BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang -...
Transcript of BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang -...
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Perusahaan pada era globalisasi saat ini dituntut
memiliki keunggulan kompetitif agar dapat memenangkan
persaingan, atau minimal untuk memertahankan
eksistensinya. Perkembangan dan perubahan di era globalisasi
tersebut tentu saja juga memberi pengaruh dalam berbagai
bidang dan organisasi atau perusahaan dituntut untuk mampu
beradaptasi secara cepat. Menurut Sunarta (2009), di tengah
derasnya arus perubahan saat ini, organisasi baik swasta
maupun pemerintah selalu dituntut untuk bisa menyesuaikan
perkembangan zaman. Sebagaimana telah dipahami bersama
bahwa saat ini kita telah berasa di era global yang penuh
dengan dengan persaingan (competition) dan tuntutan untuk
terus bergerak maju menjauh dari para pesaing (competitor)
yang ada.
Menurut Deva (2008), manajer dan para ahli
menyadari bahwa sebuah perusahaan akan sungguh-sungguh
memiliki keunggulan kompetitif apabila seluruh sumber daya
yang ada diikutsertakan dan berperan aktif untuk
mewujudkan visi dan misi organisasi atau perusahaan. Salah
satu sumber daya yang seharusnya mendapat perhatian adalah
sumber daya manusia (SDM) karena SDM merupakan salah
2
satu faktor kunci dalam persaingan global, yakni bagaimana
menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki
keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan
global. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh Bbangsa
Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam
dunia usaha, karena dalam globalisasi menyangkut hubungan
serta persaingan intraregional dan internasional.
Perubahan dan perkembangan tersebut tidak hanya
berpengaruh terhadap perusahaan-perusahaan milik swasta
maupun perusahaan yang dikelola oleh pemerintah.
Perubahan dan perkembangan yang dirasakan oleh
perusahaan-perusahaan pemerintah terutama perusahaan
pemerintah yang berhubungan dengan layanan publik
ditunjukkan dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat
terhadap kualitas layanan publik. Masyarakat lebih berani
mengkritik pemerintah, jika apa yang mereka harapkan tidak
diberikan melalui pelayanan tersebut (Nurdiah, 2008). Salah
satu perusahaan milik pemerintah yang tidak lepas dari
kritikan masyarakat karena dirasa kurang mampu
memberikan pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat
adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), bahkan
secara jelas Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto
mengatakan bahwa sebanyak 320 perusahaan daerah air
minum (PDAM) di Indonesia masih dalam kategori buruk.
Lambannya pelayanan yang diberikan dan buruknya kualitas
3
air yang didistribusikan oleh PDAM menjadi beberapa
indikator mengapa perusahaan daerah air minum termasuk
dalam kategori buruk. Sedangkan, sebanyak 132 perusahaan
sudah termasuk dalam kondisi sehat (Purwadi, 2011).
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dibangun
pemerintah hampir di setiap kabupaten dan kota di Indonesia,
termasuk di Kota Salatiga. Perusahaan Daerah Air Minum
Kota Salatiga dirintis oleh pemerintah Belanda sejak tahun
1921 dengan cakupan pelayanan meliputi wilayah Kecamatan
Sidorejo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Sidomukti dan
Kecamatan Argomulyo (Profil PDAM, 2009).
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Salatiga
memiliki visi memenuhi kebutuhan masyarakat akan air
bersih dalam jumlah yang cukup, berkualitas dan terus
menerus dengan harga terjangkau serta mampu mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah. Sejalan dengan visi
tersebut diharapkan PDAM Kota Salatiga mampu
memberikan pelayanan terbaiknya untuk memenuhi
kebutuhan akan air bersih di Kota Salatiga. Akan tetapi dalam
perjalanannya PDAM Kota Salatiga sering mendapat keluhan
dari masyarakat atau pelanggannya. Keluhan masyarakat
tentang semakin sulitnya untuk mendapatkan air bersih
tampaknya masih menjadi kendala yang sepenuhnya belum
dapat diatasi oleh pemerintah daerah dalam hal ini PDAM
Kota Salatiga. Di pihak lain permintaan masyarakat akan air
4
bersih semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya
jumlah penduduk dari tahun ke tahun, namun kualitas
pelayanan yang diberikan belum sebanding dengan
pemenuhan permintaan masyarakat tersebut (Riyasa, 2007).
Abbasi (2011) menemukan bahwa terdapat hubungan
yang positif antara pemberdayaan karyawan, kualitas layanan,
dan kepuasan pelanggan. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberdayaan karyawan menghasilkan tingkat kualitas
layanan yang lebih tinggi dan kepuasan pelanggan. Hasil
penelitian serupa juga dipaparkan oleh Sarkar (2009), dimana
dari hasil penelitian tersebut didapati hubungan yang positif
antara pemberdayaan karyawan dan kualitas layanan. Lebih
lanjut Sarkar mengatakan bahwa karyawan yang
diberdayakan akan menghasilkan kualitas layanan yang lebih
baik.
Pelayanan di PDAM Kota Salatiga cenderung kurang
memuaskan ini dapat dilihat dari hasil wawancara yang
dilakukan dengan pelanggan dan karyawan PDAM pada
tanggal 27 Juli 2011. Sejumlah surat kabar juga menyoroti
buruknya pelayanan PDAM Kota Salatiga, salah satunya
adalah berita yang dimuat pada harian Suara Merdeka tanggal
23 Juni 2011 yang memberitakan mengenai sering tidak
mengalirnya air PDAM yang berujung pada kekecewaan
pelanggan. Lebih lanjut dari hasil wawancara diketahui
bahwa ketika pelanggan mengajukan pemasangan dan
5
komplain masalah air mereka harus menunggu kurang lebih 1
bulan sebelum akhirnya diproses. Juga dibutuhkan jangka
waktu yang sama untuk melakukan pemasangan pipa air baru.
Pelanggan juga mengeluhkan adanya pihak pelayanan
perusahaan yang kurang ramah sehingga seringkali pelanggan
menjadi komplain. Kemudian berdasarkan hasil wawancara
dengan karyawan PDAM Salatiga diperoleh kesimpulan
bahwa tidak sepenuhnya mereka diberi wewenang serta
tanggung jawab dalam mengambil keputusan. Segala hal yang
berhubungan dengan pekerjaan tidak mereka putuskan secara
individu maupun kelompok dalam bidang mereka namun
mereka hanya melaksanakan perintah atasan. Selain itu
seringkali karyawan di beberapa bagian terlihat menganggur
karena mereka harus menunggu pekerjaan mereka diserahkan,
ini dikarenakan ada beberapa pihak karyawan yang tidak
langsung menyerahkan data-data yang seharusnya diolah agar
cepat selesai namun mereka menunda menyerahkan sehingga
karyawan lain cenderung menganggur dan akan menjadi
sangat sibuk pada akhir bulan.
Untuk meningkatkan kualitas layanannya, PDAM
Kota Salatiga harus membuat suatu strategi. Salah satunya
adalah dengan menggunakan pemberdayaan dalam
perusahaan (Nurdiah, 2003). Suatu perusahan perlu
melakukan pemberdayaan, Kernaghan (2003) menyatakan
beberapa manfaat yang diperoleh perusahaan dengan
6
melakukan pemberdayaan pada karyawannya, yaitu 1) kualitas.
Untuk mendapatkan kualitas yang baik, perusahaan
melakukan perbaikan yang berkelanjutan, dan perbaikan yang
terus-menerus dapat dilakukan dengan mendapatkan orang-
orang yang sesuai dengan pekerjaannya, dan untuk itu
dibutuhkan pemberdayaan guna memotivasi mereka.
2) inovasi. Transfer kekuasaan yang dilakukan melalui
pemberdayaan akan menciptakan kreatifitas karyawan,
dikarenakan karyawan memiliki kebebasan akan
menyelesaikan tugas-tugas mereka. 3) loyalitas karyawan.
Perusahaan yang menerapkan pemberdayaan mampu
menurunkan tingkat keluar masuknya karyawan (labour
turnover), meningkatkan produktivitas, dan pelayanan
mereka. 4) produktivitas dan profitabilitas. Perusahaan yang
berhasil menerapkan pemberdayaan terhadap para
karyawannya, mencapai tingkat produktivitas sebesar 30 – 50
persen dari tahun ke tahun. Hasil ini tentu saja berpengaruh
secara signifikan pada target profit yang ingin dicapai oleh
perusahaan tersebut. 5) pembelajaran organisasi. Dengan
adanya pembelajaran organisasi, membantu individu
mengembangkan perubahan yang bermanfaat, dalam hal
perilaku dan keahlian. Pemberdayaan tidak hanya sebagai
suatu cara untuk membantu mengarahkan pada pembelajaran
organisasi, tetapi merupakan bagian penting dari
pembelajaran organisasi. 6) kelangsungan hidup. Merupakan
7
bagian terpenting dari proses pemberdayaan. Manfaat
terpenting dilakukannya pemberdayaan adalah agar
perusahaan tetap dapat bertahan terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi. Spreitzer (1995) berpendapat
mengenai pemberdayaan sebagai motivasi intrinsik maka
pemberdayaan bukan hanya pemberian kekuasaan atau
wewenang dari atasan, tetapi lebih pada pemikiran dan
pemahaman diri karyawan akan peran dan tugas kerjanya.
Dalam pemberdayaan ini para karyawan diberikan
pemahaman mengenai perubahan yang terjadi dalam
lingkungan perusahaan dan diberikan kebebasan dalam
menentukan keputusan yang terkait dengan kepuasan
pelanggan. Pemberdayaan secara luas dapat didefinisikan
sebagai hubungan antar personal yang berkelanjutan untuk
membangun kepercayaan antara karyawan dan manajemen
(Kahn dalam Nurdiah, 2003). Sedangkan Baron (dalam
Nilmawati, 2003) mendefinisikan pemberdayaan sebagai
pemberian tanggungjawab dan wewenang dari manajer
kepada karyawan yang melibatkan adanya saling tukar
pikiran mengenai informasi dan pengetahuan untuk memandu
karyawan dalam bertindak sesuai dengan tujuan perusahaan.
Menurut Spreitzer (1995), perspektif pemberdayaan
psikologis berfokus pada pemberdayaan karyawan.
Pemberdayaan psikologis juga dikenal sebagai proses organik
atau bottom-up, yang menyatakan bahwa pemberdayaan dapat
8
dicapai hanya ketika keadaan psikologis menghasilkan
persepsi dalam pemberdayaan karyawan. Lebih lanjut Sunarta
(2009), mengatakan bahwa memberdayakan pegawai
(employee empowerment) adalah sebuah keharusan.
Organisasi yang tidak mengembangkan dan memberdayakan
pegawai yang dimiliki serta menutup diri dari percaturan
global yang selalu berubah, maka hanya akan menjadi
penonton dan bukan pemain. Memberdayaan berarti
memampukan (to able), memberi kesempatan (to allow), dan
mengijinkan (to permit). Memberdayakan pegawai berarti
memampukan dan member kesempatan untuk melakukan
fungsi-fungsi manajemen dalam skala yang menjadi
tanggungjawabnya, baik secara individu maupun kelompok.
Selain itu pemberdayaan juga dapat dipandang sebagai seni-
dalam proses mendorong pegawai untuk bekerja secara
optimal demi kepuasan pelanggan.
Ada berbagai faktor yang memengaruhi proses
pemberdayaan karyawan, Salah satu yang tampak adalah
budaya organisasi. Nugroho (2004) mengatakan bahwa
pemberdayaan karyawan dipengaruhi oleh faktor internal dan
organisasional. Faktor internal meliputi tekanan, dan
pendidikan. Sementara itu, faktor organisasional meliputi
kepemimpinan, kekuatan kelompok, kepercayaaan, dan
budaya organisasi. Lebih lanjut Harold (1996) mengatakan
bahwa pemberdayaan merupakan salah satu bagian integral
9
dari budaya organisasi. Menurut Harold, tingkat
pemberdayaan berkaitan dengan kekuatan budaya organisasi,
budaya yang kuat mendukung proses pemberdayaan dalam
banyak cara, diantaranya 1) perusahaan dengan budaya yang
kuat memberikan kontinuitas dan kejelasan sehubungan
dengan misi mereka. 2) perusahaan dengan budaya yang kuat
meminimalkan terjadinya kesalahan komunikasi antara
karyawan dan manajemen perusahaan. 3) perusahaan dengan
budaya yang kuat konsisten dalam proses pengambilan
keputusan. 4) perusahaan dengan budaya yang kuat
membantu karyawan menjalin relasi sosial dengan
masyarakat berdasarkan pengalaman, reputasi, dan hubungan
antar karyawan dalam perusahaan.
Glaser (1987) mendefinisikan budaya orgaisasi
sebagai bagian dari pola-pola keyakinan, simbol, ritual, dan
mitos yang berkembang seiring dengan waktu dan bekerja
sebagai perekat yang menyatukan organisasi bersama-sama.
Davis (dalam Tjahjono, 2003) menyatakan bahwa budaya
organisasi sebagai pola keyakinan dan nilai-nilai
organisasional yang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh
organisasi sehingga pola tersebut memberi arti tersendiri dan
menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasional. Lebih
lanjut Wirawan (2007) mendefinisikan budaya organisasi
sebagai norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat, dan
kebiasaan organisasi yang dikembangkan dalam waktu yang
10
lama oleh pendiri, pemimpin, dan anggota organisasi yang
disosialisasikan dan diajarkan kepada anggota baru serta
diterapkan dalam aktivitas organisasi sehingga memengaruhi
pola pikir, sikap, dan perilaku anggota organisasi dalam
memproduksi produk, melayani para konsumen, dan
mencapai tujuan organisasi. Lebih lanjut Gibson (dalam
Sutanto, 2002) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah
sesuatu yang dipercaya oleh karyawan dan kepercayaan ini
dapat membentuk keyakinan, nilai – nilai dan ekspektasi.
Hasil penelitian Hatami (2012), yang berjudul “the
study of relationship between organizational culture and
empowerment“ menemukan bahwa pemberdayaan karyawan
berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi.
Lebih lanjut Hatami mengatakan bahwa karyawan yang
diberdayakan akan menunjukkan komunikasi yang lebih baik
dan budaya organisasi yang lebih kuat. Sedangkan Siegall
(dalam Lashley, 2001) mengatakan bahwa budaya organisasi
yang sejalan dengan norma-norma yang ada pada anggota
organisasi akan menimbulkan dampak positif terhadap
pemberdayaan. Karyawan yang diberdayakan akan merasa
bahwa mereka adalah bagian dari budaya organisasi.
Organisasi bila menginginkan semua manfaat pemberdayaan,
maka organisasi tersebut harus menyediakan lingkungan yang
mampu menciptakan semua komponen pemberdayaan. Lebih
lanjut Hersanti (2008) dari hasil penelitiannya mendapati
11
hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dengan
pemberdayaan pegawai negeri sipil. Budaya organisasi yang
kuat akan memungkinkan pegawai untuk lebih memiliki rasa
berdaya, sehingga lebih mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya dalam menjalankan pekerjaannya.
Hal yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan oleh
Kernaghan (2003), dimana menurut Kernaghan, budaya
organisasi merupakan salah satu faktor organisasional yang
berpengaruh pada proses pemberdayaan.
Berdasarkan fenomena yang terjadi di PDAM Kota
Salatiga yang telah dipaparkan di atas maka penulis tertarik
untuk meneliti mengenai “ Hubungan Antara Budaya
Organisasi Dengan Pemberdayaan Pegawai Perusahaan
Daerah Air Minum Salatiga”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas
maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut
“apakah ada hubungan yang positif signifikan antara budaya
organisasi dengan pemberdayaan pegawai Perusahaan Daerah
Air Minum Salatiga ?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara
empiris hubungan antara budaya organisasi dengan
12
pemberdayaan pegawai Perusahaan Daerah Air Minum Kota
Salatiga.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tentang hubungan antara budaya
organisasi dengan pemberdayaan pegawai Perusahaan Daerah
Air Minum Kota Salatiga ini diharapkan memberikan
sejumlah manfaat atau kegunaan antara lain :
1) Manfaat Teoritis
Sebagai informasi tambahan dan mempunyai
implikasi pada pengembangan ilmu di bidang psikologi
industri dan organisasi khususnya yang berkaitan dengan
budaya organisasi dan pemberdayaan.
2) Manfaat Praktis
a. Bagi Karyawan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan
karyawan memiliki perasaan bahwa mereka
melakukan tugas yang bermakna serta merasa menjadi
bagian dari misi dalam perusahaan, mereka memiliki
keyakinan akan kemampuannya, kemudian mereka
dapat berinisiatif dalam bertindak serta dapat
merasakan bahwa mereka berpengaruh dan memiliki
gagasan di dalam perusahaan.
13
b. Bagi Perusahaan Daerah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai gambaran budaya organisasi di
perusahaan daerah dan melihat hubungan dengan
pemberdayaan sehingga dapat diambil tindakan
konkrit demi meningkatkan pemberdayaan pegawai.
c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
dampak positif terhadap pelayanan yang diberikan
oleh PDAM Kota Salatiga kepada masyarakat,
sehingga pada akhirnya masyarakat tidak lagi
mengeluhkan kualitas pelayanan dan produk yang
diberikan PDAM Kota Salatiga.