BAB I PENDAHULUAN -...

16
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepolisian, seperti juga kemiliteran terdapat di setiap Negara, baik Negara modern, seperti Inggris, Amerika Serikat ataupun Jepang, maupun Negara kuno seperti kerajaan Roma, Cina, dan Majapahit, meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda dan dengan nama-nama yang belum tentu sama. 1 Dalam pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri umum yang dapat ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi baik sebagai fungsi maupun organ. Pada awalnya polisi lahir bersama masyarakat untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri terhadap kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari masyarakat. Ketika masyarakat bersepakat untuk hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah 1 Harsja W. Bachtiar, Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu yang Baru, PT Grasindo Anggota IKAPI, Jakarta, 1994, h. 1.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepolisian, seperti juga kemiliteran terdapat di setiap Negara, baik

Negara modern, seperti Inggris, Amerika Serikat ataupun Jepang, maupun

Negara kuno seperti kerajaan Roma, Cina, dan Majapahit, meskipun dalam

bentuk yang berbeda-beda dan dengan nama-nama yang belum tentu sama.1

Dalam pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan Negara Republik

Indonesia dijelaskan bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri umum yang dapat

ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi baik sebagai fungsi maupun organ. Pada

awalnya polisi lahir bersama masyarakat untuk menjaga sistem kepatuhan

(konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga

masyarakat itu sendiri terhadap kemungkinan adanya tabrakan kepentingan,

penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari masyarakat. Ketika

masyarakat bersepakat untuk hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah

1 Harsja W. Bachtiar, Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu yang Baru, PT Grasindo Anggota IKAPI,

Jakarta, 1994, h. 1.

2

polisi dibentuk sebagai lembaga formal yang disepakati untuk bertindak

sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat atau yang

disebut sebagai fungsi “Sicherheitspolitizei”. Kehadiran Polisi sebagai

organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek pematuhan

(enforcing effect).2

Secara umum, tugas Polisi pada hakikatnya ada dua, yaitu

menegakkan hukum dan memelihara keamanan serta ketertiban umum. Tugas

yang pertama mengandung pengertian Represif atau tugas terbatas yang

kewenangannya dibatasi oleh kitab undang-undang hukum acara pidana

(KUHAP), tugas kedua mengandung pengertian Preventif atau tugas

mengayomi adalah tugas yang luas, tanpa batas, boleh melakukan apa saja

asal keamanan terpelihara dan tidak melanggar hukum itu sendiri.3

Peran ganda sebagai aparat penegak hukum sekaligus sebagai

pengayom dan pelindung masyarakat inilah yang menempatkan polisi tidak

hanya bertanggungjawab kepada hukum, dalam arti dalam menjalankan tugas

operasionalnya terikat pada peraturan perundangan, doktrin dan asas – asas

hukum yang berlaku (khususnya hukum pidana). Pada saat yang bersamaan

polisi juga harus bertangungjawab kepada masyarakat yang mengharapkan

2 Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju POLRI yang Professional, Mandiri, Berwibawa, dan

Dicintai Rakyat ,PTIK Press dan Restu AGUNG, Jakarta, 2006, h. 36. 3 Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, h. 111.

3

profesionalisme polisi untuk mengungkap kejahatan dalam rangka

mewujudkan ketertiban masyarakat.4

Kedua tugas tersebut harus dilakasanakan polisi dengan penuh

tanggung jawab serta mendapat dukungan penuh dari masyarakat itu sendiri.

Namun, melihat fenomena saat ini justru banyak presepsi masyarakat yang

negatif tentang polisi itu sendiri. Muncul stigma ini tidak lain karena kurang

adanya keadilan dalam penindakan hukum positif. Banyak tindak pidana

ringan yang diselesaikan pada tingkat peradilan yang pada akhirnya tidak

melahirkan keadilan itu sendiri. Ketidakadilan itu muncul karena terikatnya

aparat penegak hukum pada prosedur – prosedur kaku yang ditentukan dalam

peraturan perundang – undangan.

Pandangan ini menempatkan prosedur menjadi dasar legalitas untuk

menegakkan keadilan, bahkan lebih penting dari keadilan itu sendiri.5

Penegakan hukum yang terkungkung dengan tembok– tembok prosedur

tersebut, menjadi penghalang untuk mewujudkan pencarian kebenaran

(searching for the truth) dan keadilan (searching for justice).6 Penegakan

hukum positif (undang – undang) yang dikukuhi sebagai menjunjung tinggi

4 Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2002, h. XXV. 5 FX.Aji Samekto, Justice Not For All, Kritik terhadap Hukum Modern Dalam Perspektif Hukum

Kritis, Genta Press,Jogjakarta, 2008, h. 33. 6 Ibid., h. 34.

4

rule of law hanya mampu mewujudkan keadilan formal (formal justice) tetapi

belum mampu mewujudkan keadilan substantive (substansial justice).7

Hukum dapat berfungsi efektif apabila ada keserasian antara hukum

dengan kultur masyarakatnya. Kultur masyarakat akan menjadi kultur hukum

yang bercermin pada aturan hukum.8 Dalam hal ini, salah satu strategi yang

diterapkan oleh Polri untuk menegakkan peradilan dalam masyarakat adalah

keikutsertaan masyarakat dalam peradilan yang disebut dengan lay judges,

diartikan dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit : partisipasi

masyarakat yang tidak direkrut secara khusus dan dilatih sebagai hakim, tetapi

dilibatkan dalam proses peradilan (lay participations). Dalam arti luas

diartikan sebagai semua bentuk partisipasi masyarakat dalam pengadilan

pidana baik sebagai jury maupun sebagai lay judges sendiri.9

Pergeseran dari lingkup tugas kepolisian dan penegakan hukum yang

sempit ke arah ruang lingkup yang lebih luas mencakup pemeliharaan

ketertiban dan pelayanan sosial dalam rangka politik kriminal. Hal ini

menuntut kesediaan pemolisian ke arah metode community policing.10

Community policing sebagai alternatif gaya kepolisian merupakan pilihan

strategis yang dilakukan oleh Polri baik sebagai konsep maupun aktivitasnya.

Pemolisian masyarakat (community policing) dilakukan karena keterbatasan

7 Ibid., h. 35. 8 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum Indonesia, Karya Agung, Semarang, 1984, h. 34. 9 Barda Nawawi Arief, Perkembangan Asas Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Pustaka Magister,

Semarang, 2008, h. 2. 10 Satjipto Raharjo, Polisi Indonesia Baru, Gramedia, Jakarta, 2000, h. 34.

5

personil polisi dan institusi polri menghendaki adanya jalinan kerjasama yang

harmonis dengan masyarakat dalam kegiatan pemeliharaan kamtibmas.

Bentuk kemitraan tersebut diwujudkan dalam strategi Polmas, yakni

dengan memberdayakan masyarakat tidak hanya sebagai objek tetapi

ditempatkan sebagai subjek dalam arti memberi peluang kepada masyarakat

untuk menyelesaikan sendiri masalah – masalah sosial yang berupa gangguan

kamtibmas termasuk pertikaian antar warga baik perkara – perkara perdata

maupun perkara pidana. Dalam hal ini pengertian sengketa warga hanya

dibatasi perkara – perkara pidana khususnya tindak pidana ringan / tipiring11.

Menurut Perkap No. 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi

dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas

Polri, Polmas adalah penyelenggaraan tugas kepolisian yang mendasari

kepada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak

mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subyek dan masyarakat sebagai

obyek, melainkan harus dilakukan bersama oleh Polisi dan masyarakat dengan

cara memberdayakan masyarakat melalui kemitraan Polisi dan warga

masyarakat, sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang

dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi

dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban di lingkunganya.

Pengertian lain mengenai Polmas terdapat di Surat Keputusan Kapolri No. 11 Sutanto, Hermawan Sulistyo, Tjuk Sugiarso, Polmas: Falsafah Baru Pemolisian, Pensil – 324,

Jakarta, 2008, h. 4.

6

Pol. Skep/558/XI/2009 tentang Naskah Sementara Buku Pedoman

Pelaksanaan Sistem Pelaporan yaitu segala kegiatan atau upaya untuk

membentuk jiwa Polisi dalam pribadi setiap warga masyarakat. Lebih jelasnya

Perpolisian Masyarakat atau Polmas menurut Skep Kapolri No. Pol. : Skep

737/X/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian

Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, istilah Polmas bukan

merupakan singkatan dari Perpolisian Masyarakat tetapi suatu istilah yang

diharapkan akan menggantikan berbagai istilah, sebagai terjemahan istilah

community policing.

Tentunya dalam pencegahan suatu tindak kejahatan diperlukan

pengetahuan tentang kejahatan itu terjadi, keadaan lingkungan yang

dipengaruhi oleh keadaan sosial, budaya dan kultur sehingga dalam

penanggulangan dan pengungkapan suatu tindak kejahatan diperlukan

personil yang mempelajari hal itu dan selanjutnya mendapatkan cara yang

tepat dalam penanggulangannya.12

12 Romanus Ate, Fungsi Preventif Patroli BRIMOB dalam Penanggulangan Tindakan Kejahatan,

Jurnal S-1 Ilmu Sosiatri, Vol. 1 No. 1, 2012, h. 2.

7

Perpolisisan masyarakat diterapkan dalam 3 model yakni13:

i. Modifikasi pranata sosial dan pola pemolisian masyarakat

tradisional, seperti siskamling, pecalang, pela gandong dll.

Disebut adalah (Model A)

ii. Intensifikasi fungsi polri di bidang pembinaan masyarakat,

seperti, hotline SMS/ telepon, kotak pengaduan, penyuluhan,

intensifikasi patrol, dll. Disebut adalah (Model B)

iii. Penyesuaian model community policing dari negara-negara

lain, diantaranya adalah Forum Kemitraan Polisi dan

Masyarakat (FKPM), seperti, neighborhood, pospol, dll.

Disebut (Model C)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis lebih fokus membicarakan model

C yang diterapkan oleh Polmas yaitu kegiatan Forum Kemitraan Polisi dan

Masyarakat yang selanjutnya disebut FKPM.

Salah satu implementasi Polmas adalah pembentukan Forum

Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) sebagai wadah komunikasi dan

konsultasi bagi masyarakat dan polisi. FKPM berperan sebagai lembaga

pranata social yang mewakili masyarakat dalam membentuk, membangun,

13 Budiono, “Perpolisian Masyarakat dalam Perspektif Habernas” Masyarakat, Kebudayaan, dan

Politik, Vol. 24, No. 4, Oktober-Desember 2011, h. 318.

8

dan menjalankan Polmas sebagai suatu program yang diharuskan mampu

memfasilitasi kegiatan – kegiatan yang berhubungan dengan tugas Polmas.

Pada dasarnya, FKPM harus mampu mendorong peran serta

masyarakat dalam rangka mengantisipasi dan menyelesaikan setiap gejala –

gejala permasalahan dan gangguan keamanan dan ketertiban yang terjadi di

dalam lingkup masyarakat tersebut serta bisa menjadi pelopor mediasi.14

Kewenangan FKPM sebenarnya sederajat dengan Bhabinkamtibmas, sama –

sama berperan sebagai polisi hanya berbeda secara kedinasan.15

Kabupaten Semarang sebagai wilayah penelitian menjadi menarik

terkhusus di Kelurahan Banyubiru, Kecamatan Banyubiru. Hal menarik ini

adanya pusat pendidikan BINMAS. Adanya Pusdik Binmas ini tentu sangat

mempengaruhi bagaimana Polmas sendiri berkembang dan berperan dalam

masyarakat. Selain faktor tersebut, faktor geografis Banyubiru juga menjadi

menarik untuk melihat bagaimana peran Polmas. Banyak daerah pegunungan

yang bisa dikatakan sebagai daerah tertinggal yang menimbulkan efek

samping sulitnya anggota Kepolisian untuk menjangkau atau mendeteksi

adanya gejala- gejala yang menimbulkan adanya kejahatan dan tindak pidana.

14 Wawancara dengan Bapak H. Mustam selaku anggota FKPM Banyubiru selaku Tokoh Agama,

Banyubiru, 17 Juni 2017. 15 Wawancara dengan Bapak Joko Purnomo selaku Tokoh Masyarakat Dusun Kampung Rapet

Banyubiru, Banyubiru, 17 Juni 2017.

9

Salah satu contoh tindak pidana yang sering terjadi di Banyubiru

adalah perjudian. Perjudian di Banyubiru sering terjadi apabila sedang ada

acara hajatan, pada saat malam hari ketika masyarakat begadang dalam acara

hajatan tersebut, awalnya masyarakat memilih melakukan judi hanya sekedar

untuk mengisi waktu luang, namun seiring barjalanya waktu judi malah

menjadi kebiasaan yang menimbulkan dampak negatif.16 Dampak negatif

tersebut bisa berupa masalah – masalah sosial yaitu perdebatan, perkelahian,

dan keributan.

Adanya FKPM di Kecamatan Banyubiru sendiri masih sangat

dibutuhkan karena memang selain membantu peran dan fungsi polisi,

masyarakat juga terbantu dalam hal menciptakan kamtibmas yang diinginkan.

Begitu pula dengan gejala – gejala masalah yang timbul di sekitar wilayah

Banyubiru, seringkali kurang diperhatikan bahkan diabaikan.

Wilayah yang cukup luas dengan jumlah penduduk yang banyak juga

menjadi salah satu faktor pentingnya FKPM harus dilaksanakan dan

diterjunkan di setiap desa/ dusun di wilayah Kecamatan Banyubiru. Namun

salah satu kendala kepolisian Bhabinkamtibmas Polsek Banyubiru adalah

16 Wawancara dengan Bapak Muhamad Amirrudin selaku Bhabinkamtibmas Polsek Banyubiru,

Banyubiru, 16 Juni 2017.

10

kurangnya personil yang mengakibatkan tidak fokusnya personil untuk selalu

intens dan mengawasi masyarakat secara langsung.17

Sangat menarik dan perlu dikaji perihal penerapan tugas Polmas dalam

mewujudkan ketertiban dan keamanan masyarakat di Kecamatan Banyubiru

pada khususnya karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi apakah

pelaksanaan FKPM berjalan efektif dalam mencegah dan menyelesaikan

tindak pidana.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang permasalahan di atas peneliti merumusakan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana peran Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat dalam

penanganan masalah tindak pidana di Kecamatan Banyubiru?

2. Apa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tugas Forum Kemitraan

Polisi dan Masyarakat dalam menciptakan situasi keamanan

masyarakat yang kondusif?

C. Tujuan Penelitian

Peneltian ini bertujuan untuk melihat bagaiamana forum kemitraan

polisi dan masyarakat dalam penyelesaian masalah tindak pidana di tengah

17 Wawancara dengan Bapak Muhamad Amirrudin selaku Bhabinkamtibmas Polsek Banyubiru,

Banyubiru, 16 Juni 2017.

11

masyarakat. Dari sini akan terlihat kelemahan dan juga kendala yang muncul

sehingga bisa menjadi proses pembelajaran untuk pihak yang berkepentingan.

D. Manfaat Penelitian

a) Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk

memperbanyak dan memperkaya kajian hukum pidana terhadap

pelaksanaan pemolisian masyarakat dan masalah - masalah yang

berkaitan dengan masyarakat khususnya terkait dengan penyelesaian

masalah - masalah kecil atau masalah tindak pidana ringan di masyarakat

melalui Polmas dan faktor - faktor yang mempengaruhi pelaksanaan

Polmas dalam menciptakan situasi keamanan masyarakat yang

kondusif.

b) Manfaat Praktis

1. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan mengenai

arti penting Polmas menyelesaikan masalah - masalah

Tindak Pidana Ringan yang timbul di masyarakat dengan

bijak dan adil oleh masyarakat itu sendiri.

12

2. Bagi Polri, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

sebagai masukan guna meningkatkan kerjasama kemitraan

dengan masyarakat dalam pembentukan Polmas guna

membantu kinerja Kepolisian sebagai pelindung dan

pengayom.

3. Bagi peneliti lain yang hendak meneliti topik sejenis, hasil

penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan

bahan pembanding yang dapat melengkapi hasil penelitiannya.

E. Metode Penelitian

Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini

adalah deskriptif analitis, yaitu suatu metode penelitian yang dimaksudkan

untuk menggambarkan mengenai fakta - fakta berupa data dengan bahan

hukum primer dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang terkait dan

bahan hukum sekunder.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode pendekatan yuridis sosiologis. Pengertian metode yuridis normatif

menurut Ronny Hanitijo adalah metode yang menggunakan sumber-sumber

data sekunder, yaitu peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum dan

pendapat - pendapat para sarjana, yang kemudian dianalisis serta menarik

13

kesimpulan dari masalah yang akan digunakan untuk menguji dan mengkaji

data sekunder tersebut.

Lokasi penelitian adalah wilayah hukum Polsek Banyubiru.

Khususnya Desa/ Kelurahan Banyubiru. Dipilihnya lokasi tersebut karena

penulis beranggapan Desa Banyubiru merupakan suatu wilayah yang cukup

unik dan menarik karena terdapat pusat pendidikan Binmas Polri. Selain itu

wilayah yang cukup luas dan letak demografis yang terdiri dari pegunungan

juga menjadi salah satu faktor menarik yang menjadikan Desa Banyubiru

sebagai lokasi penelitian. Adapun beberapa alasan lain antara lain :

1) Desa Banyubiru adalah ibu kota Kecamatan Banyubiru.

2) Polsek Kecamatan Banyubiru terletak di Desa Banyubiru.

3) Tidak terdapat FKPM di tingkat Kecamatan, hanya ada

satu FKPM di tingkat desa yaitu desa Banyubiru.

4) Menjadi desa percontohan di sektor pendidikan,

peternakan, dan pertanian.

5) Wilayah cukup luas dan penduduk yang padat.

Penelitian ini dilakukan dengan jangka waktu kasus yang terjadi di

tahun 2017 sampai sekarang.

Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :

14

a. Studi literatur, yaitu melakukan penelitian terhadap data

sekunder untuk mendapatkan landasan teori dan memperoleh

infomasi dalam bentuk formal dan data melalui naskah resmi

yang ada.

b. Wawancara, yaitu proses tanya jawab secara lisan dimana dua

orang atau lebih berhadapan secara fisik antara penanya atau

interviewer dengan pemberi informasi atau responden. Teknik

ini dilakukan dengan proses interaksi dan komunikasi secara

lisan.

Dalam penelitian ini, sumber data yang dipakai penulis adalah sebagai

berikut :

a. Sumber data primer, yaitu dengan melakukan wawancara

kepada:

1. Bapak Muhammad Amirrudin selaku Bhabinkamtibmas

Polsek Banyubiru.

2. Bapak FX. Hartanto selaku anggota FKPM.

3. Bapak H. Mustam selaku anggota FKPM Tokoh

Agama.

15

4. Bapak Sri Anggoro Siswaji selaku Kepala Desa

Banyubiru.

5. Bapak Supri Daryono selaku Kepala Dusun Kampung

Rapet.

6. Bapak Joko Purnomo selaku Tokoh Masyarakat.

7. Bapak Agus Suryanto sekalu Tokoh Masyarakat.

b. Sumber data sekunder berupa :

1. Bahan hukum primer

i. Undang – Undang Dasar 1945.

ii. UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan

Negara Republik Indonesia.

iii. Perkap No. 7 Tahun 2008 tentang Pedoman

Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian

Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas

Polri.

iv. Skep Kapolri No. Pol. Skep/558/XI/2009

tentang Naskah Sementara Buku Pedoman

Pelaksanaan Sistem Pelaporan.

16

v. Skep Kapolri No. Pol. : Skep 737/X/2005

tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan

Model Perpolisian Masyarakat Dalam

Penyelenggaraan Tugas Polri.

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder terdiri dari buku – buku

termasuk skripsi, tesis, disertai hukum dan jurnal-

jurnal hukum yang dapat membantu memberikan

penjelasan, analisa, dan pemahaman dari bahan hukum

primer.