BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72107/potongan/S1-2014... ·...
Transcript of BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72107/potongan/S1-2014... ·...
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
1
BAB I PENGANTAR
A. LATAR BELAKANG Industri polivinil alkohol merupakan salah satu industri yang
berkembang cukup baik dewasa ini dengan angka pertumbuhan permintaan
pasar rata-rata sebesar 14% pertahun di Indonesia (Badan Pusat Statistik,
2013). Polivinil alkohol adalah salah satu dari sedikit polimer yang bersifat
dapat larut dalam air. Sifat kimia dan fisika dari polivinil alkohol membuat
polimer ini memiliki andil penting dalam dunia perindustrian sehingga
diproduksi secara luas di dunia. Polivinil alkohol pertama kali ditemukan oleh
Haehnel dan Herrman melalui reaksi adisi alkali pada larutan bening alkohol
polivinil asetat yang kemudian menghasilkan larutan berwarna cokelat muda
yang kemudian diketahui merupakan polivinil alkohol. Polivinil alkohol
kemudian diperkenalkan pertama kali secara komersial pada tahun 1927
(Kirk-Othmer, 1979).
Berbagai bentuk polivinil alkohol (PVA) digunakan sebagai bahan
aditif dalam proses-proses sintesis produk kimia. Kegunaan utama dari PVA
adalah sebagai bahan adesif (perekat), sebagai protective colloid bagi proses
emulsi polimerisasi serat, bahan pembuat polivinil butiral, serta sebagai
pelapis kertas. Water-soluble PVA films bersifat mudah terdegradasi oleh air
sehingga digunakan sebagai bahan baku pembuatan beton dan semen serta
pelapis kantung laundry, pestisida, herbisida, serta pupuk. Polivinil alkohol
dalam jumlah yang kecil dimanfaatkan sebagai emulsifier untuk kosmetik,
lapisan film pelindung, perekat tanah untuk menghindari erosi. Polivinil
alkohol juga dapat digunakan sebagai polarizer dan banyak digunakan di
daerah Asia sebagai bahan pembuatan panel liquid-crystal display (LCD),
dimana pada daerah ini terdapat beberapa produsen besar alat-alat elektronik
yang menggunakan LCD seperti televisi, telepon selular, komputer, dan
tablet. Polimer ini merupakan perekat yang baik serta memiliki ketahanan
terhadap minyak dan pelumas. Film PVA memiliki daya tegang atau tensile
strength yang tinggi serta tahan terhadap abrasi. Selain itu tegangan
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
2
permukaan polimer ini juga rendah sehingga dapat memfasilitasi emulsifikasi
yang baik dan memiliki sifat sebagai protective colloid.
Kegunaan PVA lainnya adalah sebagai bahan pengemulsi dan
stabilizing agent pada industri petrokimia, bahan aditif pada semen yang
berfungsi menambah sifat kohesi dan fluiditasnya, serta bahan pengatur
ukuran benang pada industri tekstil. Berbagai kegunaan tersebut menjadikan
PVA sebagai salah satu komoditas yang penting dan banyak dibutuhkan
dalam industri rekayasa produk kimia.
Total produksi PVA secara global pada tahun 2007 mencapai 960.000
ton dengan pertumbuhan sebesar 4,9% pertahun. Diestimasikan kebutuhan
PVA di dunia mencapai 1.279.000 ton pada tahun 2013. Cina sebagai
produsen utama PVA menghasikan 50% dari total produksi tersebut, namun
masih membutuhkan impor sebesar 40.000 ton pertahun untuk memenuhi
kebutuhan industrinya (The Market Publishers, Ltd., 2013). Dapat
disimpulkan bahwa walaupun tingkat produksi sudah cukup tinggi, kebutuhan
dunia akan PVA masih belum seluruhnya terpenuhi. Pada skala nasional,
kebutuhan PVA di Indonesia digambarkan oleh tabel 1.
Tabel 1.1. Kebutuhan Impor Produk Polivinil Alkohol di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2013)
Tahun Kebutuhan impor PVA, ton/tahun
2009 1.435,36
2010 1.655,89
2011 1.799,44
2012 1.924,33
2013 2.396,66
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan PVA pada skala
nasional masih belum dapat dipenuhi oleh pasar lokal. Dengan demikian
pembangunan pabrik polivinil alkohol patut dipertimbangakan mengingat
potensinya pada skala nasional maupun global. Untuk itu, perlu dilakukan
prarancangan pabrik PVA guna menganalisa kelayakan pembangunan
pabrik polivinil alkohol di Indonesia.
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
3
Gambar 1.1. Tren Kebutuhan Impor PVA di Indonesia
Pabrik direncanakan untuk didirikan pada tahun 2014 dengan masa
pembangunan dua tahun dan umur pabrik 10 tahun. Berdasarkan tren pada
gambar 1.1, diambil pendekatan linier untuk estimasi kebutuhan impor
PVA. Sehingga pada tahun 2025 yaitu pada masa akhir umur pabrik,
kebutuhan impor PVA di Indonesia diperkirakan mencapai angka 4.901,5
ton/tahun. Dari data-data di atas, dipilih kapasitas pabrik sebesar 30.000
ton/tahun untuk memenuhi kebutuhan PVA dalam negeri serta memenuhi
kebutuhan pasar regional maupun internasional.
y = 219,1x - 438776
-
500,00
1.000,00
1.500,00
2.000,00
2.500,00
3.000,00
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Impor PVA,ton/tahun
Tren ImportPVA
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
4
B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Polivinil Alkohol
Berbeda dari senyawa polimer pada umumnya yang diproduksi
melalui reaksi polimerisasi, poli(vinil alkohol) diproduksi secara
komersial melalui hidrolisis poli(vinil asetat) dengan alkohol karena
monomer dari vinil alkohol tidak dapat dipolimerisasi secara alami
menjadi PVA (Kirk-Othmer, 1982). Produk PVA dijumpai sebagai
kopolimer dari vinil asetat dan vinil alkohol. Rumus struktur polivinil
alkohol dengan kopolimer vinil asetat dijabarkan pada gambar 1.2.
Gambar 1.2. Rumus Struktur Poli(vinil Alkohol)
Sifat fisis dari PVA ditentukan oleh kondisi polimerisasi dari
poli(vinil asetat), kondisi pada saat hidrolisis, proses pengeringan, dan
proses penggilingan. Polivinil alkohol dalam kondisi ruangan
berbentuk bubuk putih dengan titik lebur berkisar antara 2200C-2670C.
Polivinil alkohol larut pada pelarut yang bersifat polar seperti air,
dimethyl sulfoxide, acetamide serta dimethylformamide. Kelarutan
poli(vinil alkohol) adalah fungsi dari derajat polimerisasi serta derajat
hidrolisis, yang diilustrasikan pada gambar 1.3.
Gambar 1.3. Pengaruh Derajat Polimerisasi terhadap Kelarutan
Polivinil Alkohol
Keterangan: A = Derajat hidrolisis PVA 78-81% B = Derajat hidrolisis PVA 87-89% C = Derajat hidrolisis PVA 90-98% D = Derajat hidrolisis PVA 98-99%
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
5
Kurva A hingga D mewakili polimer dengan derajat hidrolisis
paling rendah (A) hingga paling tinggi (D). Dari gambar diatas dapat
disimpulkan bahwa, semakin tinggi derajat hidrolisis PVA, maka
semakin tinggi pula suhu yang dibutuhkan untuk melarutkannya.
Polivinil alkohol dapat diproduksi dari hidrolisis berbagai macam
polivinil ester misalnya polivinil asetat, polivinil format, polivinil
benzoat, dan dari polivinil benzoat serta hidrolisis dari polivinil eter.
Namun, secara umum, polivinil alkohol yang beredar di pasaran
diproduksi dengan cara hidrolisis polivinil asetat. Proses produksi
polivinil alkohol dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu polimerisasi
vinil asetat monomer dengan inisiator azobisisobutironitril kemudian
bagian kedua adalah hidrolisis dari polivinil asetat menjadi polivinil
alkohol.
2. Vinil Asetat Monomer Vinil asetat monomer merupakan produk antara yang umum
digunakan untuk memproduksi polivinil asetat serta kopolimer vinil
asetat. Polivinil asetat biasanya ditemukan pada kehidupan sehari-hari
sebagai komponen dalam pelapis, cat, perekat, binder, dan bahkan
makanan seperti permen karet maupun pelapis tablet. Vinil asetat
mempunyai tingkat kelarutan yang signifikan di dalam air yang
mempengaruhi karakteristik dari polimerisasi vinil asetat itu sendiri.
Vinil asetat berada dalam fase larutan bening pada kondisi lingkungan
normal dan bersifat mudah terbakar. Kekuatan termoplastis dari resin
polivinil asetat akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya
jumlah berat molekul polivinil asetat. Polivinil asetat resin biasa
diproduksi secara komersial dalam bentuk bubuk, maupun granula
kering.
Reaksi kimia yang paling penting dari vinil asetat adalah free
radical polymerization, yang dapat dijelaskan melalui gambar 1.4.
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
6
Gambar 1.4. Proses free radical polymerization pada vinil asetat
3. Inisiator Reaksi polimerisasi adisi membutuhkan senyawa inisiator
untuk memicu terbentuk radikal monomer. Terdapat tiga proses umum
untuk mengahasilkan energi yang dibutuhkan oleh suatu inisiator
untuk menjadi radikal bebas yaitu proses termal, proses microwave
atau radiasi UV, dan proses transfer elektron (redoks). Proses termal
adalah tipe yang paling banyak digunakan pada skala industri, dimana
jumlah energi yang dibutuhkan untuk memutus ikatan pada senyawa
inisiator dipengaruhi oleh tiga parameter mengikuti persamaan 1.
kd = A e (-Ea/RT) (1)
Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan Arrhenius order
satu dimana kd adalah konstanta laju reaksi dekomposisi, A adalah
faktor frekuensi senyawa inisiator, Ea adalah energi aktivasi yang
menyatakan nilai energi minimum yang dibutuhkan untuk
dekomposisi, R adalah konstanta gas, dan T adalah suhu reaksi.
Ketiga parameter tersebut (kd, A, Ea) disebut sebagai parameter
aktivasi dan digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam
pemilihan senyawa inisiator, dimana semakin besar nilai parameter
aktivasinya maka reaksi dekomposisi berjalan lebih cepat.
Faktor lain yang mmepengaruhi pemilihan inisiator adalah
waktu paruh, yaitu waktu atau suhu yang dibutuhkan untuk
mendekomposisi 50% senyawa inisiator dalam kondisi tertentu.
Karena inisiator pada umumnya bersifat tidak stabil secara termal
maka digunakan pendekatan suhu, dimana menyatakan suhu yang
dibutuhkan untuk mendekomposisi senyawa masing-masing dalam
waktu satu jam dan sepuluh jam. Semakin rendah suhu waktu paruh
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
7
suatu inisiator maka semakin sedikit energi termal yang dibutuhkan
untuk proses dekomposisi.
a. Senyawa Peroksida
Inisiator jenis peroksida paling banyak digunakan pada
berbagai reaksi polimerisasi karena sifatnya yang tidak stabil secara
termal sehingga mudah untuk terdekomposisi pada suhu tertentu.
Laju dekomposisi senyawa peroksida tergantung pada struktur dan
jenisnya, serta dapat ditingkatkan dengan penambahan aktivator
yang berfungsi menurunkan energi pemecahan ikatan oksigen-
oksigen. Polaritas pelarut juga mempengaruhi laju dekomposisi
senyawa peroksida, dimana sebagian besar peroksida
terdekomposisi lebih cepat pada pelarut yang semakin polar.
Reaksi dekomposisi senyawa peroksida adalah sebagai berikut.
ROOR’ RO + OR’ (2)
Senyawa peroksida yang paling umum digunakan sebagai
inisiator adalah benzoil peroksida (Stevens, 1998). Benzoil
peroksida biasanya dikombinasi dengan aktivator dimetilanilin dan
digunakan secara luas sebagai inisiator untuk reaksi pengerasan
(curing) resin poliester tak jenuh, namun kombinasi ini tidak efektif
untuk inisiasi reaksi polimerisasi monomer vinil.
b. Senyawa Azo
Struktur senyawa azo yang tersedia secara komersial
umumnya adalah tipe azonitril simetris seperti pada gambar 1.5.
Gambar 1.5. Rumus Strutur Senyawa Azo
Azonitril simetris adalah padatan dengan kelarutan terbatas
dalam pelarut yang umum. Inisiator tipe azo terdekomposisi secara
termal dengan pemutusan kedua ikatan C −− N menjadi dua radikal
alkil dan satu molekul nitrogen menurut persamaan berikut.
R − N = N – R’ R + N2 + R’ (3)
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
8
Pada inisiator tipe azonitril simetris, radikal yang terbentuk
adalah tipe ters-alkil yang bersifat lebih stabil daripada radikal
yang dihasilkan dari dekomposisi senyawa peroksida. Saat azonitril
digunakan sebagai inisiator pada polimerisasi monomer vinil,
radikal inisiator tidak mengambil gugus hidrogen seperti yang
dapat terjadi bila digunakan inisiator tipe peroksida. Oleh karena
itu pembentukan cabang dapat dihindari dan diperoleh rantai
polimer vinil yang linier dengan struktur teratur (Kirk-Othmer,
1982). Laju dekomposisi senyawa azo tidak dipengaruhi oleh jenis
pelarut dan komponen-komponen lain yang terdapat dalam larutan,
sehingga nilai lajunya relatif lebih mudah diprediksi dibandingkan
dengan laju dekomposisi senyawa peorksida. Namun penggunaan
senyawa azo harus dijalankan dengan teliti karena sifatnya yang
senitif terhadap suhu dan dapat terdekomposisi secara tidak
terkendali saat mengalami overheat. Selain itu, senyawa azo dapat
membentuk tetra-alkil suksinonitril yang bersifat racun bila
mengalami reaksi dengan sesamanya. Kondisi ini dapat terjadi
pada penggunaan larutan azonitril murni atau konsentrasi tinggi.
Senyawa azo yang biasa digunakan sebagai inisiator dalam
proses produksi polivinil asetat adalah azobis-iso-butironitril
(AIBN) dengan rumus kimia [(CH3)2C(CN)]2N2. Senyawa ini
bersifat larut dalam alkohol dan pelarut organik namun tidak larut
dalam air. Struktur kimia dan reaksi dekomposisi AIBN
diilustrasikan pada gambar 1.6 dan 1.7.
Gambar 1.6. Rumus struktur AIBN
Gambar 1.7. Reaksi Dekomposisi AIBN
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
9
4. Polimerisasi Polimerisasi adalah peristiwa bergabungnya unit-unit sejenis
(monomer) membentuk sebuah rantai senyawa sejenis yang disebut
sebagai polimer (Kirk-Othmer, 1982). Polimer memiliki sifat-sifat
istimewa yang tidak dimiliki oleh unit konstituennya sehingga
polimerisasi dilakukan secara komersil pada skala indutri untuk
meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomi senyawa monomer. Secara
umum polimerisasi terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Chain-growth polymerization
Polimerisasi tipe chain-growth ditandai oleh terjadinya
reaksi berantai yang sangat cepat saat reaksi mulai diinisiasi.
Reaksi polimerisasi dimulai dengan penambahan suatu bahan
inisiator yang menyebabkan sebuah monomer aktif sehingga
berikatan dengan monomer lainnya. Chain-growth polymerization
terbagi atas beberapa jenis berdasarkan inisiator yang digunakan.
Polimerisasi vinil asetat pada pabrik ini umumnya diinisiasi dengan
penambahan bahan yang bersifat radikal bebas, sehingga disebut
dengan free-radical addition (Kirk-Othmer, 1982). Pada proses ini
senyawa inisiator dirubah menjadi radikal bebas yang menginduksi
sebuah monomer menjadi radikal monomer dan menyerang
monomer lainnya untuk berikatan dan membentuk rantai polimer.
Tahap polimerisasi yang terjadi dijabarkan pada reaksi-reaksi
berikut.
Inisiasi I I’ (4)
I’ + M I – M’ (5)
Propagasi I – M’ + nM I – Mn – M’ (6)
Terminasi 2 I − Mn – M’ I − Mn − M − Mn − I (7)
2 I − Mn – M’ I − Mn − M' + I − Mn − M'' (8)
(Kirk-Othmer, 1982)
Pada persamaan-persamaan di atas I melambangkan
inisiator, I’ adalah inisiator yang telah terdekomposisi menjadi
radikal bebas, M adalah monomer gugus vinil, I – M’ adalah
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
10
radikal monomer gugus vinil, I − Mn – M’ adalah radikal polimer,
serta M' dan M'' adalah ujung rantai polimer yang dihasilkan oleh
tahap terminasi karena disproporsionasi. Tahap propagasi terjadi
dengan sangat cepat, sehingga umumnya diambil asumsi bahwa
tahap inisiasi adalah rekasi yang mengendalikan. Pada reaksi adisi
radikal bebas waktu reaksi yang dibutuhkan dari tahap inisiasi
hingga terminasi biasanya kurang dari satu detik. Namun rantai
polimer yang telah mengalami terminasi tidak akan mengalami
pertumbuhan meski reaksi terus berjalan. Oleh karena itu, polimer
dengan berat molekul tinggi dapat diperoleh sejak awal reaksi
namun konversi monomer relatif rendah. Untuk meningkatkan
konversi, monomer ditambahkan secara bertahap selama reaksi
berlangsung.
b. Step-growth polymerization.
Polimerisasi tipe step-growth atau dikenal juga sebagai
polimerisasi kondensasi ditandai oleh rantai polimer yang memiliki
nilai reaktivitas terminal tertentu dan terus bertambah panjang
selama berjalannya reaksi. Reaksi polimerisasi berjalan lambat
dimana sebuah reaktan monomer dapat bereaksi dengan monomer
lainnya atau dengan polimer membentuk rantai polimer yang lebih
panjang. Untuk memperoleh polimer dengan berat molekul tinggi
dibutuhkan konversi yang tinggi dan kondisi yang mendekati
kesetimbangan stoikiometri, sehingga polimer yang terbentuk
biasanya dipisahkan dengan cara kondensasi (Kirk-Othmer, 1982).
Polimerisasi vinil asetat dapat dijalankan dengan metode bulk,
suspensi, larutan, maupun emulsi.
i. Polimerisasi Emulsi
Sekitar 90% sintesis polivinil asetat dijalankan dengan
menggunakan metode polimerisasi emulsi. Proses polimerisasi
emulsi melibatkan monomer, air, surfaktan, inisiator, dan buffer.
Benzoyl peroxide biasanya digunakan sebagai inisiator dalam
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
11
polimerisasi emulsi karena mudah larut dalam air. Larutan buffer
seringkali ditambahkan ke dalam reaksi polimerisasi emulsi untuk
menstabilkan pH karena hidrolisis vinil asetat bersifat sensitif
terhadap pH, selain itu inisiator juga terdekomposisi pada pH
tertentu. Chain transfer agent juga ditambahkan untuk mengontrol
berat molekul dari polivinil asetat yang dihasilkan.
Proses polimerisasi emulsi dapat dilakukan dengan cara
memasukkan semua bahan yang dibutuhkan ke reaktor, kemudian
memanaskan sistem, dan mengaduk campuran sampai reaksi
selesai terjadi. Pada saat reaksi berlangsung, temperatur reaksi
dikontrol dengan menggunakan sistem pendingin. Penambahan
monomer dilakukan secara kontinyu ke dalam reaktor untuk
menghasilkan polivinil asetat dalam partikel yang lebih kecil dan
dispersi yang lebih stabil.
ii. Polimerisasi Bulk
Polimerisasi Bulk adalah polimerisasi yang paling mudah
untuk dilakukan, namun juga merupakan reaksi polimerisasi yang
sangat sulit untuk dikontrol, apalagi jika reaksi yang terjadi bersifat
eksotermis. Transfer panas antara monomer dan polimer juga
menyebabkan peningkatan kekentalan sehingga penggunaan
metode bulk pada industri mulai dibatasi. Polimerisasi bulk
dimanfaatkan untuk memproduksi polivinil asetat dengan berat
molekul rendah.
iii. Polimerisasi Suspensi
Polimerisasi suspensi melibatkan monomer yang
didispersikan ke dalam cairan yang bersifat tidak melarutkan,
misalnya air. Monomer di dalam suspensi diaduk secara kontinyu
dan ditambahkan stabilizer misalnya seperti polivinil alkohol dan
methyl cellulose. Polimerisasi suspensi dilakukan dengan inisiator
yang dapat larut dalam monomer serta stabilizer dalam jumlah
yang sedikit. Jika proses dikontrol dengan baik, polimer yang
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
12
dihasilkan dapat benrbentuk butiran-butiran kecil sehingga mudah
untuk dipisahkan melalui filtrasi atau dengan metode spray drying.
Kelebihan utama dari metode polimerisasi suspensi ini
adalah transfer panas terjadi dengan sangat efisien sehingga reaksi
dapat dikontrol dengan mudah. Polimerisasi suspensi tidak dapat
dilakukan untuk polimer yang bersifat lengket misalnya elastomer,
karena berpotensi untuk menyebabkan terjadinya agglomerasi pada
partikel. Dari sisi kecepatan reaksi dan mekanisme, polimerisasi
suspensi bersifat mirip dengan polimerisasi bulk. Polimerisasi
suspensi biasa digunakan pada sintesis polimer untuk perekat dan
aplikasi coating.
iv. Polimerisasi Larutan
Seperti halnya polimerisasi suspensi, polimerisasi larutan juga
menyebabkan terjadinya transfer panas yang efisien, namun pelarut
yang digunakan harus dipilih secara hati-hati karena dapat
menyebabkan terjadinya reaksi chain transfer yang pada akhirnya
akan menghasilkan polimer dengan berat molekul rendah. Salah
satu kendala dalam metode ini adalah sulitnya memisahkan pelarut
dari polimer yang dihasilkan. Ide yang sedang dikembangkan
adalah dengan menggunakan karbon dioksida superkritis sebagai
solven dalam proses polimerisasi, karena karbon dioksida
superkritis bersifat tidak beracun, murah, dan mudah dipisahkan
dari polimer yang dihasilkan.
Polimerisasi larutan biasanya dipilih untuk menghasilkan
produk polivinil asetat intermediet guna diproses lebih lanjut untuk
menjadi polivinil alkohol. Pelarut yang digunakan adalah metanol.
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
13
Perbandingan masing-masing metode polimerisasi untuk
memproduksi polivinil asetat disajikan pada tabel 1.2.
Tabel 1.2. Perbandingan Metode Polimerisasi untuk Sintesis Polivinil Asetat
Metode Polimerisasi Kelebihan Kekurangan
Bulk Mudah dilakukan.
Reaksi sulit untuk dikontrol apabila sangat
eksotermis. Tidak ada kontaminan
yang ditambahkan. Kekentalan tinggi.
Suspensi
Panas mudah untuk terdispersi.
Diperlukan proses pencucian dan pengeringan.
Viskositas rendah. Agglomerasi dapat terjadi.
Polimer yang dihasilkan dalam bentuk butiran dan dapat langsung digunakan.
Stabilizer dapat mengkontaminasi.
Larutan
Panas mudah untuk terdispersi.
Terdapat tambahan biaya untuk pelarut.
Viskositas rendah. Pelarut sulit untuk dipisahkan.
Polimer yang dihasilkan dalam bentuk butiran dan dapat langsung digunakan.
Dapat menyebabkan polusi lingkungan.
Emulsi
Panas mudah untuk terdispersi.
Kontaminan berasal dari emulsifier dan
bahan-bahan lainnya.
Viskositas rendah.
Diperlukan proses pencucian dan pengeringan.
Polimer yang dihasilkan memiliki berat molekul
yang besar. Dapat digunakan secara langsung sebagai emulsi.
Metode yang baik digunakan jika polimer
bersifat lengket.
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
14
Dari uraian metode polimerisasi diatas disimpulkan bahwa
metode polimerisasi yang cocok digunakan untuk sintesis polivinil
asetat adalah metode polimerisasi larutan, karena polivinil asetat
yang dihasilkan dalam bentuk cairan. Polivinil asetat dalam bentuk
larutan lebih diinginkan karena reaksi selanjutnya yang terjadi
adalah reaksi cair-cair antara polivinil asetat dengan metanol
sehingga akan lebih mudah untuk dikonversi lebih lanjut menjadi
polivinil alkohol. Sintesis polivinil asetat sebagai produk akhir
pada skala industri umumnya menggunakan metode polimerisasi
emulsi.
Inisiator yang umum digunakan adalah senyawa peroksida
seperti butil peroksipivalat, di(2-etilheksil) peroksidikarbonat, butil
peroksineodekanoat, benzoil peroksida, lauril peroksida, atau
senyawa azo seperti 2,2’-azobis-iso-butironitril (AIBN) (Kirk-
Othmer, 1982). Tahap terminasi pada polimerisasi polivinil asetat
umumnya mengikuti mekanisme disproporsionasi sehingga
menghasilkan dua molekul polimer dimana salah satu molekul
memiliki ikatan rangkap pada ujung rantainya.
Kondisi operasi pada raksi polimerisasi vinil asetat
dirancang berdasarkan karakteristik produk akhir yaitu polivinil
alkohol yang diinginkan. Pada polimerisasi vinil asetat dapat
terjadi fenomena transfer rantai (chain transfer) secara
intermolekuler. Fenomena transfer rantai adalah peristiwa
pindahnya gugus aktif dari sebuah rantai polimer aktif ke molekul
lain, dimana molekul baru ini disebut agen transfer rantai.
Terjadinya transfer rantai antara radikal monomer yang sedang
tumbuh dengan larutan metanol adalah reaksi samping yang tidak
diinginkan karena menyebabkan terbentuknya polimer dengan
berat molekul rendah. Fenomena transfer rantai dapat dihindari
dengan menjaga kondisi reaksi pada suhu rendah serta dengan
penambahan asam (2 – 50 ppm) seperti asam fosfat, asam oksalat,
asam sitrat, dan asam tartarat.
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
15
5. Transesterifikasi Polivinil Alkohol
Polivinil alkohol tidak dapat disintesis dari polimerisasi vinil
alkohol karena sifat monomernya yang tidak stabil dan cenderung
membentuk asetaldehid menurut reaksi keto-enol tautomerisasi. Reaksi
tautomerisasi adalah reaksi kesetimbangan kimia antara senyawa keto
(keton atau aldehid) dengan senyawa enol (alkohol), dimana terjadi
pertukaran atom hidrogen dan pergeseran ikatan rangkap pada rantai
utama senyawa. Senyawa keto dan enol tersebut adalah tautomer bagi
satu sama lain, yaitu isomer senyawa organik pada reaksi tautomerisasi.
Pada kasus reaksi tautomerisasi vinil alkohol seperti dijabarkan pada
gambar 1.8, bentuk senyawa keto (aldehid) lebih stabil daripada
senyawa enol (vinil alkohol) (Morrison-Boyd, 2002).
Gambar 1.8. Reaksi Keto-enol Tautomerisasi Vinil Alkohol
Pembentukan poli(vinil alkohol) dari poli(vinil asetat) dapat
dijalankan dengan metode aminolisis, hidrolisis, maupun
transesterifikasi.
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
16
a. Hidrolisis
Karakteristik reaksi hidrolisis adalah menggunakan air sebagai
reaktannya dengan mengikuti persamaan reaksi seperti pada
gambar 1.9.
Gambar 1.9. Reaksi Hidrolisis Poli(vinil asetat) menjadi Poli(vinil alkohol)
Pada skala industri, metode esterifikasi lebih disukai daripada
metode hidrolisis karena distribusi gugus fungsional alkohol
pada rantai produk PVA lebih teratur sehingga molekul polimer
lebih stabil. Selain itu, reaksi hidrolisis jarang digunakan untuk
memproduksi PVA karena laju reaksinya lebih lambat
dibandingkan dengan proses transesterifikasi.
b. Aminolisis
Reaksi aminolisis tidak lagi digunakan di industri utuk sintesis
PVA karena reaksi ini sangat sensitif terhadap pH (Satterthwait,
1974). Reaksi aminolisis berjalan berdasarkan reaksi pada
gambar 1.10.
Gambar 1.10. Reaksi Aminolisis Polivinil asetat menjadi Polivinil
alkohol
Prarancangan Pabrik Polivinil Alkohol
dari Vinil Asetat Monomer dan Metanol dengan Kapasitas 30.000 ton/tahun
Fadhila El Discha (10/296614/TK/36180) Andradhita Rahmania A. (10/297932/TK/36458)
17
c. Transesterifikasi
Proses transesterfikasi adalah proses dimana sejumlah kecil
asam atau basa ditambahkan sebagai katalis untuk mengubah
ester. Reaksi transesterifikasi antara poli(vinil asetat) dengan
basa alkohol menghasilkan poli(vinil alkohol) dan aldehid
terjadi menurut persamaan pada gambar 1.11.
Gambar 1.11. Reaksi Transesterifikasi Polivinil Asetat dengan
Alkohol Katalis yang umum digunakan pada reaksi di atas adalah
NaOH maupun KOH. Derajat hidrolisis dapat diatur dengan
penyesuaian waktu reaksi, konsentrasi katalis, dan suhu reaksi.
Umumnya produk PVA adalah kopolimer dari poli(vinil
alkohol) dan poli(vinil asetat) dengan kandungan poli(vinil
asetat) berkisar antara 0-30%.
Produk PVA biasanya dikelompokkan berdasarkan derajat
hidrolisisnya, yaitu perbandingan antara gugus alkohol (OH)
terhadap jumlah gugus fungsional secara keseluruhan. PVA
yang terhidrolisis sempurna artinya tidak lagi memiliki gugus
asetat (OCOCH3) pada rantainya. Derajat hidrolisis produk PVA
secara komersil dikelompokkan berdasarkan tabel 1.3.
Tabel 1.3. Klasifikasi Produk PVA berdasarkan Derajat Hidrolisisnya (Kirk-Othmer, 1982)