BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Hak...

18
1 BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Hak Bagi Penyandang Difabilitas Sudah menjadi paradigma dalam masyarakat bahwa individu yang berkebutuhan khusus atau difabel dianggap tidak dapat beraktivitas dengan lancar dan seringkali dianggap sebagai beban bagi keluarganya. Difabel dengan segala kekurangan fisiknya akan selalu dianggap membebani individu lain, keluarga, dan masyarakat. Asumsinya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri saja masih harus bergantung pada orang lain, bagaimana bisa berperan dalam masyarakat. Hak-hak mereka yang seharusnya setara dengan hak individu lain terbaikan, atau tak dapat mereka jangkau karena untuk mendapatkan hak tersebut mereka harus menggunakan fasilitas yang sama dengan individu non-difabel. Difabel adalah istilah yang ditujukan bagi orang-orang dengan kemampuan berbeda atau different ability. Difabilitas mencakup dalam kemampuan fisikal, audit (pendengaran), serta visual (Nussbaumer, 2012). Keterbatasan kemampuan fisikal membuat sebagian dari mereka memerlukan alat bantu seperti kursi roda, tongkat, atau pendukung lainnya. Difabilitas audit dapat didukung oleh alat bantu dengar atau visual yang mencolok. Serta difabilitas visual dapat didukung oleh alat yang mengandalkan kepekaan sentuhan dan suara. Perlu ditekankan bahwa difabel bukan berarti tidak memiliki kemampuan fisikal, audit, ataupun visual. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights Person With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Difabilitas) menyebutkan bahwa Indonesia telah menandatangani konvensi internasional yang

Transcript of BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Hak...

1  

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Masalah

I.1.1. Hak Bagi Penyandang Difabilitas

Sudah menjadi paradigma dalam masyarakat bahwa individu yang

berkebutuhan khusus atau difabel dianggap tidak dapat beraktivitas

dengan lancar dan seringkali dianggap sebagai beban bagi keluarganya.

Difabel dengan segala kekurangan fisiknya akan selalu dianggap

membebani individu lain, keluarga, dan masyarakat. Asumsinya, untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri saja masih harus bergantung pada

orang lain, bagaimana bisa berperan dalam masyarakat. Hak-hak mereka

yang seharusnya setara dengan hak individu lain terbaikan, atau tak dapat

mereka jangkau karena untuk mendapatkan hak tersebut mereka harus

menggunakan fasilitas yang sama dengan individu non-difabel.

Difabel adalah istilah yang ditujukan bagi orang-orang dengan

kemampuan berbeda atau different ability. Difabilitas mencakup dalam

kemampuan fisikal, audit (pendengaran), serta visual (Nussbaumer,

2012). Keterbatasan kemampuan fisikal membuat sebagian dari mereka

memerlukan alat bantu seperti kursi roda, tongkat, atau pendukung

lainnya. Difabilitas audit dapat didukung oleh alat bantu dengar atau

visual yang mencolok. Serta difabilitas visual dapat didukung oleh alat

yang mengandalkan kepekaan sentuhan dan suara. Perlu ditekankan

bahwa difabel bukan berarti tidak memiliki kemampuan fisikal, audit,

ataupun visual.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011

tentang pengesahan Convention on the Rights Person With Disabilities

(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Difabilitas) menyebutkan

bahwa Indonesia telah menandatangani konvensi internasional yang

2  

diadakan di New York, 2007, ini dalam rangka menunjukkan

kesungguhan negara Indonesia untuk menghormati, melindungi,

memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang difabilitas, yang pada

akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para difabel.

Penyandang difabilitas memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan

atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang

lain, juga hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial

dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.

Terdapat Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

No.4 Tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang

difabilitas, atau lebih mudah disebut sebagai Perda Difabel, yang

merupakan peraturan yang ditujukan untuk mengatur upaya perlindungan

dan pemenuhan hak difabel. Perda ini mencakup hak-hak difabel dalam

berbagai bidang, yaitu di bidang pekerjaan, kesehatan, fasilitas sosial,

seni, budaya dan olahraga, pemberitaan, politik, hukum, serta

penanggulangan bencana, tempat tinggal, aksesibilitas, serta pendidikan.

UGM sebagai lembaga pendidikan sepatutnya mendukung peraturan

tersebut dengan setidaknya memfasilitasi pergerakan difabel dalam

kampus.

I.1.2. Kondisi Aksesibilitas Bagi Difabel di Indonesia

Aksesibilitas mempengaruhi setiap orang, sehingga idealnya semua

akses dapat aksesibel untuk semua, termasuk yang berkebutuhan khusus

seperti lansia dan difabel. Menurut Undang-Undang No.4 Tahun 1997

tentang penyandang cacat pasal 1 ayat 4 menyebutkan, “aksesibilitas

adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna

mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan

penghidupan”. Hal tersebut disebutkan lagi dalam pasal 10 ayat 2,

“penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan

lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat sepenuhnya hidup

bermasyarakat”.

3  

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30 tahun 2006 tentang

Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan

Lingkungan memberikan acuan dalam penyediaan fasilitas dan

aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan. Pedoman tenis ini

seperti disebutkan pada pasal 2, bertujuan untuk mewujudkan

kemandirian dan menciptakan lingkungan binaan yang ramah bagi semua

orang, termasuk lansia dan penyandang cacat.

Namun sayangnya dalam kondisi lingkungan yang ada sekarang

aksesibilitas masih kurang teraplikasi, terutama di kawasan yang tidak

terlalu maju. Tentunya dalam menghadapi kondisi lingkungan tersebut

menimbulkan frustasi tersendiri bagi para difabel. Bangunan-bangunan,

fasilitas-fasilitas, dan bahkan jalur untuk dapat berpindah tempat saja

tidak selalu mudah atau bahkan tidak memungkinkan bagi mereka untuk

menggunakannya tanpa bantuan orang lain. Salah satu cara yang sudah

difabel tempuh dan perjuangkan untuk menghadapi masalah tersebut

adalah dengan mendapatkan SIM D, yaitu surat izin untuk difabel agar

dapat mengemudikan kendaraan bermotor.

”Pentingnya penerbitan SIM kepada difabel salah satunya dipicu oleh

belum optimalnya pelayanan angkutan umum dan infrastruktur publik

dalam mengakomodir orang-orang yang mengalami keterbatasan

fisik,” kata Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral)

UGM Danang Parikesit saat berbicara dalam seminar Pemenuhan

Akses Transportasi bagi Kebutuhan yang Beragam di Yogyakarta,

Senin, 29 September 2014.

(Sumber: www.m.tempo.co artikel September 2014 diakses Desember

2015

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh urban desainer untuk

mencegah kondisi yang semakin tidak kondusif tersebut adalah dengan

menyediakan akses yang memungkinkan difabel untuk menggunakannya

4  

secara mandiri. Akses tersebut dalam hal ini berupa jalur pedestrian antar

kawasan dan antar bangunan.

I.1.3. Kondisi Mobilitas dan Aksesibilitas dalam Kawasan Kampus UGM

Dalam menciptakan kawasan yang ramah bagi semua, ada dua aspek

yang sangat berkaitan erat, yaitu mobilitas dan aksesibilitas. Masalah

mobilitas umumnya dapat diatasi dengan perencanaan sistem

transportasi massal, yang berkaitan erat dengan aksesibilitas, dimana

aksesibilitas memberikan peluang untuk semua kalangan dan golongan

agar dapat beraktivitas dengan aman, mandiri, tanpa menjadi objek belas

kasihan dan merasa dilecehkan (Kurniawan, 2007).

Kawasan kampus UGM dalam RTRW Kab. Sleman ditetapkan

sebagi zona pendidikan (Pusat Studi Transportasi dan

Logistik/PUSTRAL UGM, 2005). Di mana zona tersebut harus

memberikan atmosfer pendidikan yang aman (safety area), nyaman

(comfort area), dan kondusif (condusif area) bagi semua pihak selama

proses belajar mengajar, yang mana berlangsung di seluruh kawasan

kampus.

Permasalahan lokasi kampus UGM yang utama adalah

berkembangnya kampus yang awalnya berlokasi di wilayah pedesaan,

telah berkembang menjadi urban campus, dengan berbagai bentuk

konsekuensinya. Salah satunya adalah kawasan kampus dilintasi oleh

jalan-jalan umum dan terdapat fasilitas umum di dalamnya. Yang paling

mencolok adalah keberadaan Jalan Persatuan (Kaliurang) dan Rumah

Sakit Dr.Sardjito. Jalan Persatuan yang merupakan jalan kabupaten

memiliki volume lalu lintas yang cukup padat hampir sepanjang hari,

membelah kawasan kampus menjadi sisi barat dan sisi timur.

Terpisahnya kampus menjadi dua secara langsung dan tidak langsung

mengurangi kelancaran hubungan fungsional kegiatan-kegiatan antara

kedua bagian tersebut (RIPK 2005-2015).

5  

Gambar 1. 1 Jalan Persatuan (Jl.Kaliurang) dan Jalan Kesehatan depan

RS Dr.Sardjito

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015

Aksesibilitas disebut di dalam Anggaran Rumah Tangga UGM tahun

2003 pasal 102 mengenai Rencana Induk Kampus (sumber:

www.renbang.ugm.ac.id, diakses pada April 2014). Pasal tersebut

berbunyi: “RIK berfungsi sebagai acuan bagi pelaksanaan tanggung

jawab Pimpinan Universitas untuk menjaga dan meningkatkan kualitas

lingkungan fisik yang efisien, fungsional, dan nyaman. Tujuannya adalah

melaksanakan misi dan mencapai tujuan universitas, yang antara lain

mencakup tata guna lahan, integrasi yang serasi antara bangunan dengan

ruang terbuka, peralatan dan jaringan pelayanan yang memadai, serta

sistem transportasi dan sarana pejalan kaki yang aman dan aksesibel.”

Gambar 1. 2 Jalur Pedestrian Kampus UGM

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015

Dalam kajian Rencana Stratejik Universitas Gadjah Mada (dalam

PUSTRAL, 2005), dikemukakan bahwa prinsip dasar yang terkait

dengan pengembangan fisik kampus sebagai “suatu sistem interaksi

sosial yang khas masyarakat akademis, mandiri, dan berwawasan

6  

internasional dalam jiwa kebangsaan yang tinggi”. Hal ini kemudian

mengarah kepada visi dan arah pengembangan kampus dengan

mewujudkan kampus yang educopolis, yang implementasinya berupa

suatu lingkungan kondusif untuk proses pembelajaran dalam konteks

pengembangan kolaborasi multidisiplin dan tanggap terhadap isu ekologi

demi mencapai visi universitas (RTBL UGM). Di antaranya dengan

mengembangkan transportasi sepeda dan pejalan kaki dalam kampus,

sehingga peran jalur pedestrian sangat besar di dalamnya.

Aksesibilitas bagi difabel tentunya menjadi bagian dalam ART dan

Rencana Stratejik yang telah disebutkan sebelumnya, hanya tidak

dicantumkan secara eksplisit. Hal ini berpengaruh pada pembangunan

fisik, yaitu aksesibilitas bagi difabel masih kurang maksimal, belum

terencana secara spesifik dan merata di seluruh kawasan kampus.

Gambar 1. 3 Akses Kawasan UGM yang Kurang Ramah Difabel

(Ket: Guiding block pada foto bawah tengah saat ini sudah dikoreksi)

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015

Fasilitas tidak banyak membantu pergerakan pengguna tuna netra.

Guiding block bisa terputus di ujung jalur pedestrian, juga tidak menerus

di sepanjang akses dalam kampus. Untuk rekan tuna daksa yang

menggunakan kursi roda, jalur pedestrian akan susah digunakan karena

7  

perbedaan level trotoar dengan jalan serta terputusnya trotoar di tiap

pintu masuk kendaraan.

Kondisi tidak tersebarnya mahasiswa difabel, terkait dengan syarat

penerimaan mahasiswa, sedikit banyak juga memiliki andil dalam hal

tersebut. Mungkin berfikirnya seperti ini, jika tidak ada mahasiswa yang

menggunakan, nanti-nanti sajalah penyediaannya. Persebaran mahasiswa

difabel dalam kampus UGM, berdasarkan syarat penerimaan mahasiswa

dapat dilihat dalam peta sebagai berikut.

Gambar 1. 4 Peta Persebaran Mahasiswa Difabel Kawasan UGM Berdasarkan

Syarat Penerimaan Mahasiswa dalam www.daa.ugm.ac.id (diakses Maret 2014)

Sumber: Analisis, 2015

Menurut hasil wawancara dengan Indah, yang pernah menggunakan

kruk di kampus UGM, jalur pedestrian UGM yang membuatnya

membutuhkan usaha ekstra adalah material jalur yang mudah rusak serta

material batuan yang membuat kruk mudah tergelincir.

Demikian menurut pendapat bapak Soewadji, seorang tuna netra

yang setiap hari melintasi kampus UGM. Sebagai orang yang tidak dapat

melihat, kejelasan arah suatu jalur sangat penting. Jalur pedestrian di

kampus, dan juga di sebagian besar wilayah DIY, seringkali terputus dan

tidak tersambung. Furniture-furniture jalan yang berada di tengah jalur

sering menghalangi dan infrastruktur seperti saluran drainase atau

8  

manhole yang terkadang ada di tengah jalur tanpa ada peringatan yang

dapat tuna netra dapatkan, membuat jalur pedestrian menjadi tempat

yang sedikit berbahaya bagi mereka. Hal tersebut membuat beliau lebih

memilih untuk berjalan di badan jalan, tepat di bawah jalur pedestrian,

sehingga beliau dapat menggunakan perbedaan level jalur menjadi

pengarah baginya. Kesulitan lain yang beliau dapatkan adalah ketika

harus menyeberang jalan. Beliau masih dapat menyeberang jalan satu

arah dengan mudah atau jalan dua arah dengan median di tengahnya,

seperti jalan Notonegoro, atau sepanjang selokan Mataram. Tetapi ketika

harus menyeberang jalan dua arah seperti jalan Kaliurang, beliau harus

menunggu bantuan dari orang lain.

I. 2. Rumusan Permasalahan

I.2.1. Permasalahan Umum

Menjamin dan mewujudkan aksesibilitas yang baik untuk difabel

merupakan sebuah keharusan. Banyak sedikitnya difabel yang akan

menggunakan hal tersebut bukanlah hal utama.

Universitas Gadjah Mada adalah kampus yang terbuka bagi siapa

yang mampu untuk mengenyam pendidikan, termasuk difabel, walau jika

bicara jumlah tentunya berbeda jauh dibandingkan dengan jumlah

mahasiswa non-difabel. Aksesibilitas yang baik dan universal diperlukan

agar semua civitas akademika UGM dapat beraktivitas secara mandiri di

dalamnya, tanpa menjadi objek belas kasihan dan pelecehan.

Di Indonesia, peraturan terkait penyelenggaraan aksesibilitas diatur

dan berpedoman dalam Permen PU No.30/PRT/M/2006 tentang

Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan

Lingkungan. Demikian pula terkait jaringan pejalan kaki, diatur dalam

Permen PU No.3/PRT/M/2014 yang menyebutkan bahwa prasarana dan

sarana jaringan pejalan kaki adalah untuk menjamin keselamatan dan

kenyamanan pejalan kaki.

9  

I.2.2. Permasalahan Khusus

UGM cukup mendukung hak para difabel untuk mengenyam

pendidikan hingga setinggi-tingginya sesuai kemampuannya. Terbukti

dari diterimanya difabel menjadi mahasiswanya, juga diperhatikannya

aksesibilitas tuna netra dan tuna daksa dalam kampus melalui jalur

pedestrian beserta guiding block.

Gambar 1. 5 Sarana Pejalan Kaki (dan Difabel) di Kawasan Pusat Kampus

UGM

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015

Dalam Pustral (2013), dikatakan bahwa perencanaan transportasi dan

sirkulasi di lingkungan kampus UGM diarahkan pada beberapa konsep,

salah satunya adalah towards zero emission campus menuju green

campus melalui penetapan moda prioritas bagi pejalan kaki dan

pesepeda. Universitas Gadjah Mada juga memiliki kebijakan educopolis

serta ART tahun 2003 yang telah disebutkan sebelumnya, yang

menunjukkam perhatian kampus terhadap aksesibilitas untuk semua

orang termasuk difabel.

Dari hal-hal yang sudah dijabarkan sebelumnya, dapat dilihat adanya

perhatian kampus terhadap aksesibilitas untuk semua orang termasuk

difabel. Di sisi lain, ada anggapan bahwa kampus masih kurang

aksesibel, seperti tertera pada beberapa artikel berikut ini.

10  

“.....Pada kenyataannya, hingga saat ini belum ada langkah signifikan

terkait aksesibilitas difabel. Menurut Nunu Luthfi, S. T., Kasi Gedung

dan Ruang UGM, penyediaan fasilitas untuk difabel terbentur dengan

berbagai kepentingan. Salah satunya Gedung Panca Dharma sebagai

cagar budaya yang tidak akan direnovasi karena mempertahankan

keasliannya. Selain itu, penyediaan fasilitas tersebut memerlukan

biaya yang tidak sedikit. “Membuat lift saja, satu perangkat itu

harganya antara enam ratus juta sampai satu milyar. Padahal yang

menggunakan hanya sedikit,” tambahnya.

Masih minimnya fasilitas yang tersedia bagi para difabel

mengisyaratkan perlunya kebijakan universitas yang mengatur

tentang hal ini. Mahasiswa difabel di UGM berharap fasilitas dan

sarana yang ada mengakomodasi kepentingan mereka. “Saya

berharap UGM lebih memperhatikan penyandang difabel sebagai

kaum minoritas,” pungkas Hanif.......”

Sumber: www.balairungpress.com artikel Desember 2011 diakses Mei

2016

11  

“..............Untuk sarana dan prasarana, menurut Hanif, UGM

belum memberikannya secara merata dan sungguh-sungguh. Baru

beberapa gedung fakultas yang memiliki aksesibilitas bagi kaum

difabel. Misalnya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang

sudah cukup ramah bagi difabel. Saat pembangunannya pun

beberapa perwakilan UKM UGM Peduli Difabel diajak untuk

berkontribusi dan mencoba sarananya.

Namun untuk fakultas lain, terutama untuk klaster Sains, belum

banyak yang askesibel bagi kaum difabel. Berdasar

pengamatan UKM UGM Peduli Difabel, sebanyak 80 persen

gedung di UGM belum aksesibel, padahal berdasarkan Perda No.

4 tahun 2012 semua bangunan yang diperbarui di Yogya harus

aksesibel bagi kaum difabel dan harus universal design........”

Sumber: www.liputan.tersapa.com artikel Mei 2015 diakses Mei

2016

Dalam artikel-artikel tersebut, mahasiswa difabel UGM

menyuarakan pendapatnya tentang UGM yang tidak sungguh-sungguh

menjamin akses difabel. Gedung-gedung baru telah dibangun dan

direncanakan dengan sistem aksesibilitas yang baik. Sebagaimana juga

didukung oleh artikel di atas. Namun bangunan-bagunan tersebut belum

terintegrasikan dengan sistem transportasi dalam kampus, dalam hal ini

ada pada aksesibilitas yang terputus antara bangunan satu dan yang

12  

lainnya, belum lagi bangunan lama yang sama sekali belum

mengakomodasi pergerakan difabel.

Pernah juga terjadi satu kesalahan dalam pengadaan fasilitas pejalan

kaki dan guiding block di salah satu penggal jalur pedestrian UGM. Saat

ini kesalahan tersebut sudah dikoreksi dan dipasang dengan arah yang

benar, setelah sebelumnya terpasang terbalik. Meski demikian, guiding

block semestinya tidak hanya memiliki blok pemandu tetapi juga blok

peringatan, satu hal yang masih belum ada di jalur pedestrian tersebut.

Padahal di saat terjadi perubahan alur perjalanan, blok peringatan wajib

ada untuk memberi peringatan kepada pengguna agar mereka tidak kaget

terhadap perubahan yang ada di depannya (jalur berbelok, jalur melandai,

dan sebagainya). Cukup menjadi peringatan, karena lokasi jalur pemandu

yang dimaksud ada di dalam kampus fakultas Teknik, tempat di mana

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Wilayah berada.

Gambar 1. 6 Pemasangan Guiding Block di penggal kampus Teknik (gambar kiri:awal pemasangan; gambar kanan:setelah dibenarkan)

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016

Permasalahan timbul karena adanya perbedaan antara kondisi ideal dengan

yang ada di lapangan, baik dalam hal filosofis, teori, maupun teknis.

Permasalahan tersebut antara lain:

‐ Kondisi aksesibilitas dalam kampus UGM yang masih kurang

maksimal dan tidak terintegrasikan antara satu lokasi dengan lokasi

13  

lainnya. sehingga kurang dapat digunakan oleh rekan difabel

dengan baik.

‐ Fasilitas yang sudah ada tidak sepenuhnya memenuhi syarat

I. 3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan permasalahan, maka

didapatkan pertanyaan penelitian:

‐ Bagaimana kondisi aksesibilitas di jalur pedestrian kampus UGM dari

aspek keselamatan dan kenyamanan bagi difabel?

‐ Bagaimanakah strategi untuk meningkatkan aksesibilitas bagi difabel

pada jalur pedestrian di kawasan kampus UGM?

I. 4. Tujuan Penelitian

‐ Mengevaluasi aksesibilitas difabel di jalur pedestrian UGM

‐ Merumuskan strategi untuk meningkatkan aksesibilitas bagi difabel

pada jalur pedestrian di kawasan kampus UGM

14  

I. 5. Keaslian Penulisan

No Peneliti

Judul Penelitian Fokus Hasil Penelitian Lokus

1 Estar Putra Akbar

(Tesis UGM, 2012)

Pengaruh Seting Ruang

dan Lingkungan

Terhadap Perilaku

Adaptasi Siswa Tuna

daksa di SLB N I Bantul

Yogyakarta

Menjelaskan bagaimana

anak SLB Tuna daksa

melakukan adaptasi

terhadap kondisi setting

ruang dan lingkungan

yang tidak dirancang

khusus untuk tuna daksa

dan faktor-faktor apa saja

yang mempengaruhinya

‐ Pengaruh setting ruang dan lingkungan pada

tingkatan adaptasi anak tuna daksa SLB N 1

Bantul berdasarkan derajat ketunaan (ketunaan

ringan, sedang, dan berat)

‐ Faktor-faktor setting ruang dan lingkungan yang

mempengaruhi tingkatan adaptasi tersebut

‐ Rekomendasi faktor-faktor pertimbangan utama

dalam merancang bangunan bagi anak tuna daksa

agar dapat beradaptasi dan berkegiatan mandiri

tanpa banyak bergantung pada orang lain

SLB N 1 Bantul

Yogyakarta

15  

No Peneliti

Judul Penelitian Fokus Hasil Penelitian Lokus

2 M. Sholahuddin

(Tesis UGM, 2006)

Setting Ruang dan

Pengaruhnya Terhadap

Aksesibilitas Para

Penyandang Cacat

Tubuh di Pusat

Rehabilitasi

Penyandang Cacat

Tubuh YAKKUM,

Yogyakarta

Pengaruh setting ruangan

terhadap aksesibilitas

dipengaruhi oleh

pencahayaan,

penghawaan, perabot, dan

ukuran ruang

‐ Pengaruh setting ruang terhadap aksesibilitas

difabel pada tiap jenis ruangan

‐ Faktor-faktor setting ruang yang mempengaruhi

aksesibilitas difabel di Pusat Rehabilitasi

Yakkum Yogyakarta

Pusat Rehabilitasi

Yakkum,

Yogyakarta

3 Angling Randhiko

Putro (Tesis UGM,

2013)

Aksesibilitas Halte

Trans JogjaTerhadap

Potensi Kawasan

Aksesibilitas antara halte

ke kawasan dan potensi

kawasan

‐ Kesesuaian potensi kawasan sebagai bangkitan

dan tarikan mobilitas terhadap lokasi halte Trans

Jogja (permukiman, sekolah, pasar, perkantoran,

pertokoan, tempat wisata kota, rumah sakit, dan

terminal)

16  

No Peneliti

Judul Penelitian Fokus Hasil Penelitian Lokus

Halte Trans Jogja,

Yogyakarta

‐ Arahan aksesibilitas jalur pejalan kaki antara

halte dengan titik bangkitan dan tarikan mobilitas

dengan aspek connectivity, proximity,

convenience, atrractivness, safety, dan security

4 Dony Fitriandy

(Tesis UGM, 2006)

Linier Space untuk

Pejalan Kaki di Kampus

Universitas Gadjah

Mada

Identifikasi tipologi linier

space sesuai dengan

hirarki zonasi di Kampus

UGM; khususnya bagi

pejalan kaki, ditinjau dari

aspek kenyamanan,

keamanan, dan

keselamatan.

‐ Strategi untuk mewujudkan linier space pada

lingkungan kampus UGM yangnyaman bagi

pejalan kaki Kampus UGM

17  

I. 6. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan bagi penelitian ini adalah:

1. Bagi Akademisi

Diharapkan dapat memberi gambaran mengenai aksesibilitas yang

dapat mendukung aktivitas difabel secara mandiri.

2. Bagi Kampus UGM

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi UGM

dalam penataan fisik dan sirkulasi kampus.

3. Bagi Difabel di area Kampus UGM

Diharapkan ke depannya difabel mendapat akses yang baik di area

kampus.

I. 7. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi Latar Belakang mengenai aksesibilitas bagi difabel,

Rumusan Masalah, Pertanyaan Penelitian, Tujuan dan Sasaran Penelitian,

Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan, serta Pola Pemikiran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tinjauan teoritis mengenai teori yang digunakan.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini akan membahas metode yang digunakan dalam penelitian, lingkup

penelitian, penentuan lokasi penelitian, dan tahapan penelitian.

BAB IV. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN

Bab ini akan membahas gambaran umum jalur pedestrian UGM yang

menjadi sampel penelitian

BAB V. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

Bab ini memaparkan hasil analisa dan temuan-temuan yang ada di

lapangan.

18  

BAB VI. KESIMPULAN DAN ARAHAN

Pada bab ini akan membahas hasil kesimpulan dari analisa hasil penelitian.

Dari kesimpulan tersebut dibuat rekomendasi berupa arahan desain.