BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66549/potongan/S3-2013... ·...
Transcript of BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66549/potongan/S3-2013... ·...
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Perubahan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kehidupan
setiap organisasi. Tuntutan perubahan terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik
individu, kelompok masyarakat, lembaga, organisasi, maupun perusahaan.
Sumber utama pemicu perubahan berasal dari faktor di luar organisasi dan faktor
dalam organisasi. Menurut Cummings dan Worley (1997) perubahan organisasi
disebabkan oleh permasalahan atau munculnya ketidakwajaran yang menuntut
organisasi untuk berubah. Penyebab perubahan itu di antaranya adalah
kebutuhan proses, perubahan struktur industri atau struktur pasar, perubahan
persepsi, perubahan peraturan, pengetahuan baru yang menimbulkan makna
baru, dan inovasi. Tujuannya adalah agar organisasi mampu mengembangkan
diri. Selain itu, faktor teknologi juga berperan dalam mendorong terjadinya
perubahan, kompetisi yang tinggi, dan tuntutan para pengguna jasa yang
semakin meningkat.
Akin dan Palmer (2000) menjelaskan bahwa kemajuan teknologi, tekanan
sosial dan politik, perubahan segmen, dan kekuatan internal yang meliputi
permasalahan sumber daya manusia, dan perilaku pengelola menjadi penyebab
terjadinya perubahan organisasi. Berdasarkan sumber terjadinya perubahan
organisasi, dorongan bagi organisasi untuk berubah terjadi secara terus menerus
dan menuntut dilakukan secara serius. Menurut Lewin (dalam Cumming dan
Worley, 1997), terjadinya perubahan diawali adanya psychological disconfirm-
ation, yaitu adanya dorongan untuk mengurangi mempertahankan perilaku
2
dengan diikuti tahap selanjutnya, yaitu penjelasan alasan perlunya terjadi
perubahan sehingga interaksi kekuatan akan terjadi, yaitu kekuatan untuk
mempertahankan perilaku yang sudah ada sebelumnya (enggan untuk berubah)
dengan kekuatan tekanan perlunya berubah.
Ada kalimat bijak yang terkait dengan proses perubahan organisasi, yaitu
“Jangan memberikan tantangan pada individu dengan perubahan radikal,
lakukan pendekatan bertahap dan berikan mereka waktu untuk menyesuaikan.”
Pernyataan tersebut, untuk kondisi dan gaya perubahan organisasi saat ini
cenderung konvensional dan kurang tepat untuk menjadi acuan. Kenyatannya,
perubahan organisasi harus berhasil, terjadi dengan cepat, dan harus melahirkan
suatu momentum. Masalahnya adalah perlu kemampuan organisasi mengetahui
bagaimana mengelola efektivitas perubahan organisasi secara tepat. Pada
beberapa penelitian, diungkapkan bahwa resistansi atau penolakan terhadap
berlangsungnya proses perubahan dimanifestasikan melalui disfungsi sikap
(tidak mau terlibat atau bersikap sinis) dan perilaku menolak para anggota
organisasi yang dapat menghambat efektivitas perubahan organisasi
(Abrahamson, 2000;Stanley, Meyer, & Topolntsky., 2005).
Memahami perubahan organisasi dan proses pengembangan dari
perspektif tingkat makro telah banyak diteliti. Penelitian dalam area ini difokuskan
pada variabel tingkat sistem dan organisasi, misalnya re-engineering (Hill &
Collins, 1999), downsizing (Freeman, 1999) atau perubahan dalam budaya
organisasi (Bedingham, 2004). Beberapa studi mengindikasikan banyak
kegagalan usaha perubahan organisasi, misalnya Clegg dan Walsh (2004)
mengemukakan ketidakefektifan 12 pengembangan organisasi pada 898
perusahaan manufaktur di empat negara. Salah satu alasan mengapa perubahan
3
yang ditegakkan kurang berhasil adalah perubahan meningkatkan emosi negatif,
kecemasan, ketidakpastian, dan ketidakjelasan di antara anggota organisasi
(Bordia, Hobman, Jones, Gallois, & Callan, 2004). Beberapa studi mengenai
resistansi (daya tolak) terhadap perubahan menunjukkan keengganan untuk
mendukung perubahan (Applebaum & Batt, 1993; Judson, 1991 dalam Luthans,
Norman, Avolio, & Avey, 2008).
Beberapa penelitian organisasi yang menganalisis proses psikologis
individu dalam konteks perubahan organisasi sebenarnya telah memadukan
antara tingkatan analisis dan tingkatan konseptual. Beberapa studi tingkat
organisasi atau kolektif yang menguji data proses psikologi diperoleh pada
tingkat individual sebagaimana dilakukan Fuller dkk. (2007), Ingersol, Kirsch,
Merk, dan Lightfoot (2000), Rampazzo, De Angeli, Seperlloni, Simpson, dan
Flynn (2006), serta Weeks dkk. (2004). Meskipun ada kesepakatan umum
tentang peran penting pada individu-individu sebagai anggota organisasi
mengenai sikap dan perilakunya dalam menentukan perubahan kelompok dan
organisasi, studi-studi tersebut membutuhkan laporan yang cukup detail dalam
mengulas dinamika serta hubungan konstrak (construct) psikologis, baik di
tingkat individual maupun di tingkat kolektif (organisasional).
Penekanan pada individu adalah salah satu indikator penting dalam
mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan proses perubahan organisasi.
Konsekuensinya adalah perhatian diarahkan pada faktor-faktor yang
memengaruhi sikap individu pada perubahan, khususnya adalah komitmen pada
perubahan. Beberapa literatur perubahan menjelaskan bahwa mereka yang
memiliki komitmen pada perubahan lebih memungkinkan untuk menerima
perubahan dibandingkan mereka yang kurang memiliki komitmen. Hal ini
4
menunjukkan bahwa komitmen pada perubahan memberikan keuntungan pada
organisasi (Yousef, 2000).
Dukungan anggota terhadap perubahan yang sedang berlangsung dalam
suatu organisasi dapat dianalisis dari tinggi rendahnya komitmen pada
perubahan (Herscovitch & Meyer, 2002; Meyer, Srinivas, Lal, & Topolnytsky,
2007; Swailes, 2004; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa secara umum komitmen menjadi indikator keluaran positif
(positive outcomes) dari pengelolaan perubahan organisasi (Chawla & Kelloway,
2004).
Perubahan yang diinisiasikan oleh organisasi tidak akan berhasil jika
belum sampai menyentuh ranah individu, artinya tidak akan ada perubahan jika
belum berhasil membuat individu berubah (individual change). Teori tentang
perubahan sangat menekankan pentingnya komitmen pada perubahan, terutama
dalam model-model yang menjelaskan proses implementasi perubahan
(Armenakis, Harris, & Field, 1999; Klein & Sorra, 1996). Komitmen menjadi faktor
paling penting yang dilibatkan pada dukungan anggota organisasi pada
perubahan (Armenakis, Harris, & Field, 1999; Conner & Patterson, 1982; Klein &
Sorra, 1996). Klein dan Sorra (1996) juga menekankan bahwa komitmen
merupakan komponen sentral pada model mereka tentang efektivitas
implementasi inovasi di tempat kerja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
dukungan anggota organisasi adalah prasyarat untuk berbagai macam tipe
keberhasilan perubahan (Piderit, 2000).
Permasalahan utama adalah perubahan organisasi menimbulkan
ketegangan tidak hanya bagi organisasi sebagai keseluruhan, tetapi juga bagi
anggota dalam organisasi tersebut (Vakola & Nikolau, 2005). Artinya, jika
5
organisasi ingin berhasil dalam mengimplementasikan perubahan, strategi
perubahan harus dikembangkan dengan menekankan proses psikologis anggota.
Luputnya perhitungan proses psikologis dalam menyusun strategi perubahan
kemungkinan akan mengakibatkan kegagalan perubahan. Pentingnya proses
psikologis dalam menghadapi perubahan oganisasi ditunjukkan dengan
metaanalisis mengenai reaksi anggota organisasi terhadap perubahan
organisasi. Dengan diitemukannya korelasi sebesar 0,292 berarti bahwa
karakteristik perubahan organisasi yang tidak mengakibatkan ancaman
psikologis akan meningkatkan dukungan anggota terhadap perubahan
organisasi, para anggota organisasi akan berespons tidak menyenangkan pada
perubahan yang mengancam pekerjaannya (Kusumaputri, 2010).
Lebih jauh lagi, implementasi perubahan tanpa memperhatikan aspek
individu mengakibatkan anggota organisasi mengalami stres dan sinisme serta
masing-masing menunjukkan rendahnya komitmen pada perubahan.Tinggi atau
rendahnya komitmen pada perubahan ditunjukkan oleh resistansi pada
perubahan, yaitu turn over, sinisme, dan tingkat absensi yang tinggi. Semuanya
dapat dianalisis secara menyeluruh dengan menekankan sejauh mana
penerimaan anggota organisasi terhadap perubahan yang dipengaruhi oleh
karakteristik proses perubahan, di antaranya adalah komunikasi dan partisipasi
yang terbentuk (Dent & Goldberg, 1999; Oreg, 2006; Berneth, Armenakis, Field,
& Walker, 2007; Devos, Buelens, & Bouckennooghe, 2008). Selain itu,
karakteristik perubahan yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas
anggota organisasi atau sebaliknya mengancam keamanan kerja (job security)
yang berperan membentuk tingkat daya tolak yang tinggi dari anggota organisasi
(Devos, Buelens, & Bouckennooghe, 2008; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006).
6
Pentingnya organisasi melakukan pengelolaan terhadap manusia
menghindarkan terjadinya berbagai kerugian yang ditimbulkan. Analisis Porras
dan Robertson (1992) menjelaskan bahwa untuk merealisasikan perubahan yang
terjadi, organisasi harus menumbuhkan kerja sama (cooperation) di antara para
anggotanya. Resistansi pada perubahan dapat menghambat proses perubahan
(Miller, Jonhson, & Grau, 1994; Piderit, 2000). Resistansi pada perubahan juga
diindikasikan dengan keluaran (outcomes) negatif, seperti penurunan kepuasan,
rendahnya komitmen, penurunan produktivitas dan kesejahteraan psikologis
(psychological well-being), ketidakhadiran, dan keluar masuknya anggota
organisasi (Bordia, Hunt, Paulsen, Tourish, & DiFonso, 2004; Miller dkk., 1994).
Beberapa penulis memandang komitmen sebagai dimensi efektivitas
organisasi (Schein, 1970 dalam Cohen, 2007). Tokoh lain memandang komitmen
sebagai kekuatan yang berkontribusi pada peningkatan efektivitas organisasi
melalui perbaikan unjuk kerja dan mengurangi tingkat keluar masuk anggota
(Steers, 1977). Bagaimanapun interpretasi komitmen telah menjadi variabel yang
diutamakan karena keyakinan bahwa peningkatan komitmen, dalam beberapa
hal, akan meningkatkan efektivitas organisasi sehingga masih menjadi sesuatu
yang dapat dikembangkan dalam diri anggota.
Konsep komitmen merupakan pandangan yang cukup lama dalam
literatur manajemen (Swailes, 2002). Komitmen organisasi dipahami sebagai
hasil positif dan penentu dalam perubahan pengelolaan organisasi (Coopey &
Hartley, 1995; Guest, 1992; Iverson, 1996). Secara khusus, komitmen dikaitkan
dengan intensi perilaku positif dan aksi-aksi (Meyer, Srinivas, Lal, & Topolyntsky,
2007) di bawah kendali individu-individu secara langsung dan merupakan
komponen penting dalam pencapaian program-program perubahan organisasi
7
yang melibatkan tujuan-tujuan pekerjaan baru, metode kerja yang baru, dan
struktur yang baru.
Komitmen organisasi yang menjadi acuan dalam pengembangan
komitmen pada perubahan organisasi cukup sulit untuk didefinisikan dan belum
ada konsensus yang jelas di antara para ahli sebagaimana tercermin dalam
literatur tentang komitmen. Penelitian mengenai komitmen banyak menggunakan
model tiga komponen yang dikembangkan Meyer dan Allen (1991).Tiga
komponen komitmen tersebut juga dikembangkan menjadi komitmen pada
perubahan (Meyer, Srinivas, Lal, & Topolnytsky, 2007; Herscovitch & Meyer,
2002). Khusus pada situasi organisasi yang sedang mengalami perubahan,
selain dua komponen komitmen, yaitu komitmen afektif dan komitmen normatif,
komitmen berkelanjutan memiliki hubungan yang tidak konsisten dan juga tidak
kuat dengan beberapa keluaran organisasi (organizational outcomes) dan faktor-
faktor organisasional lainnya (Mathieu & Zajac, 1990; Herscovitch & Meyer,
2002).
Penelitian tentang komitmen pada perubahan secara intens baru
dilakukan oleh Herscovitch dan Meyer (2002) yang mengembangkan komitmen
perubahan berdasarkan komitmen organisasi dengan menggunakan tiga dimensi
komitmen. Penelitian Herscovitch dan Meyer terbaru di tahun 2007 tentang
komitmen pada organisasi pada diri pekerja dilakukan dengan
mempertimbangkan dua budaya (Meyer, Srinivas, Lal, & Topolyntsky, 2007),
yaitu India dan Kanada. Yang patut disayangkan adalah hasil penelitian tersebut
kurang menjelaskan perbedaan dua budaya, yaitu pekerja perusahan di India
yang lebih diwarnai budaya kolektif. Hal ini ditunjukkan dengan skor tinggi dalam
hal budaya kolektif di India dibandingkan skor yang diperoleh perusahaan dari
8
Kanada yang memiliki skor rendah pada kolektivistik kelompok. Dikatakan bahwa
perbedaan budaya berimplikasi pada profil komitmen pada perubahan,
berdasarkan analisis dari Hofstede (1998) dan Global Leadership and Organizat-
ional Behavior Effectiveness (Felve, Yan, dan Six, 2008).
Herscovitch dan Meyer (2002) mendefinisikan komitmen pada perubahan
sebagai kerangka pikir yang mengikat individu-individu untuk cenderung
berperilaku sesuai yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan implementasi
perubahan. Kerangka pikir ini merefleksikan (a) hasrat memberikan dukungan
pada perubahan berdasarkan keyakinan adanya keuntungan yang pasti akan
inherent dengan dukungan, (b) perhitungan bahwa akan ada kerugian yang
ditimbulkan bila gagal memberikan dukungan pada perubahan, dan (c) ada
perasaan kewajiban untuk memberikan dukungan pada perubahan.
Dalam penelitiannya, Herscovitch dan Meyer (2002) menemukan bahwa
di antara berbagai dimensi profil komitmen pada perubahan, hanya komitmen
afektif dan normatif yang menunjukkan dukungan yang tinggi pada perubahan.
Penjelasannya adalah sifat alamiah komitmen perlu dipahami dalam menjelaskan
kemauan anggota organisasi untuk melampaui persyaratan minimum yang
diperlukan dalam mencapai tujuan organisasi. Anggota organisasi yang merasa
yakin dengan perubahan dan ingin berkontribusi mencapai keberhasilan (komit-
men afektif kuat) atau merasa suatu kewajiban untuk mendukung perubahan
(komitmen normatif) akan melakukan lebih yang dipersyaratkan, bahkan bersedia
jika harus melibatkan pengorbanan diri. Sebaliknya, anggota organisasi yang
berkomitmen pada perubahan yang memprioritaskan perhitungan untung rugi
(komitmen berkelanjutan) akan melakukan lebih sedikit yang dipersyaratkan.
9
Kelemahan penelitian Herscovitch dan Meyer (2002) serta penelitian
Meyer, Srinivas, Lal, dan Topolyntsky (2007) dalam mengembangkan model tiga
komitmen organisasi menjadi komitmen pada perubahan adalah replikasi dari
komitmen pada organisasi yang secara setting organisasi berbeda ketika orga-
nisasi tersebut mengalami perubahan. Selain itu, di antara tiga komponen
komitmen tidak ditemukan perbedaan antara komitmen afektif dan komitmen
normatif. Komitmen berkelanjutan juga tidak berkorelasi positif dengan perilaku
mendukung perubahan karena situasi perubahan mempersyaratkan anggota
organisasi untuk meluangkan usaha lebih dalam mencapai tujuan perubahan,
dengan tidak mementingkan perhitungan untung rugi dalam hal mendukung
perubahan.
Kelemahan lain dalam replikasi model komitmen perubahan adalah
waktu yang singkat dalam pengambilan data, yaitu tiga bulan untuk menganalisis
perbedaan antara komimen organisasi dan komitmen perubahan. Kondisi
tersebut memungkinkan terjadinya tumpang tindih antara perbedaan komitmen
organisasi dan komitmen pada perubahan organisasi sehingga perlu penelitian
yang khusus menghasilkan teori tentang komitmen pada perubahan organisasi.
Komitmen pada organisasi walaupun sudah cukup banyak diteliti, tetapi
diperlukan studi lagi, terutama karena abad ke-21 merupakan momentum waktu
perubahan di dunia pekerjaan (Cascio, 1995). Berdasarkan tingkat percepatan
dan kompleksitas perubahan di tempat kerja, tidak mengherankan semakin
banyak literatur yang mengkaji penyebab, konsekuensi, dan strategi perubahan
organisasional (Armenakis & Bedeian, 1999; Porras & Robertson, 1992).
Komitmen pada perubahan juga telah dimasukkan ke dalam bermacam-macam
model teoretis perubahan (Klein dan Sorra, 1996; Elias, 2009; Armenakis, dkk.,
10
1999; Peccei, Giangreco, & Sebastiano, 2011; Meyer, Srinivas, Lal, &
Topolnytsky, 2007; Herscovitch & Meyer, 2002; Bernerth, Armenakis, Field, &
Walker, 2007; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006; Chawla & Kelloway, 2004).
Di satu sisi, meskipun penelitian dalam rangka memahami perubahan
organisasi cukup pesat, sebagian besar penelitian tersebut berfokus pada
permasalahan-permasalahan yang relevan dengan perubahan organisasi pada
tingkat organisasional dan kurang memperhatikan tingkat individual (Judge,
Thorensen, Pucik, & Welbourne. 1999; Vakola Tsaouis, & Nikolau, 2003;
Wanberg & Banas, 2000) yang ditunjukkan dengan masih kurangnya bukti-bukti
empiris pada area penelitian ini (Wanberg & Banas, 2000) serta kurangnya
perhatian pada akibat perubahan terhadap individu.
Beberapa artikel yang telah di-review dalam Journal of Management yang
ditulis oleh Armenakis dan Bedeian (1999), Pasmore dan Fagan (1992), Sashkin
dan Burke (1987), lebih menekankan permasalahan-permasalahan makro
dibandingkan permasalahan-permasalahan individual, yaitu menekankan
pencapaian perubahan dengan memfokuskan analisis pada elemen-elemen
organisasi. Berdasarkan review penelitian tentang komitmen pada perubahan,
ditemukan bagaimana perubahan organisasi berdampak pada komitmen
organisasi, tetapi masih kurang informasi terkait bagaimana variabel-variabel
perubahan organisasi berfungsi secara bersamaan. Hal ini menjadi penting untuk
mempertimbangkan perlunya perubahan organisasi yang berfungsi sebagai
penyebab (antecedent) komitmen pada perubahan, karena komitmen penting
untuk pemfungsian organisasi, menjadi salah satu evaluasi berhasilnya
implementasi perubahan.
11
Pada point ini, pertanyaan intinya adalah anteseden apa saja yang
menjadi prediktor komitmen pada perubahan yang menekankan analisis
psikologis?
Pada review tentang penelitian perubahan organisasi sepanjang tahun
1990, teridentifikasi tiga ciri khas mengenai semua usaha perubahan (Armenakis
dan Bedeian, 1990; Bouckenooghe, Devos, Van den broeck, 2009; Van Dam,
Oreg, Schyns, 2008), yaitu kapabilitas organisasi yang mengacu pada
kemampuan organisasi mengelola dan mengimplementasikan perubahan secara
efisien, iklim perubahan yang mengacu pada persepsi anggota terhadap
permasalahan-permasalahan kontekstual di internal organisasi, dan partisipasi
organisasi yang merefleksikan proses partisipasi yang difasilitasi oleh organisasi
untuk membuat perubahan berhasil.
Berdasarkan indikasi tersebut, beberapa penelitian yang menganalisis
perubahan terhadap tingkat penerimaan anggota dengan mengidentifikasi
variabel-variabel yang berperan dalam memengaruhi tingkat penerimaan
anggota terhadap perubahan organisasi. Perubahan yang terjadi mengacu pada
tipe atau substansi perubahan (Armenakis dan Bedeian, 1999), termasuk
restrukturisasi, reengineering, perubahan budaya organisasi, penggunaan
teknologi baru, dan Total Quality Management (Armenakis & Bedeian, 1999;
Beer & Nohria, 2000; Burke, 1994; Burke & Litwin, 2002; Vollman, 1996).
Perubahan yang mengancam job security dapat memiliki efek destruktif pada
moral, sikap, dan well-being, bahkan ketika pekerjaannya sendiri tidak terancam
(Armstrong-Stassen, 2002; Paulsen dkk., 2005). Pada penelitian tersebut
dijelaskan bahwa perubahan yang diarahkan pada pengembangan kapabilitas
organisasi berfokus pada budaya, perilaku, dan sikap tidak akan mengakibatkan
12
para anggota organisasi kehilangan pekerjaan dan tidak mengancam anggota
organisasi.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa jenis perubahan organisasi
yang mengancam job security berakibat pada menurunnya moral, sikap, dan well
being (Armstrong-Stassen, 2002; Paulsen dkk.,2005). Sebaliknya, perubahan
yang diarahkan pada peningkatan kapabilitas organisasi yang dimaknai
meningkatkan kehidupan para anggota organisasi akan semakin meningkatkan
dukungan berupa komitmen pada perubahan organisasi (Fedor, Caldwell, &
Herold, 2006; Rafferty & Griffin, 2006).
Kapabilitas organisasi, menurut Oxtoby, McGuiness, dan Morgan (2002),
adalah kemampuan organisasi untuk merencanakan, merancang, dan meng-
implementasikan starategi perubahan secara efisien dengan seluruh anggota
organisasi. Perubahan mengenai kapabilitas organisasi mengacu pada sejauh
mana implementasi perubahan dalam memanfaatkan sumber daya organisasi
dapat dirancang secara optimal untuk menguntungkan organisasi dan anggota
(Walker, Achilles, Armenakis, & Bernerth, 2007). Kapabilitas perubahan
organisasi yang dipersepsi oleh anggota sebagai kemampuan organisasi untuk
mampu merencanakan, merancang, dan mengimplementasikan strategi
perubahan secara efisien dengan seluruh anggota akan meminimalisasi dampak
negatif pada individu-individu dan proses operasional implementasi perubahan
organisasi.
Kapabilitas organisasi yang dipersepsi oleh anggota tidak dapat
dilepaskan dari jenis perubahan yang terjadi. Bartunek & Moch (1987); Palmer,
Dunford, & Akin (2006) menjelaskan jenis perubahan yang dikategorikan sebagai
urutan pertama (first order) dan urutan kedua (second order). Perubahan tipe
13
pertama (first order) melibatkan penyesuaian dalam sistem, proses, atau struktur,
tetapi tidak melibatkan perubahan fundamental dalam strategi, nilai-nilai inti, atau
identitas organisasi (corporate identity) yang tujuannya adalah untuk
mempertahankan dan mengembangkan organisasi. Sebaliknya, perubahan
urutan kedua (second order) disebut juga perubahan transformasional,
perampingan, restrukturisasi, dan reengineering. Maksud perubahan urutan
kedua adalah mengubah bentuk suatu organisasi secara fundamental.
Jika dibandingkan dua macam karakteristrik perubahan organisasi
tersebut dalam hal proses, skala, dan sasaran perubahan, terdapat konsekuensi
yang berbeda bagi para anggota organisasi yang ada di dalamnya. Perubahan
first-order yang mengacu pada perubahan skala kecil dan tidak begitu
diimplementasikan melalui penyesuaian yang bertujuan untuk memperbaiki
organisasi tidak berdampak pada nilai inti (core value). Sebaliknya, second-order
change bersifat lebih radikal dan revolusioner karena melibatkan proses
transformasional pada organisasi, dan menyentuh hingga nilai inti organisasi.
Jika dibandingkan pada first order, perubahan second-order lebih memungkinkan
menimbulkan resistansi karena sering kali menimbulkan ketidakpastian dan
ancaman bagi anggota organisasi (Levy & Mery, 1986).
Selain itu karakteristik perubahan organisasi selain first order dan second
order adalah transitional change, yaitu perubahan yang terjadi karena adanya
situasi yang diinginkan mendorong terjadinya perubahan (Ackerman, 1997 dalam
Cameron, 2004). Inilah yang menjadi dasar dalam model Lewin
mengkonseptualisasikan perubahan sebagai proses tiga tahap yaitu unfreezing,
moving, dan refreezing. Schein mengembangkan kembali tentang tiga
tahap,bahwa unfreezing melibatkan ketidaknyamanan harapan, membangkitkan
14
kecemasan, dan adanya keputusan bahwa kenyamanan psikologis yang akan
mengubah kecemasan menjadi motivasi untuk berubah. Pergerakkan menuju
posisi baru dicapai melalui restrukturisasi kognitif melalui identifikasi model yang
baru atau mentor dan mencari informasi baru yang relevan. Sedangkan
refreezing terjadi ketika sudut pandang baru diintegrasikan kedalam keseluruhan
kepribadian dan konsep diri, serta hubungan yang signifikan
Hal selanjutnya dari perubahan organisasi yang dipertimbangkan cukup
berpeluang menjadi prediktor terhadap reaksi anggota pada perubahan,
khususnya komitmen pada perubahan, adalah proses perubahan organisasi dari
mulai diperkenalkannya perubahan hingga implementasi perubahan. Agen-agen
perubahan harus menyiapkan para anggota organisasi untuk melewati proses
perubahan melalui keterbukaan komunikasi yang berlandaskan kejujuran.
Armenakis dkk. (1993) menjelaskan bahwa merancang kesediaan untuk
berubah memerlukan usaha proaktif dari para pengelola untuk memengaruhi
keyakinan, sikap, intensi, dan akhirnya perilaku sebagai target perubahan. Usaha
proaktif pengelola, yaitu dari pemimpin organisasi, atasan langsung, atau
pengelola diwujudkan dengan menumbuhkan partisipasi aktif anggota (Walker,
Achilles, Armenakis, & Bernerth, 2007). Pentingnya dukungan, partisipasi yang
ditumbuhkan dari semua anggota organisasi menunjukkan keseriusan pengelola
tentang perubahan dan tidak hanya sekedar program sesaat, serta untuk
meyakinkan semua anggota bahwa perubahan yang dilaksanakan akan
menguntungkan diri pribadi dan organisasi.
Selaras dengan penjelasan di atas, prosedur perubahan manajemen
yang dipersepsi oleh anggota organisasi sebagai sarana para anggota organisasi
untuk berpartisipasi dalam merencanakan dan melaksanakan perubahan akan
15
meningkatkan penerimaan terhadap perubahan (Coch & French, 1948; Sagie
dan Koslowski, 1996; Devoz, Buelens, dan Bouckenooghe, 2008). Adapun
komunikasi dan partisipasi antara pemimpin dan anggota termasuk dalam
perubahan organisasi yang berorientasi pada proses yang menekankan
partisipasi yang difasilitasi organisasi (Bouckenooghe, Devos, dan Broeck, 2009).
Selain itu, kesan sebagai bahan proses interpretasi perubahan dapat
dihasilkan dari proses komunikasi yang berlangsung saat menyampaikan isi,
strategi, dan tujuan yang akan dicapai (Stanley, Meyer & Topolyntsky, 2005).
Pemberian informasi tentang perubahan bertujuan untuk memberikan
pemahaman tentang peristiwa-peristiwa yang dapat diantisipasi, seperti
perubahan khusus yang akan terjadi, konsekuensi dari perubahan, dan
perubahan peran pekerjaan. Pemberian informasi pada anggota organisasi dapat
mengurangi ketidakpastian dan kecemasan (Johnson, Bernhagen, Miller, & Allen,
1996; Miller dkk., 1994) dan dapat memaksimalkan kontribusi untuk
meningkatkan keterbukaan terhadap perubahan (Stanley, Meyer & Topolyntsky,
2005; Warnberg & Banas, 2000).
Sebaliknya, komunikasi yang tidak terkelola dengan baik kemungkinan
akan menghasilkan perbincangan yang belum tentu benar (rumor) tentang
perubahan di antara para anggota (DiFonzo, Bordia, & Rosnow, 1994), serta
berpeluang meningkatkan sinisme terhadap perubahan (Stanley, Meyer &
Topolyntsky, 2005), dan hasil negatif seperti tingkat ketidakhadiran (Johnson
dkk., 1996). Semua itu merupakan indikasi rendahnya komitmen (Coch & French,
1948; Chawla & Kelloway, 2004). Pentingnya proses perubahan yang
direfleksikan dari komunikasi yang terbentuk, dukungan organisasi, dan proses
partisipasi yang terbentuk dengan komitmen antaranggota ditunjukkan dalam
16
penelitian Chawla dan Kelloway (2004) dengan nilai korelasi sebesar 0,39,
Ebby, Adams, dan Russell (2000) dengan nilai korelasi sebesar 0,46, dan
Shapiro (1999) dengan nilai korelasi sebesar 0,22.
Hal lain dari perubahan adalah pemaknaan para anggota organisasi
tentang kondisi internal organisasi saat perubahan terjadi yang disebut iklim
perubahan (Tierney, 1999). Studi penelitian menunjukkan bahwa iklim perubahan
yang menekankan kepercayaaan terhadap pimpinan serta kohesivitas yang
terbentuk di antara anggota dengan pemimpin menjadi salah satu cara untuk
mengatasi ketidakpastian akibat perubahan. Jika kondisi internal organisasi saat
perubahan dimaknai negatif, timbullah sinisme para anggota yang berpotensi
untuk berpengaruh negatif pada keberhasilan perubahan (Walker, Achilles,
Armenakis, & Bernerth, 2007). Selain itu, Gioia dan Thomas (1996) meneliti
bagaimana tim manajemen puncak di perguruan tinggi merancang permasalahan
yang berdampak pada strategi perubahan dalam dunia akademik modern.
Ditemukan bahwa persepsi para anggota manajemen puncak tentang identitas
dan kesan adalah kunci proses interpretasi perubahan.
Perlunya strategi manajemen yang kolaboratif, pengembangan visi, dan
aksi-aksi yang dijalankan sama dengan hasil penelitian yang dihasilkan oleh
Bordia dkk. (2004) dan Oreg (2006) dalam menumbuhkan dukungan pada
perubahan. Dijelaskan bahwa analisis komponen lain pada iklim perubahan
adalah trust pada pemimpin, politik, dan kohesivitas yang terjalin antaranggota
organisasi. Waktu dan ketetapan yang akurat mengenai informasi, peluang
berpartisipasi, dan penyebaraan trust dalam visi managemen yang
melatarbelakangi terjadinya perubahan, merupakan pereda potensial resistansi
anggota organisasi dan meningkatkan dukungan pada perubahan.
17
Meskipun tiga ciri perubahan dapat terbagi menjadi kapabilitas, iklim, dan
partisipasi, tetapi belum ada yang secara simultan menganalisis tiga ciri
perubahan organisasi secara bersamaan. Sebagian besar studi tentang
perubahan organisasi hanya menguji dampak salah satu karakteristik perubahan
organisasi terhadap para anggota organisasi (Armenakis & Harris, 2002;
Boomer, Rich & Rubin, 2005; Oreg, 2006; Wanberg & Banas, 2000; Dam, Oreg,
& Schyns, 2008) dan belum ada penelitian yang mempertimbangkan peran
signifikan potensial bahwa tiga ciri perubahan secara simultan memberikan
pemahaman pada komitmen perubahan (Bernerth, Armenakis, Field, & Walker,
2007; Chawla & Kelloway, 2004; Coyle & Shapiro, 1999; Hornung & Rousseau,
2007). Damonpour (1991) juga menjelaskan pentingnya menganalisis
keberhasilan perubahan dengan mengintegrasikan tiga ciri perubahan tersebut
secara simultan.
Hal menarik lainnya ketika menganalisis reaksi individu terhadap
perubahan adalah perbedaan individual yang membentuk respons secara tipikal
pada perubahan (Oreg, 2003; Avey, Wernshing, & Luthans, 2008; Luthans,
Norman, Avolio, & Avey, 2008; Oreg, 2006). Tidak semua anggota dalam suatu
organisasi yang mengalami perubahan akan menolak perubahan. Penolakan
yang terjadi kemungkinan disebabkan keengganan untuk mengubah situasi kerja
yang selama ini sudah dijalani (Pulakos, Arad, Donovan, & Plamondon, 2000).
Kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki masing-masing individu
memiliki karakteristik potensial yang berpengaruh pada sikap dan perilaku
organisasi (Schneider, 1987; Staw & Ross, 1985). Selama usaha-usaha per-
ubahan organisasional berlangsung, perbedaan-perbedan individual kemungkin-
an memengaruhi reaksi pada perubahan. Contohnya, individu-individu yang
18
memiliki toleransi tinggi terhadap ambiguitas seharusnya lebih mampu mengatasi
ketidakpastian terkait perubahan organisasi (Judge dkk., 1999). Begitu pula
individu-individu yang memiliki keterbukaan tinggi pada suatu pengalaman
(McCrae dan Costa, 1986) diharapkan mampu bereaksi lebih positif terhadap
usaha-usaha perubahan.
Perbedaan individual yang akan dipertimbangkan menjadi mediator
antara variabel-variabel perubahan organisasi dan komitmen pada perubahan
adalah keterbukaan pada perubahan (openness to changes). Keterbukaan pada
perubahan didefinisikan sebagai kemauan anggota organisasi untuk terlibat
dalam transisi pekerjaan di internal organisasi, seperti perubahan tugas,
pekerjaan, departemen, atau lokasi (Van Dam, 2005; Bouckenooghe, 2010).
Perubahan organisasi dapat menimbulkan implikasi, yaitu anggota organisasi
akan membuat perubahan dalam situasi kerja dan beradaptasi pada situasi baru
sehingga keterbukaan pada perubahan (openness to change) dipertimbangkan
sebagai aspek penting pada awal terbentuknya kemampuan adaptasi anggota
organisasi (Fugate dkk., 2004; Hall, 2002; Pulakos dkk., 2000). Chawla dan
Kelloway (2004) juga melakukan studi tentang keterbukaan pada perubahan
dalam memprediksi komitmen pada perubahan. Hasil studi menunjukkan bahwa
keterbukaan pada perubahan mampu memprediksi komitmen pada perubahan.
Hanya saja komitmen pada perubahan diukur menggunakan tingkat keluar
masuk (turn over) anggota organisasi sebagai indikator rendahnya komitmen.
Wanberg dan Banas (2000) juga menjelaskan pentingnya keterbukaan pada
perubahan (openness to change) yang meliputi kesediaan untuk mendukung
perubahan, sebagai predisposisi seseorang dalam melakukan adaptasi terhadap
situasi perubahan, serta menentukan terbentuknya komitmen pada perubahan.
19
Bagaimanapun keterbukaan pada perubahan belum menampakkan ekspresi
yang cukup kuat untuk menunjukkan sikap positif sehingga perlu dilakukan
analisis terhadap hasil (outcomes) dari perubahan, yaitu komitmen pada
perubahan.
Berdasarkan penelusuran studi tentang keterbukaan pada perubahan
(openness to change) organisasi, teridentifikasi variabel-variabel terkait situasi
perubahan, yaitu informasi, partisipasi, dan dukungan sosial. Tanpa informasi
yang adekuat, individu-individu akan mengalami ketidakpastian tentang jenis
perubahan yang terjadi, dan akan berpengaruh bagaimana perubahan akan
berdampak pada pekerjaan dan organisasi mereka, atau menentukan respons
terhadap perubahan (Miliken, 1987). Partisipasi mengacu pada sejauh mana
anggota organisasi terlibat memberikan masukan atas perubahan yang di-
usulkan. Kotter dan Schlesinger (1979) menekankan bahwa untuk meningkatkan
penerimaan terhadap perubahan, pengelola perlu untuk mendengarkan masukan
dan saran para anggota. Sebaliknya, sistem nilai individual juga akan menen-
tukan reaksi saat beradaptasi dengan proses perubahan (Wanberg & Banas,
2000).
Pada konteks perubahan organisasi yang terjadi di Indonesia terjadi juga
pada seluruh sektor di bidang industri, jasa, dan pendidikan. Di bidang Industri
khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) peraturan pemerintah yang
menuntut akuntabilitas dan profesionalisme mendorong dikeluarkannya kebijakan
bahwa setiap BUMN melakukan privatisasi. Di antaranya terdapat tiga BUMN
yang mengalami perubahan, yaitu Garuda, Pertamina, dan Perusahaan Listrik
Negara (PLN).
20
Perubahan pada Pertamina sama dengan BUMN lainnya, yaitu akibat
perubahan hukum dan undang-undang di Indonesia yang menumbuhkan pola
bisnis baru yang mengizinkan masuknya pesaing ke dalam sektor pemasaran
dalam negeri, ditunjukkan dengan saat Shell dan Petronas masuk ke pasar
Indonesia (diunduh dari http://www.pertamina.com/statement_from_board.aspx
tanggal 2 Mei 2013). Perusahaan pun dituntut pemerintah untuk memberikan
keuntungan yang lebih besar pada negara dan menekankan pengelolaan bisnis
yang transparan dan profesional. Tuntutan tersebut yang membuat pihak
Pertamina mencanangkan program transformasi perusahaan pada 20 juli 2006
dengan dua tema besar, yaitu fundamental dan bisnis. Transformasi yang
dilakukan Pertamina bertujuan agar mampu membawa perusahaan menuju skala
dunia.
Bidang lain pada sektor industri yang mengelola sumber daya alam yang
dikuasai negara adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN) (diunduh dari
http://www.pln.co.id/?p=102 tanggal 3 Mei 2013). PLN mengalami perubahan
pada tahun 1994 menjadi Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan
(Persero), yang sebelumnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 17
tahun 1972, menetapkan PLN sebagai Perusaan Listrik Umum Negara dan
sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikkan (PKUK). Perubahan PLN
menjadi Persero merupakan konsekuensi kebijakan Pemerintah yang membe-
rikan kesempatan pada sektor swasta untuk bergerak dalam bidang bisnis
penyediaan listrik. Tujuannya sama, yaitu untuk meningkatkan keuntungan dan
kemampuan daya saing, perlu pengelolaan yang professional dan transparan.
Dalam bidang transportasi penerbangan, Garuda dalam situs resminya,
yaitu http://www.garuda-indonesia.com/id/investor-relations/about-garuda-indone-
21
sia/corporate-profile/history/company (diunduh tanggal 2 Mei 2013), perubahan
dalam hal tata kelola organisasi bersifat clean and good. Perubahan yang terjadi
mampu membawa Garuda mendapat pengakuan dunia internasional dengan
slogan baru fly to the world.
Organisasi pendidikan yang bergerak di bidang jasa pendidikan juga
dituntut untuk berubah, maka dapat dikatakan organisasi pendidikan tinggi
menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam menghadapi perubahan.
Terutama dalam hal pengeloaan perguruan tinggi. Organisasi pendidikan tinggi,
sebagaimana diungkapkan Hasan dan Prabowo (2006), memiliki sejumlah
tantangan internal dan eksternal yang mengharuskan mereka untuk berubah.
Tantangan yang dimaksud adalah kualitas lulusan perguruan tinggi (PT) belum
dapat memenuhi tuntutan masyarakat, kompetisi global dan lokal, akreditasi
nasional dan internasional, konflik kepentingan, takut untuk berubah, dan sumber
daya terbatas (conflict of interest, worry to change, limited reseources).
Kondisi tersebut melatarbelakangi perubahan institusi perguruan tinggi,
diawali pertama oleh perubahan IKIP menjadi Universitas Negri. Ulasan Ki
Supriyoko dalam Suara Karya (1999) menjelaskan penyebab perubahan IKIP
menjadi universitas karena kerisauan kenyataan rendahnya kualitas lulusan IKIP
sendiri khususnya dalam penguasaan bidang studi (subjek matter). Diharapkan
melalui perubahan dapat meningkatkan kulitas lulusan IKIP yang menjadi calon
guru di sekolah, di sekolah dasar dan menengah. Dijelaskan pula oleh Ki
Supriyoko bahwa setelah IKIP menjadi universitas maka yang menjadi fokus
adalah fakultas baru yang dibuka, dan penambahan ketersediaan sumber daya
para pengajar.
22
Kompetisi pendidikan di Indonesia berimbas juga pada organisasi
pendidikan berbasis agama, diantaranya IAIN (Institut Agama Islam Negri) yang
telah mengalami perubahan status menjadi Universitas Islam Negri (UIN).
Perubahan IAIN menjadi UIN dideklarasikan pada tanggal 14 Oktober 2004 oleh
Menko Kesra Prof. HA malik Fajar, tindak lanjut dari SK presiden No.50 Tahun
2004, 21 Juni 2004. Dari empat belas IAIN di Indonesia, dua diantaranya yaitu
IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta menjadi Pilot Project perubahan IAIN menjadi
UIN.
Implikasi perubahan IAIN ke UIN, yang cukup menonjol menimbulkan
fakultas-fakultas baru, serta penambahan tenaga pengajar yang berasal dari
ilmu-illmu umum di luar ilmu agama. Adapun tujuan perubahan IAIN ke UIN
adalah meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan peran PTAI
sebagai universitas riset berkelas dunia (Kusumaputri, 2010) maka fokus
pengembangan bidang pengelolaan mutlak dilakukan. Tujuannya adalah untuk
memberikan kontribusi pada peningkatan nation competitiveness melalui
peningkatan kualitas pengelolaan.
Menurut Amin Abdullah, staff ahli Kementrian Agama dalam Temu
Konsultasi Jaringan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat PTAI di
Manado pada 12-14 Juni 2013 lalu peran strategis pendidikan tinggi Islam akan
semakin terpacu apabila Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama
R.I terus mengawal mandat untuk menghilangkan dikotomi keilmuan yang
diwujudkan dengan dibukanya fakultas-fakultas baru, bukan fakultas keagamaan.
Tentu saja keberlanjutan pendirian fakultas-fakultas baru memerlukan tenaga-
tenaga fungsional baru, dari latar belakang ilmu umum yang sebelumnya tidak
dimiliki PTAIN.
23
Mandat penyatuan ilmu agama dan sains yang telah diamanatkan ke
PTAI dapat dilakukan dengan paradigma yang berbeda dari masing-masing
perguruan tinggi. UIN syarif Hidayatullah dilambangkan dengan bola dunia
dengan garis edar elekton mengandung 4 (empat) karakter utama, yaitu
Keislaman, Keilmuan, Keindonesiaan, dan Globalisme. Sedangkan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dengan konsep “Jaring Laba-laba” yang merupakan
metafora simplifikasi konsep paradigma keilmuan Integrasi-Interkoneksi,
merupakan sebuah pendekatan dalam pembidangan matakuliah yang mencakup
tiga dimensi pengembangan ilmu.
Perubahan di lingkup PTAI tidak hanya sampai pada tataran paradigma
kelimuan yang dimanifestasikan dalam perubahan visi, misi, tujuan, dan struktur
organisasi, melainkan pada perubahan manajemen pendidikan tinggi yang
berorientasi pada kemampuan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk
mencapai tujuannya. Hal yang cukup menarik khususnya pada organisasi
pendidikan bahwa pendidikan tinggi merupakan pusat pembelajaran,
pengembangan ekonomi, budaya, serta sosial masyarakat. Kualitas SDM di
perguruan tinggi, yang terdiri dari pendidik, staff administrasi, tenaga pustaka,
dan tenaga fungsional peneliti, menentukan proses penyelenggaraan
keberhasilan pendidikan tinggi.
Dapat dikatakan bahwa organisasi pendidikan, khususnya perguruan
tinggi cukup unik dibandingkan organisasi lain dalam hal karakteristik dan
kualifikasi anggotanya. Tenaga pengajar, baik guru maupun dosen, memiliki
tingkat pendidikan dan kompetensi lebih tinggi dan baik dibandingkan individu-
individu yang bekerja di organisasi industri sektor lain (Cumming dan Worley,
1997). Efektivitas perubahan organisasi dalam bidang pendidikan membutuhkan
24
dukungan seluruh SDM (sumber daya manusia) yang ada, terutama komitmen
masing-masing anggota kepada perubahan. SDM di bidang pendidikan
mencakup tenaga dosen, tenaga administrasi, dan tenaga fungsional selain
dosen (peneliti, pustakawan, dan arsiparis). Upaya pengembangan SDM perlu
menyentuh semua unsur SDM. Dari ketiga unsur tersebut, dosen memiliki peran
yang paling strategis dan penting. SDM dosen memiliki posisi vital dalam
membentuk mutu lulusan. Hal itu diperkuat dengan realitas bahwa kewenangan
dan otoritas tertinggi dalam proses akademik berada pada diri SDM dosen
(Sallis, 2010; Cumming dan Worley, 1997)
Keunikan organisasi pendidikan, dapat dianalisis berdasarkan
pengelompokkan organisasi yang dilakukan Blau dan Scott dalam Hoy dan
Miskel (1982), dikelompokkan berdasarkan pihak utama yang memiliki andil
dalam organisasi dan penerima keuntungan. Macam organisasi adalah mutual
benefit associations, business concerns, commonweal organization dan service
organization. Pada organisasi mutual benefit associations, anggota adalah
penerima keuntungan utama dalam organisasi. Sebaliknya pada business
concerns pemilik organisasi adalah penerima keuntungan. Berbeda dengan
organisasi kelompok commonweal organization, masyarakat umum akan
menerima keuntungan dari organisasi. Sedangkan organisasi yang memiliki sifat
service organization menjadikan publik yang berhubungan langsung dengan
organisasi sebagai penerima keuntungan. Service organization memiliki fungsi
utama menyediakan layanan ke klien. Berdasar pengelompokkan organisasi
tersebut, organisasi yang bergerak di bidang pendidikan merupakan service
organization. Mahasiswa/wi menjadi klien yang memperoleh layanan dari
peguruan tinggi.
25
Peran pendidikan tinggi dalam menjalankan fungsinya tidak mudah,
utamanya dalam menggabungkan semua fungsi yang berhubungan dengan
kemajuan dan transmisi ilmu pengetahuan, yaitu penelitian, inovasi pengajaran,
serta jika memungkinkan bagi pendidikan profesi, ditambah dengan pelatihan
untuk pendidikan berkelanjutan. Hasil-hasil penelitian harus dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan masyarakat. Inovasi pengajaran harus menyentuh hingga
ranah pembentukan karakter, outcomes pengajaran meliputi 3 komponen, yaitu
afeksi, kognitif, dan psikomotor. Satu lagi perubahan pendidikan tinggi saat ini
perlunya membangun jaringan kerjasama dengan dunia internasional.
Perubahan pengelolaan pendidikan di perguruan tinggi memberikan
kebebasan pada para pengelola organisasi pendidikan untuk memanfaatkan
sumber daya yang dimiliki. Perubahan pengelolaan juga memberi kebebasan
mendesain sistem pembelajaran yang menjadi pembeda suatu perguruan tinggi
dengan organisasi pendidikan tinggi lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa
organisasi pendidikan yang semula bersifat reaktif, sekarang berubah menjadi
bersifat kompetitif. Konsekuensi tersebut menuntut organisasi pendidikan tinggi
khususnya, untuk melakukan restrukturisasi pengelolaan pendidikan (Elmore,
1990; Sarason, 1992; Sizer, 1992).
Peningkatan kualitas pengelolaan juga ditekankan melalui penyusunan
sistem jaminan mutu, yang didasarkan pada Pedoman Penjaminan Mutu
Depdiknas 2003. Penekanan penjaminan mutu adalah pada evaluasi proses
pendidikan. Sistem pengelolaan yang dilakukan UIN sebagai salah satu bentuk
organisasi pendidikan merupakan bentuk responsiveness dalam menjawab
tantangan eksternal yang menjadi sumber perubahan. Proses akademik yang
terukur dan transparan menjadi penekanan, khususnya dosen sebagai
26
komponen utama bidang akademik, serta agen of change. Penerapan
penjaminan mutu menjadi syarat mutlak perubahan perguruan tinggi Islam dari
IAIN menjadi UIN.
Selain itu, pola pengelolaan keuangan juga menjadi perhatian pada
lingkup organisasi pendidikan tiga UIN yang mengalami perubahan. Pada tang-
gal 2 Juli 2007, ditetapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK BLU) dengan status BLU secara penuh, berdasarkan keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor 301/KMK.05/2007, maka UIN Sunan Kalijaga adalah
perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menerapkan PPK BLU, mekanisme
pengelolaan keuangan BLU tersebut diperkuat dengan diterbitkannya SK
Rektor nomor 188 Tahun 2008. UIN Syarif Hidayatullah resmi menjadi BLU sejak
2008 melalui SK Menteri Keuangan Nomor 42/KMK.05/2008. Selanjutnya UIN
Maulana Malik Ibrahim menjadi perguruan tinggi ketiga setelah UIN Sunan
Kalijaga dan UIN Syarif Hidayatullah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
sebagai PTN yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PK-BLU).
Selain tiga UIN tersebut perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia
yang juga mengalami perubahan menjadi BLU adalah Universitas Indonesia (UI),
Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut
Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatra Utara (USU), Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (UNAIR) (http://www.setkab.go.id/
berita-5716-ui-ugm-itb-ipb-usu-upi-dan-unair-kini-berstatus-blu-penuh.html diun-
duh pada 4 Mei 2013). Perubahan status menjadi BLU tertuang dalam dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan
27
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan La-
yanan Umum.
Menurut penjelasan mengenai BLU (Badan Layanan Umum), sistem
keuangan ini diterapkan pada bidang tugas operasional pelayanan publik
(http://pkblu.perbendaharaan.go.id/index.php/77-badan-layanan-umum/85
mengapa-badan-layanan-umum diunduh tanggal 4 Mei 2013). Pendanaannya
dari dua sumber, yaitu imbalan dari masyarakat dalam proporsi yang signifikan
terkait dengan pelayanan yang diberikan dan ada pula yang bergantung
sebagian besar pada dana APBN/APBD. Satuan kerja yang memperoleh
pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan, dapat diberikan keleluasaan
dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan.
Tujuan diterapkannya BLU adalah agar aktivitas pelayanan tidak harus dilakukan
oleh lembaga birokrasi murni, tetapi oleh instansi pemerintah dengan
pengelolaan, seperti bisnis yang tujuannya untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif
Dalam PP no 74 itu disebutkan, bahwa seluruh kekayaan perguruan tinggi
yang berstatus BLU dialihkan pada kementrian masing-masing yang membi-
danginya, yaitu Kementrian Agama pada Universitas Islam dan Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan pada perguruan tinggi umum.
Terkait dengan proses perubahan di institusi perguruan tinggi, Eckel dan
Kezar (2002) meneliti proses transformasi lebih dari 20 universitas yang berhasil
mencapai perubahan efektif. Dalam penelitian tersebut, mereka menemukan lima
strategi inti, yaitu (a) dukungan administratif senior, (b) kepemimpinan yang
kolaboratif, (c) visi yang fleksibel, (d) pengembangan staf, (e) aksi-aksi yang
terlihat. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa ada satu kesamaan dalam
28
strategi inti, yaitu masing-masing bertujuan untuk membantu seluruh anggota di
kampus untuk berpikir berbeda tentang institusinya.
Meskipun begitu, perbedaan individual menentukan dalam ketahanan
seseorang menghadapi kesulitan perubahan manajemen akademik karena
perbedaan individual juga berperan dalam menentukan komitmen anggota pada
perubahan. Proses pendidikan adalah tugas yang cukup kompleks yang harus
dilakukan para dosen karena proses pendidikan selalu melibatkan kurikulum
yang ditunjang oleh teknologi dan metode untuk mengukur sasaran atau hasil
(outcomes) dari proses tersebut.
Studi tentang perubahan yang ditelusuri sebagian besar dilakukan di
negara-negara Barat dengan jenis organisasi nonpendidikan, yaitu rumah sakit
dan sektor usaha. Praktisi dan peneliti perubahan organisasi memandang
organisasi pendidikan sebagai sistem birokratik yang berbeda dibanding dengan
organisasi tipe lainnya (Klecker & Loadman, 2000). Hal ini tentu saja memberikan
tantangan tersendiri dalam pengelolaannya.
Pencapaian target dalam rangka efektifitas perunbahan organisasi tentu
saja membutuhkan dukungan anggotanya, komitmen perubahan yang
ditekankan di sini berbeda dengan Herscovitch dan Meyer (2002) yang
mengunakan tiga dimensi perubahan, yaitu menggunakan satu dimensi dengan
tidak melibatkan komitmen berkelanjutan karena pada kondisi perubahan
anggota dituntut untuk melakukan hal-hal yang lebih dari yang dipersyaratkan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa
penelitian ini dilandasi oleh tiga masalah, yakni (1) masalah konseptual, yaitu
adanya kebutuhan untuk melakukan studi lebih jauh tentang perubahan
organisasi yang berfokus pada komitmen anggota pada perubahan, berusaha
29
menghasilkan suatu konstruk komitmen khusus pada perubahan; (2) masalah
mengintegrasikan anteseden-anteseden yang menjadi prediktor komitmen pada
perubahan, yang selama ini prediktor-prediktor tersebut diteliti secara terpisah-
pisah; dan (3) masalah kontekstual, yaitu kebutuhan untuk mendorong perguruan
tinggi dalam rangka mengimplementasikan perubahan dengan memfokuskan
pada proses psikologis anggota organisasi, terutama agar proses perubahan
mampu menumbuhkan komitmen anggota pada perubahan.
B. Rumusan Permasalahan
Penelitian tentang komitmen sudah cukup banyak, tetapi khusus studi
yang komprehensif pada term dan model proses komitmen pada perubahan yang
mengintegrasikan berbagai sudut pandang dengan memperhatikan ciri khas
perubahan organisasi masih tergolong kurang, terutama perubahan yang terjadi
pada kondisi alamiah. Hasil review penelitian tentang perubahan menunjukkan
studi yang dilakukan sebagian besar masih terjadi pada kondisi yang
dimanipulasi sebagai perlakukan oleh peneliti (Kusumaputri, 2010).
Permasalahan yang hendak diuji melalui penelitian ini adalah menguji
kontribusi beberapa variabel prediktor, yaitu kapabilitas organisasi, partisipasi,
dan iklim perubahan terhadap kriteria, yaitu komitmen pada perubahan melalui
keterbukaan pada perubahan.
Beberapa batasan diterapkan dalam penelitian ini. Pertama, perubahan
paradigma akademik juga menjadi kekuatan pendorong perubahan pada
perguruan tinggi Islam, yang menjadikan peran strategis pendidikan tinggi Islam
menjadi diperhitungkan dalam lingkup nasional. Selain itu, mengingat tantangan
yang dihadapi perguruan tinggi saat ini adalah menyesuaikan dengan persaingan
30
gobal, dasar pengelolaan kegiatan pendidikan didasarkan pada pengelolaan
yang dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya
Oganisasi pendidikan khususnya di lingkup perguruan tinggi Islam setelah
mengalami perubahan saat ini tidak lagi bersifat tradisional birokratis, tetapi lebih
menekankan kepuasan pengguna, meningkatnya minat, dan harapan sebagai
sasaran utama. Konsekuensinya adalah perlu perbaikan terus menerus
(continous improvement) yang akan menyebabkan perubahan. Di sinilah letak
pentingnya hubungan manusia yang efektif dan konstruktif yang mampu
menumbuhkan komitmen untuk mengimplementasi perubahan. Situasi
perubahan tersebut yang mendorong penelitian ini diterapkan pada organisasi
pendidikan. Pembatasan kedua, berbagai jurnal yang menguraikan analisis
tentang komitmen pada perubahan mengaitkan komitmen perubahan dengan
karakteristik perubahan yang berorientasi pada pengembangan kapabilitas
organisasi, iklim perubahan, dan partisipasi serta dengan mempertimbangkan
kemampuan individu, yaitu keterbukaan pada perubahan.
Berdasarkan permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, pertanyaan
utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana keterkaitan
antara variabel-variabel prediktor, yaitu kapabilitas organisasi, partisipasi, dan
iklim pada perubahan terhadap komitmen pada perubahan melalui keterbukaan
pada perubahan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji model teoretis yang
menggambarkan keterkaitan antara variabel-variabel kapabilitas organisasi, iklim,
dan partisipasi perubahan organisasi terhadap komitmen pada perubahan
melalui keterbukaan pada perubahan. Berdasarkan hasil uji model yang
31
diperoleh, selanjutnya dapat dinyatakan besarnya kontribusi dari tiap-tiap
variabel terhadap variabel lain yang berhubungan.
Diharapkan penelitian ini memberikan manfaat teoretis dan praktis se-
bagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini menyumbang model teoretis yang
menggambarkan keterkaitan antara kapabilitas organisasi, partisipasi, dan iklim
perubahan terhadap komitmen pada perubahan melalui keterbukaan pada
perubahan. Konsep teoretis yang dihasilkan merupakan dukungan bagi
perkembangan konsep-konsep tentang perubahan organisasi yang mendasarkan
pada komitmen pada perubahan khususnya pada organisasi pendidikan.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian dapat dimanfaatkan oleh organisasi pendidikan yang
melakukan perubahan dengan menekankan komitmen pada perubahan. Khu-
susnya bagi organisasi serta pihak pengelola perguruan tinggi, hasil penelitian ini
dapat diimplementasikan agar tidak mengabaikan kondisi indvidu dalam meran-
cang perubahan organisasi.
D. Keaslian Penelitian
Sejauh ini dalam lingkup psikologi industri dan organisasi belum ditemu-
kan penelitian komitmen pada perubahan dengan prediktor kapabilitas organisa-
si, partisipasi, dan iklim pada perubahan dengan keterbukaan pada perubahan
dalam konteks perguruan tinggi Islam.
Penelitian mengenai komitmen pada perubahan tidak banyak ditemukan
oleh peneliti karena sebagian besar penelitian mengenai komitmen difokuskan
pada komitmen organisasi. Penelitian Peccei, Giangreco, dan Sebastiano (2011)
32
menjelaskan peran komitmen organisasi sebagai moderator keuntungan
perubahan dengan resistansi pada perubahan; Ellias (2009) meneliti locus of
control, kekuatan kebutuhan, dan motivasi kerja internal yang mediatornya
adalah sikap pada perubahan dengan kriteria komitmen afektif; Meyer, Srinivas,
Lal, Topolyntsky (2007) meneliti komitmen sebagai prediktor pada perilaku
mendukung perubahan pada dua budaya berbeda, yaitu Kanada dan India;
Herscovitch dan Meyer (2002) meneliti komitmen pada perubahan pengem-
bangan dari komitmen organisasi; Swailes (2004) meneliti profil komitmen pada
perubahan terkait dengan variabel demografis dan situasional; Vakola & Nikolau
(2005) meneliti sikap anggota terhadap perubahan organisasi dengan komitmen
organisai dan stress kerja; Lok & Crawford (1997) meneliti peran prediktor
budaya organisasi, subbudaya, gaya kepemimpinan, dan kepuasan kerja dalam
perubahan dan pengembangan organisasi; Hinduan, Evered, Moss, dan Scannell
(2009) menganalisis hasil kerja berupa kepuasan kerja dan komitmen ditinjau
dari gaya kepemimpinan dan keterbukaan pada perubahan pada bank yang
mengalami penggabungan; Felfe dan Yan (2008) meneliti pengaruh budaya
kolektif dan individual pada komitmen serta pengaruhnya pada perilaku
kewarganegaraan dan keluar masuk karyawan dalam menghadapi meningkatnya
globalisasi di tiga negara; Glazer, Daniel, dan Short (2004) meneliti perbandingan
lintas budaya (Cross cultural) antara nilai-nilai manusia dan dua bentuk komitmen
berkelanjutan (Continuance commitment) dan komitmen afektif (affective
commitment) yang dikaitkan dengan keterbukaan pada perubahan (openness to
change); Fedor, Caldwell, dan Herold (2006) meneliti dampak perubahan
organisasi terhadap komitmen karyawan; Chawla dan Kelloway (2004) meneliti
kemampuan prediksi keterbukaan dengan komitmen pada perubahan.
33
Selanjutnya adalah peneltian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
usaha dalam perubahan organisasi. Walker, Achilles, Armenakis, dan Bernerth
(2007) meneliti variabel toleransi pada ketidakjelasan, perubahan keyakinan,
sinisme, dikaitkan dengan komitmen, sinisme masuk pada konteks, perubahan
keyakinan merupakan proses, toleransi pada ketidakjelasan masuk pada
perbedaan individual, sedangkan variabel tergantungnya adalah komitmen
afektif; Bouckenooghe, Devos, dan Van den Broeck (2009) meneliti desain dan
evaluasi kuesioner tentang perubahan organisasi, iklim perubahan, proses dan
kesiapan perubahan; Van Loon (2001) meneliti dengan menggunakan perspektif
kualitatif studi kasus mengenai perubahan organisasi di suatu universitas di
Ontario Kanada; Van Dam, Oreg dan Schyns (2008) meneliti peran LMX dan
iklim perubahan (masuk dalam kategori konteks pekerjaan), dan karakteristik
proses perubahan (di dalamnya terdapat informasi, partisipasi, dan kepercayaan
pada manajemen) dengan individual karakteristik, yaitu keterbukaan pada
perubahan terhadap resistansi pada perubahan organisasi; Bernerth, Armenakis,
Field, Walker (2007) meneliti keadilan memprediksi sinisme; orgnisasi, dan
masing-masing bentuk keadilan berinteraksi dengan sinisme untuk memprediksi
perubahan komitmen; Devos, Buelens, dan Bouckenooghe (2008) meneliti
kontribusi content, konteks, dan proses untuk memahami keterbukaan pada
perubahan menggunakan metode eksperimen studi simulasi; Rafferty dan griffin
(2006) meneliti persepsi perubahan organisasi menggunakan perspektif coping
dan stress; Shapiro dan Jacqueline (1999) meneliti partisipasi anggota dan
pengukuran intervensi perubahan organisasi, serta intervensi perubahan menge-
nai proses perubahan; Hornung dan Rousseau (2007) meneliti kontribusi pada
otonomi saat bekerja dengan dukungan anggota pada perubahan organisasi;
34
Yuwono dan Putra (2005) mengenai faktor emosi dalam proses perubahan
organisasi; Geller (2002) meneliti peran kepemimpinan pada resistansi pada
perubahan;
Berdasarkan review dari hasil penelitian terdahulu, belum ada penelitian
di Indonesia, khususnya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, yang
menganalisis faktor-faktor kapabilitas, iklim, dan partisipasi organisasi dalam
membentuk komitmen pada perubahan organisasi dengan mediator keterbukaan
pada perubahan (openness to change). Penelitian disertasi di Fakultas Psikologi
UGM mengenai perubahan ditulis oleh Kaiman Turip mengenai resistensi pada
perubahan di institusi pemerintah.
Selain itu penelitian ini berusaha menghasilkan model teoritik yaitu
kapabilitas organisasi, partisipasi dan iklim perubahan, keterbukaan pada
perubahan dengan komitmen perubahan. Komitmen perubahan
mempertimbangkan orientasi budaya kolektif yang menjadi orientasi budaya di
Indonesia. Selain itu, penelitian ini dilakukan pada setting perubahan organisasi
di sektor pendidikan yang saat ini mengalami tantangan yang tidak ringan.
Perbedaan lain dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini
menekankan komitmen pada perubahan yang hanya menggunakan satu dimensi
komitmen, bukan tiga dimensi seperti pada penelitian komitmen pada perubahan
sebelumnya. Konstrak yang digunakan sebagai landasan teoretis komitmen pada
perubahan memberikan tekanan khusus pada perubahan diperoleh dari
pengembangan komitm en organisasi umum. Aspek dan item-item pernyataan
berbeda dengan penelitian sebelumnya. Setting penelitian adalah pada kondisi
perubahan yang memang secara alamiah sedang terjadi, dan dilakukan pada
organisasi pendidikan.