BAB I PENDAHULUAN -...

26
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada saat ini kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan pelabuhan, perencanaan jalur kapal, perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi navigasi kelautan dan lain-lain. Data batimetri perairan ini akan semakin dibutuhkan dengan adanya prioritas Pembangunan Nasional dalam bidang maritim serta keinginan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Gagasan terbesar menuju poros maritim dunia adalah dengan membangun tol laut. Untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia melalui konsep tol laut ini, pemerintah telah menyusun rencana pembangunan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Berdasarkan draf RPJMN tersebut, pemerintah berencana untuk melakukan pembangunan dan pengembangan 24 pelabuhan strategis di seluruh wilayah Indonesia yang terintegrasi dalam konsep tol laut. Salah satu prasarana fisik di dalam transportasi laut adalah pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat bongkar muat barang dan naik turunnya penumpang. Sebagai tindakan antipasi perkembangan permintaan tentang jasa angkutan laut pada masa mendatang, maka perlu dipersiapkan lokasi-lokasi baru untuk pelabuhan. Perencanaan alur pelayaran dapat ditentukan dari titik-titik kedalaman yang terdapat dalam peta batimetri pada wilayah perairan. Dengan adanya pembangunan dan pengembangan pelabuhan pelabuhan yang baru maka diperlukan adanya informasi data batimetri dasar laut/perairan. Informasi ini nantinya sangat diperlukan untuk menentukan jalur kapal dan menentukan lokasi pelabuhan. Untuk memperoleh data topografi dasar laut dilakukan dengan cara survei hidrografi. Salah satu metode yang diterapkan pada pengukuran batimetri dasar laut ini yaitu dengan menggunakan teknologi akustik dasar laut. Akustik dasar laut mempunyai keterkaitan antara lain dalam proses perambatan suara pada medium air yang mampu memberikan berbagai informasi penting dasar perairan dan penentuan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pada saat ini kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan

kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan pelabuhan,

perencanaan jalur kapal, perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi navigasi

kelautan dan lain-lain. Data batimetri perairan ini akan semakin dibutuhkan dengan

adanya prioritas Pembangunan Nasional dalam bidang maritim serta keinginan

Indonesia sebagai poros maritim dunia. Gagasan terbesar menuju poros maritim dunia

adalah dengan membangun tol laut.

Untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia melalui konsep tol

laut ini, pemerintah telah menyusun rencana pembangunan melalui Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Berdasarkan draf

RPJMN tersebut, pemerintah berencana untuk melakukan pembangunan dan

pengembangan 24 pelabuhan strategis di seluruh wilayah Indonesia yang terintegrasi

dalam konsep tol laut. Salah satu prasarana fisik di dalam transportasi laut adalah

pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat bongkar muat barang dan naik turunnya

penumpang. Sebagai tindakan antipasi perkembangan permintaan tentang jasa

angkutan laut pada masa mendatang, maka perlu dipersiapkan lokasi-lokasi baru

untuk pelabuhan.

Perencanaan alur pelayaran dapat ditentukan dari titik-titik kedalaman yang

terdapat dalam peta batimetri pada wilayah perairan. Dengan adanya pembangunan

dan pengembangan pelabuhan pelabuhan yang baru maka diperlukan adanya

informasi data batimetri dasar laut/perairan. Informasi ini nantinya sangat diperlukan

untuk menentukan jalur kapal dan menentukan lokasi pelabuhan.

Untuk memperoleh data topografi dasar laut dilakukan dengan cara survei

hidrografi. Salah satu metode yang diterapkan pada pengukuran batimetri dasar laut

ini yaitu dengan menggunakan teknologi akustik dasar laut. Akustik dasar laut

mempunyai keterkaitan antara lain dalam proses perambatan suara pada medium air

yang mampu memberikan berbagai informasi penting dasar perairan dan penentuan

2

posisi di perairan. Salah satu teknologi akustik yang telah dikenal dan sering

digunakan dalam pemetaan batimetri yaitu dengan menggunakan teknologi

echosounder, dalam hal ini pengukuran kedalaman dilakukan dengan menggunakan

alat singlebeam echosounder, yang mengacu pada IHO SP-44 Orde Spesial tahun

2008. Disamping itu untuk memperoleh peta batimetri dasar laut yang akurat,

diperlukan pengamatan pasang surut. Profil kontur yang terdapat dalam peta batimetri,

juga harus terdefinisi dengan baik terhadap mean sea level (MSL) maupun surutan

peta (Chart Datum).

Selain pulau Jawa, Sulawesi adalah salah satu pulau diwilayah timur Indonesia

yang paling berkembang secara ekonomi. Disamping pertanian dan hasil laut, saat ini

perkebunan kelapa sawit merupakan primadona baru yang tengah berkembang

khususnya di Sulawesi Utara. Untuk mendukung tumbuhnya perkebunan kelapa sawit

ini dibutuhkan adanya pelabuhan yang sangat membantu dalam efektifitas dan

efisiensi entry exit logistik diwilayah Sulawesi Utara. Selanjutnya dengan adanya

pelabuhan yang memadai akan mendorong kegiatan ekspor produksi kelapa sawit

yang ada di Gorontalo Sulawesi Utara.

Dalam kegiatan aplikatif ini, pembuatan peta batimetri dimaksudkan untuk

menyediakan informasi mengenai topografi dasar laut guna untuk kegiatan rekayasa

di pantai Sumalata. Dengan demikian diharapkan akan dapat membantu dalam

pelaksanaan pembangunan kegiatan rekayasa seperti pembangunan pelabuhan dan

perencanaan alur pelayaran di wilayah perairan tersebut.

I.2. Lingkup Kegitan

Lingkup kegiatan pada pekerjaan aplikatif ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Pengukuran dilakukan di sebagian perairan Hutokalo Gorontalo Sulawesi

Utara dilakukan oleh PT. LINTANG BUMI.

2. Pada kegiatan aplikatif ini, data pengukuran batimetri dengan alat

singlebeam echosounder South SDE 28 S yang diintegrasikan dengan GPS

metode RTK

3. Pada kegiatan ini pengamatan pasut dilakukan di Pantai Sumalata selama

30 hari dengan interval 1 jam.

3

4. Datum horizontal pembuatan peta topografi dan peta batimetri mengacu

pada datum WGS’84

5. Datum vertikal pada peta batimetri mengacu pada chart datum.

6. Model chart datum yang digunakan mengacu terhadap Dinas Hidro-

Oseanografi TNI AL.

I.3. Tujuan

Adapun tujuan dari kegiatan aplikatif ini yaitu :

1. Menentukan nilai MSL, Chart datum, dan Surutan peta di Pantai Sumalata

Gorontalo Utara

2. Tersedianya peta batimetri dengan skala 1:2000 di Pantai Sumalata Gorontalo

Utara. Peta batimetri ini akan digunakan untuk kegiatan rekayasa laut yang

mengacu pada standar nasional yaitu standar SNI 7646:2010.

3. Membuat peta topografi di sekitar area pengukuran batimetri menggunakan

data shapefile peta RBI.

4. Menggabungkan peta topografi yang mengacu pada MSL dan peta batimetri

yang tinggi dan kedalamannya mengacu pada Chart Datum.

I.4. Manfaat

Manfaat dari kegiatan apliaktif ini adalah untuk mendukung perencanaan kegiatan

rekayasa laut di pantai Sumalata Gorontalo Utara.

I.5. Landasan Teori

I.5.1. Pasang Surut

Pasang surut adalah naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang

disebabkan oleh pengaruh gaya tarik benda-benda langit terutama bulan dan matahari

di bumi yang berotasi (IHO, 2008). Meskipun massa matahari lebih besar dibanding

dengan massa bulan, akan tetapi gaya pembangkit pasang oleh matahari jauh lebih

kecil dibanding dengan gaya yang dihasilkan oleh bulan. Hal ini dikarenakan jarak

4

matahari yang terlalu jauh bila dibandingkan dengan jarak bumi dengan bulan

(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

Terdapat beberapa teori mengenai pasut, yaitu teori kesetimbangan

(Equilibrum) pertama kali dikemukakan oleh Sir Isaac Newton yang menjelaskan

bahwa seluruh permukaan bumi diasumsikan tertutup oleh permukaan air dengan

densitas yang sama dan naik turunnya muka air laut sebanding dengan gaya

pembangkit pasut. Teori dinamis, dikemukakan pertama kali oleh Laplace. Pada teori

Laplace menyatakan bahwa gelombang pasut yang terbentuk dipengaruhi oleh gaya

pembangkit pasut, kedalaman dan luas perairan, pengaruh rotasi bumi, dan pengaruh

gesekan dasar. Teori ini melengkapi teori kesetimbangan sehingga sifat-sifat pasut

dapat diketahui secara kuantitatif (Priyana, 1994).

Gaya Pembangkit Pasut (GPP) merupakan resultan gaya tarik bulan matahari

dan gaya sentrifugal. Arah gaya sentrifugal menjauh dari bulan, sedangkan arah gaya

tarik bulan menuju pusat bulan dan besarnya tergantung jaraknya ke pusat bulan. Gaya

yang sangat berpengaruh terhadap pasang surut dapat dilihat pada Gambar I.1.

Gambar I.1. Gaya pembangkit pasut (Sumber: Poerbandono dan Djunarsjah, 2005)

1. Gaya sentrifugal yang berfungsi sabagai penyeimbang.

𝐹𝑆 = 𝐺𝑀𝑚

𝑟2 = 𝑔𝑀𝑚

𝑀𝑒(

𝑎2

𝑟2) .......................................................................... (I.1)

2. Gaya tarik bulan

𝐹𝐵 = 𝐺𝑀𝑝𝑀𝑚

𝑅2 = 𝐺𝑀𝑚

𝑅2 = 𝑔𝑀𝑚

𝑀𝑒(

𝑎2

𝑅2) ........................................................ (I.2)

5

Resultan antara gaya tarik bulan (Fp) dan gaya sentrifugal (Fc) merupakan gaya

pembangkit pasut, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar I.2.

Gambar I.2. Arah gaya sentrifugal dan gaya gravitasi bulan

(Sumber : Poerbandono dan Djunarsjah, 2005)

Dari Gambar I.2, maka dapat dihitung GPP dengan rumus sebagai berikut :

P = FB − FC ............................................................................................... (I.3)

Dalam hal ini :

Fc : gaya sentrifugal

Fp : gaya tarik bulan

Mm : massa bulan

Me : massa bumi

G : konstanta gaya gravitasi universal (6.67 x 10-11newton.m2/kg2)

g : konstanta gaya gravitasi

a : jari-jari bumi

r : jarak antara pusat bumi dan pusat bulan

R : jarak dari pusat bulan ke permukaan bumi

P : gaya pembangkit pasut

I.5.1.1. Analisis harmonik pasut. Analisis harmonik pasut bertujuan untuk

menghitung amplitude hasil respons dari kondisi laut setempat dan beda fase dari

gelombang tiap komponen terhadapkeadaan pasang surut setimbang. Nilai perubahan

amplitude dan keterlambatan fase yang dihitung dinyatakan dalam sebuah konstanta

harmonik. Untuk menentukan nilai konstanta harmonik pasut laut tersebut maka

sebelumya perlu untuk diketahui bahwa pasut yang diamati dari variasi naik turunnya

6

muka laut adalah hasil penjumlahan dari semua gelombang komponen harmonik pasut

yang terjadi. Dengan demikian tinggi muka laut pada suatu saat (t) dapat dituliskan

dalam persamaan sebagai berikut (Soeprapto 1993) :

……………………………………………(I.4)

Dimana:

h(t) : tinggi muka air fungsi dari waktu

v(tn) : residu

hm : tinggi muka air rerata

k : jumlah komponen

Ai : amplitudo komponen ke-i

i : kecepatan sudut komponen ke-i

t : waktu

gi : fase komponen ke-i

Dari rumus diatas dapat diuraikan menjadi :

……………..………….(I.5)

Jika dimisalkan :

………………………………………………(I.6)

Maka hasilnya menjadi :

…………………….……………....(I.7)

Keterangan :

Ar dan Br : konstanta harmonik ke-i

k : jumlah komponen pasut,

tn : menunjukkan waktu pengamatan tiap jam (tn = -n, n+1, n; tn = 0

adalah waktu tengah-tengah pengamatan).

Besarnya ( hm ) hasil hitungan dengan persamaan diatas mendekati elevasi pasut

pengamatan h(t) jika :

………………………………………………(I.8)

7

Persamaan diatas kemudian diturunkan terhadap Ari dan Bri

……………………………………….(I.9)

Dari hubungan persamaan tersebut diperoleh 2n + 1 persamaan dimana n adalah

banyaknya komponen harmonik pasut laut. Sehingga dapat ditentukan besaran S, Ar,

dan Br. Selanjutnya berdasarkan estimasi kuadrat terkecil maka persamaan dapat

diuraikan dalam tahap – tahap sebagai berikut :

1. persamaan pengamatan tinggi muka laut L = AX

2. persamaan koreksi v = (AX) – L, maka :

……………………………..(I.10)

Berikut ini pendesainan matrik pengamatan pasut :

………………………………(I.11)

……..…………………………………………...(I.12)

………………………………………………….(I.13)

………………………………………………………………….(I.14)

8

Menentukan nilai amplitude komponen pasut laut :

………………………………………………………………………..(I.15)

Menentukan nilai fase komponen pasut laut :

……………………………………………………………………...(I.16)

Dalam hal ini :

L : data tinggi muka laut

A : matrik koefisien

X : parameter komponen harmonik pasut laut

V : nilai koreksi

Ar : parameter A komponen pembentuk pasut

Br : parameter B komponen pembentuk pasut

𝛚 : kecepatan sudut gelombang harmonik

t : waktu pengamatan

Ai : amplitude

g : fase

I.5.1.2. Konstanta-konstanta harmonik pasut. Konstanta-konstanta harmonik

pasut yang diperoleh dari analisis harmonik pasut saat ini telah diketahui ratusan

konstanta harmonik pasut, tetapi banyak diantaranya yang mempunyai bilangan yang

sangat kecil sehingga yang ditimbulkan sangat kecil pula dan umumnya dalam analisis

pasut dapat diabaikan. Untuk keperluan rekayasa umumnya digunakan 9 unsur utama

pembangkit pasut atau komponen utama konstanta harmonik pasut, yaitu: M2, S2, N2,

K2, K1, O1, P1, M4 dan MS4. Konstanta-konstanta harmonik pasut dapat dilihat pada

Tabel I.1.

9

Tabel I.1. Konstanta harmonik pasut (Sumber: modifikasi dari Poerbandono dan

Djunarsjah 2005)

Konstanta Keterangan Periode

(jam) Kategori

K1 Deklinasi sistem Bulan dan Matahari 23,93

Diurnal O1 Deklinasi Bulan 25,82

P1 Deklinasi Matahari 24,07

S2 Gravitasi Matahari dengan orbit

lingkaran dan sejajar ekuator Bumi 12,00

Semi Diurnal

M2 Gravitasi Bulan dengan orbit

lingkaran dan sejajar ekuator Bumi 12,42

N2 Perubahan jarak Bulan ke Bumi

akibat lintasan elips 12,66

K2 Perubahan jarak Matahari ke Bumi

akibat lintasan elips 11,97

Mf Variasi setengah bulanan 327,86 Periode

Panjang Mm Variasi bulanan 661,30

Ssa Variasi semi tahunan 2191,43

2SM2 Interaksi bulan dan matahari 11,61 Periode

dangkal

MNS2

Interaksi bulan dan matahari dengna

perubahan jarak matahari akibat

lintasan berbentuk elips

13,13

MK3

Interaksi bulan dan matahari dengna

perubahan jarak bulan akibat

lintasan berbentuk elips

8,18

Periode

dangkal M4

Dua kali kecepatan sudut M2 akibat

pengaruh Bulan di perairan

Dangkal

6,21

MS4 Interaksi M2 dan S2 di perairan

dangkal 2,20

I.5.1.3. Tipe pasut. Penggolongan tipe pasang surut menggunakan 4 amplitudo

konstanta harmonik yaitu M2, S2, K1 dan O1. Tipe pasang surut didasarkan pada

perbandingan antara jumlah amplitudo konstanta-konstanta harian tunggal dengan

jumlah amplitudo konstanta-konstanta hariaan ganda. Perbandingan ini disebut nilai

Formzahl (F) seperti persamaan I.17 (Soeprapto, 2001).

F =A(K1)+A(O1)

A(M2)+A(S2)……………………………………………………………(I.17)

Dimana:

10

F : bilangan formzahl.

O1 : amplitude komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya

tarik bulan.

K1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya

tarik matahari.

M2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya

tarik bulan.

S2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya

tarik matahari.

Dari nilai F tersebut tipe-tipe pasang surut bias diklasifikasikan dengan

menggunakan aturan “Formzahl” sebagai berikut:

F < 0,25 : Tipe pasang surut harian ganda

0,25 < F ≤ 1,50 : Tipe pasang surut harian campuran condong ke harian ganda

1,50 < F ≤ 3,00 : Tipe pasang surut harian campuran condong ke harian tunggal

F > 3,00 : Tipe pasang surut harian tunggal

Tipe-tipe pasang surut dapat ditunjukkan dengan Gambar I.3.

Gambar I.3. Tipe-tipe pasang surut

(Sumber: NOAA 2008)

Tipe pasang surut harian tunggal Tipe pasang surut harian ganda

Tipe pasang surut harian campuran

Waktu (jam)

Tin

gg

i P

asu

t (m

eter

)

Waktu (jam) Waktu (jam)

Tin

gg

i P

asu

t (m

eter

)

Tin

gg

i P

asu

t (m

eter

)

11

I.5.1.4. Chart Datum dan MSL. Chart Datum atau muka surutan peta adalah

suatu bidang permukaan pada suatu daerah perairan yang didefinisikan terletak di

bawah permukaan air laut terendah yang mungkin terjadi. Chart Datum digunakan

sebagai dasar penentuan angka kedalaman pada peta batimetri (bidang nol).

Kedudukan Chart Datum diinisialkan dengan di bawah Mean Sea Level (S0) dengan

jarak sebesar faktor Z0 (jarak surutan peta). Besar faktor Z0 tersebut umumnya berbeda

antar lokasi lainya.

Gerakan periodik bulan dan matahari terhadap bumi menyebabkan adanya

bermacam-macam kedudukan permukaan air laut. Berbagai macam kedudukan air laut

tersebut dapat dilihat pada Gambar I.4.

Gambar I.4. Macam-macam kedudukan air laut (Sumber: Soeprapto 2001)

Beberapa istilah kedudukan muka air laut yang penting dikemukakan antara

lain (Soeprapto 2001).

1. Permukaan air laut rata-rata (Mean sea Level/MSL),

2. Permukaan pasang surut rerata (Mean Tidal Level/MTL),

3. Permukaan air tinggi purnama rata-rata (Mean High Water Spring/MHWS)

dan permukaan air rendah purnama rata-rata (Mean Low Water

Spring/MLWS),

4. Permukaan air tinggi perbani rata-rata (Mean High Water Neaps/MHWN)

dan permukaan air rendah perbani rata-rata (Mean low Water Neaps

/MLWN),

12

5. Permukaan air tinggi rata-rata (Highest High Water Spring/HHWS) dan

permukaan air rendah terendah rata-rata (Lower Low Water Spring/LLWS),

6. Muka surutan peta (Chart Datum/CD), dan

7. Permukaan pasang surut tertinggi astronomi (Highest Astronomic

Tide/HAT) dan permukaan pasang surut terendah astronomi (Lowest

Astronomic Tide /LAT).

Terlihat bahwa muka air rendah dapat berupa Chart Datum, Mean Low Water

Spring/MLWS, Mean Low Water Neaps /MLWN, Mean Lower Low Water/MLLW

maupun Lowest Astronomic Tide/LAT menunjukkan bahwa tergantung pada tipe pasut

di perairan yang bersangkutan, seperti diurnal atau semidiurnal, maka kedudukan dan

jarak relatif antara muka-muka air rendah ini juga akan bervariasi.

Berdasarkan hasil nilai amplitudo komponen harmonik telah ditetapkan muka

surutan peta yang berada pada jarak Z0 terhadap MSL. Terdapat beberapa model

penentuan Chart Datum, secara umum nilai muka surutan peta ditentukan dengan

persamaan I.18 (Soeprapto 2001):

CD = S0 - Z0 ............................................................................................. (I.18)

Perbedaan jarak surutan peta terletak pada penentuan besarnya Z0, untuk masing-

masing model adalah: (Soeprapto 2001)

1. Untuk Negara Prancis:

Z0= 1,2 (M2 + S2 + K2) .......................................................................... (I.19)

2. Air rendah pada peta Admiralty Inggris:

Z0= 1,1 (M2 + S2) .................................................................................. (I.20)

3. Air rendah pada peta Amerika Serikat:

Z0= M2 .................................................................................................. (I.21)

4. Menurut definisi Hidrografi Internasional (IHO):

Z0 = ∑ 𝐴𝑖𝑁𝑖=1 ........................................................................................ (I.22)

5. Untuk Indian Spring Low water:

Z0= (K1 + O1 + M2 + S2) ........................................................................ (I.23)

6. Menurut Dinas Hidro-oseanografi TNI-AL:

Z0 = AR kombinasi konstanta harmonik utama

(M2,S2, K2,N2, K1, O1, P1, M4 dan MS4) .................................. (I.24)

13

Banyaknya model untuk menentukan muka surutan peta antara lain karena

pada tiap-tiap daerah mempunyai tipe dan karakteristik pasut yang berbeda. Pemilihan

model pada umumnya adalah tergantung pada sifat pasut di daerah yang bersangkutan

dan pada kepentingan yang terkait.

I.5.1.5. Pengukuran pasang surut. Pengukuran pasang surut dapat dilakukan

dengan menggunakan berbagai macam alat yaitu dengan menggunakan palem pasang

surut, float gauge, gelombang akustik, tekanan hidrostatik, dan radar. Pada kegiatan

ini, alat yang digunakan untuk mengukur pasang surut pada Stasiun Pasang Surut

pantai Sumalata adalah Pengukuran dengan menggunakan palem pasut. Palem

diletakkan di dinding-dinding dermaga atau dinding stasiun pengamat pasut. Hasil

pengamatan pasut dilakukan untuk interval tertentu misalkan per-jam. Pencatatan hasil

pengamatan dilakukan secara manual oleh si pengamat di atas kertas. Meskipun

teknologi ini terbilang kuno, sampai saat ini penggunaan palem pasut masih terus

dilakukan dengan alasan data control dan reality check di lapangan.

I.5.2. Standardisasi Survei Hidrografi

Untuk menjaga kualitas dari seluruh data hasil kegiatan pemeruman tetap baik,

perlu ditetapkan standar resmi, baik standar resmi berskala nasional maupun skala

internasional. Untuk skala internasional, sudah ditetapkan standar resmi untuk

kegiatan survei hidrografi oleh International Hidrographic Organization, yakni IHO

Special Publication 44 (IHO SP’ 44). Sementara untuk skala nasional, Badan

Standardisasi Nasional telah menetapkan SNI 7646:2010 tentang Survei hidrografi

dengan menggunakan singlebeam echosounder. Untuk kegiatan aplikatif ini, standar

yang diacu yakni SNI 7646:2010.

I.5.2.1. SNI 7646:2010. SNI 7646:2010 merupakan standar yang ditetapkan

Badan Standardisasi Nasional Republik Indonesia yang berisikan pedoman maupun

acuan dalam kegiatan survei hidrografi dengan menggunakan singlebeam

echosounder. SNI 7646:2010 mengacu pada IHO Special Publication 44. Dalam SNI

ini hanya dibahas mengenai SNI survei hidrografi dengan menggunakan peralatan

singlebeam echosounder. Pemilihan metode singlebeam echosounder karena metode

ini paling banyak digunakan di Indonesia pada saat ini. SNI 7646-2010 menetapkan

14

ketentuan dan prosedur survei hidrografi menggunakan singlebeam echosounder yang

meliputi ketentuan-ketentuan, prosedur pelaksanaan survei hidrografi, pengolahan

data, penyimpanan dan penyajian data, dan pelaporan hasil survey hidrografi.

I.5.2.2. Orde ketelitian SNI 7646:2010. Menurut SNI 7646:2010, derajat

ketelitian dalam pelaksanaan kegiatan survei hidrografi diklasifikasikan menjadi

empat orde, yakni:

a. Orde khusus

Orde khusus survei hidrografi mendekati standar ketelitian survei rekayasa dan

digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis dimana kedalaman di bawah

laut sangat minim dan di dalam hal ini karakteristik dasar airnya berpotensi

membahayakan kapal. Daerah-daerah kritis tersebut ditentukan secara langsung

oleh instansi yang bertanggung jawab di dalam masalah kualitas survei. Sebagai

contoh ialah pelabuhan-pelabuhan tempat sandar dan alur masuknya. Semua

sumber kesalahan harus dibuat minimal.

Orde khusus memerlukan penggunaan yang berkaitan dengan side scan sonar,

multi transducer arrays atau multibeam echosounder dengan resolusi tinggi

dengan jarak antar lajur perum yang rapat untuk mendapatkan gambaran dasar

air 100%. Harus pula diyakinkan bahwa setiap benda dengan ukuran lebih besar

dari 1 meter persegi dapat terlihat oleh peralatan perum yang digunakan.

Penggunaan side scan sonar dan multibeam echosounder mungkin diperlukan

di daerah-daerah di dalam hal ini benda-benda kecil dan rintangan bahaya

mungkin ditemukan atau survei untuk keperluan investigasi.

b. Orde satu

Orde satu survei hidrografi diperuntukkan bagi pelabuhan-pelabuhan, alur

pendekat, haluan yang dianjurkan, alur navigasi dan daerah pantai dengan lalu

lintas komersial yang padat di dalam hal ini kedalaman di bawah laut memiliki

luas cukup memadai dan kondisi geofisik dasar lautnya tidak begitu

membahayakan kapal (misalnya lumpur atau pasir). Survei orde satu berlaku batas

di daerah dengan kedalaman kurang dari 100 meter. Meskipun persyaratan

pemeriksaan dasar laut tidak begitu ketat jika dibandingkan orde khusus,

namun pemeriksaan dasar laut secara menyeluruh tetap diperlukan di daerah-

15

daerah di dalam hal ini karakteristik dasar laut dan resiko adanya rintangan

berpotensi membahayakan kapal. Pada daerah-daerah yang diteliti tersebut, harus

diyakinkan bahwa untuk kedalaman sampai dengan 40 meter benda-benda

dengan ukuran lebih besar dari 2 meter persegi, atau pada kedalaman lebih dari

40 meter, benda-benda dengan ukuran 10% dari kedalaman harus dapat

digambarkan oleh peralatan perum yang digunakan.

c. Orde dua

Orde dua survei hidrografi diperuntukkan di daerah dengan kedalaman kurang

dari 200 meter yang tidak termasuk di dalam orde khusus maupun orde satu, dan

di dalam hal ini gambaran batimetri secara umum sudah mencukupi untuk

meyakinkan bahwa tidak terdapat rintangan di dasar laut yang akan

membahayakan tipe kapal yang lewat atau bekerja di daerah tersebut. Hal ini

merupakan kriteria yang penggunaannya di bidang kelautan, sangat beraneka

ragam, di dalam hal ini orde hidrografi yang lebih tinggi tidak dapat

diberlakukan. Pemeriksaan dasar laut mungkin diperlukan pada daerah-daerah di

dalam hal ini karakteristik dasar air dan resiko adanya rintangan berpotensi

membahayakan kapal.

d. Orde tiga

Orde tiga survei hidrografi diperuntukkan untuk semua area yang tidak tercakup

oleh orde khusus, orde satu dan dua pada kedalaman lebih besar dari 200 meter.

I.5.3. Survei Batimetri

Survei batimetri sering disebut dengan istilah pemeruman yaitu proses dan

aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran bentuk permukaan dasar

perairan (seabed surface). Bentuk permukaan yang dimaksud hanya sebatas pada

konfigurasinya saja, tidak sampai pada kandungan materialnya ataupun biota yang

tumbuh di atasnya (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Dalam survei batimetri salah

satu ketentuan teknis yang berlaku internasional adalah ketentuan IHO (International

Hydrographic Organization). Peta batimetri harus memiliki sebuah datum vertikal,

Datum vertikal adalah referensi sebagai dasar pengukuran ketinggian atau kedalaman.

Peta batimetri umumnya menggunakan suatu bidang air rendah (Chart Datum) sebagai

16

bidang referensi tinggi, sehingga semua kedalaman yang diperhatikan pada peta laut

mengacu pada pasut rendah (low tide).

I.5.3.1. Kegiatan survei batimetri. Dalam survei batimetri pengukuran

kedalaman titik pemeruman (h) dilakukan secara simultan dengan pengukuran posisi

horizontal titik-titik pemeruman (X,Y). Pengukuran kedalaman dilakukan dengan alat

ukur kedalaman yang menggunakan gelombang akustik yaitu alat echosounder.

Metode akuisisi data yang diperoleh dari pengukuran dengan alat echosounder adalah

selang waktu gelombang mulai dipancarkan dan gelombang kembali diterima oleh

alat, sehingga diperoleh data kedalaman yang dicatat alat perekam merupakan fungsi

selang waktu. Sebagaimana diuraikan dalam persamaan I.25 untuk menentukan

kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran dapat diketahui dengan persamaan

I.25 (Poerbandono dan Djunarsjah 2005).

𝑑 =1

2∫ 𝑣

𝑡1

𝑡2(𝑡). 𝑑𝑡 .................................................................................... (I.25)

Keterangan:

d : kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran,

v(t) : cepat rambat gelombang suara di air,

t1 dan t2 : waktu pada saat gelombang suara dipancarkan dan saat penerimaan

gelombang pantulnya.

Penentuan posisi titik pemeruman dalam survei batimetri merupakan peran

yang sangat penting. Beberapa metode dalam penentuan posisi horizontal (X,Y) titik-

titik pemeruman dengan gelombang elektromagnetik (satellite receiver) yang

dipasang pada kapal survei. Metode yang digunakan dapat berupa metode GPS absolut

maupun metode differential GPS (Poerbandono 2005). Pada pekerjaan ini penentuan

posisi horizontal menggunakan sistem satelit yang disebut dengan DGPS (Differential

Global Positioning System).

Faktor lain yang mempengaruhi pengukuran batimetri adalah dinamika media

air laut berupa pasang surut laut. Pada pengukuran kedalaman dasar laut perlu

dilakukan tiga pengukuran sekaligus pada waktu yang bersamaan yaitu pengukuran

kedalaman, pengukuran posisi alat ukur kedalaman (posisi horizontal) dan pengukuran

pasang surut. Dari ketiga data tersebut akan menjadi informasi kedalaman pada posisi

fix terhadap suatu bidang referensi.

17

I.5.3.2. Penentuan kedalaman titik pemeruman. Penentuan kedalaman titik

pemeruman merupakan suatu proses pengukuran untuk memperoleh nilai suatu

kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan gambaran bentuk topografi dasar

perairan (Poerbandono dan Djunarsjah 2005). Teknologi yang sering digunakan dalam

kegiatan pemeruman adalah Hydro-acoustic, yakni teknologi yang digunakan untuk

mendeteksi bawah perairan menggunakan gelombang akustik. Alat survei batimetri

yang menggunakan teknologi akustik adalah echosounder.

Perangkat echosounder terdiri dari alat perekam data, tranducer (pemancar),

hidrofon (penerima), dan catu daya. Cara kerja dari perangkat ini untuk memperoleh

nilai kedalaman yaitu tranducer memancarkan gelombang akustik secara vertikal

menuju dasar perairan dengan frekuensi tertentu, kemudian gelombang akustik

tersebut dipantulkan kembali oleh dasar perairan dan diterima oleh hidrofon. Data

yang dihasilkan dari proses tersebut adalah selang waktu dari gelombang dipancarkan

hingga gelombang diterima kembali. Nilai kecepatan rambat gelombang di air adalah

1500 m/detik, maka nilai kedalaman perairan dapat di tentukan berdasarkan persamaan

(I.26) berikut ini (Poerbandono dan Djunarsjah 2005):

𝑑 = 1

2(𝑣. Δt) …………………………………………………………… (I.26)

Keterangan:

d : kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran,

v : cepat rambat gelombang akustik di medium air (meter/detik),

Δt : selang waktu antara saat gelombang akustik dipancarkan dan saat

gelombang kembali diterima (detik).

18

Gambar I.5. Ilustrasi pengukuran kedalaman dengan echosounder

(Sumber: Parikesit 2008)

I.5.3.3. Penentuan posisi horizontal titik-titik pemeruman. Penentuan posisi

horizontal titik-titik pemeruman merupakan hal yang sangat penting, khususnya survei

batimetri. Pada intinya penentuan posisi horizontal yang digunakan pada pekerjaan

survei batimetri dan survei topografi adalah sama. Perbedaannya terletak pada objek

yang diamati. Jika pada survei topografi objek yang diamati dalam kondisi tidak

bergerak, pada survei batimetri objek yang diamati tidak dapat diam, sehingga objek

selalu dalam keadaan bergerak.

Dalam menentukan posisi horizontal terdapat beberapa metode, salah satunya

metode penentuan posisi horizontal menggunakan gelombang elektromagnetik, yaitu

dengan menggunakan receiver gelombang elektromagnetik yang dipancar oleh Satelit

GNSS, yang kemudian disebut receiver GPS, yang dipasangkan pada kapal. Terdapat

dua metode penentuan posisi horizontal menggunakan sinyal satelit GNSS, yakni

metode absolut dan metode differential.

Metode absolut merupakan metode yang sering digunakan dalam keperluan

praktis (Gambar I.6). Metode ini hanya memerlukan satu buah receiver GNSS.

Penentuan posisi secara absolut menggunakan data pseudorange yang berisi 4

parameter yang harus ditentukan yaitu parameter koordinat (X,Y,Z) dan parameter

kesalahan jam receiver GPS. Berdasarkan alasan tersebut, maka diperlukan minimal 4

buah satelit yang harus ditangkap oleh receiver (Abidin 2000).

19

Gambar I.6. Ilustrasi penentuan posisi horizontal metode RTK

I.5.3.4. Pengolahan data batimetri. Hasil dari pengukuran batimetri adalah data

kedalaman (h) dan data posisi fix horizontal (X,Y). Untuk mendapatkan data

kedalaman yang terkoreksi maka perlu mempertimbangkan koreksi tinggi muka air

saat dilakukan pemeruman, koreksi draft transducer dan koreksi barcheck. (Septiyadi

2013). Kedalaman terkoreksi dapat dilihat pada Gambar I.7 dan untuk perhitungan

tinggi terkoreksi dengan persamaan I.27.

Hterkoreksi = H𝑒𝑐ℎ𝑜𝑠𝑜𝑢𝑛𝑑𝑒𝑟 + 𝑑𝑟𝑎𝑓𝑡 𝑡𝑟𝑎𝑛𝑠𝑑𝑢𝑐𝑒𝑟 + koreksi barcheck......... (I.27)

Gambar I.7. Penentuan kedalaman yang tereduksi terhadap bidang acuan

(Sumber: Pramanda, 2013)

20

Pada Gambar I.7. dapat terlihat cara untuk memperoleh angka kedalaman yang

terkoreksi ke bidang acuan tinggi (Chart Datum). Untuk membedakan dengan angka

ketinggian maka angka kedalaman harus bernilai negatif. Penentuan nilai kedalaman

titik-titik pemeruman dapat diketahui dengan persamaan I.28.

Hreduksi = (S0 − 𝐶𝐷) − Hterkoreksi ........................................................ (I.28)

Untuk menunjukkan nilai kedalaman maka Hreduksi bernilai negatif. Hreduksi

digunakan untuk keperluan pembuatan garis kontur kedalaman, sedangkan untuk

pembuatan DTM (Digital Terrain Model) digunakan nilai Z (angka ketinggian). Nilai

Z ini diperoleh dengan persamaan I.29.

Z = 𝐶𝐷 − Hreduksi ................................................................................... (I.29)

I.5.3.5. Uji kualitas hasil data pemeruman. Hasil survei batimetri adalah nilai

kedalaman yang terukur, nilai kedalaman tersebut perlu dilakukan uji kualitas. Acuan

yang digunakan untuk menentukan batas toleransi kesalahan nilai beda kedalaman

yaitu IHO SP-44 tahun 2008 dengan tingkat kepercayaan 95%. Adapun persamaan

I.30 yang digunakan untuk menghitung batas toleransi kesalahan nilai beda kedalaman

sebagai berikut:

±√𝑎2 + (𝑏 𝑥 𝑑)2 ..................................................................................... (I.30)

dimana:

a : kesalahan independent,

b : faktor kesalahan kedalaman yang dependent,

d : kedalaman rata-rata,

(bxd) : kesalahan kedalaman yang dependent (jumlah semua kesalahan kedalaman

yang dependent).

Dalam hal ini, nilai a dan b disesuaikan dengan orde survei berdasarkan tabel standar

IHO untuk survei hidografi, tabel tersebut dapat dilihat pada Lampiran A.

Pada uji kualitas terlebih dahulu disumsikan bahwa kedalaman lajur utama (Hlu)

nilainya sama dengan kedalaman lajur silang (Hls) yang berada pada posisi koordinat

horizontal yang sama. Kemudian dilakukan perhitungan standar deviasi dari data tersebut,

proses perhitungan disajikan pada persamaan I.31 sampai persamaan I.34 (Mikhail, dkk.

1981).

Hlu - Hls = H .......................................................................................... (I.31)

21

𝜇𝑈 − 𝜇𝑆 = 𝛿 ............................................................................................ (I.32)

Mean error:

�̅� =1

2∑(𝐻𝑙𝑢 − 𝐻𝑙𝑠) ............................................................................... (I.33)

Standard deviation:

𝜎 = ±√∑ (𝐻𝑖−𝐻)2𝑠

𝑖=1

𝑛−1 ................................................................................... (I.34)

Keterangan:

Hlu : kedalaman lajur utama

Hls : kedalaman lajur silang

�̅� : nilai true value (beda kedalaman yang sebenarnya=0)

Hi : beda nilai kedalaman lajur utama dan lajur silang

𝜎 : standar deviasi

𝛿 : selisih kedalaman

Uji kualitas dilanjutkan dengan menghitung nilai kesalahan data beda kedalaman

dengan tingkat kepercayaan 95% yang mengacu pada IHO SP-44 tahun 2008 yaitu

sebesar 1,96 x σ (simpangan baku). Jika nilai kesalahan data beda kedalaman masih dalam

batas toleransi kedalaman, maka kualitas sampel data kedalaman masuk dalam toleransi

yang merujuk pada IHO SP-44 tahun 2008. Sedangkan jika nilai kesalahan data beda

kedalaman diluar batas toleransi kedalaman, maka kualitas sampel data kedalaman tidak

masuk dalam toleransi.

I.5.3.6. Peta batimetri. Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk

konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka kedalaman dan garis-garis

kedalaman yang diukur terhadap datum vertikal (Chart Datum). Peta batimetri

diperlukan untuk mengetahui keadaan kedalaman laut sekitar lokasi suatu perairan

(Triatmodjo 1999).

Data informasi yang diberikan oleh peta batimetri:

1. Bentuk garis pantai (kontur),

2. Kedalamam peta,

3. Muka surutan,

4. Informasi peta (No.peta, judul peta, skala peta, koreksi peta, legenda, proyeksi peta

dan satuan kedalaman laut serta informasi kelengkapan peta lainya),

22

5. Skala peta perbandingan satu satuan panjang di peta terhadap panjang sebenarnya.

IHO telah menetapkan tujuh aspek kartografi peta laut, yaitu; datum vertikal,

datum horizontal, sistem proyeksi, sistem satuan, ketelitian (skala), dan simbol serta

warna. Aspek tersebut dapat dilihat pada Tabel I.2.

Tabel I.2. Aspek kartografi peta laut (Poerbandono dan Djunarsjah 2005)

Aspek Ketentuan

Datum Vertikal Lokal dengan Chart Datum, disebutkan kedudukan muka

surutannya terhadap duduk tengah

Datum Horizontal Titik kontrol horisontal pada elipsoida referensi WGS ’84 dalam

sistem gratikul (jaring garis proyeksi lintang dan bujur)

Sistem proyeksi Mercator untuk 75°LU-75°LS

Polar Stereografis untuk 75°-90°LU dan 75°-90°LS

Sistem Satuan Metrik, dalam meter atau mil laut

Ketelitian ≥ 1:10.000 untuk bandar, pelabuhan, alur pelayaran dan perairan

wajib pandu

≥ 1:20.000 untuk alur pendekatan pelabuhan dan perairan lain yang

digunakan teratur untuk pelayaran

≥ 1:50.000 untuk daerah pantai sampai kedalaman rata-rata

sekurang-kurangnya 30 m

1:10.000-1:100.000 untuk daerah dengan kedalaman antara 30 m

sampai 200 m

Simbol dan Warna Peta konvensional: mengikuti Peta Laut no.1

Peta digital: mengikuti SP-52 IHO tentang Aspek Kartografi

ECDIS dan SP-57 IHO tentang Standar Pertukaran Data Digital

I.5.4. Global Positioning System (GPS)

Metode GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan

penentuan posisi secara global yang dimiliki dan dikelola oleh Departemen Amerika

Serikat. Sistem GPS, yang nama aslinya adalah NAVSTAR GPS (Navigation Satellite

Timing and Ranging Global Positioning System), mempunyai tiga segmen yaitu:

satelit, pengontrol, dan penerima/pengguna. Hasil penentuan posisi dengan GPS

adalah posisi atau koordinat yang bereferensi kedatum global yaitu World Geodetic

System 1984 atau disingkat WGS'84. Kaitannya dengan aktivitas pemetaan baik di

darat maupun di laut, metode pengukuran KKH dengan survei GPS ada beberapa

macam yaitu : Metode statik, Metode stop and go, Metode pseudo-kinematik Metode

Real Time Kinematic (RTK). Pada kegiatan aplikatif ini, survei batimetri dilakukan

dengan memanfaatkan GPS menggunakan metode RTK Radio (Gambar I.8).

23

Gambar I.8. Konsep pengukuran RTK GNSS

(Sumber: Atunggal 2010)

RTK (Real Time Kinematic) merupakan metode berbasiskan pada carier phase

dalam penentuan posisi secara relatif dengan tingkat ketelitian mencapai satuan

centimeter secara real time. Prinsip penentuan posisi secara RTK dengan cara

menggunakan satu stasiun penerima sinyal (referensi/base station) dan beberapa rover

(receiver) yang dapat bergerak. Stasiun referensi penerima sinyal carrier phase dan

unit rover yang bergerak membandingkan pengukuran fase itu sendiri dengan

membandingkan pengukuran fase yang diterima dari stasiun referensi (base stasion)

sehingga nantinya didapat data koreksi yang dibutuhkan untuk pengukurannya secara

Real Time (Wibowo 2013). Ada 3 komponen penting dalam pengukuran

menggunakan metode RTK yaitu (Abidin 2000):

1. Stasiun Referensi

Stasiun referensi atau base station ini terdiri dari receiver dan antena. Base station

ini berfungsi untuk mengolah data differensial dan melakukan koreksi carrier

phase yang dikirimkan via radio modem base station ke radio modem rover.

2. Stasiun Rover

Fungsi rover adalah untuk mengidentifikasi satelit-satelit pada daerah pengamatan

dan menerima data differensial dan koreksi carrier phase dari base station. Cara

kerja rover dalam melakukan pengukuran secara RTK dengan cara menggerakkan

rover dari suatu titik ke titik lainnya yang ingin diketahui posisinya. Koreksi

24

carrier phase tersebut dikirim via radio link dengan radio modem antara base

station dan rover sehingga bisa mendapatkan posisi yang lebih teliti.

3. Data Link (Hubungan data) Differensial

Data link ini berfungsi mengirimkan data differensial dan koreksi carrier phase

dari base station ke rover melalui radio modem. Kecepatan radio modem dan band

frekuensi pada base station dan rover harus sama sehingga proses pengiriman data

bisa lancar. Jenis-jenis band frekuensi yang dimanfaatkan dalam survey GPS-RTK

meliputi:

a. UHF (Ultra Height Frequency)

Bekerja pada frekuensi antara 300 Mhz sampai 3 Ghz dengan panjang

gelombang antara 10 cm sampai dengan 1m.

b. VHF (Very Height Frequency)

Bekerja pada frekuensi antara 30 Mhz sampai 300 Mhz dengan panjang

gelombang antara 1 m sampai dengan 10 m.

c. HF (Height Frequency)

Bekerja pada frekuensi antara 3 Mhz sampai 30 Mhz dengan panjang

gelombang antara 10 m sampai dengan 100 m.

I.5.5. Prinsip Dasar Penggabungan Peta Topografi dan Peta Batimetri

Pada kegiatan aplikatif ini mengenai perencanaan pembangunan pelabuhan di

pantai Sumalata akan menggabungan peta topografi dan peta batimetri. Dasar-dasar

penggabungan peta batimetri dan peta topografi harus diperhatikan untuk

menghasilkan sebuah peta yang baik ilustrasi penggabungan peta topografi dan peta

batimetri dapat dilihat pada Gambar I.9.

25

Gambar I.9. Ilustrasi penggabungan peta topografi dan peta batimetri.

Untuk peta topografi tinggi 0 pada peta mengacu terhadap MSL dan Chart

Datum adalah sebagai tinggi 0 peta batimetri. Untuk keperluan kegiatan aplikatif ini

maka perlu dilakukan penyatuan referensi tinggi guna penggabungan peta batimetri

dan peta topografi. Perbedaan tinggi antar Mean Sea Level dan Chart Datum

ditunjukkan dengan nilai surutan peta (Zo).

I.5.6. SNI 19-6726-2002

SNI 19-6726-2002 tentang peta dasar lingkungan pantai Indonesia skala

1:50000. Standar Nasional Indonesia ini merupakan usaha realisasi program jangka

panjang dalam pembuatan peta dasar LPI seluruh wilayah pantai Indonesia skala

1:50000 sebanyak lebih kurang 1200 Nomor Lembar Peta. Pedoman ini merupakan

salah satu realisasi penediaan standar nasional untuk pmbuatan peta dasar LPI (SNI

19-6726 2002).

Unsur kartografi yang digunakan dalam kegiatan aplikatif ini mengacu pada

SNI 19-6726-2002 meliputi informasi tepi peta, interval kontur kedalaman, interval

kontur ketinggian, warna kontur, titik tinggi, dan titik kedalaman.

26