Bab I Pendahuluan -...

12
Bab I Pendahuluan I.I LATAR BELAKANG MASALAH Penelitian ini bertujuan untuk melihat pola relasi antara pemerintah Kota Yogyakarta dengan aktor-aktor pariwisata terkait dengan fenomena pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta diwakili oleh Dinas Perizinan dan Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta. Sedangkan aktor-aktor yang berhubungan dengan pembangunan hotel adalah masyarakat Kota Yogyakarta yang terkait langsung dengan kebijakan pembangunan hotel Kota Yogyakarta, PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) sebagai organisasi perhotelan di Indonesia khususnya di Yogyakarta dan PUSPAR UGM (Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada). Pembangunan hotel menjadi kata kuncinya, karena apa yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta terkait pembangunan hotel dianggap tidak sesuai oleh PHRI untuk stabilitas dunia perhotelan di Yogyakarta, serta banyaknya tanggapan negatif yang datang dari masyarakat di Kota Yogyakarta. Meskipun sudah terbit peraturan walikota nomor 77 tahun 2013 tentang moratorium pembangunan hotel, ternyata masih banyak keluhan yang muncul dalam surat kabar maupun forum-forum masyarakat. Menurut data dari Pusat Studi Pariwisata UGM pada tahun 2011 berdiri 37 hotel baru dengan estimasi pertambahan 3.000 kamar, sedangkan di tahun 2012 ada 17 hotel baru dan tambahan 2.400 kamar. 1 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) cabang Yogyakarta mengungkapkan, tercatat ada 7.000 lebih jumlah kamar hotel di Yogyakarta dan di tahun 2012 ini akan ada 17 hotel baru yang akan dibangun. Masih menurut PHRI pada tahun 2013 terdapat 1.160 hotel di wilayah DIY, yang terdiri dari 60 hotel berbintang dengan lebih                                                            1 Hasil wawancara dengan Fernando Marpaung Pusat Studi Pariwisata UGM tanggal 12 Juni 2012 Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di Kota Yogyakarta DHIENDA VIOLA DEWINTHA Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of Bab I Pendahuluan -...

Page 1: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

Bab I

Pendahuluan

I.I LATAR BELAKANG MASALAH

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pola relasi antara pemerintah Kota Yogyakarta

dengan aktor-aktor pariwisata terkait dengan fenomena pembangunan hotel di Kota

Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta diwakili oleh Dinas Perizinan dan Dinas Pariwisata

Kota Yogyakarta. Sedangkan aktor-aktor yang berhubungan dengan pembangunan hotel

adalah masyarakat Kota Yogyakarta yang terkait langsung dengan kebijakan pembangunan

hotel Kota Yogyakarta, PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) sebagai organisasi

perhotelan di Indonesia khususnya di Yogyakarta dan PUSPAR UGM (Pusat Studi Pariwisata

Universitas Gadjah Mada). Pembangunan hotel menjadi kata kuncinya, karena apa yang

dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta terkait pembangunan hotel dianggap tidak sesuai oleh

PHRI untuk stabilitas dunia perhotelan di Yogyakarta, serta banyaknya tanggapan negatif yang

datang dari masyarakat di Kota Yogyakarta. Meskipun sudah terbit peraturan walikota nomor

77 tahun 2013 tentang moratorium pembangunan hotel, ternyata masih banyak keluhan yang

muncul dalam surat kabar maupun forum-forum masyarakat.

Menurut data dari Pusat Studi Pariwisata UGM pada tahun 2011 berdiri 37 hotel baru

dengan estimasi pertambahan 3.000 kamar, sedangkan di tahun 2012 ada 17 hotel baru dan

tambahan 2.400 kamar.1 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) cabang

Yogyakarta mengungkapkan, tercatat ada 7.000 lebih jumlah kamar hotel di Yogyakarta dan

di tahun 2012 ini akan ada 17 hotel baru yang akan dibangun. Masih menurut PHRI pada tahun

2013 terdapat 1.160 hotel di wilayah DIY, yang terdiri dari 60 hotel berbintang dengan lebih

                                                            1Hasil wawancara dengan Fernando Marpaung Pusat Studi Pariwisata UGM tanggal 12 Juni 2012 

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

dari 6.000 kamar, dan 1.100 hotel kelas melati dengan 12.660 kamar. Sedangkan berdasarkan

data Badan Pusat Statistik DIY, jumlah hotel di Yogyakarta sampai awal 2013 mencapai 401

unit, terdiri dari 39 hotel berbintang dan 362 hotel nonbintang.2 Menurut kepala bidang

perizinan Kota Yogyakarta Golakari Made Yulianto, sampai bulan Februari 2013 sudah ada 63

pembangunan hotel yang sebagian besar sudah mengantongi IMBB selain itu, menurut badan

Perekonomian Pengembangan PAD & Kerjasama (P3DK) Kota Yogyakarta berdasarkan

pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun 2012 investasi di Kota

Yogyakarta mengalami kenaikan dari Rp. 591,852 Miliar menjadi Rp. 717,613 Miliar yang

didominasi oleh izin pembangunan hotel.3

Banyaknya pembangunan hotel menurut Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta,

dikarenakan minat dari investor yang ingin terjun ke bisnis akomodasi sangat tinggi, mengingat

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan wisata. Tingginya minat pembangunan

dilihat dari sisi ekonomi menandakan pertumbuhan ekonomi di tempat tersebut tumbuh

dengan baik , khususnya pembangunan hotel dapat berdampak positif karena membuka

lapangan kerja baru. Pertumbuhan hotel yang meningkat tajam juga bisa diartikanbahwa

tingkat kunjungan wisatawan yang datang ke kota Yogyakarta tiap tahunnya meningkat, dan

tingkat hunian hotel tinggi, sehingga investor lebih memilih investasi dalam bentuk akomodasi/

hotel.

Gambar1

Jumlah Tamu Asing dan Domestik yang Datang Per Bulan di DIY

                                                            2Prakoso, Ario. 2014. Rakyat Jogja Tertindas Pembangunan diakses dari http://lpmhimmahuii.org/2014/11/rakyat‐jogja‐tertindas‐oleh‐pembangunan/ tanggal 20 Maret 2015 3Sujatmiko, Tomi. 2012, Investasi Yogya Tumbuh 21 Persen. Diakses dari http://krjogja.com/read/162361/2012‐investasi‐kota‐yogya‐tumbuh‐21‐persen.kr. Tanggal 20 Maret 2015 

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

Sumber : DIY dalam angka tahun 2014

Tingkat kunjungan wisatawan asing dalam grafik tersebut mengalami naik turun,

bahkan tingkat kunjungan wisatawan mancanegara di DIY dalam kurun waktu 14 tahun

terakhir tidak pernah melebihi angka 350.000/tahun, seperti yang pernah dicapai pada tahun

1995.4 Dalam sepuluh tahun terakhir tingkat kunjungan wisatawan mancanegara tidak lebih

160.000/tahun, sehingga rata-rata tingkat hunian kamar hotel pada low season (bukan musim

liburan) kurang dari 60% yaitu hanya sekitar 40-50%. Rendahnya tingkat kunjungan wisatawan

asing diantaranya disebabkan oleh: 1) leadership/ kepemimpinan yang masih kurang, 2) sense

of tourism/ kurangnya kebijakan dan regulasi yang mendorong tumbuh kembangnya

pariwisata, 3) tur yang terlalu lamban membuat pelaku pariwisata di daerah ini cepat puas.5

Wisatawan yang datag di DIY sebagian besar diwakili dari jumlah wisatawan dari Kota

Yogyakarta.

                                                            4Kedaulatan Rakyat, Sabtu 12 Maret 2011 5ibid 

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

Tabel 1

Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Kota Yogyakarta

No Tahun Domestik Mancanegara JUMLAH

1 2007 1.159.805 100.853 1.260.658

2 2008 1.490.656 263.056 1.753.712

3 2009 1.850.675 177.694 2.028.369

4 2010 2.253.064 207.903 2.460.967

5 2011 2.449.595 221.054 2.670.649

6 2012 2.611.453 283.727 2.895.180

7 2013 2.536.091 179.380 2.715.471

Sumber Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta Tahun 2014

Dapat dilihat dari Tabel 1, bahwa memang tingkat kunjungan wisatawan domestik tiap

tahunnya mengalami peningkatan walaupun sempat mengalami sedikit penurunan di tahun

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

2012 ke 2013. Kunjungan wisatawan sangat berpengaruh bagi tingkat okupansi hotel, karena

wisatawan datang tidak hanya pada peak season tetapi diharapakan juga pada low season.

Wisatawan domestik datang ke Yogyakarta biasanya pada musim libur sekolah atau libur hari

raya, sedangkan wisatawan asing datang tidak hanya pada musim liburan saja.

Rendahnya kunjungan wisatawan sangat berhubungan dengan tingkat okupansi hotel,

jika kunjungan rendah maka menurut PHRI hotel-hotel akan mengalami biaya operasional

tinggi yang akan menyebabkan hotel mengalami kerugian. Biaya operasional yang tinggi

terjadi karena hotel harus tetap melakukan pemeliharaan dan memberikan gaji kepada

karyawan walaupun tingkat okupansinya rendah. Selama Januari sampai Maret 2012 kemarin

merupakan low season dan pada saat itu tingkat hunian hotel berbintang hanya mencapai 60%,

sedangkan hotel melati hanya 30% saja. Rendahnya tingkat okupansi hotel membuat PHRI

menghimbau agar hotel-hotel berhemat untuk menekan biaya operasionalnya.

Dari data yang diatas PHRI menyimpulkan bahwa tidak boleh ada penambahan kamar

lagi oleh hotel-hotel yang ada di Yogyakarta. Penambahan hotel diperbolehkan jikalau hunian

kamar saat musim biasa bisa mencapai 60%, karena jika terlalu banyak hotel yang berdiri yang

dikhawatirkan adalah muculnya persaingan tidak sehat antar hotel. Persaingan antar hotel

berbintang dan melati akan terjadi jika, hotel berbintang membanting harga kamarnya demi

menarik minat wisatawan, maka hal ini akan berdampak pada usaha hotel kelas melati yang

berlevel UKM. Segi fasilitas sarana dan prasarana hotel berbintang jauh lebih lengkap

dibandingkan hotel nonbintang, sehingga yang ditakutkan adalah terjadi perang tarif dan

berakibat terhadap persaingan yang tidak sehat. Menurut Istijab (ketua PHRI Yogyakarta),

anggota harus mematuhi peraturan terkait tarif batas bawah seperti hotel bintang lima sebesar

Rp 800 ribu dan hotel bintang empat Rp 700 ribu. Penetapan batas bawah dan atas dilakukan

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

agar tidak mematikan hotel non bintang dan menurunkan tingkat hunian 10-15 persen.6 Hotel

berbintang bisa tetap untung karena selain menyewakan kamar, mereka juga menyewakan

convention hall atau ballroom untuk acara-acara tertentu seperti rapat atau acara pernikahan.

Selain itu juga peningkatan okupansi hotel pada low season didukung dengan adanya MICE

(Meeting, Incentive, Convention and Exhibition) yang mulai dirintis pada tahun 2009 bagi hotel

berbintang.

Hal senada juga diungkapkan oleh Gubernur DIY yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono

X. Beliau mengungkapkan kekhawatirannya mengenai pembangunan hotel yang begitu pesat

akan dapat menjadi boomerang bagi kota Yogyakarta sendiri, karena khawatir jika

pertumbuhan hotel tersebut tak terkendali, akan mematikan hotel-hotel yang selama ini telah

dibangun pihak investor. Sri Sultan khawatir jika nanti okupansi hotel di DIY turun semua,

akan sulit menarik investor baru.7 Pernyataan yang disampaikan oleh Sri Sultan HB X sama

dengan pendapat PHRI yaitu, agar pemerintah lebih jeli dalam membuka peluang investasi

hotel di kota Yogyakarta. PHRI kemudian menyarankan kepeda pemerintah kota agar

pemberian izin pembangunan hotel harus melalui pertimbangan PHRI serta sebaiknya

pemerintah kota mulai membatasi pembangunan hotel. Selain itu pendapat PHRI juga disetujui

oleh PUSPAR (Pusat Studi Pariwisata UGM) yang mengatakan bahwa pemerintah perlu

memperketat izin pembangunan hotel, memperketat dalam hal ini yaitu meningkatkan kriteria

atau standar dengan studi kelayakan, AMDAL, ANDAS, Transportasi dan hal yang terkait.8

Kedudukan PUSPAR di sini tidak memihak siapapun karena berperan sebagai

akademisi, sehingga PUSPAR tidak ikut campur dalam permasalahan pemerintah dengan

PHRI. PUSPAR melihat fenomena pembangunan hotel yang ada hanya melalui sudut pandang

                                                            6Lihat http://krjogja.com/read/124379/phri-imbau-hotel-tak-perang-tarif.kr 7Lihat http://www.traveltextonline.com/traveltalk/sultan-saya-khawatir-pertumbuhan-cepat-hotel-di-yogyakarta 8Hasil wawancara dengan Fernando Marpaung Pusat Studi Pariwisata UGM tanggal 12 Juni 2013 

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

pariwisata, tetapi pembangunan hotel yang tidak terkendali dapat berdampak buruk bagi

kehidupan masyarakat di Kota Yogyakarta. Tidak hanya PHRI saja yang merasakan dampak

pembangunan hotel yang begitu pesat, tetapi juga masyarakat merasakannya. Terutama

masyarakat yang bermukim di belakang hotel-hotel, masyarakat merasakan dampak yang

merugikan dari segala aspek terutama aspek lingkungan. Pembangunan yang tidak terkendali

memancing masyarakat yang terdiri dari aktivis, seniman dan warga sekitar hotel melakukan

protes melalui sebuah gerakan yang bernama Warga Berdaya. Aksi protes tersebut dinamakan

protes ‘Jogja Asat’ yang dilaksanakan pada hari Kamis 2 Oktober silam, warga dan seniman

membuat mural dan poster tentang dampak negatif pembangunan hotel terutama berkurangnya

cadangan air tanah di Kota Yogyakarta.9 Aksi turun ke jalan para seniman, aktivis dan warga

tersebut diharapkan dapat memantik kesadaran pemerintah tentang dampak negatif

pembangunan hotel yang tidak terkendali.

Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai pandangan sendiri terhadap kemajuan

pembangunan hotel sekarang ini. Pemerintah mempunyai alasan bahwa mereka mempunyai

rancangan jangka panjang mengenai pembangunan pariwisata yang meliputi pembangunan

hotel. Menurut pemerintah pembangunan hotel di kota Yogyakarta masih dinilai perlu, karena

berhubungan dengan rencana mendatang misalnya pembangunan bandara Kulonprogo yang

dapat menampung 5,6 juta penumpang. Pembangunan bandara baru yang akan dilaksanakan

oleh pemerintah dinilai akan menambah jumlah pengunjung dan peningkatan okupansi hotel

yang ada. Alasan lain adalah bergairahnya iklim investasi di Yogyakarta membuat pemerintah

tidak ingin mengecewakan para investor.

                                                            9Asdhiana, I Made. 2014. Pembangunan Hotel Seniman dan Warga Membuat Mural. Diakses dari http://travel.kompas.com/read/2014/10/03/205300827/Protes.Pembangunan.Hotel.Seniman.dan.Warga.Membuat.Mural tanggal 20 Maret 2015  

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

Dari beberapa alasan yang dilontarkan pemerintah terdapat suatu kesimpulan dimana

pemerintah tidak ingin menghentikan pembangunan hotel serta tidak mau melibatkan PHRI

dalam pemberian izin pembangunan hotel. Selain itu pemerintah juga menolak adanya

pembatasan pembangunan hotel di kota Yogyakarta, karena hal tersebut tentu saja bertentangan

dengan rencana pemerintah yang sudah disusun berdasarkan kajian-kajian yang ada.

Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai fasilitator bagi investor dalam pembangunan hotel

serta sebagai regulator yang berfungsi untuk mengawasi dan mengatur tentang persaingan

ataupun dampak dari pembangunan hotel yang ada. Terlebih lagi izin pembangunan hotel

merupakan kewenangan dari pemerintah kota, sehingga pemerintah provinsi tidak dapat

campur tangan dalam hal tersebut.

Gambar 2

Distribusi Presentase PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga

Berlaku di DIY (persen) 2013

Sumber: DIY dalam Angka Tahun 2014

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

Dari gambar diatas terlihat bahwa pemerintah bersikukuh jikalau pembangunan hotel

sangat menguntungkan dari segi investasi,karena investasi yang masuk ke kota Yogyakarta

secara langsung dapat meningkatkan pendapatan kota. Terlihat dari PDRB DIY bahwa

pemasukan terbesar berasal dari perdagangan hotel dan restoran. Sumber pendapatan

pemerintah provinsi berasal dari jenis-jenis pajak yang dikelola Pemerintah Provinsi yaitu:

Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar

Bermotor, serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,

sedangkan jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota yaitu: Pajak Hotel, Pajak

Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan

Pengelolaan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir.10

Meskipun pembangunan hotel sangat berkontribusi dalam meningkatkan PAD daerah,

seharusnya pemerintah tetap memperhatikan apa yang menjadi kepentingan pihak-pihak lain.

Pihak lain yang dimaksud adalah masyarakat Kota Yogyakarta yang terkena imbas dari

pembangunan hotel tersebut, serta PHRI sebagai organisasi perhotelan. Posisi PHRI disini

sebagai penyalur aspirasi para pengusaha hotel di Yogyakarta, yang diinginkan PHRI adalah

pemerintah mempertimbangkan saran dari PHRI dalam memberikan izin pembangunan hotel.

Selain itu PHRI disini berperan sebagai penyambung suara ke pemerintah, karena jika

pemerintah tidak menetapkan regulasi maka para pengusaha hotel yang akan dirugikan. Di sisi

lain munculnya gelombang protes atas pembangunan hotel banyak bermunculan di kalangan

aktivis dan masyarakat yang merasa jengah dengan pembangunan hotel yang semakin marak,

seharusnya membuat pemerintah kota lebih mawas diri.

Banyaknya aksi penolakan pembangunan hotel membuat walikota Yogyakarta Haryadi

Suyuti menerbitkan peraturan walikota nomor 77 tahun 2013 tentang moratorium pemberian

                                                            10BPS DIY yabg diakses melalui http://yogyakarta.bps.go.id/ tanggal 21 Maret 2015 

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

izin pembangunan hotel mulai 1 Januari 2014 sampai 31 Desember 2016. Setelah tebit perwal

tersebut diharapkan dapat mengurangi pembangunan hotel, tetapi yang terjadi masih ada 104

hotel baru yang akan dibangun sampai tahun 2016.11 Apakah pemerintah serius menanggapi

keluhan masyarakat tentang pembangunan hotel tersebut, karena perwal nomor 77 tahun 2013

hanya dianggap sebagai penghiburan saja melihat masih banyaknya hotel yang akan dibangun

di Kota Yogyakarta. Sikap pemerintah tersebut dapat memunculkan pertanyaan bahwa

hubungan/relasi apakah yang terjalin antara pemerintah dengan masyarakat dan PHRI dalam

kaitannya dengan fenomena pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Seharusnya pemerintah

mendengarkan aspirasi rakyatnya, terlebih kaitannya dengan kemajuan kota itu sendiri.

Pembatasan pendirian hotel di Kota Yogyakarta merupakan hal yang penting,

mengingat pariwisata bukan hanya di sektor ekonomi yaitu meningkatkan pendapatan daerah

tersebut tetapi, masih banyak sektor lain yang menyangkut pariwisata seperti transportasi,

perikanan, kerajinan ataupun peternakan. Selain itu menurut peneliti dari Pusat Studi

Pariwisata UGM menilai arah pengembangan pariwisata di DIY hanya berpusat pada ekonomi

dan industri bukan keseluruhan. Padahal pariwisata bersifat yang multisektoral dan borderless

(tidak mengenal batasan wilayah), ditambah lagi pariwisata menyumbang pendapatan daerah

sebesar 48%. Jika pemerintah tidak concern dalam mengatur pariwisata termasuk berkaitan

dengan pendirian hotel, maka ditakutkan pengembangan pariwisata di Yogyakarta akan

mengalami kerugian yang diakibatkan kurangnya sikap pemerintah dalam mengendalikan

pembangunan hotel.

Fokus penelitian ini untuk melihat pola relasi antara pemerintah Kota Yogyakarta

dengan komponen yang ada dalam dunia pariwisata di Kota Yogyakarta, khususnya yang

terkait langsung dengan pembangunan hotel yaitu masyarakat dan PHRI. Hal ini cukup

                                                            11Hasil wawancara dengan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta pada tanggal 11 Februari 2014 

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

menarik untuk diteliti terlebih kota Yogyakarta menjadikan pariwisata sebagai pemasukan

kedua terbesar setelah pendidikan. Pemerintah sebagai aktor yang berkuasa diharapkan dapat

menjalin relasi dengan berbagai pihak dan seharusnya setiap kebijakan yang diambil

pemerintah tidak merugikan sebagian pihak seperti masyarakat Kota Yogyakarta.

I.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan pokok masalah yaitu :

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82519/potongan/S1-2015-285857...pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP) sampai akhir tahun

”Bagaimana pola relasi antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan aktor-aktor yang

berhubungan dengan pembangunan hotel (masyarakat dan PHRI) dalam keterkaitannya

dengan fenomena pembangunan hotel di Kota Yogyakarta ?”

I.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui relasi antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan masyarakat dalam

fenomena pembangunan hotel di Kota Yogyakarta

2. Mengetahui relasi Pemerintah Kota Yogyakarta dengan PHRI dalam dunia pariwisata

dan keterkaitannya dengan fenomena pembangunan hotel di Kota Yogyakarta

I.4 MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca untuk

dapat lebih memahami relasi antara pemerintah dengan PHRI (Perhimpunan Hotel dan

Restoran Indonesia) dalam hubungannya dengan fenomena pembangunan hotel di kota

Yogyakarta.

2. Bagi Pihak Luar

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan sumber

informasi bagi pembaca pada umumnya dan sumber inspirasi bagi peneliti mendatang

untuk meneliti lebih lanjut mengenai fenomena pembangunan hotel dalam

hubungannya antara pemerintah dan PHRI.

 

Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat dan PHRI (Perhimpunan HoteldanRestoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di KotaYogyakartaDHIENDA VIOLA DEWINTHAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/