BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas...

40
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan antara manusia dengan tanah dapat menimbulkan beberapa fungsi tanah, yaitu fungsi ekonomis dan fungsi sosial. Fungsi ekonomis atas tanah dimana tanah berfungsi untuk mendirikan rumah, diperjualbelikan, disewakan atau dikontrakkan dan lain sebagainya. Sedangkan tanah dalam fungsi sosial adalah hak atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, tidak semata mata boleh dipergunakan untuk kepentingan pribadi dengan sewenang wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun mentalitas tanah tersebut sehingga tidak ada manfaatnya. 1 Secara aksiologis, tanah sangat berguna bagi kehidupan manusia karena tanpa tanah manusia tidak bisa hidup. Sejarah perkembangan atau kehancurannya ditentukan oleh tanah, masalah tanah dapat menimbulkan persengketaan dan peperangan yang dahsyat karena manusia- manusia atau sesuatu bangsa ingin menguasai tanah orang/bangsa lain karena sumber-sumber alam yang terkandung di dalamnya”. 2 Manusia akan dapat hidup senang serba berkecukupan jika mereka mampu menggunakan tanah yang dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan dapat hidup tenteram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak 1 K. Wantjik Saleh, 1997, Hak Anda Atas Tanah , Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.16. 2 G.Kartasapoetra, dkk, 1991, Hukum Tanah : Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 1.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hubungan antara manusia dengan tanah dapat menimbulkan beberapa

fungsi tanah, yaitu fungsi ekonomis dan fungsi sosial. Fungsi ekonomis atas tanah

dimana tanah berfungsi untuk mendirikan rumah, diperjualbelikan, disewakan

atau dikontrakkan dan lain sebagainya. Sedangkan tanah dalam fungsi sosial

adalah hak atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, tidak

semata – mata boleh dipergunakan untuk kepentingan pribadi dengan sewenang –

wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun mentalitas tanah

tersebut sehingga tidak ada manfaatnya.1Secara aksiologis, tanah sangat berguna

bagi kehidupan manusia karena tanpa tanah manusia tidak bisa hidup. Sejarah

perkembangan atau kehancurannya ditentukan oleh tanah, masalah tanah dapat

menimbulkan persengketaan dan peperangan yang dahsyat karena manusia-

manusia atau sesuatu bangsa ingin menguasai tanah orang/bangsa lain karena

sumber-sumber alam yang terkandung di dalamnya”.2 Manusia akan dapat hidup

senang serba berkecukupan jika mereka mampu menggunakan tanah yang

dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia

akan dapat hidup tenteram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak

1K. Wantjik Saleh, 1997, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta,hal.16.

2G.Kartasapoetra, dkk, 1991, Hukum Tanah : Jaminan UUPA bagiKeberhasilan Pendayagunaan Tanah, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 1.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

2

dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum

yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat. Hukum

alam telah menentukan bahwa :

a. Keadaan tanah yang statis itu akan menjadi tempat tumpuan manusia yang

tahun demi tahun akan berkembang dengan pesat.

b. Pendayagunaan tanah dan pengaruh-pengaruh alam akan menjadikan

instabilitas kemampuan tanah tersebut. 3

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanah dalam kehidupan manusia

mempunyai peranan yang sangat penting baik karena sifatnya yang tetap maupun

sebagai tempat tinggal. Sehubungan dengan ini, Surojo Wignjodipuro,

mengemukakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki

kedudukan yang sangat penting yaitu : 4

a. Karena sifatnya.

Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami

keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya,

bahkan terkadang menjadi lebih menguntungkan. Contohnya : sebidang tanah

itu dibakar, di atasnya terdapat bom, tanah tersebut tidak akan lenyap; setelah

api padam ataupun setelah pemboman selesai sebidang tanah tersebut akan

muncul kembali tetap berwujud tanah seperti semula. Jika dilanda banjir

misalnya, setelah airnya surut muncul kembali sebagai sebidang tanah yang

lebih subur dari semula.

3Ibid.4Surojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat,

PT.Gunung Agung, Jakarta, hal. 197.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

3

b. Karena fakta :

Yaitu suatu kenyataan, bahwa tanah itu :

− merupakan tempat tinggal persekutuan.

− memberikan penghidupan kepada persekutuan.

− merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal

dunia dikebumikan.

− merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung

persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.

Dengan demikian, di atas tanah manusia “dapat mencari nafkah seperti

bertani, berkebun dan berternak. Di atas tanah pula manusia membangun rumah

sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk

perkantoran dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan

alam yang dapat dimanfaatkan manusia”.5

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) pada pokoknya menentukan jenis-jenis hak

atas tanah yang dapat dimiliki oleh subyek hukum. Beberapa diantaranya yaitu:

Hak Milik, Hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak

membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk

dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta

hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.

Namun lebih lanjut yang akan dibahas adalah mengenai Hak Milik atas tanah.

5Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum DalamPengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

4

Hak Milik adalah hak atas tanah yang paling kuat, sesuai dengan

penjelasan UUPA bahwa pemberian sifat terkuat dan terpenuh tidak berarti bahwa

hak itu merupakan hak yang mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat,

sebagaimana hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dahulu, karena sifat

yang demikian tentu akan bertentangan dengan hukum adat dan fungsi sosial dari

tiap-tiap hak. Kata terkuat dan terpenuh itu untuk membedakan dengan hak atas

tanah yang lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah

yang dapat dimiliki orang, hak miliklah yang paling terkuat dan terpenuh.6 Hak

Milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya

untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang

dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan, hak pakai, dengan

pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara

(sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini

meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom, atas

tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disingkat

KUHPer), yang memberikan kewenangan yang paling luas pada pemiliknya,

dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang

menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Peralihan atau pemindahan hak yaitu berpindahnya Hak Milik atas tanah

dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum,

yaitu: jual-beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal

perusahaan. Setiap peralihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk

6A.P. Parlindungan, 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan I), hal. 137

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

5

jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT).Dengan merujuk pada Pasal 23Ayat (1) UUPA, mewajibkan

peralihan hak ini untuk didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional

kabupaten/kota setempat untuk dicatat di dalam buku tanah dan dilakukan

perubahan nama dalam sertipikat dari pemilik tanah yang lama kepada pemilik

tanah yang baru.

Peralihan hak milik atas tanah karena proses jual beli dapat dilakukan

dengan berbagai cara baik itu dilakukan dengan cara pembayaran tunai mapun

pihak pembeli tanah dapat meminta bantuan dari pihak bank untuk mendanai

pembayaran tanah tersebut. Dalam proses yang kedua ini yang dimaksud dengan

meminta bantuan kepada bank adalah dengan cara peminjaman sejumlah dana

atau yang biasa dikenal dengan istilah kredit.

Bank memiliki peran dalam bidang bisnis untuk menyimpan dana

masyarakat dan menyalurkan dana tersebut kembali ke masyarakat. Berdasarkan

pengertian bank sebagimana diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1992

Tentang Perbankan Juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut

UU Perbankan), maka ada dua fungsi utama bank yaitu :

a. Menghimpun dana dari masyarakat

Fungsi utama perbankan adalah melakukan penghimpunan dana dari

masyarakat. Dana yang dikumpulkan oleh bank pada dasarnya berasal dari

beberapa sumber, yaitu dari masyarakat yang mempunyai kelebihan pendapat

dalam bentuk : simpanan giro, simpanan deposito, tabungan, dana yang

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

6

mengendap sebagai akibat pembukaan L/C, dana jaminan garansi bank,

pengiriman uang nasabah yang belum diambil dari lembaga-lembaga

penanaman modal yang mempunyai kelebihan dana sementara.

b. Memberikan kredit

Selain menghimpun dana dari masyarakat bank mempunyai fungsi

memberikan atau menyalurkan kredit (pinjaman) kepada masyarakat. Dengan

dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat, maka selanjutnya bank

menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit.

Pemberian kredit oleh bank dapat berupa kredit jangka pendek yang

memberikan pengaruh langsung terhadap pasar uang, atau kredit jangka

menengah dan panjang yang mempunyai pengaruh langsung terhadap pasar

modal dalam arti luas.7

Pemberian kredit dilihat dari sudut bahasanya berarti kepercayaan, dalam

arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapatkan kredit dari Bank

maka orang atau badan hukum tersebut mendapat kepercayaan dari bank. dalam

hal pemberian kredit adanya persyaratan penyertaan barang jaminan oleh debitur,

yang pelaksanaan dilakukan pada saat pengikatan jaminan yaitu pada saat akad

kredit. Bank umumnya menerima barang jaminan berupa : hak-hak atas tanah,

rumah/bangunan, deposito, emas, kendaraan, piutang dagang, mesin-mesin

pabrik, bahan baku, stok barang dagangan, saham dan masih banyak lagi. Hak

atas tanah merupakan jaminan yang lebih diminati oleh bank, karena hak atas

tanah dapat memberikan kepastian dan perlindungan bagi kreditur karena adanya

7Sinungan Muchdarsyah,1990,Manajemen Dana Bank, Rineke Cipta,Jakarta, hal 3.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

7

ketentuan atau dasar hukum yang lebih jelas dan pasti serta nilai ekonomis selalu

meningkat terus.

Tanah sebagai agunan kredit sangat diminati oleh bank, tentunya

mempunyai tujuan yaitu untuk menjamin pelunasan kredit melalui penjualan

agunan secara umum yang dikenal dengan lelang, ataupun dengan cara lain yang

dapat dimungkinkan yaitu secara dibawah tangan dalam hal debitur wanprestasi.

Namun upaya tersebut adalah upaya terakhir sebelumnya telah dilakukan dengan

melalui cara pendekatan kekeluargaan, ataupun peringatan sebelumnya. Sehingga

didapatkan suatu lembaga pengikatan jaminan yang memberikan kepastian dan

perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait.

Hukum Jaminan secara umum yang berlaku di Indonesia, dapat membagi

jaminan atas 2 (dua), yaitu Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan.8

Jaminan kebendaan adalah hak dari kreditur mendapatkan prioritas untuk

memperoleh pelunasan piutangnya didahulukan dari kreditur yang lain.

Sedangkan Jaminan perorangan adalah jaminan perorangan secara pribadi atas

utang tertentu dari seorang debitur. Khusus mengenai jaminan berupa tanah

akhirnya setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, lahir juga Undang-

Undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 UUPA yaitu Undang–Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda –

benda yang berkaitan dengan Tanah (yang selanjutnya disebut UUHT).

Benda-benda yang dapat dijadikan jaminan tentunya adalah benda-benda

yang memiliki nilai ekonomis, baik benda tak bergerak yang dapat menjamin

8Habib Adjie, 2000, Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan AtasTanah, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie I), hal. 1.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

8

pelunasan utang secara utuh. Salah satu benda jaminan tersebut adalah berupa

tanah melalui haknya.Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran yang

paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit, sebab

tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda

bukti, sulit digelapkann dan dapat dibebani Hak Tanggungan yang memberikan

hak istimewa pada kreditur.9 Namun tidak semua Hak Atas Tanah yang akan

diserahkan sebagai jaminan memiliki dokumen kepemilikan yang sempurna atau

yang sudah bersertipikat atas nama debitur sendiri atau atas nama orang lain

sebagai peminjam. Bukti kepemilikan yang belum sempurna dapat berupa pipil,

Grik, Petuk D selain itu sering pula terjadi hak-hak atas tanah yang akan

diserahkan debitur masih berupa akta jual-beli yang artinya Hak Atas Tanah yang

bersangkutan sudah terdaftar di Kantor Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya

disingkat BPN) namun belum di balik nama atas nama Debitur tersebut.

Bank (kreditur) terlebih dahulu melakukan penelitian dan apabila

dianggap cukup sesuai standar kelayakan pemberian kredit dengan kriteria bank,

kemudian pihak bank dan pemilik tanah datang ke Kantor Notaris/Pejabat

Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang wewenangnya meliputi

daerah dimana tanah tersebut terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak

Tanggungan (selanjutnya disebut APHT). Pemberian Hak Tanggungan itu

dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Akta Pemberian Hak Tanggungan

tersebut ditandatangani oleh pemilik tanah selaku pemberi hak tanggungan,

9Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah DariSudut Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta, hal. 10

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

9

pemegang Hak Tanggungan yaitu pihak bank, dua orang saksi, dan PPAT sendiri.

Selanjutnya APHT ini wajib didaftarkan pada kantor pertanahan yang wilayahnya

meliputi daerah tempat dimana tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu terletak

disertai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.

Pasal 6 dan Pasal 7 UUHT memberikan kepastian hukum kepada

kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa

“Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai

hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui

pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan

tersebut. Kemudian Pasal 7 UUHT menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tepat

mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada”.

Substansi dari Pasal 6 UUHT menunjukkan hak yang dipunyai pemegang

Hak Tanggungan untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri

apabila debitur cidera janji. Kemudian Pasal 7 UUHT menunjukkan jaminan

kepentingan pemegang Hak Tanggungan, walaupun objek Hak Tanggungan sudah

berpindah tangan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat

menggunakan haknya untuk mengeksekusi.

Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama

dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan

berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas

tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada sertipikat Hak Tanggungan dimaksudkan

untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak

Tanggungan. Sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

10

halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai

dengan Pasal 14 ayat (3) UUHT.10

Hak Tanggungan memang dirancang sebagai hak jaminan yang kuat,

dengan ciri khas eksekusi mudah dan pasti, akan tetapi dalam praktiknya banyak

menimbulkan kendala-kendala. Seperti terjadi dalam hal nasabah bank (debitur)

wanprestasi, dan tanah yang dijadikan jaminan oleh nasabah bank (debitur)

tersebut telah dibangun rumah, kemudian dijual kepada pihak lain (pembeli tanah

dan rumah) yang hasil penjualannya tidak diberikan kepada bank sebagai

kewajiban pembayaran kredit debitur. Jadi dapatlah dikatakan bahwa debitur telah

cidera janji sehingga Bank berhak untuk sekaligus menagih pelunasan atas seluruh

sisa hutang debitur serta untuk setiap saat melaksanakan hak eksekusi atas tanah

dan rumah yang digunakan sebagai jaminan. Pihak bank (kreditur) kesulitan

dalam mengeksekusi jaminan yang telah ditempati oleh pihak lain selaku pembeli

tanah serta rumah yang tetap ingin mempertahankan tanah dan rumah yang telah

dibelinya.

Jaminan yang masih berupa akta jual beli atau belum di balik nama atas

nama debitur saat ini masih bisa diterima sebagai jaminan kredit karena proses

balik nama masih bisa dimungkinkan diselesaikan dengan proses yang tidak

terlalu lama namun dalam menerima jaminan ini bank sebagai pihak kreditur

harus mempertimbangkan matang-matang dan melakukan analisa yang baik

terhadap pihak debitur dan aspek-aspek lainnya karena bank akan memikul resiko

10Ardian Sutedi ,Op.cit hal.118

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

11

yang cukup besar dimana pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan tersebut

baru dapat dilakukan setelah proses balik nama selesai dilakukan oleh BPN.

Dalam prakteknya pihak BPN rata-rata tidak mampu menyelesaikan balik nama

satu sertipikat dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh UUHT pada pasal 15

ayat (3). Sehingga dengan demikian pihak notaris/PPAT biasanya membuat

pembaharuan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut

SKMHT) apabila jangka waktu tersebut telah habis dan begitu seterusnya. Maka

para pihak harus kembali datang kehadapan notaris/PPAT untuk membuatkan

SKHMT yang baru.

Dalam pembuatan SKMHT yang objeknya sedang dalam proses balik

nama belum terlahirnya tujuan hukum dimana kepastian hukum mengenai

sertipikat atas Hak Milik atas tersebut sedang dalam proses pengerjaan BPN yang

akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keadilan hukum mengenai

SKMHT ini sebenarnya tidak memberikan rasa keadilan bagi pihak debitur

dimana debitur telah menandatangani perjanjian baku yang telah dibuatkan oleh

Pihak Bank. Mengenai kemanfataan hukum dimana pembebanan sertipikat yang

sedang dalam proses balik nama dapat saja dibuatkan SKMHT oleh pihak

Notaris/PPAT namun hal akan memakan waktu yang cukup lama karena

Notaris/PPAT akan mengerjakan proses balik nama terlebih dahulu setelah hal

tersebut selesai barulah sertipikat tersebut dapat dibebankan Hak Tanggungan,

sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUHT menyebutkan bahwa “Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

12

wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-

lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan”. Apabila dalam jangka waktu

tersebut sertipikat belum juga selesai maka SKMHT tersebut akan menjadi gugur

dan tidak dapat dipergunakan untuk pembuatan APHT atas objek jaminan

tersebut. Namun biasanya SKMHT yang sudah habis jangka waktunya akan

diperbaharui lagi dengan dibuatkan SKMHT yang baru di hadapan notaris. Dalam

prakteknya pihak debitur akan menandatangani SKMT dalam beberapa rangkap,

itu dilakukan agar pihak bank dan Notaris/PPAT tidak perlu mendatangkan

debitur. Hal tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan apabila dikemudian hari

hal tersebut dipertanyakan maka tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam

UUHT tidak disebutkan berapa kali SKMHT yang dapat diperbaharui oleh

Notaris/PPAT apabila SKMHT yang pertama telah jatuh tempo. Sehingga dalam

UUHT terjadi kekaburan norma mengenai berapa kali SKMHT yang dapat

diperbaharui oleh Notaris/PPAT.

Melihat permasalahan-permasalahan tersebut maka penulis terdorong

untuk mengangkat masalah ini ke dalam Penelitian Hukum yang berjudul

“PEMBEBANAN HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI OBJEK HAK

TANGGUNGAN YANG SEDANG DALAM PROSES BALIK NAMA”. Melalui

penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaturan mengenai Hak Milik Atas

Tanah yang dijadikan objek hak tanggungan, serta akibat hukum bagi penjual

yang tanahnya dijadikan objek hak tanggungan oleh pembeli yang belum dibalik

nama ke nama pembeli.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

13

Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui

penelusuran dengan media internet, ditemukan judul tesis yang menyangkut

pembebanan hak milik atas tanah dan objek hak tanggungan. Penelitian ini

merupakan penelitian yang masih original atau asli karena belum ada penelitian

secara khusus menulis tesis dengan judul ini meskipun demikian ada sejumlah

tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substansial. Adapun judul beserta

rumusan masalah penelitian lain yang tidak sama dengan penelitian ini adalah:

1. Tesis yang berjudul “Kendala-Kendala Pembebanan Hak Tanggungan

Bagi Tanah Yang Belum Bersertipikat” oleh Ni Luh Gede Purnamawati,

mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Udayana

Denpasar Tahun 2012. Dengan permasalahnya: kapankah terjadinya peristiwa

hukum pembebanan hak tanggungan dari debitur ke kreditur terhadap tanah yang

masih dalam proses pensertipikatan dan apakah kendala-kendala pembebanan hak

tanggungan atas tanah yang dalam proses pensertipikatan. Dalam tesis yang di

bahas berikut ini lebih menekankan pada pembebanan peralihan hak milik atas

tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.

2. Tesis yang berjudul “Efektivitas Pemberian Hak Tanggungan Terhadap

Hak Atas Tanah Berasal Dari Konversi Hak Lama Yang Belum Terdaftar Dalam

Praktek Perbankan Di Kota Denpasar” oleh I Putu Darma Aditya Westa,

mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Udayana

Denpasar Tahun 2013. Dengan permasalahnya: bagaimana efektivitas

pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari

konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di kota

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

14

Denpasar dan apakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak

tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum

terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Dalam tesis yang di bahas

berikut ini lebih menekankan pada pembebanan hak milik atas tanah yang

dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.

3. Tesis yang berjudul “Proses Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap

Tanah Yang Belum Bersertipikat (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Unit

Bekasi Kota)” oleh Nur HAyatun Nufus, mahasiswa S2 Program Studi Magister

Kenotariatan Universistas Diponegoro Semarang Tahun 2010. Dengan

permasalahnya: bagaimana pelaksanaan pembebanan hak tanggungan terhadap

tanah yang belum bersertipikat dan bagaimana penyelesaiannya apabila pemberi

Hak Tanggungan atas tanah yang belum bersertipikat tersebut meninggal dunia

dan memiliki ahli waris, sementara piutang kredtur tidak terbayar. Dalam tesis

yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada pembebanan peralihan hak milik

atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik

nama.

4. Tesis yang berjudul “Penetapan Pengadilan Dalam Proses Pelaksanaan

Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Warisan (Studi Kasus Penetapan Nomor

729/PDT.P/2003/PN.SBY Oleh Pengadilan Negeri Surabaya)” oleh Petrus Dibyo

Yuwono, mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas

Diponegoro Tahun 2009. Dengan permasalahnya: bagaimanakah cara

penyelesaian secara yuridis mengenai ketidakhadiran seseorang dari salah satu

pihak (penjual) sebelum proses pelaksanaan jualbeli hak milik atas tanah warisan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

15

dilakukan dan bagaimanakah proses pelaksanaan jual beli hak milik atas tanah

warisandengan berdasarkan Penetapan Nomor: 729/Pdt.P/2003/PN.Sby oleh

Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih

menekankan pada pembebanan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak

tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah

yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak

tanggungan yang sedang dalam proses balik nama?

2. Bagaimanakah kedudukan pihak kreditur terhadap objek hak tangungan yang

sertipikatnya sedang proses balik nama?

1.3 Tujuan Penelitian

Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus

memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan

penelitian ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang

bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melatih diri dalam menyampaikan

pikiran secara tertulis,melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya

pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa mengenai suatu

permasalahan hukum, sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini terkait

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

16

dengan pembebanan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan

yang sedang dalam proses balik nama. Selain itu penelitian ini juga bertujuan

untuk mengembangkan ilmu pengetahuan Hukum, khususnya bidang hukum

Kenotariatan, sebagai media untuk mengemukakan pendapat secara tertulis, kritis

dan sistematis serta objektif, serta sebagai pemenuhan syarat untuk menyelesaikan

jenjang strata dua (2) di Magister Kenotariatan Universitas Udayana.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan khusus, untuk mengkaji dan menganalisis lebih

dalam mengenai pengaturan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan

objek hak tanggungan yang sedang proses balik nama. Selain itu bertujuan pula,

untuk mengkaji dan menganalisis mengenai kedudukan kreditur terhadap objek

hak tangungan yang sertipikatnya sedang proses balik nama.

1.4 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan

manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu

pengetahuan.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah

pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Kenotariatan,

memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian kritis, asas-asas, teori-

teori serta kajian teoritis tentang pembebanan hak milik atas tanah yang sedang

dalam proses balik nama. Hal ini secara keilmuan diharapkan dapat membantu

pengembangan teori-teori yang terkait.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

17

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

kepada para pihak yang terkait dengan penulisan dan pembahasan tesis ini. Para

pihak yang dimaksud adalah:

1. Bagi penulis sendiri, disamping untuk penyelesaian studi pada program

Magister Kenotariatan, juga untuk menambah wawasan di bidang Hukum

Kenotariatan mengenai pengaturan peralihan hak milik atas tanah yang

sertipikatnya sedang proses balik nama dijadikan objek hak tanggungan serta

kedudukan kreditur terhadap objek hak tanggungan yang sertifikatnya sedang

dalam proses balik nama.

2. Bagi Perbankan, hasil penelitian ini diharapkan manambah pemahaman

mengenai pembebanan hak tanggungan yang objeknya sedang dalam proses

balik nama agar lebih cermat dan berhati-hati.

3. Bagi pembuat kebijakan, maka diharapkan agar dapat membentuk ketentuan

yang dapat memberikan kejelasan mengenai pengaturan peralihan hak milik

atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses

balik nama.

1.5 Landasan Teoritis

Duane R.Munette mengemukakan teori adalah seperangkat proposisi atau

keterangan yang saling berhubungan dengan sistem deduksi, yang mengemukakan

penjelasan atas suatu masalah.11Jan Gijssels dan Mark van Hoccke juga

mengemukakan pengertian teori adalah sebuah sistem pernyataan-pernyataan

11H.Salim, 2009, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,Jakarta, hal.9.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

18

(klaim-klaim), pandangan-pandangan dan pengertian-pengertian yang saling

berkaitan secara logikal berkenaan dengan suatu bidang kenyataan, yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga menjadi mungkin untuk menjabarkan

(menurunkan) hipotesis-hipotesis yang dapat diuji.12Adapun teori yang

dipergunakan dalam penulisan ini adalah Teori Perundang-undangan, Teori

Penafsiran Hukum, Teori Perjanjian, dan Konsep Kepastian Hukum sebagai

berikut:

1.5.1 Teori Perundang-undangan

Dalam Teori Perundang-Undangan disebutkan bahwa dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa asas yang

diperlukan untuk memastikan bahwa suatu perundang-undangan yang dihasilkan

merupakan suatu produk kekuasaan yang berdasarkan konsep negara hukum

secara baik, atau disebut sebagai peraturan perundang-undangan yang baik.13

Adapun asas-asas tersebut antara lain:

1. asas undang-undang tidak berlaku surut;

2. Asas hierarki, atau tata urutan peraturan perundang-undangan menurut

teori jenjang norma hukum atau Stufenbautheorie yang dikemukakan Hans

Kelsen.14 Asas ini menyebutkan bahwa undang-undang yang dibuat oleh

12Ibid.13Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia,

Penerbit IND-HILL.CO, Cetakan Pertama, Jakarta, hal. 13-1514Natabaya, 2008, Sistem Peraturam Perundang-Undangan Indonesia,

Penerbit Konstitusi Press dan Tatanusa, Jakarta, hal. 23-32.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

19

Penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi

pula.15

3. Asas lex posteriore derogate lex priori (hukum yang baru mengalahkan

hukum yang lama).16

4. Asas hukum lex spesialis derogate legi generalis (hukum yang lebih

khusus mengalahkan hukum yang bersifat umum jika pembuatnya sama).

Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen,

yang menyatakan bahwa sistem hukum yang berbentuk perundang-undangan

merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum

yang paling rendah harus berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan

kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegang pada norma

hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang

paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak),17 contoh norma

hukum paling dasar dan abstrak adalah Pancasila.

Salah seorang tokoh yang mengembangkan Teori Stufenbau adalah Hans

Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der

rechtsordnung. Susunan norma menurut teori ini adalah:18

1. Norma fundamental negara

2. Aturan dasar negara

3. Undang-undang formal. dan

15Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1986, Bahan P.T.H.I:Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 16.

16 Ibid, hal 17.17Hans Kelsen, 2006, Teori tentang Hukum (Penerjemah Soemadi),

Konstitusi Press, Jakarta, hal. 124-126.18 Ibid.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

20

4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi

pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar atau (staatsverfassung) dari

suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai

syarat bagi berlakunya suatu konstitusi.

Struktur hierarki tata hukum Indonesia dan dikaitkan dengan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, struktur tata hukum Indonesia adalah:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden; dan

6. Peraturan Daerah, Provinsi, dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten Kota.

Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan

pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk

mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk

menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila

sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan

pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila.

Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa keberadaan suatu

norma hukum harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan sudah

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

21

semestinya antara tingkatan norma hukum yang satu dan yang lain saling

mendukung dan melengkapi bukan saling mematahkan, atas dasar pancasila

sebagai cita hukum bangsa. Selanjutnya untuk menghasilkan peraturan

perundang-undangan yang baik, juga perlu diperhatikan dari aspek peraturan

peralihan dan ketentuan penutup tentang pemberlakuan atau pengundangannya.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan asas-

asas, selain itu diperlukan pula syarat bahwa suatu perundang-undangan (undang-

undang) harus memiliki :

1. Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undang atau

suatu peraturan perundang-undangan, harus lahir dari pihak yang

mempunyai kewenangan membuatnya (landasan yuridis formal),

mengakuan terhadap jenis peraturan yang diberlakukan (landasan yuridis

material).

2. Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang

diberlakukan harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum

masyarakatnya agar ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman

dan kesadaran hukum masyarakatnya sesuai dengan hal-hal yang diatur.

3. Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan

filsafat hidup masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan

yang intinya berisi nilai-nilai moral, etika, budaya maupun keyakinan dari

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

22

bangsa tersebut,19 sebagaimana dikenal dalam adagium quid legex sine

moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas).

Teori Perundang-undangan dalam pengadaan tanah, undang-undang

memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah,

termasuk untuk kepentingan umum. Teori ini dipergunakan untuk membahas

rumusan masalah pertama yaitu pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai

objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama. Dimana peraturan

mengenai hak tanggungan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Bekaitan

Dengan Tanah apabila ada peraturan yang lainnya dapat mengetahui yang mana

lebih di khususkan atau peraturan yg lebih tinggi dari UUHT.

1.5.2 Teori Penafsiran Hukum

Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-

daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki

serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.

Untuk menjamin kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan

yang diaanggap kabur normanya, hakim dapat melakukan penemuan-penemuan

nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Selain itu, hakim dapat pula

melakukan interpretasi-interpretasi hukum dalam menyelesaikan kasus yang

dihadapinya, khususnya dalam hal ketentuan undang-undang yang sudah

ketinggalan zaman dan ketentuan undang-undang yang memakai istilah-istilah

19Sukanda Husin, 2009, Hukum dan Perundanga-undangan, PusatPengembangan Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru, hal. 17-18.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

23

yang tidak jelas atau yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-

beda.20Hakim dapat menggunakan beberapa cara penafsiran,antara lain21:

1. Menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan (istilah) atau biasa

disebut penafsiran gramatikal. Antara bahasa dengan hukum terdapat

hubungan yang erat sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang

dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Karena

itu, pembuat undang-undang yang ingin menyatakan kehendaknya secara

jelas harus memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas

dan tidak bisa ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya pembuat undang-

undang tidak mampu memakai kata-kata yang tepat. Dalam hal ini hakim

wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim dipakai dalam

percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus bahas atau

meminta penjelasan dari ahli bahasa.

2. Menafsirkan undang-undang menurut sejarah atau penafsiran historis.

Setiap ketentuan perundang-undangan mempunyai sejarahnya. Dari

sejarah peraturan perundang-undangan hakim dapat mengetahui maksud

pembuatnya. Terdapat dua macam penafsiran sejarah yaitu penafsiran

menurut sejarah dan sejarah penetapan sesuatu ketentuan perundang-

undangan. Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu:22

20Chainur Arrasjid, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika,Jakarta, hal. 87

21Yudha Bhakti Ardiwisastra, 2008, Penafsiran dan Konstruksi Hukum,Bandung, PT Alumni, hal. 9

22Chainur Arrasjid, Op.cit, hal. 91

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

24

a. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorische

interpretatie) yaitu merupsksn suatu cara penafsiran hukum dengan

jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala

sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Penafsiran

tersebut adalah penafsiran yang luas yang meliputi penafsiran

menurut sejarah penetapan perundang-undangan.

b. Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-

undangan (wetshistorische interpretatie) yaitu penafsiran yang

sempit, yaitu dengan cara melakukan penafsiran undang-undang

dengan menyelidiki perkembangannya sejak dibuat dan untuk

mengetahui apa maksud ditetapkannya peraturan itu.

3. Menafsirkan undang-undang menurut sistem yang ada didalam hukum

atau biasa disebut dengan penafsiran sistematik. Perundang-undangan

suatu Negara merupakan kesatuan, artinya tidak sebuah pun dari peraturan

tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran

peraturan perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya dengan

peraturan perundangan lainnya. Penafsiran sistematis tersebuit dapat

menyebabkan kata-kata dalma undnag-undang diberi pengertian yang

lebih luas atau yang lebih sempit daripada pengertiannya dalam kaidah

bahasa yang biasa. Hal yang pertama disebut penafsiran meluaskan dan

yang kedua disebut penafsiran menyempitkan.23

23Yudha Bhakti Ardiwisastra, Op.cit.hal 20

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

25

4. Menafsirkan undang-undang menurut cara tertentu sehingga undang-

undang itu dapat dijalankan sesuai dengan keadaan sekarang yang ada di

dalam masyarakat, atau biasa disebut dengan penafsiran sosilogis atau

penafsiran teologis. Setiap penafsiran undnag-undang yang dimulai

dengan penafsiran gramatikal harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis.

Apabila tidak demikian, keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan

keadaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat. Karena itu, setiap

peraturan hukum mempunyai suatu tujuan sosial, yaitu membawa

kepastian hukum dalam pergaulan anatar anggota masyarakat. Hakim

wajib mencari tujuan sosial baru dari peraturan yang bersangkutan.

Apabila hakim mencarinya, masuklah ia ke dalam lapangan pelajaran

sosilogi. Melalui penafsiran sosiologi hakim dapat menyelesaikan adanya

perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif dari hokum

(rechtspositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtswekelijkheid),

sehingga penafsiran sosiologis atau teologis menjadi sangat penting.24

5. Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi. Adakalnya pembuat

undang-undang itu sendiri memberikan tafsiran tentang arti atau istilah

yang digunakannya didalam perundangan yang dibuatnya. Tafsiran ini

dinamakan tafsiran otentik atau tafsiran resmi. Disini hakim tidak

diperkenakan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang

telah ditentukan pengertiannya didalan undang-undang itu sendiri.25

24Ibid.25Ibid, hal 20

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

26

6. Penafsiran interdisipliner. Penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu

analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Disini

digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum, misalnya adanya

keterkaitan asas-asas hukum dari satu cabang ilmu hukum, misalnya

hukum perdata dengan asas-asas hukum publik.26

7. Penafsiran multidisipliner. Berbeda dengan penafsiran interdispliner yang

masih berada dalam rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam

penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu

atau beberapa disiplim ilmu lainnya diluar ilmu hukum. Dengan lain

perkataan, disini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain

disiplin ilmu.27

Teori ini dipergunakan untuk membahas rumusan masalah pertama yaitu

pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan yang

sedang dalam proses balik nama. Dengan adanya ketentuan Pasal 15 Ayat (3)

UUHT terdapat norma kabur mengenai berapa banyak pembaharuan mengenai

pembuatan SKMHT jika jangka waktu 1 (satu) bulan yang ditetapkan oleh

undang-undang tidak terlaksana oleh pihak BPN.

1.5.3 Teori Perjanjian

Dalam KUHPerdata hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang

Perikatan, dimana dalam tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan

yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau

26Ibid.27Ibid.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

27

pihak tertentu.28Perjanjian dalam pengaturan Pasal 1313 KUHPer menyebutkan

bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengaitkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.Menurut Abdul

Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUHPer tersebut

sebagai berikut “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau

lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan

harta kekayaan”29

Pasal 1338 menyebutkan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang.” Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi unsur

pada Pasal 1320 KUHPer yaitu:

1. Sepakat mereka mengikatkan diri;

2. Cakap untuk membuat suatu peikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal;

Keempat syarat tersebut harus terpenuhi dengan tidak adanya paksaan

seperti yang disebutkan dalam pasal 1321 KUHPer yaitu “tiada sepakat yang sah

apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan

paksaan (dwang) atau penipuan. Sehingga dalam hal ini jika perjanjian tersebut

ada paksaan dari pihak lain maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.

28R Subekti dan R Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang HukumPerdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet 28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,hal 323.

29Abdul Kadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,Bandung, hal 34.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

28

Linda A. Spagnola berpendapat mengenai perjanjian, bahwa “A contract

must be certain in its terms. It is generally accepted that there are four elements

that must be certain in a contract in order for there to be a valid offer : parties,

price, subject matter, and time for performance”30. (Terjemahannya: Persyaratan-

persyaratan sebuah kontrak harus pasti. Agar sebuah kontrak dapat dikatakan sah,

terdapat empat elemen yang pada umumnya diterima sebagai sesuatu yang harus

pasti dalam sebuah kontrak, yaitu: para pihak, harga, permasalahan dan waktu

pelaksanaannya).

Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi perjanjian itu adalah suatu

perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan anatara dua pihak, dimana satu

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak

melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksaaan janji

itu.31 Perjanjian juga dapat dipersamakan dengan kontrak. Menurut Catherine

Elliott dan Frances Quinn, bahwa:32

Normally a contract is formed when a effective acceptance has beencommunicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if itindicates the terms on which the offeror is prepared to make a contract (suchas the price of the goods for sale), and gives a clear indication that theofferor intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree.Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of thatoffer.(Terjemahan bebasnya: Biasanya sebuah kontrak terbentuk ketika penerimaanefektif telah dikomunikasikan kepada pihak penerima penawaran.Komunikasi akan dianggap sebagai penawaran apabila penawaran tersebutmembuat persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh pihak yang menawarkan

30 Linda A. Spagnola, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principlesand Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States, hal. 4

31Wirjono Prodjodikoro, 1985. Hukum Perdata Tentang PersetujuanTertentu. Cet.VIII, Sumur, Bandung. hal.11

32Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, PerasonEducation Limited, England, hal. 10

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

29

untuk membuat sebuah kontrak (misalnya, harga barang yang akan dijual),dan memberikan pernyataan yang jelas bahwa pihak yang menawarkanbermaksud untuk terikat dengan persyaratan-persyaratan tersebut apabilapersyaratan-persyaratan tersebut diterima oleh pihak penerima penawaran.Penerimaan suatu penawaran berarti kesepakatan tanpa syarat terhadap semuapersyaratan yang ditawarkan tersebut).

Terminologi kontrak adalah, pertama dengan kontrak akan dapat

menunjukkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, kedua suatu saat nanti ada

perselisihan antara pihak kontrak ini dapat memutuskan yang mana pihak yang

menyalahi kontrak, sehingga perselisihan itu dapat dipecahkan. Menurut

R.Subekti, dalam bukunya:“The debtor has done something what is in

contravention of the contract, it is obvios that he is default. Also when in the

contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed

this time limit, it is clear that the debtor is in default”.33(Terjemahan

bebasnya:Debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan

kontrak itu dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila dalam kontrak

ditentukan batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur tidak

mengindahkan limit waktu tersebut, maka debitur dinyatakan bersalah).

Teori perjanjian menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah perjanjian

mengandung asas kekuatan mengikat. Para pihak tidak semata-mata hanya terikat

sebatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain

sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.34

33 R. Subekti, 1982. Law In Indonesia, Centre For Strategic AndInternational, And Studies. Third Edition, Jakarta. hal.55

34Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam DarusBadrulzaman I), hal.87-88.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

30

Teori perjanjian ini kiranya dapat digunakan untuk mengkaji rumusan

masalah kedua yaitu kedudukan kreditur terhadap objek hak tangungan yang

sertipikatnya sedang proses balik nama yang akan dibebankan hak tanggungan.

Pihak Notaris/PPAT akan membuatkan akta berupa SKMHT agar tanah yang

masih dalam proses balik nama dapat dijadikan objek hak tanggungan.

1.5.4 Konsep Kepastian Hukum

Keberlakuan hukum dalam masyarakat harus memperhatikan kepastian

hukum didalamnya agar hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Kepastian

hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan

konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaaan

yang sifatnya subjektif. Kepastian hukum menurut Gustav Radbruch dalam Theo

Huijbers adalah:

Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Olehsebab itu kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, makahukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau jugakurang sesuai dengan tujuan hukum. tetapi terdapat kekecualian, yaknibilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitubesar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum ituboleh dilepaskan.35

Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan

dengan makna kepastian hukum, yaitu :36

1. bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalahperundang-undangan.

2. bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan padakenyataan.

35Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,Yogyakarta, hal 163.

36http://ngobrolinhukum.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/, diakses tanggal 01 April 2015.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

31

3. bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehinggamenghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudahdilaksanakan.

4. hukum positif tidak boleh mudah diubah.

Menurut Peter Mahmud Marzuki mengenai konsep kepastian hukum

mengemukakan:

Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan

yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang

boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat

umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau

dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya

berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya

konsistensi dalam putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang

telah diputus.37

Menurut L.JVan Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi.

Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam

hal-hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin

mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum

ia memulai perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum.

Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.38

37Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, KencanaPrenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I)hal 158.

38Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran KerangkaBerfikir PT Revika Aditama, Bandung, hal. 82-83.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

32

Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya

memang lebih berdimensi yuridis. Untuk itu ia mendefinisikan kepastian

hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:

a. Tersedia aturan-aturan yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh

(accessible), diterbitkan oleh dan diakui negara;

b. Instansi-instansi pemerintahan menerapkan aturan-aturan hukum tersebut

secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

c. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-

aturan tersebut;

d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan

aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka

menyelesaikan sengketa hukum, dan;

e. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.39

Lawrence M. Friedmen, berpendapat bahwa untuk mewujudkan kepastian

hukum terdapat unsure-unsur sistem hukum yang harus terpenuhi. Unsur-unsur

sistem hukum itu terdiri dari:40

a. Substansi hukum, yaitu tentang isi daripada ketentuan-ketentuan tertulis

dalam hukum itu sendiri

b. Aparatur hukum, adalah perangkat berupa sistem tata kerja dan pelaksana

daripada apa yang diatur dalam substansi hukum tadi

39Ibid, hal 8540H. Syafruddin Kalo, 2007, “Penegakan Hukum Yang Menjamin

Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat Suatu Sumbangan Pemikiran”,Makalahpada Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator DaerahSumatera Utara, Sumatera Utara, Tanggal 27 April 2007, hal 2.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

33

c. Budaya hukum, yaitu yang menjadi pelengkap untuk mendorong

terwujudnya kepastian hukum adalah bagimana budaya hukum masyarakat

atas ketentuan hukum dan aparatur hukumnya. Unsur budaya hukum ini

juga tidak kalah pentingnya dari kedua unsur yang lain karena tegaknya

peraturan-peraturan hukum akan sangat tergantung kepada budaya hukum

masyarakatnya.

Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama

adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa

yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau

dilakukan oleh negara terhadap individu.41

Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah

yang berdaulat. Teori kedaulatan hukum menurut Krabbe42 : bahwa hukumlah

memiliki kedaulatan tertinggi. Bahwa hukum dalam konteks kredit adalah

Perjanjian Kredit yang telah dibuat oleh para pihak (Kreditur-Debitur), sehingga

para pihak terikat dan tunduk dalam suatu perjanjian yang telah mereka buat

Keterkaitan teori kepastian hukum dengan tesis ini dipergunakan untuk

memberikan kepastian hukum kepada kreditur selaku pemberi kredit dimana

jaminannya berupa tanah masih dalam proses balik nama sehingga kreditur

merasa yakin untuk memberikan kreditnya kepada debitur.

41Peter Mahmud Marzuki I, Op.cit, hal.13742Soehino, 1998.Ilmu Negara. Liberty, Yogyakarta. hal.156

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

34

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal dari berbagai peraturan

perundang-undangan dan bahan lain dari berbagai literatur. Dengan kata lain

penelitian ini meneliti bahan pustaka atau data sekunder.43 Penelitian hukum yang

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

- Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum dengan praktek;

- Tidak menggunakan hipotesis

- Menggunakan landasan teori

- Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder.44

Jenis penelitian ini digunakan dalam penelitian ini karena berangkat dari

adanya kekaburan norma mengenai pengaturan berapa kali SKMHT dapat

diperbaharui oleh pihak Notaris/PPAT terkait dengan ketentuan pasal 15 ayat (3)

UUHT yang menyatakan bahwa SKHMT mengenai hak atas tanah yang sudah

terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu)

bulan sesudah diberikan namun dalam jangka waktu 1 (satu) bulan pihak BPN

tidak dapat melakukan proses balik nama maka notaris akan membuat SKMHT

yang baru.

43Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif(Suatu Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada.hal.13.

44Ibid. hal 15.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

35

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian45.

Dalam penelitian ini dipergunakan 3 pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach)

Dalam pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) dilakukan

penelitian sinkrunisasi perundang-undangan baik vertical maupun horizontal.

Morris L. Cohen and Kent C. Olson mengatakan bahwa “ legal research is an

essential component of legal practise. It is the process of finding the law that

governs an activity an mateials that explain or analyze that law.”46 Dalam

penulisan tesis ini pendekatan ini digunakan untuk mensinkrunkan peraturan

perundang-undangan yang akan digunakan dalam hal pemberian hak

tanggungan yang objeknya masih sedang dalam proses balik nama.

2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)

Konsep-konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan

bagi analisis penelitian hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi

suatu fakta hukum. Pendekatan konsep ini dimana konsep-konsep hukum

dapat membantu menjawab masalah yang muncul baik mengenai pengaturan

pengalihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan dan

kedudukan kreditur terhadap objek hak tanggungan yang sedang dalam

proses balik nama.

45Suharsini Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu PendekatanPraktek, Rieneka Cipta,Jakarta, hal. 23

46Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group,T. Paul Minn. Printed in the United States of America, hal 1

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

36

3. Pendekatan Analitis (Analytical Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum

yang terdapat didalam perundang-undangan dengan begitu peneliti

memperoleh pengertian atau makna baru istilah-istilah hukum dan menguji

penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum.

Dalam penulisan tesis ini pendekatan ini digunakan untuk mengetahui

maksud dari pasal 15 Ayat 3 yang menyatakan SKMHT mengenai hak atas

tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan APHT selambat-lambatnya 1

(satu) bulan sesudah diberikan. Mengenai apabila jangka waktunya telah

habis tidak dijelaskan lebih lanjut, disini penulis mencari tahu apabila jangka

waktu 1 (satu) bulan ini habis SKMHT tersebut berapa kali dapat

diperbaharui oleh Notaris/PPAT

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif tidak dikenal adanya data, sebab dalam

penelitian hukum khususnya normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari

kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan

hukum47. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan

hukum yang bersumber dari penelitian Kepustakaan (Library Research),

bertujuan untuk mencari data sekunder yaitu dengan menggali data dari bahan-

bahan bacaan berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, maupun

47 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana PrenadaMedia Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II) hal. 41

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

37

pendapat para sarjana yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Data

sekunder terdiri dari48 :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu Bahan hukum primer ini diperoleh dari sumber

yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer);

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960

Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok AgrariaUndang-Undang No 5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104);

3. Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42);

4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182);

5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117);

6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3);

48Amarudin dan Zainal Asikin,2004, Pengantar Metodologi PenelitianHukum, Raja Grafindo Persada, hal. 31.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

38

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997

Nomor 59);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1998 Nomor 52);

9. Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah; dan

10. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun

2003 Tentang Kenotarisan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain yang berkaitan

dengan isi dari sumber bahan hukum primer serta implementasinya dan dapat

membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang dapat berupa :

- Buku-buku literatur;

- Jurnal hukum dan Majalah Hukum;

- Makalah, hasil-hasil seminar, majalah dan Koran

- Tesis, artikel ilmiah dan disertasi.49

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Ensiklopedia.

49Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit. hal. 33

Page 39: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

39

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan(library research),

yaitu memperoleh bahan hukum dengan mempelajari perundang-undangan dan

buku-buku atau literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dengan

melakukan kegiatan membaca secara kritis permasalahan dan isu hukum yang

akan diteliti dan mengumpulkan semua informasi yang ada kaitannya dengan

permasalahan yang diteliti, kemudian dipilih informasi yang relevan dan esensial.

1.6.5 Teknik Analisa Bahan Hukum

Metode analisa bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

deskripsi, teknik arumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi yakni

teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaanya. Deskripsi yang

memaparkan situasi atau peristiwa, dalam teknik ini tidak mencari atau

menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.50

Teknik argumentasi adalah teknik yang tidak dapat dilepaskan dari teknik

evaluasi yang artinya penilaian harus didasrkan pada alasan-alasan yang bersifat

penalaran hukum. Dalam pembahasan masalah hukum makin banyak argumen

makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.

Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan konsep

hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat

maupun antara yang tidak sederajat.

50M. Hariwijaya, 2007, Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, TesisDan Disertasi,Azzagrafika, Yogyakarta, hal.48.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdf2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

139