BAB I PENDAHULUAN -...

22
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik yang menjadikan Indonesia memiliki tatanan tektonik yang kompleks. Teori Pelat Tektonik, lempeng- lempeng kerak bumi ini bergerak relatif satu terhadap yang lain. Dalam kasus di Indonesia, lempeng-lempeng ini bergerak saling bertumbukan yang mengakibatkan terkumpulnya energi potensial seiring dengan regangan dan tegangan yang terjadi. Ketika daerah pertemuan tersebut tidak lagi mampu menahan besarnya tegangan yang terakumulasi, maka terjadilah pelepasan energi yang diikuti oleh dislokasi bagian lempeng-lempeng tersebut. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya getaran tanah yang lazim disebut sebagai gempa tektonik (Wegener, 1966). Berdasarkan uraian tersebut, tidaklah mengherankan jika Indonesia merupakan daerah rawan gempa. Gambar penunjaman lempeng di Indonesia dapat dilihat pada Gambar I.1. Gambar I.1. Penunjaman lempeng dunia (sumber: www.USGS.gov) Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (SundaLand). Pada Daratan Sunda ini terdapat dua sistem gerak lempeng. Lempeng Laut Cina Selatan di utara dan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga

lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik yang menjadikan

Indonesia memiliki tatanan tektonik yang kompleks. Teori Pelat Tektonik, lempeng-

lempeng kerak bumi ini bergerak relatif satu terhadap yang lain. Dalam kasus di

Indonesia, lempeng-lempeng ini bergerak saling bertumbukan yang mengakibatkan

terkumpulnya energi potensial seiring dengan regangan dan tegangan yang terjadi.

Ketika daerah pertemuan tersebut tidak lagi mampu menahan besarnya tegangan yang

terakumulasi, maka terjadilah pelepasan energi yang diikuti oleh dislokasi bagian

lempeng-lempeng tersebut. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya getaran tanah yang

lazim disebut sebagai gempa tektonik (Wegener, 1966). Berdasarkan uraian tersebut,

tidaklah mengherankan jika Indonesia merupakan daerah rawan gempa. Gambar

penunjaman lempeng di Indonesia dapat dilihat pada Gambar I.1.

Gambar I.1. Penunjaman lempeng dunia (sumber: www.USGS.gov)

Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (SundaLand). Pada Daratan

Sunda ini terdapat dua sistem gerak lempeng. Lempeng Laut Cina Selatan di utara dan

2

Lempeng Samudera Hindia di selatan. Lempeng Laut Cina Selatan (Eurasia) bergerak

ke tenggara sejak Oligosen, sedangkan Lempeng Samudera Hindia yang berada di

selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan menunjam ke bawah sistem busur

kepulauan Sumatera dan Jawa (Liu, dkk., 1983 dalam Widiasworo, 2011).

Pola geodinamika lempeng bumi yang dinamis seperti terjadi di Pulau Jawa

tersebut dapat diukur secara geometris dengan menggunakan receiver GNSS (Global

Navigation Satellite Sistem) yang ditempatkan pada suatu titik pengamatan geodinamika

dan diukur secara berkala. Penggunaan teknologi GNSS memiliki kelebihan antara lain,

dapat beroperasi selama 24 jam dan tidak terpengaruh oleh kondisi cuaca, tidak perlu

saling terlihat antara titik pengamatan, mudah dalam proses akuisisi data yang

berjumlah besar dan memiliki ketelitian tinggi dalam waktu yang cepat, serta dapat

digunakan untuk memantau area yang luas tanpa mengurangi presisi pengukuran 3D

(Widjajanti, 2010).

Studi pergeseran beberapa titik pasang surut (pasut) di Pulau Jawa yang

dilakukan oleh Taftazani (2013) dengan menggunakan data pengamatan GNSS pada

rentang waktu 2009 s.d. 2012, terdapat anomali pola pergerakan pada satu titik terhadap

titik yang lain. Lima stasiun pasut yang diamat yaitu Prigi, Tanjung Mas, Cilacap,

Pamengpeuk, dan Sunda Kelapa. Titik pengamatan yang dilakukan di Sunda Kelapa

mengalami pergerakan horizontal ke arah barat daya sedangkan titik pengamatan yang

lain mengalami pergerakan horizontal ke arah tenggara. Kondisi ini menimbulkan

pertanyaan mengapa titik di Sunda Kelapa pergerakannya tidak konsisten dengan titik

lain.

I.2. Identifikasi Masalah

Pada penelitian studi geodinamika lima stasiun pasut di Pulau Jawa pada tahun

2009 s.d. 2012, yang dilakukan oleh Taftazani terdapat satu titik yang memiliki arah

pergerakan horizontal yang berbeda dengan pergerakan titik lainnya. Empat titik (Prigi,

Cilacap, Tanjung Mas, Pameungpeuk) mengalami pergerakan horizontal ke arah

tenggara, sedangkan satu titik (Sunda Kelapa) mengalami pergerakan horizontal ke arah

barat daya. Salah satu titik tersebut melenceng dari arah pergerakan tektonik Pulau

Jawa. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut tentang pergerakan horizontal dan

vertikal lima stasiun pasut di Pulau Jawa dengan data pengamatan GNSS tahun

3

selanjutnya (2013). Kajian tersebut diperlukan untuk memastikan arah pergeseran titik

di Sunda Kelapa.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan identifikasi permasalahan tersebut, maka pertanyaan penelitiannya

sebagai berikut:

1. Berapa nilai dan ketelitian koordinat lima stasiun pasut di Pulau Jawa pada tahun

2012 dan 2013 yang dihitung dengan menggunakan titik ikat global ?

2. Berapa besar dan arah pergeseran pada sumbu X, Y, dan Z lima stasiun pasut Pulau

Jawa tersebut pada rentang waktu antara tahun 2012 s.d. 2013 ?

3. Apakah arah pergerakan horizontal dan vertikal lima stasiun pasut Pulau Jawa pada

rentang waktu 2012 s.d. 2013 konsisten dengan arah pergerakan penelitan

sebelumnya yang dilakukan oleh Taftazani (2013) pada rentang waktu 2009 s.d.

2012 ?

I.4. Cakupan Penelitian

Penelitian ini dibatasi dalam hal berikut ini:

1. Data yang digunakan adalah data pengamatan GNSS selama empat hari

pengamatan (empat doy) pada tahun 2012 dan 2013 di lima stasiun pasut Pulau

Jawa (Prigi, Cilacap, Tanjung Mas, Pameungpeuk, Sunda Kelapa).

2. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GAMIT/GLOBK.

3. Metode analisis pergeseran ke arah sumbu X, Y, dan Z menggunakan uji

signifikansi dua parameter t-student.

I.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menentukan nilai koordinat dan ketelitian koordinat lima stasiun pasut di Pulau

Jawa yang diikatkan pada titik ikat global pada tahun 2012 dan 2013.

2. Menentukan besar dan arah pergeseran ke arah sumbu X, Y, dan Z lima stasiun

pasut Pulau Jawa pada rentang waktu antara tahun 2012 s.d. 2013.

3. Menentukan pola pergerakan horizontal dan vertikal lima stasiun pasut Pulau Jawa

pada rentang waktu 2012 s.d. 2013 terhadap pergerakan titik pada rentang waktu

2010 s.d. 2012.

4

I.6. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat diperoleh koordinat dan ketelitian dari lima

stasiun pasut di Pulau Jawa pada tahun 2012 dan 2013, serta untuk mengetahui besar

kecepatan, arah pergerakan horizontal dan vertikal serta pola pergerakan lima stasiun

pasut di Pulau Jawa. Dengan mengetahui pola pergerakan horizontal dan vertikal serta

kecepatan stasiun pasut tersebut serta dengan melihat catatan kegempaan yang ada,

dapat diketahui potensi gempa bumi akibat aktivitas penunjaman lempeng.

I.7. Tinjauan Pustaka

Pada tahun 20013 Bock, dkk., melakukan studi pergeseran lempeng di

Kepulauan Indonesia untuk mengetahui pergeseran lempeng Kepulauan Indonesia

relatif dengan lempeng yang berada di sekitarnya, antara lain Lempeng Eurasia,

Lempeng Hindia-Australia, Lempeng Pasifik dan sebagainya. Penelitian menggunakan

pengamatan data GPS pada 150 lebih titik pengamatan di seluruh Indonesia dari tahun

1991 s.d. 2001. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan adanya pergeseran lempeng

secara relatif terhadap lempeng-lempeng di sekitarnya. Salah satunya Lempeng Asia

Tenggara bergerak relatif terhadap Lempeng Eurasia dengan kecepatan 6 cm ± 3 mm

per tahun.

Setiadi (2007) melakukan hitung koordinat stasiun pasut dengan perangkat lunak

ilmiah GAMIT/GLOBK dari data pengamatan selama 3 x 24 jam. Data yang digunakan

adalah data pengamatan pada lima stasiun pasut di Pulau Jawa (Tanjung Priok, Jepara,

Tanjung Perak, Prigi, dan Cilacap) dengan menggunakan delapan buah titik ikat IGS

(COCO, DGAR, GUAM, IISC, JABI, KARR, KUNM, dan PIMO). Hasil penelitian

tersebut berupa koordinat pada masing-masing stasiun pasut dengan ketelitian fraksi

milimeter sampai sentimeter. Ketelitian baseline yang dihasilkan yaitu antara 0,00323

s.d. 0,01125 mm. Ketelitian baseline tertinggi terletak pada baseline stasiun KARR ke

CILA sebesar 3,23 mm, sedangkan yang terendah terletak pada baseline stasiun PRIG

ke DGAR sebesar 1,125 cm.

Abidin, dkk., (2009) telah melakukan studi deformasi kerak bumi di Pulau Jawa

untuk mengetahui deformasi antar seismik di tiga patahan aktif di Jawa Barat, serta

studi deformasi sebelum dan sesudah peristiwa seismik pada 15 Mei 2006 hingga Juli

2008 di bagian selatan Jawa. Penelitian tersebut menggunakan data pengamatan GNSS.

5

Hasil yang diperoleh bahwa di sekitar tiga patahan aktif (Cimandiri, Lembang dan

Baribis) Jawa Barat mengalami pergeseran horizontal sebesar 1 s.d. 2 cm/tahun. Sedang

pada penelitian sebelum dan sesudah gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dihasilkan

bahwa saat gempa terjadi karena pergeseran patahan Opak sejauh kurang dari 10 cm.

Setelah gempa, masih terjadi pergeseran sejauh kurang dari 5 cm pada tahun 2006 s.d.

2007, dan kurang dari 3 cm pada tahun 2007 s.d. 2008.

Mc.Caffrey (2009) meneliti tentang kerangka tektonik pada zona tumbukan

Lempeng Sumatera-Jawa. Metode yang dilakukan yaitu studi geologi lempeng, dimana

pada kawasan Sumatera-Jawa terjadi tumbukan lempeng antara Lempeng Hindia-

Australia dengan Lempeng Eurasia. Selain itu dari studi geologi ditemukan Patahan

Sumatera di bagian daratan Pulau Sumatera, serta patahan di dasar laut sebelah selatan

Sumatera dan Jawa. Studi tektonik diketahui, bahwa dari patahan di dasar laut selatan

Sumatera telah terjadi gempa bumi akibat dari penunjaman lempeng tersebut. Sejarah

mencatat sejak tahun 1800-an sampai 2006 telah terjadi lebih dari sepuluh kali gempa

bumi dengan kekuatan lebih dari 6,0 SR di wilayah selatan Sumatera. Gempa bumi itu

berasal dari pelepasan energi akibat dari penunjaman Lempeng Hindia-Australia dengan

lempeng Eurasia. Sedang pada wilayah Busur Sunda yang membentuk Pulau Jawa,

tercatat baru beberapa kali gempa pada rentang tahun 1800-an sampai 2006 dengan

kekuatan lebih dari 6,0 SR. Gempa terbesar yang terakhir terjadi pada tahun 2006

dengan kekuatan 6,3 SR (USGS, 2006).

Penelitian yang berkaitan dengan geodinamika Pulau Jawa dilakukan oleh

Taftazani (2013). Penelitian tersebut melakukan analisis geodinamika lima stasiun pasut

dengan tiga tahun (2009, 2010, 2012). Penelitian tersebut menggunakan data

pengamatan GNSS di lima stasiun pasut yang tersebar di Pulau Jawa (Prigi, Tanjung

Mas, Cilacap, Pameungpeuk, dan Sunda Kelapa). Pengolahan diikatkan dengan tujuh

buah titik ikat IGS (COCO, DARW, KARR, KUNM, NTUS, PIMO dan GUUG).

Koordinat lima stasiun pasut Pulau Jawa pada tahun 2009, 2010 dan 2012 diolah dengan

menggunakan GAMIT/GLOBK. Hasil yang diperoleh terdapat perbedaan koordinat

yang relatif kecil pada masing-masing tahun, yakni dalam cakupan fraksi milimeter

sampai dengan sentimeter. Pola pergerakan horizontal stasiun pasut pada rentang tahun

2009 s.d. 2010, 2010 s.d.2012 dan 2009 s.d. 2012 sebagian besar memiliki

kecenderungan bergerak ke arah tenggara dengan kecepatan berkisar antara 0,9 s.d. 65,9

6

mm/tahun. Akan tetapi ada satu titik yang melenceng dari arah pergeseran tektonik

Pulau Jawa, yaitu Sunda Kelapa yang bergeser ke arah barat daya.

Penelitian ini merupakan studi lanjutan yang telah dilakukan oleh Taftazani

(2013) tentang pergerakan horizontal dan vertikal titik kontrol di lima stasiun pasut

Pulau Jawa yaitu Prigi, Tanjung Emas, Cilacap, Pameungpeuk, dan Sunda Kelapa. Pada

penelitian sebelumnya terdapat anomali pola pergerakan horizontal dan vertikal salah

satu titik terhadap titik yang lain. Pada penelitian ini pengukuran dilakukan

menggunakan receiver GNSS tipe geodetic selama empat hari pengamatan (empat doy)

pada tahun 2012 dan 2013. Sedangkan pengolahannya menggunakan perangkat lunak

ilmiah GAMIT/GLOBK.

I.8. Landasan Teori

I.8.1. Geodinamika

Teori lempeng tektonik dikemukakan oleh Mc.Kenzie dan Parker (1967) ahli

Geofisika Inggris. Kedua ahli itu menjadikan teori-teori sebelumnya sebagai satu

kesatuan konsep yang lebih sempurna sehingga diterima oleh para ahli geologi.

Teori lempeng tektonik diyakini oleh banyak ahli sebagai teori yang

menerangkan proses dinamika bumi, antara lain gempa bumi dan pembentukan jalur

pegunungan. Menurut teori ini kulit bumi (kerak bumi) yang disebut litosfer terdiri dari

lempengan yang mengambang di atas lapisan yang lebih padat yang disebut astenosfer.

Ada dua jenis kerak bumi, yaitu kerak samudra dan kerak benua. Kerak samudra

tersusun atas batuan yang bersifat basa, sedangkan kerak benua tersusun atas batuan

yang bersifat asam.

Kerak bumi menutupi seluruh permukaan bumi. Namun, akibat adanya aliran

panas yang mengalir diastenosfer menyebabkan kerak bumi pecah menjadi bagian-

bagian yang lebih kecil. Bagian-bagian itulah yang disebut lempeng kerak bumi

(lempeng tektonik). Aliran panas tersebut untuk selanjutnya menjadi sumber kekuatan

terjadinya pergeseran lempeng. Lempeng tektonik, merupakan dasar dari

“terbangunnya” sistem kejadian gempa bumi, peristiwa gunung berapi, pemunculan

gunung api bawah laut, dan peristiwa geologi lainnya.

Pola pergeseran lempeng yang dikemukakan oleh Mc.Kenzie dan Parker (1967)

dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

7

1. Pergeseran lempeng saling mendekat

Pergeseran lempeng yang saling mendekat dapat menyebabkan terjadinya

tumbukan yang salah satu lempengnya menunjam ke bawah tepi lempeng yang

lain. Daerah penunjaman tersebut membentuk palung yang dalam dan merupakan

jalur gempa bumi yang kuat. Sementara itu di belakang jalur penunjaman terjadi

aktivitas vulkanisme dan terbentuknya cekungan pengendapan. Contoh pergeseran

lempeng ini di Indonesia adalah pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Lempeng

Eurasia. Pertemuan kedua lempeng tersebut menghasilkan jalur penunjaman di

selatan Pulau Jawa, jalur gunung api di Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara, serta

berbagai cekungan di Sumatera dan Jawa.

Batas antar lempeng yang saling mendekat hingga mengakibatkan

tumbukan dan salah satu lempengnya menunjam ke bawah lempeng yang lain

(subduct) disebut batas konvergen atau batas lempeng destruktif.

2. Pergeseran lempeng saling menjauh

Pergeseran lempeng yang saling menjauh menyebabkan penipisan dan

peregangan kerak bumi hingga terjadi aktivitas keluarnya material baru yang

membentuk jalur vulkanisme. Meskipun saling menjauh, kedua lempeng ini tidak

terpisah karena di belakang masing-masing lempeng terbentuk kerak lempeng yang

baru. Proses ini berlangsung secara kontinu. Contoh hasil dari pergeseran lempeng

ini adalah terbentuknya gunung api di punggung tengah samudra di Samudra

Pasifik dan Benua Afrika.

Batas antar lempeng yang saling menjauh hingga mengakibatkan

terjadinya perluasan punggung samudra disebut batas divergen atau batas lempeng

konstruktif.

3. Pergeseran lempeng saling melewati

Pergeseran lempeng yang saling melewati terjadi karena gerak lempeng

sejajar dengan arah yang berlawanan sepanjang perbatasan antar lempeng. Pada

pergeseran ini kedua perbatasan lempeng hanya bergesekan. Oleh karena itu, tidak

terjadi penambahan atau pengurangan luas permukaan. Namun, gesekan antar

lempeng ini kadang-kadang dengan kekuatan dan tegangan yang besar sehingga

dapat menimbulkan gempa yang besar. Contoh hasil dari pergeseran lempeng ini

8

adalah Patahan San Andreas di California. Patahan tersebut terbentuk karena

Lempeng Amerika utara bergerak ke arah selatan, sedangkan Lempeng Pasifik

bergerak ke arah utara. Batas antar lempeng yang saling melewati dengan gerakan

yang sejajar disebut batas menggunting (shear boundaries).

Lempeng kerak bumi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu lempeng mayor

(lempeng besar) dan lempeng minor (lempeng kecil). Pengelompokan lempeng

mayor dan minor dapat dilihat pada Tabel I.1. berikut ini.

Tabel I.1. Pengelompokan lempeng mayor dan minor (sumber: topex.ucsd.edu)

No Lempeng Mayor Lempeng Minor

1. Lempeng Eurasia Lempeng Filipina

2. Lempeng Amerika Utara Lempeng Juan De Fuka

3. Lempeng Amerika Selatan Lempeng Karibia

4. Lempeng Afrika Lempeng Kokos

5. Lempeng Indo-Australia Lempeng Nazca

6. Lempeng Pasifik Lempeng Skotia

7. Lempeng Antartika Lempeng Arabia

Berlandaskan pada teori lempeng tektonik, kerak bumi terpecah-pecah menjadi

lempengan-lempengan yang mengapung di atas lapisan yang lebih cair. Lempeng

tektonik tebalnya dapat mencapai 80 km, tetapi ada juga yang lebih tipis dengan luas

yang beragam. Jika lempeng-lempeng tersebut bergerak saling bertumbukan, maka

menyebabkan penunjaman. Sesuai dengan hukum fisika sederhana, lempengan yang

berat jenis atau massanya lebih besar, menunjam dan menyusup ke bawah lempeng

yang lebih ringan. Pergeseran lempeng tektonik tersebut sangat lambat, yaitu antara 1

dan 10 cm per tahun. Namun, pergeseran yang sangat lambat tersebut ternyata

mengumpulkan energi yang sangat kuat secara pelan-pelan di kedalaman sekitar 80 km.

Apabila tekanan dan regangan tumbukan lempeng mencapai titik jenuh, biasanya terjadi

gerakan lempeng tektonik secara tiba-tiba. Gerakan tersebut menimbulkan getaran di

muka bumi yang disebut gempa.

9

I.8.2. Pengamatan GNSS

GNSS merupakan suatu sistem penentuan posisi di permukaan bumi dengan

menggunakan satelit. Beberapa sistem satelit navigasi yang dapat digunakan secara

umum yaitu GPS dan GLONASS. GNSS merupakan suatu sistem navigasi dan

penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini berguna

untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi serta informasi mengenai waktu

dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan (Abidin, 2007). Sampai saat ini satelit-

satelit GNSS ada 24 satelit aktif yang mengorbit di angkasa luar dan tersebar merata di

luar bumi.

Sekarang ini, kegunaan GNSS sebagai metode penentuan posisi sudah

dimanfaatkan secara luas, salah satunya digunakan untuk pengamatan pergeseran tanah.

Pada dasarnya, penggunaan GNSS untuk pergeseran tanah dilakukan dengan

menentukan koordinat titik-titik pantau secara teliti dan berkala. Dengan mempelajari

perubahan koordinat titik-titik pantau tersebut secara kontinyu dari waktu ke waktu,

maka besarnya kecepatan dan arah pergeseran dapat diketahui. Dengan diketahuinya

besar kecepatan dan arah pergeseran, analisis dan estimasi mengenai regangan yang

terjadi dapat dilakukan.

I.8.3. Penentuan Posisi dengan GNSS

Konsep dasar penentuan posisi dengan GNSS menggunakan metode

pemotongan ke belakang dengan jarak. Pada Gambar I.2 pengukuran jarak antara

receiver GNSS dan beberapa satelit GNSS yang mengorbit di angkasa luar dilakukan

secara simultan. Untuk menentukan koordinat suatu titik di bumi, receiver setidaknya

membutuhkan empat satelit yang dapat diterima dengan baik.

10

Gambar I.2. Penentuan posisi relatif pengamatan GNSS (Widjajanti, 2010)

Keterangan Gambar I.2:

(SV)i : satellite vehicle

Q dan P : posisi receiver di permukaan bumi

(φ,λ) : lintang dan bujur geodetis

Posisi suatu titik di permukaan bumi dapat ditentukan menggunakan receiver

GNSS dengan metode penentuan posisi absolut (point positioning), maupun terhadap

titik lain yang diketahui koordinatnya dengan metode penentuan posisi relatif

(differential positioning) yang minimal dua receiver GNSS (Abidin, 2007).

I.8.3.1. Penentuan posisi absolut. Penentuan posisi koordinat di suatu titik

dengan menggunakan satu receiver, koordinat yang diperoleh ditentukan terhadap suatu

sistem koordinat yang telah terdefinisikan. Persamaan untuk menentukan jarak titik dari

dapat dituliskan dalam rumus I.1 dan I.2 sebagai berikut (Adiwibawa, 2007):

(

)……………...............................................................................(I.1)

(

)………………………………………..……………………….(I.2)

11

Dalam hal ini,

: jarak titik di permukaan bumi (A) ke satelit

: panjang gelombang

: fase (gelombang tidak penuh)

:jumlah gelombang penuh

Penentuan posisi absolut tidak terlepas dari kesalahan orbit, bias ionosfer dan

troposfer, kesalahan dan offset dari jam receiver dan jam satelit, serta multipath pada

hasil pengamatan, sehingga persamaan I.1 dan I.2 menjadi I.3:

.......... (I.3)

I.8.3.2. Penentuan posisi relatif. Posisi yang diperoleh ditentukan terhadap titik

lain yang telah diketahui koordinatnya dan dianggap sebagai titik acuan dengan

menggunakan minimal dua receiver GNSS (Sunantyo, 2000). Penentuan posisi secara

diferensial dapat memberikan ketelitian posisi yang relatif tinggi dengan level

sentimeter sampai dengan milimeter. Teknik yang digunakan pada penentuan posisi

secara diferensial adalah teknik differencing, yakni dengan mengurangkan data

pengamatan GNSS untuk mengeliminasi dan mereduksi efek dari sebagian kesalahan

dan bias yang terjadi pada saat melakukan pengamatan GNSS. Data pengamatan hasil

pengurangan tersebut menjadi relatif lebih teliti. Dalam pengolahan data pengamatan

GNSS secara differencing, dikenal beberapa teknik, yaitu single difference, double

difference dan triple difference.

1. Penentuan posisi single difference, merupakan penentuan posisi dengan cara

pengurangkan (differencing) dua persamaan pengamatan penentuan posisi one way

(OW). Jika terdapat dua receiver (A dan B) yang mengamati satu satelit (satelit c),

dapat dituliskan dengan persamaan I.4:

…..(I.4)

2. Penentuan posisi double difference, merupakan teknik penentuan posisi dengan

cara mengurangkan (differencing) dua persamaan pengamatan penentuan posisi

relatife single difference (SD), pada dua receiver (di titik A dan B) yang

mengamati dua satelit ( satelit c dan satelit d), dapat dituliskan dengan persamaan

I.5:

……...…(I.5)

12

Proses differencing tersebut meliputi pengeliminasian kesalahan jam satelit dan

receiver, mereduksi efek kesalahan orbit, bias ionosfer dan bias troposfer pada data

pengamatan, pengestimasian ambiguitas fase.

3. Penentuan posisi triple difference, merupakan suatu teknik penentuan posisi dengan

cara mengurangkan dua data pengamatan double difference dengan kala yang

berbeda, misalnya dua receiver (di titik A dan B) yang mengamati dua satelit (c

dan d) secara simultan sebanyak dua kala. Proses pengurangan data dapat

dituliskan dengan persamaan I.6:

……..… (I.6)

I.8.4. Bias dan Sumber Kesalahan

Dalam perjalanannya dari satelit ke pengamat di permukaan bumi, sinyal GPS

harus melalui medium propagasi, yaitu ionosfer dan troposfer dimana sinyal GPS

mengalami refraksi di dalamnya. Selain itu, sinyal GPS juga dapat dipantulkan oleh

benda-benda di sekitar pengamat dan menyebabkan efek multipath. Kesalahan dan bias

juga dapat disebabkan oleh kesalahan orbit satelit, jam satelit, kesalahan jam satelit dan

receiver, kesalahan antena, ambiguitas fase, dan cycle slips (Abidin, 2007).

I.8.4.1. Kesalahan orbit satelit. Kesalahan ini disebut juga dengan kesalahan

efemeris dimana orbit satelit yang terdapat dalam broadcast efemeris tidak sama dengan

orbit satelit yang sebenarnya, sehingga posisi satelit yang dilaporkan tidak sama dengan

posisi satelit yang sebenarnya dan nantinya akan mempengaruhi ketelitian posisi titik-

titik yang diamat. Besarnya efek kesalahan orbit satelit dapat dihitung dengan

persamaan I.7 (Abidin, 2007):

.......................................................................................................... (1.7)

Dalam hal ini,

db : besarnya efek kesalahan orbit pada panjang baseline

dr : besarnya kesalahan orbit

b : panjang baseline

r : jarak rata-rata pengamat ke satelit

I.8.4.2. Cycle slips. Cycle slips adalah ketidak-kontinyuan dalam jumlah

gelombang penuh dari fase gelombang pembawa yang diamati, pengamatan sinyal oleh

receiver terputus oleh satu dan lain hal (Abidin, 2007).

13

I.8.4.3. Multipath. Multipath adalah fenomena dimana sinyal yang ditransmisikan

oleh satelit GNSS ditermia oleh receiver melalui dua atau lebih lintasan berbeda karena

efek pantulan benda-benda di sekitar pengamat seperti bangunan, jalan, permukaan air.

Perbedaan jarak tempuh dapat menyebabkan sinyal-sinyal tersebut berinterferensi ketika

diterima oleh antena sehingga menyebabkan kesalahan hasil pengamatan (Abidin,

2007).

I.8.4.4. Ambiguitas fase. Ambiguitas fase adalah jumlah gelombang penuh yang

tidak terukur oleh receiver GPS. Ambiguitas fase berupa bilangan bulat kelipatan

panjang gelombang. Ketidaktepatan dalam mendefinisikan besarnya ambiguitas fase

menyebabkan kesalahan dalam penentuan jarak dari satelit ke pengamat (Abidin, 2007).

I.8.4.5. Kesalahan jam satelit dan receiver. Setiap satelit GPS membawa beberapa

buah jam atom yang digunakan untuk mendefinisikan sistem waktu satelit. Seiring

dengan berjalannya waktu, jam-jam atom tersebut mengalami penyimpangan (offset,

drift, dan drift-rate). Pada umumnya receiver GPS dilengkapi dengan jam kristal quartz

yang relatif lebih kecil, lebih murah, dan relatif memerlukan daya yang relatif lebih

kecil dibandingkan jam atom yang digunakan di satelit (Abidin, 2007).

Ketidaksinkronan antara jam satelit dengan jam receiver memberikan informasi

mengenai waktu yang berbeda dan dapat menjadi sumber kesalahan.

I.8.4.6. Kesalahan antena. Pada pengukuran jarak dari satelit ke antena receiver

GPS, jarak ukuran diasumsikan mengacu ke pusat geometris dari antena yang lokasinya

tetap. Akan tetapi, sebenarnya secara elektronik pengukuran jarak tersebut mengacu ke

pusat fase antena, bukan ke pusat geometris antena. Adanya perbedaan lokasi antara

pusat fase dan pusat geometris antena menyebabkan terjadinya kesalahan pada jarak

ukuran (Abidin, 2007).

I.8.4.7. Refraksi troposfer. Troposfer merupakan lapisan dari atmosfer yang

berbatasan dengan permukaan bumi dan mempunyai ketebalan setinggi 9 s.d 16 km,

tergantung pada tempat dan waktu. Ketika melalui troposfer, sinyal GPS mengalami

refraksi yang menyebabkan perubahan pada kecepatan dan arah dari sinyal GPS. Efek

utama dari refraksi troposfer adalah kesalahan terhadap hasil ukuran jarak (Abidin,

2007).

I.8.4.8. Refraksi ionosfer. Ionosfer merupakan lapisan atas dari atmosfer.

Elektron-elektron bebas yang terdapat dalam lapisan ionosfer mempengaruhi propagasi

14

sinyal GPS yang kemudian turut mempengaruhi kecepatan, arah, polarisasi, dan

kekuatan dari sinyal GPS yang melaluinya. Efek terbesar dari refraksi ionosfer terletak

pada kecepatan sinyal dimana ionosfer memperlambat pseudorange dan memperlambat

fase dari sinyal GPS yang mempengaruhi ukuran jarak dari pengamat ke satelit (Abidin,

2007).

I.8.5. Pengertian ITRF

International Terrestrial Reference Frame (ITRF) adalah realisasi dari

International Terestrial Reference System (ITRS). ITRS pada pada prinsipnya adalah

Conventional Terrestrial System (CTS) yang didefinisikan, direalisasikan, dikelola dan

dipantau oleh International Earth Orientation System (IERS). Ada beberapa produk

yang dihasilkan oleh IERS selain ITRF yaitu realisasi dari International Celestial

Reference System (ICRS) dan penentuan parameter orientasi bumi atau Earth

Orientation Parameter (EOP) yang menghubungkan ITRS dan ICRS (Witchayangkoon,

2000).

ITRS direalisasikan dengan koordinat dan kecepatan dari sejumlah titik yang

tersebar di seluruh permukaan bumi, dengan menggunakan metode-metode pengamatan

Very Long Baseline Interferometry (VLBI), Lunar Laser Ranging (LLR), Global

Positioning System (GPS), Satelite Laser Ranging (SLR), dan DORIS. ITRF

mempunyai origin di pusat massa bumi. Kerangka atau jaring titik hasil realisasi ini

dinamakan ITRF (ITRF, 2006)

I.8.6. Pengertian IGS

International GNSS Service (IGS) adalah suatu organisasi internasional yang

merupakan kumpulan dari berbagai agensi dan badan multinasional di seluruh dunia.

IGS mengumpulkan sumber dan data permanen dari stasiun GNSS dan memelihara

sistem GNSS tersebut. IGS didirikan oleh International Association of Geodesy (IAG).

Pada tahun 1993, dan secara formal beroperasi mulai tahun 1994. Setiap negara

berkontribusi dalam IGS dengan membangun stasiun IGS. Saat ini IGS mempunyai

sekitar 200 stasiun penjejak satelit yang tersebar di seluruh dunia yang mengamati

satelit-satelit GNSS secara kontinyu. Data 26 pengamatan stasiun IGS diolah dan

dikelola oleh 16 Operational Data Centers, lima Regional Data Centers dan tiga Global

Data Centers. Data ini selanjutnya diolah oleh tujuh Analysis Centers yang kemudian

15

hasilnya disebarluaskan secara global. IGS juga menerbitkan spesifikasi dan standar

internasional dari data GNSS.

I.8.7. Perangkat GAMIT/GLOBK

GAMIT/GLOBK adalah sebuah perangkat lunak komprehensif untuk analisis

data GPS yang dikembangkan oleh MIT, Harvard-Simthsonian Center for Astrophysics

(CfA) dan Scripps Institution of Oceanography (SIO). GAMIT/GLOBK dapat

mengestimasi koordinat dan kecepatan stasiun, representasi fungsional dan stokastik

dari pasca kejadian deformasi, delay atmosfer, orbit satelit dan parameter orientasi

bumi. GAMIT adalah singkatan dari GPS Analysis of Masshachusstes Institute of

Technology, sedangkan GLOBK adalah singkatan dari Global Kalman Filter VLBI and

GPS Analysis Program. Perangkat lunak ini didesain untuk running di sistem operasi

berbasis UNIX dan melibatkan bahasa Fortran atau C untuk proses compile di direktori

/libraries, /gamit dan /kf.

I.8.7.1. GAMIT. GAMIT adalah paket analisis data GNSS yang komprehensif

yang dikembangkan oleh MIT untuk melakukan perhitungan posisi tiga dimensi dan

satelit orbit. Perangkat lunak GAMIT dikembangkan mulai tahun 1970-an ketika

Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengembangkan receiver GNSS. Setelah

pengembangannya, GAMIT bermigrasi dengan platform sistem operasi Unix pada tahun

1987. Dengan berdirinya IGS pada tahun 1992 semakin memungkinkan pengembangan

skema pengolahan data GNSS secara otomatis. Pada pertengahan tahun 1990, GAMIT

menjadi perangkat lunak ilmiah fully automatic processing yang menyertakan data

stasiun-stasiun kontinyu di seluruh dunia diantaranya IGS (Anonim, 2000). Dalam

proses pengolahannya, GAMIT membutuhkan delapan macam input data, antara lain

(Herring, 2010):

1. Raw data dari data pengamatan GPS.

2. l-file, yang berisi koordinat dari semua stasiun pengamatan atau titik ikat yang

digunakan. Koordinat yang digunakan menggunakan koordinat geosentrik.

3. File station.info, berisi informasi stasiun-stasiun yang digunakan, seperti

tempat/lokasi stasiun, tinggi antena, model antena, model receiver, waktu

pengamatan (tahun, doy/day of year, start dan stop pengamatan), serta firmware yang

digunakan oleh receiver.

16

4. File session.info, yang berisi sesi dari data yang diolah. Informasi yang tercantum

antara lain tahun, doy, sesi pengamatan, sampling rate, banyak kala, dan nomor-

nomor satelit.

5. File navigasi, bisa berupa rinex (Receiver INdependent EXchange Format),

Navigation Messages maupun efemeris yang disediakan IGS.

6. File sestbl memuat control table mengenai karakteristik proses yang dieksekusi oleh

GAMIT.

7. File sittbl digunakan untuk memberikan konstrain pada setiap stasiun pengamatan

yang digunakan.

8. File GPS efemeris yang didapat dari IGS dalam format SP3.

Hasil akhir dari proses pengolahan data pengamatan GPS dengan perangkat

lunak GAMIT sebagai berikut:

1. q-file, memuat semua informasi hasil pengolahan data pengamatan GPS dengan

GAMIT, yang disajikan dalam dua versi Biasses-free Solution dan Biasss-fixed

Solution.

2. h-file, yang berisi hasil pengolahan dengan Lossely Constraint Solutions yang berupa

parameter-parameter yang digunakan serta matriks varian kovarian pada pengolahan

lanjutan dengan GLOBK (Global Kalman Filter VLBI and GPS Analysis Program).

Input yang digunakan adalah h-file yang berisi parameter-parameter hasil pengolahan

dengan perataan Lossely Constraint serta matriks varian kovarian.

3. autcln.summary-file, yang terdiri atas file autcln.prefit.sum dan autcln.post.sum.

Kedua file tersebut berisi data statistik hasil editing dengan autcln.

I.8.7.2. GLOBK. GLOBK adalah satu paket program yang dapat

mengkombinasikan hasil pemrosesan data survei terestris ataupun data survei ekstra

terestris. Kunci data input pada GLOBK adalah matriks varian kovarian dari data

koordinat stasiun, parameter rotasi bumi, parameter orbit, dan koordinat hasil

pengamatan lapangan (Herring, dkk., 2006). Sebagai file input digunakan h-file hasil

pengolahan dengan GAMIT. Namun selain hasil pengolahan GAMIT, GLOBK juga

dapat menerima input file hasil pengolahan dari perangkat lunak ilmiah lain, misal:

GIPSY dan Bernesse (Herring, 2010). Terdapat tiga moda aplikasi yang dapat

dijalankan dengan menggunakan GLOBK, yaitu:

17

1. Mengkombinasikan hasil pengolahan individu (misal: harian) untuk menghasilkan

koordinat stasiun rata-rata dari pengamatan yang dilakukan lebih dari satu hari;

2. Mengkombinasikan hasil pengamatan selama bertahun-tahun untuk menghasilkan

koordinat stasiun;

3. Melakukan estimasi koordinat stasiun dari pengamatan individu, yang digunakan

untuk menggeneralisasikan data runut waktu (time series) dari pengamatan teliti

harian atau tahunan.

Hal yang tidak dapat dijalankan oleh GLOBK antara lain (Herring, 2010):

1. Membuat sebuah model linier, karena terdapat banyak proses perataan yang

dijalankan (adjustment) pada koordinat stasiun dan parameter orbit.

2. GLOBK tidak dapat menghilangkan cycle slips, data yang buruk dan atmospheric

delay modelling errors.

3. GLOBK tidak dapat melakukan resolving ambiguitas fase.

I.8.8. Perataan Jaring pada GAMIT/GLOBK

Pada perangkat lunak GAMIT, perataan dilakukan untuk pengecekan konsistensi

terhadap sesama data ukuran. Perangkat lunak GAMIT menggunakan hitungan kuadrat

terkecil parameter berbobot dengan menggunakan teknik double difference dari

pengamatan data fase untuk melakukan estimasi posisi dan orbital dari titik pengamatan.

Pengolahannya mengacu pada koordinat stasiun observasi, koordinat stasiun titik ikat

dan parameter orbit (King dan Bock, 2002).

Hasil perataan pada jaring GPS menggunakan perangkat lunak GAMIT adalah

loosely constrained network dengan menggunakan free-network quasi-observation.

Dengan melibatkan matriks varian kovarian sebagai persamaan hitungan kuadrat

terkecil parameter berbobot, pendekatan ini menggunakan perataan baseline (King dan

Bock, 2002). Persamaan (I.18) berikut ini model matematis yang belum mengalami

iterasi.

La = F(Xa).....................................................................................................(I.18)

Sebagai contoh apabila terdapat dua receiver yang berada pada stasiun A dan B

yang mempunyai vektor koordinat XA, YA, ZA pada stasiun A dan XB, YB, ZB pada

stasiun B dan melakukan pengamatan terhadap dua satelit yaitu m dan n maka

persamaan double difference menjadi persamaan (I.19) dan (I.20):

18

222

A

m

A

m

A

mm

A ZtZYtYXtX ...............................................(I.19)

222

B

n

B

n

B

nn

B ZtZYtYXtX ......................................................(I.20)

Koordinat stasiun A dianggap memiliki suatu nilai pendekatan yaitu 000 ,, AAA ZYX

sehingga diperoleh nilai XA, YA, dan ZA seperti pada persamaan (I.21), (I.22), dan (I.23)

XA = X0

A + dXA .........................................................................................................(I.21)

YA = Y0

A + dYA .........................................................................................................(I.22)

ZA = Z0

A + dZA...........................................................................................................(I.23)

Kemudian persamaan (I.19) dan (I.20) dapat dilinierisasi sehingga menjadi persamaan

(I.24) dan (I.25)

...........................................(I.24)

...........................................(I.25)

Dengan melakukan substitusi persamaan tersebut ke dalam persamaan matrikss residu,

menghasilkan penyelesaian double difference menjadi persamaan (I.26) :

mn

ABA

mn

A

mn

A

mnmn

AB

mn

AB

mn

AB NdZtczdYtcydXtcxttrCtL .... …....(I.26)

Selanjutnya penerapan metode parameter berbobot pada persamaan I.18 sehingga

menjadi persamaan (I.27) :

L’a = Xa .............................................................................................................(I.27)

Dengan matriks bobot seperti tertera pada persamaan (I.28) dan persamaan

matriks residu pada (I.29) berikut ini :

2

1

0

0

P

P

P …………………………………………….…….……..…......…........(I.28)

V = A X + L ………………………………………………..………...…......…........(I.29)

Dalam hal ini matriks A, X dan L dapat dilihat dalam persamaan (I.30) s.d (I.32):

B

n

B

n

B

nn

B

n

B

A

m

A

m

A

mm

A

m

A

dZtczdYtcydXtcxt

dZtczdYtcydXtcxt

...

...

19

tcztcytcxA

mn

AB

mn

AB

mn

AB ………………..….......….........(I.30)

ttLLmn

AB

mn

AB .................................................................................(I.31)

AB

A

A

A

N

dZ

dY

dX

X …………..……………….…………...............................................(I.32)

Hasil persamaan observasi (I.29) yang telah dilinierisasi menjadi persamaan

(I.35):

b

b

b

ZZ

YY

XX

L

0

0

0

' ………………………………………………....…………..............(I.35)

Dalam hal ini,

L : matriks observasi

A : matriks desain

X : matriks parameter

ρ : jarak geometri antara satelit dengan titik pengamatan

N : ambiguitas fase

m,n : satelit yang teramat

A, B : stasiun pengamatan

(X0,Y0,Z0) : koordinat pendekatan

Setelah melakukan perataan jaringan dengan menggunakan GAMIT, proses

selanjutnya yaitu pendefinisian kerangka referensi dari loosely constrained network

dilakukan pada pengolahan lanjutan menggunakan GLOBK, dengan hasil titik diberikan

constraint yang sangat besar dan beberapa titik dianggap fixed (King dan Bock, 2002).

20

I.8.9. Evaluasi Hasil Pengolahan GAMIT dan GLOBK

Evaluasi hasil pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak GAMIT dapat

dilakukan dengan memperhatikan dua parameter evaluasi pada output file GAMIT

(Anonim, 2000) yaitu:

1. Postfit nrms (normalized root mean square)

Nilai postfit nrmsditentukan dengan menggunakan persamaan I.36.

postfit nrms = √

………………………………….……………… (I.36)

Dengan nilai x2 =

………………………………...…...……………. (I.37)

Dalam hal ini,

x2

: chi-squared

n-u : degree of freedom

𝜕 2 : varian apriori dari unit bobot

𝜃 2 : varian aposteriori dari unit bobot

: jumlah ukuran

: ukuran minimum

Standar kualitas nilai postfit nrms < 0,25 namun apabila nilai melebihi 0,5 berarti

dimungkinkan terdapat cycle slips yang belum dihilangkan.

2. Adjust,

Adjust, menunjukkan besarnya koreksi yang diberikan terhadap parameter yang

digunakan pada perhitungan.

3. Fract

Fract merupakan hasil perbandingan antara nilai adjust dan nilai formal seperti

pada persamaan I.38. Nilai fract dapat digunakan untuk mengindikasikan apakah

terdapat nilai adjust yang janggal dan perlu tidaknya diberikan iterasi untuk

mendapatkan nilai adjust yang bebas dari efek non-linear. Nilai adjust

menunjukkan besarnya perataan yang diberikan terhadap parameter yang

digunakan dalam perhitungan. Nilai formal disebut juga nilai formal error. Nilai

formal menunjukkan ketidakpastian pada pemberian data bobot untuk perhitungan

kuadrat terkecil. Besar nilai fract tidak boleh lebih dari 10 (fract < 10) (Herring,

2006).

21

I.8.10. Analisis Deformasi

Secara umum deformasi diartikan sebagai perubahan posisi titik, bentuk, dan

dimensi benda secara absolut maupun relatif. Salah satu contohnya adalah gerakan

tanah. Prinsip pengukuran deformasi adalah dengan memantau perubahan jarak, beda

tinggi, sudut maupun koordinat antara titik-titik yang mewakili daerah tersebut (Abidin,

2007). Survei deformasi dilakukan secara berulang pada periode yang berlainan. Hasil

dari survei tersebut selanjutnya diolah dan dilakukan hitung perataan sehingga

dihasilkan koordinat hasil pengukuran. Salah satu analisis deformasi adalah analisis

geometrik yang bertujuan untuk memberikan informasi tentang status geometrik obyek

deformasi seperti perubahan posisi obyek (analisis pergerakan) dan perbedaan posisi,

bentuk dan dimensi obyek deformasi (analisis regangan) (Taftazani, 2013). Pada

penelitian ini analisis yang dilakukan adalah analisis pergerakan.

Analisis ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi besar perubahan geometrik

melalui perpindahan posisi titik-titik pantau yang berada pada daerah yang diamati.

Data tersebut salah satunya dapat dicari dengan menggunakan pengamatan geodetik.

Dalam metode statik yang dihitung adalah selisih koordinat titik pantau antara dua

periode pengamatan. Hasil yang diperoleh adalah besar dan arah perpindahan posisi

titik-titik obyek yang diamati.

I.8.11. Kecepatan

I.8.12. Uji Statistik

Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji signifikansi beda dua

parameter. Uji tersebut digunakan untuk mengetahui nilai perbedaan yang signifikan

antara dua parameter. Pengujian ini melakukan analisis dengan cara menghitung beda

dua parameter dibagi dengan akar kuadrat masing-masing simpangan bakunya. Apabila

dituliskan dalam suatu model matematis menjadi persamaan I.40 (Widjajanti, 2010).

………………………………………………………………….……..(I.40)

Dengan penerimaan untuk hipotesis nol (H0) adalah sebesar T < tf,α/2

Dalam hal ini,

T : nilai t hitungan

tf,α/2 : distribusi t pada tabel t (student) dengan tingkat kepercayaan sebesar α

22

Xi : koordinat stasiun pada project 1

Xii : koordinat stasiun pada project 2

SXi2 : simpangan baku koordinat stasiun pada project 1

SXii2 : simpangan baku koordinat stasiun pada project 2

Pengujian tersebut mengidentifikasikan bahwa nilai koordinat untuk kedua project

besarnya sama seperti pada persamaan I.41.

……………………………………………………....……..(I.41)

…………………………………………………………..….……..(I.42)

Daerah penerimaan untuk hipotesis nol (H0) adalah sebesar T < tf,α/2.

I.9. Hipotesis

Hasil dari penelitian geodinamika Pulau Jawa pada tahun 1991 s.d 2001,

terdapat pergerakan horizontal ke arah tenggara dengan kecepatan 6 cm ± 3mm/tahun

(Bock, dkk., 2003). Pada tahun 2009 s.d. 2012 didapatkan kecepatan pergerakan

horizontal sebesar 4 s.d. 7 cm/tahun (Taftazani, 2013). Penelitian ini menggunakan data

pengamatan GNSS pada sesi pengamatan tahun 2012 dan 2013. Data GNSS diolah

dengan GAMIT/GLOBK dengan referensi ITRF 2008 dan titik ikat tujuh stasiun IGS

untuk mendapatkan pola variasi pergerakan horizontal dan pola pergerakan stasiun

pasut. Pola pergerakan horizontal yang didapatkan diduga memiliki kecepatan berkisar

antara 4 s.d. 7 cm/tahun dengan arah cenderung ke tenggara karena pengaruh

penunjaman lempeng Hindia-Australia di bawah lempeng Eurasia dan Indo-Australia,

sedangkan pola pergerakan vertikal yang didapatkan diduga memiliki kecepatan bekisar

9 s.d.13 cm/tahun karena penurunan muka tanah.