BAB I Pendahuluan -...
Transcript of BAB I Pendahuluan -...
BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Konon Yogyakarta memiliki berbagai macam predikat, diantaranya adalah
sebagai kota seni dan budaya. Sebagai kota seni, masyarakat terbiasa
mengeskpresikan gagasan, aspirasi, ataupun pendapat mereka dengan
menggunakan berbagai media seni. Seni visual adalah salah satunya. Berbagai
seniman dari beragam kelompok usia mencoba untuk menunjukkan eksistensi
mereka ataupun partisipasi mereka sebagai masyarakat kota melalui media ini.
Termasuk diantara mereka adalah kelompok pelajar/pemuda. Melalui seni coret-
coret atau yang dikenal dengan grafiti mereka menuangkan ekspresi kekecewaan
atau bahkan rasa frustasi mereka terhadap sistem yang ada. Sayangnya
Yogyakarta yang memiliki banyak seniman dengan ekspresi seninya namun
memiliki ruang ekspresi yang sempit. Sehingga yang terjadi adalah tumpuk
menumpuknya ekspresi seni yang mereka buat termasuk diantaranya berupa coret-
coret di ruang bersama. Lama kelamaan banyaknya coretan ini membuat tampilan
kota secara visual menjadi kacau.
Jika dilihat sepintas lalu, isi coretan mereka kurang dapat dipahami apa
maksudnya. Ada beberapa yang hanya terdiri dari huruf-huruf yang berarti
singkatan dari nama kelompok ataupun sekolah mereka. Dapat dikatakan bahwa
yang dapat mengerti tanda-tanda itu hanyalah kalangan mereka sendiri saja,
masyarakat secara umum tidak dapat menangkap apa maksud dari coretan
tersebut. Tidak jarang juga yang bentuknya tidak teratur, saling timpa antara satu
coretan dan coretan lain. Coret-coretan yang disebut sebagai graffiti ini adalah
tulisan-tulisan yang biasanya berisikan nama kelompok dan menunjukkan wilayah
kekuasaan sang bomber (pembuat graffiti). Graffiti sebetulnya juga termasuk
kedalam seni jalanan (street art) dimana praktik seni ini dapat dicermati sebagai
bentuk dari “protes” kaum muda. Kejenuhan ataupun rasa frustasi terhadap
tuntutan yang dialami dari sekolah, rumah, maupun lingkungan masyarakat
membuat mereka ingin tampil dan diakui keberadaannya melalui medium ini.
Dengan berkelompok, biasanya dengan teman satu sekolah, mereka membuat
tanda akan kehadiran mereka disana.
Coret-coret ini semakin marak dan berlangsung sampai tahun 2000an.
Pemerintah kota kemudian merespon kondisi kota yang demikian dengan
mengadakan kegiatan “Projek Mural Kota” pada tahun 2002 yang
pelaksanaannya bekerja sama dengan Apotik Komik, salah satu kelompok
seniman kota Yogyakarta, dan juga komunitas seniman-seniman lain yang berasal
dari dalam kota, dari Jakarta dan juga dari Amerika. “Penertiban” ini ditempuh
sebagai upaya untuk menghadirkan Yogyakarta yang dikenal sebagai kota seni
sehingga identitas kesenian dapat dilihat dari pengaturan tata ruang kota.
Sekaligus juga menunjukkan bahwa untuk mengatasi persoalan tata ruang kota
diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan seniman yang juga
sebagai warga kota sendiri.
Projek ini melibatkan banyak pihak dan seniman. Selain Apotik Komik,
komunitas seniman lain juga tergabung dalam projek ini, sehingga membuat
projek ini meluas bahkan sampai masuk ke wilayah pinggiran kota. Dinding-
dinding yang semula terabaikan dari perhatian sehingga penuh dengan coret-
coretan graffiti yang saling tumpang tindih digantikan dengan gambar-gambar
menarik dengan menyesuaikan dengan kondisi dan bentuk dari bangunan yang
temboknya dihias mural. Gambar yang biasa kita lihat ada pada media kanvas
dipindahkan ke tembok-tembok kota. Sehingga Syamsiar (2009) menyebutkan
bahwa masuk ke Yogyakarta seperti masuk ke ruang pameran raksasa.
Sampai sekarang, pemerintah daerah sendiri memang belum memiliki
peraturan yang jelas mengenai dilarang atau diperbolehkannya mural di kota ini.
Seringkali seniman-seniman ini dibiarkan saja berkarya di jalanan, namun juga
ada yang kemudian dituding melakukan vandalisme karena dianggap merusak
properti orang lain ataupun fasilitas milik publik. Memang sempat ada kasus
mengenai ditangkapnya seniman mural yang didakwa dengan tuduhan
vandalisme, namun sampai hari ini masih saja diproduksi hasil karya seniman-
seniman yang ada di kota ini. Sejak berlangsungnya projek Mural Kota
masyarakat semakin terbuka terhadap seni rupa. (Antok, 2003 dalam Wacandra,
2009)
Mural adalah seni jalanan (street art) yang sudah sejak lama hadir di
Indonesia. Bahkan sejak zaman penjajahan Jepang sudah ditemukan Mural di
negeri ini. Bentuknya dapat berupa coret-coretan, lukisan, ataupun gabungan
antara keduanya yang menggunakan media tembok yang ada di pinggir jalan.
Gambar 1Mural pada zaman penjajahan Jepang1
Untuk membuatnya, seni mural ini tidak memerlukan izin dari pemerintah
ataupun pemilik bangunan karenanya dinamakan seni jalanan. Dikatakan oleh
Barry (2008) bahwa persoalan izin ini yang kemudian membuat mural
digolongkan ke dalam aksi vandalisme. Selain itu, disebut seni jalanan juga
karena seni ini memanfaatkan tembok-tembok jalan, karya ini benar-benar hadir
di jalan sehingga siapapun orang yang lalu lalang dapat menikmati karya seni
tersebut. Perkembangannya pada masa kini lebih marak lagi dapat kita temukan
seni rupa yang tergolong unik ini. Khususnya di kota Yogyakarta dimana kita
dapat dengan mudah menemukan mural di setiap sudut kota.
Kota yang juga dijunjung sebagai kota seni dan kota budaya ini memiliki
beberapa alasan mengapa kehadiran mural yang termasuk ke dalam kelompok
seni rupa ini dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat lokal. Seperti
1 Data sekunder: dokumentasi Antariksa, 2013. Mural tersebut merupaka karya Ono Saseo di Serang,Jawa Barat, Maret 1942 (dari katalog pameran “Ono Saseo – Modern Girls on Parade” di Taro OkamotoMuseum Of Art, Des 2012-Jan 2013). Gambar diunduh darihttps://www.facebook.com/photo.php?fbid=10200637984300636&set=pb.1491049470.-2207520000.1435674543.&type=3&theater pada 01/05/2015
keberadaan beberapa sekolah seni, misalnya Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta ataupun beberapa sekolah atau sanggar seni lain yang banyak tersebar
di kota ini. Ataupun tokoh-tokoh seni rupa juga banyak lahir dari kota ini, seperti
Affandi yang bahkan memiliki museum dengan namanya sendiri yaitu Museum
Affandi yang terletak di Jalan Solo. Juga ada Hendra Gunawan dan Sujoyono
yang mendirikan Pelukis Indonesia Muda pada tahun 1946 dan Pelukis Rakyat
pada tahun 1947. Dilihat dari sejarah tersebut, Kota Yogyakarta diketahui sebagai
kota yang ramah terhadap seniman. Sampai sekarang pun seringkali acara-acara
seni dari berbagai disiplin dilangsungkan di kota ini, baik berupa pameran seni
rupa, panggung rakyat seni musik, ataupun pertunjukan teater, dan juga berbagai
ekspresi seni lainnya.
Keramahan kota terhadap dunia seni mendorong mural terus berkembang
disini. Mural yang dapat kita jumpai di kota ini beragam jenisnya. Ada yang
sifatnya komersil dimaksudkan untuk promosi suatu produk telepon seluler
tertentu, ada juga yang berisikan pesan moral dan nilai-nilai masyarakat setempat,
serta terdapat juga yang memuat tentang kritikan terhadap pemerintah, baik
daerah maupun pusat. Jenis terakhir ini yang akan lebih lanjut dibahas pada
penelitian ini, terutama yang berkaitan dengan kritik terhadap pembangunan hotel
yang kian marak di kota Yogyakarta.
Seniman mencoba untuk merekonstruksi pemahaman mereka mengenai
realitas yang ada ke dalam karya yang dihasilkan. Mereka menuangkan kembali
keresahan mereka terhadap kondisi lingkungan, khususnya yang terjadi di Kota
Yogyakarta. Begitupun dengan persoalan pembangunan hotel yang kian marak
disini, mereka melihat persoalan ini dari sudut pandang mereka sebagai seniman
yang juga bagian dari masyarakat sipil. Tidak sulit kita temui mural yang
berisikan kritikan para seniman kepada pemerintah atau mereka yang dianggap
kelompok elit. Fenomena ini menjadi menarik perhatian penulis karena mereka
melakukan aksi, menuangkan gagasan dan ide-ide yang mereka miliki melalui
seni jalanan atau mural.
Para seniman ini memiliki harapan bahwa gambar atau karya seni mereka
akan memberikan pengaruh terhadap masyarakat. Karena efek dari pembangunan
hotel yang semakin marak ini juga sudah dirasakan oleh warga sekitar, yakni
sulitnya mencari air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari.
Berbagai cara untuk menjinakkan warga dilakukan oleh pemodal. Salah satunya
dengan memberikan kompensasi berupa sejumlah uang. Bagi mereka yang
menyadari bahwa uang yang diberikan tidak akan mampu menggantikan kesulitan
mereka mendapatkan air di hari-hari kedepan membuat aksi protes kepada
pemodal maupun kepada pemerintah setempat serentak dilakukan. Pro dan kontra
memang kerap terjadi dalam setiap kebijakan, pun seperti fenomena ini.
Walaupun apabila pemegang keputusan seperti ketua RT dan RW atau lainnya
memberikan persetujuan, warga yang merasakan kesulitan ini tetap tidak bisa
diam saja. Dengan dibantu oleh orang-orang yang perduli terhadap kondisi sosial
dan budaya kota ini, mereka berusaha untuk memperjuangkan hak mereka yang
sudah sejak lahir bahkan dari orang tua mereka terdahulu sudah tinggal dan
menetap di kawasan itu.
Mural dirasa dapat menjadi media untuk melawan. Mereka mencoba
mengkomunikasikan ide-ide serta mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap
pemerintah ataupun pihak swasta sebagai pihak dominan dalam sistem demokrasi
Indonesia saat ini. Perlu dipahami bahwa mural merupakan sajian visual yang
hadir di ruang publik. Sehingga mural memiliki fungsi sosial. Seperti halnya pada
zaman kemerdekaan mural digunakan sebagai media untuk membakar semangat
rakyat melawan kolonialisme, saat ini pun mural dimanfaatkan sebagai media
untuk melawan hegemoni pemerintah maupun sistem kapitalis. Mural tidak bisa
dipahami begitu saja seperti apa yang ada dalam gambar. Ada pesan lain yang
ingin disampaikan oleh seniman melalui karya seni mereka selain tentang Jogja
yang mengalami kekeringan. Melalui mural, dinding yang ada di pinggir jalan
kota Yogyakarta menjadi sesuatu yang memiliki makna. Mereka menjadi tanda
yang seakan-akan hidup dan berbicara kepada orang-orang yang lalu-lalang dan
menyaksikan mereka.
Dengan mural, mereka melakukan penguatan terhadap gerakan perjuangan
menolak maraknya pembangunan hotel yang tidak sesuai dengan prosedur melalui
mural yang bertajuk “Jogja Asat” ini. Identitas mereka sebagai seniman
dikontruksi melalui hasil karya street art yang mereka buat. Kemudian dari situ
orang akan juga lebih kenal dengan permasalahan bahwa pembangunan hotel-
hotel yang berdalih untuk memajukan dunia pariwisata kota Yogyakarta tapi
justru menyusahkan kehidupan warganya, salah satu yang sudah dirasakan adalah
air tanah yang semain sulit diperoleh.
Mural dipilih sebagai media yang dianggap mudah dimengerti karena
bentuk maupun isinya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya.
Seperti pemilihan gambar ataupun bahasa. Asat dalam “Jogja Asat” merupakan
bahasa Jawa yang berarti kering. Bahasa Jawa merupakan bahasa asli penduduk
Yogyakarta. Sehingga dengan menggunakan bahasa asli ini masyarakat menjadi
lebih mudah memahami apa maksud dari mural tersebut. Jogja Asat sendiri bukan
hanya tagline, tapi fenomena ini memang nyata dirasakan oleh warga sekitar
hotel-hotel yang semakin marak hadir di kota ini. Warga terdampak mengalami
bagaimana air yang ada di sumur-sumur mereka semakin mengering setiap
harinya. Termasuk ketika air yang biasa keluar dengan deras, berkurang terus
menerus hingga tersisa tetesan-tetesan yang hanya bisa keluar dari keran air
rumah mereka. Mesin yang mereka gunakan di rumah-rumah mereka tidak
mampu menandingi kekuatan mesin pemompa air yang dimiliki oleh hotel-hotel
tinggi tersebut.
Karena mural ada di dinding jalanan yang dapat diakses oleh masyarakat
umum, maka kehadiran mural dapat menjadi penting untuk membentuk opini
masyarakat. Siapapun orang yang lalu-lalang melewati mural tersebut, secara
disengaja atau tidak, akan melihat mural dan membaca pesan yang hendak
disampaikan oleh mural. Walaupun interpretasi dari setiap orang yang membaca
dapat berbeda-beda dari mural yang dihadirkan, namun dengan judul “Jogja
Asat” yang terpampang paling besar dalam mural yang terletak di bawah rel
kereta api wilayah jembatan kewek Yogyakarta ini memudahkan audien untuk
mengerti apa isi dari mural tersebut. Kontestasi antara seniman mural dan pihak
lain dalam memperebutkan ruang publik juga menjadi hal yang menarik dari
mural. Seperti yang dapat kita saksikan bahwa mural ditempatkan pada lokasi
yang berdampingan atau berdekatan dengan baliho atau reklame yang berisikan
iklan. Ruang ini ternyata juga dimanfaatkan oleh pemodal sebagai media promosi
produk mereka. Terlebih tidak jarang kita jumpai bahwa di Kota Yogyakarta ini
banyak dapat kita jumpai provider telepon seluler yang menggunakan mural
sebagai media promosi.
Sebagai kota budaya, Yogyakarta seolah memiliki magnet sehingga
wisatawan asing maupun lokal untuk datang ke kota ini. Dilihat dari dunia mural
atau street art sendiri begitu mudah kita jumpai karya seniman di kota ini. Seperti
yang dikatakan oleh Cia Syamsiar (2009) bahwa memasuki kota ini seperti masuk
ke ruangan pameran raksasa karena begitu banyaknya hasil karya seni yang dapat
dinikmati dari kota ini. Mulai dari yang berantakan sehingga tidak jelas apa yang
ingin disampaikan, sampai dengan mural yang indah menggambarkan
keanekaragaman budaya Indonesia dan juga mural yang berisikan kritik sosial.
Karya-karya yang tersebar di jalan Yogyakarta ini bukan hanya karya dari
seniman Jogja, tapi juga ada hasil kolaborasi dari seniman asing yang datang ke
Jogja untuk berwisata ataupun sambil menempuh pendidikannya. Mereka yang
tertarik dengan kekhasan budaya Yogyakarta tidak jarang ikut meramaikan
“galeri” kota yang seakan terbuka bagi siapapun untuk berkarya disana.
Aksi ini dilakukan oleh gabungan dari beberapa elemen masyarakat serta
komunitas yang ada di kota ini. Mereka menyebut diri mereka sebagai “Warga
Berdaya”. Selain kelompok seniman, ada juga komunitas lain seperti kelompok
pelajar lokal dan asing dari berbagai disiplin ilmu, kelompok difabel, kelompok
yang memperhatikan kebudayaan Yogyakarta, serta masyarakat sekitar hotel
sendiri yang ikut bergabung dengan Warga Berdaya ini. Komunitas Warga
Berdaya sendiri bersifat cair, tidak ada struktur organisasi yang tetap, sehingga
siapapun bisa bergabung dengan aksi yang mereka lakukan. Selain itu membuat
setiap orang yang bergabung memahami aksi yang mereka lakukan. Seperti
gerakan “Jogja Asat”, mereka yang turut bergabung dalam gerakan Warga
Berdaya mengerti dengan pasti apa masalahnya dan untuk apa gerakan tersebut
dilakukan.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah kemana peran pemerintah
dalam mengatasi permasalahan ini. Para pemodal dapat membangun hotel-hotel
mereka dengan izin yang mereka kantongi dari pihak yang berwenang
memberikan izin, yaitu pemerintah daerah. Sayangnya, izin yang mereka berikan
ternyata tidak dibarengi oleh pengawasan terhadap pembangunan hotel-hotel
tersebut, apakah sudah sesuai dengan aturan atau belum. Padahal dalam
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat ke-1 paragraf 4
menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah”. Selain itu
juga disebutkan dalam UUD Pasal 33 ayat 2 mengatakan bahwa “Bumi dan air
dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya oleh
kemakmuran rakyat”. Namun ternyata fakta yang terjadi adalah negara, dalam hal
ini pemerintah daerah Yogyakarta, memberikan kekuasaannya kepada pemilik
modal yang justru tidak menjalankan amanat UUD tersebut diatas. Seolah
permasalahan ini hanyalah antara warga dan pemodal yang membangun hotel.
Padahal ini juga persoalan pemerintah yang memberikan izin serta memiliki
kewajiban menjamin kemakmuran rakyatnya.
Oleh sebab itu kelompok seniman beserta kelompok lain yang tergabung
dalam Warga Berdaya dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan dimana
mereka tinggal, yaitu Yogyakarta, dalam hal ini menolak kapitalisasi ruang
publik, turut ambil bagian untuk menyuarakan protesnya yang bukan hanya
ditujukan kepada pemilik modal, tapi juga kepada pemerintah setempat. Mereka
merasa bahwa harus ada cara lain, selain cara demonstrasi yang biasa digunakan
untuk menyuarakan protes masyarakat. Dipilihlah media lain, yaitu melalui karya
seni mural.
I.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
a) Bagaimana sejarah perkembangan mural sebagai medium kritik
sosial?
b) Bagaimana praktik mural dan gerakan sosial berlangsung melalui
studi kasus Jogja Asat?
c) Bagaimana mural direpresentasikan sebagai alat perlawanan?
I.3 Tujuan Penelitian
Untuk menambah khazanah pengetahuan baru mengenai tafsir atas mural,
khususnya mural “Jogja Asat”:
a) Menjelaskan sejarah perkembangan mural sebagai medium kritik
sosial.
b) Menjelaskan keterhubungan mural dan gerakan sosial melalui studi
kasus Jogja Asat.
c) Menjelaskan mural yang direpresentasikan sebagai alat
perlawanan.
I.4 Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai mural secara akademik dalam ilmu-ilmu sosial telah
penulis temukan. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang juga mengkaji
tentang mural dimana tema tersebut juga merupakan tema yang menarik minat
penulis. Tulisan karya Syamsul Barry dengan judul Jalan Seni Jalanan
Yogyakarta terbitan Studium pada tahun 2008 ini sangat membantu penulis untuk
memahami dinamika seni jalanan, khususnya di Yogyakarta. Terlebih yang
diangkat oleh Barry dalam tulisannya adalah juga yang menarik minat penulis,
yaitu tentang mural. Disini Barry mencoba membandingkan mural dan graffiti
dimana keduanya sama-sama berada di “jalan”.
Barry memulai tulisannya dengan memaparkan hubungan seni jalanan
dengan kota dan karakternya. Kemudian dilanjutkan dengan menceritakan
perkembangan graffiti dan mural pada bab yang berbeda. Semakin menarik karena
pada bagian selanjutnya Barry membekali pengetahuan penulis akan konteks
politik serta bagaimana peran pemerintah sampai Yogyakarta menjadi semakin
ramai oleh seni jalanan. Terakhir, Barry mengaitkan antara seni ini dengan gaya
perlawanan anak muda. Seperti kita ketahui bahwa seni jalanan memang
diramaikan oleh kelompok muda. Selain itu, seni jalanan kerap diidentikkan
sebagai bentuk perlawanan generasi muda terhadap pemerintah.
Analisis yang digunakan Barry juga mirip dengan analisis bahasa
Bennedict Anderson untuk membongkar seni jalanan yang kemudian berkembang
dan dikatakannya bahwa telah mengalami proses kromonisasi atau penghalusan.
Yang dimaksud disana adalah bagaimana seni jalanan kemudian masuk ke ruang-
ruang galeri yang berarti tidak lagi untuk masyarakat umum, namun merupakan
konsumsi khas kalangan selain kelas bawah. Sama dengan penulis yang
memfokuskan pada analisis bahasa (dalam representasi) dan tanda (dalam
semiologi) yang digunakan dalam mural “Jogja Asat”. Yang kemudian
membedakan adalah penulis menggunakan metode semiologi ala Barthes untuk
mengungkap maksud dari bahasa da tanda yang digunakan seniman dalam mural
tersebut.
Barry telah lengkap menangkap fenomena seni jalanan khususnya di
Yogyakarta. Namun terlihat bahwa menurutnya grafiti lebih bisa dikatakan
sebagai seni perlawanan dibanding mural yang menurutnya lebih kepada penghias
dinding. Ini yang akan dilengkapi penulis. Penelitian ini akan melengkapi tulisan
Barry dengan memaparkan bagaimana mural juga bisa menjadi media perlawanan
seniman terhadap pemerintah, maupun pemodal.
Juga ada tulisan milik Obed Wacandra Wacandra (2009) yang berjudul
“Berkomunikasi secara visual melalui mural di Jogjakarta”. Wacandra
menyatakan bahwa seolah-olah mural di Yogyakarta sudah menjadi identitas kota
dalam memperindah lingkungannya. Ditambahkannya bahwa para seniman mural
bermaksud untuk mengembalikan kembali ruang publik kepada masyarakat
sebagai medium untuk merekatkan hubungan-hubungan sosial antar masyarakat.
Kemudian ia memfokuskan tulisannya pada komunikasi visual yang dibangun
oleh mural.
Dalam penelitiannya disebutkan bahwa mural pada perkembangannya
telah menjadi bagian dari seni publik yang melibatkan komunikasi dua arah.
Seniman mencurahkan tentang sesuatu yang ingin disampaikan melalui muralnya,
dan masyarakat sebagai penikmat dapat menginterpretasikan sesuai pemahaman
masing-masing. Hal tersebut merupakan salah satu fungsi mural dalam
memecahkan masalah-masalah yang ada. Menurutnya mural merupakan media
yang saat ini cukup efektif untuk menyampaikan pesan secara visual. Baik itu
yang sifatnya komersil, sebagai iklan, ataupun yang memiliki nilai-nilai ideologis
, sebagai gerakan budaya. Hal ini yang menjadi persamaan dalam fokus penelitian
ini dimana seniman di Yogyakarta juga melakukan mural sebagai bagian dari
gerakan.
Wacandra mengklasifikasikan komunikasi yang dibangun melalui mural
menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah (1) mural untuk kepentingan estetis.
Mural ini dibuat untuk memperindah suatu bangunan. (2) mural untuk
menyuarakan kondisi sosial budaya, dalam jenis ini mural dapat
merepresentasikan kondisi sosial maupun budaya dari daerah atau lokasi dimana
mural berada. Berbeda kondisi sosial budaya akan menampilkan hasil karya mural
yang juga berbeda, misalnya di kota Yogyakarta kita akan dengan mudah
menemui mural dengan tokoh wayang karena budaya jawa yang kental terasa di
kota ini. Selain juga ada (3) mural yang dibuat untuk kepentingan ekonomi.
Seperti yang sudah disebutkan diatas seperti pembuatan mural untuk iklan. Dan
terakhir adalah (4) mural yang dibuat untuk kepentingan politik. Maksudnya bisa
dalam bentuk mempromosikan atau merepresentasikan suatu wilayah yang
menjadi basis pendukung dari suatu partai politik, ataupun mural yang berisikan
kritik dan dijadikan sebagai alat propaganda para seniman tentang isu yang
mereka angkat.
Disini terdapat persamaan penelitian Wacandra dengan yang akan dikaji
penulis, yaitu mengenai mural yang digunakan sebagai media komunikasi secara
visual. Kekurangan dari penelitian Wacandra yaitu pembahasan mengenai mural
sebagai kritik sosial, memang ada bagian khusus yang berisi tentang
penjelasannya mengenai mural yang berfungsi politik. Namun didalamnya bukan
hanya berisikan tentang kritik sosial tapi juga tentang mural yang dijadikan media
promosi partai politik. Kemudian penelitian ini akan mencoba memperkaya
penelitian tentang mural yang fokus pada penggunaan mural sebagai media kritik
sosial para seniman. Lebih khusus lagi mural yang akan dikaji yaitu mural yang
berisikan kritik sosial atas semakin sulitnya mendapatkan air tanah dikarenakan
pembangunan hotel-hotel yang semakin marak di kota Yogyakarta.
Selanjutnya, juga ditemukan penelitian oleh Cia Syamsiar (2009) yang
menulis “Bentuk dan Strategi Perupaan Mural di Ruang Publik”. Penelitian ini
mencoba membandingkan mural-mural yang ada di kota Yogyakarta dan
Surakarta. Syamsiar menemukan beberapa perbedaan dari mural yang ada di dua
kota tersebut. Bahwa Yogyakarta sedang mengalami kemajuan yang pesat dalam
perkembangan mural sedangkan Surakarta masih dalam masa pertumbuhan.
Syamsiar sendiri menyatakan bahwa ketika ia melakukan penelitian di kota
Yogyakarta, ia merasa seperti memasuki pameran raksasa, karena hampir di setiap
sudut kota dapat dijumpai mural. Berbeda dengan kota Surakarta dimana pada
saat penelitiannya dilakukan hanya dijumpai beberapa mural saja. Karakter dari
kedua kota ini yang mirip, yaitu sebagai kota budaya dan kota seni, ternyata
memiliki karakter dalam dunia seni mural yang agak berbeda.
Syamsiar mengkategorikan mural di Yogyakarta dan Surakarta menjadi
tiga: (1) secara visual dan gagasan idenya sesuai dengan kondisi lingkungannya.
Ia menggambarkan mural yang ada di stadion Kridosono Yogyakarta yang
disponsori oleh minuman kesehatan. Visualisasinya menggunakan slogan-slogan
yang berbau isu kesehatan. Selain itu juga ada mural yang berada di tempat
pembuangan sampah yang ada di jalan Brigjen Katamso. Visualisasi yang ada
membuat tempat sampah yang terkesan kumuh dan kotor menjadi menarik. (2)
Mural yang diciptakan, baik visual maupun isinya tidak sesuai dengan kondisi
lingkungan. Ia menyebutkan bahwa mural seperti ini kurang sesuai ditampilkan
di ruang public karena tidak sesuai dengan etika yang diyakini masyarakat
Indonesia pada umumnya. Mural seperti ini dianggap tidak berguna bagi
masyarakat. Dan (3) mural yang bercampur dengan tulisan ataupun coretan yang
tidak memiliki tujuan. Mural ini dikatakan oleh Syamsiar sebagai perusak
pandangan mata. Oleh karenanya, Syamsiar dalam tulisannya menyebutkan
bahwa perlu adanya peran dari seniman, masyarakat, dan pemerintah setempat
demi terciptanya lingkungan yang lebih tertata.
Berdasarkan kategori yang dibuat dalam penelitian Syamsiar, maka
penulis akan menggunakan kategori pertama yaitu mural menggambarkan situasi
kondisi lingkungannya. Mural “Jogja Asat” mencoba untuk merepresentasikan
kondisi Kota Yogyakarta yang semakin sulit air karena pembangunan hotel yang
semakin marak namun pemerintah lalai dalam pengawasan AMDAL (Analisis
Dampak Lingkungan) dari pembangunan bangunan-bangunan baru tersebut.
Namun kekurangan yang peneliti temukan dalam penelitian yang dilakukan
Syamsiar ini adalah kategori yang dibuatnya berdasarkan pada pemahaman
sederhana atau apa adanya. Padahal mungkin masih bisa digali lagi maksud dari
berbagai contoh mural yang diangkat dalam penelitiannya. Oleh karena itu
peneliti akan melakukannya dengan menggunakan metode semiotik untuk
membongkar mitos yang ada pada mural “Jogja Asat”, atau dengan kata lain
peneliti ingin menafsirkan mural tersebut pada tingkat dua.
Dari penelitian tersebut, dan menilik dari kategori yang dirumuskan oleh
Syamsiar, penulis ingin memfokuskan pada kategori pertama, yaitu mural yang
secara visual dan gagasan idenya sesuai dengan kondisi lingkungan. Lingkungan
dalam hal ini akan difokuskan pada wilayah Yogyakarta, dimana kekeringan yang
disebabkan oleh pembanguna hotel di kota ini begitu dirasakan dampaknya oleh
warga sekitar. Walaupun tidak menutup kemungkinan hal serupa juga akan terjadi
di kota lain. Gagasan yang diangkat oleh seniman yang akan dibahas oleh penulis
mengangkat isu-isu kekinian, terutama tentang kondisi air tanah Yogyakarta yang
kian mengering karena pembangunan hotel-hotel. Oleh karenanya mural yang
akan dibahas dalam penelitian ini bertajuk “Jogja Asat”.
I.5 Kerangka Teori
I.5.1 Mural sebagai Kritik Sosial dan Perlawanan
Mural merupakan seni lukis yang dibuat atau ditempatkan pada bidang
yang luas. Mural merupakan lukisan di dinding.2 Maksudnya adalah bukan
lukisan yang dilukis pada kanvas kemudian dipajang di dinding, melainkan
medianya adalah dinding itu sendiri. Kata mural sendiri berasal dari bahasa latin,
yaitu murus, yang berarti dinding.3 Pada praktiknya mural tidak terbatas pada
dinding, langit-langit, atau lantai. Seringkali kita jumpai mural pada media lain
seperti rolling door, seng, genteng, bahkan pembatas jalan, dan lainnya.
Pada mulanya, mural digunakan untuk memperindah suatu bangunan atau
objek lainnya. Bangunan yang sering ditemukan adanya mural adalah gereja yang
berarti bukan hanya fungsi estetika yang terdapat didalamnya, melainkan fungsi
ritus mengingat penempatannya di rumah ibadah. Mural yang banyak beredar di
masyarakat hari ini banyak berbicara tentang keadaan lingkungannya atau mural
tidak hadir begitu saja melainkan sesuai dengan konteks tempat dimana ia hadir,
baik secara ekologis, historis, maupun sosiologis. (Wacandra, 2009 dan Syamsiar,
2009) Mural mempunyai tujuan tertentu untuk mengkritik kasus dan isu sosial,
2 Amalia Mesa – Bains, dkk. Sign from the Heart: California Chicano Murals. Social and Public ArtResource Center , California, 1990, hlm. 53 Diakses dari www.demolliart.com pada 02/09/2015
sehingga kritik dan isu sosial tersebut menjadi tema utama bagi seniman untuk
menyampaikan sarannya.4
Untuk membahasnya sebagai media kritik sosial, mural memiliki posisi
serupa dengan seni lainnya. Henri Arvon mengatakan dalam bukunya “Estetika
Marxis” (2013:13) bahwa Marx dan Engels kadang-kadang sebagai benar-benar
otonom, kadang menganggap seni sebagai benar-benar dependen (tergantung)
kepada situasi sosial, dan kadang-kadang sebagai instrumen tindakan politik.
Ketiganya merupakan tahapan yang dimaksudkan oleh Benjamin. Walter
Benjamin adalah salah satu Marxist yang berbicara tentang seni. Essaynya yang
berjudul The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction berbicara
tentang pandangannya terhadap seni, bahwa teknologi dalam menghasilkan karya
yang semakin baru memiliki implikasi politis bagi karya seni itu sendiri.
Sebelumnya, seni merupakan bagian dari ritual kepercayaan masyarakat.
Kemudian perkembangannya pada masa Reinassance bersamaan dengan
munculnya sosialisme, ada doktrin muncul, yaitu “l’art pour l’art” atau seni
untuk seni. Ide inilah yang kemudian menolak fungsi sosial dari seni dan juga
berbagai kategorisasi melalui isinya. Dalam tahap ini seni dapat dikatakan
otonom, yaitu seni hanya untuk seni sendiri. Kemudian fungsi keseluruhan dari
seni menjadi terbalik yang tidak lagi berdasar kepada fungsi ritual, namun
4 Didi Danarkusumo, Kritik Sosial Melalui Mural, 2015, diakses darihttps://www.selasar.com/gaya-hidup/kritik-sosial-melalui-mural pada 02/09/2015
mengarah kepada praktik politik.5 Disinilah seni kemudian digunakan untuk
kepentingan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan mural yang pada awalnya merupakan seni lukis
murni yang fungsinya lebih kepada fungsi ritual masyarakat, atau hanya sebagai
bagian dekorasi dari suatu bangunan. Seperti halnya seni lain, mural juga
berkembang mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, baik dari segi bentuk
maupun isi. Kemudian mural juga pernah digunakan oleh pemerintah Indonesia,
yaitu pada masa Orde Baru sebagai alat propaganda program-program
pemerintah, seperti program KB (Keluarga Berencana). Perkembangannya hari ini
mural juga banyak digunakan sebagai media untuk menggambarkan situasi sosial
yang sedang terjadi dimana mural tersebut hadir.
Estetika Marxis menganggap karya seni berhubungan erat dengan
kehidupan sosial secara keseluruhan. Sehingga terdapat hubungan yang jelas
antara isi dan bentuk dari karya seni itu sendiri. Hubungan antara isi dan bentuk
berkaitan dengan hubungan yang lebih umum antara basis ekonomi dan
superstruktur ideologis; isi adalah faktor yang menentukan; dan meskipun bentuk
dalam analisis final pasti selalu memiliki kedudukan yang lebih rendah
dibandingkan dengan isi, hal tersebut tidak berarti bahwa bentuk tercabut dari
semua otonomi apapun (Henri Arvon, 2010: 43).
Seni dapat sangat bergantung pada situasi sosial. Ketika situasi sosial
menjadi semakin tidak kondusif, maka seni juga dapat digunakan sebagai
5 Walter Benjamin, The Work of Art in the age of Mecanical Reproduction, dalam Illumination,Schocken Books, New York, 2007, Hlm. 223-224
instrumen tindakan politik. Bahwa seni tidak luput dari kepentingan, tergantung
siapa yang mereproduksi seni maupun interpretasi dari suatu karya seni. Seni
dijadikan media untuk menyampaikan kepentingan. Atau dengan kata lain, seni
tidak bebas nilai. Estetika Marxis memiliki semangat revolusioner dimana seni
dimaksudkan untuk menciptakan dunia yang lebih baik dengan semangat
melakukan tindakan yang baru.
Mural biasanya berbentuk lukisan walaupun banyak juga ditemukan tehnik
lain seperti poster, stencil, dan lainnya. Oleh karenanya mural dapat digolongkan
ke dalam seni rupa, yang lebih luasnya. Seni juga memiliki peran penting dalam
kehidupan bermasyarakat dimana seni harus menggunggah kesadaran
penikmatnya. Seni yang mendidik dengan demikian memberi pengetahuan kepada
khalayak, termasuk juga pengetahuan jika ada sesuatu yang tidak beres dengan
lingkungan dimana mereka tinggal.
Seni menyimpan pengetahuan didalamnya. Audiens atau masyarakat
sebagai penikmat seni, termasuk mural ini, mendapatkan suatu pengetahuan dari
pembacaan mereka terhadap karya seni mural. Dari situ mereka dapat mengetahui
bahwa kondisi Yogyakarta sedang tidak baik-baik saja. Dari pengetahuan yang
didapat tersebut, diharapkan dapat merangsang kesadaran penikmat seni jalanan
ini tentang efek negatif dari pembangunan hotel yang semakin masif di kota ini.
Bahwa seni memiliki fungsi sosial yang kemudian dapat menyebarkan gagasan
dari seniman kepada khalayak, terutama pengguna jalan yang melihat mural
sekalipun hanya sekilas.
Sekalipun mural sebagai karya seni yang berlokasi di jalan tidak bisa
memaksa semua pengguna jalan untuk menikmati suatu karya. Biasanya
pengguna jalan hanya melihatnya sambil lalu atau sambil menunggu lampu lalu
lintas. Namun Benjamin menyatakan bahwa “The painting invites the spectator to
contemplation.”6. Dengan dasar tersebut dapat dikatakan bahwa karena mural
termasuk seni lukis maka mural itu sendiri sudah mengundang penonton untuk
berkontemplasi atau merenung tentang karya tersebut. Namun karena ia berada di
jalan, sehingga yang menyaksikan adalah orang-orang yang sengaja maupun tidak
secara sengaja adalah orang-orang dengan latar belakang berbeda-beda sehingga
interpretasi mereka terhadap mural pun bisa berbeda-beda. Tentunya kalangan
birokrat akan berbeda pemahamannya dalam melihat mural ini dibandingkan
dengan mahasiswa, atau bahkan tukang becak yang lalu lalang melewatinya.
Arsanti (2013) menyebutkan bahwa mural merupakan cara seniman
berpolitik yang merupakan gaya baru dan disebut dengan daily politics (politik
sehari-hari) dimana isu yang diangkat seniman dalam karya mereka adalah
representasi atas realitas kehidupan sehari-hari, seperti realitas sosial, politik,
ekonomi, dan budaya.7 Dengan begitu jelas bahwa mural bisa saja berisikan kritik
seniman terhadap realitas sehari-hari mereka. Realitas yang dihadirkan melalui
mural bisa berupa ketidakpuasan mereka terhadap kondisi realita sehari-hari. Oleh
karenanya dapat dikatakan bahwa mural dapat berisikan kritik sosial.
6 Ibid., hlm. 2387 Riski Arsanti, Daily Politics Seniman Mural di Yogyakarta, Lumbung Pustaka UNY, 2013
Berangkat dari pemahaman bahwa seni sebagai instrumen tindakan politik,
maka seni digunakan para aktivis untuk melakukan perubahan, untuk
mengekspresikan aspirasi politik mereka. Seni digunakan sebagai media untuk
menyampaikan ketidakpuasan ataupun kekecewaan seniman terhadap pemerintah.
Melalui mural yang dipajang di tembok kota sehingga memungkinkan bagi
siapapun yang melewatinya dapat menikmati karya seni tersebut, maka mural
diharapkan dapat membawa opini masyarakat untuk menggugah kesadaran
bersama atas kondisi Yogyakarta yang semakin tidak terkendali pembangunan
hotelnya. Seni dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politis karena seni hari ini
bisa menyentuh masyarakat dengan mudah, terlebih mural yang penempatannya
di dinding-dinding jalanan sehingga siapapun yang melewatinya dapat menjadi
audiens dari karya seni ini.
Mural hadir di ruang publik sehingga memungkinkan masyarakat tanpa
pandang kelas untuk menikmatinya. Seniman dengan karyanya di ruang publik
menanggapi situasi dan kondisi dimana dan seprti apa ia tinggal. Dalam hal ini
mural ditangkap sebagai media yang digunakan seniman untuk menyuarakan
kritik mereka namun tidak juga melupakan kaidah estetis sehingga karya seni
mural tidak dianggap sebagai sesuatu yang mengotori ruang publik, melainkan
selain membuat dinding sudut kota menjadi lebih indah, ia juga menyampaikan
pesan khusus kepada publik.
Seperti halnya mural “Jogja Asat” yang berisikan tentang kritik seniman
terhadap pembangunan hotel di Kota Yogyakarta yang kian marak. Para seniman
yang tergabung dalam aksi ini menuangkan kritik mereka atas kondisi Yogyakarta
yang kian kering melalui media karya seni mural. Bellinsky (1846, dalam Henri
Arvon; 2010) menyatakan bahwa seni adalah penciptaan ulang terhadap realitas;
karena itu perannya bukan untuk mengoreksi atau menghiasi hidup, tetapi untuk
memperlihatkan realitas apa adanya. Seni dijadikan alat untuk mengkontruksi
realitas, bukan hanya sekedar pajangan yang dapat mendatangkan perasaan
senang kepada penikmat seni.
Mural termasuk ke dalam seni jalanan karena letaknya yang berada di
tembok-tembok yang dapat dilihat dari jalan. Seni jalanan kerap diidentikkan
sebagai bentuk perlawanan generasi muda terhadap pemerintah – meski tidak
semua tema yang diangkat oleh para pelaku seni jalanan mengandung unsur
politis (Barry 2008: 21). Seperti yang digunakan pada masa perjuangan
kemerdekaan 1945 yaitu sebagai alat perjuangan melawan penjajah saat itu
ataupun pada masa reformasi 1998 dimana juga banyak ditemukan seni jalanan
yang berisikan tuntutan rakyat terhadap pemerintah yang berkuasa pada masa itu.
Seni yang dimaksudkan disini bukan hanya dinikmati dari segi
keindahannya saja, namun juga dapat dijadikan sebagai media perjuangan.
Perjuangan yang dimaksud yaitu perjuangan untuk merubah keadaan menjadi
lebih baik. Perjuangan disini juga dapat diartikan perjuangan melawan hegemoni
atas kepemilikan dan penggunaan ruang publik. Karena mural sebagai bagian dari
seni rupa menggunakan media tembok jalanan, sehingga membuat seni menjadi
tidak terbatas dan dapat dinikmati oleh siapa saja. Selain itu mural disini juga
dimaksudkan untuk menyadarkan warga Yogyakarta yang sebelumnya kurang
memahami dan mengetahui dampak negatif dari pembangunan hotel yang
semakin marak di Kota Yogyakarta.
Dalam penelitian ini, akan lebih dibahas bagaimana seni mural dijadikan
sebagai media ekspresi para seniman mengenai ketidakpuasan mereka terhadap
kinerja pemerintah yang memberikan izin kepada pemilik modal untuk
membangun hotel di Yogyakarta namun tidak melakukan pengawasan terhadap
pembangunannya, sehingga pemerintah tidak mengetahui jika terjadi pelanggaran
oleh pihak hotel yang menyebabkan keringnya sumur warga sekitar.
I.5.2 Representasi Kritik dalam Mural
Representasi menghubungkan makna dan bahasa kepada ‘culture’. (Hall,
1997: 15) Untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain dengan menggunakan
bahasa sebagai alat untuk merepresentasikan pesan yang hendak disampaikan.
Oleh karenanya representasi merupakan bagian penting dalam proses pemaknaan.
Apa yang dimaknai oleh penerima pesan akan tergantung pada apa yang
merepresentasikan sesuai dengan praktik kebudayaan dimana pesan disampaikan.
Bahasalah yang kemudian digunakan oleh representasi dalam proses produksi
makna. Representasi bisa berarti mendeskripsikan atau menggambarkan, juga bisa
berarti melambangkan sesuatu.
“Representastion is the production of the meaning of the concepts
in our minds through language.”8
8 Stuart Hall, The Work of representation, dalam Representation: Cultural Representations andsignifying Practises, Sage Publication, Ltd., London, 1997, hlm. 17
Namun demikian, yang dimaksud bahasa disini bukan hanya bahasa verbal
maupun bahasa tulis yang kita kenal, termasuk di dalamnya adalah bahasa visual.
Ketika bahasa visual juga digunakan untuk mengekspresikan makna, sebagai
representasi dari sesuatu, maka gambar visual juga dapat dikatakan sebagai
bahasa. Inilah yang penulis perlakukan terhadap mural yang merupakan karya seni
rupa, khususnya seni lukis yang kemudian dianggap sebagai bahasa yang berarti
di dalamnya ada makna yang ingin disampaikan.
Sekalipun gambar ataupun tanda-tanda visual memiliki kemiripan dengan
apa yang direpresentasikan, mereka tetaplah “tanda”. Tanda yang berarti bahwa
mereka memiliki makna dan harus diinterpretasikan. (Hall, 1997: 19) Bahasa
sebagai “alat” representasi memiliki hubungan yang dinamakan dengan hubungan
arbitrary atau hubungan yang sewenang-wenang. Dikatakan demikian karena
tidak ada hubungan yang jelas antara representasi dengan makna. Misalnya
pohon, kata pohon tidak memiliki keterkaitan dengan bentuk pohon yang kita
kenal. Di tempat lain, untuk menunjuk hal yang sama, bahasa yang digunakan
untuk merepresentasikannya bisa saja berbeda, misalnya ketika di Inggris kita
tidak lagi menyebutnya pohon, tetapi tree untuk menunjuk sesuatu yang sama
dengan pohon.
Suatu tanda dengan makna atau konsepnya memang tidak melulu sama
antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Hal ini sangat berkaitan
dengan praktik kebudayaan setempat. Oleh karenanya, tidak ada makna yang pasti
dan tetap selamanya karena bahasa yang berdasarkan konsensus masyarakat terus
berubah sepanjang waktu. Bahkan satu kata bisa saja memiliki lebih dari satu
makna, tergantung kepada dimana dan kapan kata itu digunakan.
Representasi merupakan gambaran bagaimana dunia ini dikonstruksi dan
direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Karena representasi, dalam
pengertiannya secara luas, merupakan konstruksi pikiran (termasuk juga
dinyatakan secara rupa) yang bersifat artifisial yang melaluinya kita memahami
dunia (realitas). (Rizki A. Zaelani, 2000) Representasi melekat pada bunyi,
prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Mereka diproduksi,
ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu.(Barker,
2000) Realitas direpresentasikan dalam praktik kebudayaan seperti tersebut diatas,
termasuk juga mural.
Realitas ini bukan hadir begitu saja di benak para seniman namun
sebelumnya mereka sudah banyak mendengar keluhan warga kota setempat,
bahkan ada seniman yang merasakannya sendiri, bahwa wilayah tersebut semakin
sulit air ketika hadir hotel-hotel di sekitarnya.
“Representation means using language to say something
meaningful about, or to represent, the world meaningfully, to other
people”.9
Dalam pernyataan tersebut, Hall ingin menyampaikan bawa representasi
merupakan penggunaan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang berarti atau untuk
merepresentasikan sesuatu kepada orang lain. Inilah yang dilakukan oleh
9 Ibid., hlm.15
seniman-seniman yang tergabung dalam Warga Berdaya yang melakukan aksi
kritik terhadap pemerintah maupun pemodal atas pembangunan hotel-hotel yang
kian massive di kota Yogyakarta. Mereka ingin menyuarakan pendapat atau
kritikan tersebut bukan dengan cara kebanyakan, yaitu demonstrasi. Melainkan
dengan modal yang mereka miliki sebagai seniman mural, mereka menggunakan
media tersebut untuk menyampaikan protes mereka, kekecewaan atau kegelisahan
mereka yang juga tinggal di Jogja entah sebagai pendatang maupun penduduk asli
kota ini.
Yang menjadi titik temu antara penelitian ini dengan representasi adalah
penggunaan bahasa untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya menurut para
seniman. Bahasa yang digunakan bisa berupa kata ataupun gambar, sesuai dengan
pihak yang ingin merepresentasikan suatu realitas sosial. Seniman mural yang
tergabung dalam Warga Berdaya menggunakan bahasa kata dan gambar untuk
merepresentasikan kondisi Yogyakarta yang menurut mereka menjadi semakin
kering saja sejak maraknya pembangunan hotel-hotel. Hotel-hotel ini dibangun
ditengah-tengah permukiman penduduk yang sudah lama, bahkan sejak beberapa
generasi tinggal di kawasan itu. Mereka merasakan perbedaan sebelum dan
sesudah dibangunnya gedung bertingkat tersebut. Hal tersebut dikonstruksikan
oleh seniman mural melalui tanda-tanda yang mereka buat dalam karya bersama
mural “Jogja Asat” yang kemudian menurut mereka bisa merepresentasikan
kondisi kota Yogyakarta saat ini.
Representasi merupakan bagian penting dari proses produksi pertukaran
makna. Hall (1997) membagi tiga pendekatan berbeda dari representasi. Yaitu
reflektive yaitu bahasa hanya merefleksikan secara sederhana arti yang sudah ada
pada objek tersebut dan diyakini oleh masyarakat, intentional adalah bahasa
hanya mengekspresikan apa yang penulis atau pelukis sengaja ingin sampaikan
secara pibadi, dan contructionist yang berarti sesuatu itu dikonstruksi di dalam
dan melalui bahasa yang digunakan.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan terakhir, yaitu kontruksionis.
Realitas pembangunan hotel yang digambarkan oleh seniman mural dapat
dipahami sebagai penyebab keringnya air tanah yang ada di sumur-sumur warga.
Sekalipun ada realitas yang lain, seperti mungkin akan menambah lapangan
pekerjaan atau penghasilan warga, itu tidak digambarkan pada mural yang
digambar oleh beberapa seniman ini. Realitas tersebut berusaha untuk
digambarkan melalui mural dan dipilih lokasi yang cukup strategis di kota
Yogyakarta ini, yaitu di bawah jembatan Kewek, dimana banyak orang yang dari
atau menuju Malioboro akan melewati jembatan ini. Dengan memilih lokasi
tersebut, seniman-seniman ini bermaksud untuk menyampaikan realitas yang
mereka anggap penting tersebut agar diketahui oleh banyak orang, baik penduduk
asli maupun yang hanya datang berlibur atau berkunjung ke kota ini.
I.5.3 Hegemoni Budaya
Hegemoni dipopulerkan oleh Antonio Gramsci. Gramsci memandang
bahwa hegemoni erat kaitannya dengan kekuasaan, karena disanalah hegemoni
bekerja. Shoemaker & Reese (dalam Idi Subandy Ibrahim, 1997) menyatakan
“hegemony refers to the means by which the ruling order maintains its
dominance”. Sehingga hegemoni digunakan untuk melanggengkan kekuasaan
suatu rezim. Berbeda dengan dominasi yang cenderung menggunakan kekerasan
dan pemaksaan, hegemoni beroperasi pada tataran ideologi yang praktiknya
dilangsung melalui praktik-praktik budaya. Secara sistematis dan terus menerus
hegemoni merasuki pikiran-pikiran masyarakat akan doktrik-doktrin tertentu
dimana doktrin yang diberikan tidak lain adalah untuk melanggengkan kekuasaan.
Dari masa ke masa reproduksi pengetahuan hegemoni ini terus dihasilkan dan
ditanamkan dalam benak dan pikiran masyarakat sampai masyarakat meyakininya
sebagai suatu kebenaran. Kekerasan atau pemaksaan dilakukan sangat halus
sehingga tidak disadari dalam hegemoni.
Wacana pembangunan dalam konteks kapitalisme terus berkembang dan
menghegemoni masyarakat. Sehingga yang diyakini oleh kebanyakan orang atau
kepercayaan umum yang tersebar yaitu tentang pembangunan guna meningkatkan
kehidupan masyarakat. Pembangunan yang bersifat fisik sehingga dapat dilihat
bentuknya dipercaya menjadi bentuk representasi kemajuan suatu masyarakat.
Semakin banyak bangunan tinggi menjulang atau bangunan modern makan
dianggap semakin maju pula peradabannya. Walaupun seringkali pembangunan
fisik tersebut mengabaikan hal-hal selain keuntungan ekonomi, seperti persoalan
lingkungan ataupun modal sosial yang dimiliki masyarakatnya. Hal ini lah yang
memicu perlawanan dari sekelompok masyarakat yang menghuni kota, termasuk
diantaranya kelompok seniman.
Seniman Yogyakarta dikenal kental dengan ideologi perlawanan. Sejak
masa revolusi, seniman Yogyakarta gencar melakukan perlawanan terhadap
penjajah melalui karya seni mereka. Begitupun pada masa Orde Lama, Orde Baru,
maupun reformasi seniman Yogyakarta masih saja dikenal dengan tema-tema
resistensi terhadap penguasa. Ideologi seniman tertuang dan dapat dilihat dalam
karya mereka. Namun ini tidak berarti bahwa terdapat pemahaman tunggal
diantara seniman.
Ideologi resisten yang dimiliki oleh seniman-seniman Yogyakarta juga
beragam. Ada yang melawan dengan menghasilkan karya-karya kritik namun
memiliki akses yang dekat kepada pemerintah, dan ada juga yang karya-karya
kritiknya mereka gunakan sebagai bagian dari gerakan sosial yang menuntut suatu
perubahan. Selain itu juga ada yang karya kritiknya dijadikan komodifikasi dalam
artian demi mendapatkan keuntungan pribadi bagi seniman.
Kaitannya dengan praktik seni mural adalah, mural yang ditempatkan di
ruang publik ternyata bisa dilihat sebagai pertaruangan pemakaian atau kekuasaan
atas suatu ruang. Ruang publik yang dipahami sebagai milik publik, nyatanya
diperebutkan baik dengan pemodal maupun pemerintah dan juga diantara seniman
demi kepentingannya, secara politik maupun ekonomi. Sehingga perlawanan
bukan hanya terjadi antara seniman yang melawan kooptasi ruang yang dilakukan
oleh pemodal, namun juga yang dilakukan oleh seniman sendiri melalui hegemoni
yang bekerja di dalam seniman Yogyakarta, khususnya.
I.6 Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode
etnografi visual. Etnografi is perceived as a method for collecting particular types
of data and thus as something that can be added, like the use of computer, to
different scientific procedurs and programs. (Blommaert & Dong, -) Sedangkan
etnografi visual fokus pada penggunaan rekaman visual untuk mendeskripsikan
kehidupan suatu komunitas masyarakat, baik saat ini maupun masa lalu. (Bell,
dalam Van Leeuwen dan Jewitt; 2001) Metode etnografi visual dipilih karena
penelitian ini mengangkat mural sebagai objek penelitian sehingga penelitian bisa
fokus pada foto atau gambar-gambar mural. Dengan menggunakan metode ini
penulis hendak menjelaskan dan menginterpretasikan praktik kebudayaan dari
mural di Yogyakarta sebagai bagian dari gerakan sosial dan sebagai medium
perlawanan dengan mengangkat mural “Jogja Asat” sebagai studi kasus.
Penulis berusaha untuk mengumpulkan data dan informasi secara dalam
dan menyeluruh mengenai fenomena yang ada pada mural. Mural kemudian
dianggap sebagai praktik kebudayaan seniman Yogyakarta yang menyuarakan
protes dan kritiknya atas pembangunan hotel yang kian marak di kota ini. Penulis
mendapatkan informasi dengan cara mengamati dan mendokumentasikan mural
yang ada di Yogyakarta dan menginterpretasikan praktik kebudayaan yang
berlangsung melalui fenomena seni rupa yang hadir di ruang publik ini dengan
melihat keterkaitannya dengan gerakan sosial, serta topik-topik lain yang kiranya
berhubungan dengan topik penelitian.
I.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Sebelum melakukan penelitian, penulis berusaha mencari informasi awal
mengenai kasus keringnya air tanah Yogyakarta akibat pembangunan hotel
melalui artikel di internet maupun media masa. Karena permasalahan ini yang
kemudian diangkat dan menjadi judul besar dari mural “Jogja Asat”. Dari
penelusuran ini, penulis mengantongi nama-nama yang terlibat dalam gerakan
Warga Berdaya sebagai aktor utama dalam gerakan, termasuk seniman yang
tergabung dalam aksi menggambar mural yang berlokasi di jembatan kewek,
Yogyakarta.
Setelah rencana penelitian disetujui, peneliti langsung turun ke lapangan
dengan menghubungi salah satu informan yang juga merupakan seniman mural
yaitu Digie Sigit dan melakukan wawancara. Darinya penulis mendapatkan
kontak dari informan lain. Kemudian penulis melanjutkan mengumpulkan data
dan informasi dari informan lain, yaitu Elanto Wijoyono, Dodok Putra Bangsa,
dan Yoshi Fajar sebagai bagian dari Warga Berdaya. Sedangkan untuk
melengkapi data dan informasi dari seniman mural, penulis juga melakukan
wawancara dengan Adit.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara terhadap seniman
maupun orang-orang yang tergabung dalam gerakan tersebut, namun penulis tetap
menjaga jarak kepada informan guna menjaga obyektifitas agar informasi yang
didapatkan dari seniman tidak mempengaruhi penulis. Observasi yang dilakukan
penulis adalah melihat lokasi mural yaitu jembatan kewek dimana di sekitarnya
terdapat banyak papan iklan yang tentunya bersifat komersil. Mural “Jogja Asat”
harus berebut perhatian pengguna jalan dengan reklame-reklame besar yang ada
di sekitarnya tersebut. Hal ini juga yang kemudian menarik minat penulis untuk
melihat mural sebagai pemanfaatan ruang publik agar tidak semakin tergerus oleh
pemodal yang menggunakannya sebagai media promosi produk mereka. Oleh
karenanya, penulis mendapatkan informasi dari wawancara yang meliputi alasan
atau latar belakang hadirnya mural “Jogja Asat” ini.
I.6.2 Sumber dan Jenis data
Sumber dan jenis data penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data
primer dari penelitian ini adalah dokumentasi mural yang bertajuk “Jogja Asat”
yang ada di jembatan Kewek, Yogyakarta. Selain itu juga perlu didapatkan
informasi dari beberapa orang yang tergabung dalam aksi tersebut untuk
mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai latar belakang
permasalahan yang sebenarnya sehingga dilakukan aksi menggambar jembatan
kewek dengan mural “Jogja Asat” ini. Sedangkan data sekundernya adalah data
dari sumber lain yang mendukung penelitian ini. Baik berupa literatur yang ada,
maupun artikel-artikel yang ada di beberapa media online.
I.6.3 Teknik Analisis Data
Sebelum melakukan penelitian, penulis mencoba mengumpulkan
informasi awal mengenai mural “Jogja Asat” melalui artikel di internet.
Kemudian dari situ penulis mencoba mencari kontak salah satu seniman yang
tergabung dalam aksi tersebut, yaitu Digie Sigit. Dari wawancara awal yang
dilakukan, peneliti mengantongi beberapa nama lain yang tergabung dalam Warga
Berdaya seperti Elanto Wijoyono, Yoshi Fajar Kresna, Dodok Putra Bangsa, dan
juga seniman mural yang tergabung dalam aksi tersebut selain Digie Sigit, yaitu
Adit (herehere). Dari wawancara yang dilakukan penulis mendapat gambaran
awal alasan dari dilakukannya aksi ini.
Data dalam penelitian ini akan dikategorikan menjadi data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan cara
mendokumentasikan mural hasil karya beberapa seniman yang tergabung dalam
Warga Berdaya dan diberi judul “Jogja Asat”. Selain itu juga ada wawancara
yang dilakukan kepada pihak-pihak yang tergabung dalam Warga Berdaya untuk
mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang aksi menggambar
jembatan kewek dengan mural “Jogja Asat”. Disamping itu juga data sekunder
didapat dengan dilakukannya studi pustaka ataupun dari sumber lain seperti
berita di media online dan sebagainya untuk mendapatkan data-data yang relevan
dengan aksi ini.