BAB I PENGANTAR -...

23
1 BAB I PENGANTAR A. Latar belakang Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Melalui pendidikan diharapkan manusia memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tercantum pada Bab 1 Pasal 20 yaitu “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.” Oleh karena itu diperlukan suatu lingkungan belajar yang memiliki peran dalam mensejahterakan siswa, sehingga siswa yang belajar dapat mengikuti proses pembelajaran sampai akhir jenjang pendidikan dengan hasil yang terbaik. Pengaruh sekolah sebagai salah satu lingkungan belajar siswa dalam kesehatan, kesejahteraan dan perkembangan siswa membuat WHO (World Health Organization) memberikan perhatian khusus dengan dilakukannya Promosi Kesehatan Sekolah (Health-Promoting Schools). Program Health-Promoting Schools ini memiliki tujuan untuk meningkatkan jumlah sekolah yang dapat mempromosikan kesehatan dengan karakteristik sekolah yang mampu memperkuat kapasitasnya sebagai lingkungan yang sehat dalam kehidupan, pembelajaran dan tempat kerja

Transcript of BAB I PENGANTAR -...

Page 1: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar belakang

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat penting

untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Melalui pendidikan diharapkan

manusia memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang sangat diperlukan

untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional tercantum pada Bab 1 Pasal 20 yaitu “Pembelajaran

adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada

suatu lingkungan belajar.” Oleh karena itu diperlukan suatu lingkungan belajar yang

memiliki peran dalam mensejahterakan siswa, sehingga siswa yang belajar dapat

mengikuti proses pembelajaran sampai akhir jenjang pendidikan dengan hasil yang

terbaik.

Pengaruh sekolah sebagai salah satu lingkungan belajar siswa dalam

kesehatan, kesejahteraan dan perkembangan siswa membuat WHO (World Health

Organization) memberikan perhatian khusus dengan dilakukannya Promosi

Kesehatan Sekolah (Health-Promoting Schools). Program Health-Promoting Schools

ini memiliki tujuan untuk meningkatkan jumlah sekolah yang dapat mempromosikan

kesehatan dengan karakteristik sekolah yang mampu memperkuat kapasitasnya

sebagai lingkungan yang sehat dalam kehidupan, pembelajaran dan tempat kerja

Page 2: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

2

(WHO, 1998). Dengan adanya program tersebut, WHO berharap dapat menjadikan

sekolah sebagai lingkungan belajar yang mampu memberikan kontribusi bagi siswa

sebagai generasi penerus bangsa yang berpendidikan dan sehat.

Program WHO ini telah menjadi latar belakang dari terbentuknya konsep

model teoritis yaitu kesejahteraan sekolah (school well-being) yang berdasarkan

konsep kesejahteraan secara sosiologis (Konu & Rimpela, 2002). Model school well-

being yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002) melihat kesejahteraan dari

sudut pandang siswa yang terdiri dari empat aspek yaitu having (kondisi sekolah),

loving (hubungan sosial), being (pemenuhan diri), dan health (kesehatan). Konsep

tersebut memiliki harapan bahwa kesejahteraan sekolah siswa lebih penting, yaitu

perasaan siswa dalam menilai kelayakan sekolah mereka sebagai lingkungan

belajar yang mampu memberikan dukungan, rasa aman, dan nyaman.

School well-being yang diambil dari sudut pandang siswa dapat menjadi

terobosan pengembangan evaluasi sekolah karena siswa adalah konsumen dalam

pelayanan pendidikan, sehingga penting penilaian subjektif mereka untuk memenuhi

program health-promoting school (Konu & Lintonen, 2005).

Penilaian subjektif siswa tentang sekolah dalam hal ini yaitu tentang

pelayanan dan fasilitas sekolah yang diharapkan mampu menunjang proses

pembelajaran di lingkungan sekolah sangatlah penting, karena dengan adanya

dukungan fasilitas sekolah diharapkan siswa memiliki rasa puas dalam lingkungan

belajarnya (Owoeye & Yara, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Konu dan

Lintonen (2005) mengungkapkan kondisi fisik sekolah yang paling perlu ditingkatkan

adalah ventilasi, fasilitas toilet, dan suhu, yang merupakan beberapa indikator dari

Page 3: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

3

aspek having yang mempengaruhi kepuasan siswa dalam The School Well-being

Profile.

Demikian pula dalam penelitian awal yang dilakukan peneliti pada siswa

SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

ketidakpuasan pada fasilitas sekolah seperti pada siswa SMPN B Yogyakarta

berinisial TI yang menyampaikan pendapatnya sebagaio berikut :

“lapangan kurang luas, dijadikan toilet dan musholla umum, banjir jika hujan, karpet di masjid bau, halaman depan sekolah dijadikan parkir bus dan membuat sesak nafas karena asap bus”.

Pendapat lain dari siswa SMPN K Yogyakarta berinisial FDA menyampaikan

pendapat dari sudut pandang lain dalam ketidakpuasan dengan sekolahnya, yaitu:

“hampir semua bagian dari sekolah ini memiliki banyak kekurangan terutama sekolah ini terletak di sebelah jalan raya yang berarti saya harus kebisingan setiap harinya”.

Pendapat siswa dari SMPN D Yogyakarta berinisial AFM menyatakan

ketidakpuasannya yaitu :

“kantinnya terlalu kecil →jajan jadi berdesakan, ruang kelasnya kurang mencukupi,

tata tertib terlalu menekan, kamar mandinya bau, kecil dan jumlahnya sedikit”.

Ketidakpuasan terhadap kondisi fasilitas sekolah juga dinyatakan ADM, siswa SMPN

C Yogyakarta, yaitu:

“tidak ada kipas anginnya, mejanya kotor banyak corat-coret dan ada yang tidak ada lacinya”.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penilaian siswa terhadap kondisi sekolah yang

tidak mampu memberikan kenyaman pada siswanya. Terlebih lagi pada fasilitas

yang mungkin dianggap sepele namun krusial keberadaannya seperti toilet dan

kantin merupakan sarana umum yang turut berkaitan dengan kesehatan agar siswa

tetap nyaman dalam lingkungan sekolah (WHO, 2003).

Page 4: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

4

Aspek lain dalam School Well-being yakni having yang menerangkan relasi

sosial antar penduduk sekolah dan lingkungan luar sekolah yang turut

mempengaruhi kebijakan dalam sekolah (contoh: orang tua, dan lingkungan yang

ditempati sekolah). Yakni bagaimana hubungan siswa dengan siswa sebayanya

(Buchanan & Bowen, 2008), hubungan siswa antar angkatan (Konu & Lintonen,

2006), hubungan siswa dengan guru (Vedder, Boekaerts, & Seegers, 2005; Maele &

Houtte, 2011), hubungan guru dengan orang tua (Wentzel, 1998), bullying (Dake,

Price, & Telljohann, 2003), serta iklim sekolah (LaRusso & Selman, 2011).

Pernyataan siswa SMPN kota Yogyakarta dalam penelitian awal yang

dilakukan oleh peneliti turut memberikan pendapat tentang hubungan sosial

berkaitan dengan school well-being. Siswa SMPN E Yogyakarta berinisial DSV

menyatakan hubungannya dengan teman:

“Baik. Saya berkomunikasi dan ikut bergabung di beberapa komunitas diterima dengan baik dan juga dapat bergaul dengan baik, tanpa ada yang memusuhi saya”.

Hubungan dengan guru :

“cukup baik, karena selalu berkomunikasi dengan guru dan guru menerima saya cukup baik”.

Sedangkan, siswa SMPN K Yogyakarta berinisial YPA menyatakan hubungannya

dengan siswa:

“Baik, kita bisa bekerja kelompok dengan baik, bisa saling melengkapi, kita saling membantu satu sama lain”. Namun, jika ditanya tentang dukanya dalam bersekolah selama ini, jawabannya:

“sering diejek sama temen yang laki-laki”.

Selanjutnya, tentang hubungan dengan guru:

“hubungan saya baik-baik saja. Bila saya tidak paham terhadap pelajaran, saya bisa dijelaskan lagi sampai paham”.

Page 5: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

5

Berbeda dengan pendapat NH, siswa SMPN C Yogyakarta yang menyampaikan

hubungannya dengan teman biasa saja, dengan menyebutkan sebagai berikut:

“karena teman-teman di sekolah sering mengatakan kepada saya kalau saya lebih rendah daripada mereka”.

Pernyataan tersebut sudah mengindikasikan adanya tindakan bullying yang NH

alami di sekolah. Dari beberapa pendapat tentang hubungan sosial di sekolah yang

disampaikan siswa dalam survei yang dilakukan peneliti terungkap bahwa beberapa

siswa mampu memberikan dukungan satu sama lain dan beberapa siswa justru

terlibat dalam tindakan bullying, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku, hal

tersebut dapat diindikasikan masih belum terciptanya hubungan sosial yang

harmonis.

Aspek selanjutnya yaitu being dalam school well-being menurut Konu dan

Rimpela (2002) merupakan kesempatan siswa yang diberikan sekolah untuk

pemenuhan diri (self-fulfillment). Pemenuhan diri yang dimaksud adalah usaha

sekolah dalam memberikan apresiasi kepada siswa untuk turut mengambil peran

dalam pengambilan keputusan, serta pengembangan diri melalui pengetahuan, dan

ketrampilan sesuai bakat dan minat siswa, dimana sekolah sebagai lembaga payung

yang bertugas mengawasi dan mengarahkan kegiatan siswa tersebut.

Berbeda jika sekolah kurang bisa menghargai siswanya seperti pada

penelitian awal yang dilakukan peneliti, yang mana siswa SMPN K Yogyakarta

berinisial RA yang menyoroti tentang pihak sekolah yaitu guru yang kurang bisa

menghargai siswanya dengan berpendapat :

“guru-guru ada yang saling berbeda pendapat tetapi tidak bisa menghargai, cara mengajarnya ada yang kurang dipahami, ada guru yang selalu menjelek-jelekkan muridnya sendiri”.

Page 6: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

6

Pendapat RA dalam menilai guru sebagai pihak sekolah yang seharusnya mampu

memberikan penghargaan pada muridnya, namun yang dirasakan justru sebaliknya.

Hal tersebut dapat menimbulkan rasa ketidaknyamanan dalam sekolah yang

membuat siswa tidak mendapatkan apresiasi yang baik, sehingga siswa memiliki

harga diri yang rendah (Chu et al, 2010 dalam Tian, Liu, Huang, & Huebner, 2012).

Lain halnya dengan siswa SMPN E Yogyakarta berinisial BPP yang mendapatkan

kesempatan untuk mewakili sekolah dalam ajang perlombaan, lewat pernyataan

berikut :

“kesan yang disukai selama bersekolah disini yaitu mengikuti dan memenangkan OSN SMP”.

Serta siswa SMPN D Yogyakarta berinisial FAW yang berpendapat:

“seneng bisa jadi pengurus OSIS karena bisa ikut kegiatan di sekolah terus”.

Dapat diartikan bahwa keikutsertaan FAW menjadi pengurus OSIS yang merupakan

lembaga perwakilan siswa dalam sekolah membuat FAW memiliki rasa senang,

yang mengindisikasikan bahwa FAW merasa puas dengan kehidupan sekolahnya.

Status kesehatan merupakan salah satu aspek dalam kaitannya

kesejahteraan individu yang memungkinkan dalam mengungkap kesehatan fisik,

dan kesehatan mental remaja (Shaffer-Hudkins, Suldo, Loker, & March, 2010). Oleh

karena itu penting status kesehatan dalam school well-being untuk mengetahui

adanya simptom-simptom yang dirasakan siswa di sekolah, agar tercapai kepuasan

di sekolah yang menandakan kualitas sekolah yang baik.

Pada penelitian awal yang dilakukan peneliti didapatkan bahwa beberapa

siswa merasa kelelahan yang mengindikasikan bahwa kualitas kehidupan yang

dirasakan siswa kurang baik. salah satu siswa yang mengeluhkan kelelahan adalah

Page 7: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

7

siswa SMPN B Yogyakarta berinisial RHM yang menyatakan keluhannya di sekolah

sebagai berikut ini:

”kadang kecapekan dan waktu tidur siang tidak ada karena kegiatan banyak”.

Siswa SMPN D Yogyakarta berinisial MYA juga menyatakan kelelahan dengan

alasan yang berbeda, pernyataannya yaitu:

“saya sering kelelahan karena sekolahnya jauh jadi ortu sering khawatir”

Demikian juga dengan siswa SMPN K Yogyakarta berinisial AYK yang menyatakan

pendapatnya:

“jika pulang siang saya selalu mengantuk dan selalu merasa capek karena membawa tas yang berat dan pulang naik bis trus jalan kaki sampai rumah rasanya capek sekali”.

Kelelahan yang dirasakan RHM, MYA dan AYK merupakan salah satu tanda

kesehatan yang kurang baik sebagai siswa. Namun kelelahan bukanlah satu-

satunya yang dikeluhkan siswa dalam kaitan status kesehatan di sekolah, ada siswa

yang pernah mengalami jatuh di sekolah, cedera saat ekstra kurikuler, serta sakit

yang menyebabkan siswa harus tidak hadir di sekolah karena harus beristirahat di

rumah. Pada pengamatan peneliti pada tanggal 28 Februari 2013 di SMPN D

Yogyakarta ada juga siswa yang merasa tidak enak badan sewaktu di sekolah dan

menggunakan fasilitas UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk dapat beristirahat

disana.

Adanya keluhan-keluhan yang disampaikan oleh siswa-siswa tersebut

merupakan keluhan psikologis yang berkaitan dengan nyeri psikosomatis. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hjern, Alfven dan Ostberg (2007)

pada siswa sebanyak 2588 berusia 10-18 tahun yang kecenderungan dari siswa-

Page 8: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

8

siswanya mengalami stress di sekolah, dimana keluhan psikologis tampaknya

berfungsi sebagai mediator stress di sekolah untuk gejala sakit/nyeri psikosomatik.

Dari temuan di lapangan serta temuan literatur dapat disimpulkan bahwa

masih belum tercapai adanya kesejahteraan di sekolah (school well-being) yang

ditandai dengan rasa ketidaknyamanan, ketidakpuasan, serta kualitas kehidupan di

sekolah yang kurang baik di beberapa SMP Negeri Kota Yogyakarta. Selain

daripada itu, siswa SMP yang dalam perkembangan remaja awal sedang mengalami

masa transisi baik transisi secara perkembangan dari masa anak-anak ke dewasa,

serta transisi sekolah dari SD ke SMP turut mempengaruhi kesejahteraan remaja

sebagai siswa di sekolah (Shoshani & Slone, 2012)

Sekolah turut mengambil andil yang besar dalam perkembangan siswa,

karena hampir seharian mereka berada dalam lingkungan tersebut. Lingkungan

sekolah yang sehat dapat meningkatkan kesehatan dan pembelajaran yang efektif,

serta memberikan kontribusi pada siswa dalam perkembangannnya menuju individu

yang matang, sehat, memiliki ketrampilan dan bermanfaat untuk masyarakatnya

(WHO, tt). Oleh karena itu, sangat penting adanya menciptakan school well-being

untuk siswa yang menginjak bangku SMP, karena sesuai dengan usia masuk SMP

yaitu sekitar usia 12 atau 13 tahun yang merupakan awal dari masa perkembangan

remaja (Santrock, 2003).

Masa remaja merupakan transisi dari perkembangan masa anak-anak

menuju kematangan masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, kognitif

dan sosial-emosional (Santrock, 2003). Perubahan lain yang dirasakan oleh remaja

adalah transisi sekolah dari sekolah dasar (SD) menuju ke sekolah menengah

Page 9: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

9

pertama (SMP) yang kebetulan juga merupakan masa transisi dari perkembangan

remaja (Eccles & Midgley, 1990). Keadaan ini dapat menjadi pengalaman yang

kurang menyenangkan bagi siswa SMP, karena mereka memiliki persepsi tentang

kualitas kehidupan sekolah yang kurang memuaskan sehingga siswa SMP kurang

bertanggung jawab terhadap sekolah, kurang menyukai guru-guru mereka, serta hal

ini terjadi tanpa memandang seberapa berhasil nilai siswa-siswa secara akademis

(Hirsch & Rapkin dalam Santrock, 2003).

Pengalaman transisi siswa dalam lingkungan sekolah memiliki peran penting

dalam membentuk penyesuaian psikologis dan perilaku siswa dari SD ke SMP

(Way, Reddy, & Rhodes, 2007). Penyesuaian siswa di sekolah seperti inilah saat

remaja menentukan pilihan dan mengambil sikap yang tepat, karena pilihan dan

sikap yang tepat akan berpengaruh pada sisa hidup mereka dalam menentukan

masa depan.

Dalam masa penyesuaian diri di sekolah yang baru, siswa memiliki persepsi

yang berbeda-beda tentang sekolah yang akan ditempati selama 3 tahun kedepan.

Penelitian yang dilakukan Haladyna dan Thomas pada tahun 1979, serta Hirsch dan

Rapkin pada tahun 1987 (dalam Mullins & Irvin, 2000) terungkap bahwa selama

masa transisi, siswa mengalami penurunan pada kepuasan di sekolah serta

menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan permasalahan akademis maupun

yang bukan secara negatif.

Permasalahan penyesuaian siswa ini diperkuat dengan hasil wawancara

awal peneliti dengan sejumlah guru Bimbingan Konseling (BK) di SMP negeri Kota

Yogyakarta bahwa penyesuaian diri siswa masih menjadi kendala untuk berada

Page 10: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

10

dalam lingkungan baru yang akhirnya memunculkan permasalahan-permasalahan di

tahun awal mereka.

Dari survei awal yang dilakukan peneliti dengan responden siswa-siswa di

beberapa SMP Negeri Kota Yogyakarta dapat ditampilkan pada gambar 1:

Gambar 1. Survei permasalahan siswa SMP Negeri di Kota Yogyakarta

Dengan deskripsi tiap permasalahan yang menjadi tren saat ini, antara lain:

1. Dibully oleh teman sebaya dan atau oleh kakak kelas, dengan prosentase 27%.

Dengan prosentase tersebut, maka peneliti menambahkan survei tentang

bullying. Adapun bentuk bullying yang pernah dirasakan oleh siswa selama

bersekolah di SMP yang ditempati sekarang, yaitu : sebanyak 31,3% siswa

pernah diejek karena bentuk tubuh atau karena warna kulit, 27,1% siswa pernah

28%

27%15%

7%

7%

4%7%

3% 2%

Survei permasalahan siswa SMP Negeri Kota Yogyakarta

bullying

prestasi

kelelahan

masalah keluarga

masalah pribadi

masalah asmara

masalah pertemanan

masalah ekonomi

terpaksa sekolah

Page 11: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

11

dipukul atau dicederai, 13,6% siswa pernah dipaksa untuk melakukan sesuatu

yang bukan dari keinginannya, 10,7% siswa pernah diejek karena agamanya,

8,5% siswa pernah diejek karena penampilannya, 6,7% siswa pernah dipaksa

untuk membuatkan PR oleh siswa lain, 5,1% siswa pernah diejek karena miskin,

3,4% siswa pernah mendapatkan pelecehan seksual, 2,8% siswa pernah

dipalak/diminta uangnya secara paksa, dan, 5,1% siswa menyatakan mendapat

perlakuan diskriminasi dari guru. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa

ternyata sebanyak 20,1% siswa pernah melakukan tindakan tersebut diatas pada

siswa lain. Prosentase dari survei bullying ditampilkan pada gambar 2:

Gambar 2. Survei bullying

2. Prestasi belajar yang rendah, dengan prosentase 21%. Dari hasil survei awal

yang dilakukan oleh peneliti, responden menyatakan mendapatkan nilai jelek

Dipukul/dicederai27%

Dipalak3%

Dipaksa buat PR

1%

Diejek bentuk tubuh/warna

kulit1%

Dipaksa melakukan

sesuatu14%

Diejek karena agama

11%

Diejek karena miskin

5%

pelecehan seksual

4%

Diejek karena penampilan

9%

Diskriminasi oleh guru

5%Melakukan

tindakan bullying pada siswa lain

20%

Survei Bullying

Page 12: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

12

prosentase tersebut didapatkan melalui jumlah indikator yang disampaikan oleh

siswa dari survei, yaitu: 83% siswa menyatakan bahwa nilai yang didapat tidak

memuaskan (jelek), dan 17% siswa menyatakan bahwa prestasi yang rendah

karena kurang mampu konsentrasi belajar. Data tersebut dikuatkan dengan

wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap guru BK di SMPN O pada

tanggal 9 Januari 2013 menyatakan bahwa beberapa siswa kelas VII memiliki

nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) pada semester I dan diberi

kesempatan untuk melakukan ujian ulang (remedial) namun nilainya tetap

rendah. Hal serupa juga disampaikan oleh guru BK SMPN A pada tanggal 10

Januari 2013 bahwa kebiasaan belajar yang kurang baik memberi pengaruh pada

rendahnya prestasi belajar siswa.

3. Kelelahan, dengan prosentase 15%. Dari hasil survei awal yang dilakukan oleh

peneliti, responden menyatakan mendapatkan nilai jelek prosentase tersebut

didapatkan melalui jumlah indikator yang disampaikan oleh siswa dari survei,

yaitu: 47% siswa menyatakan bahwa pelajaran/tugas yang diberikan oleh guru

berat, 21% siswa menyatakan kelelahan karena jauh dari rumah dan 32% siswa

menyatakan kelelahan karena mengikuti les atau ekstra kurikuler. Data tersebut

diperkuat dengan hasil wawancara awal peneliti terhadap guru BK di SMPN G

pada tanggal 7 Februari 2013 menyatakan sekitar hampir 30% siswa yang

diterima berasal dari luar kota Yogyakarta (Kabupaten Sleman, kabupaten Bantul

dan kabupaten Kulon Progo). Lain halnya pernyataan dari guru BK SMPN O

untuk wawancara awal peneliti pada tanggal 9 Januari 2013 bahwa siswa SMP

telah memiliki beban kurikulum yang berat, yaitu adanya beban tugas (PR) yang

Page 13: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

13

diberikan guru pelajaran setiap hari, dimana dalam satu hari ada 6-7 pelajaran

yang diberi PR.

4. Masalah keluarga (merasa kurang perhatian dari orang tua), dengan prosentase

7%. Data tersebut diperkuat dengan hasil wawancara awal peneliti terhadap guru

BK SMPN I pada tanggal 23 Januari 2013 yang menyatakan ada siswa yang

sering membolos, dikarenakan kurang perhatian dari orang tua yang ternyata

sudah pisah rumah.

5. Masalah pribadi (berkenaan dengan transisi perkembangan remaja misal merasa

dewasa tapi bersikap kekanak-kanakan), dengan prosentase 7%. Data tersebut

diperkuat dengan hasil wawancara awal peneliti terhadap guru BK SMPN K pada

tanggal 22 Januari 2013 yang menyatakan bahwa siswa kelas VII cenderung

masih bersikap kekanak-kanakan dalam bersosialisasi. Demikian juga dengan

pernyataan guru BK SMPN P pada tanggal 23 Januari 2013 yang menyampaikan

bahwa siswa kelas VII merasa ada “euphoria” yaitu kesenangan yang besar

karena telah diterima di sekolah negeri, dan merasa dirinya sudah dianggap

“dewasa” oleh masyarakat dibanding pada saat SD.

6. Masalah asmara (pacar direbut, pacaran beda sekolah), dengan prosentase 3%.

Data ini diperkuat dengan wawancara awal peneliti terhadap guru BK SMPN O

pada tanggal 9 Januari 2013 yang menyatakan bahwa siswi kelas VII sudah

berani menyatakan perasaannya pada lawan jenis, serta dalam menyatakan

hubungan pacaran pada guru lebih terbuka. Pendapat serupa juga disampaikan

guru BK SMPN F pada tanggal 18 Januari 2013 bahwa siswa kelas VII telah

Page 14: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

14

berani menyatakan hubungan pacaran sejak siswa-siswi tersebut dari SD yang

akhirnya dilanjutkan sampai SMP kepada guru.

7. Masalah pertemanan (diajak berkelahi, belum terlalu kenal dengan siswa lain),

dengan prosentase 7%. Data ini diperkuat dengan wawancara awal yang

dilakukan peneliti terhadap guru BK SMPN O pada tanggal 9 Januari 2013 yang

menyatakan bahwa beberapa siswa mengikuti siswa lain atau kakak kelas untuk

ikut berkelahi, setelah diselidiki oleh guru BK SMPN O ternyata siswa tersebut di

adu domba agar terjadi perkelahian. Pernyataan lain yang berkaitan dengan

masalah pertemanan yaitu oleh guru BK SMPN A pada tanggal 10 Januari 2013,

guru BK SMPN F pada tanggal 18 Januari 2013, guru BK SMPN P pada tanggal

23 Januari 2013 dan guru BK SMPN D pada tanggal 8 Februari 2013 yang

memiliki pendapat yang sama berdasar observasi bahwa beberapa siswa kelas

VII terjadi kesalah pahaman karena belum terlalu kenal dengan teman sekelas,

serta beberapa siswa/siswi yang telah memiliki kelompok sendiri sehingga jika

ada siswa lain yang ingin bergabung/bersosialisasi selalu dianggap tidak memiliki

kesamaan.

8. Masalah ekonomi (kekhawatiran tidak bisa membayar LKS, tidak punya uang

jajan), dengan prosentase 2%. Data tersebut diperkuat dengan wawancara awal

oleh peneliti terhadap guru BK SMPN I pada tanggal 23 Januari 2013 yang

menyatakan bahwa karena permasalahan ekonomi beberapa siswa memiliki

semangat belajar dan status kesehatan yang rendah. Wawancara terhadap guru

BK SMPN J pada tanggal 22 Januari 2013 turut memperkuat data tentang

Page 15: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

15

permasalahan ekonomi siswa SMP dari kelompok KMS yang merasa tidak

percaya diri karena dijadikan bahan ejekan siswa lain yang non-KMS.

9. Siswa merasa terpaksa sekolah yang ditempatinya, karena tidak diterima di SMP

yang diinginkan, dengan prosentase 2%. Data tersebut diperkuat dengan

wawancara awal peneliti terhadap guru BK SMPN P pada tanggal 23 Januari

2013, guru BK SMPN C pada tanggal 8 Februari 2013 dan guru BK SMPN K

yang memiliki pendapat yang sama bahwa ada beberapa siswa yang sebenarnya

tidak ingin bersekolah di SMP yang ditempatinya karena nilai NEM yang tidak

mencukupi untuk masuk ke SMP yang diinginkan.

Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi fenomena kehidupan di

sekolah yang mengkhawatirkan, karena siswa yang pergi ke sekolah tampaknya

bisa stres yang ternyata berhubungan dengan ketakutan akan kegagalan (Matos,

Gaspar, Tome, & Cruz, 2012). Dapat diartikan dari hal tersebut bahwa siswa merasa

tidak nyaman berada di sekolah, karena adanya afek negatif yang dirasakan siswa

yang menandakan bahwa belum tercapainya kesejahteraan di sekolah.

School well-being pada siswa SMP dapat dipengaruhi oleh faktor internal

(efikasi diri, penyesuaian diri, regulasi diri, self esteem, persepsi diri) dan faktor

eksternal (dukungan sosial, kelompok tertentu, lingkungan sosial, iklim sekolah).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Karademas (2006) menjelaskan bahwa

hubungan antara efikasi diri, dukungan sosial dengan kesejahteraan sangatlah

penting, karena keyakinan pribadi yang berhubungan dengan relasi sosial mampu

membentuk harapan serta hasil yang mengindikasikan adanya kepuasan hidup pada

individu. Hal tersebut juga dapat menerangkan bahwa proses penilaian terhadap

Page 16: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

16

fungsi diri akan keyakinan (efikasi diri) serta interaksi dengan lingkungan (dukungan

sosial) dapat menjadi intervensi yang tepat dalam menumbuhkan kesejahteraan

(well-being) yang dirasakan individu.

Sejalan dengan penelitian Karademas, penelitian yang dilakukan oleh Vieno,

Santinello, Pastore dan Perkins (2007) mengungkapkan bahwa pada remaja awal

berusia 13 tahun dimana efikasi diri muncul sebagai dasar bagi kesejahteraan yang

baik, serta adanya dukungan sosial khususnya dari teman sebaya (teman sekelas)

menjadi komponen penting dalam kehidupan di sekolah pada remaja awal. Dari

literatur diatas, didapatkan variabel yang mampu mempengaruhi kesejahteraan

sekolah pada remaja sebagai siswa di sekolah yaitu efikasi diri dan dukungan teman

sebaya.

Dalam penelitian Caprara, Steca, Gerbino, Paciello, dan Vecchio, (2006)

yang melibatkan 664 remaja menerangkan bahwa efikasi diri pada remaja mampu

mempengaruhi kesejahteraannya dalam mengatur pengalaman emosi positif mereka

agar tetap tercipta kepuasan dalam diri remaja, dimana remaja mampu meyakinkan

kondisinya dengan lebih baik, memiliki penerimaan diri yang baik serta memiliki

harapan yang positif tentang masa depan. Hal ini berbeda dengan yang dirasakan

siswa SMPN K Yogyakarta berinisial FDA yang menyatakan permasalahannya

sebagai berikut:

“saya selalu terbayang akan masa depan saya, terkadang saya merasa terkucilkan, terkadang merasa jengkel dengan teman-teman saya, merasa minder, dan merasa malu karena sekolah disini”.

Dari pernyataan FDA tersebut dapat disimpulkan bahwa masih ada siswa yang

belum bisa menerima kenyataan yang ada dengan ditandai penerimaan diri yang

rendah, dan tidak memiliki keyakinan pada diri yang positif terhadap masa depannya

Page 17: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

17

sendiri. Adapun penyebabnya dimungkinkan karena fluktuasi emosi, perilaku dan

kognitif dalam perkembangan remaja, yang dapat diindikasikan dengan emosi

negatif FDA yaitu adanya kekhawatiran atau kecemasan pada masa depannya.

Terlebih lagi berhubungan dengan perasaan malu dan terkucilkan di sekolah

tersebut yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam akademis.

Penelitian yang dilakukan oleh Moeini, Shafii, Hidarnia, Babaii, Birashk dan

Allahverdipour (2008) menerangkan bahwa efikasi diri, persepsi terhadap stres dan

kesejahteraan psikologis memiliki hubungan yang signifikan, yang mana ditandai

dengan tingginya efikasi diri individu mampu meningkatkan kesejahteraan individu

tersebut. Sebaliknya, individu yang memiliki efikasi diri yang rendah diperkirakan

dapat mengarah pada depresi, karena jika individu tidak memiliki keyakinan diri

dalam hidupnya maka peristiwa-peristiwa yang datang padanya akan menimbulkan

perasaan negatif dan tidak nyaman.

Dalam memahami siswa yang beranjak remaja, maka perlu mengetahui

bahwa efikasi diri merupakan salah satu hal yang berpengaruh pada kemampuan

mereka untuk dapat berhasil di sekolah. Hal tersebut diungkapkan oleh Zimmerman

dan Cleary (2006) bahwa ada hubungan antara efikasi diri dengan tiga variabel

penting yang berkaitan dengan fungsi sekolah, yaitu: motivasi akademik, prestasi

akademik dan perkembangan pribadi remaja. Tipe efikasi diri pada siswa yang

mampu mengantarkan siswa dalam keberhasilan di sekolah diketahui terdiri dari

fungsi sosial (keyakinan diri dalam membentuk serta mempertahankan hubungan

sosial siswa), fungsi regulasi diri (pengaturan diri dalam menentukan sikap dan

Page 18: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

18

perilaku), dan fungsi akademik (pengaturan belajar, serta penguasaan materi

pelajaran dalam mencapai prestasi yang optimal) (Zimmerman & Cleary, 2006).

Dave, Tripathi, Singh dan Udainiya (2011) menerangkan bahwa tingkat

kesejahteraan dipengaruhi oleh efikasi diri, yang mana keyakinan mempengaruhi

perilaku individu. Sehingga jika siswa merasa percaya diri terhadap kemampuannya,

maka siswa akan lebih mampu melakukan kegiatannya di sekolah dan mendapatkan

hasil akademis yang baik.

Dalam hubungannya dengan pengalaman transisi di sekolah yaitu perubahan

dari SD ke SMP siswa yang percaya diri dengan kemampuannya dan proses belajar

akan menganggap pengalaman transisi sekolahnya lebih positif, sedangkan siswa

yang menganggap pengalaman transisi sekolah dengan adanya tugas yang sulit

lebih beresiko memiliki permasalahan akademik dan perilaku di sekolah (Patrick &

Drake, 2009). Studi yang dilakukan Patrick dan Drake tersebut sejalan dengan

adanya permasalahan yang dihadapi oleh siswa SMPN di Kota Yogyakarta, dimana

beberapa siswa menyatakan adanya pengalaman yang positif dari transisi sekolah

(bertambahnya teman baru, mendapatkan ilmu baru), serta tidak menutup

kemungkinan dengan adanya pengalaman negatif (dibully, dimarahi guru,

kelelahan). Oleh karena itu, school well-being pada siswa secara internal

memerlukan efikasi diri karena diyakini mampu memberi pengaruh pada

kesejahteraan serta keberhasilan di sekolah. Hal tersebut ditandai dengan siswa

mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi, mampu menilai keberhasilan dari tugas

yang dikerjakan, serta mampu menilai dengan pasti keyakinan dalam penguasaan

materi atau tugas tertentu.

Page 19: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

19

Clark (2008) menjelaskan dalam penelitian yang dilakukan bahwa remaja

merupakan masa penuh dengan tekanan, yang ditandai dengan adanya afek yang

negatif dalam kepuasan hidup remaja. Sehingga penting adanya dukungan dari

teman sebaya karena remaja yang menganggap bahwa temannya mendukung tidak

memiliki pengalaman terhadap stress.

Perubahan besar dalam remaja pada umumnya ada peningkatan pada fokus

serta keterlibatan teman sebaya. Pentingnya penerimaan sosial selama remaja

dalam setting sekolah menandakan perlu adanya dukungan dari teman sebaya,

karena selama remaja kedekatan antar teman sebaya dalam melakukan aktivitas

bersama dan bahkan saran atau opini teman sebaya dianggap lebih penting

dibandingkan dengan angota keluarga (Huffman, dalam Eccles, nd).

Penelitian yang dilakukan oleh Wentzel, Barry dan Caldwell (2004)

menemukan bahwa remaja dengan teman sebayanya menunjukkan tingkat

kesejahteraan emosional yang tinggi. Dalam dukungan akademik pun teman sebaya

memiliki korelasi positif dengan kenyamanan belajar siswa (Huang, Eslami, & Hu,

2010).

Dukungan teman sebaya telah banyak membantu mengatasi masalah

termasuk dukungan akademik di sekolah, transisi sekolah ke SMP, bullying, dan

diskriminasi (Ellis, Marsh, & Craven, 2009). Dalam hasil penelitian Ellis, Marsh dan

Craven (2009) menyarankan program dukungan teman sebaya mampu

memfasilitasi penyesuaian siswa dalam konteks transisi perkembangan serta transisi

di sekolah, bahkan memberikan bukti yang kuat bahwa dukungan teman sebaya

Page 20: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

20

memiliki peranan yang signifikan dalam membantu kesejahteraan siswa selama

transisi sekolah.

Pentingnya menciptakan lingkungan sekolah yang mampu memberikan rasa

aman dan nyaman bagi siswa akan dapat meningkatkan kesejahteraan dan status

kesehatan siswa. Salah satunya dengan memberikan dukungan sehingga

menambah rasa puas siswa terhadap pengalaman bersekolah yang menyenangkan

(Samdal, Nutbeam, Wold, & Kannas, 1998).

Berdasarkan penjelasan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, serta temuan

di lapangan didapatkan dua hal yang sekiranya memiliki keterkaitan dengan school

well-being, yaitu efikasi diri dan dukungan teman sebaya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka

rumusan permasalahan penelitian ini adalah apakah ada peran efikasi diri dan

dukungan teman sebaya terhadap school well-being pada siswa SMP Negeri di Kota

Yogyakarta?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran efikasi diri dan

dukungan teman sebaya terhadap school well-being pada siswa SMP Negeri di Kota

Yogyakarta.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

Page 21: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

21

pengembangan kajian psikologi positif dan psikologi pendidikan pada khususnya di

Indonesia tentang school well-being, efikasi diri dan dukungan teman sebaya, serta

kajian tentang transisi perkembangan dan transisi sekolah siswa SMP.

Secara praktis, diharapkan penelitian ini akan menjadi masukan dan sebagai

sumber informasi dalam memahami dinamika psikologis siswa SMP yang

mengalami dua transisi secara bersamaan dalam kaitannya kesejahteraan sekolah,

efikasi diri dan dukungan teman sebaya. Mampu membantu pihak-pihak terkait baik

pemerintah dan masyarakat secara luas dalam memahami siswa SMP secara

proporsional dari sisi psikologi.

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Psikologi positif merupakan kajian psikologi yang terkini. Kajian ini

menawarkan bahasan baru tentang perilaku manusia. Psikologi positif memandang

pola perilaku, kognisi, dan emosi yang negatif ditafsirkan sebagai masalah dalam

hidup, bukan sebagai gangguan atau penyakit.

Pengembangan kajian psikologi positif ini juga memacu peneliti untuk

menelaahnya secara empiris. Variabel kesejahteraan sekolah, efikasi diri dan

dukungan teman sebaya sebagai bagian kajian psikologi positif saat ini mulai

didalami dari berbagai sudut pandang.

Penelitian tentang kesejahteraan sekolah telah dilakukan oleh Konu dan

Lintonen (2005) yang menguji penggunaan teori dari School Well-being Profile

dalam mengetahui perbedaannya tiap tingkat kelas di SMP Finlandia. Subyek yang

ikut serta dalam penelitian ini sejumlah 1346 siswa terdiri dari 35% kelas VII, 37%

Page 22: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

22

kelas VIII, dan 28% kelas IX. Hasil penelitian menunjukkan bahwa The School Well-

being Profile dapat digunakan sebagai alat evaluasi dalam membedakan

kesejahteraan siswa di sekolah dengan tingkat kelas yang berbeda.

Selanjutnya penelitian tentang kesejahteraan sekolah yang dilakukan oleh

Løhre, Lydersen dan Vatten (2010) yang ingin mengetahui faktor-faktor yang

membentuk kesejahteraan dan pengaruhnya di sekolah. Subyek penelitian sejumlah

419 siswa terdiri dari 230 siswa laki-laki dan 189 siswa perempuan dari kelas 1

sampai dengan kelas 10 di Norwegia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

kesejahteraan sekolah berhubungan erat dengan kesenangan dalam pekerjaan

sekolah dan pada pengalaman mereka dalam menerima bantuan yang diperlukan

dari guru.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahma (2011) tentang efikasi diri dan

dukungan sosial dalam kaitannya penyesuaian diri remaja di panti asuhan. Dengan

jumlah subyek sebanyak 47 anak berusia 13-17 tahun yang berada di Panti Asuhan

Darul Hadlonah Kota Semarang. Hasil penelitian yang dilakukan yaitu bahwa efikasi

diri dan dukungan sosial mempunyai pengaruh positif terhadap penyesuaian diri

remaja dengan kontribusi sebesar 48,3%, dimana remaja yang berada di panti

asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang memiliki efikasi diri dan dukungan sosial

yang tinggi yang berarti kemampuan penyesuaian dirinya juga tinggi.

Penelitian oleh Nuraini (2005) tentang hubungan religiusitas dan dukungan

sosial teman dengan penyesuaian diri remaja mengungkapkan bahwa religiusitas

dan dukungan sosial berkorelasi dengan penyesuaian diri remaja di Kotamadya

Tembilahan dengan sumbangan efektif sebesar 47,57%. Subyek yang diberikan

Page 23: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68229/potongan/S2-2014... · SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan

23

skala sebanyak 120 siswa dengan karakteristik usia 15 sampai 18 tahun dan

memiliki orang tua lengkap.

Berdasarkan hasil temuan penelitian terdahulu, belum banyak penelitian

mengenai efikasi diri dan dukungan teman sebaya, maupun school well-being siswa

SMP, kebanyakan penelitian yang dilakukan dari luar negeri. Selain itu, penelitian di

Indonesia sepengetahuan peneliti belum ada yang meneliti tentang efikasi diri dan

dukungan teman sebaya dalam kaitannya school well-being siswa SMP yang

mengalami transisi dalam perkembangan remaja sekaligus transisi sekolah.