BAB I PENDAHULUAN -...

23
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerusakan lingkungan dewasa ini telah sangat mengkhawatirkan terutama rusaknya hutan sebagai penopang oksigen bagi makhluk hidup. Kerusakan hutan ini kemudian menjadi perhatian banyak kalangan dan masyarakat dunia baik perorangan maupun secara institusi. Keprihatinan akan masalah lingkungan membuat banyak pihak berlomba-lomba membuat kebijakan dalam rangka melindungi lingkungan. Uni Eropa merupakan organisasi regional yang langsung merespon isu-isu lingkungan dalam kebijakan- kebijakannya. Salah satu kebijakan Uni Eropa yang berdasar pada lingkungan adalah Forest Law Enfocement Governance and Trade (FLEGT). FLEGT sendiri sebenarnya merupakan kebijakan perdagangan yang berdasar pada aspek-aspek lingkungan. Wacana (FLEGT) pertama kali disampaikan Uni Eropa pada pertemuan The World Summit on Sustainable Development di Johannesburg tahun 2002. Kemudian Wacana tersebut ditindak lanjuti oleh Uni Eropa dengan FLEGT Action Plan pada Mei 2003. Kebijakan ini merupakan upaya Uni Eropa untuk menangani kerusakan hutan akibat pembalakan liar yang dinyatakan dalam Rencana Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT) (European and Indonesian experts to inform, 2011). Peraturan ini dibuat dengan maksud untuk menghentikan perdagangan kayu dan produk kayu yang berasal dari kayu ilegal ke pasar Eropa. Adanya

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerusakan lingkungan dewasa ini telah sangat mengkhawatirkan terutama

rusaknya hutan sebagai penopang oksigen bagi makhluk hidup. Kerusakan

hutan ini kemudian menjadi perhatian banyak kalangan dan masyarakat dunia

baik perorangan maupun secara institusi. Keprihatinan akan masalah

lingkungan membuat banyak pihak berlomba-lomba membuat kebijakan

dalam rangka melindungi lingkungan. Uni Eropa merupakan organisasi

regional yang langsung merespon isu-isu lingkungan dalam kebijakan-

kebijakannya. Salah satu kebijakan Uni Eropa yang berdasar pada lingkungan

adalah Forest Law Enfocement Governance and Trade (FLEGT). FLEGT

sendiri sebenarnya merupakan kebijakan perdagangan yang berdasar pada

aspek-aspek lingkungan.

Wacana (FLEGT) pertama kali disampaikan Uni Eropa pada pertemuan

The World Summit on Sustainable Development di Johannesburg tahun 2002.

Kemudian Wacana tersebut ditindak lanjuti oleh Uni Eropa dengan FLEGT

Action Plan pada Mei 2003. Kebijakan ini merupakan upaya Uni Eropa untuk

menangani kerusakan hutan akibat pembalakan liar yang dinyatakan dalam

Rencana Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor

Kehutanan (FLEGT) (European and Indonesian experts to inform, 2011).

Peraturan ini dibuat dengan maksud untuk menghentikan perdagangan kayu

dan produk kayu yang berasal dari kayu ilegal ke pasar Eropa. Adanya

2

kebijakan ini menunjukkan kepedulian masyarakat Eropa terhadap maraknya

penebangan hutan secara ilegal yang kemudian menyebabkan kerusakan

hutan.

Untuk melaksanakan tujuan FLEGT tersebut, Uni Eropa menciptakan

Voluntary Partnership Agreement (VPA). VPA merupakan mekanisme

praktis untuk mengidentifikasi dan mengeluarkan kayu ilegal dari pasar Uni

Eropa (Hawin, Nurhayati, & Antoni, 2010). VPA merupakan kebijakan

dengan mengajak negara mitra Uni Eropa untuk melakukan kerjasama

bilateral. Meskipun nama perjanjian ini Voluntary, namun perjanjian ini

bersifat mengikat antara Uni Eropa dengan negara mitranya. Dalam

kesepakatan ini mengharuskan negara pengekspor untuk hanya mengekspor

kayu bersertifikat legal. Caranya adalah dengan mengharuskan produsen kayu

mendapatkan lisensi FLEGT yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang,

yang disebut Licensing Authority, di negara penghasil kayu sebelum

produknya bisa diekspor ke Uni Eropa (Hawin, Nurhayati, & Antoni, 2010).

Adanya kebijakan tersebut tentunya berpengaruh kepada negara-negara

pengekspor kayu dengan tujuan pasar Uni Eropa, termasuk Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor kayu terbesar di dunia,

hal ini didukung dengan kepemilikikan lahan hutannya yang luas. Dari 119

negara tujuan ekspor kayu Indonesia, 24 negara diantaranya adalah negara-

negara Eropa (Arifenie, 2013). Secara kawasan, ekspor kayu ke Uni Eropa

menempati posisi kedua setelah Asia dengan volume lebih dari 346.000 ton

dan nilai ekspor US$480,86 juta (Noviani, 2013). Di dalam wilayah Uni

Eropa, tujuan pasar yang utama untuk kayu dan produk kayu Indonesia

3

adalah: Jerman, Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Spanyol dan Italia

(Arifenie, 2013).

Gambar 1.1 Negara-negara Tujuan Utama Ekspor Mebel Kayu

Indonesia, 2005 (%)

Jika dilihat dari data di atas, secara kumulatif dapat dikatakan bahwa Uni

Eropa merupakan pasar terbesar bagi mebel kayu Indonesia. Walaupun jika

dilihat angka per negara masih relatif kecil jika dibanding Amerika, namun

yang harus di ingat bahwa Uni Eropa merupakan regionalisme yang memiliki

aturan yang diterapkan bersama oleh negara-negara anggotanya.

Sejauh ini, Uni Eropa telah menandatangani VPA dengan beberapa negara

produsen kayu. Negara-negara tersebut diantaranya, Ghana, Kamerun,

Liberia, Kongo, Republik Afrika Tengah dan beberapa negara produsen kayu

lain (Baheramsyah, 2011). Keberhasilan penandatanganan perjanjian ini

dibeberapa negara mendorong Uni Eropa melakukan hal yang sama dengan

Indonesia. Hal ini karena Indonesia merupakan salah satu eksportir kayu dan

produk kayu terbesar untuk Uni Eropa. Indonesia sendiri sangat bersemangat

4

dalam penandatanganan perjanjian ini, hal ini tidak lain karena Uni Eropa

merupakan pasar kayu dan produk kayu Indonesia yang cukup besar.

Antusiasme Indonesia dalam penandatanganan perjanjian ini tentunya

beralasan. Ini karena penandatanganan kerjasama ini akan memberi manfaat

positif bagi Indonesia. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya adalah: (Hawin,

Nurhayati, & Antoni, 2010) pertama, Membantu program pemberantasan

pembalakan liar di Indonesia. Karena perjanjian ini memuat sarana hukum

yang diperlukan untuk memberantas kegiatan pembalakan liar di Indonesia.

Kedua, Meningkatkan tata kelola hutan, dimana Indonesia akan mendapatkan

dukungan finansial dan teknis serta saran tentang managemen hutan dari

action plan FLEGT. Peningkatan tata kelola hutan ini akan berdampak pada

peningkatan perfomance Indonesia dalam masalah hutan. Ketiga,

Meningkatkan perdagangan kayu ke Uni Eropa. Dimana setelah

penandatanganan kesepakatan ini, produk kayu dari Indonesia akan dengan

mudah masuk ke Eropa. Keempat, Mempermudah pengusaha lokal.

Pengusaha lokal hanya perlu mendaftarkan produknya dengan SVLK dan

dapat langsung diterima pasar Eropa tanpa harus melalui proses due diligence

regulation lagi. Kelima, Meningkatkan Ekonomi Makro. Keenam,

Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pembalakan liar.

Pembicaraan kerjasama VPA antara Indonesia dan Uni Eropa telah

dimulai sejak tahun 2007. Pertemuan pembicaraan pertama berlangsung di

Jakarta pada Maret 2007. Negosiasi kedua berlangsung di Brussels pada Juni

2007. Kemudian Pada April 2008 di Jakarta dilangsungkan pertemuan

Technical Working Group (TWG) pertama. Desember 2009, masih di Jakarta,

5

diselenggarakan pertemuan TWG kedua. Pada Maret 2010, juga di Jakarta,

diselenggarakan pertemuan TWG ketiga.

Setelah negosiasi panjang sejak tahun 2007, akhirnya kedubelah pihak

sepakat untuk menandatangani perjanjian tersebut. Awalnya

penandatanganan perjanjian tersebut dijadwalkan pada Januari 2013, namun

Uni Eropa kemudian menunda penandatanganan tersebut. Menurut Direktur

Program Multistakeholder Forestry Programme-Yayasan Kehati, Diah

Raharjo, Alasan Uni Eropa menunda penandatanganan perjanjian tersebut

karena Uni Eropa masih harus menterjemahkan dokumen legal dalam bahasa

negara anggotanya (Prijono, 2013). Hal ini tidak mengherankan karena Uni

Eropa terdiri dari 27 negara yang memiliki bahasa yang berbeda. Sedangkan

setiap perjanjian yang mengatasnamakan Uni Eropa, maka semua anggotanya

harus menyetujuinya.

Setelah penundaan tersebut, keduabelah pihak menjadwalkan ulang

penandatangan kerjasama 15 Juli di Brussels, Belgia. Namun rencana tersebut

ditunda kembali oleh Uni Eropa. Setelah penundaan beberapa kali, akhirnya

pada tanggal 30 September 2013 Indonesia-Uni Eropa resmi menandatangani

persetujuan penegakan hukum, tata kelola, serta perdagangan bidang

kehutanan atau Forest Law Enforcement Governance and Trade - Voluntary

Partnership Agreement (FLEGT-VPA) yang dilaksanakan di Markas Besar

Uni Eropa di Brussels, Belgia (Prijono, 2013).

B. Rumusan Masalah

Penandatanganan perjanjian kerjasama antara Uni Eropa dan Indonesia ini

akan memberi manfaat yang besar bagi Indonesia. Oleh karena itu perjanjian

6

ini memiliki makna yang penting bagi Indonesia. Untuk mendorong

penandatanganan perjanjian ini, Indonesia harus memenuhi standar yang

diberikan oleh Uni Eropa. Untuk itu, Bagaimana strategi Indonesia untuk

meyakinkan Uni Eropa dalam menandatangani kesepakatan Voluntary

Partnership Agreement- Forest Law Enfocement governance and Trade

(VPA-FLEGT)?

C. Literatur Review

Untuk menganalisa keputusan masing-masing negara untuk bekerjasama

dan melihat mengapa proses kerjasama tersebut memakan waktu yang lama,

menggunakan beberapa tulisan yang terkait. Umumnya penjelasan yang

diberikan dalam tulisan-tulisan itu tersebut hanya bersifat umum atau tidak

secara spesifik membahas perilaku masing-masing negara.

Tulisan yang pertama dengan judul Diplomasi Indonesia di Sektor

Pertanian pada Forum Kerjasama Internasional yang disusun oleh

Direktorat Jendreral Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,

Departeman Pertanian. Dalam buku ini dipaparkan kepentingan Indonesia

dalam bergabung sebagai anggota WTO. Bergabungnya Indonesia dalam

WTO memberi peluang pasar yang lebih luas bagi Indonesia.

Dalam buku ini dipaparkan bagaimana perjuangan Indonesia dalam

berbagai forum WTO. Indonesia sendiri dalam keanggotaanya di WTO selain

memperjuangkan kepentingannya sendiri juga ikut memperjuangkan

kepentingan negara-negara berkembang. Perjuangan Indonesia di forum

WTO salah satunya pada konferensi tingkat menteri (KTM) I-II yang

7

diadakan di Singapura. Dalam forum ini Indonesia memberikan beberapa

usulan seperti panghapusan Most Favoured Nation (MFN).

Dalam forum-forum perundingan WTO, Indonesia mengatasnamakan

negara-negara berkembang. Hal ini dilakukan selain untuk memperjuangkan

kepentingan Indonesia sebagai negara berkembang juga agar mendapat

dukungan dari negara berkembang lain. Hal ini seperti saat Indonesia dan

Filipina memperjuangkan konsep SP (Special Product) dan SSM (Special

Safeguard Macanism) dapat dimasukan dalam draft Modalitas. Kedua konsep

ini diperjuangkan oleh Indonesia dan Filipina karena kedua konsep ini

dianggap tidak akan mendatangkan kerugian bagi negara-negara berkembang,

justru akan melindungi petani dari negara berkembang. perjuangan Indonesia

dan Filipina ini mendapat dukungan dari 18 negara berkembang lainnya.

Dalam memperjuangkan konsep SP ini, Indonesia didukung dengan

bergabungnya 32 negara berkembang untuk membentuk suatu aliansi SP dan

SSM atau diproklamirkan sebagai G-33 dengan Indonesia sebagai

pemimpinnya.

Tulisan yang kedua dengan judul Model Diplomasi Indonesia Terhadap

UNESCO Dalam Mematenkan Batik Sebagai Warisan Budaya Indonesia

Tahun 2009 yang ditulis oleh Leni Putri Lusianti dan Faisyal Rani. Dalam

tulisan ini kedua penulis menjelaskan bagaimana upaya Indonesia dalam

mempertahankan aset budayanya dari klaim negara lain. Upaya tersebut

dilakukan Indonesia dengan jalan diplomasi terhadap UNESCO.

Dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana Indonesia melibatkan banyak

pihak dalam upayanya mematenkan budaya Indonesia. Cara ini disebut

8

Multi- track Diplomacy. Multi-track sendiri dijelaskan sebagai kerangka

konseptual diplomasi yang dapat dilakukan oleh berbagai aktor. Sebelumnya

diplomasi hanya dipahami dilakukan oleh pemerintah, namun kemudian

berkembangkan tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah namun juga

non pemerintah.

Indonesia menggunakan model diplomasi multi-track untuk mematenkan

batik sebagai salah satu aset budaya bangsa yang sangat penting terhadap

UNESCO. Model ini dipilih untuk memperkuat klaim Indonesia akan Batik.

Jalur-jalur yang dilakukan Indonesia dalam memperjuangkan batik yaitu:

1. Pemerintah sebagai jalur resmi yang bersifat kenegaraan

2. Non pemerintah/Karir Profesional (Perwujudan perdamaian melalui

resolusi konflik)

3. Bisnis, atau Perwujudan Perdamaian melalui Perdagangan

Pebisnis dalam hal ini memegang peranan penting dalam

memperkenalkan batik ke dunia Internasional sebagai budaya Indonesia.

dengan memperdagangkan batik, para pengusaha batik juga turut

memperkenalkan batik sebagai budaya Indonesia.

4. Warga Negara Privat (Perwujudan perdamaian melalui keterlibatan

personal)

Dalam memperjuangkan batik sebagai warisan budaya Indonesia, warga

negara juga memiliki peran yang penting. Misalnya saja seorang desainer

atau pengrajin memiliki peranan vital dalam memperkenalkan batik.

5. Komunikasi dan Media (Perwujudan perdamaian melalui informasi)

9

Media informasi menjadi salah satu jalur yang sangat penting dalam

memperjuangkan hak paten terhadap batik. Media yang dalam hal ini

dapat berupa media elektronik dan media cetak menjadi sangat penting

karena dapat membentuk opini public yang baik terhadap suatu isu yang

sedang berkembang.

6. Penelitian, Pelatihan dan Edukasi (Perwujudan perdamaian melalui

pembelajaran)

Kegiatan edukasi memiliki peran yang penting dalam memperkenalkan

batik, yakni melalui penelitian, dan pelatihan yang diadakan oleh

pemerintah ataupun lembaga pemerhati kebudayaan lainnya.

Tulisan ketiga berjudul Tropical Forests in the Global States System yang

ditulis oleh Andrew Robert Cock. Dalam tulisan ini dijelaskan mengenai

pentingnya hutan tropis dalam tatanan global. Hutan telah menjadi bagian

dari ekonomi dunia melalui perdagangan. Karenanya aspek ekonomi dan

politik tidak dapat dihindarkan akan merambah sektor kehutanan.

Kerusakan hutan menjadi masalah tersendiri bagi negara dan dunia.

Kesadaran akan masalah lingkungan mulai terlihat sejak 1980an. Pada awal

1980an mulai muncul berbagai kebijakan mengenai hutan. Kebijakan-

kebijakan tersebut menggunakan pendekatan berbasis pasar yang kemudian

mendorong peningkatan reformasi kebijakan hutan. Salah satu reformasi

tersebut adalah membuat mekanisme pemantauan internasional yang

memungkinkan penegakan hukum lembaga pemerintahan dan pembeli untuk

dapat membedakan kayu yang dipanen dengan legal atau tidak.

10

Reformasi kebijakan hutan dipromosikan menggunakan persyaratan yang

melibatkan regulasi pasar dalam menentukan tingkat penebangan dan

memastikan bahwa penebangan dihasilkan keseluruhan oleh pemilik sumber

daya hutan. Dengan demikian inisiatif telah mempraktekan konsep

pengelolaan hutan lestari. Konsep yang merujuk kepada fungsi-fungsi

ekologis, sosial, budaya dan ekonomi.

Sistem pengelolaan hutan merupakan salah satu bentuk perubahan

kebijakan di sektor kehutanan. Sistem ini merupakan salah satu solusi

mengatasi deforestasi hutan yang dibentuk dengan analisis ekonomi.

Pendekatan berbasis pasar merupakan salah satu alat kebijakan lingkungan.

Dengan pendekatan berbasis pasar, mengharapkan aktor untuk dapat

mengubah perilakunya untuk mengurangi bahaya lingkungan.

Tulisan yang keempat International forest governance regimes:

Reconciling concerns on timber legality and forest-based livelihoods yang

ditulis oleh K.F. Wiersum, G. Lescuyer, K.S. Nketiah, M. Wit. Dalam tulisan

ini menjelaskan bagaimana keprihatinan dunia akan tingginya tingkat

deforestasi telah mengakibatkan berkembangnya rezim hutan global. dan

kurangnya pengelolaan hutan lestari di negara-negara tropis sejak 1990-an.

Rezim tersebut ditandai dengan munculnya prinsip, norma, aturan, prosedur

dan program untuk mengatur interaksi antara manusia dan sumber daya

hutan. Salah satu upaya penanganan masalah hutan ini adalah dengan

pendekatan pemerintah. Pendekatan pemerintahan ini didasarkan pada

pertimbangan bahwa konservasi hutan dan pengelolaan berkelanjutan

melibatkan rekonsiliasi berbeda ekologi, ekonomi dan berorientasi sosial.

11

Hal ini membutuhkan proses multi-pihak dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaannya.

Salah satu bentuk rezim kehutanan global adalah FLEGT. FLEGT muncul

sebgai salah satu upaya Uni Eropa menangani masalah deforestasi, dengan

menggunakan prinsip legalitas kayu. Legalitas kayu telah muncul sebagai

prinsip penanganan deforastasi dan telah menjadi norma. Norma mengenai

legalitas kayu memainkan peran dalam mengembangkan standar legalitas

nasional. FLEGT berfungsi sebagai pendorong perkembangan legalitas

nasional tersebut dan sebagai pengawas jalannya sistem tersebut.

Rencana Aksi FLEGT dianggap akan memberi dampak positif terutama

pada konsesi hutan tanaman industri bahwa produk kayu panen untuk ekspor

ke internasional pasar. FLEGT telah mendorong kebijakan-kebijakan baru di

tingkat nasional. Dalam pelaksanaan segala kebijakan tersebut perlu adanya

dorongan dari berbagai pihak tidak hanya pemerintah. Karena sektor

kehutanan ini mencakup banyak pihak.

Dari keempat tulisan di atas, dapat membantu memberi gambaran penulis

bagaimana Indonesia berdiplomasi di kancah kerjasama Internasional. Dari

tulisan yang pertama terlihat bagaimana Indonesia sebagai negara

berkembang mempergunakan posisinya sebagai strategi dalam setiap

perundingan WTO. Indonesia dalam memperjuangkan kepentingannya

mengatasnamakan negara berkembang, ini salah satu strategi Indonesia agar

mendapatkan dukungan dari negara berkembang lain dalam perundingan-

perundingan WTO. Selain itu dari tulisan kedua, juga dapat memberi

gambaran bagaimana diplomasi Indonesia yang dilakukan oleh berbagai

12

aktor. Peran aktor lain selain pemerintah memberi dampak yang signifikan

terhadap pengakuan batik sebagai budaya asli Indonesia. Para aktor ini

menggunakan cara yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya dalam

mendukung diplomasi Indonesia terkait dangan pengakuan batik oleh

UNICEF. Pada tulisan ketiga menjelaskan bagaimana pentingnya hutan bagi

sektor ekonomi. Perubahan kebijakan berbasis ekonomi dapat membantu

menangani kerusakan hutan. Pada tulisan ketiga memberikan gambaran

bagaimana rezim kehutanan muncul sebagai salah satu alat mengatasi

deforestasi. Salah satunya adalah FLEGT dengan menggunakan prinsip dan

norma legalitas kayu.

Dalam tesis ini penulis berusaha menganalisis bagaimana upaya Indonesia

berdiplomasi dengan Uni Eropa dalam VPA-FLEGT. VPA-FLEGT

merupakan salah satu kebijakan Uni Eropa yang bertujuan mengatasi

kerusakan hutan dengan berbasis pada pendekatan ekonomi. Dalam tulisan

ini akan melihat bagaimana strategi Indonesia dalam diplomasinya dengan

Uni Eropa dan melihat keterlibatan berbagai pihak dalam upaya tersebut.

D. Kerangka Konseptual

Untuk mengkaji permasalah diatas, diperlukan seperangkat konsep dan

teori yang tepat sebagai alat analisis. Di sini penulis akan menggunakan

konsep kerja sama internasional dan Konsep Diplomasi.

1. Kerjasama Internasional

Menurut KJ. Holsti kerjasama internasional adalah persetujuan atas

masalah-masalah tertentu antara dua negara atau lebih dalam rangka

13

memanfaatkan persamaan kepentingan atau benturan kepentingan (Holsti,

1988). Terkait kerjasama ekonomi, Holsti menyebutkan bahwa terdapat

beberapa variabel yang harus dipertimbangkan oleh kedua negara atau

pihakyang menjalin kerjasama, yakni : (Holsti, 1988) Kualitas dan

kuantitas variabel yang dimiliki suatu Negara, Keterampilan

mengerahkan kapabilitas tersebut untuk mendukung berbagai tujuan,

Kredibilitas ancaman serta gangguan, Derajat kebutuhan dan

ketergantungan, Responsivitas di kalangan pembuat kebijakan.

Kerjasama terjadi apabila kebijakan yang diambil oleh negara

hanya mempertimbangkan kepentingan sendiri dianggap oleh negara lain

sebagai halangan untuk mencapai tujuan dan kepentingan mereka, namun

ada upaya melakukan penyesuaian oleh kedua belah pihak. Kerjasama

internasional adalah kebijakan yang diambil oleh suatu negara dianggap

oleh negara lain sebagai memfasilitasi tercapainya tujuan mereka, sebagai

hasil dari koordinasi kebijakan. Karena perlu adanya koordinasi antar

negara, negosiasi, mediasi dan bergaining merupakan interaksi politik

yang penting. Interaksi tersebut akan mempengaruhi berhasil tidaknya

terciptanya kerjasama. Dalam kerjasama, koordinasi kebijakan ditentukan

oleh bergaining politik atau diplomasi (Mugasejati, 2006).

Menurut K.J. Holsti, kerjasama internasional dapat didefinisikan

dalam lima aspek. Pertama, pandangan bahwa dua atau lebih

kepentingan, nilai atau tujuan saling bertemu dan dapat menghasilkan

sesuatu, dipromosikan atau dipenuhi oleh semua pihak sekaligus. Kedua,

pandangan atau harapan dari suatu negara bahwa kebijakan yang

14

diputuskan oleh negara lainnya akan membantu negara itu untuk

mencapai kepentingan dan nilai-nilai. Ketiga, persetujuan atau masalah-

masalah tertentu antara dua negara atau lebih dalam rangka

memanfaatkan persamaan kepentingan atau benturan kepentingan.

Keempat, aturan resmi atau tidak resmi mengenai transaksi di masa depan

yang dilakukan untuk melaksanakan persetujuan. Yang terakhir, transaksi

antarnegara untuk memenuhi persetujuan mereka (Mugasejati, 2006).

Perjanjian antara Indonesia- Uni Eropa mengandung kelima

definisi kerjasama diatas. Poin pertama, dimana baik Indonesia maupun

Uni Eropa memiliki kepentingan dan tujuan yang kemudian dipersatukan

dalam kerjasama. Kepentingan salah satu pihak dapat dipenuhi oleh pihak

lain. Poin kedua, dimana kebijakan Uni Eropa mengenai sertifikasi kayu

legal dapat membantu Indonesia untuk memerangi pembalakan liar di

Indonesia. Poin ketiga, dimana kerjasama kedua belah pihak dilakukan

dalam rangka memanfaatkan persamaan kepentingan dalam memberantas

pembalakan liar. Poin keempat, Indonesia dan Uni Eropa membuat aturan

resmi dalam rangka melaksanakan persetujuan antara kedua belah pihak.

Kerjasama dapat terjadi dimana tindakan para aktor mengarah pada

satu kebersamaan melalui proses negosiasi. Kerjasama terjadi ketika para

aktor saling melakukan penyesuaian tindakan melalui proses koordinasi

(Mugasejati & Rais, Politik Kerjasama Internasional: Sebuah Pengantar,

2011). Penyesuaian dalam kerjasama ini telah dilakukan Indonesia

dengan merevisi aturan-aturan SVLK agar dapt sesuai dengan prinsip-

15

prinsip FLEGT. SVLK adalah kebijakan sertifikasi kayu yang dalam hal

ini dapat sejalan dengan kebijakan Uni Eropa dalam FLEGT.

Dari kerjasama tersebut diharapkan bahwa angka pembalakan liar

yang terjadi dapat berkurang. Kesamaan kepentingan ini menjadikan

Indonesia dan Uni Eropa sepakat untuk saling bekerjasama. Kesepakatan

ini tidak lepas dari koordinasi kedua belah pihak dalam mencapai

kepentingannya. Dengan adanya koordinasi Indonesia dan Uni Eropa

berharap mendapatkan keuntungan dari tercapainya kerjasama ini.

2. Diplomasi

Konsep kedua yang digunakan adalah diplomasi. Diplomasi

digunakan oleh negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya tanpa

penggunaan kekerasan. Menurut SL. Roy, diplomasi adalah seni yang

mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-

cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan negara lain.

Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan,

diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai

cara untuk mencapai tujuan (Roy, 1995).

Salah satu fungsi utama diplomasi adalah negosiasi (Barston, 1988).

G.R Berridge menyebutkan upaya diplomasi dapat dilakukan oleh aktor-

aktor pemerintah melalui upaya lobi-lobi dan negosiasi (Berridge, 2005).

Negosiasi merupakan aspek penting dalam meloby pihak-pihak yang

berkepentingan. Fred C. Ikle mendefinisikan negosiasi sebagai berikut:

“Negotiation is process in which explicit proposals are put forward

ostensibly for the purpose of reaching agreement on an exchange or

16

on the raalisation of common interest where conflicting interest are

present. It is the confrontation of explicit proposals that distinguishes

negotiation from tacit bargaining and other forms of conflict

behavior.” (Barston, 1988)

Negosiasi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk

mendalami masalah dan mencari kesepakatan antara dua pihak yang

bertentangan dengan tujuan untuk mencapai hasil yang dapat diterima

kedua belah pihak (Soeprapto, 1997). Negosiasi merupakan teknik

diplomatik untuk menyelesaikan perbedaan secara damai dan memajukan

kepentingan nasional.

Tujuan negosiasi sendiri adalah untuk menemukan kesepakatan antara

kedua belah pihak secara adil dan dapat memenuhi harapan atau keinginan

kedua belah pihak. Selain itu tujuan negosiasi yang lain adalah untuk

mendapatkan keuntungan atau menghindari kerugian atau memecahkan

masalah.

Dalam diplomasi sendiri, ada yang disebut dengan track. Terdapat

sembilan track diplomasi yang kemudian disebut dengan multi-track

diplomacy. Multi-track diplomacy merupakan rangkaian beberapa

komponen aktivitas diplomasi yang dilakukan oleh beragam aktor. Multi-

track diplomacy menjelaskan bahwa aktor yang dapat melakukan aktivitas

diplomasi tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah atau negara tapi

juga aktor di luar pemerintah yakni aktor non-pemerintah (non-

govermental actors.) (Diamond, 1996). Multi-track Diplomacy ini

memberi pemahaman bahwa proses diplomasi dilaksanakan dengan

menggabungkan keterlibatan antara peran pemerintah dan non-pemerintah.

Aktor non-pemerintah mencakup seperti kalangan pebisnis (businessman),

17

Private citizen (tokoh-tokoh masyarakat), aktivis, dan organisasi-

organisasi non pemerintah.

Multi Track Diplomacy terdiri dari 5 jalur yang kemudian berkembang

menjadi 9 jalur. Jalur-jalur dalam multi track diplomacy yaitu: pertama,

Pemerintah, merupakan jalur diplomasi resmi yang dilakukan oleh

pemerintah yaitu dengan membuat kebijakan, pertemuan resmi dengan

pihak lain maupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

maupun institusi pemerintah. Kedua, non-Pemerintah yang bersifat

Informal. Merupakan jalur tidak resmi yang dilakukan oleh non

pemerintah baik kelompok maupun individu. Ketiga, bisnis, merupakan

proses diplomasi yang dilakukan oleh pengusaha melalui kegiatan

ekonomi. Selain itu dapat pula berupa kegiatan yang dilakukan oleh para

pengusaha. Keempat, warga negara privat, merupakan jalur diplomasi

yang menekankan keterlibatan warga negara individual. Partisipasi

tersebut dapat melalui citizen diplomacy, program pertukaran, organisasi

voluntari swasta, NGO dan kelompok kepentingan tertentu. Kelima,

penelitian, pelatihan dan edukasi.merupakan diplomasi yang dilakukan

oleh para akademisi melalui penelitian maupun pelatihan. Keenam,

aktivisme, diplomasi yang dilakukan oleh para aktivis serta advokasi

kepada kelompok kepentingan khusus mengenai kebijakan tertentu

pemerintah. Ketujuh, agama, diplomasi dilakukan oleh komunitas spiritual

dan religius serta beberapa gerakan berbasis moral dan agama. Kedelapan,

pendanaan, diplomasi dilakukan oleh komunitas funding; yaitu mereka

yang baik yayasan maupun individu yang meyediakan dukungan finansial

18

untuk kegiatan yang dilaksanakan oleh jalur-jalur lainnya. Kesembilan,

komunikasi dan media, diplomasi yang dilakukan oleh media komunikasi

sangat penting karena dapat membentuk opini public yang baik terhadap

suatu isu yang sedang berkembang.

Keterlibatan aktor non pemerintah ini membawa angin segar bagi

proses diplomasi dimana mereka memberikan masukan-masukan yang

dari sudut pandang yang berbeda. Walau berangkat dari sudut pandang

dan kegiatan yang berbeda, namun tetap mengutamakan tercapainya

kepentingan nasional.

Dalam upaya diplomasi sendiri dibutuhkan strategi tertentu untuk

mendukung meyakinkan pihak lain untuk dapat menyepakati suatu

perjanjian atau kesepakatan. Strategi sendiri didefinisikan oleh John S.

Odell (Odell, 2006)

“strategy means a set of behaviour or tactics that are observable in

principle and associated with a plan to achieve some objective

through negotiation.”

Strategi adalah bagian dari proses negosiasi urutan tindakan dimana

tuntutan dan proposal diajukan untuk mencapai kesepakatan dan terjadi

perubahan perilaku minimal pada satu aktor. Strategi dapat berbeda-beda

dalam setiap proses negosiasi. Startegi dapat tidak berubah selama proses

negosiasi namun juga dapat berubah di tengah proses negosiasi. Hal ini

bergantung dari proses negosiasi itu sendiri.

Dalam hubungannya dengan proses kesepakatan kerjasama FLEGT

antara Indonesia dan Uni Eropa, disini penulis melihat Indonesia juga

didukung dengan peran aktor lain selain pemerintah dalam proses

19

diplomasinya. Karena kerjasama ini akan berpengaruh pada banyak pihak

sehingga kekompakan antar pihak sangat diperlukan guna menyukseskan

negosiasi kerjasama ini. Selain itu, keterlibatan langsung berbagai pihak

dalam negosiasi ini juga memberi dampak positif. Disini penulis

menganalisa diplomasi Indonesia dengan menggunakan track one, track

two dan track three. Track one adalah diplomasi yang dilakukan oleh

pemerintah, dalam hal ini diplomasi dilakukan secara formal. Track two

adalah diplomasi yang dilakukan oleh non government. Track three adalah

diplomasi yang dilakukan oleh kalangan bisnis.

Dukungan para pihak dalam diplomasi Indonesia terhadap Uni Eropa

salah satunya peningkatan kapasitas bagi pelaksanaan sistem audit

legalitas kayu diberikan, terutama, oleh Multi-stakeholder Forestry

Programme, suatu kerjasama kemitraan antara Kementerian Kehutanan

Indonesia dan Department for International Development (Pemerintah

Inggris) yang dilaksanakan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati

Indonesia (Yayasan KEHATI).

Kontribusi lain datang dari para pengusaha kayu, dimana para

pengusaha kayu mulai melaporkan segala produknya dalam SVLK. Ini

dilakukan oleh para pengusaha untuk memperlihatkan bahwa para

pengusaha kayu ini telah mengolah produknya dengan legal. Keikut

sertaan pengusaha kayu dalam diplomasi ini kerena perjanjian ini sangat

memberi dampak besar terhadap para pengusaha kayu tersebut. Jalur Tiga

ini memiliki kekuatan besar untuk melakukan perubahan. Dimana

Industri-industri baru dan peluang baru biasanya membawa standar dan

20

pertimbangan yang berbeda dengan yang dibawa oleh pemerintah. Untuk

itu negosiasi yang dilakukan antara kedua belah pihak tentunya

diupayakan untuk saling mengkoordinasikan kepentingan masing-masing

pihak melalui kesepakan FLEGT. Pada setiap tahap proses perancangan

dan perundingan, representasi dari kelompok masyarakat sipil, asosiasi

hutan dan industri kayu maupun berbagai kementerian terkait lainnya telah

dapat berhubungan secara langsung dengan Kementerian Kehutanan serta

memberi kontribusi kepada perundingan dengan Uni Eropa melalui

berbagai bentuk dan ruang dialog. Pelibatan berbagai pihak ini merupakan

upaya pemerintah Indonesia membangun kekuatan diplomasi dalam setiap

perundingan dengan Uni Eropa.

Indonesia melakukan diplomasi melalui proses negosiasi. Negosiasi

tersebut diadakan dalam bentuk pertemuan-pertemuan antara kedua belah

pihak. Pertemuan tersebut membicarakan mengenai kesepahaman

mengenai mekanisme dari FLEGT sendiri. Dalam negosiasi yang

dilakukan, Indonesia juga meyakinkan Uni Eropa bahwa Indonesia telah

siap dengan FLEGT melalui kebijakan dalam negeri yaitu SVLK.

SVLK merupakan sistem wajib yang harus diimplementasikan oleh

semua pelaku usaha perkayuan. Sistem ini sendiri dibangun melalui

koordinasi berbagai pihak. Adanya koordinasi yang baik antar pihak

menjadikan kebijakan ini didukung pengimplementasiannya oleh berbagai

pihak di dalam negeri. Pemberlakuan SVLK ini sangat penting untuk

peningkatan efisiensi produksi dan kredibilitas kayu Indonesia di mata

dunia, mulai dari penyusunan standar legalitas, adanya kelembagaan yang

21

mengimplementasikan SVLK (tata kelola (governing), akreditasi,

verifikasi, lisensi, penyelesaian keberatan, dan pemantauan), hingga

adanya prosedur verifikasi legalitas kayu yang mengatur tata hubungan

dan tahapan pelaksanaan verifikasi legalitas kayu oleh masing-masing

pihak.

3. Argumen Utama

Kerjasama VPA ini memiliki arti penting bagi Indonesia, oleh karena itu

Indonesia melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan Uni Eropa selama

proses negosiasi kerjasama ini. Upaya tersebut adalah dengan melibatkan

berbagai pihak dalam upaya meyakinkan Uni Eropa atau menggunakan

strategi multi-track diplomacy. Salah satu pelibatannya adalah dalam proses

negosiasi. Pelibatan berbagai pihak dilakukan Indonesia mengingat kerjasama

internasional bersifat multidimensi yang akan melibatkan banyak pihak. Para

pihak ini memainkan perannya masing-masing dalam negosiasi dengan Uni

Eropa. Pihak-pihak yang terlibat tersebut adalah pemerintah, pengusaha kayu

dan LSM.

Pemerintah Indonesia sebagai aktor resmi berperan memfasilitasi dan

mengajak berbagai pihak untuk terlibat dalam negosiasi. Selain itu

pemerintah Indonesia juga menginisiasi kebijakan SVLK yang dibuat dengan

melibatkan berbagai pihak.

Selain pemerintah, pengusaha kayu juga dilibatkan dalam proses negosiasi

ini. Peran pengusaha kayu adalah memberikan laporan bahwa SVLK telah

22

berjalan dengan baik dan mereka telah mengimplementasikan SVLK di

sektor industri mereka.

Pihak lain yang dilibatkan oleh pemerintah Indonesia adalah LSM. Dalam

negosiasi, LSM memberikan laporannya mengenai SVLK yang telah

dijalankan Indonesia. Posisi LSM disi adalah sebagai pemantau independen

bpada implementasi SVLK.

4. Tujuan penelitian

Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana

Indonesia memanfaatkan sumber daya dan kebijakan dalam negerinya

menjadi strategi dan kekuatan dalam perjanjian Internasional. Disini juga

memberikan gambaran bagaimana pentingnya peran pengusaha dan LSM

sebagai pertner pemerintah dalam pembicaraan perjanjian Internasional.

5. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif. Yaitu metode yang menggambarkan dengan menggunakan fakta-

fakta yang memanfaatkan data sekunder maupun data primer yang

berhubungan dengan penelitian ini.

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan melalui

wawancara mendalam dengan pihak terkait yaitu, Bapak Achmad Edi

Nugroho. Bapak Achmad Edi Nugroho merupakan direktur Multi-stakeholder

Foresty program II.

23

Data sekunder didapat dari buku-buku, jurnal, laporan, majalah, surat

kabar website, tulisan maupun berita-berita yang terkait dengan penelitian ini.

6. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan bab pendahuluan yang

berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, literatur review,

kerangka konseptual yang akan digunakan dalam menganalisa, argumen

utama serta sistematika penulisan yang akan menjelaskan mengenai apa saja

yang ajan dibehas di bab-bab selanjutnya.

Bab II akan mendeskripsikan mengenai perjanjian VPA-FLEGT. Dalam

bab ini akan menjelaskan mengenai apa FLEGT dan VPA, tujuan, dan

bagaimana mekanisme perjanjian ini dan dasar hukum dari perjanjian ini.

Selain itu juga akan menjelaskan perjanjian VPA-FLEGT antara Uni Eropa

dengan Indonesia serta keuntungan yang didapat Indonesia dari perjanjian ini.

Selain itu juga menjelaskan mengenai poin penting dalam kerjasama VPA-

FLEGT antara uni Eropa dan Indonesia.

Bab III akan mengapa Indonesia memilih diplomasi multi-track dalam

upayanya meyakinkan Uni Eropa. Serta melihat siapa saja pihak yang terlibat

dalam diplomasi Indonesia. Terkait dengan para pihak tersebut, akan melihat

peran dari masing-masing pihak selama proses negosiasi. Dalam bab ini juga

akan menjelaskan bagaimana kesesuaian SVLK dengan TLAS FLEGT.

Bab terakhir adalah Bab kelima yang merupakan bab kesimpulan ini akan

berisi mengenai kesimpulan dari pembahasan-pembahasan di bab-bab

sebelumnya.