BAB I PENDAHULUAN -...

12
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah kepulauan nusantara terdiri dari berbagai wilayah yang memiliki keanekaragaman dan perbedaan secara geografis, hidrologis, geologis, dan demografis. Indonesia terletak diantara dua benua yakni Australia dan Asia serta diapit oleh dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Secara geografis letak Indonesia berada pada pertemuan antara dua lempeng benua yang sifatnya dinamis. Lempeng benua tersebut sewaktu waktu dapat bergeser akibat gerakan tektonik. Pergeseran lempeng yang merupakan tenaga endogen tersebut berpotensi menimbulkan berbagai peristiwa alam seperti gempa ataupun gunung meletus. Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam maupun faktor nonalam maupun faktor manusia yang menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian materil, serta dampak psikologis. Namun hanya sedikit perhatian diberikan kepada perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) yang juga perlu disediakan dalam situasi khusus ini. Bencana alam akibat perbuatan manusia disebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang dapat disebut sebagai salah satu faktor kunci penyebab bencana. 1 Manusia sebagai makluk sosial cenderung kurang bijaksana menyikapi dan menyiasati eksistensi alam sebagai habitatnya yang penuh dengan potensi sumber dayanya serta berpeluang menimbulkan bencana alam akibat kecerobohan dan kelalaian manusia dalam memanfaatkan kemajuan teknologi canggih untuk mengekplorasi sumber daya alam. 1 Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarif, Pengelolaan Bencana Terpadu (Jakarta: Yarsif Watampoe. Agustus 2006), hal. 4.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah kepulauan

nusantara terdiri dari berbagai wilayah yang memiliki keanekaragaman dan perbedaan secara

geografis, hidrologis, geologis, dan demografis. Indonesia terletak diantara dua benua yakni

Australia dan Asia serta diapit oleh dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera

Pasifik. Secara geografis letak Indonesia berada pada pertemuan antara dua lempeng benua

yang sifatnya dinamis. Lempeng benua tersebut sewaktu waktu dapat bergeser akibat gerakan

tektonik. Pergeseran lempeng yang merupakan tenaga endogen tersebut berpotensi

menimbulkan berbagai peristiwa alam seperti gempa ataupun gunung meletus.

Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam

maupun faktor nonalam maupun faktor manusia yang menimbulkan korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian materil, serta dampak psikologis. Namun hanya sedikit

perhatian diberikan kepada perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) yang juga perlu

disediakan dalam situasi khusus ini.

Bencana alam akibat perbuatan manusia disebabkan terjadinya degradasi lingkungan

yang dapat disebut sebagai salah satu faktor kunci penyebab bencana.1 Manusia sebagai

makluk sosial cenderung kurang bijaksana menyikapi dan menyiasati eksistensi alam sebagai

habitatnya yang penuh dengan potensi sumber dayanya serta berpeluang menimbulkan

bencana alam akibat kecerobohan dan kelalaian manusia dalam memanfaatkan kemajuan

teknologi canggih untuk mengekplorasi sumber daya alam.

1 Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarif, Pengelolaan Bencana Terpadu (Jakarta: Yarsif Watampoe. Agustus

2006), hal. 4.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

Akibatnya, Indonesia sering dilanda gempa bumi yang mengakibatkan korban jiwa,

dan kerusakan. Letak geografis dan kondisi geologis menyebabkan Indonesia menjadi salah

satu negara yang sangat berpotensi sekaligus rawan bencana,2 seperti gempa bumi, tsunami,

banjir, tanah longsor, badai, dan letusan gunung berapi. Bencana-bencana tersebut diatas

disebabkan oleh posisi Indonesia yang terletak pada daerah pertemuan tiga lempeng besar

yang aktif yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Eurasia.3 Pemerintah

harus melindungi setiap warga Negara sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Salah satu

cara pemerintah melindungi korban gempa adalah dengan pemberlakuan UU No. 24 Tahun

2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB).

Gempa bumi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh kepulauan Indonesia yang

terletak di wilayah cicin api pasifik atau lingkaran api pasifik (ring of fire), yakni daerah yang

sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan

samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti kapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang

40.000 km dan sering di sebut sebagai serbuk gempa bumi.4

Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini di Indonesia terdapat peristiwa bencana yang

terjadi setiap tahun. Pasca meletusnya Gunung Krakatau yang menimbulkan tsunami besar di

tahun 1883, setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia selama hampir

satu abad (1900-1996).5

Tsunami, badai, dan gempa bumi yang menghantam sebagian negara di Benua Asia

dan Amerika pada 2004/2005 telah menyoroti perlunya perhatian serius terhadap tantangan-

tantangan HAM yang berlipat ganda yang mungkin dihadapi orang-orang yang terkena

dampak bencana-bencana semacam itu. Seringkali HAM mereka kurang diperhatikan.

2 Pusat Data dan Analisa, Indonesia Rawan Bencana, Jakarta: Tempo, 2006, hal.1. 3 Sukandarrumidi, Bencana Alam dan Bencana Anthropogene, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hal.31. 4 Masalah Bencana Alam (On-Line), tersedia di http://www.antara.co.id/masalahbencanaalam,

(25 Juni 2008).

5 M. Hajianto, Analisa Teoritis Gempa Bumi, Belajar Dari Bencana Aceh, Pontianak, 2005, hal.5.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

Masalah-masalah yang sering dihadapi orang-orang yang terkena dampak-dampak bencana-

bencana alam diantaranya adalah akses yang tidak setara terhadap bantuan; diskriminasi

dalam pemberian bantuan; relokasi yang dipaksakan; pemulangan atau pemukiman kembali

yang tidak aman atau dipaksakan; dan hal-hal yang berkaitan dengan ganti rugi properti.

Populasi yang terkena dampak seringkali dipaksa meninggalkan rumah rumah atau tempat

tinggal akibat hancurnya rumah dan pernaungan mereka karena letusan gunung berapi,

tsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung. Dengan

demikian sejumlah besar korban juga terpaksa mengungsi akibat bencana-bencana semacam

ini atau akibat munculnya rasa khawatir terhadap kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi

lagi di masa depan.

Pola-pola diskriminasi dan pelecehan terhadap hak ekonomi, sosial, dan kultural

mungkin sudah terjadi selama tahap tanggap darurat di situasi bencana alam, risiko terjadinya

pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM akan semakin besar seiring dengan semakin

lamanya situasi pengungsian berlangsung. Biasanya situasi-situasi yang mempengaruhi

HAM orang-orang yang terkena dampak bencana-bencana alam tidak dirancang dan

diterapkan dengan sengaja, tetapi merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang kurang tepat

atau hasil dari kelalaian semata-mata.

Kerentanan para korban seringkali terjadi akibat perencanaan dan kesiagaan

menanggapi bencana yang kurang memadai. Seperti dikatakan Sekretaris Jenderal PBB,

“Risiko dan potensi terjadinya bencana yang berkaitan dengan bahaya-bahaya alam sebagian

besar ditentukan oleh tingkat kerentanan yang sudah ada sebelumnya dan oleh efektivitas

langkah-langkah yang diambil untuk mencegah, mengurangi, dan bersiaga menghadapi

bencana.” Namun, begitu orang-orang sudah terkena dampak sebuah bencana, mereka

seringkali menghadapi pula tantangan-tantangan yang lebih berat untuk mendapatkan HAM

mereka secara utuh. Tantangan-tantangan ini dapat dihadapi jika jaminan-jaminan atas HAM

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

yang relevan diperhitungkan sejak awal oleh para pelaku bantuan kemanusiaan nasional

maupun internasional. HAM merupakan dasar hukum yang menjadi pondasi semua kegiatan

kemanusiaan yang berkaitan dengan bencana-bencana alam. Jika bantuan kemanusiaan tidak

didasarkan pada kerangka HAM, ada bahaya fokusnya menjadi terlalu sempit dan tidak bisa

menggabungkan seluruh kebutuhan dasar para korban ke dalam sebuah proses perencanaan

yang menyeluruh.

Cabang yang khusus membahas tentang korban sudah mulai menarik perhatian yaitu

Viktimologi yang mencuat keluar dari induknya yang sering dianggap criminal centris itu.

Dalam perjalannya the victim’s rights movement atau gerakan untuk hak-hak korban. Di

Amerika serikat telah melahirkan banyak rekomendasi untuk mendapatkan banyak energinya

dari sindrom cerita horor akibat kejahatan yang menyimpang dan menyalahi sistem

peradialan dan peraturan perundang-undangan yang gagal mencegah dan jatuhnya korban

tersebut.6

Di Amerika serikat pernah dibentuk the president’s tax force on victim of crime yang

mengajukan berbagai usulan antara lain: Diadakannya perlindungan bagi korban dan saksi

dari intimidasi, mempersyaratkan ganti kerugian bagi korban di setiap kasus, membangun

guldelines untuk perlakuan yang adil bagi korban kejahatan dan saksi, melarang pelaku

kejahatan membuat cerita tentang kejahatannya, serta menyediakan crime victim

compensation fund (dana kompensasi korban kejahatan).7

Dalam perkembangan, studi viktimilogi yang hanya memfokuskan pada korban

kejahatan nampaknya kurang memuaskan. Hal ini berangkat dari suatu kesadaran bahwa

penderitaan atau kerugian dapat juga diakibatkan oleh sebab-sebab lain di luar kejahatan,

sehingga study special victimology berkembang dalam bentuk general victimology yang

mempelajari korban kecelakaan dan bencana pada umumnya. Dengan demikian mereka yang

6 Topo Santoso, Krisis dan Kriminalitas Pasca Reformasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm.106. 7 Ibid.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

mengalami penderitaan akibat dari kecelakaan lalu lintas dan akibat bencana masuk dalam

lingkup pembahasan general victimology.8

Fakta yang ada pada saat ini, perhatian dalam hal perlindungan terhadap hak-hak

korban bencana alam gempa bumi sangat kecil jika dibandingkan dengan perhatian yang

selalu dicurahkan terhadap perlindungan korban kejahatan dan perlindungan hak asasi para

pelaku kejahatan. Hal tersebut jelas kelihatan dari penanganan yang dilakukan Pemerintah

untuk menangani korban bencana alam sangat lamban dan tidak maksimal. Padahal akibat

dari korban bencana alam gempa bumi lebih banyak menelan korban dibandingkan dengan

korban kejahatan.

Korban bencana bisa dikatakan sama dengan pengungsi. Pengungsi berarti hidup

dalam penampungan dan tergantung kepada orang lain untuk memperoleh kebutuhan pokok

seperti makanan, pakaian, dan perumahan.9 Perlindungan IDPs (Internally Displaced Persons)

dalam masa tanggap darurat serta jaminan pelaksanaan hak asasi dan kebebasan fundamental

mereka sangat bergantung pada sikap, tindakan, kebijakan, efektifitas, dan kemauan

pemerintah. Perlindungan yang harus di berikan oleh pemerintah nasional, termasuk

pemerintah RI, kepada IDPs mencakup dua bidang utama. Pertama, keselamatan (yang

meliputi keselamatan jiwa, keamanan fisik dan mental dan integritas fisik dan moral). Kedua,

pelaksanaan hak asasi dan kebebasan fundamental (yang sangat dasar dan paling di butuhkan

oleh IDPs sesuai dengan kondisi mereka).

Secara umum dapat dikatakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang

memperhatikan atau melindungi korban bencana alam masih sangat minim. Kalaupun ada

undang-undang yang dalam ketentuannya cukup memberikan perhatian dan perlindungan

pada korban kejahatan nonkonvensional seperti kejahatan ekonomi atau tindak pidana

lingkungan, dan korban kejahatan konvensional seperti pembunuhan, pencurian,

8 G Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Yogyakarta: Universitas

Atmajaya Yoyakarta, 2009), hlm. 3-4. 9 UN Centre For Human Rights, Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta, Jakarta: Komnas HAM, 2000, hal. 273.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

pemerkosaan sudah ada undang-undang perlindungan terhadap korban yaitu Undang-undang

No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sedangkan untuk perlindungan

korban bencana alam belum ada satupun undang-undang yang khusus mengatur tentang

perlindungan korban secara khusus yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum.

Pada setiap korban bencana alam gempa bumi akan mengakibatkan hilangnya

keseimbangan jiwa korban, kematian, kehilangan harta dan sanak saudara, kehilangan tempat

tinggal, hilangnya kepercayaan diri dan kepercayaan hidup, luka dan cacat seumur hidup,

yang mengakibatkan trauma dan keputusasaan yang menghampiri disepanjang hidup mereka.

Memang melindungi warga Negara adalah tugas Negara sebagaimana tertulis dalam

pembukaan UUD 1945 alinea ke empat. Untuk itu Negara harus tanggap dan bertanggung

jawab dalam menanggulangi korban bencana alam gempa bumi agar korban tidak bertambah

banyak, akibat dari keterlambatan bantuan dan keterbatasan fasilitas, dan keterbatasan dana

yang disediakan oleh Negara.

Undang-Undang Penangulangan Bencana sebenarnya telah mengakomodir prinsip

HAM (aspek non diskirminasi dan perlindungan atas hak hidup dan kelangsungan hidup)

dalam draft pasal prinsip-prinsip penanggulangan bencana. namun, prinsip ini dikaburkan

dengan tujuan dari pembuatan UU ini sendiri melalui peminimalisiran peran dan tanggung

jawab negara dalam urusan bencana dengan dalih mempertahankan nilai-nilai lokal (gotong–

royong, kesetiakawanan dan kedermawanan).10UU PB selanjutnya justru lebih menekankan

aspek teknis penanggulangan bencana ketimbang memuat jaminan hak asasi manusia para

korban atau penduduk yang rentan terkena dampak bencana.

Patut dicermati dari UU PB lagi adalah tentang definisi bencana “Bencana adalah

suatu gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat yang diakibatkan oleh

faktor alam diantaranya bencana gempa bumi, tsunami, longsor, angin topan, banjir, letusan

10 https://hidupbersamabencana.wordpress.com/2007/07/16/uu-penanggulangan-bencana-bencana-bagi-hak-

asasi-para-korban-bencana/. Tanggal 12 Juni 2017.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

gunungapi, kekeringan, epidemi, dan wabah penyakit, bencana karena faktor nonalam

diantaranya kebakaran dan gagal teknologi, dan bencana karena faktor manusia mencakup

peristiwa kerusuhan sosial, teroris, dan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan

kerusakan lingkungan hidup, kerugian harta benda, dampak psikologis, bahkan sampai

menimbulkan korban jiwa manusia.”

Definisi bencana ini seakan membatasi bahwa satu-satunya penyebab bencana

merupakan faktor alam, tanpa melihat aspek kecerobohan manusia. Banjir, tanah longsor,

epidemi dan wabah penyakit tidak serta merta muncul menjadi bencana apabila sistem dan

mekanisme terhadap penanganan lingkungan dilakukan secara benar. “Pelimpahan” faktor

alam sebagai penyebab bencana ini kemudian menjadi pembenaran untuk melepaskan

kewajiban negara dalam penanganan bencana.

Pasal-pasal pada Bab III dan IV UU PB menyebut eksplisit lembaga kemasyarakatan,

lembaga usaha, palang merah Indonesia dan lembaga internasional sebagai pelaku

penanggulangan bencana di samping pemerintah. Ini bisa diinterpretasikan negara bukanlah

satu-satunya pihak yang berwenang dalam penanganan bencana. konsekuensi dari ini, maka

negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi kegagalan dalam proses

penanganan bencana. mekanisme address-redress-remedy sebagai mekanisme penegakan

HAM menjadi hilang sebagai konsekuensi “lepasnya’tanggung jawab negara.

Hilangnya kewajiban negara secara substantif membuat jaminan hak yang diberikan

negara dalam tahapan penanganan bencana (Pengurangan resiko bencana, penanganan

tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi serta penatalaksanaan bencana) seolah hanya

monumen puisi pengakuan tentang hak asasi manusia tanpa dapat dinikmati para korban atau

penduduk yang rentan terkena bencana. Dalam pasal 33 – 39 diatur secara jelas prioritas

penanganan, standart minimum bagi pengungsi (tempat penampungan, sanitasi,bantuan

pangan dan non pangan) maupun langkah-langkah penanganan darurat. Namun jaminan ini

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

tidak diimbangi dengan mekanisme yang mengatur agar negara berkewajiban melakukan hal

ini.

Penanganan gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan Klaten 27 Mei 2006

mengungkapkan, para korban harus berjuang di bawah hujan lebat tanpa bantuan pangan dari

Pemerintah kurang lebih 1 minggu. Sementara bantuan penampungan sementara dan non

pangan (pakaian, perlengkapan tidur, masak dan kebersihan) bahkan lebih lama lagi.

Akibatnya, banyak penduduk khususnya anak-anak, perempuan dan lansia mengalami

berbagai macam penyakit. Banyak korban yang mengalami luka parah menjadi cacat

permanen dikarenakan lambatnya penanganan medis oleh negara. Kegagalan-kegagalan ini

praktis tidak bisa dituntut atau diklaim oleh para korban yang mengandung unsur

pertanggungjawaban dari aparat penyelenggara negara.

Otoritas negara justru lebih kentara pada aspek pelaksanaan teknis dan koordinasi,

termasuk menentukan daerah rawan bencana. Namun, tanpa jaminan HAM bagi penduduk

yang terkena atau rentan terhadap bencana, hal ini justru berpotensi memunculkan kasus

pelanggaran HAM baru. Sebagai contoh, negara berwenang untuk menghilangkan sebagian

atau keseluruhan hak kepemilikan penduduk di daerah yang ditetapkan rawan bencana.

program-program relokasi di daerah rawan bencana sebagian besar ditolak penduduk karena

tidak ada jaminan akan retitusi (penggantian) atas hak kepemilikan dan properti, termasuk

jaminan penghidupan. Kewenangan besar dalam menetapkan suatu wilayah sebagai daerah

rawan bencana bisa disalahgunakan untuk menggusur penduduk yang tinggal di bantaran

sungai atau menggambil alih lahan bagi kepentingan komersial.

Terdegradasinya jaminan HAM pada penduduk yang terkena atau rentan terhadap

bencana dalam UU Penanggulangan Bencana dikhawatirkan berimplikasi luas pada

kegagalan capaian perbaikan kehidupan mereka. Untuk itu, masyarakat sipil khususnya para

korban perlu membangun kesadaran dan menempuh upaya-upaya politik hukum agar UU

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

Penanggulangan Bencana compliance dengan standar HAM. Upaya yang masih mungkin

adalah membuat gugatan di Mahkamah Konsititusi untuk melihat sejauh mana aspek

penegakan HAM dalam UU Penanggulangan Bencana. Sudah saatnya para korban bencana di

Aceh, Yogyakarta, Pangandaran, Jakarta, Papua dan penduduk rentan terhadap bencana

dilindungi agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, bukan dengan menempatkan mereka

sebagai obyek yang hanya dipandang pantas menerima bantuan.

Ada risiko faktor-faktor penting bagi pemulihan dan rekonstruksi akan luput dari

perhatian di kemudian hari. Lagi pula, mengabaikan HAM mereka yang terkena dampak

bencana-bencana alam berarti tidak memedulikan fakta bahwa mereka tidaklah hidup di

dalam sebuah kevakuman hukum. Mereka tinggal di negara-negara yang mempunyai undang-

undang, peraturan-peraturan, dan institusi-institusi yang semestinya melindungi hak-hak

mereka. Indonesia mempunyai Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana dan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana, itu artinya secara hukum korban bencana alam seharusnya sudah

mendapat perlindungan di negara Indonesia.

Negara secara langsung bertanggungjawab menghormati, melindungi, dan memenuhi

kebutuhan HAM warga negara mereka dan siapapun yang hidup di wilayah atau yurisdiksi

mereka. Jika organisasi-organisasi kemanusiaan nasional terikat hukum-hukum nasional,

maka organisasi-organisasi kemanusiaan internasional mengakui bahwa HAM merupakan

pondasi seluruh kegiatan mereka walaupun tidak terikat traktat-traktat HAM internasional.

Oleh sebab itu mereka harus melakukan yang terbaik untuk menjamin bahwa seluruh hak

dilindungi—bahkan melampaui rumusan kalimat-kalimat yang kaku di dalam mandat mereka

dan demi kepentingan orang-orang yang secara langsung terkena dampak. Setiap organisasi

kemanusiaan wajib tidak mendukung, aktif berpartisipasi di dalam, atau dengan cara apapun

ikut melakukan hal, atau menyetujui seluruh kebijakan atau kegiatan yang menimbulkan atau

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

bisa menimbulkan pelanggaran-pelanggaran HAM oleh Negara-negara. Tantangan yang

seringkali dihadapi adalah bagaimana menerapkan semua aturan itu dalam konteks

operasionalnya, apalagi terdapat berbagai dilemma kemanusiaan dan HAM yang secara

potensial dihadapi dalam berbagai situasi bencana-bencana kemanusiaan.

HAM sama pentingnya dengan pangan dan pernaungan sebagai kebutuhan hidup para

korban yang harus kita bantu dan lindungi secara hukum.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis merasa perlu untuk

membahas lebih lanjut dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “Perlindungan Hukum

Terhadap Korban Bencana Alam Sebagai Hak Asasi Manusia”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka penulis

merumuskan :

Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban bencana alam berdasarkan ketentuan

hukum HAM?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini:

Untuk mengetahui konsistensi ketentuan-ketentuan hukum, tentang perlindungan

korban bencana alam sebagai HAM.

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik dari segi teoritis, maupun

praktis.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

a. Segi Pemerintah

Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bahan kajian sebagai suatu usaha

mengembangkan konsep pemikiran secara lebih logis dan sistematis terkait masalah-

masalah hukum terkait perlindungan hukum terhadap korban bencana alam

berdasarkan ketentuan hukum HAM dan agar lebih memperhatikan aturan-aturan

yang ada.

b. Segi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif sebagai bahan masukan

kepada masyarakat terutama untuk korban bencana alam untuk mendapatkan hak dan

perlindungan dari negara.

c. Segi Kepentingan Akademik

Secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi pengembangan ilmu hukum.

E. Metode Penelitian

a. Penelitian ini adalah penelitian hukum.11 Tipe penelitian hukum yang dilakukan

adalah yuridis normative12 dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis

terhadap perlindungan hukum terhadap korban bencana alam sebagai bagian dari

HAM.

b. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan tipe pendekatan perundang-undangan

(statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal. 10-11. 12 Johny Ibrahim, teori dan metodologi penelitian hukum normative, Banyumedia Publishing, Surabaya, 2005,

hal 390.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16308/1/T1_312011040_BAB I.pdftsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung.

c. Bahan hukum

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari atauran hukum:

Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan

Pemerintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks,

jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus

hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

d. Tehnik Pengumpulan data

Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan

topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem bola salju dan di

klasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk di kaji secara komprehensif.13

e. Tehnik Analisis Data

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan

perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan hubungkan

sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna

menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan

hukum dilakukan secara deduktif yakni menaruh kesimpulan dari suatu permasalahan

yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi. Selanjutnya bahan

hukum yang ada di analisis untuk melihat perlindungan hukum terhadap korban

bencana alam berdasarkan ketentuan hukum hak asasi manusia.

13 Ibid, hal.392.