BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerusakan lingkungan dewasa ini telah sangat mengkhawatirkan terutama
rusaknya hutan sebagai penopang oksigen bagi makhluk hidup. Kerusakan
hutan ini kemudian menjadi perhatian banyak kalangan dan masyarakat dunia
baik perorangan maupun secara institusi. Keprihatinan akan masalah
lingkungan membuat banyak pihak berlomba-lomba membuat kebijakan
dalam rangka melindungi lingkungan. Uni Eropa merupakan organisasi
regional yang langsung merespon isu-isu lingkungan dalam kebijakan-
kebijakannya. Salah satu kebijakan Uni Eropa yang berdasar pada lingkungan
adalah Forest Law Enfocement Governance and Trade (FLEGT). FLEGT
sendiri sebenarnya merupakan kebijakan perdagangan yang berdasar pada
aspek-aspek lingkungan.
Wacana (FLEGT) pertama kali disampaikan Uni Eropa pada pertemuan
The World Summit on Sustainable Development di Johannesburg tahun 2002.
Kemudian Wacana tersebut ditindak lanjuti oleh Uni Eropa dengan FLEGT
Action Plan pada Mei 2003. Kebijakan ini merupakan upaya Uni Eropa untuk
menangani kerusakan hutan akibat pembalakan liar yang dinyatakan dalam
Rencana Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan (FLEGT) (European and Indonesian experts to inform, 2011).
Peraturan ini dibuat dengan maksud untuk menghentikan perdagangan kayu
dan produk kayu yang berasal dari kayu ilegal ke pasar Eropa. Adanya
2
kebijakan ini menunjukkan kepedulian masyarakat Eropa terhadap maraknya
penebangan hutan secara ilegal yang kemudian menyebabkan kerusakan
hutan.
Untuk melaksanakan tujuan FLEGT tersebut, Uni Eropa menciptakan
Voluntary Partnership Agreement (VPA). VPA merupakan mekanisme
praktis untuk mengidentifikasi dan mengeluarkan kayu ilegal dari pasar Uni
Eropa (Hawin, Nurhayati, & Antoni, 2010). VPA merupakan kebijakan
dengan mengajak negara mitra Uni Eropa untuk melakukan kerjasama
bilateral. Meskipun nama perjanjian ini Voluntary, namun perjanjian ini
bersifat mengikat antara Uni Eropa dengan negara mitranya. Dalam
kesepakatan ini mengharuskan negara pengekspor untuk hanya mengekspor
kayu bersertifikat legal. Caranya adalah dengan mengharuskan produsen kayu
mendapatkan lisensi FLEGT yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang,
yang disebut Licensing Authority, di negara penghasil kayu sebelum
produknya bisa diekspor ke Uni Eropa (Hawin, Nurhayati, & Antoni, 2010).
Adanya kebijakan tersebut tentunya berpengaruh kepada negara-negara
pengekspor kayu dengan tujuan pasar Uni Eropa, termasuk Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor kayu terbesar di dunia,
hal ini didukung dengan kepemilikikan lahan hutannya yang luas. Dari 119
negara tujuan ekspor kayu Indonesia, 24 negara diantaranya adalah negara-
negara Eropa (Arifenie, 2013). Secara kawasan, ekspor kayu ke Uni Eropa
menempati posisi kedua setelah Asia dengan volume lebih dari 346.000 ton
dan nilai ekspor US$480,86 juta (Noviani, 2013). Di dalam wilayah Uni
Eropa, tujuan pasar yang utama untuk kayu dan produk kayu Indonesia
3
adalah: Jerman, Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Spanyol dan Italia
(Arifenie, 2013).
Gambar 1.1 Negara-negara Tujuan Utama Ekspor Mebel Kayu
Indonesia, 2005 (%)
Jika dilihat dari data di atas, secara kumulatif dapat dikatakan bahwa Uni
Eropa merupakan pasar terbesar bagi mebel kayu Indonesia. Walaupun jika
dilihat angka per negara masih relatif kecil jika dibanding Amerika, namun
yang harus di ingat bahwa Uni Eropa merupakan regionalisme yang memiliki
aturan yang diterapkan bersama oleh negara-negara anggotanya.
Sejauh ini, Uni Eropa telah menandatangani VPA dengan beberapa negara
produsen kayu. Negara-negara tersebut diantaranya, Ghana, Kamerun,
Liberia, Kongo, Republik Afrika Tengah dan beberapa negara produsen kayu
lain (Baheramsyah, 2011). Keberhasilan penandatanganan perjanjian ini
dibeberapa negara mendorong Uni Eropa melakukan hal yang sama dengan
Indonesia. Hal ini karena Indonesia merupakan salah satu eksportir kayu dan
produk kayu terbesar untuk Uni Eropa. Indonesia sendiri sangat bersemangat
4
dalam penandatanganan perjanjian ini, hal ini tidak lain karena Uni Eropa
merupakan pasar kayu dan produk kayu Indonesia yang cukup besar.
Antusiasme Indonesia dalam penandatanganan perjanjian ini tentunya
beralasan. Ini karena penandatanganan kerjasama ini akan memberi manfaat
positif bagi Indonesia. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya adalah: (Hawin,
Nurhayati, & Antoni, 2010) pertama, Membantu program pemberantasan
pembalakan liar di Indonesia. Karena perjanjian ini memuat sarana hukum
yang diperlukan untuk memberantas kegiatan pembalakan liar di Indonesia.
Kedua, Meningkatkan tata kelola hutan, dimana Indonesia akan mendapatkan
dukungan finansial dan teknis serta saran tentang managemen hutan dari
action plan FLEGT. Peningkatan tata kelola hutan ini akan berdampak pada
peningkatan perfomance Indonesia dalam masalah hutan. Ketiga,
Meningkatkan perdagangan kayu ke Uni Eropa. Dimana setelah
penandatanganan kesepakatan ini, produk kayu dari Indonesia akan dengan
mudah masuk ke Eropa. Keempat, Mempermudah pengusaha lokal.
Pengusaha lokal hanya perlu mendaftarkan produknya dengan SVLK dan
dapat langsung diterima pasar Eropa tanpa harus melalui proses due diligence
regulation lagi. Kelima, Meningkatkan Ekonomi Makro. Keenam,
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pembalakan liar.
Pembicaraan kerjasama VPA antara Indonesia dan Uni Eropa telah
dimulai sejak tahun 2007. Pertemuan pembicaraan pertama berlangsung di
Jakarta pada Maret 2007. Negosiasi kedua berlangsung di Brussels pada Juni
2007. Kemudian Pada April 2008 di Jakarta dilangsungkan pertemuan
Technical Working Group (TWG) pertama. Desember 2009, masih di Jakarta,
5
diselenggarakan pertemuan TWG kedua. Pada Maret 2010, juga di Jakarta,
diselenggarakan pertemuan TWG ketiga.
Setelah negosiasi panjang sejak tahun 2007, akhirnya kedubelah pihak
sepakat untuk menandatangani perjanjian tersebut. Awalnya
penandatanganan perjanjian tersebut dijadwalkan pada Januari 2013, namun
Uni Eropa kemudian menunda penandatanganan tersebut. Menurut Direktur
Program Multistakeholder Forestry Programme-Yayasan Kehati, Diah
Raharjo, Alasan Uni Eropa menunda penandatanganan perjanjian tersebut
karena Uni Eropa masih harus menterjemahkan dokumen legal dalam bahasa
negara anggotanya (Prijono, 2013). Hal ini tidak mengherankan karena Uni
Eropa terdiri dari 27 negara yang memiliki bahasa yang berbeda. Sedangkan
setiap perjanjian yang mengatasnamakan Uni Eropa, maka semua anggotanya
harus menyetujuinya.
Setelah penundaan tersebut, keduabelah pihak menjadwalkan ulang
penandatangan kerjasama 15 Juli di Brussels, Belgia. Namun rencana tersebut
ditunda kembali oleh Uni Eropa. Setelah penundaan beberapa kali, akhirnya
pada tanggal 30 September 2013 Indonesia-Uni Eropa resmi menandatangani
persetujuan penegakan hukum, tata kelola, serta perdagangan bidang
kehutanan atau Forest Law Enforcement Governance and Trade - Voluntary
Partnership Agreement (FLEGT-VPA) yang dilaksanakan di Markas Besar
Uni Eropa di Brussels, Belgia (Prijono, 2013).
B. Rumusan Masalah
Penandatanganan perjanjian kerjasama antara Uni Eropa dan Indonesia ini
akan memberi manfaat yang besar bagi Indonesia. Oleh karena itu perjanjian
6
ini memiliki makna yang penting bagi Indonesia. Untuk mendorong
penandatanganan perjanjian ini, Indonesia harus memenuhi standar yang
diberikan oleh Uni Eropa. Untuk itu, Bagaimana strategi Indonesia untuk
meyakinkan Uni Eropa dalam menandatangani kesepakatan Voluntary
Partnership Agreement- Forest Law Enfocement governance and Trade
(VPA-FLEGT)?
C. Literatur Review
Untuk menganalisa keputusan masing-masing negara untuk bekerjasama
dan melihat mengapa proses kerjasama tersebut memakan waktu yang lama,
menggunakan beberapa tulisan yang terkait. Umumnya penjelasan yang
diberikan dalam tulisan-tulisan itu tersebut hanya bersifat umum atau tidak
secara spesifik membahas perilaku masing-masing negara.
Tulisan yang pertama dengan judul Diplomasi Indonesia di Sektor
Pertanian pada Forum Kerjasama Internasional yang disusun oleh
Direktorat Jendreral Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,
Departeman Pertanian. Dalam buku ini dipaparkan kepentingan Indonesia
dalam bergabung sebagai anggota WTO. Bergabungnya Indonesia dalam
WTO memberi peluang pasar yang lebih luas bagi Indonesia.
Dalam buku ini dipaparkan bagaimana perjuangan Indonesia dalam
berbagai forum WTO. Indonesia sendiri dalam keanggotaanya di WTO selain
memperjuangkan kepentingannya sendiri juga ikut memperjuangkan
kepentingan negara-negara berkembang. Perjuangan Indonesia di forum
WTO salah satunya pada konferensi tingkat menteri (KTM) I-II yang
7
diadakan di Singapura. Dalam forum ini Indonesia memberikan beberapa
usulan seperti panghapusan Most Favoured Nation (MFN).
Dalam forum-forum perundingan WTO, Indonesia mengatasnamakan
negara-negara berkembang. Hal ini dilakukan selain untuk memperjuangkan
kepentingan Indonesia sebagai negara berkembang juga agar mendapat
dukungan dari negara berkembang lain. Hal ini seperti saat Indonesia dan
Filipina memperjuangkan konsep SP (Special Product) dan SSM (Special
Safeguard Macanism) dapat dimasukan dalam draft Modalitas. Kedua konsep
ini diperjuangkan oleh Indonesia dan Filipina karena kedua konsep ini
dianggap tidak akan mendatangkan kerugian bagi negara-negara berkembang,
justru akan melindungi petani dari negara berkembang. perjuangan Indonesia
dan Filipina ini mendapat dukungan dari 18 negara berkembang lainnya.
Dalam memperjuangkan konsep SP ini, Indonesia didukung dengan
bergabungnya 32 negara berkembang untuk membentuk suatu aliansi SP dan
SSM atau diproklamirkan sebagai G-33 dengan Indonesia sebagai
pemimpinnya.
Tulisan yang kedua dengan judul Model Diplomasi Indonesia Terhadap
UNESCO Dalam Mematenkan Batik Sebagai Warisan Budaya Indonesia
Tahun 2009 yang ditulis oleh Leni Putri Lusianti dan Faisyal Rani. Dalam
tulisan ini kedua penulis menjelaskan bagaimana upaya Indonesia dalam
mempertahankan aset budayanya dari klaim negara lain. Upaya tersebut
dilakukan Indonesia dengan jalan diplomasi terhadap UNESCO.
Dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana Indonesia melibatkan banyak
pihak dalam upayanya mematenkan budaya Indonesia. Cara ini disebut
8
Multi- track Diplomacy. Multi-track sendiri dijelaskan sebagai kerangka
konseptual diplomasi yang dapat dilakukan oleh berbagai aktor. Sebelumnya
diplomasi hanya dipahami dilakukan oleh pemerintah, namun kemudian
berkembangkan tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah namun juga
non pemerintah.
Indonesia menggunakan model diplomasi multi-track untuk mematenkan
batik sebagai salah satu aset budaya bangsa yang sangat penting terhadap
UNESCO. Model ini dipilih untuk memperkuat klaim Indonesia akan Batik.
Jalur-jalur yang dilakukan Indonesia dalam memperjuangkan batik yaitu:
1. Pemerintah sebagai jalur resmi yang bersifat kenegaraan
2. Non pemerintah/Karir Profesional (Perwujudan perdamaian melalui
resolusi konflik)
3. Bisnis, atau Perwujudan Perdamaian melalui Perdagangan
Pebisnis dalam hal ini memegang peranan penting dalam
memperkenalkan batik ke dunia Internasional sebagai budaya Indonesia.
dengan memperdagangkan batik, para pengusaha batik juga turut
memperkenalkan batik sebagai budaya Indonesia.
4. Warga Negara Privat (Perwujudan perdamaian melalui keterlibatan
personal)
Dalam memperjuangkan batik sebagai warisan budaya Indonesia, warga
negara juga memiliki peran yang penting. Misalnya saja seorang desainer
atau pengrajin memiliki peranan vital dalam memperkenalkan batik.
5. Komunikasi dan Media (Perwujudan perdamaian melalui informasi)
9
Media informasi menjadi salah satu jalur yang sangat penting dalam
memperjuangkan hak paten terhadap batik. Media yang dalam hal ini
dapat berupa media elektronik dan media cetak menjadi sangat penting
karena dapat membentuk opini public yang baik terhadap suatu isu yang
sedang berkembang.
6. Penelitian, Pelatihan dan Edukasi (Perwujudan perdamaian melalui
pembelajaran)
Kegiatan edukasi memiliki peran yang penting dalam memperkenalkan
batik, yakni melalui penelitian, dan pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah ataupun lembaga pemerhati kebudayaan lainnya.
Tulisan ketiga berjudul Tropical Forests in the Global States System yang
ditulis oleh Andrew Robert Cock. Dalam tulisan ini dijelaskan mengenai
pentingnya hutan tropis dalam tatanan global. Hutan telah menjadi bagian
dari ekonomi dunia melalui perdagangan. Karenanya aspek ekonomi dan
politik tidak dapat dihindarkan akan merambah sektor kehutanan.
Kerusakan hutan menjadi masalah tersendiri bagi negara dan dunia.
Kesadaran akan masalah lingkungan mulai terlihat sejak 1980an. Pada awal
1980an mulai muncul berbagai kebijakan mengenai hutan. Kebijakan-
kebijakan tersebut menggunakan pendekatan berbasis pasar yang kemudian
mendorong peningkatan reformasi kebijakan hutan. Salah satu reformasi
tersebut adalah membuat mekanisme pemantauan internasional yang
memungkinkan penegakan hukum lembaga pemerintahan dan pembeli untuk
dapat membedakan kayu yang dipanen dengan legal atau tidak.
10
Reformasi kebijakan hutan dipromosikan menggunakan persyaratan yang
melibatkan regulasi pasar dalam menentukan tingkat penebangan dan
memastikan bahwa penebangan dihasilkan keseluruhan oleh pemilik sumber
daya hutan. Dengan demikian inisiatif telah mempraktekan konsep
pengelolaan hutan lestari. Konsep yang merujuk kepada fungsi-fungsi
ekologis, sosial, budaya dan ekonomi.
Sistem pengelolaan hutan merupakan salah satu bentuk perubahan
kebijakan di sektor kehutanan. Sistem ini merupakan salah satu solusi
mengatasi deforestasi hutan yang dibentuk dengan analisis ekonomi.
Pendekatan berbasis pasar merupakan salah satu alat kebijakan lingkungan.
Dengan pendekatan berbasis pasar, mengharapkan aktor untuk dapat
mengubah perilakunya untuk mengurangi bahaya lingkungan.
Tulisan yang keempat International forest governance regimes:
Reconciling concerns on timber legality and forest-based livelihoods yang
ditulis oleh K.F. Wiersum, G. Lescuyer, K.S. Nketiah, M. Wit. Dalam tulisan
ini menjelaskan bagaimana keprihatinan dunia akan tingginya tingkat
deforestasi telah mengakibatkan berkembangnya rezim hutan global. dan
kurangnya pengelolaan hutan lestari di negara-negara tropis sejak 1990-an.
Rezim tersebut ditandai dengan munculnya prinsip, norma, aturan, prosedur
dan program untuk mengatur interaksi antara manusia dan sumber daya
hutan. Salah satu upaya penanganan masalah hutan ini adalah dengan
pendekatan pemerintah. Pendekatan pemerintahan ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa konservasi hutan dan pengelolaan berkelanjutan
melibatkan rekonsiliasi berbeda ekologi, ekonomi dan berorientasi sosial.
11
Hal ini membutuhkan proses multi-pihak dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaannya.
Salah satu bentuk rezim kehutanan global adalah FLEGT. FLEGT muncul
sebgai salah satu upaya Uni Eropa menangani masalah deforestasi, dengan
menggunakan prinsip legalitas kayu. Legalitas kayu telah muncul sebagai
prinsip penanganan deforastasi dan telah menjadi norma. Norma mengenai
legalitas kayu memainkan peran dalam mengembangkan standar legalitas
nasional. FLEGT berfungsi sebagai pendorong perkembangan legalitas
nasional tersebut dan sebagai pengawas jalannya sistem tersebut.
Rencana Aksi FLEGT dianggap akan memberi dampak positif terutama
pada konsesi hutan tanaman industri bahwa produk kayu panen untuk ekspor
ke internasional pasar. FLEGT telah mendorong kebijakan-kebijakan baru di
tingkat nasional. Dalam pelaksanaan segala kebijakan tersebut perlu adanya
dorongan dari berbagai pihak tidak hanya pemerintah. Karena sektor
kehutanan ini mencakup banyak pihak.
Dari keempat tulisan di atas, dapat membantu memberi gambaran penulis
bagaimana Indonesia berdiplomasi di kancah kerjasama Internasional. Dari
tulisan yang pertama terlihat bagaimana Indonesia sebagai negara
berkembang mempergunakan posisinya sebagai strategi dalam setiap
perundingan WTO. Indonesia dalam memperjuangkan kepentingannya
mengatasnamakan negara berkembang, ini salah satu strategi Indonesia agar
mendapatkan dukungan dari negara berkembang lain dalam perundingan-
perundingan WTO. Selain itu dari tulisan kedua, juga dapat memberi
gambaran bagaimana diplomasi Indonesia yang dilakukan oleh berbagai
12
aktor. Peran aktor lain selain pemerintah memberi dampak yang signifikan
terhadap pengakuan batik sebagai budaya asli Indonesia. Para aktor ini
menggunakan cara yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya dalam
mendukung diplomasi Indonesia terkait dangan pengakuan batik oleh
UNICEF. Pada tulisan ketiga menjelaskan bagaimana pentingnya hutan bagi
sektor ekonomi. Perubahan kebijakan berbasis ekonomi dapat membantu
menangani kerusakan hutan. Pada tulisan ketiga memberikan gambaran
bagaimana rezim kehutanan muncul sebagai salah satu alat mengatasi
deforestasi. Salah satunya adalah FLEGT dengan menggunakan prinsip dan
norma legalitas kayu.
Dalam tesis ini penulis berusaha menganalisis bagaimana upaya Indonesia
berdiplomasi dengan Uni Eropa dalam VPA-FLEGT. VPA-FLEGT
merupakan salah satu kebijakan Uni Eropa yang bertujuan mengatasi
kerusakan hutan dengan berbasis pada pendekatan ekonomi. Dalam tulisan
ini akan melihat bagaimana strategi Indonesia dalam diplomasinya dengan
Uni Eropa dan melihat keterlibatan berbagai pihak dalam upaya tersebut.
D. Kerangka Konseptual
Untuk mengkaji permasalah diatas, diperlukan seperangkat konsep dan
teori yang tepat sebagai alat analisis. Di sini penulis akan menggunakan
konsep kerja sama internasional dan Konsep Diplomasi.
1. Kerjasama Internasional
Menurut KJ. Holsti kerjasama internasional adalah persetujuan atas
masalah-masalah tertentu antara dua negara atau lebih dalam rangka
13
memanfaatkan persamaan kepentingan atau benturan kepentingan (Holsti,
1988). Terkait kerjasama ekonomi, Holsti menyebutkan bahwa terdapat
beberapa variabel yang harus dipertimbangkan oleh kedua negara atau
pihakyang menjalin kerjasama, yakni : (Holsti, 1988) Kualitas dan
kuantitas variabel yang dimiliki suatu Negara, Keterampilan
mengerahkan kapabilitas tersebut untuk mendukung berbagai tujuan,
Kredibilitas ancaman serta gangguan, Derajat kebutuhan dan
ketergantungan, Responsivitas di kalangan pembuat kebijakan.
Kerjasama terjadi apabila kebijakan yang diambil oleh negara
hanya mempertimbangkan kepentingan sendiri dianggap oleh negara lain
sebagai halangan untuk mencapai tujuan dan kepentingan mereka, namun
ada upaya melakukan penyesuaian oleh kedua belah pihak. Kerjasama
internasional adalah kebijakan yang diambil oleh suatu negara dianggap
oleh negara lain sebagai memfasilitasi tercapainya tujuan mereka, sebagai
hasil dari koordinasi kebijakan. Karena perlu adanya koordinasi antar
negara, negosiasi, mediasi dan bergaining merupakan interaksi politik
yang penting. Interaksi tersebut akan mempengaruhi berhasil tidaknya
terciptanya kerjasama. Dalam kerjasama, koordinasi kebijakan ditentukan
oleh bergaining politik atau diplomasi (Mugasejati, 2006).
Menurut K.J. Holsti, kerjasama internasional dapat didefinisikan
dalam lima aspek. Pertama, pandangan bahwa dua atau lebih
kepentingan, nilai atau tujuan saling bertemu dan dapat menghasilkan
sesuatu, dipromosikan atau dipenuhi oleh semua pihak sekaligus. Kedua,
pandangan atau harapan dari suatu negara bahwa kebijakan yang
14
diputuskan oleh negara lainnya akan membantu negara itu untuk
mencapai kepentingan dan nilai-nilai. Ketiga, persetujuan atau masalah-
masalah tertentu antara dua negara atau lebih dalam rangka
memanfaatkan persamaan kepentingan atau benturan kepentingan.
Keempat, aturan resmi atau tidak resmi mengenai transaksi di masa depan
yang dilakukan untuk melaksanakan persetujuan. Yang terakhir, transaksi
antarnegara untuk memenuhi persetujuan mereka (Mugasejati, 2006).
Perjanjian antara Indonesia- Uni Eropa mengandung kelima
definisi kerjasama diatas. Poin pertama, dimana baik Indonesia maupun
Uni Eropa memiliki kepentingan dan tujuan yang kemudian dipersatukan
dalam kerjasama. Kepentingan salah satu pihak dapat dipenuhi oleh pihak
lain. Poin kedua, dimana kebijakan Uni Eropa mengenai sertifikasi kayu
legal dapat membantu Indonesia untuk memerangi pembalakan liar di
Indonesia. Poin ketiga, dimana kerjasama kedua belah pihak dilakukan
dalam rangka memanfaatkan persamaan kepentingan dalam memberantas
pembalakan liar. Poin keempat, Indonesia dan Uni Eropa membuat aturan
resmi dalam rangka melaksanakan persetujuan antara kedua belah pihak.
Kerjasama dapat terjadi dimana tindakan para aktor mengarah pada
satu kebersamaan melalui proses negosiasi. Kerjasama terjadi ketika para
aktor saling melakukan penyesuaian tindakan melalui proses koordinasi
(Mugasejati & Rais, Politik Kerjasama Internasional: Sebuah Pengantar,
2011). Penyesuaian dalam kerjasama ini telah dilakukan Indonesia
dengan merevisi aturan-aturan SVLK agar dapt sesuai dengan prinsip-
15
prinsip FLEGT. SVLK adalah kebijakan sertifikasi kayu yang dalam hal
ini dapat sejalan dengan kebijakan Uni Eropa dalam FLEGT.
Dari kerjasama tersebut diharapkan bahwa angka pembalakan liar
yang terjadi dapat berkurang. Kesamaan kepentingan ini menjadikan
Indonesia dan Uni Eropa sepakat untuk saling bekerjasama. Kesepakatan
ini tidak lepas dari koordinasi kedua belah pihak dalam mencapai
kepentingannya. Dengan adanya koordinasi Indonesia dan Uni Eropa
berharap mendapatkan keuntungan dari tercapainya kerjasama ini.
2. Diplomasi
Konsep kedua yang digunakan adalah diplomasi. Diplomasi
digunakan oleh negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya tanpa
penggunaan kekerasan. Menurut SL. Roy, diplomasi adalah seni yang
mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-
cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan negara lain.
Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan,
diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai
cara untuk mencapai tujuan (Roy, 1995).
Salah satu fungsi utama diplomasi adalah negosiasi (Barston, 1988).
G.R Berridge menyebutkan upaya diplomasi dapat dilakukan oleh aktor-
aktor pemerintah melalui upaya lobi-lobi dan negosiasi (Berridge, 2005).
Negosiasi merupakan aspek penting dalam meloby pihak-pihak yang
berkepentingan. Fred C. Ikle mendefinisikan negosiasi sebagai berikut:
“Negotiation is process in which explicit proposals are put forward
ostensibly for the purpose of reaching agreement on an exchange or
16
on the raalisation of common interest where conflicting interest are
present. It is the confrontation of explicit proposals that distinguishes
negotiation from tacit bargaining and other forms of conflict
behavior.” (Barston, 1988)
Negosiasi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk
mendalami masalah dan mencari kesepakatan antara dua pihak yang
bertentangan dengan tujuan untuk mencapai hasil yang dapat diterima
kedua belah pihak (Soeprapto, 1997). Negosiasi merupakan teknik
diplomatik untuk menyelesaikan perbedaan secara damai dan memajukan
kepentingan nasional.
Tujuan negosiasi sendiri adalah untuk menemukan kesepakatan antara
kedua belah pihak secara adil dan dapat memenuhi harapan atau keinginan
kedua belah pihak. Selain itu tujuan negosiasi yang lain adalah untuk
mendapatkan keuntungan atau menghindari kerugian atau memecahkan
masalah.
Dalam diplomasi sendiri, ada yang disebut dengan track. Terdapat
sembilan track diplomasi yang kemudian disebut dengan multi-track
diplomacy. Multi-track diplomacy merupakan rangkaian beberapa
komponen aktivitas diplomasi yang dilakukan oleh beragam aktor. Multi-
track diplomacy menjelaskan bahwa aktor yang dapat melakukan aktivitas
diplomasi tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah atau negara tapi
juga aktor di luar pemerintah yakni aktor non-pemerintah (non-
govermental actors.) (Diamond, 1996). Multi-track Diplomacy ini
memberi pemahaman bahwa proses diplomasi dilaksanakan dengan
menggabungkan keterlibatan antara peran pemerintah dan non-pemerintah.
Aktor non-pemerintah mencakup seperti kalangan pebisnis (businessman),
17
Private citizen (tokoh-tokoh masyarakat), aktivis, dan organisasi-
organisasi non pemerintah.
Multi Track Diplomacy terdiri dari 5 jalur yang kemudian berkembang
menjadi 9 jalur. Jalur-jalur dalam multi track diplomacy yaitu: pertama,
Pemerintah, merupakan jalur diplomasi resmi yang dilakukan oleh
pemerintah yaitu dengan membuat kebijakan, pertemuan resmi dengan
pihak lain maupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
maupun institusi pemerintah. Kedua, non-Pemerintah yang bersifat
Informal. Merupakan jalur tidak resmi yang dilakukan oleh non
pemerintah baik kelompok maupun individu. Ketiga, bisnis, merupakan
proses diplomasi yang dilakukan oleh pengusaha melalui kegiatan
ekonomi. Selain itu dapat pula berupa kegiatan yang dilakukan oleh para
pengusaha. Keempat, warga negara privat, merupakan jalur diplomasi
yang menekankan keterlibatan warga negara individual. Partisipasi
tersebut dapat melalui citizen diplomacy, program pertukaran, organisasi
voluntari swasta, NGO dan kelompok kepentingan tertentu. Kelima,
penelitian, pelatihan dan edukasi.merupakan diplomasi yang dilakukan
oleh para akademisi melalui penelitian maupun pelatihan. Keenam,
aktivisme, diplomasi yang dilakukan oleh para aktivis serta advokasi
kepada kelompok kepentingan khusus mengenai kebijakan tertentu
pemerintah. Ketujuh, agama, diplomasi dilakukan oleh komunitas spiritual
dan religius serta beberapa gerakan berbasis moral dan agama. Kedelapan,
pendanaan, diplomasi dilakukan oleh komunitas funding; yaitu mereka
yang baik yayasan maupun individu yang meyediakan dukungan finansial
18
untuk kegiatan yang dilaksanakan oleh jalur-jalur lainnya. Kesembilan,
komunikasi dan media, diplomasi yang dilakukan oleh media komunikasi
sangat penting karena dapat membentuk opini public yang baik terhadap
suatu isu yang sedang berkembang.
Keterlibatan aktor non pemerintah ini membawa angin segar bagi
proses diplomasi dimana mereka memberikan masukan-masukan yang
dari sudut pandang yang berbeda. Walau berangkat dari sudut pandang
dan kegiatan yang berbeda, namun tetap mengutamakan tercapainya
kepentingan nasional.
Dalam upaya diplomasi sendiri dibutuhkan strategi tertentu untuk
mendukung meyakinkan pihak lain untuk dapat menyepakati suatu
perjanjian atau kesepakatan. Strategi sendiri didefinisikan oleh John S.
Odell (Odell, 2006)
“strategy means a set of behaviour or tactics that are observable in
principle and associated with a plan to achieve some objective
through negotiation.”
Strategi adalah bagian dari proses negosiasi urutan tindakan dimana
tuntutan dan proposal diajukan untuk mencapai kesepakatan dan terjadi
perubahan perilaku minimal pada satu aktor. Strategi dapat berbeda-beda
dalam setiap proses negosiasi. Startegi dapat tidak berubah selama proses
negosiasi namun juga dapat berubah di tengah proses negosiasi. Hal ini
bergantung dari proses negosiasi itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan proses kesepakatan kerjasama FLEGT
antara Indonesia dan Uni Eropa, disini penulis melihat Indonesia juga
didukung dengan peran aktor lain selain pemerintah dalam proses
19
diplomasinya. Karena kerjasama ini akan berpengaruh pada banyak pihak
sehingga kekompakan antar pihak sangat diperlukan guna menyukseskan
negosiasi kerjasama ini. Selain itu, keterlibatan langsung berbagai pihak
dalam negosiasi ini juga memberi dampak positif. Disini penulis
menganalisa diplomasi Indonesia dengan menggunakan track one, track
two dan track three. Track one adalah diplomasi yang dilakukan oleh
pemerintah, dalam hal ini diplomasi dilakukan secara formal. Track two
adalah diplomasi yang dilakukan oleh non government. Track three adalah
diplomasi yang dilakukan oleh kalangan bisnis.
Dukungan para pihak dalam diplomasi Indonesia terhadap Uni Eropa
salah satunya peningkatan kapasitas bagi pelaksanaan sistem audit
legalitas kayu diberikan, terutama, oleh Multi-stakeholder Forestry
Programme, suatu kerjasama kemitraan antara Kementerian Kehutanan
Indonesia dan Department for International Development (Pemerintah
Inggris) yang dilaksanakan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati
Indonesia (Yayasan KEHATI).
Kontribusi lain datang dari para pengusaha kayu, dimana para
pengusaha kayu mulai melaporkan segala produknya dalam SVLK. Ini
dilakukan oleh para pengusaha untuk memperlihatkan bahwa para
pengusaha kayu ini telah mengolah produknya dengan legal. Keikut
sertaan pengusaha kayu dalam diplomasi ini kerena perjanjian ini sangat
memberi dampak besar terhadap para pengusaha kayu tersebut. Jalur Tiga
ini memiliki kekuatan besar untuk melakukan perubahan. Dimana
Industri-industri baru dan peluang baru biasanya membawa standar dan
20
pertimbangan yang berbeda dengan yang dibawa oleh pemerintah. Untuk
itu negosiasi yang dilakukan antara kedua belah pihak tentunya
diupayakan untuk saling mengkoordinasikan kepentingan masing-masing
pihak melalui kesepakan FLEGT. Pada setiap tahap proses perancangan
dan perundingan, representasi dari kelompok masyarakat sipil, asosiasi
hutan dan industri kayu maupun berbagai kementerian terkait lainnya telah
dapat berhubungan secara langsung dengan Kementerian Kehutanan serta
memberi kontribusi kepada perundingan dengan Uni Eropa melalui
berbagai bentuk dan ruang dialog. Pelibatan berbagai pihak ini merupakan
upaya pemerintah Indonesia membangun kekuatan diplomasi dalam setiap
perundingan dengan Uni Eropa.
Indonesia melakukan diplomasi melalui proses negosiasi. Negosiasi
tersebut diadakan dalam bentuk pertemuan-pertemuan antara kedua belah
pihak. Pertemuan tersebut membicarakan mengenai kesepahaman
mengenai mekanisme dari FLEGT sendiri. Dalam negosiasi yang
dilakukan, Indonesia juga meyakinkan Uni Eropa bahwa Indonesia telah
siap dengan FLEGT melalui kebijakan dalam negeri yaitu SVLK.
SVLK merupakan sistem wajib yang harus diimplementasikan oleh
semua pelaku usaha perkayuan. Sistem ini sendiri dibangun melalui
koordinasi berbagai pihak. Adanya koordinasi yang baik antar pihak
menjadikan kebijakan ini didukung pengimplementasiannya oleh berbagai
pihak di dalam negeri. Pemberlakuan SVLK ini sangat penting untuk
peningkatan efisiensi produksi dan kredibilitas kayu Indonesia di mata
dunia, mulai dari penyusunan standar legalitas, adanya kelembagaan yang
21
mengimplementasikan SVLK (tata kelola (governing), akreditasi,
verifikasi, lisensi, penyelesaian keberatan, dan pemantauan), hingga
adanya prosedur verifikasi legalitas kayu yang mengatur tata hubungan
dan tahapan pelaksanaan verifikasi legalitas kayu oleh masing-masing
pihak.
3. Argumen Utama
Kerjasama VPA ini memiliki arti penting bagi Indonesia, oleh karena itu
Indonesia melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan Uni Eropa selama
proses negosiasi kerjasama ini. Upaya tersebut adalah dengan melibatkan
berbagai pihak dalam upaya meyakinkan Uni Eropa atau menggunakan
strategi multi-track diplomacy. Salah satu pelibatannya adalah dalam proses
negosiasi. Pelibatan berbagai pihak dilakukan Indonesia mengingat kerjasama
internasional bersifat multidimensi yang akan melibatkan banyak pihak. Para
pihak ini memainkan perannya masing-masing dalam negosiasi dengan Uni
Eropa. Pihak-pihak yang terlibat tersebut adalah pemerintah, pengusaha kayu
dan LSM.
Pemerintah Indonesia sebagai aktor resmi berperan memfasilitasi dan
mengajak berbagai pihak untuk terlibat dalam negosiasi. Selain itu
pemerintah Indonesia juga menginisiasi kebijakan SVLK yang dibuat dengan
melibatkan berbagai pihak.
Selain pemerintah, pengusaha kayu juga dilibatkan dalam proses negosiasi
ini. Peran pengusaha kayu adalah memberikan laporan bahwa SVLK telah
22
berjalan dengan baik dan mereka telah mengimplementasikan SVLK di
sektor industri mereka.
Pihak lain yang dilibatkan oleh pemerintah Indonesia adalah LSM. Dalam
negosiasi, LSM memberikan laporannya mengenai SVLK yang telah
dijalankan Indonesia. Posisi LSM disi adalah sebagai pemantau independen
bpada implementasi SVLK.
4. Tujuan penelitian
Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana
Indonesia memanfaatkan sumber daya dan kebijakan dalam negerinya
menjadi strategi dan kekuatan dalam perjanjian Internasional. Disini juga
memberikan gambaran bagaimana pentingnya peran pengusaha dan LSM
sebagai pertner pemerintah dalam pembicaraan perjanjian Internasional.
5. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Yaitu metode yang menggambarkan dengan menggunakan fakta-
fakta yang memanfaatkan data sekunder maupun data primer yang
berhubungan dengan penelitian ini.
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan melalui
wawancara mendalam dengan pihak terkait yaitu, Bapak Achmad Edi
Nugroho. Bapak Achmad Edi Nugroho merupakan direktur Multi-stakeholder
Foresty program II.
23
Data sekunder didapat dari buku-buku, jurnal, laporan, majalah, surat
kabar website, tulisan maupun berita-berita yang terkait dengan penelitian ini.
6. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan bab pendahuluan yang
berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, literatur review,
kerangka konseptual yang akan digunakan dalam menganalisa, argumen
utama serta sistematika penulisan yang akan menjelaskan mengenai apa saja
yang ajan dibehas di bab-bab selanjutnya.
Bab II akan mendeskripsikan mengenai perjanjian VPA-FLEGT. Dalam
bab ini akan menjelaskan mengenai apa FLEGT dan VPA, tujuan, dan
bagaimana mekanisme perjanjian ini dan dasar hukum dari perjanjian ini.
Selain itu juga akan menjelaskan perjanjian VPA-FLEGT antara Uni Eropa
dengan Indonesia serta keuntungan yang didapat Indonesia dari perjanjian ini.
Selain itu juga menjelaskan mengenai poin penting dalam kerjasama VPA-
FLEGT antara uni Eropa dan Indonesia.
Bab III akan mengapa Indonesia memilih diplomasi multi-track dalam
upayanya meyakinkan Uni Eropa. Serta melihat siapa saja pihak yang terlibat
dalam diplomasi Indonesia. Terkait dengan para pihak tersebut, akan melihat
peran dari masing-masing pihak selama proses negosiasi. Dalam bab ini juga
akan menjelaskan bagaimana kesesuaian SVLK dengan TLAS FLEGT.
Bab terakhir adalah Bab kelima yang merupakan bab kesimpulan ini akan
berisi mengenai kesimpulan dari pembahasan-pembahasan di bab-bab
sebelumnya.