BAB I PENDAHULUAN -...

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Beberapa tahun terakhir, kritik terhadap prinsip konservatisma akuntansi semakin menguat. Beberapa pihak, antara lain regulator pasar modal, penyusun standar dan akademisi/peneliti mengatakan bahwa penggunaan prinsip akuntansi yang konservatif dalam pelaporan keuangan akan menghasilkan informasi yang bias ke bawah (Watts, 2002), sehingga informasi tersebut menjadi kurang relevan bila digunakan dalam pengambilan keputusan. Laporan keuangan yang konservatif dianggap tidak mencerminkan kondisi ekonomi perusahaan yang sesungguhnya. Hal itu dikarenakan sifat laporan keuangan yang konservatif cenderung melaporkan aset dan laba yang selalu lebih rendah (Beaver dan Ryan, 2000; dan Penman dan Zhang, 2002). Akibatnya, informasi tersebut dapat mempengaruhi ketepatan dan keakuratan dalam pengambilan keputusan. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kelemahan yang timbul akibat penggunaan prinsip konservatisma. Penerapan konsep fair value untuk menilai aset bersih dan laba dianggap mampu mengurangi informasi yang bias tersebut (IASB, 2006). Jika dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini yaitu konvergensi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dengan International Financial Reporting Standard (IFRS), maka hal ini menjadi menarik karena IFRS sendiri menggunakan konsep fair value. IFRS mengklaim bahwa konsep fair value dalam menilai aset bersih dan laba lebih baik daripada prinsip konservatisma yang selama

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Beberapa tahun terakhir, kritik terhadap prinsip konservatisma akuntansi semakin

menguat. Beberapa pihak, antara lain regulator pasar modal, penyusun standar dan

akademisi/peneliti mengatakan bahwa penggunaan prinsip akuntansi yang

konservatif dalam pelaporan keuangan akan menghasilkan informasi yang bias ke

bawah (Watts, 2002), sehingga informasi tersebut menjadi kurang relevan bila

digunakan dalam pengambilan keputusan. Laporan keuangan yang konservatif

dianggap tidak mencerminkan kondisi ekonomi perusahaan yang sesungguhnya. Hal

itu dikarenakan sifat laporan keuangan yang konservatif cenderung melaporkan aset

dan laba yang selalu lebih rendah (Beaver dan Ryan, 2000; dan Penman dan Zhang,

2002). Akibatnya, informasi tersebut dapat mempengaruhi ketepatan dan keakuratan

dalam pengambilan keputusan.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kelemahan yang timbul akibat

penggunaan prinsip konservatisma. Penerapan konsep fair value untuk menilai aset

bersih dan laba dianggap mampu mengurangi informasi yang bias tersebut (IASB,

2006). Jika dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini yaitu konvergensi

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dengan International Financial

Reporting Standard (IFRS), maka hal ini menjadi menarik karena IFRS sendiri

menggunakan konsep fair value. IFRS mengklaim bahwa konsep fair value dalam

menilai aset bersih dan laba lebih baik daripada prinsip konservatisma yang selama

2

ini digunakan dalam penyajian laporan keuangan. Sebagian besar negara di dunia

telah melakukan konvergensi dan adopsi IFRS, baik secara penuh maupun parsial.

Meskipun International Accounting Standard Board (IASB), melalui

rerangka konseptualnya (IASB, 2006), dan Financial Accounting Standard Board

(FASB) menyatakan bahwa prudence dan konservatisma bukan merupakan kualitas

informasi pelaporan keuangan yang diinginkan, namun isi IFRS masih

mengindikasikan adanya prudence dan konservatisma (Hellman, 2008). IFRS masih

menjelaskan bahwa prudence merupakan sebuah prinsip kehati-hatian yang

digunakan untuk menggantikan istilah prinsip konservatisma akuntansi. Dengan

demikian, keinginan IASB untuk tidak menggunakan prinsip

prudence/konservatisma dalam pelaporan keuangan masih tidak jelas.

Argumen yang digunakan IFRS mengenai perubahan penilaian aset bersih

dan laba yaitu bahwa penilaian aset bersih dan laba yang lebih rendah secara

konsisten, sebagaimana yang dikenal sebagai konservatisma konsisten dan

digunakan selama ini, tidak lagi dipertimbangkan sebagai cara yang memadai terkait

dengan adanya ketidakpastian. Selanjutnya, perubahan kondisi bisnis suatu

perusahaan seharusnya tercermin dalam pelaporan keuangan melalui perubahan

estimasi dan probabilitas yang berorientasi masa depan. Oleh karena itu,

konvergensi IFRS dianggap sebagai solusi atas kelemahan dari prinsip

konservatisma yang banyak menggunakan kos historis (historical cost) dalam

menentukan nilai aset perusahaan. Konsep fair value dianggap mampu mengurangi

bias ke bawah (persisten lebih rendah) dari aset yang dilaporkan, sehingga konsep

ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba perusahaan serta informasi yang

dihasilkan semakin relevan untuk pengambilan keputusan. Selain itu, konvergensi

3

IFRS akan mengubah mind-stream dari rule-based ke principle-based. Dengan

demikian, laporan keuangan yang disajikan perusahaan tidak harus menggunakan

aturan-aturan yang ketat sebagaimana yang diatur dalam standar sebelumnya.

Namun demikian, Watts (2003b) mengkhawatirkan penggunaan fair value

dengan mengatakan bahwa menghilangkan konservatisma untuk mendapatkan

keuntungan dari penilaian akuntansi suatu perusahaan yang didasarkan pada estimasi

manajer merupakan sesuatu yang tidak masuk akal. Sebagaimana diketahui, prinsip

fair value yang digunakan IFRS lebih banyak menggunakan estimasi untuk menilai

aset secara wajar. Sedangkan, estimasi yang dibuat manajer tersebut memasukkan

masalah-masalah yang menjadi fokus dari konservatisma akuntansi selama ini.

Kewenangan manajer yang begitu besar untuk menggunakan judgment dalam

mengestimasi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan

memberikan insentif dan meningkatkan moral hazard manajemen. Akibatnya,

konflik keagenan akan semakin meningkat, meskipun pengadopsian IFRS diklaim

akan meningkatkan kualitas dan relevansi laporan keuangan. Misalnya, konflik

antara manajemen dan shareholder akan semakin memburuk dan sulit diatasi ketika

kinerja manajemen diukur berdasarkan kinerja keuangan. Hal itu dikarenakan

angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan banyak

menggunakan judgment manajemen. Begitu juga dengan konflik manajemen dan

kreditur, kreditur akan lebih sulit untuk mendapatkan signal awal mengenai kondisi

keuangan yang kurang baik, sehingga pengembalian pinjaman dan biaya bunga

menjadi kurang terjamin. Dengan demikian, “konservatisma” sebagai salah satu

mekanisma penyelesaian konflik antara shareholder dan bondholder (Ahmed et al.,

2002) menjadi kurang bermakna lagi. Lebih dari itu, konflik kepentingan yang lebih

4

pelik lagi antara bondholder dan manajemen seperti yang dilaporkan Ball et al.

(2000) dan Ball dan Shivakumar (2005) menjadi lebih sulit di atasi.

Selanjutnya, kondisi yang ada saat ini menunjukkan bahwa IFRS dan PSAK

pasca konvergensi masih mengindikasikan adanya prinsip kehati-hatian

(konservatisma). Bukti masih digunakannya konservatisma dalam IFRS

didokumentasikan Hellman (2008) yang melaporkan bahwa prinsip konservatisma

masih digunakan dalam IFRS, meskipun telah mengalami pergeseran dari

konservatisma yang konsisten kearah konservatisma temporer. Sifat konservatisma

temporer yang mengindikasikan bahwa konservatisma tersebut akan berbalik pada

periode berikutnya menjadi ciri utama konservatisma pasca konvergensi. Melalui uji

analitis terhadap 3 (tiga) standar yang digunakan dalam IFRS yaitu IAS 12, IAS 38

dan IAS 11 yang masing-masing mendiskusikan tentang pengakuan piutang pajak

tangguhan, kapitalisasi dan penurunan nilai biaya pengembangan, serta penyelesaian

kontrak konstruksi, menunjukkan bahwa IFRS menurunkan konservatisma konsisten

(konsisten dalam melaporkan aset bersih yang lebih rendah) yang merupakan fitur

paling menonjol dari perlakuan akuntansi sebelumnya (Hellman, 2008). Sebaliknya,

IFRS memberikan peluang yang lebih besar bagi konservatisma temporer.

Sebagaimana yang dicontohkan yaitu adanya perubahan dalam estimasi yang secara

temporer menyatakan aset bersih yang lebih rendah melalui cadangan tersembunyi

yang kemudian akan berbalik pada periode mendatang. Misalnya, pencatatan

pengeluaran biaya riset dan pengembangan (R&D) yang memberikan kesempatan

untuk mengkapitalitasi atau membiayakan dengan segera pengeluaran tersebut.

Meskipun dikapitalisasi, pengeluaran biaya R & D tersebut akan berbalik pada

periode berikutnya melalui penyusutan.

5

Bukti tersebut menunjukkan betapa sulitnya menghindari penggunaan

prinsip konservatisma akuntansi. Hal itu tidak terlepas dari manfaat dan peran

penting yang mampu dimainkan prinsip tersebut (Ahmed et al., 2002). Perusahaan

yang menghadapi konflik dalam kebijakan dividennya cenderung menggunakan

konservatisma akuntansi. Peranan konservatisma disini adalah memitigasi konflik

kepentingan antara shareholder dan bondholder akibat dari kebijakan pembayaran

dividen yang berlebihan. Begitu juga dengan yang disampaikan Watts (1993).

Konservatisma akuntansi membantu menghindari distribusi yang tidak tepat dari

pemegang klaim. Konflik antara shareholder dan bondholder terjadi ketika laba

yang dilaporkan terlalu besar, sehingga laba ditahan yang dilaporkan juga terlalu

besar dan berujung pada pembayaran dividen kepada shareholder yang terlalu besar.

Kondisi tersebut dapat mempengaruhi hak bondholder untuk menerima pembayaran

pokok dan bunga pinjaman. Dengan menggunakan konservatisma akuntansi, maka

hal-hal tersebut dapat dihindari.

Selanjutnya, peranan konservatisma akuntansi nampak menonjol dalam

berbagai konflik keagenan. Konservatisma mampu menjadi solusi dari berbagai

konflik kepentingan, misalnya konflik yang pelik antara bondholder dan manajemen

seperti yang dilaporkan Ball et al. (2000) dan Ball dan Shivakumar (2005). Selama

ini, konflik tersebut dapat dimitigasi dengan membatasi manajer untuk melakukan

ekspropriasi kesejahteraan bondholder melalui penggunaan kebijakan sistem

akuntansi yang mengakui kerugian ekonomi yang lebih cepat dalam laba. Dalam

kondisi seperti ini, prinsip fair value kurang tepat menjadi solusi masalah tersebut.

Peranan konservatisma akuntansi yang lain yaitu membantu penyelesaian konflik

yang terjadi antara manajer dengan shareholder (Watts, 2003a,b). Fleksibilitas

6

manajer untuk menggunakan metode akuntansi tertentu yang menguntungkan

dirinya dapat menimbulkan konflik dengan shareholder. Dalam kondisi seperti itu,

konservatisma akuntansi dapat digunakan untuk membatasi manajer melaporkan

“laba yang berlebihan”, bila kinerja keuangan dipakai sebagai basis penilaian kinerja

manajer.

Selain mampu memainkan peran penting dalam konflik keagenan,

konservatisma akuntansi juga telah banyak memberi manfaat bagi pemakainya

(Zhang, 2008) dan Ahmed et al. (2002). Manfaat konservatisma akuntansi dapat

dirasakan perusahaan maupun pihak lainnya, seperti pemberi

pinjaman/kreditur/bondholder yang berupa cost of debt. Akuntansi konservatif

menyebabkan jumlah laba dan laba ditahan yang dilaporkan manajemen menjadi

lebih rendah karena kehati-hatian prinsip ini dalam mencatat transaksi keuangan

perusahaan. Kondisi tersebut dimanfaatkan pemberi pinjaman/kreditur/bondholder

sebagai signal awal mengenai kondisi keuangan perusahaan yang kurang baik.

Selain itu, sebagai signal awal mengenai kondisi keuangan perusahaan,

konservatisma akuntansi juga dapat membatasi pembayaran dividen yang

berlebihan, sehingga risiko pengembalian pokok dan bunga pinjaman menurun.

Selanjutnya, pemberi pinjaman mengapresiasi positif dengan memberikan tingkat

suku bunga pinjaman yang rendah. Bukti-bukti tersebut menunjukkan betapa

konservatisma akuntansi memegang peranan yang sangat penting dalam berbagai

konflik serta memberikan manfaat yang besar. Hal itu menyebabkan prinsip ini sulit

dihilangkan dari IFRS maupun PSAK konvergensian. Sebagai contoh PSAK

konvergensian masih menggunakan konservatisma akuntansi yaitu PSAK No.34

(revisi 2010) yang menyebutkan bahwa meskipun dalam kondisi yang andal,

7

pendapatan dalam kontrak konstruksi tidak dapat langsung diakui sampai dengan

kontrak selesai, sedangkan bila ada indikasi kerugian (kerugian yang dapat

diestimasi) harus segera diakui sebagai beban.1 Selain itu, PSAK 19 (revisi 2010),

PSAK 16 (revisi 2011) dan PSAK 48 (revisi 2009) yang masih menyediakan

beberapa metode atau pilihan yang dapat dipilih oleh penyusun laporan keuangan

untuk mencatat penyusutan atau amortisasi.2 Selanjutnya, diskusi mengenai prinsip

konservatisma pasca konvergensi lebih mengarah pada konservatisma temporer

daripada konservatisma yang konsisten.3

Pada awalnya, konservatisma akuntansi sangat dibutuhkan berbagai pihak

(stakeholder) untuk memberi keyakinan kepada mereka mengenai laporan keuangan

yang andal. Namun demikian, implikasi dari konservatisma akuntansi yaitu bias ke

bawah (downside bias) membuat sebagian stakeholder merasa dirugikan (investor),

meskipun sebagian yang lain merasa mendapatkan manfaatnya (kreditur).

1 PSAK No.34 (revisi 2010), dalam paragraph 22 disebutkan bahwa jika hasil kontrak konstruksi dapat diestimasi secara andal, maka pendapatan kontrak dan biaya kontrak yang berhubungan dengan kontrak konstruksi diakui masing-masing sebagai pendapatan dan beban dengan memerhatikan tahap penyelesaian aktivitas kontrak pada tanggal akhir periode pelaporan. Taksiran rugi pada kontrak konstruksi tersebut segera diakui sebagai beban sesuai dengan paragraf 36. 2 Paragraph 98. Terdapat berbagai metode amortisasi untuk mengalokasikan jumlah penyusutan suatu aset atas dasar yang sistematis sepanjang masa manfaatnya. Metode-metode tersebut meliputi metode garis lurus, metode saldo menurun dan metode unit produksi. Metode yang digunakan dipilih berdasarkan pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan yang diharapkan dan diterapkan secara konsisten dari periode ke periode lainnya, kecuali terdapat perubahan dalam perkiraan pola konsumsi tersebut. Pada umumnya akan sulit ditemukan bukti yang mendukung suatu metode amortisasi aset tidak berwujud dengan masa manfaat terbatas menghasilkan jumlah akumulasi amortisasi lebih rendah daripada akumulasi amortisasi berdasarkan metode garis lurus. 3 Konservatisma yang konsisten menunjukkan bahwa aset dan laba yang disajikan dalam laporan keuangan dilaporkan lebih rendah yang konstan, yang tidak berbalik pada masa mendatang. Sedangkan, konservatisma temporer memungkinkan angka-angka yang disajikan dalam laporan yang lebih rendah (understated) kemungkinan akan berbalik di masa mendatang.

8

Selanjutnya, ada beberapa alasan yang mendorong perusahaan menyajikan

laporan keuangan yang konservatif antara lain yaitu pertama, alasan pengontrakan.

Alasan ini menjelaskan bahwa konservatisma akuntansi dibutuhkan terkait dengan

masalah kontrak (Watts, 2003ab), misalnya kontrak antara perusahaan dengan

pemberi pinjaman, kontrak antara manajemen dengan shareholder, dan sebagainya.

Dalam kontrak hutang, konservatisma akuntansi membuat pengakuan rugi (loss)

yang lebih tepat waktu, sehingga dapat menjadi signal awal bagi para kreditur

(lenders) mengenai kondisi keuangan perusahaan dalam memenuhi kewajiban

hutangnya. Sedangkan, dalam kontrak antara manajemen dan shareholder,

konservatisma akuntansi dapat menghambat sifat oportunistik manajemen untuk

memilih metode akuntansi yang menguntungkan dirinya, misalnya memilih metode

akuntansi yang melaporkan laba lebih tinggi bila kompensasi diberikan atas dasar

kinerja keuangan (laba).

Alasan kedua yaitu litigasi, yang menjelaskan bahwa pengadilan

kemungkinan besar memberikan hukuman pada perusahaan yang menyajikan angka-

angka laporan keuangan yang “terlalu tinggi” (overstatement) daripada yang lebih

rendah (understatement). Hal itu dikarenakan stakeholder akan menderita kerugian

yang lebih besar akibat laporan keuangan yang overstatement daripada yang

understatement (Watts, 2003ab). Laporan keuangan yang overstatement dapat

membuat keputusan stakeholder kurang tepat. Hal itu dikarenakan keputusan yang

terlalu optimis sulit untuk mencapai target yang diharapkan, sehingga menyebabkan

kerugian.

Alasan ketiga yaitu masalah perpajakan, yang menjelaskan bahwa

konservatisma akuntansi dapat digunakan manajemen untuk tujuan penundaan

9

pembebanan pajak atau mengalihkan beban pajak sekarang ke masa yang akan

datang (Basu, 1997; Watts, 2003b; Qiang, 2007). Dengan menggunakan

konservatisma akuntansi maka pendapatan dicatat relatif lebih rendah dan biaya

dicatat lebih besar. Hal itu digunakan perusahaan pembayar pajak untuk

menurunkan dan menangguhkan beban pajak yang harus dibayar, sehingga beban

pajak penghasilan perusahaan menjadi lebih rendah akibat laba yang dilaporkan

lebih rendah. Sedangkan alasan terakhir yang sering digunakan untuk memilih

kebijakan akuntansi konservatif yaitu alasan regulasi. Alasan ini menjelaskan bahwa

perusahaan menggunakan akuntansi konservatif karena regulasi mengatur demikian

(Watts, 2003ab).

Selanjutnya, sebagai bentuk keputusan manajemen, laporan keuangan

merupakan hasil dari proses pemilihan berbagai kebijakan, estimasi dan metode

akuntansi. Chief Financial Officer (CFO) atau direktur keuangan, sebagai pihak

yang paling bertanggungjawab terhadap pelaporan keuangan, memiliki pengaruh

yang sangat kuat dalam pemilihan kebijakan, estimasi dan metode akuntansi yang

digunakan dalam pelaporan keuangan. Dengan kewenangan yang dimiliki, CFO

mempunyai insentif yang besar dalam memilih metode akuntansi (Jiang, 2010).

Oleh karena itu, laporan keuangan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk

karakter (faktor psikologis) penyajinya. Misalnya, CFO yang memiliki karakter

menyukai risiko (risk taker), mungkin memilih metode akuntansi (keputusan) yang

berbeda dengan CFO yang berkarakter tidak suka risiko (risk averse).

Dalam praktik, manajer seringkali membuat keputusan yang tidak rasional.

Hal itu terlihat dari pemberian bobot yang berbeda terhadap kondisi tertentu,

misalnya kondisi yang kurang menguntungkan (negatif/loss) diberi bobot yang lebih

10

besar daripada kondisi yang menguntungkan (positif/gain) ketika mengambil

keputusan. Pemberian bobot yang tidak simetris terhadap kondisi yang

menguntungkan (gain) dan tidak menguntungkan (loss) dapat mempengaruhi

keputusan yang diambil. Pemberian bobot yang berbeda terhadap kondisi tertentu

merupakan basis penjelasan teori prospek (Kahneman dan Tversky, 1979). Oleh

karena itu, teori prospek merupakan salah satu teori yang tidak rasional yang banyak

digunakan untuk menjelaskan pengambilan keputusan. Dalam teori tersebut,

pembuat keputusan ditempatkan pada domain tertentu berdasarkan perubahan yang

dirasakan, bukan pada kondisi terakhir ia berada. Pembuat keputusan yang berada

pada domain positif cenderung berperilaku risk averse dan membuat keputusan yang

lebih berhati-hati atau konservatif. Sedangkan, pembuat keputusan yang berada pada

domain negatif cenderung risk taker yang tercermin dalam keputusan yang kurang

konservatif (Tversky dan Kahneman, 1992). Dalam konteks pelaporan keuangan,

CFO yang berada dalam domain positif memilih metode akuntansi yang lebih

konservatif daripada CFO yang berada dalam domain negatif.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji

pengaruh pembingkaian kontrak, tingkat litigasi dan tingkat beban pajak terhadap

keputusan pengambilan kebijakan dan metode akuntansi CFO dalam menyajikan

laporan keuangan. CFO memiliki tanggungjawab terhadap sistem pelaporan

keuangan perusahaan, sehingga keputusan pengambilan kebijakan dan pemilihan

metode akuntansi dalam laporan keuangan tidak lepas dari preferensi risiko

penyajinya (Mian, 2001). Untuk menguji pengaruh psikologis CFO dalam

menyajikan laporan keuangan tersebut, penelitian ini menggunakan teori prospek.

Oleh karena itu, penelitian ini berjudul pembingkaian kontrak insentif, tingkat

11

litigasi dan tingkat beban pajak: bukti kausalitas pada ranah konservatisma

akuntansi.

B. PERUMUSAN MASALAH

IFRS, yang selama ini dianggap sebagai solusi atas kelemahan yang ditimbulkan

oleh prinsip konservatisma, masih tetap menggunakan prinsip ini (Hellman, 2008).

Hal itu menunjukkan bahwa prinsip konservatisma masih sangat dibutuhkan dalam

pelaporan keuangan. Pasca konvergensi, konservatisma akuntansi hanya mengalami

pergeseran dari konservatisma yang permanen ke konservatisma temporer. Selain

itu, konservatisma akuntansi pasca konvergensi banyak dipengaruhi oleh

professional judgment manajer. Pemberian peluang yang besar professional

judgment bagi manajer dan perubahan prinsip dari rule-based ke principle-based

dapat menyebabkan laporan keuangan semakin konservatif atau sebaliknya. Dengan

demikian, fungsi dan peran konservatisma masih tetap ada seperti sebelum

konvergensi.

Dalam uraian sebelumnya menjelaskan bahwa konservatisma akuntansi

memiliki fungsi dan peran penting dalam berbagai konflik keagenan yang sulit

digantikan dengan yang lain. Sebagaimana yang dilaporkan Jensen dan Meckling

(1976) bahwa konflik keagenan (konflik antara manajemen dan shareholder maupun

manajemen dengan stakeholder lainnya) muncul karena adanya moral hazard akibat

informasi yang tidak simetris, sehingga manajemen bertindak sesuai dengan

kepentingannya. Akibat dari moral hazard, salah satu pihak dapat memaksimalkan

kesejahteraannya sedangkan pihak lain ada yang dirugikan. Dalam konteks konflik

keagenan yang terjadi antara manajer dan shareholder, manajer menggunakan

12

informasi yang dimiliki untuk memenuhi kepentingan pribadinya melalui skema

bonus. Sedangkan, shareholder menjadi korban dari tindakan manajer berupa

pembayaran yang berlebihan.

Untuk mengatasi konflik akibat dari moral hazard manajer tersebut,

konservatisma akuntansi dapat menjadi solusi. Dengan mensyaratkan verifikasi yang

lebih besar untuk laporan yang memiliki kemungkinan bias ke atas dibandingkan

yang memiliki bias ke bawah, maka konservatisma akuntansi dapat menghambat

manajer untuk melakukan moral hazard-nya. Seperti diketahui bahwa penggunaan

ukuran kinerja keuangan sebagai basis pemberian bonus dapat mendorong manajer

melakukan moral hazard. Moral hazard muncul karena kewenangan manajer yang

begitu besar untuk menggunakan judgment ketika membuat kebijakan, estimasi dan

memilih metode akuntansi dalam pelaporan keuangan. Diskresi dan fleksibilitas

manajemen (CFO) tersebut memungkinkan manajer untuk melakukan itu semua.

Berdasarkan penjelasan tersebut, manajer mungkin akan melaporkan angka-angka

dalam laporan keuangan yang selaras dengan kepentingannya.

Selanjutnya, masalah pengontrakan dan masalah litigasi shareholder

merupakan alasan yang paling menonjol dalam menggunakan konservatisma

akuntansi (Watts, 2003ab). Kemungkinan, pengadilan memberi hukuman kepada

perusahaan yang menyajikan laporan keuangan yang overstatement daripada yang

understatement. Hal itu dikarenakan penyajian laporan keuangan yang

overstatement memiliki kemungkinan yang lebih besar menyebabkan kerugian

stakeholder daripada laporan keuangan yang understatement. Informasi yang

dihasilkan dari laporan keuangan yang overstatement terlalu optimis atau berlebihan,

sehingga keputusan stakeholder yang mendasarkan pada informasi tersebut juga

13

akan terlalu optimis. Akibatnya, stakeholder kurang tepat dalam pengambilan

keputusan dan dapat menderita kerugian. Sedangkan, ancaman tuntutan hukum atau

investigasi formal yang lebih besar juga telah mendorong manajemen untuk

menyajikan laporan keuangan lebih konservatif (Huijgen dan Lubberink, 2005).

Adanya asimetri dapat meningkatkan biaya litigasi ekspektasian. Masyarakat dapat

melakukan tuntutan hukum (class action lawsuit) mengikuti penurunan harga saham

yang substansial (Jones dan Weingram, 1996). Dengan demikian, konservatisma

akuntansi dapat digunakan untuk menghindari kos litigasi yang tidak simetris akibat

adanya litigasi oleh pihak lain.

Selain itu, beban pajak juga dapat mendorong manajemen untuk menyajikan

laporan keuangan yang konservatif. Konservatisma dapat digunakan untuk

menurunkan dan menunda beban pajak. Pengakuan biaya yang lebih cepat dan

pengakuan pendapatan yang lebih lambat menghasilkan laba yang lebih kecil,

sehingga pajak penghasilan perusahaan menjadi lebih rendah. Dukungan terhadap

alasan perpajakan dalam penyajian laporan keuangan dilaporkan Basu (1997), Watts

(2003b), dan Qiang (2007). Selain itu, konservatisma juga memungkinkan

manajemen untuk melakukan pembebanan pajak (Shackelford and Shevlin, 2001).

Dengan demikian, motif pelaporan keuangan yang konservatif dapat beragam antar

perusahaan, namun masih sejalan dengan penjelasan yang disampaikan Watts

(2003ab).

Uraian di atas mengindikasikan bahwa konservatisma masih tetap digunakan

dan dibutuhkan pasca konvergensi. Hal itu tidak lepas dari fungsi dan peranan

konservatisma yang begitu besar. Namun pasca konvergensi, professional judgment

lebih banyak digunakan dalam pelaporan keuangan, sehingga laporan keuangan

14

yang disajikan bisa menjadi lebih konservatif atau sebaliknya lebih agresif. Oleh

karena itu, konservatisma akuntansi masih sangat dibutuhkan dalam pelaporan

keuangan. Hal itu tidak lepas dari konservatisma akuntansi yang mampu memainkan

peran penting dalam berbagai konflik keagenan. Konservatisma akuntansi dapat

membuat masalah pengontrakan menjadi lebih efisien, mampu untuk menghindari

masalah litigasi, serta dapat digunakan untuk menurunkan beban pajak yang besar

(Watts, 2003ab; Qiang, 2007).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pertanyaan penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut.

1. Apakah pembingkaian kontrak insentif (bonus) dalam bentuk gain dan loss

mempengaruhi CFO untuk menggunakan kebijakan akuntansi tertentu ketika

menyajikan laporan keuangan?

2. Apakah tingkat litigasi berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan akuntansi

yang dilakukan oleh CFO ketika menyajikan laporan keuangan?

3. Apakah tingkat beban pajak mempengaruhi CFO untuk mengambil kebijakan

akuntansi tertentu ketika menyajikan laporan keuangan?

4. Apakah interaksi antara kontrak insentif (bonus) dengan tingkat litigasi

mempengaruhi CFO untuk mengambil kebijakan akuntansi tertentu?

5. Apakah interaksi antara pembingkaian kontrak insentif (bonus) dengan tingkat

beban pajak mempengaruhi CFO untuk mengambil kebijakan akuntansi tertentu?

6. Apakah interaksi antara tingkat litigasi dengan tingkat beban pajak

mempengaruhi CFO untuk membuat kebijakan akuntansi tertentu?

15

C. MOTIVASI PENELITIAN

Ada beberapa hal yang memotivasi peneliti dalam melakukan penelitian ini, yaitu

pertama, adanya kritik yang tajam terhadap penggunaan prinsip konservatisma dan

konvergensi IFRS. Masih digunakannya prudence/konservatisma dalam IFRS dan

PSAK mengindikasikan bahwa konservatisma akuntansi masih dibutuhkan.

Meskipun prinsip yang digunakan IFRS (fair value) dalam pengukuran aset

perusahaan dianggap dapat menutupi kelemahan konservatisma, namun penggunaan

fair value tidak mengurangi fungsi dan peran penting konservatisma. Dengan

menggunakan fair value, IFRS dianggap mampu memberikan informasi yang lebih

baik terhadap kondisi ekonomi perusahaan, meskipun kenyataannya prinsip

konservatisma akuntansi juga masih sangat dibutuhkan. Kemampuan prinsip

konservatisma dalam menghambat sifat oportunistik manajemen (melalui pemberian

bonus) dan oportunistik shareholder (melalui pembayaran dividen yang berlebihan)

sulit digantikan oleh prinsip lainnya.

Selain itu, penggunaan professional judgment yang lebih besar, penilaian aset

dan laba berbasis fair value serta penggunaan principle-based dalam pelaporan

keuangan dinilai banyak mengandung kelemahan dan rentan dengan masalah lain

yang lebih besar, misalnya meningkatnya moral hazard manajemen dalam pelaporan

keuangan. Penulis menduga bahwa konvergensi IFRS memungkinkan timbulnya

masalah baru dalam aktivitas bisnis perusahaan, meskipun tidak dipungkiri bahwa

konvergensi IFRS memberikan manfaat bagi para penggunanya. Selain itu, klaim

konvergensi IFRS yang dapat mengatasi masalah penilaian aset dan laba yang lebih

rendah akan memberikan bukti mengenai fungsi dan peran penting konservatisma.

16

Kedua, adanya perbedaan hasil penelitian sebelumnya (Gigler et al., 2009)

terhadap penjelasan konservatisma laporan keuangan, khususnya dalam masalah

pengontrakan. Gigler et al. melaporkan bahwa konservatisma tidak membuat

pengontrakan menjadi efisien yang bertentangan dengan penelitian sebelumnya

(Watts, 2003ab; Qiang, 2004; Zhang, 2008; Ahmed dan Duellman, 2002). Peneliti

menduga bahwa penggunaan definisi dan pengukuran konservatisma akuntansi yang

berbeda menjadi penyebab hasil yang berbeda. Beberapa peneliti mengukur

konservatisma akuntansi dengan basis pasar, sedangkan penelitian yang lain

menggunakan basis data perusahaan bahkan negara. Sehingga, perbedaan unit

analisis yang menjadi basis penelitian dapat memicu perbedaan hasil. Penelitian ini

diharapkan dapat memberikan bukti yang lebih baik bahwa terlepas dari adanya

perbedaan tersebut, masalah psikologis penyaji laporan keuangan merupakan faktor

penting dalam pelaporan keuangan.

Ketiga, memperluas penelitian sebelumnya (Qiang, 2007; Watts, 2003).

Penelitian ini memasukkan unsur psikologis melalui penggunaan unit analisis

individu dalam pelaporan keuangan. Pengujian pengaruh psikologis dalam pelaporan

keuangan tersebut dilakukan dengan menggunakan setting eksperimen. Oleh karena

itu, penelitian atau eksperimen ini menggunakan CFO sebagai subjek, yang disulih

dengan mahasiswa bisnis, ketika membuat kebijakan akuntansi. Hal itu dikarenakan

CFO dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap pelaporan

keuangan perusahaan. Keunikan yang dimiliki setiap individu memungkinkan

individu tersebut membuat keputusan yang berbeda. Namun, teori prospek

menempatkan keunikan individu tersebut ke dalam domain gain dan loss ketika

17

mengambil keputusan. Dengan menggunakan teori prospek maka faktor psikologis

pembuat keputusan dalam penelitian dapat diadopsi.

Keempat, peneliti termotivasi untuk menguji keandalan teori prospek, yang

telah teruji dalam pengambilan keputusan di berbagai bidang, dalam keputusan

pelaporan keuangan. Sebagai salah satu teori yang tidak rasional (irrational theory),

teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai persoalan dalam pengambilan

keputusan. Misalnya, dalam keputusan politik, teori ini digunakan ntuk mengetahui

bagaimana keputusan yang diambil oleh para politikus, keputusan hukum oleh para

praktisi hukum, kedokteran dan sebagainya. Sedangkan dalam pelaporan keuangan,

pengujian teori prospek selama ini banyak menggunakan data sekunder (archival)

untuk menjelaskan keputusan pelaporan keuangan manajemen. Padahal, teori ini

lebih bersifat psikologis sehingga penelitian lebih tepat bila menggunakan unsur

psikologis untuk menjelaskan keputusan. Penelitian sebelumnya mengenai

pelaporan keuangan dilaporkan Klersey (2010), Johnstone (2000), namun

menggunakan subyek auditor.

D. KONTRIBUSI PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, antara lain, pertama,

menjawab kritik terhadap prinsip konservatisma akuntansi. Meskipun IFRS dan

PSAK pasca konvergensi mengklaim bahwa penggunaan fair value dalam

pengukuran aset dan laba perusahaan dapat mengurangi bias ke bawah dari yang

dihasilkan prinsip konservatisma akuntansi, namun konservatisma akuntansi pasca

konvergensi masih tetap digunakan dalam PSAK dengan bentuk yang berbeda.

Konservatisma banyak dihasilkan dari judgment manajemen. Hal itu tidak lepas dari

18

penyediaan professional judgment yang semakin besar pasca konvergensi karena

adanya perubahan prinsip dari rule-based ke principle-based.

Kedua, kontribusi literatur. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih terhadap literatur pengambilan keputusan, khususnya yang berkaitan

dengan keputusan pelaporan keuangan. Dengan memasukkan unsur psikologis

dalam pelaporan keuangan, maka hasil penelitian ini memberikan berkontribusi

literatur yang cukup signifikan. Melalui uji empiris pengaruh kontrak insentif,

tingkat litigasi dan tingkat beban pajak terhadap keputusan pemilihan metode

akuntansi dalam penyajian laporan keuangan, nampak pengaruh psikologis

pengambil keputusan sulit dilepaskan dalam pelaporan keuangannya. Penelitian ini

juga menambah literatur mengenai fungsi dan peran penting konservatisma

akuntansi dalam laporan keuangan.

Ketiga, kontribusi penelitian ini diharapkan berasal dari metodologi yang

digunakan. Dengan menggunakan setting eksperimental, penelitian ini menguji

pengaruh variabel bebas pembingkaian kontrak, tingkat litigasi dan tingkat beban

pajak terhadap keputusan CFO ketika menyajikan laporan keuangan dengan

menggunakan metode yang terstruktur, sehingga validitas internal dapat terjaga

dengan baik. Penggunaan metode ini diharapkan dapat memberikan penjelasan yang

akurat mengenai pengaruh setiap variabel bebas terhadap variabel terikatnya, yang

selanjutnya dapat dipakai untuk melakukan prediksi. Dengan kata lain, keputusan

pemilihan metode akuntansi CFO dapat dijelaskan dan diprediksi melalui cara

pengontrakannya, tingkat litigasi dan tingkat beban pajak dengan menggunakan teori

prospek. Penggunaan eksperimen dan teori prospek dalam penelitian ini berfungsi

untuk menangkap pengaruh psikologis CFO ketika mengambil keputusan.

19

Keempat, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menyediakan bukti

mengenai keandalan teori prospek dalam menjelaskan keputusan pelaporan

keuangan yang diambil oleh CFO. Beberapa penelitian sebelumnya menggunakan

data sekunder untuk menguji teori prospek dalam penyajian laporan keuangan

(Burgstahler dan Dichev, 1997; Degeorge, 1999). Literatur yang melaporkan hasil

pengujian terhadap teori prospek yang memasukkan unsur psikologis dalam

pelaporan keuangan masih sangat terbatas, sehingga hasil penelitian ini diharapkan

mampu memberikan insight yang lebih besar tentang teori prospek.

Terakhir, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

praktik/kebijakan. Kontribusi praktis terkait dengan bagaimana hasil penelitian ini

dapat digunakan oleh berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan untuk

mengambil keputusan. Bagi regulator, PSAK konvergensian yang memberikan

peluang besar kepada manajemen untuk menggunakan professional judgment dalam

pelaporan keuangan membuat para penyaji laporan keuangan dapat memilih metode

dan kebijakan akuntansi yang ekstrim konservatif atau ekstrim tidak konservatif

(agresif). Akibatnya, informasi yang disajikan mungkin tidak mencerminkan kondisi

keuangan perusahaan yang sebenarnya, sehingga mempengaruhi ketepatan

stakeholder dalam mengambil keputusan bisnisnya. Berdasarkan hasil penelitian ini,

diharapakan investor mengetahui berbagai faktor yang dapat mempengaruhi

manajemen dalam membuat kebijakan akuntansinya, baik faktor ekonomi maupun

faktor psikologis. Faktor psikologis terkait dengan format penyampaian kontrak

insentifnya, tingkat litigasi yang dialami, serta tingkat beban pajak yang besar.

Kondisi tersebut memungkinkan manajemen untuk mengambil kebijakan akuntansi

tertentu.

20

E. TUJUAN PENELITIAN

Ada beberapa tujuan yang akan dicapai dalam melakukan penelitian ini, antara lain

sebagai berikut.

1. Menguji pengaruh pembingkaian kontrak insentif (bonus) terhadap pengambilan

kebijakan akuntansi oleh CFO ketika menyajikan laporan keuangan.

2. Menguji pengaruh tingkat litigasi terhadap pengambilan kebijakan akuntansi

oleh CFO ketika penyajian laporan keuangan.

3. Menguji pengaruh tingkat beban pajak terhadap kebijakan akuntansi yang

diambil oleh CFO ketika menyajikan laporan keuangan.

4. Menguji pengaruh interaksi antara kontrak insentif (bonus) dengan tingkat

litigasi terhadap pengambilan kebijakan akuntansi CFO ketika menyajikan

laporan keuangan.

5. Menguji pengaruh interaksi antara pembingkaian kontrak insentif (bonus)

dengan tingkat beban beban pajak terhadap pengambilan kebijakan akuntansi

CFO ketika menyajikan laporan keuangan.

6. Menguji pengaruh interaksi antara tingkat litigasi dengan tingkat beban pajak

terhadap pemilihan metode akuntansi yang dilakukan CFO ketika menyajikan

laporan keuangan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan penelitian ini meliputi beberapa bagian antara lain 1)

Pendahuluan; 2) Landasan Teori; 3) Metoda Penelitian; 4) Hasil Penelitian dan

Pembahasan; dan 5) Simpulan, Implikasi, Keterbatasan dan Saran.

21

Bagian pendahuluan menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,

motivasi, dan tujuan dilakukannya penelitian ini. Dengan mengambil fenomena

konvergensi IFRS dan kritik terhadap prinsip konservatisma akuntansi, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan insight bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam

pelaporan keuangan perusahaan.

Bagian kedua terkait dengan teori yang akan digunakan atau diuji dalam

ranah akuntansi. Penelitian ini menggunakan teori prospek yang merupakan salah

satu teori keperilakukan yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh psikologis

penyaji laporan keuangan. Dengan digunakannya teori keperilakuan ini diharapkan

dapat memberikan pengetahuan bagi pembaca mengenai pentingnya faktor

psikologis dalam pengambilan keputusan.

Bagian ketiga menjelaskan metoda yang digunakan dalam penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan eksperimen dengan desain faktorial untuk

mengumpulkan datanya. Setelah data terkumpul, penulis menguji dan menganalisis

hasilnya dengan menggunakan Anova.

Bagian keempat terkait dengan hasil penelitian dan pembahasan. Bagian ini

akan digunakan untuk menguraikan hasil penelitian yang diperoleh dengan

menggunakan Anova. Hasil penelitian dianalisis dan dilanjutkan dengan membahas

hasilnya sesuai dengan teori yang digunakan.

Bagian terakhir yaitu kelima menyajikan simpulan dari penelitian ini. Selain

itu, akan diuraikan pula mengenai keterbatasan-keterbatasan dan saran untuk

penelitian selanjutnya. Tidak lupa, implikasi hasil penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan pelaporan keuangan

perusahaan.