Bab I Pengantar A. Latar Belakang -...
Transcript of Bab I Pengantar A. Latar Belakang -...
1
Bab I
Pengantar
A. Latar Belakang
Banyuwangi yang merupakan bekas Kerajaan Blambangan,
dapat digolongkan sebagai wilayah islamisasi yang paling akhir di
seluruh tanah Jawa. Alih-alih merupakan roh atau spirit juang
melawan kolonialisme, justru Islam dan islamisasi dari Jawa dan
Madura memainkan peran sentral dalam ekspansi Belanda di
ujung timur Pulau Jawa ini. Hal ini tentu saja menarik,
mengingat kebanyakan sejarawan cenderung untuk menonjol-
nonjolkan kontribusi terbesar Islam dalam sejarah Indonesia
sebagai pelopor dalam melawan kolonialisme bangsa Barat.1
Selain itu, formasi etnis penduduk Banyuwangi saat ini,
tidak terlepas dari peristiwa sejarah pendudukan Blambangan
oleh kekuasaan Bali, Belanda, dan Jawa. Angka yang cukup
berarti adalah, bahwa setelah perlawanan Jagapati atau biasa
disebut Puputan Bayu (1771-1772), Blambangan mengalami
depopulasi yang sangat signifikan; hingga akhir tahun 1772,
1 Sri Margana. Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan. (Yogyakarta: Pustaka Ifada. 2012), hlm.
316.
2
jumlah penduduk di seluruh Blambangan tidak lebih dari 3000
orang atau 8,3% dari jumlah penduduk sebelum pendudukan
Belanda di kawasan itu.2
Komposisi etnis, yang kemudian membentuk wilayah
administratif Banyuwangi pada saat ini, dapat disimpulkan
didominasi oleh orang-orang yang bukan keturunan dari rakyat
Blambangan, melainkan para pendatang dari Jawa dan Madura,
sekaligus Islam yang kemudian dibawa oleh para pendatang ini.
Sehingga, jika pada medio 1768-1773, perlawanan pribumi
cenderung dilandasi oleh sentimen etnis (anti-Jawa, yakni
Mataram) dan religius (anti-Islam); maka pada masa pasifikasi
politik Belanda, penduduk kemudian menggeser identitas etnis
mereka menjadi echt Javaan (asli Jawa).
Para ―penduduk asli‖ yakni para penyintas perang medio
1768-1773, yang pada masa kemudian digolongkan dalam sub-
etnis Osing, terdesak ke wilayah hinterland. Mereka yang rentan
terhadap hasutan orang-orang Bali ini lantas bertahan dengan
agama Hindu-Budha, atau dalam narasi sejarah disebut dengan
budaya Pra Islam. Manakala seorang linguis, Van der Tuuk,
mengunjungi area ini pada tahun 1840—tiga abad setelah
keruntuhan Majapahit, dia menemukan Desa Cungking, dekat
2 Ibid., hlm. 229.
3
dengan kantor residen, yang masih menganut Sivaisme.3
Observasi 15 Mei 2014 dengan napak tilas linguis Van der Tuuk
di Desa Cungking, menunjukkan bahwa Islam telah dipeluk
secara mayoritas oleh warga, namun memori yang dibungkus
praktik ritual sinkretik justru adalah sisa-sisa kebanggaan orang
Cungking terhadap upaya menghalau islamisasi dari arah barat.
Tampaknya hal ini mengonfirmasi bahwa wilayah Banyuwangi
adalah salah satu pengecualian dari fase sejarah Jawa4 secara
garis besar, yang secara linier mengalami islamisasi sejak masa
Demak.
Sebagaimana daerah lain di Jawa, aristokrat lokal
Banyuwangi diberikan posisi subordinat di dalam struktur
kolonial, yang mana dinasti Tawang Alun (Raja Blambangan
terbesar, memerintah 1665-1691) silih berganti menempati posisi
ini. Setelah empat generasi memimpin Balmbangan—hingga
1767—, maka bupati yang disahkan Kumpeni untuk memimpin
Banyuwangi adalah keturunan dari istri padmi (permaisuri), dan
sejak 1771 hingga 1818 dialihkan kepada aristokrat lokal
3 Lekkerkerker dalam Andrew Beatty. Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account. (Cambridge: Cambridge University Press. 1999)., hlm. 16.
4 Contoh lain banyak ditemukan di Jawa, seperti yang
dipaparkan oleh Koentjaraningrat, bahwa di lembah Sungai Opak—Sungai Progo, terdapat komunitas yang sama sekali tidak
tersentuh oleh pengaruh Islam. Lih. Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka. 1984).
4
keturunan Tawang Alun dari istri selir. Kuburan para Bupati
Banyuwangi kini terletak di dekat pusat kota ini, namun
keturunan mereka tidak memiliki posisi penting dalam
Banyuwangi modern.
Jika hilangnya kehidupan istana di bawah kuasa Belanda
menandai perbedaan krusial di Jawa Tengah, yang mana
penguasa masih dipatuhi masyarakat dan dijadikan teladan
budaya yang inggil; maka di Banyuwangi tidak. Secara politik
maupun kultural, antara desa dan negara kolonial, tidak ada
hubungan yang nyata kecuali dalam hal-hal tertentu seperti
pajak. Ketika budaya keraton berkembang dalam wujud kode
etika dan kehalusan artistik yang kian komplek—yang seolah-olah
menampakkan bahwa mereka menjadi lebih Jawa di muka
Belanda—Banyuwangi sebagaimana halnya daerah lain di wilayah
ujung Timur Jawa, telah dilemparkan kembali kepada sumber
budaya kuno, yakni dari tingkat desa.
Masuknya para pendatang serta penyebaran Islam, dan
tidak adanya gambaran model kerajaan lokal sebagaimana gaya
Jawa Tengahan—dalam bahasa, busana, seni—; di satu sisi
semakin meneguhkan perbedaan fase historis Banyuwangi dari
periodisasi sejarah daerah Jawa lainnya. Islamisasi dikatakan
memperlebar jurang antara Banyuwangi dan budaya pusat, sebab
Islam yang dibawa para pendatang lebih ―kasar‖ daripada yang
dipraktikkan di dalam dan di sekitar keraton. Islam yang dibawa
5
sifatnya mudah alias tidak rumit, pinggiran, dan otoritasnya
disebarluaskan di antara sekian pesantren yang tersebar di
seluruh daerah.
Muncul kemudian adalah ulama sebagai kelompok yang
berusaha mengisi kekosongan posisi yang ditinggalkan aristorkat
lokal ini. Kesalehan yang diganjar dengan keselamatan di
kehidupan setelah mati, adalah praktik ideal bagi komunitas yang
dikenal dengan golongan santri. Banyuwangi modern yang
mengenal golongan santri sebagai pendatang, secara perlahan
namun pasti kemudian mengalami proses pengislaman. Pada
masa menjelang kedatangan tentara Jepang, organisasi ulama
dan golongan para santri yang terkemuka adalah Nahdlatul
Ulama yang dilabeli dengan golongan Islam tradisional, sementara
organisasi Islam modern kurang mendapat tempat, dan hanya
terdapat di wilayah perkotaan.
Melalui pengaruhnya di dalam masyarakat, ulama
melanjutkan peran pentingnya baik dalam kehidupan politik
maupun budaya. Kemenangan partai Nahdlatul Ulama sebagai
partai kaum santri pada pemilu 1955, secara tidak langsung
menandai peran penting kaum ulama dalam kehidupan politik
Banyuwangi. Siapakah ulama, dan bagaimana mereka
mempertahankan posisinya di dalam masyarakat Banyuwangi
yang usia keislamannya ―belum lama‖; merupakan sepasang
pertanyaan yang kemudian mendasari penelitian ini.
6
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Permasalahan
Fokus penelitian ini adalah upaya melihat respon dan gejala
pada lapisan elit masyarakat lokal terhadap kontestasi
perpolitikan nasional, dalam hal ini ulama NU Banyuwangi
sebagai bagian dari gambaran besar Islam politik dalam
menghadapi perkembangan dan perubahan kekuasaan nasional.
Banyuwangi sebagai lanskap teritorial yang berada di ujung timur
Pulau Jawa, memiliki sejarah sebagai wilayah paling terakhir
dalam islamisasi Jawa, selain itu juga kenyataan bahwa formasi
etnisitasnya baru terbentuk pada akhir abad XVIII.
Pertanyaan-pertanyaan pokok penelitian ini adalah,
pertama, mengapa hubungan guru-murid menjadi elemen penting
dalam mengiringi proses islamisasi di Banyuwangi, apa peran dan
pengaruhnya dalam afiliasi politik ulama Banyuwangi? Kedua
mengapa NU mempunyai peran menonjol dalam kehidupan politik
di Banyuwangi, terutama sekitar tahun 1965, dan siapa sajakah
aktornya? Ketiga, mengapa terjadi perubahan pola afiliasi politik
ulama di Banyuwangi sejak 1955 hingga 1965?
Lokus penelitian ini adalah Banyuwangi, kabupaten di ujung
timur Jawa di mana kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa
berdiri, islamisasi beriringan dengan kolonisasi bangsa
7
Bumiputera dan kolonialisme bangsa Barat, serta salah satu
wilayah sentrum konflik setelah kemerdekaan.
Angka tahun 1955 menjadi titik awal penelitian, dengan
pertimbangan bahwa selain menjadi tahun diadakannya pemilu
pertama, juga merupakan tahun di mana kontestasi politik secara
terbuka dan demokratis berlangsung. Kemudian, tahun 1965
diangkat sebagai batas akhir temporal penelitian, dengan
argumentasi bahwa tahun ini menjadi fase awal Orde Baru, di
mana kemudian terjadi sistem partai hegemonik (hegemonic party
system) yang diperankan oleh Golkar dan militer, sekaligus fase
peminggiran politik Islam.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan alasan
hubungan guru-murid menjadi elemen penting dalam mengiringi
proses islamisasi di Banyuwangi, sebagai pijakan awal menuju
penjelasan peran dan pengaruh relasi guru-murid dalam afiliasi
politik ulama Banyuwangi. Juga untuk mengetahui dasar NU
memiliki peran yang menonjol dalam kehidupan politik di
Banyuwangi, terutama sejak tahun 1955 hingga tahun 1965,
berikut identifikasi aktor-aktornya. Terakhir, penelitian ini juga
untuk mengetahui pasal terjadinya perubahan pola afiliasi politik
ulama Banyuwangi sejak 1955 hingga 1965.
8
Penelitian terhadap peran politik ulama dalam historiografi
Indonesia kiranya sangat melimpah, oleh karena itu penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya bidang penelitian sejarah politik.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat sedikit
menjernihkan narasi sejarah perihal ‗pecah kongsi‘ hingga fusi dua
cabang NU di Banyuwangi pada kurun 1955-1965.
D. Tinjauan Pustaka
Studi perihal Banyuwangi, secara umum berkisar pada tema
Osing, kesenian, mistisme dan kekerasan, khususnya berkaitan
dengan pembunuhan dukun santet tahun 1998. Penelitian Sri
Margana bertajuk ―Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan
Hegemoni Blambangan‖ yang memaparkan persaingan kekuatan
bangsa Nusantara dan bangsa Barat dalam mengiringi proses
hinduisasi, islamisasi, dan kolonisasi di wilayah ujung timur
Pulau Jawa. Kajian ini sangat membantu penggambaran
keberagamaan serta penelusuran formasi etnis Banyuwangi
modern. Paul Arthur Wolbers, yang menulis disertasi berjudul
―Maintaining Using Identity Through Performance Seblang And
Gandrung‖ menggarisbawahi bahwa sejarah musik di Banyuwangi
pada abad ke-19 merefleksikan pula sejarah politik wilayah ini,
pengaruh Jawa dan pengaruh Bali datang seiring silih bergantinya
penaklukan dari kedua kekuatan tersebut. Selain itu, seblang dan
terutama gandrung yang merefleksikan baik pengaruh Bali
9
maupun Jawa di masa lalu, diusung oleh orang-orang
Using/Osing yang bermukim di seputar Kota Banyuwangi.5
Penelitian antropologis dari Andrew Beatty, yang berjudul Varieties
of Javanese Religion: An Anthropological Account6, memaparkan
karakteristik masyarakat Banyuwangi dari segi sinkretisme
kepercayaan atau silang pengaruh antara kesalehan Islam,
mistisisme lokal, Hinduism, dan tradisi rakyat Banyuwangi. Titik
fokus kajian Beatty mengenai karakteristik Islam di Banyuwangi
pada Bab 5 serta Bab 8, kiranya mampu membantu pembacaan
corak Islam Banyuwangi dari segi antropologi, untuk kajian
keagamaan ini. Kekerasan santet menjelang dan sekitar reformasi
juga dikaji dari disiplin antropologi, sebagaimana terekam dalam
penelitian Nicholas Herriman yang berjudul ―Negara vs Santet‖7,
serta Sunarlan yang bertajuk ―Gerakan Reformasi Politik dan
Konfigurasi Elite Lokal (Studi Kasus di Kabupaten Banyuwangi
1998-1999)‖.8
5 Paul Arthur Wolbers. ―Maintaining Using Identity through
Musical Performance; Seblang and Gandrung of Banyuwangi, East Java (Indonesia)‖ Disertasi. (Illinois: University of Illinois at Urbana-Champaign. 1992).
6 Andrew Beatty. Varieties of Javanese Religion., op.cit.
7 Nicholas Herriman. Negara VS Santet. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2013).
8 Sunarlan. ―Gerakan Reformasi Politik dan Konfigurasi Elite
Lokal (Studi Kasus di Kabupaten Banyuwangi 1998-1999)‖. Tesis.
10
Sebagai pembanding, penelitian terdahulu mengenai
atmosfer politik pada masa 1955, menjadi sumbangsih yang
berarti, seperti laporan pemilu 1955 dari Herbert Feith9, atas
pemilu 1955, terutama di Jawa, di mana dua elemen kekuatan,
yakni santri dan abangan dinilai cukup determinan dalam
keterpilihan partai-partai agama maupun non-agama. Selain itu
juga tulisan Ken Ward, yang memandang persaingan politik
nasional pada pemilu 1971 dari sudut pandang lokal Jawa Timur,
di mana ia memandang program pemerintahan Soeharto untuk
mempercepat modernisasi tidak akan terganggu oleh berbagai
pergolakan sosial–misalnya demonstrasi besar di ibu kota pada
Januari 1974–yang membuktikan kekuatan pemerintahan baru
tersebut. Karya ini akan membantu memandang pemilu kedua
tersebut sebagai wujud konsolidasi politik pemerintah Soeharto,
khususnya di daerah regional Jawa Timur.10
Pustaka selanjutnya adalah yang ditulis oleh Nuryadin,
berjudul ―Konflik Sosial dan Demokratisasi, Studi Kritis dan
(Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2000).
9 Herbert Feith. The Indonesian Election of 1955. (NY: Cornell University Modern Indonesia Project, 1957).
10 Ken Ward. The 1971 Election in Indonesia: An East Java Case Study. (Clayton: Monash University Centre of Southeast Asian Studies. 1974).
11
Komparatif tentang Pertikaian Ideologi dan Kekerasan Politik Pada
Pemilu 1955 dan 1999‖.11 Meskipun penelitian ini hanya
memperbandingkan dua peristiwa pemilihan umum, namun
pemaparannya mengenai kontestasi politik aliran dalam Islam,
dapat dirujuk sebagai pembanding. Selanjutnya adalah penelitian
dari Abd. Aziz Thaba, bertajuk ―Islam dan Negara dalam Politik
Orde Baru (1966-1994)‖12. Sebagai kajian yang menghadirkan
relasi antara Islam dan negara, penelitian ini cukup membantu
dalam menelaah hubungan antara Islam politik dan negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam, seperti Indonesia. Thaba
menyimpulkan bahwa terdapat perubahan sifat hubungan antara
Islam dengan negara dalam politik Orde Baru, dari antagonistik
(1967-1982), resiprokal-kritis (1982-1985), ke akomodatif (1985-
1994). Karya lain mengenai Islam dan politik adalah karya Abdul
Munir Mulkhan, berjudul ―Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi
Kebudayaan dalam Dakwah Islam‖13. Buku ini secara tematik
mengulas pandangan politik golongan santri pada masa Orde
11 Nuryadin. ―Konflik Sosial dan Demokratisasi, Studi Kritis
dan Komparatif tentang Pertikaian Ideologi dan Kekerasan Politik pada Pemilu 1955 dan 1999‖. Tesis, tidak diterbitkan. (Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2007).
12 Abdul Aziz Thaba. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (1966-1994). (Jakarta: Gema Insani Press. 1996)., hlm. 223.
13 Abdul Munir Mulkhan. Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalam Dakwah Islam. (Yogyakarta: Sipress. 1994).
12
Baru, terutama dalam kacamata sosiologis yang terfokus pada
mobilitas sosial-politik yang berlangsung di kalangan santri
sepanjang masa Orde Baru.
Sebagian besar kajian mengenai Islam dan politik atau Islam
dan negara berangkat dari–atau terkadang berupaya membangun–
pendekatan tipologis guna menjelaskan pelbagai perbedaan dan
perubahan sikap masyarakat muslim berhadap-hadapan dengan
isu politik-keagamaan. Hal ini dikarenakan bahwa penggambaran
dan pemetaan Islam Indonesia yang sangat kompleks, berkelit
kelindan dengan adanya berbagai organisasi atau komunitas
muslim yang pada ujungnya tidak dapat digeneralisir dalam satu
wajah saja. Studi Clifford Geertz, yang mengelompokkan tiga
varian muslim Jawa, dalam trikotomi santri-priyayi-abangan tidak
hanya merefleksikan struktur agama dan budaya, melainkan juga
berupaya menjelaskan komposisi politik dan ekonomi masyarakat
muslim Jawa. Santri, adalah sekelompok orang yang secara ketat
mengenyam pendidikan agama. Menurut Geertz, di antara budaya
santri adalah anti-birokrasi, independensi, dan egaliter. Pada
umumnya, mereka tinggal di perkotaan, di mana perilaku ekonomi
mereka terutama berdagang. Pada ranah politik, golongan ini
13
cenderung untuk memilih partai Islam, seperti Masjumi dan NU.14
Abangan adalah golongan yang tidak terkait dengan praktik formal
keagamaan (Islam). Sebagai oposisi dari santri, kebanyakan
muslim abangan hidup di pedesaan di mana mereka berprofesi
sebagai petani. Perihal afiliasi politik, golongan ini cenderung
untuk mendukung partai-partai ―sekuler‖ atau non-agama, seperti
PNI serta PKI.15 Sementara priyayi, adalah kelompok orang-orang
yang lebih percaya pada kepercayaan Hindu-Jawa daripada nilai-
nilai Islam (sinkretik). Dalam struktur masyarakat Jawa, priyayi
adalah masyarakat kelas elit yang biasanya tinggal di sekitar
keraton. Pada bidang politik, sebagaimana golongan abangan,
kebanyakan priyayi cenderung untuk mendukung partai-partai
berhaluan nasionalis-sekuler. Jika abangan adalah petani Jawa,
maka priyayi adalah ningratnya, orientasi politik dan budaya
keduanya adalah versi halus dan versi kasar dari masing-masing,
di mana etiket dan perlambang yang menjadi pembedanya.16
Tidak sedikit ahli yang mengkritisi klasifikasi Geertz di atas,
tidak hanya karena ia menggunakan kategorisasi yang tidak
14 Clifford Geertz. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: Komunitas Bambu. 2013), Bagian
Dua: Varian Santri, terutama hlm. 143-149
15 Ibid., hlm. 178-184
16 Ibid., hlm. 337-338
14
paralel–pencampuradukan antara klasifikasi berdasarkan
religiusitas (santri dan abangan) dengan kategori sosial (priyayi)–
melainkan juga karena deskripsinya untuk tiap kategori sulit
untuk dipertahankan. Harsja W. Bachtiar, misalnya, mengritik
anggapan Geertz perihal abangan yang diidentifikkan berprofesi
sebagai petani yang tidak menjalankan ritual agama Islam secara
taat. Bachtiar berpendapat bahwa tidak sedikit petani abangan
yang membangun sedikitnya satu tempat ibadah (masjid,
mushala, langgar, dsb.) di tiap desa atau dusun; menghadiri
ibadah sholat jum‘at, bahkan sanggup menunaikan ibadah haji.
Dalam komentarnya, Bachtiar menyatakan bahwa ―ada banyak
petani yang dengan segala upaya berusaha mengumpulkan uang
yang cukup untuk naik haji ke Mekkah, kota suci Islam‖17 Begitu
pula, untuk mengasosiasikan santri dengan kelas pedagang tidak
sepenuhnya akurat, yang mana menurut Bachtiar ―santri terdapat
dalam setiap kategori sosial yang utama, golongan ningrat dan
rakyat biasa, pedagang dan petani, tua-muda, yang tradisional
serta modern, terpelajar dan tidak terpelajar18‖. Bachtiar juga
berupaya meruntuhkan kesimpulan Geertz yang menghubungkan
priyayi dengan kepercayaan Hindu-Jawa, yang ―dalam sejarah,
17 Lih. Lampiran. Harsja W. Bachtiar. ―The Religion of Java:
Sebuah Komentar‖., dalam Ibid., hlm. 586.
18 Ibid., hlm. 591.
15
orang-orang priyayi yang terkemuka, termasuk pangeran-
pangeran yang memerintah adalah santri, di antaranya Sultan
Agung dan Pangeran Diponegoro19‖. Kendati demikian, sejauh
menyangkut narasi afiliasi politik, asosiasi yang dibangun oleh
Geertz yang menghubungkan kecenderungan politik pada masing-
masing klasifikasi, dinilai masih cukup akurat dan terpakai.
Semenjak penelitiannya, kebanyakan priyayi dan abangan
bergabung dengan partai-partai non-agama, sementara santri
adalah konstituen bagi partai-partai Islam. Namun dengan
munculnya fenomena kiai-Golkar20, trikotomi Geertz ini kemudian
menjadi goyah dalam membaca dinamika dan pola afiliasi politik
ulama seiring perubahan rezim kekuasaan.
Tipologi selanjutnya, adalah yang diutarakan Deliar Noer
dalam tulisannya, ―Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900-
1942‖21, yang terinspirasi dari tipologi global akan klasifikasi
religius-politis. Noer mengklasifikasikan kecenderungan sikap
religius-politis masyarakat muslim Indonesia ke dalam golongan
19 Ibid., hlm. 598.
20 Elit agama yang mendukung partai Golkar, partai sekuler
dan bukannya partai berbasis agama. Lihat. Heru Cahyono. Peranan Ulama dalam Golkar 1971—1980 dari Pemilu sampai Malari . (Jakarta: Sinar Harapan. 1992).
21 Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900–1942. (Jakarta: LP3ES. 1980).
16
―modern‖ dan ―tradisional‖. Golongan modern terdiri dari orang-
orang muslim yang berpendapat bahwa modernitas atau
pembaharuan dapat diadopsi sebagai intrumen baru guna
kemakmuran Islam; sementara golongan tradisional adalah
kelompok muslim yang meyakini bahwa nilai-nilai tradisional
masih memungkinkan untuk dipakai dalam kehidupan sekarang.
Keduanya percaya pada nilai-nilai dasar doktrin politik Islam;
seperti kebutuhan adanya basis keagamaan dalam konstitusi
negara, penerapan hukum Islam (syari’ah), dan komitmen pada
prinsip–prinsip Islam yang inti. Pada ranah politik, baik golongan
modernis maupun tradisionalis bertemu dalam partai Islam
tunggal, Masjumi; hingga pada tahun 1952, perbedaan cara
pandang dan kepentingan politik pragmatis melatari pemisahan
golongan tradisionalis dari tubuh Masjumi guna mendirikan partai
mereka sendiri, partai Nahdlatul Ulama.22
22 Ibid., terutama Bab Pendahuluan. Noer juga mengambil
analogi dari tanah Minang untuk menggambarkan bipolaritas modernis-tradisionalis ini ke dalam penggolongan kaum muda-kaum tua. Sementara bagi Pijper, meskipun membenarkan adanya
tipologi kaum tua-kaum muda, namun tidak bersepakat jika para pembaharu lantas dibubuhi cap modernis. Beberapa calon guru
agama Islam di Banjarmasin, pada tahun 1931, menyatakan bahwa mereka ―tidak termasuk kaum muda maupun kaum tua, tetapi termasuk ahli sunnah waljamaah‖, yang berarti orang-orang ortodoks. Pijper mengingatkan bahwa kedua golongan tersebut ingin disebut orang ortodoks, dus tidak mau disebut sebagai kaum
modernis. Kaum modernis sebagai suatu kelompok tidak ditemukan di Indonesia. Hasrat ‗rerum novarum‘ yang menjadi ciri
khas orang-orang Barat, asing bagi Islam dan asing pula bagi para
17
Jika menggunakan pengertian Geertz, pembagian modernis-
tradisionalis secara garis besar didasarkan pada kategorisasi
santri, di mana studi Geertz hanya untuk mengilustrasikan dan
memetakan muslim Jawa, sehingga masih belum tuntas untuk
membaca kecenderungan religius-politis dalam ruang negara
nasional. Secara nasional, Noer kemudian berupaya
melengkapinya–berdasarkan tipologi modernis-tradisionalis–ke
dalam klasifikasi yang ia sebut ―nasionalis Islam‖ dan ―nasionalis
netral agama‖; yang mana dalam menghadapi isu seperti
nasionalisme, negara, dan pemerintahan, kelompok terakhir
menolak dasar-dasar Islam yang diperjuangkan oleh kelompok
pertama.23 Tipologi terakhir dari Noer, kemudian juga
dikembangkan oleh Endang Saifuddin Anshary ke dalam tipologi
yang ia sebut ―nasionalis Islam‖ dan ―nasionalis sekuler‖.24
penganutnya. Agama Islam menganggap bahwa kebenaran yang
diwahyukan itu merupakan sesuatu yang sudah lengkap dan tidak memerlukan tambahan baru (bid’ah). G.F. Pijper. Beberapa Studi tentang Islam Indonesia 1900-1950. (Jakarta: UI-Press. 1985), hlm. 107.
23 Noer, op.cit., hlm. 7-8, serta bab 4.
24 Lebih lanjut, simak Endang Saifuddin Anshari. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia, 1945-1959. (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman
ITB. 1981). Pada masa pra-proklamasi kemerdekaan, politik aliran ini secara kasar dipetakan dalam term golongan nasionalis,
agamais, dan komunis, yang pasca-proklamasi hingga era
18
Meskipun demikian, tipologi tidak secara permanen sesuai
realitas, karena kebergunaannya seringkali tergantung pada
konteks sosial-historis yang melingkungi. Studi oleh Fachry Ali
dan Bachtiar Effendy, yang mengkritisi tipologi-tipologi yang telah
ada, terutama dikotomi ―modernis-tradisionalis‖, yang semenjak
era Orde Baru, pemetaan religius-politis muslim Indonesia telah
berubah drastis. Menurut kedua penulis, Islam Indonesia dapat
dikategorisasikan dalam empat kelompok; pertama, kelompok neo-
modernis, yakni golongan muslim yang hendak memadukan
antara tradisionalitas dan modernitas. Bagi kelompok ini,
modernitas bukanlah sesuatu yang musti ditolak oleh orang-orang
muslim, namun demikian keberadaannya juga tidak berarti
penegasian atas nilai-nilai tradisional.25 Kedua, adalah kelompok
sosial-demokrat, yakni golongan muslim yang memandang Islam
sebagai inspirasi dalam hal keadilan sosial dan ekonomi. Ketiga,
internasionalis, atau Islam universalis, yang percaya bahwa Islam
semestinya menjadi agama universal, oleh karenanya, Islam harus
ditempatkan sebagai panglima dalam setiap aspek kehidupan
Demokrasi Terpimpin berkembang menjadi golongan nasionalis-sekuler, nasionalis-agama, dan nasionalis-komunis.
25 Ungkapan yang biasa dinisbatkan pada–atau
diargumentasikan oleh–kelompok ini adalah al-muhafazah ‘ala al-qadim al-salih wa akhdh bi al-jadid al-aslah (menjaga kebaikan-
kebaikan lama, sekaligus mengadopsi keunggulan-keunggulan yang baru).
19
manusia. Empat, kaum modernis, yang ekuivalen dengan golongan
Islam modernis dalam dikotomi sebelumnya.26
Beberapa tipologi tersebut adalah wujud upaya memahami
fenomena yang terjadi, terkait dengan kecenderungan keagamaan,
realitas ekonomi, politik, dan sebagainya. Nampak bahwa tipologi
seringkali kompleks dan problematis, sehingga sebagian peneliti
menghindarinya. Permasalahannya, bukannya apakah penelitian
ini musti menggunakannya, melainkan bagaimana tipologi-tipologi
tersebut dimanfaatkan, dan hal ini seringkali berkaitan erat
dengan konteks sosial-historis fenomena yang akan dibaca dalam
penelitian ini.
E. Kerangka Konseptual
Term pertama dalam penelitian ini adalah afiliasi politik;
yang berarti pertalian atau hubungan kepentingan antara
seseorang dengan organisasi atau partai politik tertentu. Dengan
demikian, ulama yang berafiliasi politik adalah mereka yang
menunjukkan keterlibatan atau dukungan terhadap suatu
kegiatan politik tertentu.
26 Fachry Ali dan Bachtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Orde Baru. (Bandung: Mizan. 1984)., hlm. 95.
20
Term kedua adalah ulama (Arab, bentuk plural dari alim:
orang yang berilmu), yang secara sederhana dapat diartikan
sebagai orang yang mengetahui ilmu agama dan biasanya
mengajarkannya. Ulama dalam kajian politik di Indonesia, di
mana mentalitas sebagian masyarakatnya masih bersifat
primordialistik, dinilai penting karena sikap politik dan terutama
pilihan afiliasi politik ulama diyakini mampu memengaruhi,
merubah, bahkan menentukan afiliasi politik masyarakat di
lingkungannya. Ulama di sini, yang dalam kajian ilmu sosial
merupakan kelas elit dalam masyarakat, menginklusikan tidak
hanya kelompok ulama yang secara aktif terjun dalam dunia
politik praktis, namun juga menyertakan kelompok ulama yang
secara administratif tidak tertulis dalam struktur kepengurusan
atau daftar perwakilan suatu organisasi partai politik dalam
parlemen.
F. Metode dan Sumber Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode sejarah yaitu seperangkat prinsip-prinsip yang
sistematis beserta aturan-aturan untuk mengumpulkan sumber-
sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan
menyajikannya secara sistematis dari hasil-hasil yang dicapai
dalam bentuk tertulis. Secara singkat definisi tersebut dapat
dijelaskan sebagai suatu sistem berdasarkan prosedur yang benar
21
untuk mencapai ―kebenaran sejarah‖.27 Keseluruhan prosedur
metode sejarah dapat dicapai melalui beberapa tahapan, yaitu
pengumpulan sumber (heuristik), kritik, dan seleksi sumber,
interpretasi, dan penulisan.28
Pengumpulan sumber dilakukan dengan wawancara lisan
yang dilakukan pada informan dengan kualifikasi memiliki
hubungan atau terlibat dalam penelitian ini; meliputi kiai,
budayawan-seniman, wartawan, serta pejabat sebagai tokoh
masyarakat; kemudian keluarga batih maupun kerabat dekat
serta teman atau rekan sejawat dari tokoh utama narasi sejarah,
serta orang-orang yang terkait, seperti murid dari tokoh yang
diteliti dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena peristiwa sejarah
belum lama terjadi, sehingga dimungkinkan banyak informan
(pelaku, saksi) masih hidup. Seluruh informan yang diwawancari
berdomisili di Banyuwangi, dan yang dapat langsung dilacak
keberadaannya, ditemui secara langsung. Adapun informan yang
berada di luar Banyuwangi seperti di Kediri dan Tuban, dihubungi
via telepon, layanan pesan pendek (SMS) serta blackberry
27 Gilbert J. Garraghan. A Guide to Historical Method. (New
York: Fordham Unversity Press 1957), hal. 33.
28 Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang. 1995), hal. 92.
22
messenger (BBM). Selain itu, juga dipakai rangkuman wawancara
dari peneliti sebelumnya.
Teknik wawancara di sini tidak hanya bertujuan untuk
menggali cerita masa lalu penuturnya saja, melainkan juga
mampu mendokumentasikan aspek-aspek tertentu dari
pengalaman sejarah yang cenderung hilang dari sumber tertulis
lainnya.29 Kendati demikian, semua informasi hasil wawancara
yang ada tetap diberi jarak emosi dengan informan. Persolalan
psikologis inilah yang dihindari karena akan menjatuhkan
pembenaran dan pembelaan terhadap informan. Empati boleh saja
muncul, tapi harus kritis sehingga diperlukan kritik sumber. Di
samping itu, dilakukan pengecekan data dengan menggunakan
sumber sejaman untuk memberikan penafsiran serta penjelasan
atas data lisan dan tulisan.30 Sumber sejaman sebagai bahan
baku penulisan serta berfungsi sebagai kritik sumber, berwujud
stensilan, koran sejaman, serta arsip. Demikian pula, sumber
sejamanpun juga melewati tahap kritik, meliputi gaya ejaan serta
29 Bambang Purwanto. ―Sejarah Lisan dan Upaya Mencari Format Baru Historiografi Indonesia Sentris‖, dalam Taufik
Abdullah et al (Ed.) Samudera Pasai ke Yogyakarta Persembahan Kepada Tengku Ibrahim Alfian. (Jakarta: Yayasan Masyarakat
Sejarawan Indonesia. 2002), hal 92.
30 Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (Ed). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. (Jakarta
Yayasan Obor Indonesia KITLV-Jakarta dan Pustaka Laras. 2008), hlm. 192.
23
kepentingan atau ideologi di balik penulisan sumber tersebut.
Koran ―Duta Masjarakat‖ jelas mengusung kepentingan kelompok
Islam, khususnya Nahdlatul Ulama, sementara ―Harian Rakjat‖
menyuarakan kepentingan dan agitasi komunis, sedangkan
―Pewarta Soerabaja‖, meskipun tidak jelas ideologi di belakangnya,
namun yang jelas pemilik koran ini adalah etnis Tionghoa.
Data sejarah dalam penelitian ini terbagi dalam bentuk
penelitian pustaka dan lisan (oral history). Penelitian pustaka
meliputi kajian terhadap: arsip hasil pemilu, arsip anggota
konstituante, koran ―Pewarta Soerabaja‖, ―Harian Rakjat‖, ―Duta
Masjarakat‖, stensilan, foto, buku, jurnal, dan karya akademik
lain yang diperoleh secara gratis dari Jogja Library Yogyakarta,
perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, khususnya layanan
tak berbayar Direct Acces ‗ProQuest‘ dan ‗JSTOR‘, koleksi langka
Hatta Corner, dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya;
Perpustakaan Pontren Berasan, Perpustakaan Kolese Ignatius
Yogyakarta, akses dan fotokopi gratis di Monumen Pers Solo,
Perpustakaan Daerah Banyuwangi; dan koleksi perpustakaan
pribadi dari informan di Banyuwangi, tidak lupa juga di ANRI
(Arsip Nasional Republik Indonesia) dan Perpustakaan Nasional di
Jakarta.
Wawancara di Banyuwangi dilaksanakan pada Desember
2013-Januari 2014, April-Mei 2014, dan Desember 2014. Untuk
24
mendapatkan data lisan ini, dilakukan wawancara dengan
informan yang terdiri dari tokoh: sejarawan ahli Banyuwangi,
sejarawan lokal Banyuwangi, wartawan lokal, keluarga tokoh
utama, beberapa kiai pemimpin pesantren, ketua Nahdlatul Ulama
cabang Banyuwangi, ulama yang pernah atau masih aktif dalam
partai politik, peneliti sebelumnya, dan masyarakat Banyuwangi.
Data lisan diperbedakan dalam dua macam; pengalaman aktual
informan dan pendapatnya terhadap peristiwa. Pembedaan ini
penting, selain agar pemilahan atas eviden sejarah menjadi lebih
jelas batasnya (antara pelaku dan saksi, data sekunder dan
primer) serta menjadi kritik data (subjektivitas pelaku). Dalam
penelitian ini, terdapat informan yang kritis, yang sudah
mencampurkan bahasa pengalaman dengan hasil penelitian
terbaru; sehingga kehati-hatian diperlukan guna memahami
faktualitas data dan hegemoni wacana. Dengan begitu, informasi
aktual dan pandangan informan, harus diperlakukan secara ketat.
Penyajian data lisan menggunakan 2 metode31, pertama,
menggunakan tulisan analitis dengan tujuan utama menyajikan
argumen mengenai peristiwa tertentu. Kutipan-kutipan terpilih
diambil dari wawancara, sehingga pembaca tidak terlalu banyak
tahu mengenai riwayat hidup orang yang diwawancarai. Perhatian
utama metode ini adalah membangun argumen mengenai
31 Ibid.
25
mengapa dan/bagaimana suatu peristiwa terjadi. Kedua,
menggunakan format profil orang yang diwawancarai. Pembaca
diberikan riwayat hidup seseorang, yang disampaikan sebagaian
besar melalui kutipan-kutipan panjang melalui wawancara.
Dengan format ini, tugas peneliti adalah memberikan ulasan yang
menjalin kutipan satu dengan yang lain, agar pembaca dapat
mengetahui alur sejarah kehidupan orang tersebut. Peneliti juga
mengangkat hal-hal tertentu untuk penekanan dan menjelaskan
apa yang paling bermakna dari riwayat hidup ini menurut
pendapatnya.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian yang menyajikan kajian historis perihal afiliasi
politik ulama Banyuwangi ini, dimulai dengan pendahuluan yang
berisi: latar belakang, rumusan masalah dan ruang lingkup,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
konseptual, metode penelitian dan sumber penelitian, serta
sistematika penulisan.
Pemaparan gambaran umum Banyuwangi, khususnya
perihal Islamisasi dan pekembangan Islam di Banyuwangi (Bab II)
menjadi langkah awal pembahasan sekaligus penggambaran
panggung sejarah (aspek spasial) yang meliputi pemaparan
komposisi etnis, mitos islamisasi dan para pendatang, polarisasi
26
masyarakat, organisasi keagamaan dan non-keagamaan,
pesantren serta wujud relasi guru murid.
Setelah pemaparan aspek spasial, maka dilanjutkan dengan
pengetengahan pelaku sejarahnya, dalam hal ini adalah profil
ulama Banyuwangi (Bab III). Pengertian ulama yang dinisbatkan
dengan kata politik mengawali bab ini, yang dilanjutkan dengan
identifikasi profil ulama Banyuwangi yang mewakili tiga kurun
generasi.
Muara dari penjajaran aspek ruang dan aktor sejarah afiliasi
politik kaum elit agama di Banyuwangi adalah peran mereka
dalam kancah politik Banyuwangi (Bab IV). Diawali dengan narasi
dan perbandingan versi perkembangan NU di Banyuwangi,
dilanjutkan dengan penggambaran pemilihan umum 1955 sebagai
abstraksi perkembangan kekuatan politik. Konflik lokal yang
mengiringi situasi politik menjelang perubahan orde
pemerintahan, menjadi latar belakang dari konflik kepentingan
pada pemilihan bupati akhir tahun 1964. Ujung pembahasan bab
ini adalah konversi agama dan perubahan polarisasi sebagai efek
sekaligus ekses huru-hara politik setelah perubahan orde
pemerintahan. Sementara kesimpulan (Bab V) akan menjadi
penutup dari tesis ini.