BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66549/potongan/S3-2013... ·...

35
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Perubahan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kehidupan setiap organisasi. Tuntutan perubahan terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik individu, kelompok masyarakat, lembaga, organisasi, maupun perusahaan. Sumber utama pemicu perubahan berasal dari faktor di luar organisasi dan faktor dalam organisasi. Menurut Cummings dan Worley (1997) perubahan organisasi disebabkan oleh permasalahan atau munculnya ketidakwajaran yang menuntut organisasi untuk berubah. Penyebab perubahan itu di antaranya adalah kebutuhan proses, perubahan struktur industri atau struktur pasar, perubahan persepsi, perubahan peraturan, pengetahuan baru yang menimbulkan makna baru, dan inovasi. Tujuannya adalah agar organisasi mampu mengembangkan diri. Selain itu, faktor teknologi juga berperan dalam mendorong terjadinya perubahan, kompetisi yang tinggi, dan tuntutan para pengguna jasa yang semakin meningkat. Akin dan Palmer (2000) menjelaskan bahwa kemajuan teknologi, tekanan sosial dan politik, perubahan segmen, dan kekuatan internal yang meliputi permasalahan sumber daya manusia, dan perilaku pengelola menjadi penyebab terjadinya perubahan organisasi. Berdasarkan sumber terjadinya perubahan organisasi, dorongan bagi organisasi untuk berubah terjadi secara terus menerus dan menuntut dilakukan secara serius. Menurut Lewin (dalam Cumming dan Worley, 1997), terjadinya perubahan diawali adanya psychological disconfirm- ation, yaitu adanya dorongan untuk mengurangi mempertahankan perilaku

Transcript of BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66549/potongan/S3-2013... ·...

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Perubahan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kehidupan

setiap organisasi. Tuntutan perubahan terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik

individu, kelompok masyarakat, lembaga, organisasi, maupun perusahaan.

Sumber utama pemicu perubahan berasal dari faktor di luar organisasi dan faktor

dalam organisasi. Menurut Cummings dan Worley (1997) perubahan organisasi

disebabkan oleh permasalahan atau munculnya ketidakwajaran yang menuntut

organisasi untuk berubah. Penyebab perubahan itu di antaranya adalah

kebutuhan proses, perubahan struktur industri atau struktur pasar, perubahan

persepsi, perubahan peraturan, pengetahuan baru yang menimbulkan makna

baru, dan inovasi. Tujuannya adalah agar organisasi mampu mengembangkan

diri. Selain itu, faktor teknologi juga berperan dalam mendorong terjadinya

perubahan, kompetisi yang tinggi, dan tuntutan para pengguna jasa yang

semakin meningkat.

Akin dan Palmer (2000) menjelaskan bahwa kemajuan teknologi, tekanan

sosial dan politik, perubahan segmen, dan kekuatan internal yang meliputi

permasalahan sumber daya manusia, dan perilaku pengelola menjadi penyebab

terjadinya perubahan organisasi. Berdasarkan sumber terjadinya perubahan

organisasi, dorongan bagi organisasi untuk berubah terjadi secara terus menerus

dan menuntut dilakukan secara serius. Menurut Lewin (dalam Cumming dan

Worley, 1997), terjadinya perubahan diawali adanya psychological disconfirm-

ation, yaitu adanya dorongan untuk mengurangi mempertahankan perilaku

2

dengan diikuti tahap selanjutnya, yaitu penjelasan alasan perlunya terjadi

perubahan sehingga interaksi kekuatan akan terjadi, yaitu kekuatan untuk

mempertahankan perilaku yang sudah ada sebelumnya (enggan untuk berubah)

dengan kekuatan tekanan perlunya berubah.

Ada kalimat bijak yang terkait dengan proses perubahan organisasi, yaitu

“Jangan memberikan tantangan pada individu dengan perubahan radikal,

lakukan pendekatan bertahap dan berikan mereka waktu untuk menyesuaikan.”

Pernyataan tersebut, untuk kondisi dan gaya perubahan organisasi saat ini

cenderung konvensional dan kurang tepat untuk menjadi acuan. Kenyatannya,

perubahan organisasi harus berhasil, terjadi dengan cepat, dan harus melahirkan

suatu momentum. Masalahnya adalah perlu kemampuan organisasi mengetahui

bagaimana mengelola efektivitas perubahan organisasi secara tepat. Pada

beberapa penelitian, diungkapkan bahwa resistansi atau penolakan terhadap

berlangsungnya proses perubahan dimanifestasikan melalui disfungsi sikap

(tidak mau terlibat atau bersikap sinis) dan perilaku menolak para anggota

organisasi yang dapat menghambat efektivitas perubahan organisasi

(Abrahamson, 2000;Stanley, Meyer, & Topolntsky., 2005).

Memahami perubahan organisasi dan proses pengembangan dari

perspektif tingkat makro telah banyak diteliti. Penelitian dalam area ini difokuskan

pada variabel tingkat sistem dan organisasi, misalnya re-engineering (Hill &

Collins, 1999), downsizing (Freeman, 1999) atau perubahan dalam budaya

organisasi (Bedingham, 2004). Beberapa studi mengindikasikan banyak

kegagalan usaha perubahan organisasi, misalnya Clegg dan Walsh (2004)

mengemukakan ketidakefektifan 12 pengembangan organisasi pada 898

perusahaan manufaktur di empat negara. Salah satu alasan mengapa perubahan

3

yang ditegakkan kurang berhasil adalah perubahan meningkatkan emosi negatif,

kecemasan, ketidakpastian, dan ketidakjelasan di antara anggota organisasi

(Bordia, Hobman, Jones, Gallois, & Callan, 2004). Beberapa studi mengenai

resistansi (daya tolak) terhadap perubahan menunjukkan keengganan untuk

mendukung perubahan (Applebaum & Batt, 1993; Judson, 1991 dalam Luthans,

Norman, Avolio, & Avey, 2008).

Beberapa penelitian organisasi yang menganalisis proses psikologis

individu dalam konteks perubahan organisasi sebenarnya telah memadukan

antara tingkatan analisis dan tingkatan konseptual. Beberapa studi tingkat

organisasi atau kolektif yang menguji data proses psikologi diperoleh pada

tingkat individual sebagaimana dilakukan Fuller dkk. (2007), Ingersol, Kirsch,

Merk, dan Lightfoot (2000), Rampazzo, De Angeli, Seperlloni, Simpson, dan

Flynn (2006), serta Weeks dkk. (2004). Meskipun ada kesepakatan umum

tentang peran penting pada individu-individu sebagai anggota organisasi

mengenai sikap dan perilakunya dalam menentukan perubahan kelompok dan

organisasi, studi-studi tersebut membutuhkan laporan yang cukup detail dalam

mengulas dinamika serta hubungan konstrak (construct) psikologis, baik di

tingkat individual maupun di tingkat kolektif (organisasional).

Penekanan pada individu adalah salah satu indikator penting dalam

mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan proses perubahan organisasi.

Konsekuensinya adalah perhatian diarahkan pada faktor-faktor yang

memengaruhi sikap individu pada perubahan, khususnya adalah komitmen pada

perubahan. Beberapa literatur perubahan menjelaskan bahwa mereka yang

memiliki komitmen pada perubahan lebih memungkinkan untuk menerima

perubahan dibandingkan mereka yang kurang memiliki komitmen. Hal ini

4

menunjukkan bahwa komitmen pada perubahan memberikan keuntungan pada

organisasi (Yousef, 2000).

Dukungan anggota terhadap perubahan yang sedang berlangsung dalam

suatu organisasi dapat dianalisis dari tinggi rendahnya komitmen pada

perubahan (Herscovitch & Meyer, 2002; Meyer, Srinivas, Lal, & Topolnytsky,

2007; Swailes, 2004; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006). Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa secara umum komitmen menjadi indikator keluaran positif

(positive outcomes) dari pengelolaan perubahan organisasi (Chawla & Kelloway,

2004).

Perubahan yang diinisiasikan oleh organisasi tidak akan berhasil jika

belum sampai menyentuh ranah individu, artinya tidak akan ada perubahan jika

belum berhasil membuat individu berubah (individual change). Teori tentang

perubahan sangat menekankan pentingnya komitmen pada perubahan, terutama

dalam model-model yang menjelaskan proses implementasi perubahan

(Armenakis, Harris, & Field, 1999; Klein & Sorra, 1996). Komitmen menjadi faktor

paling penting yang dilibatkan pada dukungan anggota organisasi pada

perubahan (Armenakis, Harris, & Field, 1999; Conner & Patterson, 1982; Klein &

Sorra, 1996). Klein dan Sorra (1996) juga menekankan bahwa komitmen

merupakan komponen sentral pada model mereka tentang efektivitas

implementasi inovasi di tempat kerja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

dukungan anggota organisasi adalah prasyarat untuk berbagai macam tipe

keberhasilan perubahan (Piderit, 2000).

Permasalahan utama adalah perubahan organisasi menimbulkan

ketegangan tidak hanya bagi organisasi sebagai keseluruhan, tetapi juga bagi

anggota dalam organisasi tersebut (Vakola & Nikolau, 2005). Artinya, jika

5

organisasi ingin berhasil dalam mengimplementasikan perubahan, strategi

perubahan harus dikembangkan dengan menekankan proses psikologis anggota.

Luputnya perhitungan proses psikologis dalam menyusun strategi perubahan

kemungkinan akan mengakibatkan kegagalan perubahan. Pentingnya proses

psikologis dalam menghadapi perubahan oganisasi ditunjukkan dengan

metaanalisis mengenai reaksi anggota organisasi terhadap perubahan

organisasi. Dengan diitemukannya korelasi sebesar 0,292 berarti bahwa

karakteristik perubahan organisasi yang tidak mengakibatkan ancaman

psikologis akan meningkatkan dukungan anggota terhadap perubahan

organisasi, para anggota organisasi akan berespons tidak menyenangkan pada

perubahan yang mengancam pekerjaannya (Kusumaputri, 2010).

Lebih jauh lagi, implementasi perubahan tanpa memperhatikan aspek

individu mengakibatkan anggota organisasi mengalami stres dan sinisme serta

masing-masing menunjukkan rendahnya komitmen pada perubahan.Tinggi atau

rendahnya komitmen pada perubahan ditunjukkan oleh resistansi pada

perubahan, yaitu turn over, sinisme, dan tingkat absensi yang tinggi. Semuanya

dapat dianalisis secara menyeluruh dengan menekankan sejauh mana

penerimaan anggota organisasi terhadap perubahan yang dipengaruhi oleh

karakteristik proses perubahan, di antaranya adalah komunikasi dan partisipasi

yang terbentuk (Dent & Goldberg, 1999; Oreg, 2006; Berneth, Armenakis, Field,

& Walker, 2007; Devos, Buelens, & Bouckennooghe, 2008). Selain itu,

karakteristik perubahan yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas

anggota organisasi atau sebaliknya mengancam keamanan kerja (job security)

yang berperan membentuk tingkat daya tolak yang tinggi dari anggota organisasi

(Devos, Buelens, & Bouckennooghe, 2008; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006).

6

Pentingnya organisasi melakukan pengelolaan terhadap manusia

menghindarkan terjadinya berbagai kerugian yang ditimbulkan. Analisis Porras

dan Robertson (1992) menjelaskan bahwa untuk merealisasikan perubahan yang

terjadi, organisasi harus menumbuhkan kerja sama (cooperation) di antara para

anggotanya. Resistansi pada perubahan dapat menghambat proses perubahan

(Miller, Jonhson, & Grau, 1994; Piderit, 2000). Resistansi pada perubahan juga

diindikasikan dengan keluaran (outcomes) negatif, seperti penurunan kepuasan,

rendahnya komitmen, penurunan produktivitas dan kesejahteraan psikologis

(psychological well-being), ketidakhadiran, dan keluar masuknya anggota

organisasi (Bordia, Hunt, Paulsen, Tourish, & DiFonso, 2004; Miller dkk., 1994).

Beberapa penulis memandang komitmen sebagai dimensi efektivitas

organisasi (Schein, 1970 dalam Cohen, 2007). Tokoh lain memandang komitmen

sebagai kekuatan yang berkontribusi pada peningkatan efektivitas organisasi

melalui perbaikan unjuk kerja dan mengurangi tingkat keluar masuk anggota

(Steers, 1977). Bagaimanapun interpretasi komitmen telah menjadi variabel yang

diutamakan karena keyakinan bahwa peningkatan komitmen, dalam beberapa

hal, akan meningkatkan efektivitas organisasi sehingga masih menjadi sesuatu

yang dapat dikembangkan dalam diri anggota.

Konsep komitmen merupakan pandangan yang cukup lama dalam

literatur manajemen (Swailes, 2002). Komitmen organisasi dipahami sebagai

hasil positif dan penentu dalam perubahan pengelolaan organisasi (Coopey &

Hartley, 1995; Guest, 1992; Iverson, 1996). Secara khusus, komitmen dikaitkan

dengan intensi perilaku positif dan aksi-aksi (Meyer, Srinivas, Lal, & Topolyntsky,

2007) di bawah kendali individu-individu secara langsung dan merupakan

komponen penting dalam pencapaian program-program perubahan organisasi

7

yang melibatkan tujuan-tujuan pekerjaan baru, metode kerja yang baru, dan

struktur yang baru.

Komitmen organisasi yang menjadi acuan dalam pengembangan

komitmen pada perubahan organisasi cukup sulit untuk didefinisikan dan belum

ada konsensus yang jelas di antara para ahli sebagaimana tercermin dalam

literatur tentang komitmen. Penelitian mengenai komitmen banyak menggunakan

model tiga komponen yang dikembangkan Meyer dan Allen (1991).Tiga

komponen komitmen tersebut juga dikembangkan menjadi komitmen pada

perubahan (Meyer, Srinivas, Lal, & Topolnytsky, 2007; Herscovitch & Meyer,

2002). Khusus pada situasi organisasi yang sedang mengalami perubahan,

selain dua komponen komitmen, yaitu komitmen afektif dan komitmen normatif,

komitmen berkelanjutan memiliki hubungan yang tidak konsisten dan juga tidak

kuat dengan beberapa keluaran organisasi (organizational outcomes) dan faktor-

faktor organisasional lainnya (Mathieu & Zajac, 1990; Herscovitch & Meyer,

2002).

Penelitian tentang komitmen pada perubahan secara intens baru

dilakukan oleh Herscovitch dan Meyer (2002) yang mengembangkan komitmen

perubahan berdasarkan komitmen organisasi dengan menggunakan tiga dimensi

komitmen. Penelitian Herscovitch dan Meyer terbaru di tahun 2007 tentang

komitmen pada organisasi pada diri pekerja dilakukan dengan

mempertimbangkan dua budaya (Meyer, Srinivas, Lal, & Topolyntsky, 2007),

yaitu India dan Kanada. Yang patut disayangkan adalah hasil penelitian tersebut

kurang menjelaskan perbedaan dua budaya, yaitu pekerja perusahan di India

yang lebih diwarnai budaya kolektif. Hal ini ditunjukkan dengan skor tinggi dalam

hal budaya kolektif di India dibandingkan skor yang diperoleh perusahaan dari

8

Kanada yang memiliki skor rendah pada kolektivistik kelompok. Dikatakan bahwa

perbedaan budaya berimplikasi pada profil komitmen pada perubahan,

berdasarkan analisis dari Hofstede (1998) dan Global Leadership and Organizat-

ional Behavior Effectiveness (Felve, Yan, dan Six, 2008).

Herscovitch dan Meyer (2002) mendefinisikan komitmen pada perubahan

sebagai kerangka pikir yang mengikat individu-individu untuk cenderung

berperilaku sesuai yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan implementasi

perubahan. Kerangka pikir ini merefleksikan (a) hasrat memberikan dukungan

pada perubahan berdasarkan keyakinan adanya keuntungan yang pasti akan

inherent dengan dukungan, (b) perhitungan bahwa akan ada kerugian yang

ditimbulkan bila gagal memberikan dukungan pada perubahan, dan (c) ada

perasaan kewajiban untuk memberikan dukungan pada perubahan.

Dalam penelitiannya, Herscovitch dan Meyer (2002) menemukan bahwa

di antara berbagai dimensi profil komitmen pada perubahan, hanya komitmen

afektif dan normatif yang menunjukkan dukungan yang tinggi pada perubahan.

Penjelasannya adalah sifat alamiah komitmen perlu dipahami dalam menjelaskan

kemauan anggota organisasi untuk melampaui persyaratan minimum yang

diperlukan dalam mencapai tujuan organisasi. Anggota organisasi yang merasa

yakin dengan perubahan dan ingin berkontribusi mencapai keberhasilan (komit-

men afektif kuat) atau merasa suatu kewajiban untuk mendukung perubahan

(komitmen normatif) akan melakukan lebih yang dipersyaratkan, bahkan bersedia

jika harus melibatkan pengorbanan diri. Sebaliknya, anggota organisasi yang

berkomitmen pada perubahan yang memprioritaskan perhitungan untung rugi

(komitmen berkelanjutan) akan melakukan lebih sedikit yang dipersyaratkan.

9

Kelemahan penelitian Herscovitch dan Meyer (2002) serta penelitian

Meyer, Srinivas, Lal, dan Topolyntsky (2007) dalam mengembangkan model tiga

komitmen organisasi menjadi komitmen pada perubahan adalah replikasi dari

komitmen pada organisasi yang secara setting organisasi berbeda ketika orga-

nisasi tersebut mengalami perubahan. Selain itu, di antara tiga komponen

komitmen tidak ditemukan perbedaan antara komitmen afektif dan komitmen

normatif. Komitmen berkelanjutan juga tidak berkorelasi positif dengan perilaku

mendukung perubahan karena situasi perubahan mempersyaratkan anggota

organisasi untuk meluangkan usaha lebih dalam mencapai tujuan perubahan,

dengan tidak mementingkan perhitungan untung rugi dalam hal mendukung

perubahan.

Kelemahan lain dalam replikasi model komitmen perubahan adalah

waktu yang singkat dalam pengambilan data, yaitu tiga bulan untuk menganalisis

perbedaan antara komimen organisasi dan komitmen perubahan. Kondisi

tersebut memungkinkan terjadinya tumpang tindih antara perbedaan komitmen

organisasi dan komitmen pada perubahan organisasi sehingga perlu penelitian

yang khusus menghasilkan teori tentang komitmen pada perubahan organisasi.

Komitmen pada organisasi walaupun sudah cukup banyak diteliti, tetapi

diperlukan studi lagi, terutama karena abad ke-21 merupakan momentum waktu

perubahan di dunia pekerjaan (Cascio, 1995). Berdasarkan tingkat percepatan

dan kompleksitas perubahan di tempat kerja, tidak mengherankan semakin

banyak literatur yang mengkaji penyebab, konsekuensi, dan strategi perubahan

organisasional (Armenakis & Bedeian, 1999; Porras & Robertson, 1992).

Komitmen pada perubahan juga telah dimasukkan ke dalam bermacam-macam

model teoretis perubahan (Klein dan Sorra, 1996; Elias, 2009; Armenakis, dkk.,

10

1999; Peccei, Giangreco, & Sebastiano, 2011; Meyer, Srinivas, Lal, &

Topolnytsky, 2007; Herscovitch & Meyer, 2002; Bernerth, Armenakis, Field, &

Walker, 2007; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006; Chawla & Kelloway, 2004).

Di satu sisi, meskipun penelitian dalam rangka memahami perubahan

organisasi cukup pesat, sebagian besar penelitian tersebut berfokus pada

permasalahan-permasalahan yang relevan dengan perubahan organisasi pada

tingkat organisasional dan kurang memperhatikan tingkat individual (Judge,

Thorensen, Pucik, & Welbourne. 1999; Vakola Tsaouis, & Nikolau, 2003;

Wanberg & Banas, 2000) yang ditunjukkan dengan masih kurangnya bukti-bukti

empiris pada area penelitian ini (Wanberg & Banas, 2000) serta kurangnya

perhatian pada akibat perubahan terhadap individu.

Beberapa artikel yang telah di-review dalam Journal of Management yang

ditulis oleh Armenakis dan Bedeian (1999), Pasmore dan Fagan (1992), Sashkin

dan Burke (1987), lebih menekankan permasalahan-permasalahan makro

dibandingkan permasalahan-permasalahan individual, yaitu menekankan

pencapaian perubahan dengan memfokuskan analisis pada elemen-elemen

organisasi. Berdasarkan review penelitian tentang komitmen pada perubahan,

ditemukan bagaimana perubahan organisasi berdampak pada komitmen

organisasi, tetapi masih kurang informasi terkait bagaimana variabel-variabel

perubahan organisasi berfungsi secara bersamaan. Hal ini menjadi penting untuk

mempertimbangkan perlunya perubahan organisasi yang berfungsi sebagai

penyebab (antecedent) komitmen pada perubahan, karena komitmen penting

untuk pemfungsian organisasi, menjadi salah satu evaluasi berhasilnya

implementasi perubahan.

11

Pada point ini, pertanyaan intinya adalah anteseden apa saja yang

menjadi prediktor komitmen pada perubahan yang menekankan analisis

psikologis?

Pada review tentang penelitian perubahan organisasi sepanjang tahun

1990, teridentifikasi tiga ciri khas mengenai semua usaha perubahan (Armenakis

dan Bedeian, 1990; Bouckenooghe, Devos, Van den broeck, 2009; Van Dam,

Oreg, Schyns, 2008), yaitu kapabilitas organisasi yang mengacu pada

kemampuan organisasi mengelola dan mengimplementasikan perubahan secara

efisien, iklim perubahan yang mengacu pada persepsi anggota terhadap

permasalahan-permasalahan kontekstual di internal organisasi, dan partisipasi

organisasi yang merefleksikan proses partisipasi yang difasilitasi oleh organisasi

untuk membuat perubahan berhasil.

Berdasarkan indikasi tersebut, beberapa penelitian yang menganalisis

perubahan terhadap tingkat penerimaan anggota dengan mengidentifikasi

variabel-variabel yang berperan dalam memengaruhi tingkat penerimaan

anggota terhadap perubahan organisasi. Perubahan yang terjadi mengacu pada

tipe atau substansi perubahan (Armenakis dan Bedeian, 1999), termasuk

restrukturisasi, reengineering, perubahan budaya organisasi, penggunaan

teknologi baru, dan Total Quality Management (Armenakis & Bedeian, 1999;

Beer & Nohria, 2000; Burke, 1994; Burke & Litwin, 2002; Vollman, 1996).

Perubahan yang mengancam job security dapat memiliki efek destruktif pada

moral, sikap, dan well-being, bahkan ketika pekerjaannya sendiri tidak terancam

(Armstrong-Stassen, 2002; Paulsen dkk., 2005). Pada penelitian tersebut

dijelaskan bahwa perubahan yang diarahkan pada pengembangan kapabilitas

organisasi berfokus pada budaya, perilaku, dan sikap tidak akan mengakibatkan

12

para anggota organisasi kehilangan pekerjaan dan tidak mengancam anggota

organisasi.

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa jenis perubahan organisasi

yang mengancam job security berakibat pada menurunnya moral, sikap, dan well

being (Armstrong-Stassen, 2002; Paulsen dkk.,2005). Sebaliknya, perubahan

yang diarahkan pada peningkatan kapabilitas organisasi yang dimaknai

meningkatkan kehidupan para anggota organisasi akan semakin meningkatkan

dukungan berupa komitmen pada perubahan organisasi (Fedor, Caldwell, &

Herold, 2006; Rafferty & Griffin, 2006).

Kapabilitas organisasi, menurut Oxtoby, McGuiness, dan Morgan (2002),

adalah kemampuan organisasi untuk merencanakan, merancang, dan meng-

implementasikan starategi perubahan secara efisien dengan seluruh anggota

organisasi. Perubahan mengenai kapabilitas organisasi mengacu pada sejauh

mana implementasi perubahan dalam memanfaatkan sumber daya organisasi

dapat dirancang secara optimal untuk menguntungkan organisasi dan anggota

(Walker, Achilles, Armenakis, & Bernerth, 2007). Kapabilitas perubahan

organisasi yang dipersepsi oleh anggota sebagai kemampuan organisasi untuk

mampu merencanakan, merancang, dan mengimplementasikan strategi

perubahan secara efisien dengan seluruh anggota akan meminimalisasi dampak

negatif pada individu-individu dan proses operasional implementasi perubahan

organisasi.

Kapabilitas organisasi yang dipersepsi oleh anggota tidak dapat

dilepaskan dari jenis perubahan yang terjadi. Bartunek & Moch (1987); Palmer,

Dunford, & Akin (2006) menjelaskan jenis perubahan yang dikategorikan sebagai

urutan pertama (first order) dan urutan kedua (second order). Perubahan tipe

13

pertama (first order) melibatkan penyesuaian dalam sistem, proses, atau struktur,

tetapi tidak melibatkan perubahan fundamental dalam strategi, nilai-nilai inti, atau

identitas organisasi (corporate identity) yang tujuannya adalah untuk

mempertahankan dan mengembangkan organisasi. Sebaliknya, perubahan

urutan kedua (second order) disebut juga perubahan transformasional,

perampingan, restrukturisasi, dan reengineering. Maksud perubahan urutan

kedua adalah mengubah bentuk suatu organisasi secara fundamental.

Jika dibandingkan dua macam karakteristrik perubahan organisasi

tersebut dalam hal proses, skala, dan sasaran perubahan, terdapat konsekuensi

yang berbeda bagi para anggota organisasi yang ada di dalamnya. Perubahan

first-order yang mengacu pada perubahan skala kecil dan tidak begitu

diimplementasikan melalui penyesuaian yang bertujuan untuk memperbaiki

organisasi tidak berdampak pada nilai inti (core value). Sebaliknya, second-order

change bersifat lebih radikal dan revolusioner karena melibatkan proses

transformasional pada organisasi, dan menyentuh hingga nilai inti organisasi.

Jika dibandingkan pada first order, perubahan second-order lebih memungkinkan

menimbulkan resistansi karena sering kali menimbulkan ketidakpastian dan

ancaman bagi anggota organisasi (Levy & Mery, 1986).

Selain itu karakteristik perubahan organisasi selain first order dan second

order adalah transitional change, yaitu perubahan yang terjadi karena adanya

situasi yang diinginkan mendorong terjadinya perubahan (Ackerman, 1997 dalam

Cameron, 2004). Inilah yang menjadi dasar dalam model Lewin

mengkonseptualisasikan perubahan sebagai proses tiga tahap yaitu unfreezing,

moving, dan refreezing. Schein mengembangkan kembali tentang tiga

tahap,bahwa unfreezing melibatkan ketidaknyamanan harapan, membangkitkan

14

kecemasan, dan adanya keputusan bahwa kenyamanan psikologis yang akan

mengubah kecemasan menjadi motivasi untuk berubah. Pergerakkan menuju

posisi baru dicapai melalui restrukturisasi kognitif melalui identifikasi model yang

baru atau mentor dan mencari informasi baru yang relevan. Sedangkan

refreezing terjadi ketika sudut pandang baru diintegrasikan kedalam keseluruhan

kepribadian dan konsep diri, serta hubungan yang signifikan

Hal selanjutnya dari perubahan organisasi yang dipertimbangkan cukup

berpeluang menjadi prediktor terhadap reaksi anggota pada perubahan,

khususnya komitmen pada perubahan, adalah proses perubahan organisasi dari

mulai diperkenalkannya perubahan hingga implementasi perubahan. Agen-agen

perubahan harus menyiapkan para anggota organisasi untuk melewati proses

perubahan melalui keterbukaan komunikasi yang berlandaskan kejujuran.

Armenakis dkk. (1993) menjelaskan bahwa merancang kesediaan untuk

berubah memerlukan usaha proaktif dari para pengelola untuk memengaruhi

keyakinan, sikap, intensi, dan akhirnya perilaku sebagai target perubahan. Usaha

proaktif pengelola, yaitu dari pemimpin organisasi, atasan langsung, atau

pengelola diwujudkan dengan menumbuhkan partisipasi aktif anggota (Walker,

Achilles, Armenakis, & Bernerth, 2007). Pentingnya dukungan, partisipasi yang

ditumbuhkan dari semua anggota organisasi menunjukkan keseriusan pengelola

tentang perubahan dan tidak hanya sekedar program sesaat, serta untuk

meyakinkan semua anggota bahwa perubahan yang dilaksanakan akan

menguntungkan diri pribadi dan organisasi.

Selaras dengan penjelasan di atas, prosedur perubahan manajemen

yang dipersepsi oleh anggota organisasi sebagai sarana para anggota organisasi

untuk berpartisipasi dalam merencanakan dan melaksanakan perubahan akan

15

meningkatkan penerimaan terhadap perubahan (Coch & French, 1948; Sagie

dan Koslowski, 1996; Devoz, Buelens, dan Bouckenooghe, 2008). Adapun

komunikasi dan partisipasi antara pemimpin dan anggota termasuk dalam

perubahan organisasi yang berorientasi pada proses yang menekankan

partisipasi yang difasilitasi organisasi (Bouckenooghe, Devos, dan Broeck, 2009).

Selain itu, kesan sebagai bahan proses interpretasi perubahan dapat

dihasilkan dari proses komunikasi yang berlangsung saat menyampaikan isi,

strategi, dan tujuan yang akan dicapai (Stanley, Meyer & Topolyntsky, 2005).

Pemberian informasi tentang perubahan bertujuan untuk memberikan

pemahaman tentang peristiwa-peristiwa yang dapat diantisipasi, seperti

perubahan khusus yang akan terjadi, konsekuensi dari perubahan, dan

perubahan peran pekerjaan. Pemberian informasi pada anggota organisasi dapat

mengurangi ketidakpastian dan kecemasan (Johnson, Bernhagen, Miller, & Allen,

1996; Miller dkk., 1994) dan dapat memaksimalkan kontribusi untuk

meningkatkan keterbukaan terhadap perubahan (Stanley, Meyer & Topolyntsky,

2005; Warnberg & Banas, 2000).

Sebaliknya, komunikasi yang tidak terkelola dengan baik kemungkinan

akan menghasilkan perbincangan yang belum tentu benar (rumor) tentang

perubahan di antara para anggota (DiFonzo, Bordia, & Rosnow, 1994), serta

berpeluang meningkatkan sinisme terhadap perubahan (Stanley, Meyer &

Topolyntsky, 2005), dan hasil negatif seperti tingkat ketidakhadiran (Johnson

dkk., 1996). Semua itu merupakan indikasi rendahnya komitmen (Coch & French,

1948; Chawla & Kelloway, 2004). Pentingnya proses perubahan yang

direfleksikan dari komunikasi yang terbentuk, dukungan organisasi, dan proses

partisipasi yang terbentuk dengan komitmen antaranggota ditunjukkan dalam

16

penelitian Chawla dan Kelloway (2004) dengan nilai korelasi sebesar 0,39,

Ebby, Adams, dan Russell (2000) dengan nilai korelasi sebesar 0,46, dan

Shapiro (1999) dengan nilai korelasi sebesar 0,22.

Hal lain dari perubahan adalah pemaknaan para anggota organisasi

tentang kondisi internal organisasi saat perubahan terjadi yang disebut iklim

perubahan (Tierney, 1999). Studi penelitian menunjukkan bahwa iklim perubahan

yang menekankan kepercayaaan terhadap pimpinan serta kohesivitas yang

terbentuk di antara anggota dengan pemimpin menjadi salah satu cara untuk

mengatasi ketidakpastian akibat perubahan. Jika kondisi internal organisasi saat

perubahan dimaknai negatif, timbullah sinisme para anggota yang berpotensi

untuk berpengaruh negatif pada keberhasilan perubahan (Walker, Achilles,

Armenakis, & Bernerth, 2007). Selain itu, Gioia dan Thomas (1996) meneliti

bagaimana tim manajemen puncak di perguruan tinggi merancang permasalahan

yang berdampak pada strategi perubahan dalam dunia akademik modern.

Ditemukan bahwa persepsi para anggota manajemen puncak tentang identitas

dan kesan adalah kunci proses interpretasi perubahan.

Perlunya strategi manajemen yang kolaboratif, pengembangan visi, dan

aksi-aksi yang dijalankan sama dengan hasil penelitian yang dihasilkan oleh

Bordia dkk. (2004) dan Oreg (2006) dalam menumbuhkan dukungan pada

perubahan. Dijelaskan bahwa analisis komponen lain pada iklim perubahan

adalah trust pada pemimpin, politik, dan kohesivitas yang terjalin antaranggota

organisasi. Waktu dan ketetapan yang akurat mengenai informasi, peluang

berpartisipasi, dan penyebaraan trust dalam visi managemen yang

melatarbelakangi terjadinya perubahan, merupakan pereda potensial resistansi

anggota organisasi dan meningkatkan dukungan pada perubahan.

17

Meskipun tiga ciri perubahan dapat terbagi menjadi kapabilitas, iklim, dan

partisipasi, tetapi belum ada yang secara simultan menganalisis tiga ciri

perubahan organisasi secara bersamaan. Sebagian besar studi tentang

perubahan organisasi hanya menguji dampak salah satu karakteristik perubahan

organisasi terhadap para anggota organisasi (Armenakis & Harris, 2002;

Boomer, Rich & Rubin, 2005; Oreg, 2006; Wanberg & Banas, 2000; Dam, Oreg,

& Schyns, 2008) dan belum ada penelitian yang mempertimbangkan peran

signifikan potensial bahwa tiga ciri perubahan secara simultan memberikan

pemahaman pada komitmen perubahan (Bernerth, Armenakis, Field, & Walker,

2007; Chawla & Kelloway, 2004; Coyle & Shapiro, 1999; Hornung & Rousseau,

2007). Damonpour (1991) juga menjelaskan pentingnya menganalisis

keberhasilan perubahan dengan mengintegrasikan tiga ciri perubahan tersebut

secara simultan.

Hal menarik lainnya ketika menganalisis reaksi individu terhadap

perubahan adalah perbedaan individual yang membentuk respons secara tipikal

pada perubahan (Oreg, 2003; Avey, Wernshing, & Luthans, 2008; Luthans,

Norman, Avolio, & Avey, 2008; Oreg, 2006). Tidak semua anggota dalam suatu

organisasi yang mengalami perubahan akan menolak perubahan. Penolakan

yang terjadi kemungkinan disebabkan keengganan untuk mengubah situasi kerja

yang selama ini sudah dijalani (Pulakos, Arad, Donovan, & Plamondon, 2000).

Kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki masing-masing individu

memiliki karakteristik potensial yang berpengaruh pada sikap dan perilaku

organisasi (Schneider, 1987; Staw & Ross, 1985). Selama usaha-usaha per-

ubahan organisasional berlangsung, perbedaan-perbedan individual kemungkin-

an memengaruhi reaksi pada perubahan. Contohnya, individu-individu yang

18

memiliki toleransi tinggi terhadap ambiguitas seharusnya lebih mampu mengatasi

ketidakpastian terkait perubahan organisasi (Judge dkk., 1999). Begitu pula

individu-individu yang memiliki keterbukaan tinggi pada suatu pengalaman

(McCrae dan Costa, 1986) diharapkan mampu bereaksi lebih positif terhadap

usaha-usaha perubahan.

Perbedaan individual yang akan dipertimbangkan menjadi mediator

antara variabel-variabel perubahan organisasi dan komitmen pada perubahan

adalah keterbukaan pada perubahan (openness to changes). Keterbukaan pada

perubahan didefinisikan sebagai kemauan anggota organisasi untuk terlibat

dalam transisi pekerjaan di internal organisasi, seperti perubahan tugas,

pekerjaan, departemen, atau lokasi (Van Dam, 2005; Bouckenooghe, 2010).

Perubahan organisasi dapat menimbulkan implikasi, yaitu anggota organisasi

akan membuat perubahan dalam situasi kerja dan beradaptasi pada situasi baru

sehingga keterbukaan pada perubahan (openness to change) dipertimbangkan

sebagai aspek penting pada awal terbentuknya kemampuan adaptasi anggota

organisasi (Fugate dkk., 2004; Hall, 2002; Pulakos dkk., 2000). Chawla dan

Kelloway (2004) juga melakukan studi tentang keterbukaan pada perubahan

dalam memprediksi komitmen pada perubahan. Hasil studi menunjukkan bahwa

keterbukaan pada perubahan mampu memprediksi komitmen pada perubahan.

Hanya saja komitmen pada perubahan diukur menggunakan tingkat keluar

masuk (turn over) anggota organisasi sebagai indikator rendahnya komitmen.

Wanberg dan Banas (2000) juga menjelaskan pentingnya keterbukaan pada

perubahan (openness to change) yang meliputi kesediaan untuk mendukung

perubahan, sebagai predisposisi seseorang dalam melakukan adaptasi terhadap

situasi perubahan, serta menentukan terbentuknya komitmen pada perubahan.

19

Bagaimanapun keterbukaan pada perubahan belum menampakkan ekspresi

yang cukup kuat untuk menunjukkan sikap positif sehingga perlu dilakukan

analisis terhadap hasil (outcomes) dari perubahan, yaitu komitmen pada

perubahan.

Berdasarkan penelusuran studi tentang keterbukaan pada perubahan

(openness to change) organisasi, teridentifikasi variabel-variabel terkait situasi

perubahan, yaitu informasi, partisipasi, dan dukungan sosial. Tanpa informasi

yang adekuat, individu-individu akan mengalami ketidakpastian tentang jenis

perubahan yang terjadi, dan akan berpengaruh bagaimana perubahan akan

berdampak pada pekerjaan dan organisasi mereka, atau menentukan respons

terhadap perubahan (Miliken, 1987). Partisipasi mengacu pada sejauh mana

anggota organisasi terlibat memberikan masukan atas perubahan yang di-

usulkan. Kotter dan Schlesinger (1979) menekankan bahwa untuk meningkatkan

penerimaan terhadap perubahan, pengelola perlu untuk mendengarkan masukan

dan saran para anggota. Sebaliknya, sistem nilai individual juga akan menen-

tukan reaksi saat beradaptasi dengan proses perubahan (Wanberg & Banas,

2000).

Pada konteks perubahan organisasi yang terjadi di Indonesia terjadi juga

pada seluruh sektor di bidang industri, jasa, dan pendidikan. Di bidang Industri

khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) peraturan pemerintah yang

menuntut akuntabilitas dan profesionalisme mendorong dikeluarkannya kebijakan

bahwa setiap BUMN melakukan privatisasi. Di antaranya terdapat tiga BUMN

yang mengalami perubahan, yaitu Garuda, Pertamina, dan Perusahaan Listrik

Negara (PLN).

20

Perubahan pada Pertamina sama dengan BUMN lainnya, yaitu akibat

perubahan hukum dan undang-undang di Indonesia yang menumbuhkan pola

bisnis baru yang mengizinkan masuknya pesaing ke dalam sektor pemasaran

dalam negeri, ditunjukkan dengan saat Shell dan Petronas masuk ke pasar

Indonesia (diunduh dari http://www.pertamina.com/statement_from_board.aspx

tanggal 2 Mei 2013). Perusahaan pun dituntut pemerintah untuk memberikan

keuntungan yang lebih besar pada negara dan menekankan pengelolaan bisnis

yang transparan dan profesional. Tuntutan tersebut yang membuat pihak

Pertamina mencanangkan program transformasi perusahaan pada 20 juli 2006

dengan dua tema besar, yaitu fundamental dan bisnis. Transformasi yang

dilakukan Pertamina bertujuan agar mampu membawa perusahaan menuju skala

dunia.

Bidang lain pada sektor industri yang mengelola sumber daya alam yang

dikuasai negara adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN) (diunduh dari

http://www.pln.co.id/?p=102 tanggal 3 Mei 2013). PLN mengalami perubahan

pada tahun 1994 menjadi Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan

(Persero), yang sebelumnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 17

tahun 1972, menetapkan PLN sebagai Perusaan Listrik Umum Negara dan

sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikkan (PKUK). Perubahan PLN

menjadi Persero merupakan konsekuensi kebijakan Pemerintah yang membe-

rikan kesempatan pada sektor swasta untuk bergerak dalam bidang bisnis

penyediaan listrik. Tujuannya sama, yaitu untuk meningkatkan keuntungan dan

kemampuan daya saing, perlu pengelolaan yang professional dan transparan.

Dalam bidang transportasi penerbangan, Garuda dalam situs resminya,

yaitu http://www.garuda-indonesia.com/id/investor-relations/about-garuda-indone-

21

sia/corporate-profile/history/company (diunduh tanggal 2 Mei 2013), perubahan

dalam hal tata kelola organisasi bersifat clean and good. Perubahan yang terjadi

mampu membawa Garuda mendapat pengakuan dunia internasional dengan

slogan baru fly to the world.

Organisasi pendidikan yang bergerak di bidang jasa pendidikan juga

dituntut untuk berubah, maka dapat dikatakan organisasi pendidikan tinggi

menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam menghadapi perubahan.

Terutama dalam hal pengeloaan perguruan tinggi. Organisasi pendidikan tinggi,

sebagaimana diungkapkan Hasan dan Prabowo (2006), memiliki sejumlah

tantangan internal dan eksternal yang mengharuskan mereka untuk berubah.

Tantangan yang dimaksud adalah kualitas lulusan perguruan tinggi (PT) belum

dapat memenuhi tuntutan masyarakat, kompetisi global dan lokal, akreditasi

nasional dan internasional, konflik kepentingan, takut untuk berubah, dan sumber

daya terbatas (conflict of interest, worry to change, limited reseources).

Kondisi tersebut melatarbelakangi perubahan institusi perguruan tinggi,

diawali pertama oleh perubahan IKIP menjadi Universitas Negri. Ulasan Ki

Supriyoko dalam Suara Karya (1999) menjelaskan penyebab perubahan IKIP

menjadi universitas karena kerisauan kenyataan rendahnya kualitas lulusan IKIP

sendiri khususnya dalam penguasaan bidang studi (subjek matter). Diharapkan

melalui perubahan dapat meningkatkan kulitas lulusan IKIP yang menjadi calon

guru di sekolah, di sekolah dasar dan menengah. Dijelaskan pula oleh Ki

Supriyoko bahwa setelah IKIP menjadi universitas maka yang menjadi fokus

adalah fakultas baru yang dibuka, dan penambahan ketersediaan sumber daya

para pengajar.

22

Kompetisi pendidikan di Indonesia berimbas juga pada organisasi

pendidikan berbasis agama, diantaranya IAIN (Institut Agama Islam Negri) yang

telah mengalami perubahan status menjadi Universitas Islam Negri (UIN).

Perubahan IAIN menjadi UIN dideklarasikan pada tanggal 14 Oktober 2004 oleh

Menko Kesra Prof. HA malik Fajar, tindak lanjut dari SK presiden No.50 Tahun

2004, 21 Juni 2004. Dari empat belas IAIN di Indonesia, dua diantaranya yaitu

IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta menjadi Pilot Project perubahan IAIN menjadi

UIN.

Implikasi perubahan IAIN ke UIN, yang cukup menonjol menimbulkan

fakultas-fakultas baru, serta penambahan tenaga pengajar yang berasal dari

ilmu-illmu umum di luar ilmu agama. Adapun tujuan perubahan IAIN ke UIN

adalah meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan peran PTAI

sebagai universitas riset berkelas dunia (Kusumaputri, 2010) maka fokus

pengembangan bidang pengelolaan mutlak dilakukan. Tujuannya adalah untuk

memberikan kontribusi pada peningkatan nation competitiveness melalui

peningkatan kualitas pengelolaan.

Menurut Amin Abdullah, staff ahli Kementrian Agama dalam Temu

Konsultasi Jaringan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat PTAI di

Manado pada 12-14 Juni 2013 lalu peran strategis pendidikan tinggi Islam akan

semakin terpacu apabila Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama

R.I terus mengawal mandat untuk menghilangkan dikotomi keilmuan yang

diwujudkan dengan dibukanya fakultas-fakultas baru, bukan fakultas keagamaan.

Tentu saja keberlanjutan pendirian fakultas-fakultas baru memerlukan tenaga-

tenaga fungsional baru, dari latar belakang ilmu umum yang sebelumnya tidak

dimiliki PTAIN.

23

Mandat penyatuan ilmu agama dan sains yang telah diamanatkan ke

PTAI dapat dilakukan dengan paradigma yang berbeda dari masing-masing

perguruan tinggi. UIN syarif Hidayatullah dilambangkan dengan bola dunia

dengan garis edar elekton mengandung 4 (empat) karakter utama, yaitu

Keislaman, Keilmuan, Keindonesiaan, dan Globalisme. Sedangkan UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta dengan konsep “Jaring Laba-laba” yang merupakan

metafora simplifikasi konsep paradigma keilmuan Integrasi-Interkoneksi,

merupakan sebuah pendekatan dalam pembidangan matakuliah yang mencakup

tiga dimensi pengembangan ilmu.

Perubahan di lingkup PTAI tidak hanya sampai pada tataran paradigma

kelimuan yang dimanifestasikan dalam perubahan visi, misi, tujuan, dan struktur

organisasi, melainkan pada perubahan manajemen pendidikan tinggi yang

berorientasi pada kemampuan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk

mencapai tujuannya. Hal yang cukup menarik khususnya pada organisasi

pendidikan bahwa pendidikan tinggi merupakan pusat pembelajaran,

pengembangan ekonomi, budaya, serta sosial masyarakat. Kualitas SDM di

perguruan tinggi, yang terdiri dari pendidik, staff administrasi, tenaga pustaka,

dan tenaga fungsional peneliti, menentukan proses penyelenggaraan

keberhasilan pendidikan tinggi.

Dapat dikatakan bahwa organisasi pendidikan, khususnya perguruan

tinggi cukup unik dibandingkan organisasi lain dalam hal karakteristik dan

kualifikasi anggotanya. Tenaga pengajar, baik guru maupun dosen, memiliki

tingkat pendidikan dan kompetensi lebih tinggi dan baik dibandingkan individu-

individu yang bekerja di organisasi industri sektor lain (Cumming dan Worley,

1997). Efektivitas perubahan organisasi dalam bidang pendidikan membutuhkan

24

dukungan seluruh SDM (sumber daya manusia) yang ada, terutama komitmen

masing-masing anggota kepada perubahan. SDM di bidang pendidikan

mencakup tenaga dosen, tenaga administrasi, dan tenaga fungsional selain

dosen (peneliti, pustakawan, dan arsiparis). Upaya pengembangan SDM perlu

menyentuh semua unsur SDM. Dari ketiga unsur tersebut, dosen memiliki peran

yang paling strategis dan penting. SDM dosen memiliki posisi vital dalam

membentuk mutu lulusan. Hal itu diperkuat dengan realitas bahwa kewenangan

dan otoritas tertinggi dalam proses akademik berada pada diri SDM dosen

(Sallis, 2010; Cumming dan Worley, 1997)

Keunikan organisasi pendidikan, dapat dianalisis berdasarkan

pengelompokkan organisasi yang dilakukan Blau dan Scott dalam Hoy dan

Miskel (1982), dikelompokkan berdasarkan pihak utama yang memiliki andil

dalam organisasi dan penerima keuntungan. Macam organisasi adalah mutual

benefit associations, business concerns, commonweal organization dan service

organization. Pada organisasi mutual benefit associations, anggota adalah

penerima keuntungan utama dalam organisasi. Sebaliknya pada business

concerns pemilik organisasi adalah penerima keuntungan. Berbeda dengan

organisasi kelompok commonweal organization, masyarakat umum akan

menerima keuntungan dari organisasi. Sedangkan organisasi yang memiliki sifat

service organization menjadikan publik yang berhubungan langsung dengan

organisasi sebagai penerima keuntungan. Service organization memiliki fungsi

utama menyediakan layanan ke klien. Berdasar pengelompokkan organisasi

tersebut, organisasi yang bergerak di bidang pendidikan merupakan service

organization. Mahasiswa/wi menjadi klien yang memperoleh layanan dari

peguruan tinggi.

25

Peran pendidikan tinggi dalam menjalankan fungsinya tidak mudah,

utamanya dalam menggabungkan semua fungsi yang berhubungan dengan

kemajuan dan transmisi ilmu pengetahuan, yaitu penelitian, inovasi pengajaran,

serta jika memungkinkan bagi pendidikan profesi, ditambah dengan pelatihan

untuk pendidikan berkelanjutan. Hasil-hasil penelitian harus dapat dimanfaatkan

untuk kepentingan masyarakat. Inovasi pengajaran harus menyentuh hingga

ranah pembentukan karakter, outcomes pengajaran meliputi 3 komponen, yaitu

afeksi, kognitif, dan psikomotor. Satu lagi perubahan pendidikan tinggi saat ini

perlunya membangun jaringan kerjasama dengan dunia internasional.

Perubahan pengelolaan pendidikan di perguruan tinggi memberikan

kebebasan pada para pengelola organisasi pendidikan untuk memanfaatkan

sumber daya yang dimiliki. Perubahan pengelolaan juga memberi kebebasan

mendesain sistem pembelajaran yang menjadi pembeda suatu perguruan tinggi

dengan organisasi pendidikan tinggi lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa

organisasi pendidikan yang semula bersifat reaktif, sekarang berubah menjadi

bersifat kompetitif. Konsekuensi tersebut menuntut organisasi pendidikan tinggi

khususnya, untuk melakukan restrukturisasi pengelolaan pendidikan (Elmore,

1990; Sarason, 1992; Sizer, 1992).

Peningkatan kualitas pengelolaan juga ditekankan melalui penyusunan

sistem jaminan mutu, yang didasarkan pada Pedoman Penjaminan Mutu

Depdiknas 2003. Penekanan penjaminan mutu adalah pada evaluasi proses

pendidikan. Sistem pengelolaan yang dilakukan UIN sebagai salah satu bentuk

organisasi pendidikan merupakan bentuk responsiveness dalam menjawab

tantangan eksternal yang menjadi sumber perubahan. Proses akademik yang

terukur dan transparan menjadi penekanan, khususnya dosen sebagai

26

komponen utama bidang akademik, serta agen of change. Penerapan

penjaminan mutu menjadi syarat mutlak perubahan perguruan tinggi Islam dari

IAIN menjadi UIN.

Selain itu, pola pengelolaan keuangan juga menjadi perhatian pada

lingkup organisasi pendidikan tiga UIN yang mengalami perubahan. Pada tang-

gal 2 Juli 2007, ditetapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

(PPK BLU) dengan status BLU secara penuh, berdasarkan keputusan Menteri

Keuangan RI Nomor 301/KMK.05/2007, maka UIN Sunan Kalijaga adalah

perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menerapkan PPK BLU, mekanisme

pengelolaan keuangan BLU tersebut diperkuat dengan diterbitkannya SK

Rektor nomor 188 Tahun 2008. UIN Syarif Hidayatullah resmi menjadi BLU sejak

2008 melalui SK Menteri Keuangan Nomor 42/KMK.05/2008. Selanjutnya UIN

Maulana Malik Ibrahim menjadi perguruan tinggi ketiga setelah UIN Sunan

Kalijaga dan UIN Syarif Hidayatullah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan

sebagai PTN yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

(PK-BLU).

Selain tiga UIN tersebut perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia

yang juga mengalami perubahan menjadi BLU adalah Universitas Indonesia (UI),

Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut

Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatra Utara (USU), Universitas Pendidikan

Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (UNAIR) (http://www.setkab.go.id/

berita-5716-ui-ugm-itb-ipb-usu-upi-dan-unair-kini-berstatus-blu-penuh.html diun-

duh pada 4 Mei 2013). Perubahan status menjadi BLU tertuang dalam dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan

27

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan La-

yanan Umum.

Menurut penjelasan mengenai BLU (Badan Layanan Umum), sistem

keuangan ini diterapkan pada bidang tugas operasional pelayanan publik

(http://pkblu.perbendaharaan.go.id/index.php/77-badan-layanan-umum/85

mengapa-badan-layanan-umum diunduh tanggal 4 Mei 2013). Pendanaannya

dari dua sumber, yaitu imbalan dari masyarakat dalam proporsi yang signifikan

terkait dengan pelayanan yang diberikan dan ada pula yang bergantung

sebagian besar pada dana APBN/APBD. Satuan kerja yang memperoleh

pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan, dapat diberikan keleluasaan

dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan.

Tujuan diterapkannya BLU adalah agar aktivitas pelayanan tidak harus dilakukan

oleh lembaga birokrasi murni, tetapi oleh instansi pemerintah dengan

pengelolaan, seperti bisnis yang tujuannya untuk meningkatkan pelayanan

kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif

Dalam PP no 74 itu disebutkan, bahwa seluruh kekayaan perguruan tinggi

yang berstatus BLU dialihkan pada kementrian masing-masing yang membi-

danginya, yaitu Kementrian Agama pada Universitas Islam dan Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan pada perguruan tinggi umum.

Terkait dengan proses perubahan di institusi perguruan tinggi, Eckel dan

Kezar (2002) meneliti proses transformasi lebih dari 20 universitas yang berhasil

mencapai perubahan efektif. Dalam penelitian tersebut, mereka menemukan lima

strategi inti, yaitu (a) dukungan administratif senior, (b) kepemimpinan yang

kolaboratif, (c) visi yang fleksibel, (d) pengembangan staf, (e) aksi-aksi yang

terlihat. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa ada satu kesamaan dalam

28

strategi inti, yaitu masing-masing bertujuan untuk membantu seluruh anggota di

kampus untuk berpikir berbeda tentang institusinya.

Meskipun begitu, perbedaan individual menentukan dalam ketahanan

seseorang menghadapi kesulitan perubahan manajemen akademik karena

perbedaan individual juga berperan dalam menentukan komitmen anggota pada

perubahan. Proses pendidikan adalah tugas yang cukup kompleks yang harus

dilakukan para dosen karena proses pendidikan selalu melibatkan kurikulum

yang ditunjang oleh teknologi dan metode untuk mengukur sasaran atau hasil

(outcomes) dari proses tersebut.

Studi tentang perubahan yang ditelusuri sebagian besar dilakukan di

negara-negara Barat dengan jenis organisasi nonpendidikan, yaitu rumah sakit

dan sektor usaha. Praktisi dan peneliti perubahan organisasi memandang

organisasi pendidikan sebagai sistem birokratik yang berbeda dibanding dengan

organisasi tipe lainnya (Klecker & Loadman, 2000). Hal ini tentu saja memberikan

tantangan tersendiri dalam pengelolaannya.

Pencapaian target dalam rangka efektifitas perunbahan organisasi tentu

saja membutuhkan dukungan anggotanya, komitmen perubahan yang

ditekankan di sini berbeda dengan Herscovitch dan Meyer (2002) yang

mengunakan tiga dimensi perubahan, yaitu menggunakan satu dimensi dengan

tidak melibatkan komitmen berkelanjutan karena pada kondisi perubahan

anggota dituntut untuk melakukan hal-hal yang lebih dari yang dipersyaratkan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa

penelitian ini dilandasi oleh tiga masalah, yakni (1) masalah konseptual, yaitu

adanya kebutuhan untuk melakukan studi lebih jauh tentang perubahan

organisasi yang berfokus pada komitmen anggota pada perubahan, berusaha

29

menghasilkan suatu konstruk komitmen khusus pada perubahan; (2) masalah

mengintegrasikan anteseden-anteseden yang menjadi prediktor komitmen pada

perubahan, yang selama ini prediktor-prediktor tersebut diteliti secara terpisah-

pisah; dan (3) masalah kontekstual, yaitu kebutuhan untuk mendorong perguruan

tinggi dalam rangka mengimplementasikan perubahan dengan memfokuskan

pada proses psikologis anggota organisasi, terutama agar proses perubahan

mampu menumbuhkan komitmen anggota pada perubahan.

B. Rumusan Permasalahan

Penelitian tentang komitmen sudah cukup banyak, tetapi khusus studi

yang komprehensif pada term dan model proses komitmen pada perubahan yang

mengintegrasikan berbagai sudut pandang dengan memperhatikan ciri khas

perubahan organisasi masih tergolong kurang, terutama perubahan yang terjadi

pada kondisi alamiah. Hasil review penelitian tentang perubahan menunjukkan

studi yang dilakukan sebagian besar masih terjadi pada kondisi yang

dimanipulasi sebagai perlakukan oleh peneliti (Kusumaputri, 2010).

Permasalahan yang hendak diuji melalui penelitian ini adalah menguji

kontribusi beberapa variabel prediktor, yaitu kapabilitas organisasi, partisipasi,

dan iklim perubahan terhadap kriteria, yaitu komitmen pada perubahan melalui

keterbukaan pada perubahan.

Beberapa batasan diterapkan dalam penelitian ini. Pertama, perubahan

paradigma akademik juga menjadi kekuatan pendorong perubahan pada

perguruan tinggi Islam, yang menjadikan peran strategis pendidikan tinggi Islam

menjadi diperhitungkan dalam lingkup nasional. Selain itu, mengingat tantangan

yang dihadapi perguruan tinggi saat ini adalah menyesuaikan dengan persaingan

30

gobal, dasar pengelolaan kegiatan pendidikan didasarkan pada pengelolaan

yang dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya

Oganisasi pendidikan khususnya di lingkup perguruan tinggi Islam setelah

mengalami perubahan saat ini tidak lagi bersifat tradisional birokratis, tetapi lebih

menekankan kepuasan pengguna, meningkatnya minat, dan harapan sebagai

sasaran utama. Konsekuensinya adalah perlu perbaikan terus menerus

(continous improvement) yang akan menyebabkan perubahan. Di sinilah letak

pentingnya hubungan manusia yang efektif dan konstruktif yang mampu

menumbuhkan komitmen untuk mengimplementasi perubahan. Situasi

perubahan tersebut yang mendorong penelitian ini diterapkan pada organisasi

pendidikan. Pembatasan kedua, berbagai jurnal yang menguraikan analisis

tentang komitmen pada perubahan mengaitkan komitmen perubahan dengan

karakteristik perubahan yang berorientasi pada pengembangan kapabilitas

organisasi, iklim perubahan, dan partisipasi serta dengan mempertimbangkan

kemampuan individu, yaitu keterbukaan pada perubahan.

Berdasarkan permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, pertanyaan

utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana keterkaitan

antara variabel-variabel prediktor, yaitu kapabilitas organisasi, partisipasi, dan

iklim pada perubahan terhadap komitmen pada perubahan melalui keterbukaan

pada perubahan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji model teoretis yang

menggambarkan keterkaitan antara variabel-variabel kapabilitas organisasi, iklim,

dan partisipasi perubahan organisasi terhadap komitmen pada perubahan

melalui keterbukaan pada perubahan. Berdasarkan hasil uji model yang

31

diperoleh, selanjutnya dapat dinyatakan besarnya kontribusi dari tiap-tiap

variabel terhadap variabel lain yang berhubungan.

Diharapkan penelitian ini memberikan manfaat teoretis dan praktis se-

bagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini menyumbang model teoretis yang

menggambarkan keterkaitan antara kapabilitas organisasi, partisipasi, dan iklim

perubahan terhadap komitmen pada perubahan melalui keterbukaan pada

perubahan. Konsep teoretis yang dihasilkan merupakan dukungan bagi

perkembangan konsep-konsep tentang perubahan organisasi yang mendasarkan

pada komitmen pada perubahan khususnya pada organisasi pendidikan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian dapat dimanfaatkan oleh organisasi pendidikan yang

melakukan perubahan dengan menekankan komitmen pada perubahan. Khu-

susnya bagi organisasi serta pihak pengelola perguruan tinggi, hasil penelitian ini

dapat diimplementasikan agar tidak mengabaikan kondisi indvidu dalam meran-

cang perubahan organisasi.

D. Keaslian Penelitian

Sejauh ini dalam lingkup psikologi industri dan organisasi belum ditemu-

kan penelitian komitmen pada perubahan dengan prediktor kapabilitas organisa-

si, partisipasi, dan iklim pada perubahan dengan keterbukaan pada perubahan

dalam konteks perguruan tinggi Islam.

Penelitian mengenai komitmen pada perubahan tidak banyak ditemukan

oleh peneliti karena sebagian besar penelitian mengenai komitmen difokuskan

pada komitmen organisasi. Penelitian Peccei, Giangreco, dan Sebastiano (2011)

32

menjelaskan peran komitmen organisasi sebagai moderator keuntungan

perubahan dengan resistansi pada perubahan; Ellias (2009) meneliti locus of

control, kekuatan kebutuhan, dan motivasi kerja internal yang mediatornya

adalah sikap pada perubahan dengan kriteria komitmen afektif; Meyer, Srinivas,

Lal, Topolyntsky (2007) meneliti komitmen sebagai prediktor pada perilaku

mendukung perubahan pada dua budaya berbeda, yaitu Kanada dan India;

Herscovitch dan Meyer (2002) meneliti komitmen pada perubahan pengem-

bangan dari komitmen organisasi; Swailes (2004) meneliti profil komitmen pada

perubahan terkait dengan variabel demografis dan situasional; Vakola & Nikolau

(2005) meneliti sikap anggota terhadap perubahan organisasi dengan komitmen

organisai dan stress kerja; Lok & Crawford (1997) meneliti peran prediktor

budaya organisasi, subbudaya, gaya kepemimpinan, dan kepuasan kerja dalam

perubahan dan pengembangan organisasi; Hinduan, Evered, Moss, dan Scannell

(2009) menganalisis hasil kerja berupa kepuasan kerja dan komitmen ditinjau

dari gaya kepemimpinan dan keterbukaan pada perubahan pada bank yang

mengalami penggabungan; Felfe dan Yan (2008) meneliti pengaruh budaya

kolektif dan individual pada komitmen serta pengaruhnya pada perilaku

kewarganegaraan dan keluar masuk karyawan dalam menghadapi meningkatnya

globalisasi di tiga negara; Glazer, Daniel, dan Short (2004) meneliti perbandingan

lintas budaya (Cross cultural) antara nilai-nilai manusia dan dua bentuk komitmen

berkelanjutan (Continuance commitment) dan komitmen afektif (affective

commitment) yang dikaitkan dengan keterbukaan pada perubahan (openness to

change); Fedor, Caldwell, dan Herold (2006) meneliti dampak perubahan

organisasi terhadap komitmen karyawan; Chawla dan Kelloway (2004) meneliti

kemampuan prediksi keterbukaan dengan komitmen pada perubahan.

33

Selanjutnya adalah peneltian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi

usaha dalam perubahan organisasi. Walker, Achilles, Armenakis, dan Bernerth

(2007) meneliti variabel toleransi pada ketidakjelasan, perubahan keyakinan,

sinisme, dikaitkan dengan komitmen, sinisme masuk pada konteks, perubahan

keyakinan merupakan proses, toleransi pada ketidakjelasan masuk pada

perbedaan individual, sedangkan variabel tergantungnya adalah komitmen

afektif; Bouckenooghe, Devos, dan Van den Broeck (2009) meneliti desain dan

evaluasi kuesioner tentang perubahan organisasi, iklim perubahan, proses dan

kesiapan perubahan; Van Loon (2001) meneliti dengan menggunakan perspektif

kualitatif studi kasus mengenai perubahan organisasi di suatu universitas di

Ontario Kanada; Van Dam, Oreg dan Schyns (2008) meneliti peran LMX dan

iklim perubahan (masuk dalam kategori konteks pekerjaan), dan karakteristik

proses perubahan (di dalamnya terdapat informasi, partisipasi, dan kepercayaan

pada manajemen) dengan individual karakteristik, yaitu keterbukaan pada

perubahan terhadap resistansi pada perubahan organisasi; Bernerth, Armenakis,

Field, Walker (2007) meneliti keadilan memprediksi sinisme; orgnisasi, dan

masing-masing bentuk keadilan berinteraksi dengan sinisme untuk memprediksi

perubahan komitmen; Devos, Buelens, dan Bouckenooghe (2008) meneliti

kontribusi content, konteks, dan proses untuk memahami keterbukaan pada

perubahan menggunakan metode eksperimen studi simulasi; Rafferty dan griffin

(2006) meneliti persepsi perubahan organisasi menggunakan perspektif coping

dan stress; Shapiro dan Jacqueline (1999) meneliti partisipasi anggota dan

pengukuran intervensi perubahan organisasi, serta intervensi perubahan menge-

nai proses perubahan; Hornung dan Rousseau (2007) meneliti kontribusi pada

otonomi saat bekerja dengan dukungan anggota pada perubahan organisasi;

34

Yuwono dan Putra (2005) mengenai faktor emosi dalam proses perubahan

organisasi; Geller (2002) meneliti peran kepemimpinan pada resistansi pada

perubahan;

Berdasarkan review dari hasil penelitian terdahulu, belum ada penelitian

di Indonesia, khususnya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, yang

menganalisis faktor-faktor kapabilitas, iklim, dan partisipasi organisasi dalam

membentuk komitmen pada perubahan organisasi dengan mediator keterbukaan

pada perubahan (openness to change). Penelitian disertasi di Fakultas Psikologi

UGM mengenai perubahan ditulis oleh Kaiman Turip mengenai resistensi pada

perubahan di institusi pemerintah.

Selain itu penelitian ini berusaha menghasilkan model teoritik yaitu

kapabilitas organisasi, partisipasi dan iklim perubahan, keterbukaan pada

perubahan dengan komitmen perubahan. Komitmen perubahan

mempertimbangkan orientasi budaya kolektif yang menjadi orientasi budaya di

Indonesia. Selain itu, penelitian ini dilakukan pada setting perubahan organisasi

di sektor pendidikan yang saat ini mengalami tantangan yang tidak ringan.

Perbedaan lain dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini

menekankan komitmen pada perubahan yang hanya menggunakan satu dimensi

komitmen, bukan tiga dimensi seperti pada penelitian komitmen pada perubahan

sebelumnya. Konstrak yang digunakan sebagai landasan teoretis komitmen pada

perubahan memberikan tekanan khusus pada perubahan diperoleh dari

pengembangan komitm en organisasi umum. Aspek dan item-item pernyataan

berbeda dengan penelitian sebelumnya. Setting penelitian adalah pada kondisi

perubahan yang memang secara alamiah sedang terjadi, dan dilakukan pada

organisasi pendidikan.

35