BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I dan II.pdf · Penelitian yang dilaporkan dalam disertasi ini...

66
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah Indonesia terus berusaha meningkatkan jumlah kunjungan wisata dari 9,7 juta pada tahun 2014 menjadi 20 juta pada tahun 2019. Hal ini dilakukan dalam usaha meningkatkan penerimaan devisa negara. Indonesia telah memberikan bebas visa bagi 45 negara, termasuk negara-negara Asean. Pemerintah Indonesia tidak saja meningkatkan wisatawan dari segi jumlah, tetapi juga harus mengutamakan wisatawan yang berkualitas (quality tourism). Dengan demikian, pemerintah selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas, sarana dan prasarana, serta pelayanan yang memuaskan termasuk destinasi wisata yang baru. Upaya melengkapi sarana dan prasarana, tidak hanya pada fasilitas akomodasi dan restoran, tetapi juga peningkatan sarana dan prasarana pendukung pariwisata minat khusus. Salah satu kecenderungan dalam perkembangan pariwisata global dewasa ini adalah kuatnya fenomena untuk berwisata kembali ke alam. Hal ini bisa dilihat dari munculnya program atau aktivitas-aktivitas berwisata ke perdesaan atau pedalaman seperti trekking, rafting, mengunjungi taman nasional, dan kehidupan masyarakat di desa-desa sekitarnya. Di Indonesia, hal ini bisa dilihat dari semakin populernya daya tarik wisata Taman Nasional Komodo dan daya tarik wisata alam di sekitarnya yang dipadukan dengan wisata ke daerah perdesaan yang melahirkan istilah rural tourism. Beberapa peneliti seperti Gorman (2005:123) memberikan batasan istilah rural tourism sebagai wisata di daerah terpencil yang jauh dari perkotaan dengan jumlah penduduk

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I dan II.pdf · Penelitian yang dilaporkan dalam disertasi ini...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerintah Indonesia terus berusaha meningkatkan jumlah kunjungan wisata

dari 9,7 juta pada tahun 2014 menjadi 20 juta pada tahun 2019. Hal ini dilakukan dalam

usaha meningkatkan penerimaan devisa negara. Indonesia telah memberikan bebas visa

bagi 45 negara, termasuk negara-negara Asean. Pemerintah Indonesia tidak saja

meningkatkan wisatawan dari segi jumlah, tetapi juga harus mengutamakan wisatawan

yang berkualitas (quality tourism). Dengan demikian, pemerintah selalu berusaha untuk

meningkatkan kualitas, sarana dan prasarana, serta pelayanan yang memuaskan

termasuk destinasi wisata yang baru. Upaya melengkapi sarana dan prasarana, tidak

hanya pada fasilitas akomodasi dan restoran, tetapi juga peningkatan sarana dan

prasarana pendukung pariwisata minat khusus.

Salah satu kecenderungan dalam perkembangan pariwisata global dewasa ini

adalah kuatnya fenomena untuk berwisata kembali ke alam. Hal ini bisa dilihat dari

munculnya program atau aktivitas-aktivitas berwisata ke perdesaan atau pedalaman

seperti trekking, rafting, mengunjungi taman nasional, dan kehidupan masyarakat di

desa-desa sekitarnya. Di Indonesia, hal ini bisa dilihat dari semakin populernya daya

tarik wisata Taman Nasional Komodo dan daya tarik wisata alam di sekitarnya yang

dipadukan dengan wisata ke daerah perdesaan yang melahirkan istilah rural tourism.

Beberapa peneliti seperti Gorman (2005:123) memberikan batasan istilah rural tourism

sebagai wisata di daerah terpencil yang jauh dari perkotaan dengan jumlah penduduk

2

yang relatif kecil, kurang dari 1500 orang. Bukan jumlah penduduknya yang penting

tetapi potensi alam dan keunikan budaya yang dapat menjadi daya tarik wisata.

Batasan yang berbeda tentang rural tourism juga dijelaskan oleh European

Community. Rural tourism merupakan kegiatan wisata dengan motivasi menikmati

pengalaman hidup di pedesaan, terlibat dengan masyarakat, mempelajari cara hidup

masyarakat, dan menikmati warisan peninggalan unik yang ada di desa tersebut

(Gorman, 2005:123). Aktivitas menyerupai rural tourism di Indonesia adalah sepadan

dengan wisata perdesaan, dengan aktivitas melihat keindahan alam, menyaksikan

atraksi seni budaya, cara hidup masyarakat lokal. Trend wisata desa yang berkembang

di Indonesia ditandai oleh tumbuhnya minat melakukan wisata berkarakter nature-

based tourism (wisata berbasis alam) dan berminat menikmati pengalaman wisata

perdesaan (Sastrayuda, 2010), dan munculnya desa wisata (village tourism). Desa yang

membuka diri sebagai desa wisata tidak saja memiliki keindahan alam, tetapi banyak

juga memiliki daya tarik budaya, baik yang tangible maupun yang intangible. Stroma

Cole dalam penelitiannya di daerah Bajawa, Flores, misalnya, dalam kesimpulannya

menyebutkan bahwa desa ini juga memiliki potensi pariwisata warisan budaya (Cole,

1997:478).

Perkembangan rural tourism memberikan manfaat positif dan negatif. Pada satu

sisi, aspek positifnya adalah bermanfaat bagi para pengampu kepentingan terutama

pengelola bisnis wisata dan akomodasi. Akan tetapi, pada sisi lain masih terlihat cukup

banyak masyarakat di pedesaan yang tergolong miskin ataupun kurang sejahtera

(Scheyvens dan Mornsen, 2008; Putra dan Pitana, 2010). Sering terlihat belum adanya

3

pendalaman terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan. Di antaranya

kurangnya perhatian terhadap pelestarian lingkungan perdesaan sebagai objek wisata,

serta rendahnya pengetahuan tentang tata-kelola wisata perdesaan yang baik demi

menghasilkan dampak ekonomi yang maksimal (Sastrayuda, 2010).

Tanpa menampik kecenderungan itu, perlu juga dinyatakan bahwa belakangan

ini di beberapa tempat di Bali, terdapat contoh di mana desa-desa yang memiliki potensi

wisata ikut tampil mengelola potensi itu untuk mendapat keuntungan ekonomi. Sebagai

contoh, bisa disebutkan Desa Beraban (Kabupaten Tabanan) yang memiliki objek

wisata Tanah Lot dan Desa Kutuh (Kuta Selatan) yang memiliki objek wisata Pantai

Pandawa. Begitu pula, Desa Pecatu memiliki daya tarik wisata kawasan Pura Uluwatu

dengan pementasan kecak saat sunset telah menampakkan kesadaran baru untuk giat

mengelola potensi wisata di daerahnya karena nyata memberikan keuntungan ekonomi.

Warga Desa Jatiluwih juga menunjukkan minat yang sama dalam mengelola potensi

keindahan alam daerah persawahannya sebagai destinasi wisata setelah hamparan

sawah serta sistem subaknya ditetapkan sebagai bagian dari Warisan Budaya Dunia

oleh UNESCO pada bulan Juni 2012 (Sriwedari, 2015).

Fenomena munculnya desa mengelola potensi wisata di daerahnya, baik dalam

bentuk desa wisata atau mengelola daya tarik saja, memerlukan sistem yang dapat

menjamin agar hasil finansial dari pengelolaan itu dapat dinikmati oleh masyarakat

lokal daripada sebaliknya (Salazar, 2011). Salah satu upaya untuk menangani hal

tersebut adalah dengan mengubah pola pikir dan perilaku para pemangku kepentingan

dalam kegiatan pariwisata, dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat dan

4

pemerintah daerah terhadap pentingnya tata kelola yang baik dalam operasional rural

tourism yang berdasarkan pada komunitas masyarakat lokal (community based). Hal ini

akan turut memperhatikan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat perdesaan, dampak-

budaya, kelestarian lingkungan, sumber daya alam hayati dan tidak sekedar memikirkan

luas kawasan atau jumlah kunjungan wisatawan semata (Chang et al.. 2012).

Sejalan dengan pernyataan Chang et al., (2012) perlu digarisbawahi bahwa

perkembangan pariwisata di Indonesia saat ini mengenal trend ecotourism (ekowisata)

sebagai salah satu pendekatan pengembangan kepariwisataan. World Bank dan

International Development Bank menghentikan pemberian pinjaman dana bagi aktivitas

beach tourism secara masal karena merusak karang laut (Honey, 2008). Hal ini terbukti

sejak tahun 1990, World Bank dan International Development Bank mengarahkan

dukungan dana pinjaman bagi kecenderungan pada aktivitas ekowisata (Honey, 2003).

Pergeseran dan perubahan trend pariwisata dari beach tourism massal menuju

ecotourism tersebut diawali sejak tahun 1970-an di mana terjadi gelombang perubahan

mulai dari Eropa Barat, menjalar ke Amerika Utara, berlanjut ke Australia dan New

Zealand, lalu ke Asia dan berlanjut ke Eropa Timur. Hal ini merupakan gelombang

perubahan di mana mulai muncul pengakuan atas pariwisata di daerah perdesaan, yang

popular disebut sebagai rural tourism, di mana salah satu bentuknya adalah village

tourism (Lane, 2009: 354-356).

Penelitian yang dilaporkan dalam disertasi ini merupakan kajian perbandingan

(comparative study) atas dua desa wisata di Indonesia, yaitu Desa Pentingsari di

Jogyakarta dan Desa Bedulu di Ubud Gianyar. Dua desa wisata ini merupakan bagian

5

dari gencarnya program pemerintah antara lain melalui program PNPM Mandiri

mengembangan desa wisata di Indonesia sebagai bagian dari pemerataan pembangunan

dan pemanfaatan potensi desa untuk pembangunan ekonomi.

Jika menengok ke belakang, kecenderungan village tourism di Bali dimiliki

sejak awal tahun 1990 dalam peninjauan kembali Rencana Induk Pembangunan (RIP)

Bali yang dibiayai oleh United Nation Development Bank (UNDP). Saat itu,

dikembangkan sebuah konsep pengembangan pariwisata yang terintegrasi dengan desa

dan suasana perdesaan yang disebut desa wisata. Beberapa contohnya di antaranya Desa

Penglipuran Kabupaten Bangli dan Sebatu Gianyar (Putra dan Pitana, 2010). Dalam

perkembangannya, konsep desa wisata diterima secara luas oleh daerah-daerah di

Indonesia dan menjadi trend yang berkembang luas. Hal ini terbukti dengan banyaknya

objek wisata dalam bentuk desa wisata di beberapa provinsi di Indonesia seperti di

Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Bali (James, 2003; Hampton, 2003; Mitchell, 1994).

Bertolak dari pentingnya program pembangunan desa dan dimanfaatkannya potensi

desa untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari perkembangan industri pariwisata,

pemerintah Indonesia mendorong desa-desa untuk mengembangkan desa wisata.

Kesungguhan pemerintah Pusat untuk mengembangkan desa wisata semakin

tampak dalam beberapa tahun belakangan ini lewat program bantuan dana dan

pembinaan terhadap desa wisata. Pada tahun 2012, pemerintah Republik Indonesia

mengembangkan sebanyak 978 desa wisata melalui Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program PNPM untuk sektor pariwisata ini diberikan

selama dua hingga tiga tahun. Untuk bantuan tahun pertama, diberikan sebesar Rp

6

100 juta dan tahun kedua Rp 150 juta untuk setiap desa dengan komposisi 70 persen

bantuan langsung ke masyarakat, 20 persen untuk pendamping, dan 10 persen untuk

manajemen. Dana awal PNPM Mandiri Pariwisata sebesar Rp 100 juta diberikan pada

104 desa, dan khususnya digunakan untuk pembangunan yang menunjang daya tarik

wisata desa tersebut.1 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf)

sebagai pelaksana PNPM Mandiri Pariwisata sejak tahun 2009, menargetkan dua ribu

(2000) desa wisata dapat terbentuk sampai dengan tahun 2014.2

Jumlah dana yang telah dikucurkan pemerintah pun relatif besar dan terus

bertambah dari tahun ke tahun. Pada awal program PNPM Mandiri Pariwisata tahun

2009, dana yang dikucurkan untuk pengembangan desa wisata adalah sebanyak Rp

8,75 milyar untuk 104 desa di 17 provinsi. Pada tahun 2010, bertambah menjadi Rp

19,57 milyar untuk 200 desa di 29 provinsi. Begitu pula pada tahun 2011, dana yang

dikucurkan bertambah menjadi Rp 61,7 milyar untuk 569 desa di 33 provinsi. Pada

tahun 2012, dana PNPM Mandiri Pariwisata bertambah menjadi Rp 121,45 milyar

untuk 978 desa di 33 provinsi. Pada tahun 2013, dana bertambah menjadi Rp 123.25

miliar untuk 980 desa di 33 provinsi.3 Untuk jelasnya perkembangan dana PNPM

Mandiri untuk pengembangan pariwisata dapat dilihat pada Tabel 1.1

Tabel 1.1

Dana PNPM Mandiri Pariwisata Pengembangan Desa Wisata

1www.Indonesia.go.id Tahun ini Pemerintah Kembangkan 972 Desa Wisata.Diakses 2 Juni

2013.<http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-di-yogyakarta/1210-pariwisata/11632-

tahun-ini-pemerintah-kembangkan-972-desa-wisata> 2Prihtiyani 2011, 960 Desa Wisata pada Tahun 2012. Diakses 3 Juni 2013,

<http://travel.kompas.com/read/2011/11/07/17593283/960.Desa.Wisata.pada.Tahun.2012.> 3Kuntadi 2013, Kembangkan desa wisata Kemenparekraf kucurkan Rp123,25 M untuk PNPM Mandiri,

Diakses 2 Agustus 2013 <http://ekbis.sindonews.com/read/2013/06/17/34/750740/kemenparekraf-

kucurkan-rp123-25-m-untuk-pnpm-mandiri>

7

Tahun Dana Jumlah Desa Jumlah Provinsi

2009 Rp 8,75 milyar 104 17

2010 Rp 19,57 milyar 200 29

2011 Rp 61,7 milyar 569 33

2012 Rp 121,45 milyar 978 33

2013 Rp 123,25 milyar 980 33

Sumber: Kuntadi (2013) dan Prihtiyani (2011).

Peningkatan alokasi dana itu dari tahun ke tahun, serta peningkatan jumlah

daerah yang memperolehnya dapat dijadikan indikator keberlanjutan perhatian

pemerintah mengembangkan pariwisata di perdesaan. Hal ini juga merupakan wujud

keinginan untuk memeratakan pembangunan dengan menggarap potensi wisata desa.

Daerah terpencil memiliki banyak potensi keindahan alam dan keunikan seni budaya

yang pantas digarap sehingga menjadi produk daya tarik wisata. Banyak contoh yang

menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata ke sebuah daerah yang agak terpencil

bisa menjadi motor penggerak pembangunan sektor lainnya.

Hal yang menggembirakan dalam pengembangan desa wisata di Indonesia

adalah angka kunjungan ke desa wisata yang meningkat. Dalam sebuah survey pada

bulan September-November 2012 oleh Kementerian Parekraf bekerja sama dengan

konsultan independen dari Universitas Gajah Mada, ditunjukkan peningkatan angka

kunjungan sampai 63% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka ini

didasarkan pada survei terhadap 124 desa wisata penerima PNPM Mandiri Pariwisata

2011 di 33 provinsi.4

4 http://m.solopos.com/2013/11/25/desa-wisata-makin-naik-daun-468179 Akses 13 Juli2015.

8

Tahun 2014 direncanakan dikembangkan sebanyak 2000 desa wisata. Desa-desa

yang cukup sukses dalam mengelola dana yang mereka terima mendapatkan

penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atas prestasi sebagai

desa wisata yang memanfaatkan bantuan PNPM Mandiri Pariwisata. Penghargaan untuk

pengelolaan dana tahun 2010-2011 diberikan pada tahun 2012 kepada sepuluh Desa

Wisata, yaitu Desa Karangbanjar (Purbalingga, Jawa Tengah), Desa Bejiharjo

(Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta), Desa Banjarsari (Kulonprogo), Desa

Kauman (Kota Pekalongan), Desa Dieng Kulon (Banjarnegara), Kelurahan Bungus

Selatan (Kota Padang), Desa Pandai Sikek (Tanah Datar), Desa Lampulo (Kota Banda

Aceh), Desa Karangtengah (Bantul), dan Desa Kembangarum (Sleman).5

Perkembangan desa wisata di Indonesia sangat menonjol di tiga daerah, yaitu di

Provinsi Bali, Provinsi Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.6

Perkembangan desa wisata Yogyakarta dan Jawa Tengah didukung oleh letak geografis

desa-desa di sekitar obyek wisata yang sudah cukup terkenal seperti alamnya yang

indah, Candi Borobudur dan Candi Prambanan, serta adanya dukungan pembinaan dari

pemerintah setempat dan media untuk berkomunikasi antarpengelola. Forum

Komunikasi Desa Wisata di Yogyakarta dan Festival Desa Wisata, (Desa Wisata

Pentingsari sebagai Juara 1 pada tahun 2009) yang diadakan oleh Dinas Pariwisata

setempat telah menyokong pertumbuhan jumlah desa wisata di kawasan ini. Sokongan

5www.pnpm-mandiri.org Desa Wisata Karangbanjar Terbaik Nasional, Diakses 4 September 2013,

<http://www.pnpm-mandiri.org/index.php?option=com_content&view=article&id=370:desa-wisata-

karangbanjar-terbaik-nasional&catid=17:berita-daerah&Itemid=275> 6www.kompas.com Budpar: 200 Desa Jadi Desa Wisata, Diakses 4 September 2013,

<http://regional.kompas.com/read/2010/07/03/15501387/Budpar.200.Desa.Jadi.Desa.Wisata>

9

dan bantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, LSM, donor internasional dan

universitas dalam bentuk bantuan dana dan pembinaan juga mendukung bertumbuhnya

desa wisata di Jawa Tengah dan Yogyakarta (Putra dan Pitana, 2010: 75-77). Sebagai

contoh, di sekitar objek wisata Candi Borobudur (Magelang, Jawa Tengah) terdapat 20

desa wisata yang mendapat bantuan dana PNPM Mandiri Pariwisata dari

Kemenparekraf (Erwin et al., 2012: 4). Hal ini tentunya mempermudah perkembangan

desa wisata karena wisatawan lokal dan mancanegara yang berkunjung ke Candi

Borobudur misalnya dapat menjadi target utama mengunjungi desa wisata yang dekat

secara geografis.

Desa Wisata Pentingsari sebagai salah satu desa wisata yang ada di Yogyakarta

berkontribusi dalam perkembangan pariwisata berbasis masyarakat di Yogyakarta.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu (ketika itu) hadir ke

Desa Wisata Pentingsari tanggal 23 November 2013 untuk kembali memberi

penghargaan desa wisata terbaik tahun 2013. Hal ini merupakan indikator bahwa Desa

Wisata Pentingsari sudah mampu mengembangkan diri sesuai dengan potensinya dan

mencapai kemajuan dan perkembangan seperti diharapkan pemerintah, misalnya

berhasil melibatkan masyarakat lokal. Menteri Elka Pangestu memuji keberhasilan Desa

Pentingsari dalam transformasinya menjadi desa wisata, seperti dikutip sebuah media

masa sebagai berikut:

Awalnya desa Pentingsari tidak memiliki modal dan hanya mengandalkan

semangat gotong royong. Dengan semangat yang kuat, akhirnya mereka

mampu menyusun beberapa program dan atraksi budaya yang hidup di

10

masyarakat desa, sehingga mampu menghidupkan kearifan lokal menjadi daya

tarik untuk disuguhkan kepada wisatawan.7

Dalam pujian Menteri Elka Pangestu itu, secara eksplisit diungkapkan agar Desa

Pentingsari mengelola modal sosial dan modal budayanya untuk menjadikannya sebagai

daya tarik wisata sekaligus menghidupkan kearifan lokal. Dalam hal ini, jelas diakui

bahwa desa wisata tidak saja memberikan keuntungan ekonomi tetapi juga sebagai basis

untuk mengembangkan kearifan lokal, aspek budaya yang menjadi dasar identitas

masyarakat.

Pengelolaan desa wisata berbasis kearifan lokal tampak pada atraksi dan

aktivitas wisatanya yang ditawarkan. Program yang ditawarkan pada setiap paket wisata

mencakup aktivitas camping dan outbound, atraksi budaya membatik, wayang suket,

wisata sejarah, tracking dan wisata kuliner. Para wisatawan yang tidak membuat tenda

pada camping ground biasanya menginap di rumah penduduk (home stay) yang

disediakan oleh masyarakat setempat. Hampir semua kegiatan melibatkan pengelola dan

masyarakat setempat dan memberi kontribusi bidang sosial budaya, ekonomi, serta

lingkungan.

Desa wisata seirama dengan Petingsari yang berkembang di Bali dan menjadi

objek riset ini adalah Desa Wisata Arkeologi Bedulu. Fokus atau penekanan Desa

Wisata di desa Bedulu itu hampir sama dengan desa Pentingsari. Potensi utama desa

Bedulu adalah peninggalan budaya (arkeologi) yang dikeramatkan dan tersimpan di

pura-pura desa setempat (Astawa, 2012). Potensi lain desa Bedulu adalah lukisan para

7 Sumber: http://ekbis.sindonews.com/read/809240/34/menparekraf-beri-penghargaan-terhadap-124-desa-

wisata-1385192060 Akses 13 Juli 2015.

11

tokoh terkenal zaman dulu yang dipajang di Rumah Lukisan 22 yang dipadukan dengan

lukisan generasi muda desa Bedulu. Dalam hal kesenian, ditonjolkan atau diperkenalkan

seni patung dan seni tari Kecak Bedulu (sudah dikenal sejak 1930) dengan tema

Sugriwa-Subali (Astawa, 2012). Potensi budaya arkeologi di Desa Bedulu cukup

banyak dan tersimpan di beberapa pura serta tempat lain meliputi: museum arkeologi,

Pura Arjuna Metapa dengan peninggalan arkeolog, panorama di Persawahan Uma

Telaga dan Relief Yeh Pulu.

Aktivitas budaya di Desa Bedulu, menurut Astawa (2012), meliputi berbagai

kegiatan dan atraksi budaya, yakni membuat gerabah tradisional, memahat, melukis

telor dan menari, demonstrasi mebombong, menjahit, berbelanja ke pasar, membuat

makanan tradisional dan kursus memasak (cooking class). Aktivitas wisata alam

meliputi trekking dan hiking ke persawahan. Aktivitas penduduk yang ada di daerah ini

merupakan aktivitas murni yang telah berkembang dari tahun ke tahun sejak nenek

moyang, sehingga mempunyai histori yang telah lama. Pada saat ini, desa wisata di

daerah ini telah berkembang dengan kemajuan yang ada, terutama dengan alat

transportasi dan komunikasi modern. Masyarakat harus menyesuaikan kondisi teknologi

yang ada, terutama teknologi informasi seperti hand phone dan alat komunikasi lainnya.

Perkembangan desa wisata di Bali dimulai oleh Pemerintah Provinsi pada tahun

1993 dengan ditetapkannya tiga desa, yaitu Penglipuran, Sebatu, dan Jatiluwih sebagai

Desa Wisata oleh Gubernur Bali (Putra dan Pitana, 2010:72). Penetapan itu

dilaksanakan sesuai dengan besarnya potensi yang dimiliki ketiga desa tersebut. Di

antara beberapa desa wisata di Bali, yakni Desa Penglipuran, Desa Wisata Jati Luwih,

12

dan Desa Wisata Sebatu, ketiga desa ini ditetapkan sebagai model gagasan

pengembangan desa wisata. Namun, pendekatan yang bersifat top-down telah

menyebabkan kurang efektifnya perkembangan di desa-desa wisata tersebut.

Dibandingkan dengan ide awal dan lamanya waktu, inisiatif membangun tiga desa

wisata kurang optimal walaupun bukan berarti gagal.

Selain itu, LSM Yayasan Wisnu, bekerjasama dengan masyarakat juga

berinisiatif mengembangkan Jaringan Ekowisata Desa (JED) pada tahun 1999, yang

terdiri atas empat desa, yaitu Desa Plaga, Desa Ceningan, Desa Tenganan, dan Desa

Sibetan. Walau sempat terganjal oleh penurunan tren pariwisata karena tragedi Bom

Bali, JED berhasil bangkit kembali pada tahun 2004 dan masih bertahan hingga

sekarang (Putra dan Pitana, 2010:74-75). LSM lain yang juga menggerakkan

pembentukan desa wisata di Bali adalah Bali Community Based Tourism Association

(Bali COBTA) yang terbentuk pada tahun 2011. LSM non-profit ini telah membantu

lima desa wisata khususnya dalam hal pembentukan, pembinaan dan pemasaran Lima

desa wisata di Bali, yaitu: Budakeling, Pinge, Blimbingsari, Penglipuran, dan

Pancasari.8 Pada tahun 2013, dukungan Pemerintah untuk pengembangan desa wisata

melalui PNPM Mandiri Pariwisata di Bali telah mencapai 50 desa. Pemerintah Provinsi

Bali telah mengajukan pengusulan 164 desa untuk juga memperoleh dana PNPM

Mandiri untuk tahun 2014.9

8www.cbtbali.org Bali Cobta, Our Communities, Diakses 5 September 2013, <

http://www.cbtbali.org/?page_id=8 > 9www.beritasatu.com Bali Kembangkan 164 Desa Jadi Tujuan Wisata, Diakses 5 September 2013,

<http://www.beritasatu.com/nasional/119842-bali-kembangkan-164-desa-jadi-tujuan-wisata.html >

13

Kesuksesan pengembangan pariwisata berkelanjutan melalui program desa

wisata ini ditentukan oleh hubungan kerja sama elemen fundamental, yakni partisipasi

masyarakat lokal dalam perencanaan dan manajemen projek desa wisata (Garrod,

2001). Namun demikian, beberapa kajian empiris mengindikasikan masih adanya

hambatan dalam membangun hubungan tersebut, sehingga esensi program desa wisata

tersebut, yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat sulit untuk terwujud. Proses

pengambilan keputusan top-down yang umum digunakan oleh otoritas pariwisata

seringkali berseberangan dengan kepentingan masyarakat setempat (Byrd, 2007;

Carmin et al., 2003). Kesuksesan pengembangan pariwisata berkelanjutan pada desa

wisata terletak pada pemberdayaan partisipasi masyarakat setempat sebagai aktor dalam

membangun, memiliki, dan mengelola langsung fasilitas wisata serta pelayanannya.

Pada akhirnya, mereka diharapkan dapat menikmati keuntungan ekonominya dan

dampak yang timbul terhadap lingkungan. Hal ini dapat terwujud apabila ada hubungan

yang baik atau sinergis antara pemerintah-masyarakat-pelaku pariwisata. Kajian-kajian

empiris menunjukkan masih adanya hambatan dalam membangun hubungan tersebut

(Byrd, 2007; Carmin et al., 2003), sehingga partisipasi masyarakat menjadi rendah dan

memberikan dampak kesejahteraan masyarakat yang semakin rentan. Di sinilah titik

lemah yang perlu diatasi sehingga bisa dibalik menjadi kenyataan bagaimana

pengembangan desa wisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau paling

tidak membantu mereka mengatasi kesulitan ekonomi dengan menyediakan peluang

bekerja atau berusaha.

14

Upaya pengembangan sektor pariwisata sangatlah holistik dan multidimensi.

Pengembangannya mencakup upaya membangun kapasitas dan memberdayakan

masyarakat lokal (Ardika, 2011). Aspek kekayaan alam, budaya, adat-istiadat, agama,

dan karakter masyarakat setempat berkontribusi secara holistik. Hal ini menunjang

perkembangan dunia pariwisata yang sangat cepat, seiring dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Pariwisata memainkan peran penting dalam menekan angka

kemiskinan karena dampak langsung dan tidak langsung dari ekonomi pariwisata (Putra

dan Pitana, 2010). Meskipun memberikan manfaat dalam menekan angka kemiskinan,

pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) penting

memperhatikan daya dukung dan kerentanan lingkungan terhadap jumlah wisatawan

yang berkunjung, serta partisipasi dan timbal-balik yang dinikmati masyarakat lokal

serta dampak budaya dan ekonomi yang ditimbulkannya (Hampton, 2003).

Partisipasi warga dalam manajemen desa wisata tidak hanya memfasilitasi

pemahaman mereka tentang pariwisata lokal (Byrd, 2007), tetapi juga meningkatkan

kualitas perencanaan dan keputusan dengan mengikutsertakan pandangan penduduk

setempat (Beierle & Konisky, 2000; Carmin et al., 2003). Merangsang partisipasi

masyarakat lokal dalam proses manajemen membentuk landasan penting untuk

pengembangan desa wisata yang sukses, serta dapat memberikan dampak ekonomi yang

positif terhadap masyarakat setempat (Salazar, 2012; Chang et al., 2012). Di

samping itu, partisipasi juga harus dapat mengubah masyarakat dari hanya menjadi

objek pembangunan menjadi subyek yang berperan aktif dalam pengambilan keputusan

dan pengelolaan sehari-hari, dan oleh karena itu harus menguntungkan masyarakat

15

setempat. Bilamana desa wisata dikembangkan, maka desa wisata harus mendapat

manfaat, baik di bidang ekonomi, sosial budaya. Demikian pula, pengelolaan desa

wisata juga dapat ikut menjaga kelestarian lingkungan, karena dengan ditunjuknya

menjadi desa wisata, mereka akan berusaha untuk eksis pengelolaannya dan ikut

menjaga lingkungan.

Berdasarkan perbedaaan yang terjadi antara teori dengan aplikasi partisipasi

masyarakat terhadap lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi dalam pengelolaan desa

wisata, maka dipandang perlu melakukan penelitian lebih lanjut, dan dalam penelitian

ini dikaji dampak partisipasi masyarakat terhadap sosial budaya, lingkungan dan

ekonomi dalam pengelolaan desa wisata. Penelitian ini mengkaji secara komparatif

partisipasi masyarakat dan dampak sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dalam

pengelolaan dua desa wisata, yaitu desa wisata di Desa Bedulu, Bali dan Desa Wisata

Pentingsari di Yogyakarta. Tujuannya adalah untuk mengkaji operasional dan dampak-

dampak yang dirasakan masyarakat pada dua desa wisata yang diteliti dan

merangkumnya menjadi analisis bentuk model atau bentuk teori tentang partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan desa wisata yang efektif, dan dapat menumbuhkan sosial

budaya, lingkungan, dan ekonomi.

1.2 Alasan Empiris Pemilihan Objek Penelitian

Alasan empiris dalam memilih kedua desa wisata tersebut sebagai objek

penelitian adalah adanya persamaan dan perbedaan yang menarik untuk dipakai sebagai

menjadi bahan perbandingan. Alasan pertama, karena kedua desa ini adalah desa wisata

yang secara operasional sudah berjalan, dan telah memiliki fasilitas akomodasi,

16

memiliki ragam program kegiatan wisata, dan telah dipasarkan kepada umum, baik

lokal maupun internasional. Desa Bedulu mulai dikelola sebagai desa wisata pada tahun

2007. Pengajuan kebutuhan bantuan dana kepada pemerintah dilakukan pada tahun

2009, dan pengelolaannya menjadi lebih profesional setelah mendapatkan bantuan dana

PNPM Mandiri Pariwisata pada tahun 2011 sebesar Rp 150 juta. Desa Pentingsari

dijadikan desa wisata pada tahun 2008 dan telah menerima beberapa penghargaan baik

nasional maupun internasional. Usia kedua desa wisata ini relatif sama, sekitar tujuh

atau delapan tahun, dan keduanya menunjukkan perkembangan yang menjanjikan masa

depan yang bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya.

Alasan kedua, pemilihan dua studi kasus desa wisata ini juga

mempertimbangkan perbandingan menarik yang akan didapatkan, khususnya dari segi

perbedaan latar belakang budaya dan kepercayaan dan atau agama mayoritas

masyarakat pada masing-masing desa. Mayoritas penduduk desa Bedulu menganut

agama Hindu dan hampir seluruh penduduk Desa Pentingsari beragama Islam.

Perbedaan kepercayaan yang dianut masing-masing desa bukanlah dasar utama

motivasi penelitian ini, tetapi perbedaan ini dapat menghasilkan konteks hasil penelitian

yang tidak eksklusif ataupun culture-specific. Perbedaan kepercayaan/ agama

kebanyakan masyarakat pada dua desa wisata yang diteliti akan menghasilkan analisis

partisipasi masyarakat dalam tata-kelola desa wisata yang lebih fleksibel dan mampu

mengakomodasi serta diaplikasikan ke lebih banyak desa lain di kawasan Republik

Indonesia yang luas dengan latar belakang budaya berbeda.

17

Alasan ketiga, kedua desa wisata ini memiliki persamaan dalam hal atraksi yang

ditawarkan, di mana ada unsur wisata ziarah di dalam program kegiatan wisata di

masing-masing desa. Menurut Ulung (2013:3), definisi wisata ziarah adalah :

Kegiatan wisata ke tempat-tempat yang memiliki makna khusus, biasanya

berupa tempat ibadah, makam ulama, atau gereja, masjid dan situs-situs kuno

yang memiliki kelebihan. Kelebihan ini misalnya dilihat dari sisi sejarah, adanya

mitos dan legenda mengenai tempat tersebut, ataupun keunikan dan keunggulan

arsitektur bangunannya.

Desa Bedulu memiliki situs kuno Relief Yeh Pulu dan beberapa peninggalan

arkeologi lainnya yang tersimpan di Pura di Desa Bedulu yang dikeramatkan dan

menjadi media pemujaan bagi umat Hindu. Desa Bedulu juga menyimpan makna

khusus sejarah berkembangnya Agama Hindu yang bersatu di Bali. Pada masa Bali

kuno, perkembangan keagamaan bersifat sektarian dan berhasil dipersatukan oleh

musyawarah yang bertempat di Pura Samuan Tiga yang dipercaya berlokasi di pusat

kerajaan Bali Kuno di Bedulu.

Desa Pentingsari memiliki situs-situs yang menurut mitos dan legenda penduduk

setempat memiliki makna dan kekuatan tersendiri seperti Pancuran Sendangsari, Watu

Dakon, Watu Persembahan, Watu Gajah, Watu Gandul, Goa Ponteng, dan Kali Pawon.

Di desa ini, terdapat sejarah peninggalan penjajah Belanda dan tungku peninggalan

yang legendaris. Desa Pentingsari juga menyimpan makna sejarah sehubungan dengan

pendiri desa ini yaitu Kyai Jokerto yang merupakan salah satu prajurit Pangeran

Diponegoro, yang hidup pada tahun 1790-1905. Pangeran Diponegoro adalah salah satu

18

Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang berjasa dalam perang melawan penjajah

Belanda 1825-1830. Desa Pentingsari ini juga digunakan sebagai objek wisata alam.

Alasan teoritik dalam memilih kedua desa wisata tersebut sebagai obyek

penelitian adalah adanya konsep tourism area life cycle (Butler, 1980), di mana setiap

produk wisata, termasuk desa wisata, pastilah mengalami sebuah siklus kehidupan

mulai dari eksplorasi dan keterlibatan (exploration and involvement), pertumbuhan

(development), penguatan dan kemacetan (consolidation and stagnation) dan setelah itu

pilihan antara penurunan (decline) atau perkenalan produk baru ataupun inovasi produk

(rejuvenation). Produk yang berhasil melakukan rejuvenation akan mengulangi kembali

siklus tourism area life cycle secara keseluruhan (Butler, 2006). Setiap level siklus

kehidupan sebuah daya tarik wisata tentunya memiliki karakteristik tersendiri yang

memiliki perbedaan mendasar dengan level siklus berikutnya ataupun sebelumnya. Hal

ini mengakibatkan diperlukannya contoh studi kasus yang disesuaikan dengan setiap

level siklus tourism area life cycle.

Desa Bedulu yang terletak di Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar,

Provinsi Bali, dipilih karena karakteristiknya sebagai desa wisata yang sedang dalam

masa pertumbuhan atau developing stage. Desa wisata yang satu ini mulai menikmati

pertambahan kunjungan wisatawan yang cukup signifikan dan mulai populer sebagai

daya tarik wisata, dengan angka kunjungan per bulan rata-rata 40 orang. Di lain pihak,

Desa Pentingsari yang terletak di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY), dipilih karena karakteristiknya sebagai desa wisata yang juga sedang

19

berkembang dengan pesat, tahap development, jika meminjam tahapan-tahapan teori

tourism area life cycle (siklus hidup daerah wisata) yang diperkenalkan Butler (1980).

Penelitian ini khususnya akan mengadopsi sudut pandang masyarakat desa

untuk membandingkan efektivitas partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan desa

wisata, serta dikaitkan dengan ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Hal ini penting

karena sumber daya manusia masyarakat lokal di desa seringkali masih kurang

kompeten dalam hal knowledge, attitude, dan skill untuk mengelola sebuah daya tarik

wisata, sehingga seringkali mereka kurang dilibatkan oleh investor maupun pemerintah

dalam pengembangan desa wisata (Salazar, 2011). Selain itu, pada akhirnya,

masyarakat lokal adalah yang akan paling merasakan dampak-dampak dari

pengembangan desa wisata baik dampak positif ataupun dampak negatif (Salazar,

2012). Oleh karena itu, sangatlah penting untuk berfokus pada partisipasi masyarakat

desa dan dampak-dampak yang mereka alami dari berkembangnya desa wisata.

Dampak yang akan diukur berkaitan dengan pelaku desa wisata atas dampak ekonomi,

sosial budaya, dan lingkungan yang terjadi pada masyarakat lokal.

Penekanan penelitian ini melihat dari comparative study mendasarkan pada studi

Breugel (2013) bertopik pariwisata berbasis masyarakat yang membandingkan

partisipasi masyarakat dan persepsi mereka terhadap dampak sosial budaya, lingkungan,

dan ekonomi, dari suatu kegiatan pengembangan pariwisata berbasis partisipasi

masyarakat di Thailand. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat lokal, semakin

positif pula langkah, kebijakan, dan persepsi mereka terhadap dampak yang

ditimbulkannya (Bruegel, 2013). Referensi di atas dari beberapa sumber dan fakta

20

memberi gambaran tentang adanya kesenjangan hasil penelitian (research gap) untuk

diteliti kedua desa wisata dengan melihat pada aspek kemanfaatannya dalam ekonomi,

sosial budaya, dan lingkungan. Dengan demikian, disusun rumusan masalah sebagai

berikut ini.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah ditetapkan sebagai berikut ini:

1) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dan dampaknya terhadap sosial

budaya, lingkungan, dan ekonomi dalam pengelolaan Desa Wisata Bedulu,

Gianyar, Bali?

2) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dan dampaknya terhadap sosial

budaya, lingkungan, dan ekonomi dalam pengelolaan Desa Wisata Pentingsari,

Kabupaten Sleman, Yogyakarta?

3) Bagaimana perbandingan pengelolaan desa wisata dan dampaknya terhadap

sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi pada Desa Wisata Bedulu dan Desa

Wisata Pentingsari?

Studi di kedua desa wisata yang dipilih sebagai obyek penelitian ini didasarkan

pada kesamaan situasi masing-masing desa tersebut. Berdasarkan konsep tourism area

life cycle, desa Bedulu dan Desa Pentingsari masih berada dalam level development.

Pembangunan sarana dan prasarana pendukung aktivitas, kegiatan promosi, dan upaya

melibatkan masyarakat tetap dilakukan. Dibutuhkan dukungan dan analisis dari

21

berbagai pihak yang berkepentingan dan dilibatkan dalam pengembangan desa wisata

ini.

Pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun di pusat dan instansi terkait wajib

terlibat dalam mengembangkan pariwisata berbasis partisipasi masyarakat. Hasil

beberapa riset menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat lokal dalam berbagai

aktivitas desa wisata mampu mengembangkan sosial budaya masyarakat setempat,

melestarikan lingkungan, dan menumbuhkan perekonomian masyarakat. Tujuan mulia

pada aspek sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi berkontribusi besar terhadap

peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji tingkat partisipasi

masyarakat dan perbedaannya dalam pengelolaan desa wisata. Dari kajian ini,

diharapkan dapat diketahui dampak pengelolaan desa wisata terhadap sosial budaya,

lingkungan, dan ekonomi di dua desa wisata, yaitu Desa Wisata Bedulu dan Desa

Wisata Pentingsari. Penelitian ini juga bertujuan untuk menemukan pokok-pokok

penting dalam pengelolaan desa wisata di kedua desa wisata tersebut. Luaran dari studi

ini adalah untuk mengoptimalisasikan model partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

desa wisata dikaitkan dengan pengembangan sosial budaya, meminimalisir dampak

negatif terhadap lingkungan dan ekonomi masyarakat.

1.4.2 Tujuan Khusus.

22

Selaras dengan tujuan penelitian di atas, maka tujuan khusus penelitian ini

dibagi dalam tiga hal.

1) Untuk mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dan dampaknya terhadap

sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dalam pengelolaan Desa Wisata

Bedulu, Gianyar.

2) Untuk menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dan dampaknya terhadap

sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dalam pengelolaan Desa Wisata

Pentingsari, Yogyakarta.

3) Untuk mengetahui secara komparatif pengelolaan desa wisata dan

dampaknya terhadap sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi masyarakat

Desa Wisata Bedulu, Gianyar dan Desa Wisata Pentingsari, Yogyakarta.

1.5 Manfaat Penelitian.

Hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan manfaat

teoritis dan praktis. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi untuk memperkaya dan melengkapi literatur ilmu pariwisata, terutama dalam

pengembangan partisipasi masyarakat. Analisis pada dua best practice desa wisata

tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan desa wisata, serta dampaknya

terhadap sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi yang dirasakan masyarakat dapat

dijadikan referensi dalam pengembangan desa wisata di masa depan.

Penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis

karena masih jarang penelitian yang berfokus pada partisipasi masyarakat dalam

konteks pengelolaan desa wisata, khususnya yang menghasilkan analisis pengelolaan

23

yang berdasarkan studi perbandingan. Hasil dari penelitian ini juga dapat

mengidentifikasi dan mengevaluasi dampak terhadap sosial budaya, lingkungan, dan

ekonomi yang dapat diperoleh masyarakat setempat. Penelitian ini juga menjadi dasar

untuk penelitian lebih lanjut dalam konteks pengelolaan desa wisata yang lain ataupun

pengelolaan pariwisata pedesaan lain secara lebih luas.

Dari segi manfaat praktis, hasil dari penelitian ini dapat memberi informasi

tambahan dan bahkan dapat menjadi pedoman bagi para pengambil keputusan berkaitan

dengan pembentukan, pengembangan, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

desa wisata demi terwujudnya hasil yang lebih maksimal. Penelitian ini juga menjadi

dasar pembanding dalam menganalisis pengelolaan desa wisata yang berbeda

kondisinya dan dilihat dari sudut partisipasi masyarakat setempat.

24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

Bab ini menguraikan empat hal termasuk model penelitian yang

menggambarkan alur pemikiran dalam riset dan analisis. Bagian pertama merupakan

kajian terhadap penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik desa wisata.

Manfaatnya adalah untuk mengapresiasi penelitian-penelitian serupa sebelumnya dan

menemukan gap persoalan yang belum tergarap dalam penelitian tentang desa wisata.

Bagian berikutnya menguraikan konsep, yaitu uraian atas istilah kunci dalam penelitian

ini yang mungkin masih ragu agar dapat dipaparkan secara jelas sehingga memudahkan

pembaca untuk mengikuti uraian dalam disertasi ini. Bagian ketiga adalah uraian

mengenai teori yang digunakan dalam menganalisis data. Teori menyediakan kerangka

berpikir dan jalan yang pasti dengan cara apa dan bagaimana data yang terkumpul

dianalisis. Bagian terakhir adalah ‘Model Penelitian’ yang merupakan alur pikir mulai

dari mengidentifikasi sumber masalah, menetapkan topik, konsep, teori, rumusan

masalah, dan simpulan.

2.1. Kajian Pustaka

Penelitian tentang desa wisata sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dan hal

ini terus berlanjut sejalan dengan munculnya berbagai fenomena dan gagasan untuk

pengembangan desa wisata di Indonesia. Penelitian-penelitian terhadap desa wisata

25

di Indonesia masih terfokus pada desa wisata di Jawa dan Bali, dan sedikit dengan yang

ada di Lombok dan Flores.

Assiyah (2008) dalam penelitiannya tentang Desa Wisata Ngablak, Yogyakarta

dan Wardani (2008) tentang Desa Wisata Kembang Arum, Yogyakarta, penelitian

mereka bersifat deskriptif dan sangat mendasar dalam menceritakan potensi-potensi

yang dapat dikembangkan sebagai desa wisata. Terdapat juga pembahasan desa wisata

dalam bentuk penelitian oleh Sukmana (2006) dan Sukmana (2008), tetapi itu lebih

mengarah pada pengelolaan lingkungan dan penataan kota dalam perspektif ekowisata

di Kota Batu, Jawa Timur. Demikian juga, penelitian Putra dan Pitana (2010) juga

menekankan aspek pengelolaan desa wisata dan manfaatnya bagi penyediaan sumber

pendapatan masyarakat. Stroma Cole, (1997) menulis ihwal potensi wisata desa Ngada

di Flores dengan menekankan uraian pada daya tarik alam dan potensi warisan budaya

desa tersebut sebagai daerah tujuan wisata. Penelitian Cole, (1997) tidak secara spesifik

berbicara tentang desa wisata, tetapi lebih bagaimana desa dibangun sebagai daya tarik

wisata.

Berkenaan dengan kedua desa wisata yang menjadi objek penelitian ini, yaitu

Desa Pentingsari, Yogyakarta dan Desa Bedulu, Gianyar, Bali, sejauh ini belum

ditemukan ada penelitian. Dapat dikatakan bahwa tidak ada penelitian sebelumnya yang

secara spesifik membahas tata-kelola desa wisata, ataupun partisipasi masyarakat

di desa wisata Bedulu dan Pentingsari. Uraian kajian pustaka berikut ini diisi dengan

tinjauan terhadap berbagai literatur relevan yang membahas ihwal desa wisata atau

rural tourism secara umum seperti tulisan Salazar (2011).

26

Salazar dalam tulisan “The power imagination in transnational mobilities”

(2011) menganalisis dua desa wisata di Jawa Tengah, yaitu Desa Tembi, Yogyakarta

dan Desa Candirejo, Magelang, Jawa Tengah. Implementasi desa wisata Tembi dan

Candirejo yang awalnya dijadikan model desa wisata oleh Kementerian Kebudayaan

dan Pariwisata pada saat itu sesungguhnya dimiliki dan dikelola oleh investor dari

Australia (James, 2003). Karena berorientasi mencari keuntungan, maka harga-harga

yang ditetapkan di desa wisata Tembi sangat mahal, bahkan tidak terjangkau oleh

wisatawan domestik. Selain itu, keterlibatan masyarakat lokal dalam proses

perencanaan dan pelaksanaan aktivitas pariwisata di Desa Tembi sangatlah sedikit

(Salazar, 2011; 580).

Pengelolaan di Desa Wisata Candirejo menunjukkan terlalu dominannya campur

tangan pemerintah dan pebisnis swasta dalam perencanaan dan pengelolaannya,

sehingga menghambat pertumbuhan desa wisata itu sendiri. Contoh di atas justru

bertentangan dengan norma kepariwisataan Indonesia, yakni pariwisata terintegrasi

yang terdiri atas kepariwisataan berbasis masyarakat lokal, berbasis budaya, dan

pariwisata berkelanjutan (Ardika, 2011). Mengenai Desa Wisata Candirejo, Putra dan

Pitana (2010) menyampaikan bahwa peran masyarakat melalui kooperasi sudah terasa

sejak awal. Pembentukan kooperasi desa wisata itu didorong oleh Kementerian

Kebudayaan dan Pariwisata waktu itu. Hasil pengelolaan dari kooperasi didistribusikan

secara proporsional kepada komunitas sehingga walau sedikit, masyarakat bisa

menikmati hasil dari perkembangan daerahnya sebagai desa wisata. Masyarakat yang

terlibat langsung dalam aktivitas desa wisata di sana seperti menawarkan tur, makanan,

27

membuka rumah untuk dikunjungi, dan sebagainya ; menikmati hasil langsung dari

aktivitas wisata. Pada awalnya, wisatawan yang berkunjung ke Candirejo datang dari

biro perjalanan atau hotel-hotel tempat mereka menginap di Yogyakarta. Belakangan,

sejak ada internet dan email, reservasi kunjungan bisa dilakukan melalui email, atau

kontak langsung tanpa melalui agen di Yogyakarta.

Sumber pustaka, baik berupa artikel jurnal maupun buku yang bersifat

internasional tentang desa wisata sangat terbatas. Hal ini mungkin disebabkan oleh

pengertian frase ‘desa wisata’ yang berbeda dalam bahasa Inggris. Jika diterjemahkan

langsung ke bahasa Inggris desa wisata adalah ‘tourism village’. Hal ini bukan

terminologi yang banyak digunakan dalam kajian pariwisata secara internasional.

Dalam konsep pariwisata di daerah perdesaan, yang lebih dikenal oleh para akademisi

secara internasional adalah “rural tourism” atau dalam bahasa Indonesia “wisata

perdesaan” yang mengandung arti mengunjungi desa-desa yang memiliki daya tarik.

Meskipun demikian, kondisi kedua desa di dalam negeri dan di luar negeri mempunyai

perbedaan yang nyata.

Konsep desa wisata di Indonesia berkembang dari konsep Community Based

Tourism (CBT), di mana masyarakat secara aktif menjadi pengelola dan ikut serta

dalam operasional obyek wisata, bukannya hanya secara pasif menjadi bagian dari daya

tarik obyek wisata. Hal ini diterangkan dengan jelas dalam buku yang ditulis oleh Putra

dan Pitana (2010: 71). Buku pariwisata pro-rakyat yang membahas penerapan teori

Pariwisata Pro-Rakyat dalam penerapan strategi pro-growth, pro-job creation, dan pro-

poor, serta contoh-contoh penerapan dalam perkembangan pariwisata di Indonesia.

28

Buku pariwisata pro-rakyat ini menjadi sumber yang berharga dalam relevansinya

terhadap penelitian ini. Bab pembahasan dari buku tersebut secara khusus membahas

desa wisata sebagai usaha memerangi kemiskinan serta beberapa contoh di Bali, Jawa

Tengah, serta Yogyakarta. Dikatakan bahwa:

Desa Wisata menjadi tumpuan harapan tidak saja untuk menghapus kemiskinan

atau meningkatkan kesejahteraan tetapi juga model pengembangan ideal

pariwisata Indonesia’ (Putra dan Pitana, 2010: 81).

Maksud dari ‘pengembangan ideal pariwisata Indonesia’ adalah pembangunan

yang memanfaatkan keindahan alam dan budaya Indonesia sebagai dasar pembangunan

yang mana hasil pemanfaatannya sebagai daya tarik wisata digunakan untuk

melestarikan kedua sumber daya tersebut. Selain itu, pembangunan desa wisata adalah

salah satu bentuk strategi pembangunan yang efektif untuk mewujudkan pemerataan ke

daerah pedalaman atau rural area. Pembangunan di daerah pedalaman biasanya ditarik

oleh tersedianya sumber daya alam tambang yang bernilai. Namun, kalau desa hanya

memiliki alam yang indah dan budaya yang unik, jarang dilirik sebagai alasan

pembangunan desa. Belakangan, ketika pariwisata berkembang, banyak daerah

terpencil dikunjungi wisatawan dan dari sana pembangunan infrastruktur biasanya

dimulai. Ketika pemerintah mendorong desa mengembangkan dirinya sebagai daya

tarik wisata, di sana pemerintah sebetulnya sudah secara tidak langsung menerapkan

strategi pembangunan yang efektivitasnya terjamin.

Penting juga dirujuk di sini penelitian Nepal (2007) tentang pengalaman dua

desa yang mengembangkan ekowisata. Penelitian Breugel (2013) tentang pariwisata

berbasis masyarakat di dua desa di Thailand, dan penelitian Madiun (2008) tentang

29

partisipasi masyarakat dalam pengembangan kawasan di daerah Nusa Dua. Kedua

penelitian ini menarik untuk dijadikan referensi karena sama-sama mengungkapkan

pengalaman desa-desa dalam pengembangan desa wisata. Kedua desa wisata di negara

bagian Asia tersebut memiliki persamaan dengan desa wisata di Indonesia.

Nepal (2007) dalam tulisannya “Indigenous Perspectives on Ecotourism in

Nepal: The Ghale Kharka-Sikles and Sirubari Experience” yang dimuat sebagai bab

dalam buku Critical Issues in Ecotourism: Understanding a Complex Tourism

Phenomenon menemukan keberhasilan implementasi di dua desa wisata di Nepal.

Keberhasilan itu, katanya, tergantung pada beberapa factor, yakni dukungan masyarakat

lokal, marketing dan publikasi, pendirian economy participant, keinginan masyarakat

untuk mengadopsi peluang ekonomi, penerapan prinsip partnership dan kolaborasi serta

dukungan external NGO (Non Government Organization) dan pemerintah. Desa wisata

akan mempunyai keberlanjutan bila destinasi dipromosikan dan diterapkan dengan

menggunakan konsep sustainable tourism, target harus fokus pada wisatawan yang

berkualitas walaupun dalam jumlah kecil. Dalam studi ini, tampak jelas bahwa

keterlibatan dan kesungguhan masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan desa wisata

merupakan jaminan keberlanjutan pembangunan pariwisata tersebut. Dukungan dari

pemerintah dan NGO sama pentingnya dengan kesungguhan masyarat setempat. Kata

kuncinya adakah “partisipasi”, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Terkait dengan konsep studi komparatif antara dua desa wisata di Thailand,

Breugel (2013) menjelaskan hubungan antara tipe partisipasi masyarakat setempat dalam

pengembangan pariwisata dan persepsi masyarakat atas hasil proyek pariwisata yang

30

dilaksanakan. Pada akhir penelitian, juga dianalisis dampak dari partisipasi masyarakat

dalam desa wisata terhadap pengembangan sosial budaya, lingkungan, dan. pertumbuhan

ekonomi.

Menyinggung ihwal “partisipasi”, Madiun (2008) menjelaskan bentuk-bentuk

partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal, dalam pengembangan kawasan

pariwisata Nusa Dua, dengan berbagai implikasi yang ditimbulkannya. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa bentuk partisipasi yang dilakukan pada awal fase

perencanaan dan pengembangan kawasan Nusa Dua, adalah partisipasi karena paksaan

(manipulative participation), dengan kekuasaan dan ancaman (coersive participation).

Pada fase implementasi perencanaan dan awal aktivitas di kawasan, bentuk

partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal adalah partisipasi karena dorongan

(induced participation), di mana masyarakat lokal terdorong untuk melakukan berbagai

aktivitas yang terkait dengan pariwisata. Partisipasi masyarakat secara spontan

(spontaneous participation) merupakan bentuk partisipasi masyarakat lokal pada fase

munculnya berbagai dampak aktivitas kepariwisataan di kawasan Nusa Dua.

Tersedianya potensi sumber daya yang memenuhi syarat, munculnya paradigma baru

dalam pembangunan masyarakat lokal yang berorientasi pada pariwisata, pengaruh

wacana yang berkembang di masyarakat lokal, keinginan mendapatkan manfaat

ekonomi, pengaruh modernisasi dalam kehidupan masyarakat lokal, prospek usaha

komplementer ke depan, dan keinginan mewujudkan masyarakat yang mandiri,

merupakan berbagai faktor yang mendorong masyarakat lokal untuk berpartisipasi

dalam perencanaan dan pengembangan kawasan Pariwisata Nusa Dua.

31

Makna partisipasi masyarakat lokal dari bentuk-bentuk partisipasi yang

dilakukan antara lain: makna kepatuhan, makna ekonomi, makna pluralisme serta

multikulturalisme, dan makna persaingan. Dua temuan spesifik dalam penelitian yang

dilakukan Madiun (2008) adalah hegemoni penguasa terhadap hak-hak masyarakat

lokal, dan termarjinalisasinya masyarakat lokal dalam merebut peluang.

Nusa Dua bukanlah desa wisata, tetapi kawasan kantong (enclave) yang

dibangun “terpisah” dari ruang perdesaan masyarakat. Meski demikian, Madiun

berpendapat bahwa tetap perlu pelibatan masyarakat dalam pengembangan kawasan

tersebut karena mereka bersentuhan langsung dengan kawasan itu dan wisatawan.

Masyarakat jelas merupakan salah satu kelompok dari stakeholder dari kawasan wisata

Nusa Dua. Sebagai salah satu dari pengampu kepentingan, pelibatan dan partisipasi

mereka sangat penting. Namun, akan lebih penting lagi kalau pelibatan masyarakat

berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan desa wisata tempat tinggal mereka

menjadi daya tarik wisata, seperti dua desa wisata yang dijadikan objek penelitian ini.

2.2 Konsep Penelitian

Ada enam konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini, yaitu (1) desa

wisata, (2) pariwisata pro-rakyat, (3) Pariwisata berbasis masyarakat, (4) dampak

lingkungan, (5) dampak ekonomi, dan (6) dampak sosial budaya. Keenam konsep itu

akan dibahas satu per satu berikut ini.

32

2.2.1 Desa Wisata

Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan “desa wisata” adalah desa yang

membuka diri untuk menerima kunjungan wisata lebih dari sekadar objek atau daya

tarik wisata. Dalam hal desa wisata, termasuk di dalamnya ketersediaan akomodasi dan

fasilitas lainnya sehingga wisatawan tidak saja datang berkunjung dan kembali, tetapi

menetap di desa wisata. Pengertian desa wisata berbeda dengan “wisata desa” yang

mengacu pada aktivitas wisatawan yang berkunjung ke perdesaan tanpa tujuan untuk

bermalam di tempat tersebut karena tidak tersedia fasilitas untuk itu. Dalam aktivitas

tour ke desa ini, desa hanya sebagai objek atau daya tarik wisata.

Desa wisata didefinisikan oleh Nuryanti (1993) sebagai “suatu bentuk integrasi

antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur

kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku”

(Nuryanti, 1993: 2-3). Batasan ini menekankan pada fasilitas wisata, tetapi tidak

memasukkan partisipasi atau peran masyarakat dalam pengelolaan.

Terdapat dua konsep utama dalam komponen desa wisata: 1) akomodasi:

sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-unit yang

berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk, dan 2) atraksi: seluruh kehidupan

keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan

berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif seperti : kursus tari, bahasa, dan

lain-lain yang spesifik. Di lain pihak, Edward Inskeep (2000: 166), dalam Tourism

Planning an Integrated and Sustainable Development Approach memberikan definisi

berikut :

33

Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional, often

remote villages and learn about village life and the local environment.

Artinya bahwa ‘desa wisata’ adalah di mana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam

atau dekat dengan suasana tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan belajar

tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat.

Pengembangan desa wisata harus menggunakan pendekatan perencanaan secara

hati-hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Berdasar penelitian dan studi-studi

dari UNDP (United Nation Development Program) dan WTO (World Tourism

Organization) dan beberapa konsultan Indonesia, dicapai dua pendekatan dalam

menyusun kerangka kerja pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata. Nuryanti

(1993) menjelaskan bahwa terdapat dua pendekatan dalam pengembangan desa wisata

di Indonesia, yaitu pendekatan pasar dan pendekatan fisik. Pendekatan pasar bisa

dilakukan dengan langsung, setengah langsung, maupun tidak langsung. Secara tidak

langsung, pengembangan desa wisata didekati dengan cara bahwa desa mendapat

manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan. Bentuk kegiatan yang terjadi

seperti penulisan buku-buku tentang desa yang berkembang, kehidupan desa, seni,

budaya lokal, arsitektur tradisional, latar belakang sejarah, dan pembuatan kartu pos.

Pendekatan setengah langsung dapat berbentuk one day trip yang dilakukan oleh

wisatawan, kegiatan-kegiatan meliputi : makan, berkegiatan bersama penduduk, dan

kemudian wisatawan dapat kembali ke tempat akomodasinya. Prinsip pendekatan

setengah langsung ini adalah bahwa wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal

bersama dengan penduduk. Namun, pendekatan langsung adalah dengan wisatawan

34

dimungkinkan untuk tinggal/bermalam dalam akomodasi yang dimiliki oleh desa

tersebut. Dampak yang terjadi dapat dikontrol dengan berbagai pertimbangan, yaitu

daya dukung dan potensi masyarakat setempat.

Alternatif lain dari model ini adalah penggabungan dari model pertama dan

model kedua (WTO, 1981). Agar dapat berhasil, pendekatan fisik memerlukan beberapa

syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah desa wisata, yaitu dari segi atraksi wisata, jarak

tempuh, besaran desa, sistem kepercayaan serta kemasyarakatan, dan ketersediaan

infrastruktur. Atraksi wisata; yaitu semua yang mencakup alam, budaya, dan hasil

ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih haruslah yang paling menarik dan atraktif di desa.

Jarak tempuh adalah jarak dari kawasan wisata terutama tempat tinggal wisatawan dan

juga jarak tempuh dari ibukota provinsi dan jarak dari ibukota kabupaten. Besaran desa

menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah penduduk, karakteristik, dan luas

wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu

desa. Sistem kepercayaan dan kemasyarakatan merupakan aspek penting mengingat

adanya aturan-aturan yang khusus pada komunitas sebuah desa. Dalam hal ini, yang

juga perlu dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem

kemasyarakatan yang ada. Ketersediaan infrastruktur meliputi fasilitas dan pelayanan

transportasi, fasilitas listrik, air bersih, drainase, dan telepon.

Pendekatan kedua adalah pendekatan fisik, yang merupakan solusi yang umum

dalam mengembangkan sebuah desa melalui sektor pariwisata dengan menggunakan

standar-standar khusus dalam mengontrol perkembangan dan menerapkan aktivitas

konservasi. Pendekatan ini dilaksanakan dengan mengkonservasi sejumlah rumah yang

35

memiliki nilai budaya dan arsitektur yang tinggi serta mengubah fungsi rumah tinggal

menjadi sebuah museum desa untuk menghasilkan biaya untuk perawatan dari rumah

tersebut. Contoh pendekatan dari tipe pengembangan model ini adalah Desa Wisata di

Koanara, Flores. Desa yang terletak di daerah wisata Gunung Kelimutu ini mempunyai

aset wisata budaya berupa rumah-rumah tinggal yang memiliki arsitektur yang khas.

Dalam rangka mengkonservasi dan mempertahankan rumah-rumah tersebut, penduduk

desa menempuh cara memuseumkan rumah tinggal penduduk yang masih ditinggali.

Untuk mewadahi kegiatan wisata di daerah tersebut, dibangun juga sarana wisata untuk

wisatawan yang akan mendaki gunung Kelimutu dengan fasilitas berstandar resort

minimum dan kegiatan budaya lain.

Cara lain dalam pendekatan fisik adalah dengan mengkonservasi keseluruhan

desa dan menyediakan lahan baru untuk menampung perkembangan penduduk desa

tersebut dan sekaligus mengembangkan lahan tersebut sebagai area pariwisata dengan

fasilitas-fasilitas wisata. Contoh pendekatan desa wisata jenis ini adalah Desa Wisata

Sade, di Lombok. Selain itu, pendekatan fisik juga dapat dilakukan dengan

mengembangkan bentuk-bentuk akomodasi di dalam wilayah desa tersebut yang

dioperasikan oleh penduduk desa tersebut sebagai industri skala kecil. Contoh dari

bentuk pengembangan ini adalah Desa Wisata Wolotopo di Flores. Aset wisata di

daerah ini sangat beragam antara lain kerajinan tenun ikat, tarian adat, rumah-rumah

tradisional, dan pemandangan ke arah laut, dan sebagainya. Desa wisata di daerah ini

dikembangkan dengan membangun sebuah perkampungan skala kecil di dalam

lingkungan Desa Wolotopo yang menghadap ke laut dengan atraksi-atraksi budaya yang

36

unik. Fasilitas-fasilitas wisata ini dikelola sendiri oleh penduduk desa setempat.

Fasilitas tersebut berupa akomodasi bagi wisatawan, restoran, kolam renang, peragaan

tenun ikat, kebun, dan dermaga perahu.

2.2.2 Pariwisata pro-rakyat

Dalam beberapa dekade terakhir, khususnya sejak 1990-an, industri pariwisata

mendapat tugas tambahan sebagai usaha yang diharapkan dapat mengentaskan

kemiskinan. Gagasan ini muncul karena industri pariwisata banyak dilihat telah

memberikan keuntungan yang besar bagi investor dan perusahaan-perusahaan besar.

Karena itu, industri ini juga diberi harapan besar untuk memberikan penghidupan bagi

rakyat miskin. Ide ini menimbulkan konsep yang dikenal dengan nama pro-poor

tourism (PPT), secara literal berarti ‘pariwisata yang berpihak pada orang miskin’ atau

‘pariwisata yang memperhatikan kebutuhan orang miskin’. Di Indonesia, istilah

pro-poor lebih tepat diterjemahkan menjadi ‘pariwisata pro-rakyat’; rakyat dalam

konteks pembangunan ekonomi adalah orang yang dianggap miskin.

Istilah pro-poor tourism ini dicetuskan pertama kali oleh Department for

International Development (DFID) di Inggris, yang bekerjasama dengan lembaga riset

Overseas Development Institute (ODI) dan menghasilkan strategi implementasi (Putra

dan Pitana, 2010: 5). PPT didefinisikan sebagai strategi alternatif dalam pengembangan

pariwisata yang memberikan manfaat bersih (net benefits) bagi masyarakat miskin

(Putra dan Pitana, 2010: 5; Goodwin, 2009: 91). PPT menggunakan sejumlah strategi

untuk mengentaskan kemiskinan terutama dengan mengubah distribusi kekayaan,

37

memberikan peluang usaha dan lapangan kerja, pendidikan, dan kesetaraan (Goodwin,

2009).

Pro-Poor Tourism (PPT) diadopsi oleh banyak organisasi internasional dan

negara-negara berkembang sebagai salah satu strategi dalam program pengentasan

kemiskinan yang mereka laksanakan. Asian Development Bank (ADB) dan World Bank

(WB) mendukung proyek-proyek yang menerapkan PPT dengan sokongan dana guna

tercapainya pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat miskin.

Pemerintah Indonesia berkomitmen dengan menggunakan Millenium

Development Goals (MDGs) sebagai dasar acuan penyusunan Poverty Reduction

Strategy Paper (PRSP) yang berisi pedoman jangka panjang yang komprehensif bagi

pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat untuk program pengurangan

kemiskinan. Penerapan PRSP yang mendukung MDGs dan menerapkan PPT terbukti

dari aktifnya pemerintah dalam mendorong pembentukan desa wisata yang dianggap

sebagai salah satu bentuk perkembangan pariwisata yang merefleksikan rakyat yang

aktif, kreatif, dan proaktif (Putra dan Pitana, 2010: 6-7). Sejak tahun 2009, dukungan

pendanaan dari pemerintah untuk pengembangan desa wisata tampak melalui program

PNPM Mandiri Pariwisata. Jumlah dana yang digelontorkan bertambah dengan cukup

drastis dari hanya Rp 8,75 milyar pada tahun 2009 sampai dengan Rp 123,25 milyar

pada tahun 2013.

Pengembangan desa wisata identik dengan pengembangan pariwisata pro-rakyat

dengan catatan masyarakat setempat benar-benar bisa menikmati manfaat ekonomi

aktivitas pariwisata. Pengembangan desa wisata, seperti sudah diuraikan dalam Bab

38

Pendahuluan, tidak saja memanfaatkan potensi desa menjadi daya tarik wisata tetapi

juga membuka akses masyarakat miskin kepada sumber ekonomi baru sehingga mereka

bisa mendapatkan pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

2.2.3 Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pariwisata berbasis masyarakat adalah terjemahan dari konsep community based

tourism. Sebagai salah satu penerapan dari teori Pro-Poor Tourism (PPT), Community

Based Tourism (CBT) memberi peluang pada masyarakat untuk berpartisipasi secara

aktif, meningkatan pendapatan masyarakat, dan perluasan lapangan kerja (Islam dan

Carlsen, 2001). Namun, pada kenyataannya banyak hambatan yang membatasi para

masyarakat miskin untuk turut berpartisipasi dalam berbagai program pariwisata

di antaranya keterbatasan modal dan keterampilan. Keterbatasan ini juga membuat

masyarakat belum mampu merasakan manfaat dari desa wisata. Diperlukan modal

pengetahuan, modal yang dalam hal ini sikap individu untuk turut berpartisipasi dalam

kegiatan desa wisata, sehingga mendapat manfaat (benefit) ekonomi.

Partisipasi masyarakat di dalam operasional desa wisata sebagai salah satu

bentuk dari CBT seringkali terhambat. Tipe tatakelola masing-masing desa wisata

sangat beragam dan dapat menghalangi ataupun merusak partisipasi masyarakat lokal.

Sebagai contoh, Desa Wisata Bedulu kekurangan sumber daya profesional yang cakap

berbahasa Inggris (Oka, 2013).

Sebagai tantangan pengembangan desa wisata, konsep pertumbuhan ekonomi

dan pembangunan tanpa batas cenderung bersifat hedonisme yang mengesampingkan

pemerataan, mengekploitasi sumber daya secara berlebihan, dan pengelolaan finansial

39

berdasarkan kerakusan (Ardika, 2011). Dalam hal ini, dibutuhkan konsep

pengembangan pariwisata yang berbasis pada capacity building, empowerment, equity

(local, national and regional), sustainable dan spirituality (Ardika, 2011).

Implementasi konsep keseimbangan berdasarkan UU Kepariwisataan 2009

menjabarkan konsep keseimbangan hidup antara sumber daya alam, potensi geografis

dan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta. Konsep keseimbangan ini mendukung

upaya pariwisata yang pro terhadap konservasi lingkungan dengan menerapkan

pariwisata berbasis alam, budaya, dan kearifan lokal (Honey, 2001).

Nilai utama dari suatu desa yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata

adalah kualitas, keorsinilan, keunikan, khas daerah, dan kebanggaan daerah

(Sastrayuda, 2010). Nilai ini dapat dicermati melalui gaya dan kualitas hidup

masyarakat, khususnya berkaitan dengan perilaku integritas, keramahan dan

kesungguhan penduduk, di samping warisan budaya, pertanian, dan bentangan alam

yang indah. Dengan demikian, proses perencanaan pemodelan desa wisata tidak dapat

dipisahkan dari partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat muncul secara partisipatif sebagai alternatif terhadap

pendekatan pembangunan serta sentralisasi dan bersifat bottom up. Munculnya proses

partisipasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat mendasarkan atas dua perspektif.

Pertama, pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perencanaan, dan

pelaksanaan program yang akan mewarnai kehidupan masyarakat, sehingga dengan

demikian dapatlah dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap, dan pola piker, serta

nilai-nilai pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh. Kedua, membuat umpan

40

balik yang pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan

pembangunan. Sastrayuda (2010) menyatakan bahwa perencanaan dan program

pemodelan desa wisata dalam kerangka pembangunan desa secara keseluruhan

berintikan: (1) adanya tata pemerintahan desa; (2) penduduk desa menjalankan pola

kehidupan dan keagamaannya, serta berkumpul dalam satu harmonisasi kehidupan yang

mencerminkan tata krama masyarakat; (3) masyarakat desa melakukan kegiatan waktu

luang dan berekreasi bercengkerama di alam desa yang mereka miliki; serta (4)

masyarakat memiliki sikap, perilaku melindungi, memelihara dan memanfaatkan

kepemilikan seni budaya, lingkungan, nilai-nilai tradisi yang dapat mendorong

kelestarian promosi desa sendiri.

Partisipasi ini idealnya bisa mengubah kondisi atau posisi masyarakat dari hanya

obyek menjadi subyek pembangunan dan karena itu harus menguntungkan dan

menyejahterakan masyarakat. Bilamana desa wisata dikembangkan, maka desa wisata

harus memiliki beberapa manfaat sebagai berikut ini.

a. Pemberdayaan budaya.

Pendekatan integratif dalam menata kehidupan dapat dikaitkan melalui kearifan

lokal, yang terdiri atas pemerintah daerah, sebagai regulator dan fasilitator

melakukan identifikasi dan kegiatan atas bentuk, mekanisme dalam pemecahan

masalah kependudukan, perbaikan pelayanan dan peningkatan kualitas

pendidikan, perbaikan pelayanan masyarakat. Unsur-unsur tersebut perlu

menjadi pertimbangan utama dalam mengkaji kawasan desa wisata, mengingat

pengembangan kepariwisataan secara umum tidak terlepas kaitannya dengan

41

pariwisata sebagai suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan

melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap

masyarakat setempat. Di samping itu, ada berbagai dampak yang tidak

diharapkan muncul dalam desa wisata, seperti memburuknya kesenjangan

pendapatan antara kelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antara

daerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi.

Pentingnya kajian sosiologi terhadap penerapan pemodelan pariwisata semakin

jelas, karena tipe pariwisata yang dikembangkan adalah desa wisata, di mana

desa wisata mempunyai beberapa ciri, seperti; desa wisata melibatkan

masyarakat lokal secara lebih luas dan lebih intensif karena dasarnya adalah

berkaitan dengan kehidupan budaya yang menjadi daya tarik wisata melekat

pada masyarakat itu sendiri. Fiquerola (dalam Pitana, 2005) menyampaikan

pentingnya mengidentifikasi dampak sosial budaya pariwisata yang tercakup

dalam enam kategori, yaitu: 1) dampak terhadap struktur demografi, 2)

dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian, 3) dampak terhadap

transportasi nilai, 4) dampak terhadap gaya hidup tradisional, 5) dampak

terhadap pola konsumsi, dan 6) dampak terhadap pembangunan masyarakat

yang merupakan manfaat budaya pariwisata.

b. Pemberdayaan lingkungan desa wisata.

Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya menyangkut tiga dimensi penting,

yaitu, budaya, lingkungan, dan ekonomi. Budiharsono (2006) mengemukakan

dimensi ekonomi antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan

42

pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi

dan konsumsi ke arah yang seimbang. Adapun dimensi lingkungan di antaranya

mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi pengelolaan

limbah serta konservasi atau preservasi sumber daya alam.

c. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Desa wisata perlu dukungan melalui kelancaran dan efektivitas pemberdayaan

ekonomi kerakyatan, dengan mengembangkan kegiatan usaha dan mata

pencaharian berkelanjutan, melalui: (1) usaha kecil, mikro dan kooperasi yang

memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal dan lestari; (2) dikembangkan

badan usaha milik rakyat yang dapat berdampingan, kemitraan dengan

kooperasi; (3) pengembangan klaster-klaster usaha ekonomi rakyat yang

menampilkan produk-produk unggulan yang bernilai tambah tinggi sebagai

sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat. Dukungan bagi kelancaran dan

efektivitas pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut di atas dapat dikembangkan

secara partisipatif sesuai dengan prioritas masyarakat seperti prasarana fisik

yang memperlancar transportasi dan komunikasi, pelayanan dasar, perluasan

ruang publik pada tingkatan masyarakat yang mendukung berbagai lapisan

masyarakat, pengembangan tenaga kerja, dan lingkungan kerja bagi tenaga kerja

usia muda.

d. Pemberdayaan kelembagaan dan sumber daya manusia.

Pemodelan kelembagaan dan sumber daya manusia pada desa wisata lebih

menekankan kepada: (1) investasi pada modal manusia (human capital), yaitu

43

dalam bidang pendidikan dan kesehatan; (2) peningkatan kapasitas organisasi di

perdesaan selain organisasi pemerintahan desa yang secara bersama-sama

memiliki keinginan untuk mengembangkan desa wisata sebagai upaya

pembangunan yang berkelanjutan; (3) memperluas dan mengintegrasikan

mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi bisa tercapai; (4)

memperbaiki budaya kerja, kerja keras, tanggung jawab, dan hemat; (5)

menghilangkan sifat dan mental negatif, konsumtif yang dapat merusak

produktivitas. Selanjutnya, kebijakan melalui pendidikan lebih diarahkan kepada

peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam bentuk pekerjaan

yang sangat dibutuhkan oleh pasar. Pendidikan pelatihan tidak hanya

memberikan keilmuan; yang lebih penting adalah kesadaran untuk tumbuhnya

sikap menerima, bekerja sama, dan menimbulkan perilaku baru dalam upaya

mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan, dan ketergantungan.

Partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi desa wisata mutlak

dibutuhkan, tetapi dalam kenyataannya terjadi problema yang cukup kompleks mulai

dari perbedaan level dan klasifikasi, pembedaan power di masyarakat, dan sebagainya

(Chutlil, 2001). Pendekatan otokrasi dalam pengambilan keputusan secara perlahan

akan membuka jalan menuju collectivity (Cuthill, 2001), yang akan membangun

kepercayaan dan komitmen. Implementasi prinsip partisipasi dalam manajemen wisata

berbasis masyarakat dan lingkungan membantu konservasi lingkungan oleh masyarakat

setempat.

44

Lynch (2002) menjelaskan bahwa pengembangan pariwisata yang

berkesinambungan akan sukses dan berhasil apabila dimulai dari hal-hal yang bersifat

lokal fisik, berbasis budaya, dan melibatkan partisipan secara inclusive dalam aktivitas

perencanaan, implementasi, dan pengembangan. Pernyataan ini menekankan bahwa

kesuksesan dan keberlanjutan pengembangan destinasi sangat tergantung pada

kesamaan visi dari masyarakat lokal bersama pemerintah setempat dan ditambah

dengan kolaborasi serta partisipasi masyarakat lokal (Cuthill, 2004; Carson dan Gelber,

2001).

Lyons et al. (2001) melihat aspek operasional capacity building melalui

eksplorasi dan hubungan antara partisipasi, pemberdayaan, dan keberlanjutan.

Sementara itu, Jackson (2001) melihat aspek pendekatan strategik kontemporer untuk

mengajak publik dan masyarakat lokal terlibat secara penuh. Pendekatan-pendekatan ini

tepat digunakan pada aktivitas yang berbasis budaya, tradisi, dan lingkungan yang

sepenuhnya membutuhkan partisipasi masyarakat lokal di dalamnya.

2.2.4 Dampak Sosial-Budaya

Sama dengan dampak lingkungan, dampak sosial budaya ditimbulkan oleh

aktivitas kepariwisataan terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Dalam

konteks penelitian ini, dampak sosial budaya mengacu pada kehidupan sosial dan

budaya masyarakat desa yang membuka diri sebagai desa wisata. Dampak sosial budaya

tidak selamanya berarti negatif, tetapi bisa juga sebaliknya. Idealnya, kehadiran

aktivitas wisata di sebuah desa diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan

45

kemampuan masyarakat setempat untuk melestarikan sistem nilai budaya dan

keseniannya. Jika kemampuan untuk melestarikan seni budaya membutuhkan anggaran,

maka hasil ekonomi dari aktivitas wisata diharapkan bisa menjadi sumber daya baru

untuk biaya pelestarian.

Beberapa penelitian telah mengkaji tingkat dukungan masyarakat terhadap

pariwisata, di mana keterkaitan dengan dampak budaya yang dirasakan dari pariwisata

menjadi salah satu topik utama (Andereck et al., 2005; Teye et al., 2002). Berkaitan

dengan pengembangan pariwisata lokal, masyarakat setempat memberikan dukungan

yang kuat terhadap kegiatan pariwisata apabila nantinya dapat memberikan keuntungan

budaya mereka, khususnya tidak menghancurkan struktur dan praktik budaya lokal

yang sudah dijunjung bertahun-tahun (Dyer et al., 2007; Gursoy and Rutherford, 2004).

Pengelolaan desa wisata yang didasarkan pada partisipasi masyarakat desa

setempat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang mencakup

peningkatan efisiensi dan produktivitas dapat meningkatkan pemerataan hasil dan

kesejahteraan mereka. Namun, proses ini harus terintegrasi dan seimbang dalam

mendukung kelestarian budaya dan pemberdayaan masyarakat lokal untuk mewujudkan

keajegan budaya lokal. Hal ini sangat penting karena masyarakat lokal dapat

terpengaruh oleh demonstration effect, yaitu perubahan gaya hidup, di mana masyarakat

lokal berusaha mengikuti gaya hidup para wisatawan yang dalam banyak segi sangat

berbeda dengan kearifan dan budaya lokal (Fisher, 2004). Seperti dikatakan Hitchcock

(1997), dalam era global sekarang ini. perubahan sosial budaya tidak bisa dikenakan

46

pada aktivitas pariwisata saja karena banyak aspek kehidupan sudah bisa menelusup ke

desa, yang bisa memberikan dampak sosial budaya seperti halnya aktivitas pariwisata.

2.2.5 Dampak Lingkungan

Yang dimaksud dengan dampak lingkungan dalam penelitian ini adalah akibat

yang ditimbulkan oleh kegiatan wisata terhadap lingkungan, khususnya lingkungan

alam. Kehadiran wisatawan ke suatu desa, apalagi dalam jumlah banyak dan

menggunakan alat trasportasi besar, sementara fasilitas jalan atau akses fisik lainnya

tidak memadai, maka dampak lingkungan yang ditimbulkan akan terjadi seketika.

Demikian pula, jika fasilitas terbatas, dampak lingkungan juga terjadi dalam waktu

sangat cepat. Ketiadaan tempat parkir di sebuah desa wisata, misalnya, akan membuat

jalan-jalan desa yang umumnya sempit menjadi terancam rusak bila digunakan untuk

parkir bagi kendaraan yang mengakut wisatawan. Dampak lingkungan akibat aktivitas

wisata di perdesaan jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan, misalnya akumulasi

sampah yang meningkat akibat tiadanya pengolaan yang memadai.

Kawasan desa wisata harus sudah mengantisipasi secara terpadu kemungkinan

terjadinya dampak lingkungan hidup dan sumber daya alam sejak dini. Antisipasi harus

dilakukan sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan, sehingga upaya untuk

mencegah dan mengurangi serta mengendalikan dampak lingkungan hidup dan sumber

daya alam sebagai bagian dari pengembangan desa wisata dapat dilakukan. Nelson

(2004) dalam riset di Tanzania menemukan bahwa peran pemerintah dalam aspek

hukum dapat mencegah konflik antara pemerintah sebagai pihak yang mengatur

penggunaan lahan dan lingkungan dengan masyarakat setempat. Nelson (2004)

47

menyimpulkannya ini dalam evolusi community-based ecotourism di Northern

Tanzania. Program ini sangat berdampak signifikan dalam konteks regional dan

nasional, yang mencakup; 1). Pengurangan tingkat kemiskinan melalui diversifikasi

ekonomi perdesaan, dan 2). Konservasi biodiversity dilakukan mencakup manajemen

sumber alam dan lingkungan setempat yang handal.

Dalam keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 299

Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek dalam Penyusunan Amdal, terdapat

tiga pertanyaan yang disebut dapat membantu menganalisis dampak yang dirasakan

oleh masyarakat lokal, yang menyangkut :

1) Rencana usaha atau kegiatan yang akan menimbulkan perubahan mendasar pada

struktur penduduk (kepadatan dan komposisi penduduk), dan proses penduduk

(pertumbuhan dan mobilitas penduduk),

2) Rencana usaha atau kegiatan yang akan menimbulkan perubahan mendasar

terhadap pola pemilikan dan penguasaan sumber daya alam, pola mata

pencaharian penduduk, atau pendapatan/pengeluaran rumah tangga, dan

3) Rencana usaha atau kegiatan yang akan menimbulkan perubahan mendasar

terhadap tatanan norma dan nilai masyarakat setempat, pranata-pranata (lembaga-

lembaga kemasyarakatan) yang berkaitan dengan kekerabatan (kohesi), kegiatan

ekonomi, dan pemilikan sumber daya alam.

Tiga pertanyaan tersebut diadopsi dengan modifikasi oleh penelitian ini dan digunakan

dalam pedoman pertanyaan wawancara (Lampiran 1).

48

2.2.6 Dampak Ekonomi

Para ahli berpendapat bahwa pariwisata merupakan salah satu sumber daya

ekonomi yang dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan.

Aktivitas wisata tidak saja membuka peluang bagi warga desa yang dikunjungi untuk

menawarkan jasa wisata yang bisa ditukar dengan uang, tetapi juga menjadi lokomotif

ekonomi desa. Makin banyak orang datang kerkunjung ke suatu desa, makin bertambah

barang yang dibutuhkan baik untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun untuk

kebutuhan konsumsi.

Thapa (2010) dalam riset di Nepal Village Resort menjelaskan bahwa village

tourism (wisata perdesaan) dapat memberikan dampak ekonomi yang positif. Hal ini

disebabkan karena turis yang tinggal di desa merasa menjadi bagian dari keluarga yang

ditempati dan bagian dari masyarakat setempat, di mana mereka mempelajari tradisi dan

menikmati atau mengalami kehidupan desa, terlibat dengan masyarakat lokal dan

memasak, serta mengkonsumsi makanan masyarakat lokal. Baral et al., (2008) pada

Sirubari Village Tourism Nepal juga menemukan bahwa wisatawan bersedia membayar

dua kali lipat lebih mahal pada desa wisata karena desa tersebut sangat menjaga dan

melindungi keaslian alam lingkungannya serta memberi pelayanan yang optimal. Jadi,

desa wisata dengan lingkungan dan pelayanan yang lebih baik akan memperoleh

dampak positif bagi ekonomi masyarakat lokal. Hal ini juga didukung oleh Putra dan

Pitana (2010) dalam penelitiannya terhadap desa wisata Candirejo di Jawa Tengah dan

beberapa desa wisata lainnya di Bali sebagai salah satu jalan untuk mengentaskan

kemiskinan.

49

Peningkatan pendapatan yang diperoleh dari wisatawan domestik dan

mancanegara yang mengunjungi desa wisata akan memberikan dampak positif secara

ekonomi bagi masyarakat lokal. Hal ini dapat dilihat dalam perubahan fisik rumah

ataupun tempat tinggal warga setempat (Hussey, 1989). Rumah penduduk yang dulunya

dibagun dari bahan yang berkualitas rendah, gedeg, dan kayu cepat rapuh, tetapi setelah

adanya desa wisata mereka bisa membangun dari kualitas bahan yang lebih baik dengan

kamar mandi tersendiri yang bersih dan memenuhi persyaratan, higienis. Dulu lantai

dari tanah/semen, tetapi sekarang sudah memiliki lantai ruangan dari keramik dan

bahkan kamar mandi langsung di dalam kamar sebagaimana biasa digunakan oleh

wisatawan. Taraf hidup masyarakat desa pun akan meningkat seiring dengan

bertambahnya pendapatan mereka. Hal ini dapat dilihat dari kualitas makanan yang

dikonsumsi yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas kesehatan masyarakat.

2.3. Kerangka Teori

Ada tiga teori utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori partisipasi

masyarakat, teori pariwisata keberlanjutan, dan teori stakeholder. Ketiga teori ini akan

dijadikan referensi dalam mengkaji keterlibatan masyarakat, dan pemangku

kepentingan dalam pariwisata sehingga menjamin keberlangsungan pariwisata pada

desa wisata yang menjadi objek penelitian.

2.3.1 Teori Partisipasi

Kata ‘partisipasi’ berasal dari akar kata berbahasa Inggris yaitu to participate

yang berarti ikut serta atau mengambil bagian. Menurut Tosun (1999: 494), partisipasi

memungkinkan masyarakat orang-orang atau penduduk melakukan berbagai kegiatan

50

pada tingkatan yang berbeda-beda, baik lokal, regional, maupun nasional. Partisipasi

yang dilakukan dapat berbeda-beda pula, baik partisipasi karena paksaan (manipulative

participation), dengan kekuasaan dan ancaman (coersive participation), karena adanya

dorongan (induced participation), partisipasi yang bersifat pasif (passive participation),

maupun partisipasi secara spontan (spontaneous participation).

Pretty (1995) menggambarkan partisipasi masyarakat pada tujuh tingkatan,

dimulai dari partisipasi manipulatif (manipulative participation), passive participation,

functional participation, interactive participation sampai pada mobilisasi mandiri (self

mobilization). Setiap tingkatan memungkinkan untuk membedakan tingkat keterlibatan

eksternal dan kontrol lokal, serta merefleksikan hubungan kekuasaan di antara mereka.

Model partisipasi masyarakat dari Pretty (1995) itu dijabarkan pada Tabel 2.1. berikut.

Menurut Arnstein (1971), partisipasi penduduk adalah redistribusi kekuasaan

yang memungkinkan penduduk yang tidak mampu secara perlahan dan penuh kehati-

hatian dapat berpartisipasi secara berkesinambungan. Hal ini berarti bahwa mereka

mendorong adanya perubahan yang memungkinkan mereka ikut menikmati keuntungan

dalam masyarakat yang kaya. Dalam definisi partisipasi ini, satu hal yang sangat

penting adalah tingkat distribusi kekuasaan. Pendekatan yang dilakukan oleh Arnstein

dalam pembahasan partisipasi ini didasarkan atas tipologi penduduk yang terdiri atas

delapan tingkatan, yang kemudian dibagi menjadi tiga kategori. Tingkatan partisipasi

paling rendah adalah partisipasi manipulatif, sedangkan tingkatan partisipasi yang

paling tinggi menunjukkan tingkat kekuasaan masyarakat (degrees of citizen’s power).

51

Partisipasi pada kategori menengah menunjukkan tingkatan aktivitas penduduk (degrees

of citizen’s tokenism).

Tabel 2.1.

Typology of Community Participation

Participation ladder: a meter for the quality of engagement

Typology Components of Each Type

Self- mobilization People participate by taking initiatives independent of external

institutions to change systems.

Interactive

participation

People participate in joint analysis, which leads to action plans

and the formation of new local groups or the strengthening of

existing ones.

Functional

participation

People participate by forming groups to meet predetermined

objectives related to the project, which can involve the

development or promotion of externally initiated social

organization.

Participation for

material

incentives

People participate by providing resources, for example labor,

in return for food, cash or other material incentives.

Participation

by consultation

People participate by being consulted, and external agents

listen to views. These external agents define both problems and

solutions, and may modify these in the light of people's

responses.

Participation in

information-

giving

People participate by answering questions posed by extractive

researchers and project managers using questionnaire surveys

or similar approaches.

Passive

participation

People participate by being told what is going to happen or

what has already happened. It is unilateral announcement by

an administration or by project management; people's

responses are not taken into account. The information being

shared belongs only to external professionals.

Sumber: Pretty (1995).

52

Tosun (1999) mengembangkan suatu tipologi partisipasi masyarakat dalam

pariwisata dengan mengklasifikasikan tipe-tipe partisipasi masyarakat ke dalam tiga

bagian utama, yang masing-masing memiliki sub-bagian. Ketiga bagian utama tersebut

adalah partisipasi masyarakat secara spontan (spontaneous participation), partisipasi

masyarakat karena adanya kekerasan (coersive participation), dan partisipasi

masyarakat karena masyarakat terdorong untuk melakukannya (induced participation).

Partisipasi secara spontan menurut model Tosun (1999) adalah sama dengan

tingkatan kekuasaan penduduk pada model Arnstein (1971), serta mobilisasi mandiri

dan partisipasi interaktif pada model Pretty (1995). Partisipasi spontan (spontaneous

participation) ini merepresentasikan suatu alat yang sangat ideal, yang menyediakan

tanggung-jawab manajerial dan kekuasaan pada masyarakat. Partisipasi dalam bidang

pariwisata karena dorongan sebagaimana yang ditunjukkan pada model Tosun (1999),

sama dengan tingkatan aktivitas masyarakat pada model Arnstein (1971) dan sama

dengan partisipasi fungsional dan partisipasi dengan insentif material dan partisipasi

melalui konsultasi pada model Pretty (1995).

Pada tipe yang paling ideal, yakni partisipasi karena masyarakat terdorong untuk

melakukannya (induced participation), masyarakat lokal mempunyai kesempatan untuk

mendengar dan didengarkan suaranya. Mereka memiliki suara dalam proses

pembangunan pariwisata, tetapi pandangan-pandangan mereka belum tentu

diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan lain yang memiliki kepentingan seperti

kekuatan yang berasal dari pemerintah, perusahaan besar, tour operator internasional,

dan kekuatan besar lainnya. Tipe partisipasi ini kebanyakan ditemukan di negara-negara

53

yang sedang berkembang, di mana masyarakat lokal hanya mendukung keputusan

mengenai pembangunan pariwisata yang dibuat untuk mereka, bukannya oleh mereka.

Partisipasi jenis ini bersifat top-down, pasif, dan tidak langsung. Masyarakat lokal

berpartisipasi dalam implementasi dan mendapatkan keuntungan dari pariwisata, tetapi

tidak ikut dalam proses pembuatan keputusan.

Partisipasi koersif (coersive participation) merupakan bentuk partisipasi yang

dimanipulasi dan diakali sebagai pengganti partisipasi yang nyata. Partisipasi ini

menunjukkan bagian paling bawah dari tangga Arnstein (1971), yaitu manipulasi dan

terapi, dan juga partisipasi pasif dan manipulatif pada model Pretty (1995). Dalam tipe

ini, meskipun pembangunan pariwisata kelihatannya menempatkan masyarakat sebagai

prioritas, tetapi sesungguhnya lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan

keinginan para pengambil keputusan, pengusaha, dan wisatawan. Secara detail, model

partisipasi Tosun (2006) digambarkan dalam Tabel 2.2 di bawah ini.

Dalam penelitian ini, teori ini digunakan untuk menganalisis tingkat partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan desa wisata di Desa Wisata Bedulu, Gianyar dan Desa

Wisata Pentingsari, Yogyakarta. Penelitian ini mengadopsi tiga tingkat (level)

partisipasi yang dijabarkan oleh Tosun (1999), yaitu spontaneous, induced, dan coersive

participation. Materi yang dianalisis dalam bagian ini diambil dari wawancara yang

pedoman pertanyaannya bisa dilihat pada Lampiran 3.

54

Tabel 2.2

Normative Typologies of Community Participation

Level 1 7. Self-mobilization

6.Interactive

Participation

8. Citizen Control

7. Delegated power

6. Partnership

Spontaneous participation:

bottom up; active and direct

participation, participation

in decision making, authentic

participation, self planning

Level 2 5.Functional

participation

4. Participation for

material incentives

3. Participation by

consultation

5. Placation

4. Consultation

3. Informing

Induced participation: top

down, passive, formal, mostly

indirect, degree of tokenism,

manipulation, pseudo

participation, participation

in implementation, sharing

benefit, device between

proposed alternatives and

feedback Level 3

2. Passive

participation

1. Manipulative

participation

2. Therapy

1. Manipulation

Coercive participation: top

down, passive, mostly

indirect, formal,

participation in

implementation but not

necessarily sharing benefits,

choice between proposed

limited alternatives or no

choice, paternalism, non

participation, high degree of

tokenism and manipulation.

Level 4 Non Participation

Sumber : Tosun (2006).

2.3.2 Teori Pariwisata Berkelanjutan

Perdebatan mengenai keberlanjutan (sustainability) telah berlangsung cukup

lama, diawali dengan kesadaran akan siklus pembangunan ekologi yang mula-mula

sukses dan kemudian diikuti oleh krisis yang tidak diharapkan. Kondisi yang kontras ini

melahirkan gagasan untuk menjamin agar pembangunan yang sukses bisa terus

Pretty’s (1995) typology

of community

participation

Arnstein’s (1971)

typology of community

participation

Tosun’s (1999) typology

of community

participation

55

dipertahankan, dan krisis bisa dicegah sejak awal atau jika terjadi bisa dipecahkan agar

manfaat pembangunan tetap bisa dipertahankan. Salah satu pendekatan yang multilevel

dan multidimensional mengenai sustainability dikembangkan oleh Cavagnaro dan

Curiel (2012) yang menggabungkan konsep-konsep relevan seperti Corporate Social

Responsibility (CSR), personal leadership, dan sustainable development.

Penjelasan teori yang digambarkan oleh sebuah kerangka berpikir yang disebut

sebagai The Three Levels of Sustainability (TLS) terlihat pada Gambar 2.1 berikut.

Cavagnaro dan Curiel (2012)

Gambar 2.1

The Three Levels of Sustainability (TLS)

Segitiga terluar dari TLS menggambarkan tiga dimensi sustainability pada level

sosial masyarakat (sustainable society) yaitu, pertumbuhan ekonomi yang bertanggung

jawab, kemajuan yang adil. dan perlindungan lingkungan yang efektif.

Leadership

for Sustainability

Care for me

Care for me&you Care for all

Sustainable Organization

Planet People

Sustainable Society

Environmental Value Sosial Value

Profit

Economic Value

56

Segitiga di bagian tengah dari TLS menggambarkan tiga dimensi berikutnya pada

tingkat organisasi (sustainable organization), yang diadopsi menggunakan pendekatan

Triple Bottom Line milik Elkington (1997) yaitu: people, planet, dan profit. People

merujuk pada dampak operasional sebuah organisasi terhadap meningkatkan kualitas

Stakeholder. Planet merujuk pada peningkatan kelestarian lingkungan yang dihasilkan

oleh aktivitas organisasi tersebut. Profit merujuk pada dampak finansial ataupun

peningkatan nilai ekonomi sebagai akibat beroperasinya sebuah organisasi atau

institusi.

Segitiga terdalam dari TLS menggambarkan tiga dimensi berikutnya pada level

individu atau pribadi yaitu: care for me, care for you, dan care for all. Cavagnaro dan

Curiel (2012) berpendapat bahwa segitiga terdalam adalah yang terpenting karena inilah

sumber dari kesadaran, kepemimpinan, dan aktivitas yang mendukung terciptanya

sustainability pada tingkat (level) organisasi dan masyarakat. Care for me memasukkan

nilai-nilai dalam kehidupan seseorang. Care for me and you memasukkan nilai-nilai

dalam hubungan interaksi antarindividu. Selanjutnya, care for all memasukkan nilai-

nilai dalam hubungan interaksi dengan semua mahluk hidup dan lingkungan.

Shkira et al. (2011) menemukan model pengembangan pariwisata berkelanjutan

melalui partisipasi masyarakat. Model ini penting untuk pengambilan keputusan baik

dalam pembangunan, implementasi rencana kerja maupun strategik. Terminologi

pariwisata berkelanjutan digunakan dalam industri pariwisata, lingkungan, dan

pengembangan sumber daya masyarakat untuk pariwisata. Karakteristik pengembangan

pariwisata berkelanjutan diciptakan oleh masyarakat, memberi keuntungan kepada

57

masyarakat, konservasi sumber daya dan lingkungan, manajemen pariwisata

berkelanjutan, pembelajaran, dan upaya memfasilitasi kepuasan wisatawan (Shkira,

2011).

Mann (2000) mendefinisikan pariwisata berbasis masyarakat (CBT) sebagai

wisata yang dimiliki dan dijalankan sepenuhnya atau sebagian oleh masyarakat lokal,

dengan kemungkinan untuk melibatkan mitra non-masyarakat seperti lembaga swadaya

masyarakat (LSM) atau tour operator komersial,

France (1997) mendefinisikan CBT sebagai jenis wisata yang dijalankan oleh

dan untuk masyarakat setempat, dan melibatkan berbagai skala operasi, berbagai paket

wisata masal dengan pelatih yang terorganisir. Warisan budaya juga menjadi salah satu

atraksi yang paling penting dari pariwisata berbasis masyarakat, yang juga cenderung

lebih bersifat sosial berkelanjutan karena kegiatan pariwisata dikembangkan dan

dioperasikan oleh anggota masyarakat setempat.

Model integrasi masyarakat dalam pemasaran dan perencanaan serta

pengembangan pariwisata berkelanjutan diformulasikan oleh Shkira et al. (2000),

sebagaimana dijelaskan pada Gambar 2.2 berikut ini.

58

Sumber: Shkira et al. (2011).

Gambar 2.2

A Model for integrating Community into Marketing and Planning to Develop

Sustainable Tourism

Local Base Factor

Attraction Tourist Product Local Governance Local Operator

Government, Stakeholder Tourist

Identify Community

Stakeholder

Development of Marketing

Objective

Target market identification

and selection

Community & Tourism

Development Objective

Community & Tourism

Resources Audit

Development of Tourism

Product & Marketing Mix

On Going Stakeholder

Involvement

Monitor and Review Tourism Development Strategy

Implementation of Tourism

Marketing

To Participate

To Oversee

59

Kerangka kerja ini terdiri atas proses perencanaan paralel. Proses pertama

(kolom kanan) meliputi tahapan yang umumnya terkait dengan pengembangan strategi

pemasaran, yang terdiri atas identifikasi target pasar, membangun pasar, produk, bauran

pemasaran hingga implementasi. Proses kedua (kolom kiri) mengidentifikasi berbagai

pertimbangan masyarakat yang sesuai dengan masing-masing tahap pengembangan

pemasaran. Kolom kiri meliputi aktivitas identifikasi masyarakat dan pemangku

kepentingan, tujuan pengembangan pariwisata, audit masyarakat dan sumber daya

pariwisata, dan keterlibatan masyarakat serta pemangku kepentingan dalam aktivitas

pariwisata. Elemen kunci dari model ini menjadi tujuan dan orientasi masyarakat yang

digunakan untuk memandu seluruh proses strategi pemasaran menuju pariwisata

berkelanjutan.

Model ini memberikan langkah logis dalam pencapaian tujuan pemasaran dan

segmen pasar yang menjadi target utama. Model ini juga menguraikan komponen yang

diperlukan dalam perencanaan partisipatif dan strategi pemasaran yang harus dilakukan,

walaupun dalam pelaksanaannya mendapat banyak tantangan.

2.3.3 Konsep Stakeholder

Konsep stakeholder bermula dari teori manajemen atau organisasi yang

memberikan perhatian kepada pihak yang berkepentingan dengan dunia usaha lebih dari

sekedar satu pihak. Pada awalnya, dunia manajemen hanya memberikan perhatian dan

penghargaan kepada shareholder, yaitu pemegang saham sebuah usaha, sedangkan

pihak lain seperti karyawan dan masyarakat kurang mendapat perhatian dalam

60

keberhasilan sebuah usaha. Tugas pengelola usaha dianggap hanya satu yaitu

memuaskan shareholder, bukan yang lain. Belakangan terjadi perubahan paradigma

berpikir yang dilandasi oleh sudut pandang yang lebih komprehensif, di mana

dinyatakan bahwa selain shareholder, nasib sebuah usaha juga ditentukan oleh pihak

lain seperti pelanggan, karyawan, masyarakat, pemerintah, dan lain-lain. Paradigma

yang komprehensif inilah yang melahirkan konsep stakeholder, pengampu kepentingan.

Freeman (1984: 94) mendefinisikan stakeholder (pemangku kepentingan)

sebagai sebuah kelompok atau individu yang memiliki minat dan terlibat dalam

operasional suatu organisasi dan kemampuan untuk mempengaruhi organisasi itu. Teori

stakeholder berangsur-angsur mulai diterima oleh para peneliti pariwisata sebagai

sarana untuk menjelaskan dimensi keberlanjutan dari suatu organisasi. Hardy dan

Beeton (2001) menerapkan teori stakeholder untuk menentukan keberlanjutan

pengembangan pariwisata di Queensland, Australia, dari perspektif pariwisata. Studi ini

menyoroti pentingnya peran pemahaman dan persepsi stakeholder dalam menciptakan

keberlanjutan bisnis pariwisata. Pforr (2006) meneliti peran stakeholder dalam

pembuatan kebijakan di Northern Territory, Australia. Secara khusus, ia mengamati

faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan stakeholder. Pforr (2006) menyatakan

bahwa pemahaman terhadap karakteristik stakeholder dan jaringan stakeholder yang

terlibat dalam sebuah area sangat penting dalam konteks tata kelola pariwisata.

Pembangunan pariwisata umumnya dianggap sebagai proses improvisasi yang

melibatkan dinamika para stakeholder dan pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan

pembangunan (Miller dan Twining-Ward, 2005). Dalam beberapa kasus, para

61

pemangku kepentingan yang sama, seperti lembaga otonom yang disponsori oleh

pemerintah, dapat terlibat sekaligus dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan

pariwisata. Dalam kasus lain, stakeholder hanya mungkin bertanggung jawab untuk

merumuskan kebijakan seperti instansi pemerintah, dan yang lain hanya dalam

pelaksanaan kebijakan seperti organisasi pemasaran destinasi yaitu Destination

Management Organization (DMO) (Miller dan Twining-Ward, 2005; Timur dan Getz,

2008). Dalam semua kasus tersebut, proses pengembangan pariwisata meliputi

identifikasi stakeholder (Freeman 2010; Parmar et al., 2010), merancang dan mengelola

kegiatan pariwisata yang terkait (Araujo dan Bramwell, 1999, Robson, 1996) dan

memastikan terlaksananya secara efektif di seluruh jaringan pariwisata (Mackellar,

2006, Scott et al., 2008; Baggio dan Cooper, 2008).

Timur dan Getz (2008: 446) menyatakan bahwa menggabungkan teori

stakeholder dan teori jaringan (network theory) dapat memberikan landasan yang

berguna untuk mengidentifikasi siapa saja stakeholder yang berperan penting dalam

pengembangan daerah tujuan wisata dan juga untuk mengidentifikasi pihak yang harus

memimpin dalam pembentukan jaringan stakeholder pariwisata.

Menurut Timur dan Getz (2008), stakeholder menjadi lebih kuat perannya saat

mereka memiliki lebih banyak atribut. Hal ini disebabkan karena atribut dikaitkan

dengan peran fungsional mereka dalam jaringan pariwisata dan hubungan mereka

dengan stakeholder dari industri lain yang sangat terkait dengan atau mendukung

keberlangsungan industri pariwisata.

62

Granovetter (2005) mendefinisikan ‘atribut’ sebagai afiliasi antara para stake-

holder dan hubungan dengan pihak ketiga yang terdiri atas ikatan yang bersifat formal

atau kuat, dan ikatan non-formal atau lemah. Melalui afiliasi ini, perspektif objektif dan

subjektif dari stakeholder menciptakan struktur hubungan di dalam jaringan. Kekuasaan

dan pengetahuan yang dimiliki oleh para stakeholder dapat sangat mempengaruhi

dinamika afiliasi di dalam jaringan kebijakan pariwisata (Mitchell et al., 1997 ; Clarke

et al., 2009). Oleh karena itu, stakeholder, baik secara individu maupun kolektif, dapat

menjalankan kekuasaan dan legitimasi mereka untuk mendorong perumusan kebijakan

dan implementasi dari kebijakan tersebut.

Penciptaan jaringan stakeholder (stakeholder network) tidak selalu menjamin

pengembangan pariwisata yang efektif, karena seringkali tidak semua anggota

berpartisipasi secara aktif. Ladkin dan Bertramini (2002: 74) menjelaskan bahwa

ketegangan hubungan (tension) dapat terjadi di antara para stakeholder dalam jaringan

pariwisata. Ini dapat disebabkan oleh ketidaksepakatan dalam implementasi kebijakan

dan siapa yang bertanggung jawab atas implikasi dari kebijakan tersebut.

Ketidakpercayaan dan kesalahpahaman di antara para stakeholder juga dapat

terjadi karena adanya tradisi otoritas terpusat yang telah lama berurat berakar, pelaporan

keuangan yang kurang transparan, kurangnya konsensus mengenai standar operasional

prosedur, kemampuan otoritas perencanaan pariwisata yang terbatas, kurangnya

komitmen dari sejumlah stakeholder, dan tidak adanya perencanaan strategis jangka

panjang (Ladkin dan Bertramini, 2002; Wesley dan Pforr, 2010). Coleman (1988)

63

menjelaskan bahwa struktur jaringan yang dibuat untuk tujuan tertentu mungkin gagal,

jika ada satu atau sejumlah stakeholder memboikotnya.

Teori stakeholder sangat esensial dalam analisis kondisi dan perkembangan desa

wisata. Kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan sebuah desa wisata ditentukan

oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,

biro perjalanan yang mengajak wisatawan berlibur ke desa wisata, dan tentu saja

wisatawan itu sendiri.

2.3.4 Kerangka Model Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka di atas, maka peninjauan aspek penelitian

mencakup beberapa hal. Dalam kerangka model penelitian, dijabarkan bahwa

stakeholder yang terlibat dalam desa wisata meliputi NGO lokal dan internasional,

investor dan pebisnis pariwisata, wisatawan domestik, pemerintah pusat dan lokal, serta

masyarakat lokal. Penggalian penelitian Desa Wisata Bedulu dan Pentingsari

memfokuskan pada aspek keterlibatan masyarakat lokal. Peran serta dan partisipasi

masyarakat lokal dalam berbagai aktivitas desa wisata memberi dampak pada sosial

budaya, lingkungan, dan ekonomi.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan desa wisata juga diteliti

berdasarkan pendekatan teori partisipasi, teori pariwisata berkelanjutan, dan teori

stakeholder. Gambar 2.3 menjelaskan model kerangka penelitian Desa Wisata Bedulu

dan Pentingsari.

64

NGO Lokal dan

Internasional

Pemerintah Pusat dan

Lokal

Masyarakat Lokal

Investor dan Pebisnis

Pariwisata

Wisatawan Domestik,

Mancanegara

Desa Wisata

1. Bedulu 2. Pentingsari

Ukuran Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan

Desa Wisata terhadap Ekonomi, Sosial Budaya dan

Lingkungan, (Studi Desa Wisata Bedulu dan

Pentingsari)

Perbandingan dampak

partisipasi masyarakat

pada pengelolaan Desa

Wisata Bedulu dan

Pentingsari

Tingkat partisipasi

masyarakat dan

dampaknya bagi

masyarakat Desa Wisata

Bedulu

Tingkat partisipasi

masyarakat dan

dampaknya bagi

masyarakat Desa Wisata

Pentingsari

Konsep DesaWisata

Konsep Pariwisata Pro Rakyat

Konsep Community Based Tourism

Participation Theory

Sustainability Theory

Stakeholder Theory

Temuan Penelitian

Rekomendasi

Model Partisipasi Masyarakat

Gambar 2.3

Kerangka Model Penelitian

Kerangka Model Penelitian pada Gambar 2.3 di atas menunjukkan

pentingnya beberapa pemangku kepentingan di dalam pengembangan desa wisata.

Pemangku kepentingan yang dimaksudkan adalah investor untuk menanamkan

modalnya, wisatawan untuk datang menikmati alam, masyarakat lokal yang

menyediakan jasa, NGO lokal yang ikut mengontrol dan mendorong akselerasi

pembangunan desa wisata, dan peran pemerintah sendiri dalam memberikan bantuan

dan memfasiltiasi pengembangan desa wisata.

Berjalan dan berkembanganya desa wisata membawa dampak yang positif

dan negatif terhadap ekologi dan lingkungannya. Dalam perjalanannya, dampak

tersebut juga dapat berupa, dampak terhadap sosial budaya, dan dampak ekonomi

yang ada. Khususnya sosial budaya akan mempunyai dampak yang positif seperti

yang diinginkan oleh pemerintah dalam menciptakan kawasan lingkungan dan

daerah wisata yang berkelanjutan.

Temuan penelitian ini adalah dua model partisipasi masyarakat desa wisata

di Indonesia yang memiliki konsep produk dan pelayanan serupa. Kedua model ini

dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan desa wisata yang berbasis masyarakat.

Model pengelolaan ini selanjutnya dapat direkomendasikan kepada pemerintah dan

stakeholder dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Dengan

mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi yang

ditimbulkannya, maka model ini sangat penting untuk mengukur bentuk peran serta

dan kontribusi masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

64