BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertambahan penduduk merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari seiring
dengan berkembangnya zaman. Hal ini membawa dampak yang besar pula terhadap
kegiatan sosial dan ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat. Selain dampak tersebut,
kebutuhan lahan di area perkotaan dan pedesaan juga menjadi salah satu hal yang
tidak dapat terhindar dari peningkatan intensitas. Di sisi lain, gelar yang melekat pada
sebuah kota tertentu pastinya akan membawa dampak terhadap keberagaman fungsi
kota seperti pemerintahan, perdagangan, jasa, dan industri. Apa yang terjadi pada Kota
Yogyakarta menjadi salah satu contoh dari dampak tersebut. Kota Yogyakarta sendiri
memiliki predikat yang beragam, mulai dari pusat kebudayaan, pusat pemerintahan,
daerah pariwisata, dan kota pelajar. Konsekuensi dari hal tersebut adalah berupa
datangnya penduduk dari luar kotayang bukan hanya untuk berkunjung namun bahkan
hingga menetap. Hal tersebut secara otomatis memunculkan sebuah persaingan ketat
diantara penggunaan tanah yang tidak terhindarkan.
Dari beberapa hal diatas yang saling terkait satu sama lain, muncullah sebuah
fenomena peralihan fungsi lahan. Peralihan fungsi lahan tersebut merupakan peralihan
lahan pertanian menjadi lahan yang dijadikan untuk kepentingan non pertanian. Dalam
hal ini diantaranya adalah pertokoan, bengkel, pabrik, dan rumah tinggal. Sutaryono
(2003) menjelaskan bahwa perkembangan peradaban dan tuntutan kebutuhan manusia
yang semakin meningkat menjadi bagian dalam mempercepat terjadinya proses
pengembangan wilayah. Dampak tersebut tidak hanya membawa pengaruh pada kota
tersebut namun juga membawa pengaruh terhadap daerah-daerah disekitarnya. Dalam
hal ini meliputi Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan
Kabupaten Kulon Progo. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Rahmawati
(2014) bahwa perkembangan kota akan menimbulkan kecenderungan pergeseran
fungsi-fungsi kota ke daerah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut dengan proses
perembetan penampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl). Berdasarkan data
dari Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta, tingkat alih fungsi lahan di seluruh
2
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai angka rata-rata 0,37 persen. Angka
ini didasari oleh kebutuhan ekonomi masyarakat. Sedangkan luas lahan pertanian yang
ada di Kabupaten Kulon Progo sendiri pada akhir tahun 2013 berada di angka 10.180
hektar. Sumber yang sama juga menyatakan bahwa pembangunan fisik di Kabupaten
Kulon Progo mengalami perkembangan yang cukup pesat di berbagai bidang. Bidang-
bidang tersebut antara lain transportasi berupa pembangunan jalan, pendidikan berupa
pembangunan sarana pendidikan, pelayanan masyarakat berupa pembangunan sarana
kesehatan, perdagangan, perumahan, dan peningkatan fasilitas kota. Hal tersebut
secara jelas merupakan bukti alih fungsi lahan untuk berbagai kepentingan
pembangunan.
Produksi beras yang bergantung pada lahan pertanian menjadi berubah karena
intensitas alih fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian meningkat. Hal ini
memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan penduduk yang sangat mempengaruhi
kebutuhan pangan dari suatu daerah. Kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi
setiap orang pada suatu wilayah yang tercermin pada surplus persediaan beras
dibandingkan kebutuhan beras pada wilayah tersebut dikenal dengan istilah ketahanan
pangan sesuai dengan yang disampaikan Sastraatmadja (2006).
Melihat keadaan ini, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa ketahanan
pangan akan berubah dan terancam dikarenakan oleh meningkatnya intensitas alih
fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Secara bersamaan, ketahanan pangan juga
dipengaruhi oleh kebutuhan pangan yang berdasar kepada pertumbuhan penduduk.
Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Alih Fungsi
Lahan Pertanian menjadi Non Pertanian terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten
Kulon Progo” yang mengkaji alih fungsi lahan dalam kurun waktu lima tahun terakhir,
yaitu tahun 2008 hingga tahun 2013.
1.2. Rumusan Masalah
Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian akan menimbulkan
permasalahan terhadap ketahanan pangan. Hal tersebut disebabkan karena ketahanan
pangan suatu daerah akan dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan produksi beras
yang tersedia. Masalah yang kini muncul, hingga saat ini belum diketahui secara jelas
dan pasti mengenai besarnya dan persebaran klasifikasi daerah berdasarkan
3
ketahanan pangan. Penyebabnya adalah kurangnya informasi yang seharusnya
tersedia. Padahal, informasi ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan analisis
pembangunan fisik, perkembangan wilayah dan masyarakat maupun sebagai bahan
acuan Rencana Tata Ruang Wilayah yang perlu diperhatikan.
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Berapakah laju kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di
seluruh Kecamatan di Kabupaten Kulon Progo dalam kurun waktu lima tahun
yaitu 2008 sampai dengan 2013 berdasarkan hasil analisis spasial peta
penggunaan lahan pada daerah tersebut?
2. Berpengaruh atau tidakkah kepadatan penduduk agraris dan produktivitas lahan
sawah terhadap alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di seluruh
desa di Kabupaten Kulon Progo?
3. Bagaimanakah kondisi ketahanan pangan seluruh desa di Kabupaten Kulon
Progo?
1.3. Tujuan
Suatu penelitian ilmiah harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Hal
tersebut merupakan pedoman dalam mengadakan penelitian. Sehingga hasil penelitian
dapat menunjukkan kualitas dari penelitian yang akan dilakukan. Adapun tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perhitungan laju kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di
seluruh Kecamatan di Kabupaten Kulon Progo.
2. Ada atau tidaknya kepadatan penduduk agraris dan produktivitas lahan sawah
terhadap alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di seluruh desa di
Kabupaten Kulon Progo.
3. Kondisi ketahanan pangan di seluruh desa di Kabupaten Kulon Progo.
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi
kepentingan akademis maupun bagi kepentingan praktisi yaitu instansi pemerintah
terkait selaku pembuat kebijakan yaitu :
1. Kegunaan secara teori, hasil dari penelitian ini diharapkan bisa menjadi
4
informasi dalam melakukan kajian masalah pesatnya laju alih fungsi lahan
pertanian menjadi non pertanian yang berimbas pada menurunnya ketahanan
pangan.
2. Kegunaan secara praktis, hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat
digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan pengambilan keputusan
dalam pengendalian laju alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian.
1.5. Batasan Masalah
Pembatasan masalah dilakukan dengan tujuan agar permasalahan dapat
terjawab. Penelitian diharapkan dapat terfokus dan tidak keluar dari konteks. Adapun
batasan masalah pada penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Data yang digunakan adalah peta penggunaan lahan kabupaten Kulon Progo
2008 dan 2013 dari Kantor Badan Perencanaan dan pembangunan Daerah
(Bappeda) Kabupaten Kulon Progo. Data statistik hasil produksi padi, data
jumlah penduduk diperoleh dari Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon
Progo.
2. Wilayah kabupaten Kulon Progo yang akan diteliti adalah tingkat desa pada
seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Kulon Progo.
3. Metode yang digunakan adalah metode analisis statistik menggunakan analisis
regresi linier berganda dan analisis keruangan/spasial.
4. Ketahanan pangan yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi hanya berupa
produksi beras, dalam bentuk jumlah ketersediaan dan kebutuhan konsumsi
dalam hitungan ton per tahun.
1.6. Tinjauan Pustaka
Mahmud (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh perubahan
penggunaan lahan pertanian ke non pertanian terhadap ketahanan masyarakat di
Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Penelitian yang dilakukan
menggunakan metode eksperensial dengan menggunakan analisis kualitatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar pengaruh luas perubahan
penggunaan lahan pertanian ke non pertanian terhadap produksi beras di Kecamatan
Banguntapan Kabupaten Bantul dan untuk mengetahui kebijakan instansi yang
berwenang terhadap peran perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian
5
di Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul. Hasil dari penelitian menunjukkan
besarnya pengaruh perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian
terhadap ketahanan pangan di Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul tahun
2005 sampai dengan tahun 2009 adalah rawan sesuai dengan hasil kalkulasi kondisi
tingkat ketahanan pangan di Kecamatan Banguntapan. Tujuan penelitian yang kedua
didapatkan hasil bahwa kebijakan instansi yang berwenang dalam pemberian ijin
lebih selektif dengan pemberian izin perubahan penggunaan lahan rencana
pembangunan perumahan dan pemukiman dialokasikan pada lahan nonpertanian.
Soedirman (2012) melakukan kajian mengenai kebijakan penyelamatan lahan
pertanian dan ketahanan pangan rumah tangga petani di daerah pinggiran Kota
Yogyakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan bantuan citra satelit resolusi
tinggi dengan menggunakan metode deskriptif analitis dengan analisis spasial dan
eksplanasi. Pada proses kajian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika alih fungsi
lahan pertanian yang terjadi di pinggiran Kota Yogyakarta antara tahun 1998 dan
2010, dan dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap kehilangan pangan, lapangan
kerja, dan nilai ekonomi lahan di pinggiran Kota Yogyakarta. Hasil yang
mengejutkan menunjukkan bahwa pertumbuhan luas konversi lahan pertanian secara
permanen menjadi bangunan dari tahun 1998-2010 per zona di pinggiran Kota
Yogyakarta yang terletak di Kabupaten Bantul secara umum lebih tinggi daripada
yang terletak di Kabupaten Sleman. Selain itu, hasil yang lain menunjukkan bahwa
telah terjadi produksi yang terhenti seperti produksi pangan dari lahan pertanian
sawah (beras), tegalan (palawija), dan pekarangan (buah-buahan). Hal ini disebabkan
hilangnya lahan pertanian tersebut secara permanen karena telah dikonversi menjadi
bangunan. Kehilangan produksi pangan ini dihitung untuk seluruh lahan pertanian
pinggiran Kota Yogyakarta yang meliputi 6 kecamatan atau 29 desa atau 47 bagian
sub-cluster atau sub-zona yang terletak di bagian Wilayah Kabupaten Sleman dan
wilayah KabupatenBantul.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh dengan penelitian yang terdahulu
yaitu selain adanya perbedaan lokasi penelitian, pada penelitian ini digunakan
analisis stastistik dan analisis keruangan. Dalam penelitian ini pula, dilakukan
prediksi kondisi ketahanan pangan di seluruh desa se-Kabupaten Kulon Progo.
6
1.7. Landasan Teori
1.7.1. Lahan Pertanian
Lahan adalah bagian dari permukaan bumi yang dapat mendatangkan
manfaat bagi kehidupan manusia berupa pemenuhan kebutuhan manusia
(Ritohardoyo, 2013). Selain itu, lahan merupakan sumber daya alam yang mendukung
dan memberikan kontribusi bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan
seperti sektor perikanan atau pertambakan, pertanian, kehutanan, perumahan, industri,
pertambangan, dan transportasi juga memerlukan lahan.
Lahan pertanian merujuk pada makna luasan bidang lahan yang
dipergunakan untuk kegiatan pertanian. Sumber daya lahan pertanian memiliki banyak
manfaat bagi manusia. Menurut Sumaryanto (1994) menyebutkan bahwa manfaat
lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu use values dan non use value.
Pertama, use values atau nilai penggunaan dapat juga disebut sebagai personal use
values. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usaha tani yang
dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use values dapat pula disebut
sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan. Berbagai manfaat datang dengan
sendirinya walaupun bukan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan
pertanian termasuk dalam kategori ini.
1.7.2. Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan merupakan beralihnya bentuk penggunaan lahan yang satu
menjadi bentuk penggunaan yang lain. Penggunaan yang pada awalnya berupa sawah,
kemudian setelah selang beberapa waktu sawah tersebut berubah menjadi lokasi
permukiman, jasa, atau lain sebagainya. Perubahan penggunaan lahan dapat menjadi
bervariasi, hal ini dikarenakan adanya kegiatan dan usaha dalam hidup manusia juga
bermacam-macam sesuai dengan tujuan untuk kegiatan pemenuhan kebutuhan
hidupnya.
Alih fungsi lahan yang paling banyak ditemukan di lapangan adalah perubahan
penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Semakin meningkat
pertumbuhan jumlah dan kebutuhan penduduk, semakin meningkat pula kebutuhan
tempat atau lahan untuk tempat tinggal maupun tempat atau lahan untuk tempat
tinggal maupun tempat kegiatan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya (Ritohardoyo,
7
2013). Peralihan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian akan berdampak
pada menurunnya produksi pertanian yang pada akhirnya dapat mengurangi produksi
bahan pangan pada suatu wilayah.
1.7.3. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian menjadi Non Pertanian
Menurut Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Badan Bimbingan
Masyarakat Ketahanan Pangan Departemen Pertanian (2002), alih fungsi lahan
pertanian bukan merupakan hal yang baru terjadi. Seiring dengan meningkatnya taraf
hidup dan terbukanya kesempatan untuk menciptakan peluang kerja, maka semakin
meningkat pula kebutuhan akan lahan. Di sisi yang lain, lahan terbatas jumlahnya,
sehingga menimbulkan penggunaan lahan yang seharusnya untuk pertanian beralih
ke penggunaan non pertanian.
Aktivitas pembangunan di seluruh Kecamatan di Kabupaten Kulon terus
berjalan. Hal ini mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian
sulit dicegah. Apabila aktivitas ini tidak dikendalikan dan dilakukan penanganan
yang tepat maka dapat mengakibatkan pada berkurangnya produksi pertanian.Alih
fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian ini dapat menjadi sulit dikendalikan
walaupun sudah dibuatkan berbagai peraturan, instruksi dan himbauan serta
penerapan kesesuaian, kemampuan lahan, dan tata ruang.
Kegiatan alih fungsi lahan pertanian sawah menjadi non pertanian juga
berpengaruh terhadap lingkungan. Perubahan tersebut akan mempengaruhi
keseimbangan ekosistem pada lahan sawah yang dapat menimbulkan beberapa
konsekuensi, antara lain berkurangnya lahan terbuka hijau sehingga lingkungan tata
air akan terganggu dan lahan pertanian semakin sempit. Dampak negatif dari alih
fungsi lahan adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, pendapatan
pertanian menurun, dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal. Selain itu, akan
merusak ekosistem sawah serta adanya perubahanbudaya.
Alih fungsi lahan pertanian sawah menjadi non pertanian memberikan
dampak yang bersifat kumulatif terhadap masalah pangan yang diukur dalam
penurunan kapasitas produksi padi. Alih fungsi yang terjadi pada tahun tertentu tidak
hanya memberikan dampak pada tahun yang bersangkutan tetapi juga pada
tahunselanjutnya yang akan datang.
8
Dampak alih fungsi lahan tersebut terhadap pengurangan produksi padi per
satuan lahan yang dialihfungsikan akan semakin besar. Produksi beras pada suatu
wilayah diturunkan dari produksi padi pada wilayah tersebut, karena beras dihasilkan
dari pengolahan padi. Proses pengolahan padi menjadi beras mengakibatkan
penyusutan berat hasil produksipadi. Angka penyusutan beras adalah 62,7 % dari
berat gabah kering yang digiling. Angka tersebut digunakan untuk menghitung luasan
lahan sawah yang dibutuhkan. Perhitungan nilai ketersediaan beras digunakan faktor
penyusutan gabah menjadi beras sebesar 16,6% (Pusat Pengembangan Ketersediaan
Pangan dan Badan Bimbingan Masyarakat Ketahanan Pangan Departemen Pertanian,
2002).
1.7.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian menjadi
Lahan Non Pertanian
Peralihan penggunaan lahan yang dilakukan oleh manusia merupakan suatu
dampak perkembangan sosial yang juga suatu kebutuhan yang bersifat ekonomi.
Kebutuhan manusia yang dinamis akan mempengaruhi perkembangan manusia di
dalam memanfaatkan suatu bidang lahan. Berdasarkan kegiatan-kegiatan yang ada dan
pernah terjadi di lapangan, perubahan tersebut terjadi akibat desakan dalam
pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi. Hal tersebut sekaligus merupakan jawaban atas
fenomena yang terjadi, bahwa lahan yang diperuntukkan untuk lahan pertanian
kemudian mengalami peralihan fungsi menjadi lahan non pertanian seperti perumahan,
lahan industri, lahan perusahaan, dan sebagainya.
Menurut Ilham dkk (2005), terdapat sedikitnya tiga faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan diantaranya yaitu faktor ekonomi, faktor
sosial, dan faktor lain yaitu peraturan pertanahan yang ada.
I.7.4.1. Faktor ekonomi.
Menurut sudut pandang ilmu ekonomi, peralihan penggunaan lahan yang
dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun
mengganti pada usaha non pertanian merupakan keputusan yang masuk akal.
Dasar pengambilan keputusan dipilih petani dengan harapan pendapatan
totalnya, baik dalam jangka panjang ataupun jangka pendek akan meningkat.
Mengusahakan lahan dalam fungsi pertanian dianggap sudah tidak
9
memberikan pemasukan keuangan yang sebanding bagi petani. Di samping itu,
daya saing produk pertanian, khususnya padi, dan harga lahan yang cenderung
terus mengalami peningkatan mendorong petani untuk menjual lahan
sawahnya untuk beralih ke usaha yang lain.
I.7.4.2. Faktor Sosial.
Menurut Witjaksono dalam Ilham dkk (2005) faktor sosial yang
mempengaruhi peralihan penggunaan lahan dapat dipecah menjadi beberapa
faktor, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan
lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi
masyarakat.
a. Perubahan perilaku. Prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi
yang memadai telah membuka wawasan masyarakat pedesaan terhadap
dunia baru di luar lingkungannya. Masyarakat semakin tidak ingin
menjadi petani karena anggapan bahwa profesi petani tidak
menguntungkan, tidakmenjanjikan, dan tidak menjamin kehidupan di
masa yang akan datang.
b. Hubungan antara pemilik dan lahan. Petani yang hanya menggantungkan
kehidupan dan penghidupannya pada usaha tani akan sulit dipisahkan
dari lahan pertanian yang dikuasainya. Petani tidak berani menanggung
risiko atas ketidakpastian dalam penghasilan dan penghidupannya
sesudah lahan pertaniannya dipindah tangankan pada orang lain.
c. Pemecahan lahan. Lahan pertanian yang sempit dan dengan pengelolaan
yang kurang efisien hanya akan memberikan sedikit kontribusi bagi
pendapatan keluarga petani pemilik lahan tersebut. Pada umumnya petani
tidak lagi mengandalkan penghidupannya dalam bidang pertanian saja,
sehingga mereka beralih mencari sumber pendapatan baru di bidang non
pertanian. Petani membutuhkan modal atau dana yang diperoleh dengan
cara menjual lahan pertaniannya. Peralihan pada proses kepemilikan
dengan melalui proses pewarisan bidang lahan akan mendukung
peningkatan peralihan lahan. Pada hasil akhir proses pewarisan, pihak
yang mendapat warisan akan menggunakan lahan yang didapatnya untuk
10
tempat bermukim sebagai akibat dari pengembangan keluarga melalui
adanya budaya perkawinan.
I.7.4.3. Peraturan pengendalian peralihan penggunaan lahan pertanian.
Dalam rangka mengendalikan peralihan lahan dari lahan pertanian ke lahan
non pertanian, Pemerintah melakukan antisipasi dengan membuat peraturan
pengendalian peralihan penggunaan lahan. Pengaturan ini dilakukan dengan
tujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan
perekonomian pada umumnya. Hal ini telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta pada tahun 2011 melalui Peraturan Daerah No. 10.
Peraturan Daerah tersebut berisi mengenai lahan pangan berkelanjutan. Namun
peraturan tersebut belum berjalan efektif karena belum mendapat perhatian
yang eksklusif. Peraturan yang ada, seperti yang tercantum pada Pasal 46 dan
48, belum dilengkapi dengan sistem pemberian sanksi atau hukuman bagi
pelanggar dan sistem penghargaan (rewards) atau berupa insentif bagi mereka
yang taat pada peraturan yang telah dibuat.
1.7.5. Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi
setiap orang pada suatu wilayah yang tercermin pada surplus persediaan beras
dibandingkan kebutuhan beras pada wilayah tersebut (Sastraatmadja, 2006). Di
Indonesia konsep ketahanan pangan dituangkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun
1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan yang dimaksud dalam penelitian yang akan
dilakukan ini berupa produksi beras, dalam bentuk jumlah ketersediaan dan
kebutuhan konsumsi untuk masyarakat Kabupaten Kulon Progo dalam hitungan ton
pertahun.
Ketahanan pangan suatu wilayah ditentukan oleh kebutuhan beras semua
orang pada wilayah tersebut (ton/tahun) dan ketersediaan beras(ton/tahun). Menurut
Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Badan Bimbingan Masyarakat
Ketahanan Pangan Departemen Pertanian (2002), nilai ketahanan pangan suatu
wilayah dapat dirumuskan dengan rumusan persamaan I.9.
Ketahanan Pangan Ketersediaan eras - Ke utuhan eras … (I.1.)
11
Lebih lanjut, Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Badan
Bimbingan Masyarakat Ketahanan Pangan Departemen Pertanian menyebutkan
kondisi ketahanan pangan pada suatu wilayah dengan klasifikasi sebagai berikut :
a. Dikatakan Tahan apabila nilai ketersediaan beras > kebutuhan beras. Jika nilai
selisih antara ketersediaan beras dan kebutuhan beras menunjukkan angka
dengan tanda plus (+), maka klasifikasi ketahanan pangan berada pada tingkat
tahan.
b. Dikatakan Cukup apabila nilai ketersediaan beras = kebutuhan beras. Jika
nilai selisih antara ketersediaan beras dan kebutuhan beras menunjukkan
angka nol (0), maka klasifikasi ketahanan pangan berada pada tingkat cukup.
c. Dikatakan Rawan apabila nilai ketersediaan beras < kebutuhan beras. Jika
nilai selisih antara ketersediaan beras dan kebutuhan beras menunjukkan
angka dengan tanda minus (-), maka klasifikasi ketahanan pangan berada
pada tingkat rawan.
I.7.6. Limit Swasembada Beras
Swasembada adalah usaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Limit
swasembada beras dapat diartikan suatu batasan (limit) suatu daerah masih dapat
memenuhi kebutuhan beras (pangan) penduduk di wilayahnya sendiri. Limit
swasembada beras di suatu wilayah dapat dicegah terjadinya apabila lahan pertanian
di daerah tersebut mempunyai produktivitas lahan yang baik. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan adanya penggunaan dan pengelolaan lahan pertanian yang baik dan
berkelanjutan agar diperoleh hasil produksi pertanian yang optimal. Alih fungsi lahan
pertanian sawah menjadi non pertanian akan berdampak pada terjadinya limit
swasembada beras di suatu wilayah. Menurut Martanto (2012), rumus untuk
menghitung besar luas sawah yang dibutuhkan dapat dihitung dengan persamaan
berikut
…(I.2)
Keterangan : P = jumlah penduduk (jiwa)
L = luas lahan pertanian sawah (ha)
Pr = produktivitas lahan sawah (kg/ha)
P = L x Pr x Pl x R
K
12
Pl = pergiliran tanaman padi dalam setahun (tanam padi/th)
R = rendemen padi atau penyusutan gabah menjadi beras (1/100)
K = rerata konsumsi beras per jiwa dalam setahun (kg/jiwa/th)
Perhitungan dengan persamaan I.2. menggunakan beberapa konstanta yang
telah ditentukan. Pergiliran tanaman padi dilakukan dalam dua kali setahun, sehingga
nilai Pl menggunakan konstanta sebesar dua (Pl = 2). Rendemen padi atau nilai
penyusutan gabah menjadi beras merujuk pada angka tetapan yang dirilis oleh Pusat
Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Badan Bimbingan Masyarakat Ketahanan
Pangan Departemen Pertanian sebesar 62,7% (R = 0,627). Nilai rerata konsumsi beras
per jiwa dalam setahun sebesar 113,48 kg/kapita/tahun (K= 113,48). Hasil yang
diperoleh dari persamaan diatas adalah nilai luasan lahan sawah pertanian yang
dibutuhkan. Angka luasan sawah tersebut akan digunakan dalam proses penghitungan
limit swasembada beras.
Menurut Martanto (2012), ketersediaan pangan akibat adanya alih fungsi lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian dan laju pertambahan penduduk dapat
digambarkan sebagai hubungan dua arah atau hubungan timbal balik antara laju alih
fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dengan laju pertambahan
penduduk. Kedua persamaan akan saling mempengaruhi satu sama lain sehingga limit
swasembada beras akan terbentuk. Adapun persamaan linier yang digunakan dalam
penghitungan limit swasembada beras adalah sebagai berikut :
I.7.6.1 Persamaan laju alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
Apabila diketahui nilai laju alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non
pertanian per tahunnya, maka akan didapat persamaan akibat laju alih fungsi
lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dalam fungsi linier sebagai
berikut :
y = m1 x + c … (I.3)
keterangan : y = luas lahan pertanian sawah (ha)
m1 = gradien laju alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
non pertanian
x = waktu (tahun)
c = konstanta
13
pada persamaan I.3, gradien diisikan dengan nilai laju alih fungsi lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian, dengan satuan ha/tahun. Nilai konstanta
diisikan dengan sisa luas lahan pertanian yang masih tersisa pada tahun
penelitian. Nilai gradien akan minus (-) apabila laju alih fungsi yang terjadi
positif, begitu sebaliknya.
I.7.6.2. Persamaan laju pertambahan penduduk terhadap kebutuhan lahan
pertanian
Apabila diketahui nilai laju pertambahan penduduk terhadap kebutuhan lahan
pertanian, maka akan didapat persamaan akibat laju pertambahan penduduk
dalam fungsi linier sebagai berikut :
y = m2 x + c … (I.4)
keterangan : y = luas lahan pertanian sawah (ha)
m2 = gradien laju pertambahan penduduk terhadap
kebutuhan lahan pertanian
x = waktu (tahun)
c = konstanta
pada persamaan I.4, gradien diisikan dengan nilai laju pertambahan penduduk
terhadap kebutuhan lahan pertanian. Nilai konstanta diisikan dengan luas lahan
pertanian yang dibutuhkan pada tahun penelitian. Nilai gradien akan minus (-)
apabila laju kebutuhan lahan yang terjadi positif, begitu sebaliknya.
I.7.6.3. Titik potong persamaan laju alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
non pertanian dan persamaan laju pertambahan penduduk terhadap kebutuhan
lahan pertanian.
Persamaan I.3 dan I.4 akan membentuk garis yang linier. Kedua garis linier
tersebut akan bertemu pada satu titik potong (x,y). Titik potong tersebut
merupakan limit swasembada beras pada daerah penelitian. Apabila di daerah
penelitian terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian yang
terus menerus dan laju pertambahan penduduk terhadap kebutuhan lahan
14
pertanian yang terus meningkat maka akan terjadi suatu kondisi diana
ketahanan pangan akan habis.
1.7.7. Perangkat Lunak ArcGIS
ArcGIS merupakan perangkat lunak yang dapat digunakan untuk
mengompilasikan, menuliskan, menganalisis, melakukan sharing, memetakan, dan
melakukan publikasi informasi spasial (Eddy Prahasta, 2011). ArcGIS terdiri dari
beberapa aplikasi Sistem Informasi Geografis yang berbeda-beda, diantaranya adalah
ArcMaps, ArcCatalog dan ArcReader.
ArcGIS dikembangkan oleh ESRI (Environmental Systems Research Institute).
ESRI adalah sebuah perusahaan yang memfokuskan diri pada solusi pemetaan digital
terintegrasi. ArcGIS Desktop adalah salah satu dari sekian banyak produk yang saling
terkait di bidang pemetaan digital yang dikembangkan oleh ESRI.
Dalam perangkat lunak ArcGIS, terdapat lima aplikasi dasar (fitur) yang dapat
digunakan, diantaranya adalah.
1. ArcCatalog. Dalam fitur ini, pengguna diberikan kemudahan dalam mengolah
data-data SIG melalui empat cara yaitu browsing (menjelajah), organizing
(mengatur), distribution (membagi), dan documentation (menyimpan).
2. ArcMap. Fitur ini memberikan kemudahan bagi pengguna dalam melakukan
pengolahan data melalui create (membuat), viewing (menampilkan), query
(memilih), editing (menyunting), composing (mengumpulkan) peta.
3. ArcGlobe. Untuk menampilkan peta-peta secara 3D ke dalam bola dunia dan
menghubungkan langsung dengan internet, pengguna dapat menggunakan fitur
ini.
4. ArcScene. Pengguna dapat memanfaatkan fitur ini untuk mengolah dan
menampilkan peta-peta ke dalam bentuk 3D.
5. ArcToolbox. Fitur ini sebenarnya adalah kumpulan dari tools yang tersedia di
dalam setiap komponen ArcGIS untuk melakukan berbagai macam analisis
keruangan.
Dalam penelitian ini, dilakukan analisis spasial menggunakan perangkat lunak
ArcGIS. Berdasarkan Prahasta (2002), Analisis spasial adalah kemampuan yang ada
dalam Sistem Informasi geografis untuk menganalisa sistem seperti tumpang susun
15
(overlay). Tumpang susun atau overlay suatu data grafis adalah pekerjaan
penggabungan antara dua data grafis (coverage) atau lebih menjadi satu data grafis
(coverage) yang baru. Overlay akan didapat satu coverage yang baru. Untuk dapat
melakukan overlay, maka antara dua data grafis (coverage) tersebut harus mempunyai
sistem koordinat, skala dan proyeksi peta yang sama.
Dalam melakukan proses tumpang susun (overlay) pada software yang
berbasis Sistem Informasi Geografis ada tiga cara diantaranya yaitu Identity, Union,
Intersect.
I.7.7.1 Identity
Identity adalah salah satu jenis overlay untuk membuat coverage baru dengan
melakukan overlay dari dua kumpulan feature. Coverage output berisi semua
feature dari coverage input dan hanya bagian dari feature coverage identity
yang bertampalan dengan coverage input. Feature coverage input dapat
berupa poligon, garis, dan titik, sedangkan feature coverage identity harus
berupa poligon. Ilustrasi penggunaan metode Identity dapat dilihat pada
Gambar I.1.
Gambar I.1. Metode Identity
(sumber: ESRI, Inc)
I.7.7.2 Union
Union, adalah perintah overlay untuk mendapatkan coverage baru dari dua
buah coverage yang dilakukan tumpang susun. Coverage output akan berisi
coverage poligon hasil penggabungan dari kedua coverage tersebut. Pada
union ini, hanya coverage poligon yang dapat digabungkan. Ilustrasi
penggunaan metode Union dapat dilihat pada Gambar I.2.
OUTPUT INPUT
IDENTITY
FEATURE
16
Gambar I.2. Metode Union
(sumber: ESRI, Inc)
I.7.7.3 Intersect.
Intersect adalah perintah yang dapat digunakan untuk membuat coverage baru
dengan melakukan overlay dua buah coverage. Coverage output yang
dihasilkan hanya berisi bagian feature yang terdapat pada luasan yang
ditempati oleh kedua coverage input dan output. Coverage input dapat berupa
titik, garis, dan poligon, tetapi coverage intersect harus berupa poligon.
Ilustrasi penggunaan metode Intersect dapat dilihat pada Gambar I.3.
Gambar I.3. Metode Intersect
(sumber: ESRI, Inc)
1.7.8. Perangkat Lunak SPSS
Penelitian dilakukan dengan proses pengolahan data dan analisis hasil
pengolahan data dalam bentuk persamaan regresi linear berganda menggunakan
software SPSS (Statistical Package for Social Science) 16.0 for Windows. Program
SPSS digunakan untuk memecahkan problem riset atau bisnis dalam hal statistik.
SPSS merupakan bagian integral dari tentang proses analisis, menyediakan akses data,
OUTPUT INPUT
UNION
FEATURE
OUTPUT INPUT
INTERSECT
FEATURE
17
persiapan dan manajemen data, analisis data, dan pelaporan. Penggunaan perangkat
lunak SPSS dalam penelitian ini memanfaatkan fungsi SPSS dalam melakukan analisis
regresi.
I.7.8.1. Analisis Regresi.
Analisis regresi merupakan salah satu teknik analisis data dalam statistika yang
seringkali digunakan untuk mengkaji hubungan antara beberapa variabel dan
meramal suatu variabel (Kutner dkk., 2004). Dalam mengkaji hubungan antara
beberapa variabel menggunakan analisis regresi, terlebih dahulu ditentukan
satu variabel yang disebut sebagai variabel tidak bebas dan satu atau lebih
variabel bebas.
Analisis regresi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu analisis regresi linier dan
analisis regresi linier berganda (Omar, 1992). Jika ingin dikaji hubungan atau
pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel tidak bebas, maka model
regresi yang digunakan adalah model regresi linier sederhana. Jika ingin dikaji
hubungan atau pengaruh dua atau lebih variabel bebas terhadap variabel tidak
bebas, maka model regresi yang digunakan adalah model regresi linier
berganda (multiple linear regression model). Kemudian untuk mendapatkan
model regresi linier sederhana maupun model regresi linier berganda dapat
diperoleh dengan melakukan estimasi terhadap parameter-parameternya
menggunakan metode tertentu. Adapun metode yang dapat digunakan untuk
mengestimasi parameter model regresi linier sederhana maupun model regresi
linier berganda adalah dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square)
dan metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood estimation).
Analisis regresi linear berganda digunakan untuk mengukur pengaruh antara
lebih dari satu variabel prediktor (variabel bebas) terhadap variabel terikat
(Kutner dkk., 2004).
Persamaan analisis regresi linier secara sederhana dapat dituliskan dengan
persamaan I.5. (Isharjudi, Raden, 2003).
a … (I.5.)
18
dalam hal ini :
Y = nilai variabel terikat
a = konstanta
= koefisien regresi
= nilai variabel bebas
1.7.8.2. Analisis regresi linier berganda.
Analisis Regresi Linear Berganda adalah hubungan secara linier antara dua
atau lebih variabel independen (X1, X2,...Xn) dengan variabel dependen (Y)
(Kutner dkk., 2004). Analisis ini digunakan untuk mengetahui arah hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-masing
variabel independen berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi
nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami
kenaikan atau penurunan.
Analisis ini menunjukkan hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas.
Persamaan analisis regresi linier berganda secara sederhana dapat dituliskan
dengan persamaan I.3. (Isharjudi, Raden, 2003).
a 1 1 2 2 … n n … (I.6.)
dalam hal ini :
Y = nilai variabel terikat
a = konstanta
1, 2, …, n = koefisien regresi ke-1, ke-2, …, ke-n
= residu
1, 2, …, n = nilai variabel bebas ke-1, ke-2, …, ke-n
n = banyaknya variabel
1.7.8.3. Pengujian Model dengan SPSS.
Menurut Kutner dkk., (2004), pengujian model dengan menggunakan SPSS
terdiri dari beberapa tahap, antara lain sebagai berikut :
1. Tahap awal dari pengujian model hasil analisis regresi linear berganda
adalah Uji F. Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas
19
secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel terikat. Nilai yang
signifikan menginterpretasikan hubungan yang terjadi dapat berlaku untuk
populasi.
Persamaan uji koefisien regresi secara serentak (uji F) dituliskan dalam
persamaan I.7. (Isharjudi, Raden, 2003).
… (I.7.)
dalam hal ini :
F = F statistik hasil hitungan
2 = koefisien determinasi
n = banyaknya variabel
k = jumlah variabel bebas
Hipotesis yang digunakan yaitu jika F hitung > F tabel, maka semua
variabel bebas berpengaruh secara signifikan dan jika F hitung < F tabel,
maka variabel bebas tidak signifikan.
2. Tahap selanjutnya adalah Uji t. Uji t digunakan untuk menguji secara
parsial masing-masing variabel. Hasil uji t dapat dilihat pada tabel
coefficients pada kolom sig (significance). Jika probabilitas nilai t atau
signifikansi < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh antara
variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial. Namun, jika
probabilitas nilai t atau signifikansi > 0,05, maka dapat dikatakan bahwa
tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara masing-masing variabel
bebas terhadap variabel terikat.
Persamaan uji koefisien regresi secara individu (uji t) dituliskan dalam
persamaan I.8. dan I.9. (Isharjudi, Raden, 2003).
… (I.8.)
… (I.9.)
dalam hal ini :
R2
/ (k-1)
1-R2/(n-k)
F =
(β1 - 0 )
SD =
β1
SD t =
SD ( 1- )
2
n-1
20
t = t statistik hasil hitungan
1 = koefisien variabel bebas ke-1
= standar deviasi
Y1 = nilai variabel terikat ke-1
= nilai rerata variabel terikat
n = banyaknya variabel
3. Tahap akhir dari analisis regresi linear berganda adalah Uji Koefisien
determinasi (Adjusted R Square). Uji ini bertujuan untuk menentukan
proporsi atau persentase total variasi dalam variabel terikat yang
diterangkan oleh variabel bebas. Apabila analisis yang digunakan adalah
regresi sederhana, maka yang digunakan adalah nilai R Square. Namun,
apabila analisis yang digunakan adalah regresi berganda, maka yang
digunakan adalah Adjusted R Square. Hasil perhitungan Adjusted R2
dapat dilihat pada output Model Summary. Pada kolom Adjusted R2 dapat
diketahui berapa persentase yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel
bebas terhadap variabel terikat. Sedangkan sisanya dipengaruhi atau
dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model
penelitian. Pengujian model dilakukan untuk mengetahui kelayakan dalam
melakukan estimasi suatu nilai, model pengujian yang dipakai yaitu uji
statistik. Uji ini dilakukan untuk mengukur derajat hubungan kesesuaian
model.
Persamaan uji koefisien determinasi (R2) dengan rumus matematis
(Isharjudi, Raden, 2003) dinyatakan dalam persamaan I.10.
… (I.10.)
dalam hal ini :
R2 = koefisien determinasi
= jumlah
Y = nilai varibel terikat
= nilai rerata variabel terikat hasil estimasi
= nilai variabel terikat hasil estimasi
𝑅2 = 1 − ( �� − 𝑌 )2
(𝑌 − 𝑌 )2