin membuat perekonomian Indonesia bertumbuh, maka jumlah dari masing-masing variabel tersebut harus ditingkatkan, dimana faktor-faktor lainnya dianggap tetap. Hal ini berarti hipotesis yang menyatakan bahwa variabel – variabel kewirausahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia diterima. Hasil regresi variabel–variabel kewirausahaan dan Pendapatan Nasional Indonesia menunjukkan hubungan yang signifikan antara varibel – variabel kewirausahaan tersebut dengan pendapatan nasional. Hal ini berarti untuk menumbuhkan perekonomian, pertambahan dari variabel – variabel ini secara signifikan akan mempengaruhi peningkatan/pertumbuhan pendapatan nasional di Indonesia.

Kata kunci : Kewirausahaan, investasi, produksi, pertumbuhan.

Latar Belakang

Tahun-tahun belakangan ini adalah tahun-tahun- keemasan dari kewirausahaan. Kewirausahaan mulai dipelajari di tingkat perguruan tinggi. Program-program MBA Kewirausahaan di Amerika Serikat dan menjadi primadona bagi calon mahasiswa bisnis 1. Di Indonesia sendiri bidang ini mulai dipelajari di tingkat perguruan tinggi, walau masih sedikit universitas yang menyediakan program studi ini, tapi ini adalah bukti kemenarikan dari kewirausahaan sebagai suatu pengetahuan yang memampukan siswanya menjadi pengusaha handal. Masa keemasan kewirausahaan juga ditandai dengan banyaknya tumbuh perusahaan. Pertumbuhan perusahaan ini dipicu oleh

1 Business Week, Edisi Indonesia/15 – 22 November 2006, halaman 52.

1

Page 2: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

semakin banyak orang-orang yang memiliki talenta dan pengetahuan yang mampu melihat peluang pasar, melihat apa yang dibutuhkan oleh pasar, dan mendirikan satu organisasi untuk mewujudkan peluang itu.

Organisasi usaha baru tersebut menciptakan bagian inovasi yang besar terhadap produk barang dan jasa yang mampu merubah cara manusia untuk bekerja dan hidup. Melalui keinginannya untuk menciptakan produk yang diinginkan pasar, mereka menggunakan sumber daya yang ada, seperti modal, tenaga kerja, tanah, dan sifat mereka sendiri, yaitu kewirausahaan sebagai mesin penggeraknya. Kehadiran organisasi-organisasi usaha tersebut meramaikan perekonomian di semua Negara di dunia ini, dan organisasi seperti itu dinamakan perusahaan.

Amerika Serikat, negara-negara maju Eropa, serta beberapa negara maju di Asia memperoleh kekayaannya dari banyaknya perusahaan-perusahaan yang mengisi hampir semua jenis industri yang ada. Perusahaan-perusahaan ini menghasilkan barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh peradaban manusia, bahkan di jaman serba canggih ini tak jarang hasil dari industri-industri tersebut diperbaharui dengan begitu cepatnya. Produk yang mereka hasilkan akan dibeli oleh masyarakat lokal atau bahkan manca negara, dan hal itu memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan itu. Negara tempat mereka berpijakpun merasakan keuntungan tersebut. Dengan pertumbuhan jumlah perusahaan di negaranya, maka akan tersedia lapangan pekerjaan yang mampu menyerap angkatan kerja, pengangguran berkurang, kesejahteraan masyarakat meningkat dan daya beli masyarakat meningkat. Penghasilan pajak yang diperoleh pemerintah atas keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut memungkinkan mereka mampu menjalankan roda pemeritahannya dengan lebih baik, pembangunan bisa dibiayai, dan umumnya sebagai permulaan, pemerintah-pemerintah tersebut akan membangun sarana dan prasarana umum (jalan raya, jembatan, stasiun dan sebagainya).

Pembangunan yang dilakukan pemerintah, terutama atas sarana dan prasarana akan menambah gairah pertumbuhan perusahaan di negaranya, walaupun tentunya tidak terlepas dari kondisi politik negara tersebut, sebab fasilitas yang semakin bagus akan semakin memperlancar kegiatan produksi yang mereka lakukan. Tak jarang investor asing tertarik mendirikan usahanya di negara-negara itu.

Peningkatan kesejahteraan negara - yang ditandai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, menandakan bahwa negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia sendiri, pertumbuhan jumlah perusahaan cukup menggembirakan. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik Indonesia, tingkat pertumbuhan perusahaan baru yang bergerak pada industri pengolahan berskala besar/kecil, sedang, bahkan industri rumahtangga adalah sebesar 0.87 persen per tahun. Semakin banyak perusahaan yang berpijak di Indonesia, baik yang didirikan oleh pengusaha lokal, atau perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang asing. Hal ini menandakan semakin banyak orang-orang yang memiliki jiwa kewirausahaan di Indonesia, baik itu penduduk lokal, ataupun orang asing yang sengaja datang untuk mendirikan usahanya di Indonesia.

Bertambahnya jumlah dari orang-orang yang berjiwa usaha ini dapat kita ukur dari beberapa variabel yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas kewirausahaan, misalnya jumlah perusahaan yang ada, jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh para wirausahaan itu, jumlah investasi yang ada dalam perekonomian dari waktu ke waktu, jumlah dari jenis produk yang ada dalam satu perekonomian, jumlah inovasi yang ada dalam perekonomian. Alasan hal tersebut dikatakan sebagai variabel-variabel kewirausahaan adalah karena dalam aktivitas kewirausahaannya, para wirausahaan

2

Page 3: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

melibatkan dirinya pada variabel-variabel itu, dengan kata lain, para wirausahaanlah yang menjadi roh penggerak dari variabel-variabel itu.

Latar Belakang Teoritis

Kewirausahaan adalah suatu bidang yang membutuhkan banyak bidang keilmuan. Dalam jurnal ilmiah yang diterbitkannya, Charlie Karlsson, Christian Friis, dan Thomas Paulsson dari The Royal Institute of Technology, mengutip pengertian entrepreneurship yang diungkapkan oleh Runge, yaitu “Entrepreneurship involves inter alia exploitation of differences between market-determined values and private value”2. Dari pengertian itu dapat kita lihat bahwa kegiatan kewirausahaan melibatkan banyak hal. Mulai dari perumusan ide sampai menghasilkan produk yang benar-benar dibutuhkan pasar, para wirausahaan menggunakan sumber daya semampu dia menyediakannya, misalnya, sumber daya modal, tenaga kerja yang mampu dibayarnya, serta keahlian-keahlian teknis yang dimilikinya. Keputusan yang diambil calon wirausahawan untuk memulai suatu usaha juga sangat dipengaruhi faktor-faktor lain, seperti peluang karir, keluarga, teman, kondisi perekonomian negara tempat dia berada, dan ketersedian sumber daya

Sebagai suatu bidang akademis, kewirausahaan termasuk pengetahuan yang baru saja dikembangkan. Menurut Amy Barrett dalam majalah business week, kewirausahaan semakin diminati di dunia kampus. Dalam tulisannya, dalam kurun waktu 1999 – 2003, para pengusaha sukses dan alumni mengucurkan $250 juta ke kampus-kampus di Amerika Serikat untuk menciptakan para wirausahaan baru. Program-program pendidikan ini mencoba menyingkirkan pendapat bahwa kewirausahaan tidak bisa dipelajari3.

Joseph Schumpeter seorang ekonomikawan memberikan defenisi baru mengenai arti dari wirausahawan, yaitu “entrepreneur as the person who destroys the existing economic order by introducing new products and services, by creating new forms of organization, or by exploiting new raw materials”4.

Mengacu pada itu, wirausahawan melakukan perusakan perekonomian yang ada dengan mendirikan usaha baru, tetapi juga melakukan hal itu melalui usahanya yang sudah ada.

Selain itu, Bygrave and Zacharakis memberikan defenisi mengenai kewirausahaan, yaitu “entrepreneur is someone who perceives an opportunity and creates an organization to pursue it”5

Dari kedua definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa kewirausahaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh sebagian orang dengan melihat peluang di pasar, seorang yang mampu untuk melihat apa yang menjadi kebutuhan pasar, kemudian menciptakan produk yang mampu memuaskan kebutuhan pasar yang ditujunya.

Seseorang bisa saja mendapatkan suatu gagasan untuk membentuk suatu usaha baru, entah itu secara sengaja ataupun karena dia menemukan suatu peluang disana. Keputusannya untuk membangun atau tidak usahanya itu tergantung kepada faktor-

2 Charlie Karlsson, Christian Friis, Thomas Paulson, Relating Entrepreneurship to Economic Growth, The Royal Institute of Technology, 2004.

3 Charlie Karlsson, Christian Friis, Thomas Paulson, Op.cit., hal 524 William D. Bygrave and Andrew Zacharakis, The Portable MBA in Entrepreneurship, Third

Edition, , John Willey & Sons, Inc.,2004, hal. 1.5 Ibid., hal 2.

3

Page 4: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

faktor seperti peluang karirnya di masa depan, keluarga, kerabat, keadaan ekonomi daerahnya, dan ketersediaan sumber daya yang diperlukan.

Menurut Bygrave dan Zacharakis (2004) “There is almost a triggering event that gives birth to a new organization”6. Mungkin saja hal ini disebabkan pengusaha tersebut tidak memiliki peluang untuk mendapatkan karir yang bagus, atau bahkan dipecat dari tempat dia bekerja. Bahkan bagi sebagian orang, berwiraswasta adalah pilihan karir yang sengaja dipilih.

Para wirausahawan yang serius dalam mewujudkan ide yang dimilikinya akan membentuk suatu organisasi sebagai wadah dalam melakukan aktifitasnya. Dalam proses itu, para wirausahawan tersebut akan menentukan sumber daya apa saja yang mereka butuhkan, atau setidak-tidaknya sumber daya minimum yang harus mereka punya. Hal pertama yang harus dilakukan wirausahawan itu adalah mengukur sumber daya penting apa yang dibutuhkan organisasi usaha yang didirikannya untuk berhasil menembus pasar. Jika misalnya, perusahaan itu akan membuat barang atau jasa yang menggunakan teknologi tinggi, pengetahuan akan teknologi adalah sangat penting. Untuk itu, perusahaan harus berkonsentrasi dalam merekrut dan mempekerjakan insinyur-insinyur teknologi yang handal. Jika saja perusahaan akan membuka suatu bentuk penjualan eceran baru, maka faktor yang paling penting untuk dipikirkan adalah lokasi dan biaya pemilikan lokasi tersebut. Intinya, para wirausahawan harus memikirkan satu perangkat sumber daya yang akan membawa usahanya ke dalam keberhasilan.

Modal permulaan adalah salah satu hal terpenting yang harus dimiliki oleh calon wirausahawan. Ada dua jenis modal permulaan, yaitu : hutang dan kekayaan. Dengan menggunakan hutang, maka calon wirausahawan tidak harus mengorbankan harta kekayaannya, tetapi dia harus membayar bunga hutangnya dan hutangnya itu. Apa yang biasanya terjadi, dalam praktek nyata, modal permulaan yang dipakai oleh para wirausahawan tergantung berapa banyak dan berapa jenis modal yang dapat diperolehnya. Tapi mayoritas wirausahawan memulakan usahanya dengan menggunakan modal mereka sendiri, begitu juga dengan tenaga kerja yang mereka miliki sendiri.

Menurut Marcus Dejardin, variabel – variabel kewirausahaan adalah keinginan individu untuk melakukan kegiatan ekonomi berdasarkan ganjaran yang diharapkannya dan inovasi yang dilakukan oleh para wirausahawan tersebut7. Marcus berangkat dari teori Schumpeter yang membagi inovasi yang dilakukan oleh para wirausahawan menjadi lima variable, yaitu:1. Perkenalan produk baru (The introduction of a new good)2. Pengenalan penggunaan metode produksi baru (The introduction of a new method of

production)3. Pembukaan pasar baru (The opening of a new market)4. Penemuan sumber baru atas bahan baku atau barang setengah jadi (The conquest of

a new source of supply of raw materials or half manufactured goods)5. Pendirian organisasi baru dalam berbagai industri (the carrying out of the new

organization of any industry)

6 Ibid., hal 3.7 ? Steven F. Kreft dan Russell S. Sobe, Public Policy, Entrepreneurship, Economic

Growth,Western Virginia University, 2003

4

Page 5: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Dalam jurnal ilmiahnya, Zhang Jiawei (2006) mengatakan bahwa untuk melihat hubungan kewirausahaan, inovasi dan pertumbuhan ekonomi diperlukan empat variabel pengukuran, yaitu1. Teknologi2. Tenaga kerja3. Kebijakan pemerintah4. Jumlah perusahaan baru8

Charlie Karlsson, Christian Friis dan Thomas Paulsson (2004) mengatakan bahwa variabel – variabel yang dapat digunakan untuk mengukur hubungan kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi adalah:a. Perilaku kompetitif (Competitive behavior)b. Perilaku inofatif (Inovative behavior)c. Perusahaan baru (Start ups company)9.

Peneliti lain, Steven F. Kreft dan Russel S. Sobe (2003) juga mengatakan bahwa untuk melihat hubungan kegiatan kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi dapat digunakan dua variabel pengukuran, yaitu:a. Kepemilikan usaha pribadi, yang dalam banyak literatur sebagai tolok ukur yang

baik untuk menilai tingkat kewirausahaan. Kreft dan Sobe menggunakan formulir pajak federal yang diisi oleh individu

b. Aktivitas patent. Hal ini untuk mengukur aktivitas patent yang disahkan setiap tahunnya. Logika dibalik pengukuran aktivitas patent untuk mengukur tingkat kewirausahaan adalah karena paten adalah hasil inovasi yang tampak yang dilakukan oleh para wirausahawan10.

Titik awal dari teori pertumbuhan ekonomi adalah fungsi produksi agregat11, yang secara khusus menggambarkan hubungan antara tingkat produksi dengan masukan yang dipakai dalam produksi. Dalam teori ini, diasumsikan bahwa ada dua masukan yang dipakai, yaitu modal dan tenaga kerja, dan persamaan yang diberikan adalah:

Y = F (K, N)12 (2.1)Y adalah jumlah keluaran, K adalah jumlah modal (mesin,peralatan, dan

gedung-gedung kantor yang digunakan dalam perekonomian), dan N adalah jumlah tenaga kerja. Hal ini hanyalah demi penyederhanaan dari kenyataan yang ada. Tentu saja, mesin dan gedung-gedung perkantoran sangat berbeda peranannya di dalam produksi, dan seharusnya diperlakukan sebagai masukan bagi proses produksi. Tenaga kerja dengan berpendidikan Doktor akan berbeda dari tenaga kerja yang bahkan tidak dapat menamatkan pendidikan menengah, tetapi demi penyederhanaan semua tenaga kerja dalam perekonomian dianggap serupa.

8 Zhang Jiawei, Industrial Dynamics, Entrepreneurship, innovation and economy growthof Yangtze River Delta Region of China, 2006

9 Charlie Karlsson, Christian Friis, Thomas Paulson, Relating Entrepreneurship to Economic Growth, The Royal Institute of Technology, 2004

10 Steven F. Kreft dan Russell S. Sobe, Public Policy, Entrepreneurship, Economic

Growth, Western Virginia University, 2003

11 Olivier Blanchard, Macroeconomics, Third Edition, Prentice Hall, 2003., hal. 212.12 Ibid., hal. 212.

5

Page 6: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Tahapan selanjutnya, kita harus berpikir tentang fungsi keluaran, F, yang menghubungkan keluaran dan masukan. Dengan kata lain, apa yang menentukan jumlah keluaran yang dapat diproduksi untuk jumlah tertentu dari modal dan tenaga kerja? Jawabannya adalah : kedudukan dari teknologi. Negara dengan teknologi yang lebih maju akan menghasilkan keluaran yang lebih banyak meski dengan jumlah modal dan tenaga kerja yang sama, daripada negara dengan teknologi yang sudah ketinggalan jaman.

Berdasarkan persamaan dari fungsi keluaran, jika tingkat operasional dilipatgandakan, maka berarti jumlah modal dan tenaga kerja yang digunakan akan dilipatgandakan juga, demikian juga dengan keluaran. Hal ini dikenal sebagai ukuran pengembalian tetap (constant returns to scale).

2Y = F (2K, 2N)Atau jika disederhanakan, untuk jumlah pelipatgandaan (x)

xY = F(xK, xN)13 (2.2)Dari persamaan tersebut sudah diperlihatkan dampak dari peningkatan modal

dan tenaga kerja. Tetapi bagaimana jika hanya salah satu dari dua variabel masukan saja yang meningkat ?

Jika salah satu dari variabel tersebut meningkat maka tentu saja keluaran akan meningkat, hal itu sudah jelas terlihat. Tetapi sangat masuk akal untuk mengasumsikan bahwa kenaikan yang sama atas modal akan memicu kenaikan yang semakin bertambah kecil atas kenaikan keluaran sebagaimana kenaikan atas modal tersebut. Dengan kata lain, jika pada permulaan digunakan sedikit modal, sedikit tambahan modal lainnya akan sangat banyak membantu. Jika pada permulaan digunakan banyak modal, sedikit tambahan modal mungkin hanya memberikan sedikit perubahan. Misalnya saja, sebuah perusahaan membeli 1 unit komputer untuk membantu tugas administrasi, maka 1 unit komputer baru ini akan memberikan bantuan yang sangat besar, dan jika jumlah komputer tersebut ditambah sehingga semua orang memiliki komputer masing-masing, pekerjaan administrasi akan semakin cepat terselesaikan, tetapi pertambahan manfaatnya tidak lagi sebesar pertambahan manfaat pada saat pertama kali komputer diberikan kepada kelompok petugas administrasi tersebut. Hal ini dinamakan tingkat pengembalian modal yang semakin berkurang (decreasing return to capital). Demikian juga halnya jika perlakuan terhadap modal, tenaga kerja, pertambahannya akan memicu semakin sedikit kenaikan pada keluaran.

Fungsi keluaran (2.1) dengan skala pengembalian tetap memungkinkan kita menganalisa seluruh variabel dalam perekonomian dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja. Untuk melihat kebenarannya, gunakan x = 1/N dalam persamaan (2.2)

Y/N = F [ K/N, N/N] = F [ K/N, 1]14 (2.3)Fungsi ini menunjukkan bahwa jumlah output per pekerja Y/N adalah fungsi

dari jumlah modal per perkerja K/N. (Angka ‘1’ adalah, tentu saja, konstan sehingga bisa dihilangkan). Asumsi skala pengembalian konstan menunjukkan bahwa besarnya perekonomian – sebagaimana diukur oleh jumlah pekerja – tidak mempengaruhi hubungan antara keluaran per pekerja dan modal per pekerja. Hubungan antara keluaran per pekerja dan modal digambarkan pada gambar 2.1.

13 Ibid., hal. 213.14 Ibid., hal 214.

6

Page 7: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Gambar 2.1Hubungan antara Keluaran per pekerja dan Modal15

Keluaran per pekerja (Y/N) diukur pada sumbu tegak, modal per pekerja (K/N) diukur pada sumbu datar. Hubungan kedua hal ini digambarkan pada kurva, dimana kenaikan modal memicu pertumbuhan keluaran yang semakin lama semaklin kecil jumlahnya. Hal ini merupakan sifat dari sekala pengembalian modal yang berkurang. Pada titik A, jumlah modal per pekerja sedikit, kenaikan pada modal per pekerja, yang digambarkan pada jarak antara AB, memicu kenaikan keluaran per pekerja sama dengan A’B’. Pada titik C, dimana modal per pekerja lebih besar, kenaikan yang sama atas modal per pekerja, yang digambarkan pada jarak antara CD pada sumbu datar, memicu pada pertumbuhan keluaran per pekerja yang semakin kecil, C’D’ .

Persamaan (2.3) memberikan jawaban mengenai apa penyebab pertumbuhan, yaitu Kenaikan jumlah keluaran per pekerja (Y/N) dapat berasal dari kenaikan pada

modal per pekerja (K/N). Hubungan ini sudah kita lihat pada grafik pada gambar 2.1. Sebagaimana kenaikan (K/N) – Jika kita bergerak kearah kanan pada sumbu datar – (Y/N) juga menaik.

Atau, pertumbuhan dapat saja berasal dari perbaikan kemampuan teknologi suatu negara, yang menggeser fungsi produksi, F, sehingga memicu pertambahan keluaran per pekerja. Hal ini digambarkan pada gambar 2.2. Perkembangan pada teknologi suatu negara memicu kenaikan pada keluaran per pekerja. Sebagai contoh, untuk tingkat modal per pekerja yang digambarkan pada titik A, keluaran per pekerja naik dari Titik A’ ke titik B’.

Gambar 2.2Efek Perkembangan Teknologi suatu Negara16

15 Ibid., hal. 214.16 Ibid., hal., 215.

7

Page 8: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa  pertumbuhan ekonomi berasal dari pertambahan modal dan kemajuan teknologi. Tetapi dalam pertumbuhan ekonomi, kedua hal ini memiliki peranan berbeda dalam proses pertumbuhan keluaran : Pertumbuhan modal sendiri tidak dapat mendukung pertumbuhan. Hal ini

disebabkan oleh tingkat pengembalian modal yang semakin menurun, untuk mendukung pertumbuhan keluaran per pekerja akan membutuhkan kenaikan dari jumlah modal per pekerja dalam jumlah yang lebih besar lagi. Pada tingkat tertentu, perekonomian tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan dan cukup menginvestasikan untuk pertumbuhan modal yang lebih besar. Pada tingkat itu, keluaran per pekerja akan berhenti bertumbuh.

Hal ini tidak berarti bahwa tingkat tabungan tidak memiliki hubungan atas pertumbuhan ekonomi. Sebab, adalah benar bahwa tingkat tabungan yang lebih tinggi tidak dapat secara tetap meningkatkan pertumbuhan dari keluaran. Tetapi tabungan yang lebih besar dapat mendukung tingkat keluran yang lebih besar. Hal ini dapat kita lihat pada contoh dari dua perekonomian negara yang memiliki tingkat tabungan yang berbeda. Perekonomian akan tumbuh pada tingkat pertumbuhan yang sama, tetapi pada waktu tertentu, perekonomian dengan tingkat tabungan yang lebih tinggi akan memiliki tingkat keluaran perkapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan perekonomian dengan tingkat tabungan yang lebih rendah. Hal ini dapat kita lihat pada bagian selanjutnya yang menjelasakan tabungan, pertambahan modal, dan keluaran.

Dari persamaan (2.3) yang sudah kita tuliskan di atas, keluaran per pekerja (Y/N) adalah fungsi menaik dari modal per pekerja (K/N). Dengan asumsi penurunan dari tingkat pengembalian modal, semakin besar perbandingan antara modal dengan pekerja, semakin kecil dampak dari kenaikan tersebut pada modal per pekerja. Saat modal per pekerja sudah sangat tinggi, pertambahan selanjutnya terhadap modal per pekerja hanya akan memberikan dampak yang kecil terhadap keluaran.

Untuk menyederhanakan persamaan 2.3., kembali kita tuliskan hubungan antara keluaran dan modal per pekerja:

Y/N = f (K/N)17 (2.4)dimana fungsi f menunjukkan hubungan yang sama antara keluaran dan modal per pekerja sebagaimana ditunjukkan oleh fungi F., maka

f (K/N) = F (K/N,1)18 (2.5)Kali ini asumsi yang dipakai; pertama, besaran populasi, tingkat keikutsertaan,

dan tingat pengangguran adalah tetap. Ini berarti bahwa pemekerjaan, N, juga selalu tetap. Argumentasinya adalah, tenaga kerja yang tersedia adalah sama dengan populasi tenaga kerja dikali dengan tingkat partisipasi tenaga kerja. Sehingga, jika ukuran dari populasi tetap, dan tingkat partisipasi tenaga kerja juga tetap, maka jumlah tenaga kerja juga tetap. Pemekerjaan, pada gilirannya, sama dengan jumlah tenaga kerja dikali satu dikurangi dengan tingkat pengangguran. Contohnya, jika jumlah angkatan kerja adalah 100 juta orang, dan tingkat pengangguran adalah 5%, maka pemekerjaan akan berjumlah 95 juta orang {100 x (1-0,05}. Sehingga, jika angkatan kerja tetap, dan tingkat pengangguran tetap, maka pemekerjaan juga tetap.

Dengan asumsi ini, keluaran per tenaga kerja (keluaran dibagi dengan pemekerjaan), keluaran per modal (keluaran dibagi dengan populasi), dan keluaran itu sendiri, semuanya akan bergerak secara proporsional. Alasan yang dipakai dengan

17 Ibid., hal 220.18 Ibid., hal. 220.

8

Page 9: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

mengatakan, N, adalah tetap, adalah untuk membuat fokus pembahasan peranan dari pertambahan modal terhadap pertumbuhan eknomi lebih sederhana. Jika N tetap, faktor produksi yang berubah seiring dengan perubahan waktu adalah modal. Asumsi ini mungkin tidak realistis, tapi kita akan membahasnya lebih dalam di tahapan selanjutnya. Asumsi kedua adalah, bahwa terdapat perkembangan teknologi, sehingga fungsi produksi, f, tidak akan berubah seiring dengan perubahan waktu. Alasannya adalah untuk memusatkan perhatian pada peranan pertambahan modal.

Ringkasan dari kedua asumsi ini, persamaan kita yang pertama mengenai hubungan antara keluaran dan modal per pekerja, dari sisi produksi, dapat dituliskan sebagai berikut ;

Yt/N = f [Kt/N]19 (2.6)Dalam kata-kata ; dengan modal yang lebih besar akan memicu pada kenaikan

keluaran per pekerja.Untuk menjelaskan teori ini, asumsi yang masih dipakai adalah bahwa

perekonomian tertutup. Teori ini dipakai sebagai salah satu landasan untuk menjelaskan hubungan investasi yang dilakukan oleh suatu negara dengan keluaran negara tersebut. Dalam kaitannya dengan kewirausahaan, asumsinya adalah investasi dilakukan oleh para wirausahawan. Investasi adalah sama dengan tabungan ditambahkan dengan pajak dikurangi dengan pengeluaran pemerintah, atau dapat dituliskan dengan persamaan :

I = S + (T – G)20

Untuk menyederhanakan persoalan, fokus pembahasan hanya pada perilaku tabungan pribadi, dan untuk sementara pajak dan tabungan pemerintah diabaikan, sehingga T = G, sehingga T – G = 0, maka Investasi sama dengan tabungan pribadi.

I = S Asumsi selanjutnya bahwa tabungan pribadi adalah bagian tertentu dari

penghasilan, sehingga,S = SY

Nilai s adalah tingkat tabungan, dan memiliki nilai antara nol dan 1. Asumsi ini diambil dari dua fakta dasar mengenai tabungan: 1) Tingkat tabungan tidak secara sistematis meningkat atau menurun sebagaimana negara bertambah kaya. (2) Negara yang lebih kaya tidak akan kelihatan secara sistematis memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi atau tingkat tabungan lebih rendah daripada negara miskin.

Dengan menggabungkan kedua persamaan diatas, makaIt = sYt

Dari persamaan tersebut dapat kita lihat bahwa semakin tinggi keluaran, semakin tinggi tabungan, sehingga semakin tinggi Investasi.

Tahapan kedua yang berhubungan dengan investasi adalah arus pertambahan modal mesin baru dan pabrik yang baru dibangun selama periode tertentu, dan sediaan modal (misalnya mesin dan pabrik yang ada di dalam perekonomian).

Waktu diukur dengan tahun, sehingga t melambangkan tahun t, t+1 melambangkan tahun t+1, dan seterusnya. Sediaan modal diukur di awal setiap tahunnya, sehingga Kt melambangkan sediaan modal pada awal tahun t, Kt+1

melambangkan modal saham pada awal tahun t+1, demikian seterusnya.Asumsikan bahwa penyusutan modal per tahun diukur pada tingkat . Dari satu

tahun ke tahun berikutnya, proporsi pada sediaan modal akan tidak berguna, setara

19 Ibid., hal. 221.20 Ibid., hal. 221.

9

Page 10: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

dengan itu proprosi (1-) dari modal yang tetap utuh dari satu tahun ke tahun berikutnya.

Perubahan sediaan modal dinyatakan dengan persamaanKt+1 = (1-) Kt + It

21

Sediaan modal awal tahun t+1, Kt+1, adalah sama dengan sedian modal untuk awal tahun t yang tetap utuh pada tahun t+1, (1-)Kt, ditambah sediaan modal baru selama tahun t, contohnya ; investasi selama tahun t, It.

Untuk itu, sekarang kita dapat menggabungkan hubungan keluaran dengan investasi, dan hubungan investasi dengan pertambahan modal untuk memperoleh persamaan kedua yang kita butuhkan dalam memikirkan mengenai pertumbuhan, yaitu hubungan antara keluaran dengan pertambahan modal.

Dengan mengganti Investasi dengan tabungan pada persamaan terakhir di atas, kemudian membagi kedua sisi dengan N (jumlah tenaga kerja), maka akan kita peroleh

Kt+1/N = (1- Kt/N + sYt/N)22

Dalam kata-kata, modal per pekerja pada permulaan awal tahun t+1 sama dengan modal per pekerja awal tahun t, dikurangi penyusutan, ditambah investasi per pekerja selama tahun t, yang sama dengan tingkat tabungan dikali keluaran per pekerja selama tahun t.

Kembangkan persamaan (1-)Kt/N menjadi Kt/N - Kt/N, pindahkan Kt/N ke sebelah kiri, dan susun kembali sebelah kanan, maka

Kt+1/N – Kt/N = sYt/N - Kt23 2.7

Gantikan keluaran per pekerja (Yt/N) dalam persamaan (2.7), dengan modal per pekerja, dan kita akan akan mendapatkan:

Kt+1/N – Kt/N = sf (Kt/N) - Kt/N24 (2.8)Persamaan ini menggambarkan apa yang terjadi pada modal per pekerja.

Perubahan modal per pekerja dari tahun ini ke tahun selanjutnya tergantung pada hal-hal berikut: Investasi per pekerja. Tingkat modal per pekerja pada tahun ini ditentukan oleh

keluaran per pekerja pada tahun ini. Keluaran per pekerja ditentukan oleh jumlah tabungan per pekerja demikian juga dengan investasi per pekerja tahun ini

Penyusustan per pekerja. Sediaan modal per pekerja ditentukan oleh jumlah penyusutan per pekerja pada tahun ini.

Jika investasi per pekerja melampaui penyusutan per pekerja, perubahan modal per pekerja sama dengan positif, maka modal per pekerja bertambah. Jika investasi per pekerja lebih kecil dari penyusutan per pekerja, perubahan modal per pekerja sama dengan negatif, maka modal per pekerja berkurang.

Persamaan (2.6) dan (2.8) memuat informasi yang dibutuhkan untuk mengerti dinamika dari modal dan keluaran seiring berjalannya waktu. Hal ini juga dapat kita lihat pada gambar (2.3). Dimana keluaran per pekerja diukur pada sumbu tegak dan modal per pekerja diukur pada sumbu datar.

Pada gambar (2.3), kita lihat kurva yang memperlihatkan keluaran per pekerja, f (K/N), sebagai fungsi dari modal per pekerja. Hubungan ini sama dengan gambar (2.2) ; keluaran pekerja meningkat seiring dengan peningkatan modal pekerja, tetapi karena

21 Ibid., hal. 222.22 Ibid., hal. 222.23 Ibid., hal. 223.24 Ibid., hal. 223.

10

Page 11: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

adanya tingkat pengembalian modal yang semakin berkurang, efek dari tingkat modal pekerja yang semakin tinggi terhadap keluaran semakin kecil.

Gambar 2.3Keluaran Per Pekerja 25

Perhatikan gambar (2.3); Hubungan yang menggambarkan investasi per pekerja, sf (K/N), memiliki

bentuk yang sama dengan kurva pertumbuhan, kecuali bahwa gambar ini lebih rendah yang disebabkan oleh faktor s (tingkat tabungan). Andaikan tingkat modal per pekerja sama dengan K0/N (pada gambar 2.3). Keluaran per pekerja akan ditunjukkan dengan jarak AC, yaitu sama dengan s (tingkat tabungan) dikali jarak vertikal antara AB. Dengan begitu, sebagaimana dengan keluaran per pekerja, investasi per pekerja meningkatkan modal per pekerja, tetapi peningkatan itu akan semakin kecil sebagaimana juga dengan modal per pekerja. Pada saat modal per pekerja sudah tinggi, efek dari kenaikan yang lebih besar atas modal per pekerja akan semakin kecil, begitu juga dengan investasi per pekerja, akan sangat kecil.

Gambar itu menunjukkan penyusutan per pekerja, yang digambarkan oleh garis lurus. Penyusutan per pekerja meningkat secara proporsional terhadap modal per pekerja, sehingga hubungannya ditunjukkan oleh garis lurus yang memotong kedua kurva. Pada tingkat modal per pekerja K0/N, penyusutan modal per pekerja ditunjukkan oleh jarak vertikal AD.

Perubahaan dari modal pekerja digambarkan dengan perbedaan antara investasi per-pekerja dengan penyusutan per pekerja. Pada K0/N, perbedaannya adalah positif; investasi per pekerja melebihi penyusutan per pekerja dengan jumlah yang ditunjukan oleh CD = AC – AD ; peningkatan modal per pekerja. Untuk tingkat tertentu dari modal per pekerja, K*/N (gambar 2.3), investasi hanya cukup untuk menutupi depresiasi, sehingga, modal per pekerja tetap. Bergerak ke arah kiri, K*/N, investasi melebihi depresiasi dan modal per pekerja meningkat. Hal ini diindikasikan oleh panah yang bergerak ke arah kanan sepanjang kurva fungsi produksi. Ke sebelah kanan K*/N, depresiasi melebihi investasi, dan modal per pekerja menurun. Hal ini ditunjukkan oleh panah yang bergerak ke arah kiri disepanjang kurva fungsi produksi.

25 Ibid., hal., 224

11

Page 12: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Menggambarkan evolusi dari modal per pekerja dan keluaran per pekerja seiring berjalannya waktu menjadi mudah. Misalkan sebuah perekonomian yang dimulai dengan tingkat modal per pekerja yang rendah, misalnya K0/N – pada gambar 2.3. Karena investasi lebih besar dari penyusutan, modal per pekerja bertambah. Modal per pekerja akan mencapai K*/N, tingkat dimana investasi sama dengan penyusutan. Sekali suatu perekonomian mencapai tingkat modal pekerja pada titik K*/N, keluaran per pekerja dan modal per pekerja akan tetap konstan, yaitu pada titik Y*/N dan K*/N, dan hal ini menjadi tingkat keseimbangan jangka panjang.

Menurut Olivier Blanchard dalam bukunya Macroeconomics dampak dari tabungan terhadap pertumbuhan adalah : “Tingkat tabungan tidak memiliki dampak dalam pertumbuhan keluaran per pekerja

dalam jangka panjang, yang berarti sama dengan nol.Kesimpulannya ini sedikit nyata, seperti kita lihat sebelumnya, bahwa dalam perekonomian keluaran per pekerja adalah tetap. Dengan kata lain, dalam jangka panjang, tingkat pertumbuhan keluaran sama dengan nol, berapapun nilai dari tingkat tabungan. Meskipun begitu, pola pemikiran ini berguna sewaktu menerangkan manfaat dari kemajuan teknologi. Pemikiran mengenai apa yang dibutuhkan untuk mempertahankan pertumbuhan. Modal per pekerja perlu ditingkatkan, tetapi karena adanya penurunan hasil yang makin berkurang, pertumbuhan modal pekerja harus lebih cepat dari pertumbuhan keluaran pekerja. Hal ini menandakan bahwa setiap tahunnya suatu perekonomian harus menyimpan keluarannya dan harus menyelamatkan perbedaan yang semakin besar tersebut. Hal yang sama, penyelamatan perbedaan dari pertumbuhan keluaran terhadap pertumbuhan modal tersebut harus dilakukan lebih dari satu kali, dan ini jelas tidak mungkin. Hal inilah mengapa suatu perekonomian tidak mungkin mempertahankan pertumbuhan yang tetap untuk selamanya. Dalam jangka panjang, modal per pekerja pasti tetap dan demikian juga, hasil keluaran per per-kerja pasti tetap.

Meskipun begitu, tingkat tabungan menentukan tingkat dari keluaran per pekerja dalam jangka panjang. Dengan andaian hal lainnya tetap, negara-negara dengan tingkat tabungan yang lebih tinggi akan mencapai tingkat keluaran per pekerja yang lebih tinggi dalam jangka panjang

Kenaikan tingkat tabungan akan memicu pertumbuhan keluaran per pekerja yang lebih tinggi untuk waktu tertentu, tapi tidak selamanya.

Kesimpulannya ini diperoleh dari dua pernyataan. Pertama, kenaikan tingkat tabungan tidak mempengaruhi pertumbuhan keluaran per pekerja dalam jangka panjang, yang berarti pertumbuhan itu adalah nol. Kedua, kenaikan tingkat tabungan akan memicu kenaikan tingkat keluaran per pekerja dalam jangka panjang. Itu berarti bahwa sebagaimana keluaran per pekerja meningkat ke tingkat yang lebih tinggi sebagaimana dampak atas kenaikan tingkat tabungan, perekonomian akan mengalami pertumbuhan yang positif. Periode pertumbuhan ini akan berakhir pada saat perekonomian sampai pada tingkat keseimbangan yang baru“26.

Perkembangan teknologi memiliki beberapa ukuran, yaitu Mungkin saja ditujukkan dengan jumlah keluaran yang lebih banyak dengan jumlah

modal dan tenaga kerja tertentu. Misalnya, pelumas jenis baru yang memungkinkan mesin untuk bekerja dengan lebih cepat, dan berarti akan memproduksi lebih banyak

26 Ibid., hal 244.

12

Page 13: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Mungkin saja hal itu ditunjukkan dengan kualitas barang yang lebih baik. Misalnya bertambahnya keamanan dan kenyamanan pada kendaraan roda empat

Mungkin saja hal itu berarti barang jenis baru. Misalnya DVD player atau MP3 Player

Mungkin saja hal itu berarti semakin banyak jenis dari produk. Misalnya semakin banyaknya variasi telepon genggam di pasaran.

Jika kita berpikir bahwa para pelanggan tidak hanya memperdulikan barang-barang saja, tetapi juga pelayanan terhadap yang disediakan dari barang-barang tersebut, maka akan ada kesamaan. Dalam setiap peristiwa, pelanggan menerima lebih banyak pelayanan.

Jika kita pikirkan bahwa keluaran adalah sebagai suatu perangkat jasa yang disediakan oleh barang-barang yang dihasilkan dalam perekonomian, kita dapat berpikir bahwa perkembangan teknologi sebagai pemicu kenaikan keluaran untuk jumlah modal dan tenaga kerja tertentu. Kemudian dapat kita pikirkan bahwa teknologi suatu negara sebagai variabel yang mengatakan kepada kita berapa banyak keluaran yang bisa dihasilkan untuk jumlah tertentu dari modal dan tenaga kerja pada suatu waktu. A kita sebut sebagai teknologi dan menuliskannya dalam fungsi produksi :

Y = F (K, N, A)27 (2.9) (+, +, +)

Ini adalah perluasan dari fungsi produksi. Keluaran tergantung pada modal, tenaga kerja, K dan N, dan teknologi negara tersebut, A ; pada modal dan tenaga kerja tertentu, perbaikan dalam teknologi, A, akan memicu kenaikan keluaran.

Lebih tepat jika kita tuliskan persaman tersebut ke dalam bentuk ;Y = F (K, AN)28 (2.10)

Persamaan ini menyatakan bahwa produksi tergantung pada modal dan tenaga kerja dikali teknologi. Cara pengenalan teknologi pada persamaan tersebut untuk memudahkan pemikiran atas dampak dari perkembangan teknologi dalam hubungannya dengan keluaran, modal, dan tenaga kerja. Persamaan (2.10) menyiratkan bahwa kita dapat memikirkan perkembangan teknologi ke dalam dua cara yang sama; Perkembangan teknolgi mengurangi jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk

mencapai jumlah tertentu dari keluaran. Penggandaan A dalam memproduksi jumlah keluaran yang sama dengan hanya setengah dari jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, N.

Perkembanangan teknologi meningkatkan AN, dimana kita dapat pikirkan sebagai jumlah dari pekerja yang produktif. Jika teknologi suatu negara dua kali lipat lebih baik, ini sama dengan jika perekonomian memiliki jumlah tenaga kerja yang dua kali lipat banyaknya. Dengan kata lain, kita dapat memikirkan bahwa keluaran dihasilkan oleh dua faktor; modal, K, dan tenaga kerja produktif, AN.

Untuk itu, cukup beralasan untuk mengandaikan bahwa tingkat pengembalian tetap, untuk teknologi tertentu, A, pelipatgandaan modal (K) dan jumlah tenga kerja (N) akan melipatgandakan keluaran:

2Y = F (2K, 2AN)Lebih umum jika kita tuliskan pelipatgandaan tersebut sebagai x :

xY = F (xK, xAN)29

27 Ibid., hal. 244.28 Ibid., hal. 24429 Ibid., hal 245.

13

Page 14: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Sangat beralasan juga untuk mengasumsikan tingkat pengembalian yang semakin berkurang. Dengan jumlah tenaga kerja produktif tertentu, kenaikan modal akan menaikkan keluaran, tetapi kenaikan itu dalam jumlah yang semakin kecil. Atau dapat juga kita katakan, bahwa kenaikan dari tenaga kerja produktif akan meningkatkan keluaran, tetapi dengan jumlah kenaikan yang semakin menurun.

Untuk mendapatkan hubungan antara keluaran dengan tenaga kerja produktif dan modal per tenaga kerja efektif, misalkan x pada persamaan di atas = 1/AN, maka

Y/AN = F [ K/AN, 1]Atau

Y/AN = f [ K/AN)30 2.11)Dengan kata lain, keluaran per tenaga kerja produktif adalah fungsi dari modal

per tenaga kerja efektif.Dinamika dari modal per pekerja, dan dampaknya terhadap keluaran per pekerja

sudah dinyatakan dalam hubungan antara investasi per pekerja dan penyusutan per pekerja. Tergantung apakah investasi per pekerja lebih kecil atau lebih besar dari penyusutan per pekerja, modal per pekerja akan berkurang atau bertambah seiring berjalannya waktu, begitu juga dengan keluaran per pekerja

Dari asumsi sebelumnya, bahwa investasi sama dengan tabungan pribadi, dan tingkat tabungan pribadi adalah tetap, maka investasi

I = S = sYBagi kedua sisi dengan jumlah tenaga kerja produktif, AN, dan akan diperoleh:

I/AN = s Y/ANTempatkan keluaran per pekerja produktif, AN, ke dalam persamaan (2.11), maka

I/AN = sf [K/AN]Selanjutnya kita akan membahas mengenai tingkat investasi per tenaga kerja

produktif yang dibutuhkan untuk mempertahankan tingkat modal per tenaga kerja efektif.

Pada bahagian sebelumnya sudah terdapat jawaban sederhana, untuk modal yang tetap, investasi harus sama dengan penyusutan dari sediaan modal. Alasannya adalah ; Kita masukkan perkembangan teknologi (sehingga A meningkat seiring berubahnya waktu), jumlah tenga kerja produktif (AN) meningkat seiring perubahan waktu. Dengan begitu, mempertahankan perbandingan yang sama antara modal per tenaga kerja efektif (K/AN) membutuhkan kenaikan dari sediaan modal (K) yang sebanding dengan kenaikan dari jumlah tenaga kerja produktif (AN).

Jika kita lihat lebih dekat, misalkan adalah penyusutan dari modal, dan tingkat dari pertumbuhan populasi sama dengan gN. Jika kita asumsikan perbandingan pemekerjaan dengan total dari populasi adalah tetap, jumlah pekerja (N) juga tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan gN. Tingkat perkembangan teknologi sama dengan gA. Bersama-sama, kedua asumsi terakhir ini menyiratkan bahwa tingkat pertumbuhan dari tenaga kerja produktif (AN) sama dengan gA+gN. Sebagai contoh, jika jumlah tenaga kerja bertumbuh sebesar 1% per tahun, dan tingkat perkembangan teknologi 2% per tahun, maka tingkat pertumbuhan dari tenaga kerja produktif per tahun adalah 3%.

Asumsi ini berarti bahwa tingkat investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah modal tertentu per tenaga kerja efektif adalah

K + (gA+ gN) KAtau sama dengan

30 Ibid., hal 245.

14

Page 15: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

(gA + gN) K31

Fokus dari uraian di atas adalah perilaku dari jumlah keluaran. Untuk mengerti apa yang terjadi pada stafndar hidup bukan pada jumlah keluaran, kita harus melihat perilaku dari pekerja (bukan pada keluraan per pekerja efektif). Karena tingkat pertumbuhan (gA + gN) dan jumlah pertumbuhan pekerja, gN, keluaran per pekerja produktif adalah gA. Dengan kata lain, pada suatu keseimbangan perekonomian, keluaran per pekerja tumbuh sesuai dengan pertumbuhan perkembangan teknologi.

Karena pada tingkat keseimbangan, keluaran, modal, dan tenaga kerja produktif, semuanya tumbuh pada tingkat yang sama, (gA+ gN), maka hal ini dinamakan pertumbuhan berimbang. Pada saat keseimbangan, keluaran dan kedua masukan, modal dan tenaga kerja produktif, tumbuh sama besar.

Perkembangan teknologi membuat kita berfikir pada penemuan - penemuan, misalnya penemuan microchip, penemuan struktur DNA, dan lain sebagainya. Penemuan ini lebih menunjukkan proses penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan bukan akibat dorongan perekonomian. Tetapi sesungguhnya dalam kebanyakan perkembangan teknologi pada dunia modern, adalah hasil dari proses yang membosankan ; hasil dari penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan.

Alasan perusahaan membelanjakan uangnya untuk penelitian dan pengembangan sama dengan alasan perusahaan untuk membeli mesin baru atau membangun pabrik baru, yaitu untuk menaikkan laba. Dengan meningkatnya belanja perusahaan pada penelitian dan pengembangan, sebuah perusahaan meningkatkan kemungkinan untuk menemukan atau mengembangkan produk baru. Dan produk baru ini diharapkan laku dipasaran.

Jika suatu riset bertumbuh sangat subur – jika penelitian dan pengembangan memicu kehadiran produk baru – maka, hal-hal lainnya akan seimbang; perusahan akan memiliki lebih banyak dorongan untuk membelanjakan uangnya untuk melakukan riset dan pengembangan; dan perkembangan teknologi akan lebih tinggi. Faktor penentu kesuburan penelitian terletak di luar dunia eknomi. Banyak faktor yang menentukan kesuburan kewirausahaan, yaitu; Kesuburan penelitian tergantung pada kesuksesan hubungan antara penelitian

dasar (penelitian terhadap kaidah dan hasil) dan penelitian terapan, serta pengembangan. Penelitian dasar tidak dengan sendirinya memicu perkembangan teknologi. Tetapi keberhasilan penelitian terapan dan pengembangan tergantung pada keberhasilan penelitian dasar.

Suatu negara sering terlihat lebih sukses dalam penelitian dasar, negara lainnya lebih sukses dalam penelitian dan pengembangan terapan. Hal ini berhubungan dengan tingkat pembelajaran. Sebagai contoh; sering diperdebatkan bahwa Prancis memiliki sistem pendidikan yang lebih tinggi, dengan penekanan yang kuat terhadap pemikiran abstrak, menghasilkan peneliti-peneliti yang lebih baik dalam hal penelitian dasar daripada penelitian terapan. Pengamatan juga melihat pentingnya budaya kewirausahaan, dalam perkembangan teknologi, sebagian besar berasal dari kemampuan para wirausahaan untuk mengorganisir pengembangan yang berhasil dan pemasaran dari produk baru.

Diperlukan beberapa tahun, dan bahkan beberapa dekade untuk merealisasikan penemuan yang penuh potensi. Urutan yang biasanya terjadi adalah penemuan

31 Ibid., hal. 247

15

Page 16: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

utama memicu eksplorasi potensi pengaplikasian, kemudian menuju pengembangan produk baru, kemudian mengadopsi produk baru.

Salah satu ekonomikawan tersebut adalah Joseph Alois Schumpeter, yang pertama kali mengemukakan teori pertumbuhan ekonominya dalam buku Theory of Economic Development yang terbit di Jerman.

Schumpeter mengasumsikan adanya perekonomian persaingan sempurna yang berada dalam keseimbangan mantap. Dalam keseimbangan mantap seperti itu terkandung keseimbangan persaingan sempurna: tidak ada laba, tidak ada suku bunga, tidak ada tabungan, tidak ada investasi dan tidak ada pengangguran terpaksa. Keseimbangan ini ditandai oleh apa yang menurut istilah Schumpeter sebagai “arus sirkuler” yang senantiasa berulang kembali dengan cara yang sama. Bagi setiap penawaran telah menunggu suatu permintaan yang sama di suatu tempat di dalam sistem perekonomian. Bagi setiap permintaan menunggu pula penawaran yang sama. Dengan kata lain, semua kegiatan ekonomi selalu berulang dalam suatu alur perekonomian yang tak habis-habisnya. Menurut Schumpter, “arus sirkuler’ adalah suatu aliran yang hidup dari sumber tenaga buruh dan lahan pertanian yang mengalir secara terus-menerus, dan aliran tersebut mengalir pada setiap periode ekonomi ke dalam waduk yang kita sebut pendapatan, untuk dialihkan ke dalam pemuasan keinginan. “Menurut Schumpeter pembangunan adalah perubahan yang spontan dan terputus-putus pada saluran-saluran arus sirkuler tersebut, gangguan terhadap keseimbangan yang selalu mengubah dan mengganti keadaaan keseimbangan yang ada tersebut. Perubahan dalam kehidupan ekonomi yang spontan dan terputus-putus ini tidak dipaksakan dari luar akan tetapi timbul atas inisiatif perekonomian sendiri dan muncul di atas cakrawala kehidupan perdagangan dan industri. Unsur utama pembangunan terletak pada usaha melakukan kombinasi baru yang di dalamnya terkandung berbagai kemungkinan yang ada dalam keadaan mantap. Kombinasi baru ini muncul dalam bentuk inovasi.

Inovasi dapat terdiri dari pengenalan barang baru, pengenalan metode produk baru, pembukaan pasar baru, penguasaan sumber penawaran baru bahan mentah atau barang semi manufaktur, dan pembentukan organisasi baru pada setiap industri seperti penciptaan monopoli. Menurut schumpeter, pengenalan produk baru dan perbaikan terus-menerus inilah yang membawa kepada pembangunan.

Shumpeter memberikan peranan inovator tidak kepada kapitalis, tetapi kepada pengusaha. Pengusaha bukanlah seorang manusia yang mempunyai kemampuan manajemen biasa, tetapi mengatur pemakaiannya.

Menurut Schumpter, pengusaha didorong oleh; a) keinginan untuk mendirikan kerajaan bisnis swasta, b) keinginan untuk menguasai dan membuktikan superioritasnya, dan (c) kesenangan membuat dan mendapatkan sesuatu, atau sekedar menyalurkan kepintaran dan tenaga seseorang.

Sifat dan tindakan pengusaha, menurut Schumpeter, tergantung pada lingkungan sosial-budayanya. Untuk menjalankan fungsi ekonominya, pengusaha memerlukan dua hal: pertama, adanya pengetahuan teknologi dalam rangka memproduksi barang-barang baru, dan kedua, kemampuan mengatur faktor-faktor produksi dalam bentuk modal pinjaman. Menurut Schumpeter ada segudang pengetahuan teknologi yang belum dimanfaatkan, tapi pengusaha sudah menggunakannya.

16

Page 17: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Secara singkat, pengusaha merupakan tokoh kunci di dalam analisa Schumpeter32.

Penelitian yang dilakukan oleh Marcus Dejardin yang diungkapkan dalam jurnal ilmiahnya mengatakan, bahwa terdapat hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan kewirausahaan yang berlandaskan pada kegiatan inovasi dari para wirausahawan. Djardin mengambil dua variabel untuk melihat hubungan kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu ; Keputusan individu untuk melakukan kegiatan ekonomi berdasarkan ganjaran yang diharapkan akan diterimanya, dan inovasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Zhang Jiawei (2003), dengan mengambil muara sungai Yangtze (Sanghai, Jiangsu, Zhejiang) sebagai fokus penelitian untuk melihat hubungan antara kewirausahaan, inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Jiawei melihat hubungan kewirausahaan, inovasi dan pertumbuhan ekonomi dengan mengevaluasi beberapa variabel, yaitu teknologi, tenaga kerja, kebijakan pemerintah, jumlah perusahaan baru. Teknologi mencerminkan bagaimana pengusaha berusaha untuk menghasilkan produk-produk tiruan, sebab kebanyakan perusahaan di daerah sungai Yangtze menghasilkan barang-barang tiruan, demikian juga tenaga kerja digunakan sebagai alat ukur karena tenaga kerja ini digunakan dalam proses produksi produk-produk imitasi tersebut. Selain itu, banyak perusahaan asing yang berdiri di daerah sungai Yangtze dengan tujuan untuk mendapatkan tenaga kerja murah. Jumlah perusahaan yang baru berdiri digunakan sebagai salah satu pengukuran karena dengan meningkatnya jumlah perusahaan baru, maka semakin banyak tenaga kerja bisa terserap. Kebijakan pemerintah diikutsertakan sebagai variabel pengukuran kerena kebijakan pemerintah sangat berperan dalam penciptaan situasi yang mendukung kegiatan kewirausahaan. Dalam hasil penelitiannya yang dituangkan dalam jurnal ilmiah yang diterbitkannya, Zhang Jiawei mengatakan beberapa hal, yaitu:a. Kebanyakan dampak dari inovasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan

ekonomi disadari melalui kewirausahaanb. Kewirausahaan secara efektif sebagai perantara hubungan antara inovasi dan

pertumbuhan ekonomi regional. Atau dengan kata lain, tingkat pengembalian investasi pada inovasi yang dilakukan lebih besar bagi daerah yang dapat memberikan dukungan besar kepada kegiatan kewirausahaan

c. Kewirausahaan adalah proses yang dapat menghasilkan melalui inovasi yang nantinya mempengaruhi ekonomi regional. Dengan kata lain, seluruh, atau sebagian dari dampak inovasi pada suatu perekonomian daerah adalah secara tidak langsung disadari melalui kewirausahaan

d. Di daerah muara sungai Yangtze, kewirausahaan adalah penggerak dari pertumbuhan ekonomi regional

Penelitian yang dilakukan Charlie Karlsson, Christian Friis dan Thomas Paulsson (2004) dari The Royal Institute of Technology mencoba menghubungkan kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang mereka lakukan adalah penelitian berdasarkan studi empiris dan menghubungkan teori antar kewirausahaan, atau aktivitas kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi. Diantara teori-teori yang mereka gunakan adalah, teori pertumbuhan ekonomi oleh Schumpeter, teori ekonomi neo klasik, teori ekonomi industri, dan teori-teori lainnya.

Berdasarkan beberapa teori pendukung, misalnya teori yang diungkapkan Wennekers and Thurik (1999), kemudian model yang diciptakan oleh Weitzman (1998)

32 M.L. Jhingan; The Economics of Development and Planning, alih bahasa: D. Guritno, Grafindo Persada, 2004.

17

Page 18: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

dan dikembangkan oleh Ollson and Frey (2002) maka dalam penelitiannya Karlsson dan Friis menggunakan 3 (tiga) variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi, yaitu:a. Kompetisib. Inovasic. Permulaan usaha baru

Karlsson dan Friis menggunakan ketiga variabel ini untuk melihat hubungan kewirausahaan dalam pertumbuhan ekonomi. Mereka menyimpulkan bahwa ada jarak antara keberadaan teori terhadap hubungan antara kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan kewirausahaan (dengan kata lain, terdapat hubungan yang negative antara kegiatan kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi) ; inovasi, perilaku kompetitif dan permulaan perusahaan baru, dan mereka tidak bisa menemukan sistematisasi yang lebih baik dalam mengidentifikasikan hubungan kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi. Menurut Karlsson dan Friis, pengukuran kompetisi sulit untuk dilakukan. Nickell (1996) menyarankan menggunakan kenaikan jumlah perusahaan dalam sebuah industri dan tingkat dari laba sebagai alat pengukuran kompetisi. Mengenai peningkatan jumlah perusahaan dalam sebuah industri, maka gambarannya mungkin tidak akan lengkap tanpa beberapa informasi tambahan mengenai distribusi dari ukuran perusahaan. Rendah atau berkurangnya tingkat laba tentu saja sebagai tanda dari peningkatan kompetisi, tetapi hal itu juga bisa merupakan karakteristik industri yang sedang sekarat, tahap akhir dari siklus penciptaan kerusakan (creative destruction – Schumpeter theory).

Penelitian yang dilakukan oleh Kreft dan Sobe untuk melihat bagaimana pengaruh dan hubungan kebijakan publik, kewirausahaan, pertumbuhan eknomi. Yang menjadi kutipan penulis adalah analisa Kreft dan Sobe atas hubungan kegiatan kewirusahaan dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk melihat hubungan kegiatan kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi Kreft dan Sobe menggunakan dua variabel pengukuran, yaitu;c. Kepemilikan usaha pribadi, yang dalam banyak literatur sebagai tolok ukur yang

baik untuk menilai tingkat kewirausahaan. Kreft dan Sobe menggunakan formulir pajak federal yang diisi oleh individu

d. Aktivitas patent. Hal ini untuk mengukur aktivitas patent yang disahkan setiap tahunnya. Logika dibalik pengukuran aktivitas patent untuk mengukur tingkat kewirausahaan adalah karena paten adalah hasil inovasi yang tampak yang dilakukan oleh para wirausahawan.

Dimana formula regresi yang dibuat oleh Kreft dan Sobe adalah;1) Untuk melihat hubungan sebab akibat antara variabel pengukuran aktivitas

kewirausahaan (Kepemilikan usaha pribadi dan aktivitas paten) dengan pertumbuhan ekonomi

2) Untuk melihat hubungan sebab akibat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan variabel-variabel kewirausahaan (kepemilikan usaha pribadi dan aktivitas paten)

18

Page 19: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Dimana, i adalah korespondesi pengamatan, t,idan t,i adalah variabel dummy, M, N, V dan W adalah jumlah dari masing-masing variabel.

Hasil penelitian mereka adalah, bahwa terdapat hubungan sebab akibat (hubungan yang positif) antara kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi, secara khusus kepemilikan usaha ditentukan sebagai penyebab pertumbuhan ekonomi, dan tingkat kegiatan patent juga demikian adanya. Test yang mereka lakukan juga menunjukkan bahwa untuk memastikan hubungan sebab akibat dari dua variabel pengukuran yang digunakan mengungkapkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara kepemilikan usaha dan kegiatan paten. Kemudian, hubungan sebab akibat menunjukkan hubungan sebab akibat satu arah antara kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi.

Hasil dan Pembahasan

Perekonomian Indonesia pada tahun 2005 tumbuh sebesar 5,6 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun 2004 sebesar 5,05 persen. Dari sisi permintaan, kegiatan ekonomi didukung oleh peningkatan pertumbuhan permintaan domestik yang diikuti dengan penurunan impor yang tajam. Dari sisi sektoral, pertumbuhan disumbang oleh sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan. Meskipun secara keseluruhan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi pertumbuhan tersebut masih di bawah perkiraan semula dan cenderung melambat setelah triwulan II – 2005 seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap kestabilan makroekonomi. Tingginya harga minyak dunia dan berlanjutnya siklus pengetatan moneter global menimbulkan tekanan yang kuat terhadap kondisi fiskal dan neraca pembayaran akibat pola ekspansi perekonomian yang relatif masih rentan. Seiring dengan kondisi tersebut, tambahan angkatan kerja baru tidak sepenuhnya mampu terserap sehingga tingkat pengangguran meningkat dan distribusi pendapatan semakin timpang.

Untuk keseluruhan tahun, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2005 meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun demikian, realisasi pertumbuhan tersebut tercatat lebih rendah dibandingkan dengan prakiraan Bank Indonesia akibat dampak tekanan eksternal yang lebih berat. Dari sisi permintaan, meningkatnya pertumbuhan ekonomi di 2005 tercermin pada pertumbuhan konsumsi dan inverstasi yang cukup tinggi sementara impor mengalami perlambatan yang tajam. Pada paro pertama 2005 investasi tetap tumbuh tinggi. Memasuki paro kedua, kenaikan harga minyak dan pengetatan moneter dunia memberikan dampak pada pelemahan nilai tukar yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan investasi. Pertumbuhan konsumsi sercara umum relatif stabil, sementara pertumbuhan ekspor relatif tinggi di paro pertama 2005. Di paro kedua 2005, ekspor tumbuh melambat seiring dengan semakin lemahnya permintaan dunia dan menurunnya daya saing produk ekspor Indonesia.

Secara sektoral, seluruh sektor mencatat pertumbuhan positif. Pertumbuhan berbagai sektor ekonomi pada tahun 2005 sangat dipengaruhi oleh sensitivitas masing-masing sektor ekonomi terhadap depresiasi nilai tukar dan perlambatan permintaan dunia. Tingkat sensitivitas tersebut dipengaruhi oleh struktur biaya dan ketergantungan terhadap bahan baku impor serta orientasi pasar produknya. Di samping itu, beberapa faktor yang sifatnya lebih spesifik, seperti faktor cuaca dan kebijakan yang terkait dengan sektor tertentu juga memberikan dampak yang cukup besar. Beberapa sektor yang tumbuh melambat umumnya merupakan sektor yang terkait langsung dengan

19

Page 20: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

ekspor serta relatif sensitif terhadap perubahan harga BBM dan nilai tukar seperti sektor industri pengolahan dan pertanian. Sementara itu, berbagai sektor yang lebih berorientasi pada pasar domestik seperti sektor transportasi dan komunikasi ; sektor perdagangan, hotel dan restoran ; sektor listrik, gas dan air minum mencatat pertumbuhan yang relatif tinggi.

Dari sisi kebijakan, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengurangi dampak buruk gejolak eksternal sekaligus mendorong perkembangan di sektor riil. Pada paro pertama 2005, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mendukung sektro riil diantaranya adalah kebijakan harmonisasi tarif, insentif kepada kontraktor lapangan minyak marjinal, menghapus Perda yang tumpang tindih, dan pemberdayaan industri pelayaran nasional. Pada paro kedua 2005, Pemerintah semakin intensif mengeluarkan kebijakan untuk mendukung perekonomian agar berkembang sesuai dengan kondisi terkini. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah tersebut adalah Paket kebijakan 1 Oktober 2005, yang dikeluarkan dengan tujuan mengurangi dan meringankan dampak kenaikan harga BBM pada bulan Oktober melalui pemberian insentif kepada kaum miskin, petani, pekerja, konsumen, kelompok industri, perdagangan, dan UMKM. Untuk kelompok miskin diberikan tambahan program kompensasi berupa subsidi langsung tunai (SLT). Terhadap petani diberikan insentif peningkatan harga pemebelian pemerintah sebesar 30%. Di samping itu, insentif kebijakan juga diberikan dalam bentuk pemangkasan ekonomi biaya tinggi, deregulasi, pengurangan pajak dan bea masuk.

Peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 secara umum belum sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan. Tingkat pengagguran tercatat masih cukup tinggi sejalan dengan rendahnya daya serap pertumbuhan ekonomi terhadap tambahan angkatan kerja. Ketersediaan lapangan kerja yang lebih kecil dari jumlah pencari kerja ditengarai disebabkan oleh melemahnya berbagai sektor ekonomi yang padat karya seperti sektor pertanian, bangunan dan industri pengolahan. Kondisi ketenagakerjaan yang memburuk ini juga tercermin pada peningkatan jumlah pengagguran terbuka yang meningkat. Pada gilirannya, memburuknya ketenagakerjaan ini mengakibatkan jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi yang diikuti oleh ketimpangan distribusi pendapatan yang meningkat.

Kinerja perekonomian dari sisi permintaan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada paro pertama 2005, namun seiring dengan meningkatnya tekanan eksternal pada paro kedua pertumbuhan ekonomi mulai mengalami perlambatan. Permintaan domestik masih memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan secara cukup signifikan, sementara sumbangan ekspor cenderung menurun. Pada saat yang bersamaan impor mengalami penurunan pertumbuhan yang tajam.

Konsumsi total pada tahun 2005 tumbuh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan konsumsi total terutama disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta, sementara itu, konsumsi pemerintah yang meningkat pada tahun 2005 terutama terjadi pada belanja lainnya, dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH), serta belanja pegawai.

Konsumsi swasta tumbuh 3,9 persen pada tahun laporan, lebih rendah dibanding tahun 2004 sebesar 4,97 persen. Melambatnya pertumbuhan konsumsi swasta ini terkait dengan pendapatan riil masyarakat yang menurun. Di samping itu penurunan pertumbuhan konsumsi juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat terhadap kondisi perekonomian yang memburuk seiring dengan kenaikan harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 serta depresiasi nilai tukar rupiah dan kenaikan suku bunga kredit

20

Page 21: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

konsumsi. Sementara itu, stimulus fiskal yang diharapkan dapat mengimbangi turunnya daya beli rumah tangga tumbuh relatif terbatas. Ekspansi fiskal terutama baru dilakukan pada triwulan III dan IV 2005, antara lain berupa penyaluran subsidi langsung tunai (SLT) dan beras miskin.

Perlambatan pertumbuhan konsumsi terutama terjadi pada konsumsi bukan makanan yang bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan. Konsumsi bukan makanan tumbuh sebesar 5,42 persen, lebih rendah dibanding tahun 2004 sebesar 8,27 persen seperti tercermin pada turunnya pembelian kendaraan penumpang dan sepeda motor, barang elektronik, dan pakaian. Pembelian kendaraan penumpang pada tahun 2005 tumbuh sebesar 15,3 persen, turun jauh dibandingkan tahun sebelunya tercatat sebesar 46,8 persen. Pada periode waktu yang sama, pembelian sepeda motor yang semula tumbuh sebesar 40,1 persen juga turun menjadi sebesar 30,8 persen. Pembelian barang elektronik berupa televisi dan mesin cuci bahkan terkontraksi yaitu masing-masing tumbuh sebesar -11,46 persen dan -10,47 persen. Perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta juga dipengaruhi oleh penurunan tingkat keyakinan konsumen. Hasil survei konsumen BI dan survei tendensi konsumen (ITK) BPS menunjukkan tingkat keyakinan konsumen tahun 2005 sebesar 93,7 persen, turun dibandingkan tahun 2004 sebesar 97,9 persen. Penurunan keyakinan konsumen dipengaruhi oleh turunnya keyakinan konsumen atas kemampuan daya beli dan pendapatannya. Sementara itu, ITK rata-rata pada periode waktu yang sama turun lebih besar, yaitu dari 113,6 pada tahun 2004 menjadi 96,0. Indeks penjualan ecerean survei penjualan eceran BI juga menunjukkan trend menurun, terutama memasuki triwulan IV 2005.

Dari sisi pembiayaan, perlambatan pertumbuhan konsumsi tercermin dari menurunnya pertumbuhan kredit konsumsi dan pembiayaan nonbank. Kredit konsumsi maupun pembiayaan nonbank tumbuh melambat seiring dengan meningkatnya suku bunga akibat pengetatan kondisi moneter. Realisasi kredit konsumsi pada tahun 2005 meningkat sebesar 36,8 persen, turun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 38,1 persen. Pembiayaan konsumen juga tumbuh melambat dari 44,9 persen menjadi 21,6 persen pada tahun 2005.

Sementara itu, konsumsi pemerintah pada tahun 2005 tumbuh lebih ekspansif dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 3,99 persen menjadi 8,06 persen. Secara keseluruhan, ekspansi pengeluaran pemerintah didominasi oleh pengeluaran konsumsi dan transfer. Ekspansi konsumsi pemerintah terutama baru terlihat pada semester II tahun 2005 karena adanya kendala teknis administratif yang terkait dengan implementasi sistem anggaran yang baru. Kenaikan konsumsi pemerintah pada tahun 2005 terutama bersumber dari kenaikan belanja lainnya, belanja untuk DAU dan DBH serta kenaikan belanja pegawai khususnya dengan pembayaran gaji ke 13.

Investasi pada tahun 2005 tumbuh sebesar 17,13 persen, naik dari tahun sebelumnya sebesar (14,68) persen. Kenaikan tersebut terutama terjadi pada pertumbuhan investasi non bangunan, meski dengan kenaikan yang terus menurun sejak awal tahun 2005 dengan akselerasi penurunan yang meningkat pada triwulan III dan IV, sementara pertumbuhan investasi bangunan relatif konstan pada level yang relatif rendah. Perlambatan pertumbuhan pada komponen investasi non bangunan tercermin pada perlambatan pengadaan mesin dan perlengkepannya, dan perlambatan pertumbuhan pengadaan truk dan alat berat. Pertumbuhan penjualan truk menurun dari 33.0 persen pada tahun 2004 menjadi -0,9 persen pada tahun 2005.

Secara fundamental perlambatan pertumbuhan investasi dipengarui oleh tekanan yang berasal dari eksternal maupun internal. Kenaikan harga minyak dan berlanjutnya

21

Page 22: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

siklus pengetatan moneter dunia berdampak pada kenaikan biaya produksi dan investasi. Iklim investasi yang belum kondusif, antara lain belum tuntasnya beberapa produk hukum dan minimnya infrastruktur turut menyumbang terhadap perlambatan pertumbuhan investasi. Persepsi pelaku usaha terhadap kecenderungan melemahnya konsumsi juga berpengaruh pada perlambatan kegiatan investasi sektor swasta. Selain itu, pengeluaran pemerintah yang diharapkan dapat menjadi salah satu stimulus pertumbuhan invesatsi terkendala oleh pelaksanaan format baru APBN dan keterlambatan penyelesaian dokumen anggaran.

Sementara itu, pertumbuhan investasi bangunan yang pada tahun 2005 diharapakan dapat tumbuh tinggi ternyata tumbuh sedikit melambat. Investasi bangunan tumbuh sebesar 7,49 persen pada tahun 2004, turun menjadi sebesar 6,17 persen pada tahun 2005. Rendahnya realisasi investasi bangunan tersebut selain disebabkan oleh memburuknya iklim usaha, juga dipengaruhi oleh meningkatnya ongkos produksi dan rendahnya realisasi proyek infrastruktur. Berkaitan dengan proyek infrastuktur, dari 91 proyek infrastruktur yang ditawarkan oleh pemerintah senilai US$ 22,5 miliar, hanya 5 proyek yang telah memasuki tahap konstruksi. Sementara itu, sebanyak 28 proyek masih dalam tahap persiapan tender dan 15 proyek sudah ditetapkan pelaksanaannya. Beberapa hal yang mempengaruhi rendahnya realisasi proyek infrastruktur antara lain adalah kurangnya payung hukum, beberapa diantaranya baru selesai pada akhir tahun 2005. Perlambatan pertumbuhan invesatsi bangunan dikonfirmasi oleh perlambatan pertumbuhan penjualan semen dari 9,1 persen menjadi 4,7 persen.

Di samping kenaikan biaya produksi dan meningkatnya suku bunga kredit, perlambatan pertumbuhan investasi tidak terlepas dari memburuknya persepsi pelaku bisnis yang tercermin dari hasil berbagai survei. Survei tendensi bisnis BPS dan survei binis sentimen JETRO menunjukkan Indeks Tendensi Bisnis (ITB) BPS dan diffusion index JETRO turun dibandingkan dengan indeks pada tahun 2004. Hasil survei JETRO menunjukkan bahwa kelompok industri I (oil, chemical, stell, dan metal), kelompok industri III (transporation and machinery) dan kelompok industri IV (other manufacturing business) mencatat penurunan sentimen yang cukup tinggi. Sementara itu, pada kelompok industri II (electronic) sentimen pelaku bisnis membaik.

Dari sisi pembiayaan, pertumbuhan investasi yang kecil ini disebabkan perlambatan pertumbuhan pembiayaan investasi baik yang berasal dari perbankan maupun non bank. Kredit konsumsi maupun pembiayaan nonbank tumbuh melambat seiring dengan meningkatnya suku bunga akibat pengetatan kondisi moneter. Realisasi kredit konsumsi pada tahun 2005 meningkat sebesar 36,8 persen, turun dibanding tahun sebelumnya sebesar 38,1 persen. Pembiayaan konsumen juga tumbuh melambat dari 44,9 persen menjadi 21,6 persen pada tahun 2005.

Namun demikian, melambatnya pertumbuhan kredit investasi perbankan dan sumber pembiayaan pasar modal tidak terefleksi pada kondisi kesenjangan tabungan-investasi (saving-investment gap). Nisbah surplus kesenjangan tabungan-investasi terhadap PDB menurun dari 1,2 persen menjadi 0,8 persen. Penurunan surplus kesenjangan tabungan-investasi ini berasal dari penurunan surplus kesenjangan tabungan – investasi pada sektor swasta, sementara sektor pemerintah mengalami penurunan defisit. Kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi pembiayaan investasi dari swasta masih belum sepenuhnya digunakan.

Dengan melambatnya pertumbuhan investasi, kapasitas perekonomian diperkirakan relatif belum mengalami peningkatan signifikan. Sementara itu, kondisi pertumbuhan stok kapital juga masih relatif lambat, yaitu sebesar 0 – 0,5 persen,

22

Page 23: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

sehingga membatasi upaya peningkatan produksi. Dengan kondisi tersebut, kemampuan sisi penawaran dalam merespon perkembangan sisi penawaran dalam merespon perkembangan sisi permintaan menjadi terbatas. Sejalan dengan itu, kesenjangan keluaran dalam perekonomian nasional menunjukkan arah yang semakin menyempit, meskipun masih sangat negatif. Kecenderungan gap keluaran yang menyempit ini didukung oleh angka pertumbuhan sediaan kapital yang lebih lambat, sementara rasio investasi terhadap PDB hanya sedikit meningkat.

Meskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi peningkatan teknologi dan perbaikan kualitas SDM. Angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR)/angka rasio antara tambahan modal terhadap tambahan output atau besarnya investasi yang dibutuhkan untuk satu unit output mengalami penurunan. ICOR pada tahun 2005 tercatat sebesar 4,2 persen lebih rendah dari angka pada tahun 2004 sebesar 4,5 persen. Penurunan ICOR tersebut mencerminkan perbaikan efisiensi perekonomian antara lain terkait dengan meningkatnya penanaman modal di sektor-sektor yang padat teknologi dan membutuhkan tenaga terampil. Untuk PMA berdasarkan realisasi izin usah tetap (IUT) yang diekeluarkan BKPM, sektor yang diminati investor antara lain sektor transportasi, gudang dan komunikasi, industri kimia dan farmasi, industri logam, mesin dan elektronik. Peningkatan tenaga kerja terampil antara lain tercermin dari meningkatnya jumlah tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas. Sementara itu, peningkatan produktivitas tenaga kerja yang tinggi juga terjadi pada sektor-sektor yang padat modal dan teknologi.

Di sisi eksternal, ekspor barang dan jasa pada tahun 2005 tumbuh 8,6 persen, turun dibanding tahun 2004 sebesar 13,5 persen. Perlambatan tersebut terkait dengan kondisi pertumbuhan ekonomi global yang melambat dan permasalahan lemahnya daya saing. Pada komoditi nonmigas, perlambatan pertumbuhan terjadi pada kelompok barang mineral dan eklompok barang pertanian. Penurunan pada kelompok barang mineral antara lain terjadi pada komoditi nikel dan batubara, yang terutama disebabkan oleh menurunnya permintaan dunia terhadap kedua komoditi tersebut, dan khusus untuk batu bara juga dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan dalam negeri. Pada kelompok barang pertanian, penurunan volume ekspor antara lain terjadi pada produk perkayuan. Volume ekspor pada kelompok barang manufaktur meningkat antara lain dipengaruhi oleh depresiasi rupiah dan masih cukup tingginya permintaan pada beberapa komoditi seperti produk-produk karet, minyak kelapa sawit, dan produk elektronik. Sementara itu, pada komoditi migas, volume ekspor minyak yang baru dan berkurangnya produktifitas sumur-sumur yang sudah ada.

Selain kecenderungan melemahnya permintaan dan daya saing, melambatnya pertumbuhan ekspor juga terkait dengan pelaksanaan ekspor yang kurang efisien. Survei World Bank menunjukkan bahwa aktifitas ekspor Indonesia masih kurang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara kompetitor utama. Kelemahan tersebut antara lain berupa tingginya jumlah waktu untuk ekspor barang (25 hari), banyaknya dokumen ekspor yang harus dipenuhi (7 dokumen). Pada saat ini upaya-upaya pembenahan secara bertahap sudah mulai dilaksanakan, diantaranya pengurangan jumlah jembatan timbang dan perbaikan infrasturktur yang dapat mendukung kelancaran pengiriman barang.

Pada tahun 2005, pertumbuhan impor barang dan jasa melambat cukup signifikan dari 27,07 persen pada tahun 2004 menjadi 12,35 persen. Perlambatan pertumbuhan impor tersebut dipengaruhi oleh permintaan domestik, khususnya investasi yang juga tumbuh melambat. Dilihat dari kelompok barang, perlambatan

23

Page 24: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

pertumbuhan terutama terjadi pada impor bahan baku dan bahan setengah jadi, serta impor barang modal untuk peralatan transport industri. Komoditas impor barang modal dan barang setengah jadi yang tumbuh melambat antara lain adalah bahan mentah yang sudah diporses untuk indsutri; suku cadang dan asesori untuk barang modal; suku cadang dan asesori untuk perlengkapan transport; dan makanan dan minuman primer untuk industri. Secara sektoral, perlambatan tersebut terkait erat dengan perlambatan pertumbuhan beberapa sub-sektor industri pengolahan yang memiliki kandungan impor cukup tinggi, seperti industri mesin dan peralatan; industri alat angkutan, mesin dan peralatannya; industri teksti, kulit dan alas kaki; serta industri kertas dan barang cetakan.

Di sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi mencatat pertumbuhan positif. Sumbangan terbesar yang menopang pertumbuhan tersebut berasal dari sektor perdagangan, sektor industri pengolahan, sektor pengakutan dan komunikasi. Meskipun demikian, perlu dicermati bahwa pertumbuhan pada sektor industri pengolahan dan pertanian – sebagai sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, menjadi sumber penerimaan devisa dan penerimaan pajak, serta memiliki kaitan backward dan forward lingkage yang tinggi – mengalami perlambatan.

Sektor Industri Pengolahan tumbuh 4,63 persen, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya 6,2 persen. Perlambatan pertumbuhan di sektor industri pengolahan terjadi pada hampir semua subsektor, kecuali pada subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau. Perlambatan tersebut dipicu oleh kenaikan harga BBM, depresiasi niali tukar, terbatasnya pembiayaan usaha, iklim usaha, dan penurunan pedapatan riil masyarakat. Kondisi yang kurang menguntungkan tersebut mendorong dunia usaha untuk melakukan berbagai penyesuaian diantaranya menurunkan volume marjin keuntungan, serta meningkatkan efisiensi usaha. Perlambatan pertumbuhan sektor industri pengolahan tercermin pada hasil survei produksi yang menunjukkan penurunan indeks produksi sejak pertengahan 2005.

Kelompok industri alat angkut, mesin dan peralatannya pada tahun 2005 tumbuh 12,4 persen, melambat dari tahun sebelumnya yang tumbuh 17,7 persen. Perlambatan pertumbuhan pada kelompok industri ini terutama didorong oleh depresiasi rupiah terkait dengan besarnya kandungan impor dan penurunan daya beli masyarakat. Produksi mobil dan motor mengalami perlambatan pertumbuhan yang akselerasinya meningkat pada triwulan IV 2005 terutama disebabkan oleh kenaikan suku bunga nominal kredit. Sementara itu, untuk industri elektronika, kendala yang dihadapi juga terkait dengan maraknya penyelundupan dan pengenaan bea masuk komponen produk rata-rata sebesar 20 persen yang menyebabkan kurang kompetitifnya produk domestik dibandingkan produk impor asal negara ASEAN yang hanya dikenakan tarif bea masuk sebesar 0 – 5 persen.

Kelompok industri tekstil, barang dan kulit dan alas kaki pada tahun 2005 tumbuh sebesar 1,28 persen, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 4,06 persen. Faktor utama yang mempengaruhi perlambatan pertumbuhan subkelompok industri tekstil dan alas kaki selain permasalahan umum yang dihadapi industri pengolahan di atas adalah maraknya produk sejenis berharga murah dari Cina di pasar domestik. Namun demikian, kinerja perusahaan tekstil dan alas kaki yang berorientasi ekspor masih didukung oleh kondusifnya pasar ekspor.

Sementara itu beberapa kelompok industri yang mencatat peningkatan pertumbuhan pada tahun 2005 adalah industri makanan, minuman dan tembakau. Meningkatnya kinerja subsektor industri makanan, minuman dan tembakau terkait

24

Page 25: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

dengan karakteristik permintaan produk makanan yang cenderung kurang elastis terhadap perubahan pendapatan. Peningkatan subsektor ini didukung pula oleh hasil survei penjualan ecerean yang menunjukkan peningkatan.

Sektor perdagangan, Hotel dan resotran tumbuh 8,59 persen, naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya 5,69 persen. Pertumbuhan yang tinggi tersebut terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan pada sub sektor perdagangan yang memiliki kontribusi terbesar pada sektor ini. Subsektor perdagangan tumbuh sebesar 9,15 persen, naik dari tahun 2004 sebesar 5,5 persen. Omset penjualan Asosiasi Penjualan Retail Indonesia pada tahun 2005 diperkirakan mencapai Rp 41 triliun, naik dari tahun sebelumnya sebesar Rp 35 triliun. Pesatnya pertumbuhan sub sektor perdagangan tercermin dari meningkatnya jumlah pasar modern, baik hypermarket, supermarket, maupun pusat perdagangan modern yang lain. Selain itu, pertumbuhan di sektor perdagangan juga didukung oleh peningkatan kegiatan usaha UMKM sektor perdagangan, yang antara lain tercermin pada peningkatan pertumbuhan pembiayaan kredit UMKM perbankan dari 27,4 persen pada tahun 2004 menjadi 30,2 persen pada tahun 2005.

Sementara itu, di subsektor hotel dan restoran mengalami perlambatan pertumbuhan, dari 7,93 persen menjadi 6,69 persen. Perlambatan tersebut antara lain dipengaruhi oleh turununya jumlah kunjungan wisatawan. Penurunan yang cukup signifikan terjadi pada daerah wisata Bali dan Batam, terutama pasca terjadinya peristiwa bom bali di awal Oktober 2005. Sementara itu, dilihat dari rata-rata lama tinggal dan tingkat hunian hotel, perkembangan di 2005 tidak menunjukkan perubahaan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan di sub sektor hotel, sub sektor restoran juga mengalami pertumbuhan yang melambat.

Sektor pertanian mencatat pertumbuhan sebesar 2,49 persen, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 3,26 persen. Perlambatan tersebut terjadi pada semua subsektor kecuali subsektor perkebunan. Kelompok tanaman pangan tumbuh lebih rendah dibandingkan tahun 2004 yang disebabkan oleh berkurangnya luas area panen padi dari 11.922.974 Ha menjadi 11.800.000 Ha. Turunnya luas areal panen tersebut antara lain dipengaruhi oleh kurangnya insentif bagi petani padi akibat tingginya biaya produksi yang tidak diikuti oleh peningkatan harga jual yang sepadan. Sementara itu, perlambatan pertumbuhan di subsektor peternakan dan subsektor perikanan disebabkan oleh kenaikan biaya produksi akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga BBM. Khusus sub sektor peternakan, wabah flu burung turut berpengaruh terhadap kinerja subsektor ini. Gencarnya upaya Pemerintah dalam menindak pembalakan liar menyebakan pertumbuhan di subsektor kehutanan.

Sektor Pertambangan mengalami pertumbuhan yang cukup mengesankan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dari -4,48 persen menjadi 1,59 persen. Perbaikan pertumbuhan ditopang oleh pertumbuhan yang cukup tinggi pada subsektor pertambangan tanpa migas (7,76 persen) dan susektor penggalian (7,32 persen) karena adanya peningkatan permintaan. Sementara itu, untuk subsektor minyak dan gas bumi menunjukkan perbaikan walaupun masih tumbuh negatif. Perbaikan tersebut dipengaruhi oleh upaya-upaya insentif yang dilakukan oleh instasi yang berwenang sehingga kapasitas produksi tetap tinggi, walaupun dihadapkan pada kurangnya ekplorasi sumur minyak dan turunnya produktivitas sumur-sumur yang sudah tua.

Sektor transportasi dan komunkiasi pada tahun laporan masih mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi (12,97 persen), namun sedikit melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya (13,38 persent). Pertumbuhan yang masih cukup tinggi

25

Page 26: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

tersebut terutama berasal dari pertumbuhan yang tinggi pada sub sektor telekomunikasi. Jumlah pelanggan telepon baik seluler maupun fixed line yang meningkat di atas 30 persen mengkorfimasi kinerja subsektor ini. Sebaliknya, subsektor transportasi sangat terpengaruh oleh kenaikan harga BBM, sehingga pada tahun laporan mengalami pertumbuhan yang melambat, yaitu hanya tumbuh 6,32 persen dibanding 8,76 persen pada tahun 2004. Perlambatan yang cukup signifikan terutama terjadi pada komponen angkutan udara yang tercermin dari jumlah penumpang domestik yang cenderung menurun pada tahun 2005.

Pada tahun 2005 sektor bangunan tumbuh melambat (7,34 persen), lebih rendah dari tahun 2004 (7,49 persen). Perlambatan tersebut tercermin dari menurunnya pertumbuhan penjualan semen, melambatnya pertumbuhan kredit properti komersial, dan rendahnya realisasi proyek Pemerintah yang terkendala oleh masalah administrasi. Sebaliknya, di sektor swasta berbagai proyek properti komersial masih mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi, seperti apartemen dan pusat perbelanjaan.

Sektor Listrik, Gas dan Air Minum mencatat peningkatan pertumbuhan yang cukup tinggi, dari 5,2 persen pada tahun 2004 menjadi 6,5 persen pada tahun 2005. Peningkatan pertumbuhan pada sektor ini antara lain tercermin dari konsumsi listrik yang masih meningkat seiring dengan kegiatan ekonomi yang secara umum masih cukup baik. Dari sisi pasokan, adanya tambahan pasokan listrik baru 443 MW yang berasal dari 11 unit pembagkit listrik baru dipastikan memberikan kontribusi yang cukup besar pada pertumbuhan sektor ini.

Kinerja perekonomian Indonesia juga tercermin dalam perspektif ekonomi regional. Secara keseluruhan pertumbuhan disetiap zona ekonomi mengindikasikan perlambatan walaupun masih lebih baik dari kinerja tahun 2004. Zona Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua mencatat pertumbuhan PDB tertinggi dibandingkan zona lainnya. Sementara itu zona Sumatera mengalami peningkata inflasi yang lebih tinggi dibandingkan zona lainnya.

Kondisi makroekonomi Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan perkembangan yang semakin mantap, di tengah munculnya risiko dan tantangan yang cukup berat baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan didukung oleh kebijakan makroekonomi yang cukup akomodatif dan ditopang oleh ekspektasi positif pelaku ekonomi yang semakin kuat, perekonomian Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,1 persen. Pertumbuhan tersebut diikuti oleh sumber pendorong pertumbuhan yang lebih berimbang, dengan kontribusi investasi dan ekspor yang semakin besar. Kenaikan sisi permintaan tersebut memperoleh respons positif dari dunia usaha sebagaimana tercermin pada peningkatan laju pertumbuhan pada sejumlah sektor ekonomi. Seiring dengan peningkatan pertumbuhan tersebut, pendapatan per kapita masyarakat mengalami kenaikan dan tingkat kemiskinan mengalmi penurunan. Namun demikian, tingkat pengangguran relatif tetap karena peningkatan kegiatan ekonomi masih belum dapat sepenuhnya menyerap pertambahan angkatan kerja.

Pertumbuhan ekonomi pada 2004 menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2003, bahkan lebih tinggi dari yang diperkirakan oleh sejumlah kalangan. Meskipun perekonomian masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang bersumber dari sisi internasional dan domestik, dalam perjalanannya perekonomian berkembang menuju kondisi yang lebih baik. Dari sisi luar negeri, melonjaknya harga minyak dan kecenderungan suku bunga global yang mulai meningkat merupakan tantangan yang tidak saja mempengaruhi kinerja sektor eksternal, tetapi juga mengganggu stabilitas kurs rupiah yang selanjutnya mempengaruhi inflasi. Dari sisi

26

Page 27: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

dalam negeri, upaya mendorong kegiatan investasi mengalami kendala khususnya sisi pembiayaan yang selama ini dirasakan belum optimal, iklim investasi yang belum kondusif, serta masih rendahnya daya saing.

Dalam mengatasi berbagai tantangan terutama yang terkait dengan permasalahan pembiayaan dan iklim investasi, Pemerintahdan Bank Indonesia menempuh serangkaian kebijakan. Dari sisi Pemerintah, berbagai kebijakan yang memprioritaskan pada upaya mendorong investasi dan mengembangkan industri di dalam negeri terus dilakukan. Sementara itu, Bank Indonesia terus mengupayakan terpeliharanya kestabilan makroekonomi sehingga dapat memberikan dukungna bagi kegiatan ekonomi. Dukungan pada aktivitas perekonomian tersebut mendorong peningkatan daya serap dunia usaha terhadap pembiayaan perbankan sehingga memberi peluang bagi peningkatan penyaluran kredit. Situasi ini pada gilirannya telah menghadirkan ekspektasi positif pelaku ekonomi akan percepatan perbaikan ekonomi Indonesia.

Optimisme masyarakat, khususnya kalangan dunia usaha, juga disertai dengan semangat untuk turut menyelesaikan permasalahan yang dihaapi oleh dunia usaha agar dapat berperan secara optimal dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Dari sisi kebijakan, partisipasi kalangan dunia usaha tersebut antara lain diwujudkan dalam penyusunan program revitalisasi Industri dan Investasi dan pengembangan industri, seperti masalah kepastian hukum, infrastruktur, ketenagakerjaan, dan otonomi daerah.

Sinergi kebijakan yang ditempuh sepanjang 2004 dan kegairahan dunia usaha yang meningkat telah menghasilkan kinerja perekonomian yang cukup menggembirakan. Perekonomian Indonesia tumbuh dengan perbaikan pola ekspansi, ditandai oleh peran investasi dan ekspor yang semakin menngkat, sementara kegiatan impor barang dan jasa turut meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi doimestik. Investasi, khususnya dalam bentuk nonbangunan, tumbuh tinggi. Meskipun demkian, dengan tingkat investasi tersebut, nisbah investasi tehadap Produk Domestik Bruto (PDB) belum beranjak dari angka rata – rata dalam lima tahun terakhir sekitar 20%, sehingga diperlukan upaya yang lebih keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi secara berkesinambungan. Di sisi produksi, hampir seluruh sektor menunjukkan peningkatan pertumbuhan seiring dengan terjadinya kenaikan permintaan. Kontribusi terbesar masih disumbang oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, sektor pengangkutan. Kenaikan produksi tersebut juga didukung oleh membaiknya kondisi perburuhan.

Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada 2004 telah memperbaiki taraf kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan jumlah penduduk miskin. Walaupun demikian, peningkatan pertumbuhan tersebut masih belum dapat sepenuhnya menyerap tambahan angkatan kerja sehingga tingkat pengangguran masih cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi pada 2004 diwarnai oleh semakin berimbangnya sumber pendorong pertumbuhan. Dengan pertumbuhan yang sama dengan tahun lalu, peran konsumsi total, yang selama ini dominan dalam mendorong pertumbuhan, mulai berkurang. Sementara itu, investasi dan ekspor menunjukkan kontribusi dalam ekspansi perekonomian.

Konsumsi total pada tahun 2004 tumbuh stabil sebagaimana tahun 2003. Kestabilan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi pemerintah, sementara konsumsi swasta tumbuh lebih tinggi. Pada 2004, pertumbuhan konsumsi swasta meningkat dari 3,9 persen pada 2003 menjadi 4,9 persen. Peningkatan konsumsi tersebut sejalan dengan perkembangan beberapa indikator survei, di antaranya Survei Punjualan Eceran dari Bank Indonesia yang menunjukkan peningkatan

27

Page 28: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

pertumbuhan indeks penjualan eceran sepanjang 2004, yaitu dari rata-rata pertumbuhan sebesar 6,9 persen pada tahun 2003 menjadi 8,4 persen. Selain itu, survei konsumen dari Bank Indonesia menunjukkan membaiknya kondisi keyakinan konsumen sebagaimana terlihat dari indeks keyakinan konsumen yang menguat bahkan telah mencapai tingkat optimis pada penghujung 2004 setelah pada tahun lalu berada pada tingkat pesimis.

Secara fundamental, peningkatan konsumsi swasta didukung oleh kondisi membaiknya tingkat pendapatan. Kenaikan pendapatan masyarakat tersebut antara lain didorong oleh meningkatnya Upah Minimum Provinsi (UMP) dan memaiknya kinerja perusahaan. UMP pada hampir seluruh provinsi mengalami peningkatan dalam kisaran 1,0 – 29,0 persen dari tahun lalu. Selain itu, membaiknya kinerja perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta, yang ditunjukkan oleh kenaikan laba perusahaan, mengindikasikan peningkatan kemampuan perusahaan untuk memberikan kompensasi bagi karyawannya. Dengan kondisi peningkatan pendapatan nominal yang cukup tinggi yang disertai dengan laju inflasi yang tetap terkendali menyebabkan daya beli masyarakat mengalami peningkatan. Kondisi kenaikan pendapatan tersebut sejalan dengan hasil Survei Konsumen yang menunjukkan meningkatnya optimisme kenaikan penghasilan selama 2004 dibandingkan tahun 2003.

Peningkatan konsumsi masyarakat juga didukung oleh ketersediaan sumber pembiayaan, baik yang berasal dari perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. Sejalan dengan penurunan suku bunga di dalam negeri, kredit konsumsi sampai dengan Desember 2004 rata-rata tumbuh sebesar 40 persen lebih tinggi dibandingkan 2003 sebesar 33,5 persen. Pembiayaan konsumsi dari lembaga keuangan lainnya, seperti pembiayaan konsumen, tumbuh pesat mencapai rata-rata 61,3 persen pada 2004, dibandingkan rata-rata pertumbuhan tahun lalu sebesar 32,8 persen.

Berdasarkan komponennya, pertumbuhan konsumsi swasta pada 2004 terutama berkaitan dengan kenaikan pengeluaran untuk komoditi bukan makanan, khususnya untuk pengeluaran biaya tempat tinggal, pembelian kendaraan bermotor, transportasi, dan biaya pendidikan. Bertambahnya pengeluaran biaya tempat tinggal terkait dengan masih meningkatnya harga properti residensial dengan harga sewa/jual apartemen. Sementara itu, tingginya pengeluaran konsumsi untuk pembelian kendaraan bermotor tercermin pada kenaikan penjualan kendaraan bermotor, khususnya mobil penumpang dan sepeda motor, yang dalam tahun 2004 mengalami peningkatan pesat.

Konsumsi pemerintah pada 2004 mengalami perlambatan pertumbuhan, dari 10 persen pada 2003 menjadi 2,0 persen pada periode 2004. Hal ini sejalan dengan proses konsolidasi fiskal pemerintah yang berupaya untuk mengurangi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara bertahap. Masih tumbuhnya konsumsi pemerintah tersebut terkait dengan pemberian gaji ke-13 untuk pegawai negeri, peningkatan alokasi dana bagi hasil sejalan dengan naiknya harga minya mentah, serta peningkatan belanja pemerintah untuk penyelenggaraan pemilu.

Investasi total (meliputi investasi swasta dan pemerintah) menunjukkan kinerja yang tidak menggembirakan, setelah dalam beberapa tahun paska krisis mengalami ketidakstabilan, hal ini ditandai dengan naik atau turunnya jumlah investasi yang masuk dalam perekonomian Indonesia pasca krisis ekonomi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998.

Di sisi eksternal, pertumbuhan volume perdagangan dunia yang tinggi pada tahun 2004 berpengaruh positif terhadap kinerja ekspor barang dan jasa. Secara riil, ekspor barang dan jasa pada 2004 tumbuh 8,5 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan 8,2 persen pada tahun 2003. Peningkatan ekspor barang secara riil tersebut terjadi baik

28

Page 29: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

pada produk migas maupun non migas. Kenaikan ekspor produk migas terutama bersumber dari peningkatan volume ekspor gas alam serta produk olahan migas dalam bentuk Liquified Natural Gas (LNG) dan Liquified Potreleum Gas (LPG). Sementara itu, sumber utama kenaikan ekspor nonmigas adalah komoditi berbasis sumber daya alam, baik dalam bentuk komoditi primer maupun komoditi olahan.

Peningkatan volume ekspor barang komoditi primer terutama terjadi pada kelompok barang mineral, sementara kelompok barang pertanian mengalami penurunan. Peningkatan ekspor barang mineral di antaranya disumbang oleh komoditi batu bara. Perekonomian Cina yang tumbuh pesat telah mendorong meningkatnya kebutuhan akan sumber energi negara tersebut pada akhrinya mendorong peningkatan permintaan akan produk batubara. Sementara itu, penurunan ekspor pertanian terutama disebabkan oleh kinerja komoditi udang dan kopi yang menurun berkaitan dengan beberapa masalah yang dihadapai subsektor ini. Sementara itu, volume ekspor komoditi industri berbasis sumber daya alam, seperti minyak kelapa sawit dan produk karet, menunjukkan peningkatan. Volume ekspor minyak kelapa sawit yan gmeningkat didorong oleh masih tingginya permintaan yang berasal dari Cina dan India. Selain itu, perkembangan industri otomotif dunia yang menggembirakan menyebabkan permintaan komoditi karet olahan untuk produksi ban mengalami peningkatan.

Seiring dengan peningkatan permintaan domestik, impor barang dan jasa riil pada 2004 meningkat pesat dari 2,7 persen pada tahun 2003 menjadi 25 persen pada tahun 2004. Peningkatan impor terutama ditujukan untuk meningkatkan penggunaan kapasitas dan kapasitas terpasang perekonomian domestik. Kebutuhan produksi melalui kenaikan penggunaan kapasitas tercermin pada perkembangan volume impor bahan baku yang meningkat 10,3 persen. Sementara itu, kebutuhan untuk menaikkan kapasitas terpasang tercermin pada peningkatan impor barang modal yang tumbuh 25,3 persen pada tahun 2004. Sebaliknya, pada periode yang sama volume impor barang konsumsi terutama komoditas makanan dan minuman olahan yang diperuntukkan sebagai konsumsi rumah tangga mengalami penurunan.

Peningkatan impor bahan baku juga didudukung oleh kebijakan pemerintah yang memberikan kelonggaran kepada perusahaan untuk mengimpor barang yang terkait dengan kelancaran produksi. Khusus untuk produk baja, dalam rangka mengalami kelangkaan bahan baku, Pemerintah membebaskan bea masuk hot rolled coil, pelat baja, dan cold rolled coil.

Di sisi penawaran, kondisi permintaan yang semakin menguat pada 2004 telah mendorong sektor-sektor penghasil barang dan jasa untuk meningkatkan produksi guna memenuhi peningkatan kebutuhan. Sebagian besar sektor ekonomi mengalami peningkatan laju pertumbuhan dibandingkan tahun lalu. Kenaikan kegiatan produksi tersebut mendorong peningkatan penggunaan kapasitas terpasang. Survei Kegiatan Dunia Usaha yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa tingkat pemakaian kapasitas terpasang pada sektor pertanian dan sektor industri pengolahan meningkat cukup tinggi selama 2004. Untuk beberapa industri, tingkat utilisasi kapasitas diperkirakan mencapai 70 persen. Dengan kondisi tingkat penggunaan yang mendekati kapasitas terpasang, upaya mendorong peningkatan kapasitas melalui kegiatan investasi menjadi semakin penting.

Selama 2004, Sektor Industri Pengolahan mencatat laju pertumbuhan sebesar 6,2 persen lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yaitu 5,3 persen. Perkembangan ini didorong oleh pertumbuhan pada subsektor industri non migas. Tingginya permintaan dalam negeri dan luar negeri telah mendorong tingginya

29

Page 30: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

pertumbuhan sektor industri, terutama untuk industri alat angkutan, industri semen, serta industri kimia. Pada subsektor industri alat angkutan, industri otomotif mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan peningkatan produksi mencapai 23 persen selam periode Januar sampai dengan Desember 2004. Di subsektor industri semen, maraknya pembangunan property dan infrastruktur telah mendorong tingginya pertumbuhan industri tersebut. Sementara itu, pada periode yang sama industri migas mengalami kontraksi sejalan dengan penurunan nilai tambah produksi pada industri gas alam cair.

Kondisi membaiknya kinerja sektor industri pengolahan masih dibayangi oleh berbagai permasalahan. Di Industri tekstil dan produk tekstil (TPT), misalnya, perkembangan dunia usaha masih dihadapkan pada permasalahan kondisi mesin yang sudah usang dan maraknya impor komoditi pakaian jadi dengan harga murah yang menyebabkan kurang terserapnya produk industri TPT di pasar domestik. Kendala lainnya yang dihadapi oleh industri di dalam negeri adalah masalah ketersediaan bahan baku, sebagaimana yang dialami oleh beberapa industri seperti industri baja, industri rotan, dan industri pulp.

Berkenaan dengan berbagai kendala tersebut, pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada. Kebijakan-kebijakan untuk mengatasi kelangkaan bahan baku dan barang jadi antara lain mencakup pembebasan bea masuk impor hot rolled coil dan cold rolled coil, larangan ekspor rotan yang berasal dari hutan alam dalam bentuk asalan atau setengah jadi, serta percepatan pembangunan hutan tanaman industri guna memenuhi bahan baku industri pulp.

Sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang sedikit melambat dibandingkan tahun 2003, dengan penyumbang utama pertumbuhan berasal dari subsektor tanaman bahan pangan dan subsektor perikanan. Untuk subsektor tanaman bahan pangan, perbaikan kinerja didukung oleh peningkatan luas areal tanam serta kondisi iklim yang mendukung. Selain itu, adanya dukungan kebijakan pemerintah yang menjamin ketersediaan pupuk dan melarang impor beras selama masa menjelang panen sampai dengan dua bulan setelahnya telah memberi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi terjadi pada sebagian besar tanaman bahan pangan, di antaranya padi dan jagung yang mencatat peningkatan sebesar 4,3 persen serta kedelai yang tumbuh sebesar 8,8 persen dibandingkan 2003. Sementara itu, subsektor perikanan mengalami perlambatan pertumbuhan, walaupun masih menjadi penyumbang utama, sejalan dengan permasalahan produksi yang dihadapi oleh usaha tambak udang, yang antara lain disebabkan oleh berjangkitnya virus di beberapa sentra produksi udang.

Sektor bangunan menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu 6,7 persen pada 2003 dan menjadi 8,2 persen. Membaiknya kinerja sektor ini terjadi sejalan dengan maraknya pembangunan infrastruktur maupun proyek property selama 2004. Tingginya pertumbuhan sektor bangunan ini juga turut didukung oleh tersedianya pembiayaan perbankan serta berbagai kemudahan yang diberikan oleh pihak pengembang, seperti uang muka yang rendah. Di samping itu, upaya Pemerintah yang akan memfasilitasi pembiayaan di sektor ini dengan membentuk Secondary Mortage Facility (SMF) juga memunculkan optimisme pertumbuhan di sektor ini, khususnya dari sisi pembiayaan.

Sektor Pengangkutan dan Komunikasi mencatat pertumbuhan tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya. Di subsektor pengangkutan, pertumbuhan yang tinggi terutama disumbang oleh pertumbuhan pada angkutan udara. Tingginya kegiatan transportasi udara yang terjadi seiring dengan maraknya perang tarif oleh berbagai

30

Page 31: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

maskapai penerbangan sebagai dampak dari kebijakan pada periode sebelumnya merupakan penyumbang utama pertumbuhan subsektor pengangkutan. Perkembangan serupa terjadi pada sarana angkutan darat, yang di antaranya dipengaruhi oleh penambahan armada kereta api rute Jakarta – Surabaya sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan, serta kebijakan pemerintah untuk mengimpor armada bus dalam keadaan tidak baru. Sementara itu, di subsektor komunikasi peningkatan kegiatan utama terutama didukung oleh pertumbuhan bisnis telepon seluler. Selama 2004, jumlah pelanggan telepon seluler diperkirakan mencapai 28 juta orang, meningkat pesat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 18 juta orang.

Pertumbuhan sektor perdagangan, Hotel, dan Restoran terus menunjukkan peningkatan sejalan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat. Selama 2004, sektor ini tumbuh sebesar 5,8 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,3 persen. Meningkatnya kegiatan perdagangan ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan indeks penjualan ecerean dari hasil survei Bank Indonesia dan penjualan kendaraan bermotor yang cenderung mengalami peningkatan. Selain itu, pembukaan gerai baru – khususnya untuk perdagangan ritel – merupakan cerminan dari besarnya kegiatan perdagangan. Di subsektor perhotelan dan restoran, membainya kondisi pariwisata merupakan faktor pendorong bagi membaiknya kinerja subsektor ini. Jumlah kunjungan wisatawan menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun lalu, walaupun beberapa negara mengeluarkan travel warning serta aksi peledakan bom di sekitar Kedutaan Besar Australia.

Sektor keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan tumbuh sebesar 7,7 persen selama 2004, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 7,0 persen. Pertumbuhan selama 2004 terutama didukung oleh pertumbuhan pada subsektor bank dan lembaga keuangan nonbank, serta subsektor sewa bangunan. Peningkatan penyaluran kredit oleh perbankan maupun maraknya pembiayaan oleh lembaga keuangan nonperbankan, terutama untuk pembelian kendaraan bermotor, telah mendorong kenaikan nilai tambah subsektor ini. Sementara itu, permintaan ruang usaha yang meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas perekonomian telah mendorong pertumbuhan subsektor sewa bangunan selama 2004.

Perkembangan yang kurang menggembirakan terjadi di Sektor Pertambangan yang selama 2004 mengalami kontraksi sebesar 4,6 persen, menurun dibandingkan tahun lalu yang tercatat mengalami kontraksi sebesar 0,9 persen. Penurunan produksi pada komoditi minyak bumi telah mendorong memburuknya kinerja sektor ini pada 2004. Penurunan produksi minyak bumi pada lapangan yang beroperasi rata-rata mencapai 6 persen per tahun, sehingga produksi minyak bumi pada 2004 mencapai 1,08 juta barrel/hari, menurun dari 1,14 juta barrel per hari pada 2003. Walaupun demikian, produksi gas bumi selama 2004 mengalami peningkatan sekitar 8,8 BCD (Billion Cubic Feet per day).

Perkembangan di sektor lainya, seperti Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih mencatat laju pertumbuhan yang sama dengan tahun lalu. Pertumbuhan sektor ini ditunjukkan oleh peningkatan konsumsi listrik untuk memenuhi kebutuhan industri maupun rumah tangga. Di subsektor air bersih, penyediaan air bersih dapat ditingkatkan seiring dengan upaya pembenahan jaringan pipa yang berhasil menurunkan tingkat kebocoran menjadi 45 persen dari sekitarnya 60 persen. Sementara itu, perkembangan sektor jasa-jasa ditunjang oleh peningkatan nilai tambah sejalan dengan semakin berkembanganya kegiatan usaha informal.

31

Page 32: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Perbaikan kinerja sektor-sektor ekonomi tersebut didukung pula oleh perbaikan di sisi pemanfaatan faktor produksi. Produktivitas faktor produksi (Total Factor Productivity/TFP) selama 2004 masih menunjukkan peningkatan dari tahun lalu. Hal ini didukung oleh kenaikan produktivitas tenaga kerja, efisiensi modal, serta perbaikan teknologi. Hasil survey World Economic Forum menunjukkan adanya perbaikan peringkat indeks teknologi di antara 104 negara yang disurvei (termasuk negara maju), yaitu dari peringkat 78 pada tahun sebelumnya menjadi peringkat 73 pada 2004.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal tahun 1990-an sampai dengan tahun 1997 cukup menggembirakan. Berdasarkan sumber dari Biro Pusat Statistik Indonesia, sampai tahun 1997 rata – rata pertumbuhan Ekonomi mencapai 7,38 persen per tahun atau 2,4 triliun rupiah per tahun. Pada masa itu perekonomian Indonesia cukup disegani di dunia, dan Indonesia mendapat julukan macan Asia. Tetapi pertumbuhan sebesar itu berakhir ketika krisis ekonomi terbesar yang pernah melanda perekonomian Indonesia yang diawali krisis pada tahun 1997.

Akibat krisis ekonomi yang diawali pada tahun 1997, perekonomian Indonesia memburuk, bahkan pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Idonesia mencapai (13.13) persen per tahun.

Setelah bergulirnya pergerakan reformasi baik di bidang politik maupun ekonomi Indonesia, perekonomian Indonesia perlahan-lahan mengalami pertumbuhan. Meski pada tahun 2000 nyaris tidak ada pertumbuhan, yaitu pertumbuhan sebesar 0.79 persen, atau hanya terjadi kenaikan PDB (Pendapatan Domestik Brutor) sebesar 2.9 triliun rupiah, tetapi keadaan itu berangsur-angsur membaik dan menjadikan rata – rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krsisis – hingga tahun 2005 adalah sebesar 4.03 persen pertahun. Meski belum kembali seperti awal tahun 90-an tapi keadaan ini memberikan suatu harapan baru bagi perekonomian Indonesia untuk pulih dan menjadi lebih baik. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada table 1.

Tabel 1Pendapatan Domestik Bruto dan Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto

Tahun Pendapatan Domestik BrutoPertumbuhan

Milyar Rupiah Persentase 1990 263,262.00    1991 286,765.00 23,503.00 8.93 1992 307,474.00 20,709.00 7.22 1993 329,776.00 22,302.00 7.25 1994 354,640.80 24,864.80 7.54 1995 383,792.00 29,151.20 8.22 1996 413,797.90 30,005.90 7.82 1997 433,245.90 19,448.00 4.70 1998 376,374.90 (56,871.00) (13.13)1999 379,352.50 2,977.60 0.79 2000 398,016.90 18,664.40 4.92 2001 411,691.00 13,674.10 3.44 2002 426,740.50 15,049.50 3.66 2003 447,138.70 20,398.20 4.78 2004 469,719.20 22,580.50 5.05

32

Page 33: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

2005 496,023.48 26,304.28 5.60 Sumber: Hasil Olah data terhadap data PDB pada laporan Statistik Indonesia dari

tahun 1990 sampai dengan tahun 200533

Sektor Industri merupakan sektor utama dalam perekonomian Indonesia. Sektor ini sebagai penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Sebagai gambaran, pada tahun 2005 peran sektor industri pengeolahan diperkirakan mencapai lebih dari seperempat (28,06 persen) komponen pembentukan PDB.

Di Indonesia, industri pengolahan dibagi menjadi empat kelompok, yaitu industri besar, industri sedang, industri kecil dan industri kerajinan rumah tangga. Pengelompokan ini didasarkan pada banyaknya pekerja yang terlibat di dalamnya, tanpa memperhatikan penggunaan mesin produksi yang digunakan atau pun modal yang ditanamkan.

Tabel 2 menyajikan banyaknya perusahaan industri besar/sedang, tenaga kerja yang terlibat di dalamnya. Pada tahun 2004 jumlah perusahaan industri besar dan sedang mencapai 20.865. Pada tahun 2004 tidak semua kelompok industri yang masih mengalami penurunan jumlah perusahaan adalah industri kayu, barang dari kayu, dan barang anyaman, kelompok industri kulit dan barang dari kulit, kelompok industri barang – barang dari logam kecuali mesin dan peralatannya, kelompok industri barang galian bukan logam, dan kelompok industri alat angkutan selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih. Kelompok industri tersebut jumlahnya mengalami penurunan masing-masing 39 perusahaan, 19 perusahaan, 16 perusahaan, dan 12 perusahaan. Sementara untuk tahun 2005 diperkirakan jumlah perusahaan industri besar dan sedang sedikit meningkat menjadi yaitu bertambah 107 perusahaan (0.51 persen) dari tahun 2004.

Peningkatan jumlah perusahaan pada tahun 2004 diikuti dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja, namun pengeluaran untuk tenaga kerja mengalami penurunan penambahan barang modal yang berarti. Pada tahun 2004 pekerja yang terlibat di perusahaan industri besar dan sedang meningkat 1,19 persen yaitu menjadi 4.324.979 sedangkan pengeluaran untuk tenaga kerjanya menurun sekitar 14,07 persen lebih sehingga menjadi 53 triliun rupiah lebih atau rata-rata sekitar 12,27 juta rupiah per karyawan per tahun. Sedangkan pembentukan barang modal tetap menurun lebih dari 70 persen.

Peningkatan pengeluaran untuk pekerja industri Besar dan Sedang terbesar pada tahun 2004 terjadi di sub sektor industri makanan dan minuman, yaitu secara netto meningkat lebih dari 1.17 triliun rupiah. Sementara peningkatan pembentukan modal tetap tertinggi terjadi pada industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia, yaitu meningkat lebih dari 3.8 triliun rupiah. Peningkatan pembentukan modal tetap tidak terjadi di semua kelompok industri. Investasi modal tetap di sub sektor industri kertas dan barang dari kertas, subsektor industri kulit dan barang dari kulit, subsektor industri barang-barang dari logam kecuali mesin dan peralatannya menurun lebih dari setengahnya.

Nilai produksi (output) pada industri besar dan sedang tahun 2004 memperlihatkan peningkatan lebih dari 17 persen, yaitu menjadi 985 triliun rupiah lebih. Peningkatan ini juga meningkatkan biaya input lebih dari 22,4 persen.

33 Biro Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1990 – 2005, Jakarta - Indonesia

33

Page 34: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Nilai produksi barang yang dihasilkan perusahaan industri besar dan sedang menurut harga berlaku pada tahun 2004 meningkat lebih dari 17,57 persen menjadi lebih dari 1.087.572 milyar rupiah. Hal ini diimbangi dengan peningkatan pemakaian bahan baku sebesar 24,4 persen menjadi lebih dari 524 triliun rupiah.

Nilai produksi terbesar dihasilkan oleh sub sektor industri makanan dan minuman, yaitu sekitar 18,06 persen dari total nilai produksi industri besar dan sedang pada tahun 2004 dan diperkirakan pada tahun 2005 sekitar 19,69 persen. Nilai tambah terbesar juga dihasilkan oleh sub sektor industri makanan dan minuman, yaitu sekitar 50 triliun rupiah pada tahun 2004 dan diperkirakan pada tahun 2005 meningkat menjadi sekitar 56 triliun rupiah.

Pada tahun 2004 nilai tambah yang dihasilkan perusahaan industri pengolahan besar dan sedang mengalami peningkatan sekitar 9,8 persen.

Industri pengolahan besar dan sedang pada tahun 2004 menggunakan energi yang terdiri dari bahan bakar listrik, dan gas mencapai niali 45,5 triliun rupiah atau meningkat sekitar 19,87 persen dibandingkan dengan pemakaian pada tahun 2003. Konsumsi energi terbesar pada tahun 2004 terjadi pada sub sektor industri tekstil yaitu mencapai 7,3 triliun rupiah.

Seperti halnya pada industri besar dan sedang, kenaikan jumlah usaha juga terjadi pada industri kecil dan kerajinan rumahtangga tahun 2004 masing – masing sebesar 5 persen dan 0,75 persen. Pada tahun 2005 jumlah industri kecil diperkirakan naik sebesar 7,46 persen sedangkan kerajinan rumahtangga diperkirakan turun 0,30 persen. Berdasarkan data statistik tampak bahwa struktur industri di Indonesia masih didominasi oleh industri rumahtangga yang mencapai sekitar 90,08 persen.

Seiring dengan kenaikan jumlah usaha, jumlah tenaga kerja industri kecil dan industri kerajinan rumahtangga pada tahun 2004 mengalami kenaikan dibandingkan pada tahun 2003. Jumlah tenaga kerja industri kecil tahun 2004 naik sebesar 8,11 persen dan industri kerajinan rumahtangga naik sebesar 0.95 persen. Dengan adanya perubahan jumlah usaha industri kecil dan industri kerajinan rumahtangga pada tahun 2005, maka usaha industri diperkirakan akan menyerap tenaga kerja tambahan sebanyak 1,80 persen untuk industri kecil dan 2,13 persen untuk industri kerajinan rumah tangga.

Nilai produksi industri kecil dan kerajinan rumahtangga pada tahun 2004 mengalami kenaikan masing – masing sebesar 28,08 persen (10.702,4 milyar rupiah) dan 10 persen (4.724,3 milyar rupiah) dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 nilai output industri kecil diperkirakan akan meningkat sebesar 1,63 persen (796,3 milyar rupiah), demikian pula dengan niali output industri kerajinan rumahtangga diperkirakan akan meningkat sebesar 2,34 persen (1.237,1 milyar rupiah).

Pertumbuhan nilai produksi pararel dengan pertumbuhan biaya input. Pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 diperkirakan akan naik lagi sebesar 1,68 persen. Sedangkan nilai tambah industri kerajinan rumahtangga memerlukan tambahan input sebesar 14,33 persen (3.864 milyar rupiah) lebih banyak dari tahun sebelumnya.

Nilai tambah (harga pasar) yang dihasilkan oleh industri kecil mengalami kenaikan sebesar 44,41 persen pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 diperkirakan akan naik lagi sebesar 1,68 persen. Sedangkan nilai tambah industri kerajinan rumahtangga pada tahun 2004 meningkat sebesar 4,07 peresn (860,4 milyar rupiah) dan tahun 2005 diperkirakan meningkat lagi sekitar 2,12 persen (466,6 milyar rupiah)34.

Berdasarkan data statistik yang diterbitkan oleh BPS dalam Statistik Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005, dari jumlah perusahaan dalam industri

34 Ibid., 1990 - 2005

34

Page 35: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

manufaktur, terjadi pertumbuhan rata – rata 0.87 persen per tahun. Meski pada tahun 1998 – sewaktu krisis moneter melanda Indonesia pertumbuhan jumlah industri manufaktur di Indonesia dari sekala besar/sedang, kecil dan rumahtangga mencapai pertumbuhan yang negatif, yaitu (22.82) persen, atau sebanyak 655.926 perusahaan yang gulung tikar.Namun sejalan dengan reformasi yang diupayakan oleh pemerintah Indonesia akhirnya industri manufaktur Indonesia mulai tumbuh kembali. Pasca krisis ekonomi 1998, rata – rata pertumbuhan industri manufaktur mencapai 3.02 persen pertahunnya.

Pertumbuhan jumlah perusahaan pada industri manufaktur tersebut secara langsung juga berdampak atas tumbuhnya penanaman modal tetap, penggunaan bahan baku (biaya masukan), penggunaan jumlah tenaga kerja, pengeluaran terhadap tenaga kerja dan hasil produksi industri itu sendiri.

Pertumbuhan modal tetap rata – rata pada industri manufaktur dari tahun 1990 sampai tahun 2005 adalah sebesar 3,99 triliun rupiah pertahun. Pertumbuhan penggunaan modal tetap ini juga diikuti dengan pertumbuhan penggunaan biaya masukan pada industri manufaktur. Berdasarkan data statistik, pertumbuhan penggunaan biaya masukan pada industri manufaktur adalah sebesar 21,34 persen pertahun atau sebesar 42,42 triliun rupiah per tahun.

Seiring dengan pertumbuhan jumlah perusahaan pada industri manufaktur dan juga penambahan modal tetap baru yang digunakan dalam industri manufaktur tersebut, maka hasil produksi industri manufaktur juga mengalami pertumbuhan setiap tahunnya – kecuali pada tahun 2003 terjadi penurunan dari hasil produksi industri manufaktur sebesar 4.01 persen dibanding tahun sebelumnya – dengan rata-rata pertumbuhan dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 sebesar 23,87 persen setiap tahunnya

Tabel 2 Jumlah Perusahaan pada Industri Manufaktur di Indonesia dan Pertumbuhannya

(1990 – 2005)

Tahun Jumlah Perusahaan Pertumbuhan

Besar/Sedang Kecil Rmh Tangga Total Angka Persen

1990 14,676 122,68

1 2,350,9

84 2,488,34

1 -  

1991 16,536 122,68

1 2,350,9

84 2,490,20

1 1,860 0.0

7

1992 16,494 122,68

1 2,350,9

84 2,490,15

9 (42) (0.0

0)

1993 18,163 124,99

0 2,353,5

59 2,496,71

2 6,553 0.2

6

1994 19,017 168,15

4 2,372,2

18 2,559,38

9 62,677 2.5

1

1995 21,551 190,76

7 2,413,3

15 2,625,63

3 66,244 2.5

9

1996 22,997 228,97

8 2,501,5

69 2,753,54

4 127,911 4.8

7 1997 22,386 241,16 2,610,6 2,874,24 120,704 4.3

35

Page 36: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

9 93 8 8

1998 21,423 194,56

4 2,002,3

35 2,218,32

2 (655,926

) (22.8

2)

1999 22,070 225,60

3 2,290,6

72 2,538,34

5 320,023 14.4

3

2000 22,174 240,08

8 2,358,6

16 2,620,87

8 82,533 3.2

5

2001 21,396 230,72

1 2,307,5

62 2,559,67

9 (61,199) (2.3

4)

2002 21,146 238,58

2 2,490,1

18 2,749,84

6 190,167 7.4

3

2003 21,126 235,85

1 2,406,0

58 2,663,03

5 (86,811) (3.1

6)

2004 20,685 247,64

0 2,424,0

20 2,692,34

5 29,310 1.1

0

2005 20,792 266,10

2 2,416,7

08 2,703,60

2 11,257 0.4

2 Rerata 14,351 0.87

Sumber ; Hasil olah data terhadap data jumlah perusahaan manufaktur di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 35

Tabel 3Jumlah Modal Tetap Baru dalam Industri Manufaktur di Indonesia

1990 – 2005(Milyar Rupiah)

Tahun Penambahan

1990 7,037.351991 8,693.80 1992 12,757.83 1993 8,226.61 1994 10,704.48 1995 11,373.00 1996 0 1997 19,019.00 1998 93,955.00 1999 39,311.00 2000 55,345.00 2001 30,263.00 2002 71,690.00 2003 206,388.00 2004 60,663.00 2005 69,195.00

35 Ibid., 1990 – 2005

36

Page 37: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Sumber ; Hasil olah data terhadap data Perubahan Modal Tetap pada industri manufaktur di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 36

Tabel 4Hasil Produksi Perusahaan pada Industri Manufaktur di Indonesia

1990 - 2005

Tahun Nilai produksi Perusahaan Pertumbuhan

Besar/Sedang Kecil R. Tangga Total Rp Persen 1990 56,923.97 - - 56,923.97 -  1991 70,515.41 4,193.11 5,893.42 80,601.94 23,677.97 41.60 1992 86,250.99 4,193.11 5,893.42 80,601.94 - - 1993 135,864.38 4,378.37 6,357.66 146,600.41 65,998.47 81.88 1994 155,825.00 10,015.91 9,827.54 175,668.45 29,068.04 19.83 1995 194,680.00 11,707.65 10,035.12 216,422.77 40,754.33 23.20 1996 244,011.00 14,015.67 10,717.72 268,744.39 52,321.62 24.18 1997 264,271.00 14,857.73 11,311.88 290,440.61 21,696.22 8.07 1998 430,273.00 21,530.76 22,620.27 474,424.03 183,983.42 63.35 1999 488,212.00 24,784.35 26,297.08 539,293.43 64,869.40 13.67 2000 628,808.00 28,726.19 28,593.07 686,127.26 146,833.83 27.23 2001 722,360.00 34,618.53 32,472.83 789,451.36 103,324.10 15.06 2002 882,476.00 41,774.26 39,385.42 963,635.69 174,184.33 22.06

2003 838,804.00 38,106.83 48,093.23 925,004.07 (38,631.62) (4.01)

2004 985,946.00 48,809.19 52,817.66 1,087,572.85 162,568.78 17.57 2005 1,031,918.00 49,605.53 54,054.76 1,135,578.28 48,005.44 4.41

Rata - rata 71,910.29 3.87 Sumber ; Hasil olah data terhadap data Hasil Produksi industri manufaktur di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 37

Pada awal-awal tahun 90-an, rata – rata pertumbuhan nilai investasi baru, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri, di Indonesia mencapai 14,72 triliun rupiah per tahun, atau 20,32 persen per tahun. Pada masa krisis tahun 1998, nilai investasi baru di Indonesia terpuruk, turun sebesar (51,40) persen, atau senilai 78,57 triliun rupiah. Pasca krisis sampai dengan tahun 2005 pertumbuhan nilai investasi baru di Indonesia mencapai 7,54 persen pertahunnya. Rata – rata pertumbuhan investasi baru di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 adalah sebesar 9,57 persen per tahun, atau sejumlah 954,84 milyar rupiah per tahun. Untuk lebih lengkapnya lihat tabel 4.5

Tabel 5.Jumlah Investasi Baru yang Disetujui di Indonesia

1990 – 2005(dalam Milyar Rupiah)

36 Ibid., 1990 – 200537 Ibid., 1990 – 2005

37

Page 38: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Tahun PMA PMDN TotalPertumbuhanRp Persen

1990 8,750.

10 41,084

.00 49,834.1

0    

1991 8,778.

20 41,077

.90 49,856.1

0 2

2.00

0.04

1992 8,297.

80 29,341

.00 37,638.8

0 (12,21

7.30) (2

4.51)

1993 8,165.

80 39,401

.30 47,567.1

0 9,92

8.30

26.38

1994 21,986.

40 53,286

.63 75,273.0

3 27,70

5.93

58.25

1995 40,629.

00 69,870

.00 110,499.0

0 35,22

5.97

46.80

1996 29,776.

90 100,499.

40 130,276.3

0 19,77

7.30

17.90

1997 33,126.

90 119,755.

50 152,882.4

0 22,60

6.10

17.35

1998 13,556.

50 60,748

.50 74,305.0

0 (78,57

7.40) (5

1.40)

1999 10,891.

40 55,600

.30 66,491.7

0 (7,81

3.30) (1

0.52)

2000 15,279.

00 88,294

.70 103,573.7

0 37,08

2.00

55.77

2001 15,043.

90 58,674

.00 73,717.9

0 (29,85

5.80) (2

8.83)

2002 9,744.

10 25,262

.30 35,006.4

0 (38,71

1.50) (5

2.51)

2003 13,207.

20 48,484

.80 61,692.0

0 26,68

5.60

76.23

2004 10,277.

30 36,747

.60 47,024.9

0 (14,66

7.10) (2

3.77)

2005 13,579.

30 50,577

.40 64,156.7

0 17,13

1.80

36.43

Rata - rata 95

4.84

9.57 *) Sumber : Bank Indonesia dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia

Korelasi bertujuan untuk melihat proporsi dari variasi total atau dispersi dari variabel terikat yang bisa dijelaskan oleh variasi variabel penjelas dalam regresi, atau dengan kata lain, korelasi antara dua variabel menunjukkan bagaimana pengaruh dari satu variabel bebas terhadap variabel terikatnya, dalam hal ini untuk melihat bagaimana pengaruh jumlah perusahaan terhadap pertumbuhan ekonomi. Analisis pengaruh jumlah

38

Page 39: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

perusahaan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ini dilakukan dengan menghubungkan jumlah perusahaan yang ada pada industri manufaktur Indonesia dengan Produk Domestik Bruto (PDB), dengan asumsi untuk melihat sejauh mana perubahan jumlah perusahaan yang ada pada industri manufaktur terhadap perubahan atau pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Hasil analisa dengan menggunakan metode korelasi Pearson (Tabel 6) menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah perusahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Bahkan untuk tingkat keyakinan 95 persen, nilai korelasi positif sebesar 0,6 adalah signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan para wirausahaan yang ditunjukkan oleh jumlah perusahaan yang berada dalam industri pengolahan/manufaktur memiliki pengaruh yang signifikan atas pendapatan nasional. Artinya jika jumlah perusahaan pada industri manufaktur bertambah, maka jumlah pendapatan nasional akan bertambah. Akibat dari pertambahan pendapatan nasional ini adalah pertumbuhan ekonomi. Sehingga, jika pemerintah ingin membuat perekonomian Indonesia tumbuh dan berkembang, maka salah satu hal yang harus dilakukan pemerintah adalah merangsang lahirnya para wirausahawan baru yang mampu mendirikan usaha baru yang nantinya akan menyerap banyak tenaga kerja yang berarti juga meningkatkan kesejahteraan banyak orang. Jika kesejahteraan masyarakat meningkat, maka semakin mampulah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga keluaran/produk dari berbagai industri dapat dikonsumsi oleh masyarakat, dimana atas keuntungan yang diperoleh perusahaan dari penjualan produknya kepada masyarakat pemerintah memperoleh pemasukan dana yang berasal dari pajak atas keuntungan perusahaan – perusahaan dalam industri dan pemasukan ini dapat digunakan untuk membiayai pembangunan. Belum lagi jika produk dari perusahaan – perusahaan yang didirikan oleh para wirausahawan itu mampu dijual (export) ke luar negeri, hal ini akan mendatangkan devisa bagi negara.

Tabel 6Korelasi Jumlah Perusahaan dengan Pendapatan Nasional

Variabel Keterangan PDB

Jumlah perush. Industri

Manufaktur di Indonesia

PDB Pearson Correlation 1 0.60610751  Sig. (2-tailed) . 0.012817913

 Sum of Squares & Cross-products 63685705539 89871063336

  Covariance 4245713703 5991404222  N 16 16Jumlah Perush Industri Pearson Correlation 0.60610751 1Manufaktur di Indonesia Sig. (2-tailed) 0.012817913 .

 Sum of Squares and Cross-products 89871063336 3.45222E+11

  Covariance 5991404222 23014800066  N 16 16*Korelasi signifikan pada tingkat probabilitas 0.05 (2-tailed)

39

Page 40: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Dalam teori makro ekonomi, perhitungan keluaran nasional adalah dengan menjumlahkan konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan nilai ekspor bersih, yang diformulasikan dengan Y = C + I + G + X – IM. Hal ini berarti bahwa investasi adalah salah satu variabel yang mempengaruhi keluaran suatu negara. Jika investasi naik, maka Y akan naik. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa investasi yang ada di suatu negara digerakkan oleh aktivitas kewirausahaan oleh para wirausahawan

Hasil pengolahan data statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai investasi memiliki pengaruh positif terhadap pendapatan nasional Indonesia dengan nilai korelasi sebesar 0.28. Hasil korelasi yang diperoleh tidaklah signifikan secara statistik. Hal ini mungkin disebabkan karena data yang digunakan adalah data investasi yang disetujui yang belum tentu terealisasi dalam perekonomian, namun data ini digunakan sebagai pendekatan terhadap nilai investasi baru sesungguhnya terjadi dalam perekonomian Indonesia. Hasil korelasi statistik ini meskipun tidak signifikan tetapi telah menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah pertumbuhan nilai investasi yang masuk ke Indonesia. Seperti jika kita mengacu pada teori Makro ekonomi yang mengatakan keluaran nasional adalah hasil dari penjumlahan konsumsi masyarakat, pemerintah, ekspor bersih dan investasi. Untuk itu, meskipun hasil korelasi data statistiknya tidak signifikan, maka kita harus kembali pada teori makro ekonomi yang mengatakan bahwa investasi adalah salah satu variabel untuk menghitung keluaran nasional dan jika jumlah investasi naik maka keluaran nasional pun akan naik – pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, pemerintah harus merangsang para wirausahawan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri untuk mau berinvestasi di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan pemerintah dengan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pemilik dana (investor) yang menanamkan uangnya di Indonesia, selain itu juga mempermudah proses penanaman modal itu sendiri. Jika investasi bertambah, maka para investor tersebut dapat memberikan suntikan dana pada industri. Suntikan dana ini bisa saja digunakan untuk memperluas usaha atau mendirikan usaha baru. Perluasan usaha atau pendirian usaha baru ini juga akan mencipatakan lapangan kerja bagi banyak orang di Indonesia yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan negara.

Tabel 7Korelasi Jumlah Investasi dengan Pendapatan Nasional

Variabel Keterangan PDBJumlah Investasi Barudalam Perekonomian

IndonesiaPDB Indonesia Pearson Correlation 1 0.28852028  Sig. (2-tailed) . 0.278488055

 Sum of Squares and Cross-products 63685705539 9587172352

  Covariance 4245713703 639144823.5  N 16 16Jumlah Investasi Pearson Correlation 0.28852028 1

40

Page 41: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Barudalam Perekonomian Indonesia Sig. (2-tailed) 0.278488055 .

 Sum of Squares and Cross-products 9587172352 17337497622

  Covariance 639144823.5 1155833175  N 16 16

Modal tetap adalah modal yang digunakan oleh para wirausahawan (pengusaha) untuk menunjang kegiatan operasinya. Modal tetap ini dapat berupa gedung pabrik, mesin, tanah dan lain sebagainya. Jika kegiatan perusahaan semakin besar, maka akan semakin banyak modal yang tetap yang diperlukan.

Dilihat dari fungsi produksi – seperti yang sudah dijelaskan pada bab dua, bahwa Y = F (K, N). Hal ini berarti bahwa dalam satu proses produksi, modal (K) memiliki peranan penting. Modal tetap adalah salah satu jenis modal yang digunakan para wirausahawan untuk mendukung aktivitas operasionalnya. Berdasarkan teorinya, kenaikan K adalah salah satu faktor yang akan menaikkan produksi (keluaran). Sehingga, jika ingin menaikkan tingkat produksinya, maka harus menambah modal – selain tenaga kerja, salah satu pilihannya adalah dengan menambah modal tetap. Jika produksi nasional naik, maka akan terjadi pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Alasannya adalah, jika produksi naik maka akan semakin banyak barang/jasa yang dihasilkan oleh negara tersebut sehingga, jika semakin banyak keluarannya, maka negara tersebut akan semakin mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan mengurangi ketergantungannya akan barang – barang yang didatangkan dari luar negeri sehingga negara tidak kehilangan devisanya. Bahkan jika keluaran nasional tersebut dapat diekspor, maka akan mendatangkan devisa bagi negara. Jika ekspor semakin besar, semakin banyak dana yang masuk ke Indonesia, semakin tinggilah pendapatan nasional dan semakin bertumbuhlah perekonomian negara.

Hasil pengolahan data statistik menunjukkan bahwa jumlah modal tetap baru yang digunakan oleh industri manufaktur memiliki pengaruh positif terhadap Pendapatan Nasional Indonesia. Nilai korelasi 0,508 pada tingkat keyakinan 95 persen adalah signifikan. Hal ini berarti bahwa bahwa pengadaan modal tetap baru memiliki pengaruh yang signifikan atas perubahan dari Pendapatan nasional, yang berarti jika ingin meningkatkan pendapatan nasional yang sekaligus berarti pertumbuhan ekonomi, maka salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah jumlah modal tetap baru yang digunakan oleh para wirausahawan dalam proses produksinya. Karena, jika para wirausahawan menambah modal tetap yang dimilikinya sampai proporsi tertentu, maka hal itu berarti bahwa organisasi (perusahaan) yang dikelola oleh para wirausahawan tersebut mengalami pertumbuhan. Jika semakin banyak organisasi yang dikelola oleh para wirausahawan (perusahaan) bertumbuh maka akan memberikan pengaruh atas pertumbuhan ekonomi suatu negara, dan dalam hal ini Indonesia. Hasil uji statistik ini juga berarti, jika pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka pemerintah harus merangsang para wirausahawan agar para wirausahawan itu dapat meningkatkan kegiatan usahanya. Hasil analisis statistik untuk selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8

41

Page 42: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Korelasi Jumlah Modal Tetap Baru Pada Industri Manufaktur dengan Pendapatan Nasional

Variabel Keterangan PDB

Jumlah Modal Tetap Barudalam Industri Manufaktur

PDB Pearson Correlation 1 0.507602949  Sig. (2-tailed) . 0.044731238

 Sum of Squares and Cross-products 63685705539 25774824660

  Covariance 4245713703 1718321644  N 16 16Jumlah Modal Tetap Baru Pearson Correlation 0.507602949 1dalam Industri Manufaktur Sig. (2-tailed) 0.044731238 .

 Sum of Squares and Cross-products 25774824660 40485658006

  Covariance 1718321644 2699043867  N 16 16

*korelasi signifikan pada tingkat signifikan 0,05Hasil produksi industri manufaktur mencerminkan hasil usaha yang dilakukan

oleh para wirausahawan dalam kegiatan produksinya, yang tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar yang ditujunya. Hasil produksi ini dinilai dengan hasil rupiah yang mampu dihasilkan oleh para wirausahawan melalui produk yang dihasilkannya.

Hasil produksi ini akan memberikan kontribusi bagi pendapatan nasional. Salah satu alasannya adalah penghasilan pajak yang diperoleh pemerintah atas laba yang diperoleh perusahaan dari hasil menjual produknya. Pajak masih menjadi penyumbang terbesar dalam pendapatan nasional di Indonesia, dan pajak dari industri adalah salah satu penyumbang terbesar penghasilan pemerintah dari pajak selain pajak atas bumi dan bangunan (PBB).

Selain hal di atas, jika produk yang dihasilkan oleh perusahaan diterima masyarakat, maka masyarakat akan membelinya dan terjadilah kegiatan konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat, juga konsumsi pemerintah (misalnya dalam pengadaan barang-barang yang diperlukan instansi pemerintah dalam menjalankan kegiatannya) atau bahkan konsumsi yang dilakukan oleh industri. Konsumsi adalah salah satu indikator dalam perhitungan keluaran nasional, dan konsumsi masyarakat atas produk – produk yang dihasilkan oleh para wirausahawan (perusahaan), konsumsi pemerintah dalam melakasanakan aktivitas pelayanannya, dan konsumsi industri dalam proses operasi dan produksinya merupakan salah satu penyumbang besaran konsumsi dalam satu perekonomian, khususnya Indonesia. Dan, Jika konsumsi meningkat maka hal itu berarti keluaran nasional (pendapatan nasional) juga akan meningkat.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa hasil produksi industri manufaktur memiliki korelasi positif terhadap pendapatan nasional. Nilai korelasinya adalah 0.84 (tabel 9). Untuk tingkat keyakinan 95 persen nilai korelasi ini sangat signifikan. Hal ini

42

Page 43: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

berarti bahwa perubahan hasil produksi industri manufaktur akan sangat mempengaruhi perubahan pendapatan nasional. Untuk itu, jika pemerintah ingin mengusahakan pertumbuhan ekonomi Indonesia maka pemerintah harus merangsang para wirausahawan untuk melakukan kegiatan usahanya (berproduksi) di Indonesia baik itu pengusaha lokal maupun pengusaha asing, menciptakan iklim usaha yang kondusif dan memberikan jaminan perlindungan hukum atas kegiatan usaha para wirausahawan tersebut.

Tabel 9.Korelasi Hasil Produksi Industri Manufaktur Indonesia dengan Pendapatan Nasional

Variabel Keterangan PDB

Hasil Produksi Industri

Manufaktur Indonesia

PDB Pearson Correlation 1 0.842699577  Sig. (2-tailed) . 4.17086E-05

 Sum of Squares and Cross-products 63685705539 3.16932E+11

  Covariance 4245713703 21128801688  N 16 16Hasil Produksi Pearson Correlation 0.842699577 1Industri Manufaktur Indonesia Sig. (2-tailed) 4.17086E-05 .

 Sum of Squares and Cross-products 3.16932E+11 2.22098E+12

  Covariance 21128801688 1.48065E+11  N 16 16

*) Nilai korelasi sudah signifikan untuk tingkat keyakinan 0.01 persen

Analisis regresi bertujuan untuk melihat seberapa kuat hubungan dari perubahan variabel – variabel bebas terhadap perubahan variabel terikatnya. Dalam hal ini untuk melihat hubungan antara variabel – variabel kewirausahaan dengan pendapatan nasional Indonesia sehingga dapat menggambarkan bagaimana perubahan pada masing – masing variabel kewirausahaan itu terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hasil regresi menghasilkan persamaan dari variabel – variabel kewirausahaan dalam hubungannya dengan pendapatan nasional Indonesia yang selanjutnya dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan pada masing-masing variabel kewirausahaan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ditunjukkan dengan persamaan regresi :

Y = 102.554,9 + 0,06 X1 + 0,73 X2 + 0,03 X3 + 0,14 X4 (1,25) (3,72) (0,22) (6,35)

Nilai t hitung untuk masing variabel adalah 1,25 (X1), 3,72 (X2), 0,22 (X3), 6,35

(X4). Dimana nilai ttest dari masing – masing varabel bebas terhadap variabel terikatnya yang diperoleh dengan menggunakan tabel statistik adalah 3,48. Nilai t hitung untuk

43

Page 44: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

dua variabel kewirausahaan yaitu jumlah investasi (X2) dan hasil produksi (X4) memiliki hubungan yang signifikan atas pendapatan nasional karena memiliki nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabelnya. Sehingga jika nilai investasi dan hasil produksi ditingkatkan, maka akan meningkatkan pendapatan nasional – pertumbuhan ekonomi.

Variabel lainnya yaitu jumlah perusahaan (X1) dan jumlah modal tetap baru (X2) memiliki nilai thitung yang lebih kecil dari nilai t tabelnya. Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan langsung yang signifikan antara kedua variabel tersebut terhadap pendapatan nasional tetapi memiliki pengaruh yang signifikan yang ditunjukkan dengan nilai korelasi yang signifikan pada tingkat keberartian 95 persen. Artinya, jumlah perusahaan yang ada dalam perekonomian Indonesia dan jumlah modal tetap baru yang digunakannya tidak akan berhubungan langsung atas pendapatan nasional Indonesia, tetapi kedua variabel tersebut memberikan pengaruh yang signifikan atas kenaikan atau penurunan pendapatan nasional. Hal ini disebabkan oleh karena pertumbuhan atau perubahan terhadap modal sendiri tidak dapat mendukung pertumbuhan, karena tingkat pengembalian modal yang semakin berkurang.

Hal ini bukan berarti pertumbuhan modal tetap tidak mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, karena bisa saja pertumbuhan modal tetap ini adalah variabel perantara terhadap variabel lainnya. Variabel tersebut disinyalir adalah perantara terhadap variabel lainnya, yaitu hasil produksi yang dihasilkan oleh perusahaan yang telah teruji memiliki hubungan yang signifikan dan pengaruh yang signifikan dengan pendapatan nasional juga dengan pertumbuhan ekonomi.

Nilai R2 ini menerangkan bahwa 92 persen dari variasi total dalam pendapatan nasional – pertumbuhan ekonomi Indonesia, dipengaruhi oleh variasi dari variabel-variabel kewirausahaan. Hal ini berarti bahwa pengaruh variabel – variabel kewirausahaan pada pertumbuhan ekonomi secara agregat adalah sebesar 92 persen, dan 8 persen sisanya adalah variabel-variabel lain yang turut mempengaruhi pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Selain hal diatas, nilai R2 disesuaikan sebesar 0,89 menunjukkan bagaimana besaran derajat kebebasan regresi dengan masuknya variabel-variabel penjelas tersebut kedalam regresi. Nilai sebesar itu menunjukkan bahwa variabel-variabel yang masuk dalam regresi adalah variabel-variabel penjelas yang penting.

Analisis ini menggunakan statistik F (F statistik), atau rasio F, yang digunakan untuk melihat tingkat signifikan atau tidaknya variasi dari semua variabel bebas terhadap variabel terikat. Dengan menggunakan R2 disesuaikan = 0.89 , n=16, k=5, nilai F yang diperoleh adalah 32,19. Untuk membandingkan nilai F hitung dari regresinya dengan nilai kritis dari tabel distribusi F, yang didefenisikan sebagai 2 df. k – 1 untuk pembilangnya, dan n – k untuk penyebutnya. Dari tabel df dengan tingkat keberartian 5 persen, dengan menggunakan tabel distribusi F, maka diperoleh nilai kritis F sebesar 3,01. Karena nilai F kritis lebih besar dari nilai F hitung, maka terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara variabel bebas dengan variabel terikat.

Jika dilihat dari hasil uji regresi, maka akan terlihat bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel – variabel kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hubungan yang signifikan ini berarti sumbangan dari variabel –variabel tersebut terhadap perubahan/pertumbuhan pendapatan nasional adalah signifikan. Sehingga untuk meningkatkan pendapatan nasional – pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah harus memperhatikan keempat variabel ini.

44

Page 45: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hipotesis awal, yaitu bahwa variabel–variabel kewirausahaan mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, bukan berfokus untuk melihat hubungan dari variabel–variabel kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi tetap mencoba melihat bagaimana hubungan dari variabel-variabel kewirausahaan itu terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilakukan sebab pada kenyataannya, selain variabel – variabel yang digunakan dalam penelitian ini, banyak lagi hal-hal (variabel – variabel) yang mempunyai hubungan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara, misalnya stabilitas politik suatu negara, keamanan suatu negara, peraturan dan perundang – undangan yang berlaku, kondisi perekonomian secara keseluruhan, yaitu tingkat konsumsi, nilai ekspor bersih dan lain sebagainya.

Hasil penelitian yang dilakukan dengan mengunakan data-data yang tersedia menunjukkan:1. Nilai korelasi dari variabel – variabel kewirausahaan yang digunakan dalam

penelitian ini, yaitu jumlah perusahaan industri manufaktur, jumlah investasi baru di Indonesia, jumlah modal modal tetap baru, dan hasil produksi dari sektor industri manufaktur – memiliki nilai korelasi yang positif, yang berarti bahwa variabel – varaibel tersebut memiliki pengaruh yang positif terhadap pendapatan nasional Indonesia, sehingga jika ingin membuat perekonomian Indonesia bertumbuh, maka jumlah dari masing-masing variabel tersebut harus ditingkatkan - dimana faktor-faktor lainnya dianggap tetap. Hal ini berarti hipotesis yang menyatakan bahwa variabel – variabel kewirausahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia diterima.

2. Hasil regresi variabel – variabel kewirausahaan dan Pendapatan Nasional Indonesia menunjukkan hubungan yang signifikan antara varibel – variabel kewirausahaan tersebut dengan pendapatan nasional. Hal ini berarti untuk menumbuhkan perekonomian, pertambahan dari variabel – variabel ini secara signifikan akan mempengaruhi peningkatan/pertumbuhan pendapatan nasional di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Azahari , D. H. (2005). “Diversifikasi Produk dan Pengembangan Infrastruktur Kelapa Sawit”. Dalam A. Chandra dan V. Widyani (Eds.), Prediksi dan Rekomendasi Revitalisasi Industri Kelapa Sawit Indonesia Sebagai Andalan Pertumbuhan Ekonomi Nasional 2010-2020. Jakarta.

Bangun, D. (2005). “Peta Terkini Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit Indonesia”. Dalam A. Chandra dan V. Widyani (Eds.), Prediksi dan Rekomendasi Revitalisasi Industri Kelapa Sawit Indonesia Sebagai Andalan Pertumbuhan Ekonomi Nasional 2010-2020. Jakarta.

Brutton, Henry J. (1990). “Import Substitution as a Development Strategy”. in Hollis Chenery and T. N. Srinivasan (1989). Handbook of Development Economics, Vol. II. Elsevier Science B. V. Amsterdan. The Netherlands.

45

Page 46: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Christanto, Joko. (2002).“ Otonomi Daerah dan Skenario Indonesia 2010 Dalam Konteks Pembangunan Daerah Dengan Pendekatan Kewilayahan (Regional Development Approach)”. Bogor.

Chung, Yih-Chyi (1999). “The Role of Human Capital in Economic Development : Evidence From Taiwan”. Asian Economic Journal. Taiwan.

Colman, David and Frederick Nixson. (1986). “Economics of change in Less Developed Countries.” Second Edition. Barnes and Noble Books.

Gujarati, Damodar. (1978). “Basic Econometrics”. McGraw-Hill. New York.

Hirschman, Albert O. (1958). “The Strategy of Economic Development”. Yale University Press. New Haven, Connecticut.

Kasryno, Faisal. (2004). “The Linkage Between Agriculture Development, Poverty Alleviation and Employment”. Paper presented at the workshop on “Agriculture Policy for The Future” on February 12 – 13, 2004 in Jakarta.

Kmenta, Jan. (1986). “Element of Econometrics”. Second Edition. Macmillan Publishing Company. New York.

Krisnamurthi, Bayu. “Peran Pembangunan Pertanian Dalam Pembangunan Industri dan Daerah : Pelajaran Dari Kasus Cianjur dan Subang.” Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor. 2003.

Lubis, A. U. dan P. M. Naibaho. (1995). “Prospek Pengembangan Industri Hilir Pengolah Kelapa Sawit”. Makalan Seminar Nasional Peluang dan Tantangan Industri Kelapa Sawit Menyongsong Abad XXI, PPKS dan GAPKI. Medan.

Lukmana, A. (1995). “Kebijaksanaan Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit”. Makalan Seminar Nasional Peluang dan Tantangan Industri Kelapa Sawit Menyongsong Abad XXI, PPKS dan GAPKI. Medan.

Manurung, Togu E. G. (2001). “Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Environmental Policy and Institutional Strengthening IQC. Jakarta.

Mellor, John W. (2004). “Agriculture Policy For The Future”. Jakarta.

Mubyarto. (1989). “Pengantar Ekonomi Pertanian”. LP3ES. Jakarta.

46

Page 47: BAB I - SISFO UHNakademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JURNAL/6_Manajemen... · Web viewMeskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisiensi

Pahan, Iyung. (2008). “Panduan Lengkap Kelapa Sawit : Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir”. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rasyid, A. (2005). “Aspek Pembiayaan dalam Pengembangan Industri Kelapa Sawit”. Dalam A. Chandra dan V. Widyani (Eds.), Prediksi dan Rekomendasi Revitalisasi Industri Kelapa Sawit Indonesia Sebagai Andalan Pertumbuhan Ekonomi Nasional 2010-2020. Jakarta.

Saragih, Bungaran. (1998). “Agribisnis : Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian”. Yayasan Mulia Persada Indonesia dan PT. Surveyor Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan. Jakarta.

Sjo, John. (1986). “Economics for Agriculturalists : a beginning text in Agriculture Economics. “ John Wiley and Sons. New York.

Susila, Wayan R. (2004). “Contribution of Oil Palm Industry To Economic Growth and Poverty Alleviation in Indonesia”. Jurnal Litbang Pertanian 23 (3). Jakarta.

Susila, Wayan R. (2004). “Peluang Investasi Bisnis Kelapa Sawit di Indonesia”. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Jakarta.

Timmer, C. P. (1988). “The Agricukture Transformation”. in Hollis Chenery and T. N. Srinivasan (1989). Handbook of Development Economics, Vol. I. Elsevier Science B. V. Amsterdan. The Netherlands.

Warr, Peter (2006). “Productivity Growth in Thailand and Indonesia : How Agriculture Contributes to Economic Growth”. The Australian Agriculture and Resource Economics Society. Sidney. Auastralia.

47