BAB I PENDAHULUAN - · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008...

101
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Prinsip tersebut telah disepakati para pendiri bangsa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, antara lain menyatakan bahwa ‘’kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ’’. 1 Kedaulatan rakyat selanjutnya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar" 2 . Pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, "kedaulatan berada di tangan rakyat" dimaknai bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan 3 . Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum (Pemilu) secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil- 1 Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2 Ibid 3 Penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan

kedaulatan rakyat. Prinsip tersebut telah disepakati para pendiri bangsa

menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Naskah Pembukaan

Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea

keempat, antara lain menyatakan bahwa ‘’kemerdekaan kebangsaan Indonesia

disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu

susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat’’.1

Kedaulatan rakyat selanjutnya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar"2. Pada

Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, "kedaulatan berada di tangan rakyat" dimaknai bahwa rakyat memiliki

kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis

memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan

melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk

mengawasi jalannya pemerintahan3.

Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum

(Pemilu) secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-

1 Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2 Ibid

3 Penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Page 2: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

2

wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan

aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua

pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi

masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk

membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.

Pada Pasal 22E ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dinyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diselenggarakan berlandaskan asas

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip

keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin

memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan

aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah4.

Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk

memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya,

tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin

kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa

diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan,

pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas

menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun.

Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh

negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam

memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui

oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan

tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini,

penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu,

pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan

4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, op cit

Page 3: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

3

bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih

dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari

kecurangan pihak manapun5.

Masyarakat pemilih dapat melakukan pilihan terhadap calon pemimpinya dalam

DPR dan DPRD yang dalam proses pemilu terdaftar dalam calon yang diajukan

melalui partai politik. Partai politik dimaknai sebagai saluran untuk

memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan

rekrutmen pemimpin baik untuk tingkat nasional maupun daerah, serta untuk

rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara dalam negara yang

bersifar majemuk dan berwawasan kebangsaan.

Sementara, pemilihan DPD dipilih dari perseorangan yang memenuhi

persyaratan dalam pemilu bersamaan dengan pemilu untuk memilih anggota

DPR dan DPRD. Hal ini, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman

daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 C UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

UU Nomor 10 Tahun 2008 juga mengamanatkan agar

penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas

dari waktu ke waktu. Tujuannya, agar tercipta derajat kompetisi yang sehat,

partisipatif , dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta

memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.

Dalam rangka memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah

mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan

menguatkan pula sistem pemerintahan presidensiil, undang-undang

tersebut juga mengatur tentang penguatan persyaratan peserta pemilu, kriteria

penyusunan daerah pemilihan, sistem pemilu proporsional dengan daftar calon

terbuka terbatas, dan penetapan calon terpi l ih, serta penyelesaian

sengketa pemilu.

5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, op cit

Page 4: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

4

Pada tataran pelaksanaan, Pemilu DPR, DPD, dan DPRD pada 2009 ternyata

masih memunculkan sejumlah kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut,

antara lain terjadi pada:

1) Lemahnya legislasi dan regulasi pemilu

Kelemahan pada legislasi dan regulasi menyebabkan sejumlah ketentuan

yang memunculkan penafsiran berbeda dalam pelaksanaanya. Di samping

permasalahan teknis pelaksanaan yang memunculkan tafsir norma secara

berbeda, juga kelemahan seperti terancamnya hak pilih masyarakat yang

tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan sistem pemilu

proporsional terbuka terbatas (dengan ketentuan Bilangan Pembagi Pemilih

(BPP) 30%) menjadi terbuka penuh, perbaikan pada hak pemenuhan warga

negara untuk memilih, dan sistem penghitungan suara pada tahap kedua dan

tahap ketiga, menunjukan regulasi penyelenggaraan pemilu yang belum

sempurna.

2) Kelemahan pada penyelenggaraan pemilu

Kelemahan ini tercermin dari munculnya berbagai permasalahan pada:

pengaturan jangka waktu (time schedule) tahapan penyelenggaraan Pemilu,

verifikasi peserta Pemilu, verifikasi daftar calon legislative, tahap pemungutan

suara, tahap penghitungan suara, dan penetapan calon legislatif terpilih.

Pada tujuan untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana untuk

menguatkan pula sistem pemerintahan presidensiil, ternyata belum

menunjukan perkembangan yang signifikan. Perkembangan yang terjadi

adalah semakin sederhananya partai politik yang memiliki wakil di DPR

akibat diberlakukannya ambang batas kursi di DPR sebesar 2,5%. Namun,

peserta pemilu masih belum berubah signifikan disbanding pada pemilu

sebelumnya. Peserta pemilu tahun 2004 sebanyak 24 partai politik, pada

pemilu tahun 2009 jumlahnya naik menjadi 34 partai politik.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

5

Karena itu, berdasarkan perintah UU Nomor 10 Tahun 2008 dan evaluasi

penyelenggaraan pemilu DPR, DPD, dan DPRD, maka perlu perubahan

terhadap UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan

DPRD untuk penyelenggaran pemilu pada 2014. Perubahan ini diperlukan

sebagai penyempurnaan terus menerus, meski UU sebelumnya juga merupakan

penyempurnaan atau penggantian dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diubah dengan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2006 tentang

Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang.

B. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud penyusunan naskah akademis Rancangan Undang-Undang (RUU)

Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan

DPRD ini adalah untuk memberikan landasan konseptual dan pokok-pokok

pemikiran yang diperlukan untuk melakukan penyempurnaan terhadap undang-

undang tersebut.

Tujuan dari naskah akademis ini adalah tersedianya data-data dan bahan

yang dapat digunakan sebagai sumber landasan penyusunan subtansi RUU

Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan

DPRD.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

6

C. LANDASAN PENYEMPURNAAN

1. Landasan Filosofis

Pembentukan UU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum DPR, DPD, dan DPRD diperlukan untuk penyempurnaan sistem

pemilu DPR, DPRD, dan DPD sebagai aktualisasi dari penyelenggaraan

kehidupan bernegara dan pemerintahan yang berdasarkan pada prinsip-

prinsip demokrasi.

Perubahan dan penyempurnaan sistem pemilu merupakan keniscayaan

sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan

menjalankan fungsi keseimbangan kekuasaan dengan pemerintah (check

and balances) sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD. Wakil-wakil rakyat

dipilih karena benar-benar mewakili aspirasi rakyat dengan penataan sistem

dan dan penyelenggaraan pemilu yang semakin baik dan sempurna.

Penyempurnaan UU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR,

DPD, dan DPRD dilakukan untuk lebih menjamin terlaksananya kesetaraan

satu orang, satu pilihan, dan satu nilai (one person one vote one value) dalam

proses pemilihan DPR, DPD, dan DPRD. Setiap warga negara yang telah

memiliki hak pilih dan hak dipilih dapat melaksanakan haknya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Landasan Sosiologis

Pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan

adil merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan wakil-wakil rakyat yang

berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi-fungsi

kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan pemilu yang baik dan

berkualitas akan meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan

keterwakilan yang makin kuat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

7

Penyempurnaan penyelenggaraan dan sistem pemilu DPR, DPD, dan DPRD

diperlukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dan kekurangan yang

ada pada pemilu sebelumnya. Perbaikan diperlukan dalam penyelenggaraan

pemilu, mulai dari penataan jangka waktu tahapan Pemilu, verifikasi peserta

Pemilu, verifikasi daftar calon legislatif, tahap pemungutan suara, tahap

penghitungan suara, dan penetapan calon legislatif terpilih.

Penyelenggaraan pemilu yang berkualitas diperlukan untuk mewujudkan

partisipasi masyarakat secara tepat dan memiliki derajat keterwakilan yang

kuat melalui wakil-wakil mereka yang duduk di dalam kelembagaan DPR,

DPD, dan DPRD. Pada akhirnya, masyarakat dapat merasakan manfaat atas

sistem keterwakilan yang diwujudkan melalui pemilu dalam penyelenggaraan

pengelolaan negara dan pemerintahan.

3. Landasan Yuridis

Pemilu, baik pemilu Presiden, DPR, DPD, dan DPRD merupakan merupakan

perwujudan dari amanat yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".

Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilu secara

langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan

menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik

rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-

masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk

membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.

Secara yuridis, berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

pemilu dilaksanakan untuk menata sistem kelembagaan negara berkaitan

pula dengan Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang MPR, Pasal 18 ayat (3)

yang mengatur tentang DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

daerah, Pasal 19 ayat (2) yang mengatur tentang susunan DPR, Pasal 22C ayat

Page 8: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

8

(4) yang mengatur tentang susunan dan kedudukan DPD, dan Pasal 22E

tentang pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 22E ayat (6) yang menyatakan

bahwa pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Penyelenggaran pemilu selama ini diatur dalam undang-undang yang diubah

atau diganti setiap kali akan melaksanakan pemilu, baik pemilu Presiden,

DPR, DPD, DPRD, maupun pemilu kepala daerah. Pada penyelenggaraan

pemilu tahun 2009 lalu, penyelenggaran pemilu diatur dalam undang-undang

paket politik:

1) UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu;

2) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;

3) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD; dan

4) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.

Meski pengaturan pemilu DPR, DPD, dan DPRD dalam undang-undang

tersendiri, namun penyelenggaraanya tidak bisa dilepaskan dari paket

undang-undang politik tersebut. Di samping itu, dalam penyelenggaraan

pemilu DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2009 lalu, pengaturan secara

teknis juga mengacu pada ketentuan yang diputuskan oleh Mahkamah

Konstitusi, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi atas Nomor Perkara 22

dan 24/PUU-VI/2008 tentang Ketentuan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun

2008, dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 74-80-94-

59-67/PHPU.C-VII/2009 tentang Permohonan Lima Partai Politik. Selain itu,

landasan teknis yuridisnya juga mengacu pada sejumlah keputusan dan

ketetapan yang wewenangnya diberikan undang-undang kepada Komisi

Pemilu (KPU) sebagai penyelenggara pemilu.

Untuk penyelenggaran pemilu pada tahun 2014 mendatang diperlukan

penyempurnaan,baik berbentuk perubahan atau penggantian terhadap

Page 9: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

9

undang-undang paket politik, terutama UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilu; UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik; dan

UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dalam

hal pemilu DPR, DPD, dan DPRD, penyempurnaan perlu dilakukan terhadap

UU Nomor 10 Tahun 2008. Penyempurnaan ini diperlukan untuk mewujudkan

pemilu yang semakin berkualitas dari waktu ke waktu.

D. METODE

Penyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

deskriptif analitis terhadap fakta lapangan, sumber hokum material dan sumber

hokum formal.

Sumber hukum material mengenai RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008

tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD mengacu pada hasil inventarisasi

terhadap subtansi yang berkaitan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dari

hasil inventarisasi tersebut akan dikaji masalah subtansi dan rumusan norma

yang akan digunakan sebagai landasan penyusunan RUU Perubahan Nomor 10

Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Sumber hukum formal yang digunakan dalam penyusunan naskah akademis

RUU ini adalah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, terutama undang-undang paket politik lainnya.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

10

E. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang permasalahan pemilu, maksud dan

tujuan penyusunan naskah akademik, landasan penyempurnaan

undang-undang, metode pembahasan, dan sistematika

pembahasan yang digunakan dalam naskah akademik.

BAB II KAJIAN SISTEM PEMILU

Berisi tentang kajian mengenai sistem pemilu proporsional dan

variannya, sistem pemilu distrik, sistem pemilu yang diterapkan di

Indonesia, dan sistem pemilu berdasarkan UU No. 10 Tahun

2008.

BAB III EVALUASI PEMILU 2009

Berisi tentang evaluasi mengenai permasalahan pemilu dari

aspek sistem, kelemahan dari aspek legislasi dan regulasi,

kelemahan dari aspek penyelenggaraan dan kelemahan dari

aspek putusan Mahkamah Konstitusi.

BAB IV POKOK KETENTUAN DAN ARAH PERUBAHAN

Berisi tentang arah perubahan dan pokok-pokok ketentuan yang

diatur dalam rancangan undang-undang.

BAB V PENUTUP

Berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi dari penyusunan

naskah akademik rancangan undang-undang ini.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

11

BAB II

KAJIAN SISTEM PEMILU

A. SISTEM PEMILU

Sistem Pemilu menurut Lijphart, diartikan sebagai satu kumpulan metode atau

cara warga masyarakat memilih para wakil mereka6. Sistem pemilu, dilihat dari

kedudukan individu rakyat maka terdapat dua sistem, yakni sistem pemilu

mekanis dan sistem pemilu organis. Sistem pemilu mekanis melihat bahwa

rakyat terdiri atas individu. Sedangkan pada sistem pemilu organis, rakyat

ditempatkan sebagai jumlah kelompok individu atau dengan perkataan lain

rakyat dibagi dalam organ-organ kelompok individu. Kelompok ini didasarkan

misalnya geneologis, lapisan sosial, organisasi kelembagaan, dan sebagainya.

Dengan demikian pada sistem pemilu organis hak suara terletak pada kelompok.

Sistem pemilu mekanis dilaksanakan dengan tiga cara yaitu sistem semi

proporsional, sistem representasi proporsional dan sistem mayoritas-pluralitas7.

1. Sistem Pemilu Semi Proporsional

Sistem pemilu semi proporsional8 merupakan sistem yang mengkonversi

suara menjadi kursi dengan hasil yang berada di antara proporsionalitas

sistem perwakilan proporsional dengan mayoritarian dari sistem mayoritas-

pluralitas.

6 Arend Lijphart, Electoral Systems, dalam Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju

Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 255. 7 Sistem Pemilu, ACE PROJECT sebuah kerjasama IDEA, United Nations, dan IFES

8 Ben Reilly and Andrew Reynolds, Sistem Pemilu, IDEA, International Stockhlom, United

Nations New York, dan IFES Washington DC, 2001 hal. 84.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

12

Terdapat tiga macam sistem pemilu dalam kelompok ini yang digunakan

untuk pemilihan para anggota legislatif yaitu9 Single Non-Transferable Vote

(SNTV), sistem paralel (atau campuran), dan Limited Vote (LV).

a. Sistem Single Non-Transferable Vote (SNTV)

Dalam sistem SNTV ini, setiap pemilih memilih satu suara, tetapi ada

beberapa kursi yang harus diisi dalam distrik tersebut dan calon anggota

legislative yang memperoleh suara terbanyak dapat mengisi kursi

tersebut.

b. Sistem Paralel

Sistem Paralel menggunakan dua sistem utama, baik daftar-daftar

representasi proporsional maupun distrik-distrik mayoritas-pluralitas.

Dalam sistem ini representasi proporsional daftar tidak memberikan

imbangan atas setiap disproporsionalitas dalam distrik mayoritarian.

c. Sistem Limited Vote

Sistem LV terletak di antara SNTV dan Block Vote (varian dalam sistem

pluralitas-mayoritas), karena dalam sistem ini ada distrik wakil mejemuk,

dan para calon anggota legislative yang menang semata-mata adalah

mereka yang mengumpulkan paling banyak suara. Para pemilih dapat

memberikan suara yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah kursi yang

harus diisi, tetapi lebih dari satu suara.

2. Sistem Pemilu Representasi Proporsional

Sistem pemilu proporsional ialah sistem dimana prosentase kursi di dewan

perwakilan rakyat yang akan dibagikan kepada tiap-tiap partai politik,

9 Andrew Reynolds, Semi Proporsional dalam “Sistem Pemilu”, op. cit. hal 94.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

13

disesuaikan dengan jumlah prosentase suara yang diperoleh tiap-tiap partai

politik itu.

Sistem proporsional ini dapat dilakukan dengan bervariasi, misalnya dengan

hare system dan list system. Hare system, di mana pemilih diberi

kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua dan seterusnya dari distrik

pemilih yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk

pemilih ditentukan dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan

apabila ada sisa suara, maka kelebihan suara ini dapat dipindahkan kepada

calon berikutnya, dan seterusnya. List system, di mana pemilih diminta

memilih di antara daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama

calon wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu.

Tujuan awal sistem proportional reprecentation adalah untuk menghasilkan

lembaga perwakilan di mana proporsi kursi-kursi yang dimenangkan oleh

tiap-tiap partai kurang lebih merefleksikan proporsi jumlah suara yang

diperoleh tiap-tiap partai. Kandidat-kandidat dipilih dari distrik-distrik dengan

wakil majemuk. Negara secara keseluruhan mungkin merupakan satu daerah

pemilihan tempat para wakil dipilih, atau mungkin ada beberapa daerah

pemilihan kabupaten/kota atau regional asal para wakil dipilih. Semakin besar

jumlah daerah pemilihan yang digunakan, semakin kecil kemungkinan

komposisi lembaga perwakilan akan mencerminkan proporsi suara yang

dimenangkan oleh tiap partai.

Keuntungan sistem proporsional :

1) Menjamin eksistensi partai-partai kecil.

2) Dianggap demokratis dan representatif, karena jumlah wakil partai sesuai

dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam pemilu secara nasional.

Sistem ini dianggap lebih mencerminkan asas keadilan, karena semua

Page 14: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

14

golongan dalam masyarakat termasuk yang paling minoritas sekalipun,

mempunyai peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen10.

3) Menjamin suara rakyat tidak terbuang dengan sia-sia.

Kerugian sistem proporsional :

1) Hubungan antara rakyat dengan wakilnya kurang akrab, karena rakyat

hanya memilih tanda gambar. Siapa orangnya, rakyat kurang tahu dengan

pasti.

2) Sistem ini cenderung menggeser asas kedaulatan rakyat menjadi

kedaulatan partai politik. Partai politik yang menentukan calon dan partai

pula yang berhak me-recall-nya kapan saja.

3) Sistem ini akan memberikan peluang bagi radikalisasi partai politik,

karena masing-masing partai politik akan melindungi kepentingannya

dengan kuat. Akibatnya, akan sulit mempertahankan sebuah koalisi

sebab partai yang kecil memiliki kemampuan untuk menteror partai besar

(blackmailing power) dengan mengancam mundur dari koalisi sehingga

kabinet setiap waktu terancam bubar.

4) Kualitas calon sukar dikontrol pemilih dan rasa tanggung jawab terhadap

yang diwakili menjadi sangat abstrak11.

Sistem proporsional ini mempermudah terjadinya fragmentasi antar-partai

politik. Jika timbul konflik, anggota partai cenderung mendirikan partai baru,

karena terdapat peluang partai baru itu memperoleh kursi melalui pemilu.

Beberapa varian dari sistem proporsional ini antara lain List Proportional

Reprecentation, Mixed Member Proportional (MMP) dan Single Transferable

Vote (STV).

10

Makmur Keliat dkk (Eds), Selamatkan Pemilu Agar Rakyat Tak Ditipu Lagi, The Ridep Institute, Jakarta, 2001, hal, 74-75

11 Ibid, hal. 74-75.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

15

a. Representasi Proporsional Daftar (RP Daftar)12

Sejumlah bentuk RP Daftar diterapkan di sekitar 70 negara. Semua

bentuk RP memiliki karakteristik umum sebagai berikut:

(1) Partai memberikan daftar kandidat yang sama jumlahnya dengan kursi

yang tersedia di daerah pemilihan.

(2) Para pemilih memilih untuk satu partai. Jumlah kursi yang diperoleh

tiaptiap partai ditentukan oleh dan secara langsung berkaitan dengan

proporsi jumlah suara yang diperolehnya di daerah pemilihan yang

bersangkutan.

(3) Jumlah kursi yang diperoleh tiap-tiap partai dapat ditentukan dengan

menggunakan rumus yang dapat berupa metode ‘sisa terbanyak’

(largestremainder) atau metode ‘rata-rata tertinggi’ (highest average).

Setiap cara yang berbeda dalam penghitungan suara ini menimbulkan

hasil yang sedikit berbeda – dalam hal jumlah wakil yang terpilih dari

tiap-tiap partai politik.

(4) Mungkin ada persyaratan yang harus dipenuhi partai, seperti ambang

batas (thresholds) agar dapat diikutsertakan dalam pembagian kursi –

misalnya, memperoleh presentase suara minimal tertentu.

(5) Varian-varian dari RP Daftar dapat dibedakan berdasarkan pemilihan

kandidat yang terpilih untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh tiap-

tiap partai.

Variasi dari RP Daftar ini, antara lain:

(1) Daftar Tertutup

Merupakan bentuk yang paling banyak digunakan di dunia ini. Kursi

yang dimenangkan oleh partai politik diisi dengan kandidat-kandidat

sesuai dengan ranking mereka dalam daftar kandidat yang ditentukan

oleh partai.

12

Andrew Reynolds, Representasi Proporsional Daftar, dalam “Sistem Pemilu”, op. cit., hal 100.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

16

Biasanya, hanya nama partai yang dimunculkan dalam surat suara,

meskipun urutan kandidat-kandidat dalam daftar partai biasanya

diumumkan dan biasanya tidak dapat diubah setelah tanggal nominasi

tertentu. Oleh karena itu, partai politik memiliki kekuasaan yang cukup

besar dalam penentuan kandidat partai yang terpilih untuk mengisi

kursikursi yang tersedia.

(2) Daftar Terbuka

Pemilih memilih partai politik yang mereka sukai dan dalam daftar

partai politik tersebut, juga memilih kandidat yang mereka inginkan

untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut.

Biasanya, jumlah kandidat dalam daftar partai yang ditampilkan dalam

surat suara adalah dua kali jumlah kursi yang tersedia. Para pemilih

secara umum dapat memilih kandidat-kandidat dalam daftar kandidat

suatu partai sebanyak kursi yang tersedia. Memilih kandidat dari

partai-partai yang berbeda (ticket splitting) biasanya tidak

diperbolehkan.

(3) Daftar Bebas

Tiap-tiap partai politik menentukan daftar kandidatnya, dengan partai

dan tiap-tiap kandidat ditampilkan secara terpisah dalam surat suara.

Pemilih dapat memilih dari daftar partai sebagaimana adanya, atau

mencoret atau mengulangi nama-nama, membagi pilihan mereka

diantara daftar-daftar partai atau memilih nama-nama dari daftar

manapun dengan membuat daftar mereka sendiri di dalam sebuah

surat suara kosong. Contoh dari sistem ini diterapkan di Swiss.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

17

Beberapa kelebihan sistem RP Daftar:

(1) RP Daftar merupakan sistem yang inklusif, memungkinkan badan

legislatif terdiri dari wakil rakyat yang berasal dari berbagai macam

kekuatan politik, termasuk kelompok minoritas dalam masyarakat.

(2) Cukup akurat dalam menterjemahkan proporsi suara yang

dimenangkan menjadi persentase wakil yang terpilih.

(3) Pada Sistem RP Daftar, hanya sedikit pemilih yang tidak terwakili

suara mereka yang terbuang. Oleh karena itu, jumlah pemilih lebih

besar.

(4) RP Daftar menghasilkan keragaman dalam sistem multi partai.

(5) RP Daftar menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat, dan

membantu terpilihnya kandidat dari kelompok minoritas. Contohnya,

proporsi anggota legislatif perempuan biasanya lebih tinggi di bawah

sistem-sistem RP.

(6) RP Daftar cenderung menghalangi adanya dominasi regional partai-

partai politik tertentu.

(7) Beberapa bukti empiris dari Eropa menunjukkan bahwa sistem ini

menghasilkan pemerintahan yang lebih efektif.

(8) Dalam varian sistem RP daftar tertutup, pemilih dapat memahami

dengan mudah dan secara relatif lebih mudah untuk dilaksanakan.

(9) RP Daftar menciptakan contoh yang sangat nyata mengenai sharing

kekuasaan dan kerjasama.

Beberapa kekurangan dari RP Daftar :

(1) Di bawah sistem RP Daftar, seringkali tidak ada hubungan yang kuat

antara para pemilih dengan wakilnya.

(2) Terutama dalam RP Daftar Tertutup, para pemilih tidak memiliki

pengaruh dalam menentukan wakil mereka. Hal ini dapat berakibat

pada kurangnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihnya. Dengan

demikian kekuasaan para pimpinan partai politik dalam menentukan

daftar calon legislatif sangat dominan.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

18

(3) Dalam penggunaan sistem RP Daftar, sangat jarang bagi suatu partai

untuk menjadi mayoritas dalam badan legislatif. Koalisi pemerintahan

yang dihasilkan akan membutuhkan kompromi kebijakan, dan dapat

memperlambat tindakan dan secara internal kurang stabil

dibandingkan pemerintahan yang berasal dari satu partai.

(4) RP Daftar membutuhkan sistem partai yang berfungsi dengan baik.

(5) Terutama dalam sistem RP Daftar Tertutup, kurang dapat

mengakomodasi kandidat independen.

(6) RP Daftar menghasilkan banyak partai dan dapat menimbulkan

fragmentasi sistem partai menjadi partai-partai yang hanya

mengetengahkan satu wacana tertentu atau suatu ‘kepribadian’

tertentu.

(7) Memungkinkan bertahannya partai-partai ekstrimis.

(8) Pemerintahan terpilih di bawah RP Daftar akan menjadi kurang

bertanggung jawab karena lebih sulit untuk menjatuhkan sebuah partai

dari kekuasaan. Bahkan, partai yang tidak populer dapat bertahan

dalam koalisi pemerintahan setelah pemilu.

(9) Versi yang lebih rumit (RP Daftar Terbuka dan Daftar Bebas) mungkin

lebih sulit untuk dimengerti dan dilaksanakan.

b. Mixed Member Proportional (MMP)13

Sistem mixed member proportional (MM) ini diterapkan di Jerman,

Selandia Baru, Mexico, Bolivia, Italia, dan lain-lain. Karakteristiknya:

(1) Pemilih mendapatkan dua surat suara yang berbeda, atau satu surat

suara yang terdiri dari dua sistem pemilihan: satu untuk pilihan partai

(biasanya secara nasional), yang lain untuk kandidat di daerah

pemilihan mereka (distrik lokal).

(2) Dimungkinkan adanya rasio yang berbeda-beda dari kursi representasi

proporsional terhadap kursi daerah pemilihan – biasanya, antara 25 %

- 50 % kursi merupakan kursi representasi proporsional.

13

Ibid

Page 19: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

19

(3) Bagian tiap-tiap partai dari keseluruhan jumlah kursi dalam badan

legislatif secara langsung ditentukan berdasarkan proporsi suara

pemilihan RP.

(4) Untuk menentukan anggota partai yang terpilih:

- Semua kandidat partai yang menang dari pemilihan distrik

dinyatakan terpilih. Sejumlah kandidat tambahan dari daftar partai

untuk pemilihan RP dinyatakan terpilih untuk membuat presentase

jumlah wakil sama dengan presentase suara pemilihan RP.

- Ketentuan khusus mungkin dibutuhkan, termasuk jumlah parlemen

yang fleksibel, untuk menangani situasi di mana kursi yang

dimenangkan sebuah partai dari distrik melebihi jumlah kursi yang

diperolehnya dari presentase suara RP.

Beberapa kelebihan yang signifikan dari MMP, mirip dengan sistem RP:

(1) Menghasilkan keuntungan proporsional dari sistem pemilihan RP

secara keseluruhan. Ada hubungan langsung antara suara yang

diperoleh dengan jumlah kursi yang dimenangkan, sementara juga

menjamin pemilih memperoleh representasi geografis yang

bertanggung jawab.

(2) Memungkinkan pemilih memiliki dua suara, sehingga suara dapat

dibagi antara partai/orang yang mewakili bagian yang berbeda dari

pandangan pemilih.

(3) Merupakan sistem yang inklusif, sehingga memungkinkan badan

legislatif untuk terdiri dari berbagai macam gerakan politik, termasuk

minoritas dalam masyarakat.

(4) Di bawah MMP, sedikit suara yang terbuang, sehingga jumlah pemilih

yang memilih lebih besar.

(5) Menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat untuk pemilihan,

membantu terpilihnya wakil dari kelompok minoritas dan menyediakan

perwakilan untuk partai-partai minoritas.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

20

Beberapa kekurangan sistem MMP:

(1) MMP cenderung memenghasilkan koalisi atau pemerintahan yang

lemah, sulit untuk dijatuhkan dari kekuasaan.

(2) Di bawah MMP, suara untuk perwakilan lokal kurang penting

dibandingkan suara untuk partai politik dalam menentukan alokasi

kursi secara keseluruhan. MMP dapat menimbulkan dua kelas

perwakilan dalam parlemen, masing-masing dengan agenda yang

berbeda, walaupun berasal dari partai yang sama.

(3) Pemilih sulit memahami bagaimana kursi-kursi dialokasikan dalam

MMP, dan mungkin membutuhkan usaha pendidikan pemilih yang

substansial.

(4) MMP dapat memberi peluang bagi ‘strategic voting’ di mana pemilih

dianjurkan oleh partai politik yang didukungnya untuk memilih

kandidat dari partai lain, tapi bersimpati pada partai yang mereka

dukung, untuk memaksimalkan kursi partai mereka di bawah alokasi

RP.

(5) MMP lebih rumit untuk diterapkan oleh pemilih dan administrator

pemilu, dibandingkan dengan sistem RP Daftar. Namun hasil

proporsional yang diperolehnya sama kualitasnya.

3. Sistem Pemilu Mayoritas-Pluralitas (Distrik)

Sistem mayoritas-pluralitas atau sistem distrik merupakan sistem pemilihan

yang paling tua, didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan

geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi)

mempunyai satu wakil dalam parlemen.

Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan

jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh sejumlah distrik. Calon

yang dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menang, sedangkan

suara-suara yang diberikan kepada calon-calon lain dalm distrik itu dianggap

Page 21: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

21

hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecilpun selisih itu

kekalahannya. Misalnya, dalam distrik dengan jumlah suara 100.000, ada

dua calon yakni A dan B. Calon A memperoleh 60.000 dan B 40.000, maka

calon A memperoleh kemenangan, sedangkan jumlah suara 40.000 dari

calon B dianggap hilang.

Sistem pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serikat dan India.

Dalam sistem distrik ini biasanya yang dijadikan dasar pembagian distrik

adalah jumlah penduduk14. Seperti di Amerika Serikat, luas atau besarnya

wilayah sama sekali tidak menentukan. Oleh karena itu, isu yang sering

menimbulkan pertentangan adalah penentuan distrik karena ada yang

diuntungkan berkenaan bertambahnya penduduk dan ada pula yang

dirugikan karena penduduknya berkurang.

Yang menjadi hukum dasar dalam sistem distrik adalah the winner takes all.

Artinya apabila dalam sebuah distrik ada dua calon atau lebih, seorang calon

memenangkan 50 persen suara ditambah satu (simple majority) maka dialah

yang akan memenangkan kursi didistrik tersebut. Jika tidak ada yang

memenangkan dengan simple majority katakanlah ada tiga atau empat calon,

maka harus diadakan pemilu atau run-off dari mereka yang dua terbesar

mengumpulkan suara.

Sistem distrik mempunyai beberapa aspek positif 15:

(1) Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh

penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat.

Dengan demikian, dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan

kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya akan

lebih bebas karena dalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian

seserang merupakan faktor yang penting.

14

Afan Gaffar, Politik Indonesia…, op.cit, hal. 265. 15

Miriam Budiarjo, Sistem Pemilu yang Bagaimana (Bagian 2) dalam Sistem-Sistem Pemilihan Umum: Suatu Himpunan Pemikiran, Fakultas Hukum UI, Jakarta,2000.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

22

(2) Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena

kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini

akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan

yang ada dan mengadakan kerja sama. Di samping kecenderungan untuk

membentuk partai baru sedikit banyak dapat dibendung, sistem ini

mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alamiah, tanpa

paksaan.

(3) Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai-

partai mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan

tercapainya stabilitas nasional.

(4) Sistem ini sederhana dan mudah untuk diselenggarakan.

Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan :

(1) Sistem ini kurang menguntungkan bagi partai-partai kecil dan golongan

minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik

pemilihan. Amat sukar bagi partai kecil untuk menjadi pemenang tunggal

dalam suatu distrik.

Sebaliknya sistem distrik menguntungkan partai besar. Partai yang besar

dalam masyarakat akan menjadi lebih besar di parlemen dan partai yang

kecil dalam masyarakat akan menjadi lebih kecil dalam parlemen.

Penyebabnya adalah partai kecil sukar sekali untuk menang mutlak dalam

suatu distrik.

(2) Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam

suatu distrik, kehilangan semua suara yang telah mendukungnya.Hal ini

berarti ada sejumlah suara yang tidak dihitung sama sekali; dan kalau ada

banyak partai yang bersaing, maka jumlah suara yang hilang dapat

mencapai jumlah yang besar.Hal ini sering dianggap tidak adil oleh

golongan yang kalah.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

23

(3) Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari

masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah

kursi yang diperoleh dalam parlemen.

Sugiono menyatakan bahwa sistem distrik biasanya didasarkan pada

beberapa hipotesa yang pernah dibuat oleh Maurice Duverger dalam

bukunya Political Party (1954). Dari penelitiannya di Eropa, Duverger

berpendapat bahwa terdapat “Hukum sosiologi yang riil” bahwa apabila

sistem distrik dipakai dalm pemilu suatu negara maka akan timbul sistem dua

partai, karena partai-partai yang nomor tiga dan seterusnya yang tidak

pernah menang dalam pemilu akan berkoalisi dengan sesama partai kecil

atau bergabung dengan dua partai besar, agar suaranya yang sedikit di suatu

distrik pemilihan masih bisa dialihkan ke partai lain dengan imbalan politik

tertentu. Dengan demikian, suara para pemilihnya tidak terbuang percuma,

namun masih ada artinya sebagai bargaining chip. Akibatnya, partai politik

akan semakin berkurang jumlahnya.

Menurut Duverger keadaan tersebut akan menjamin stabilitas pemerintahan

(kabinet) karena partai-partai yang berkuasa di Parlemen dan Pemerintahan,

relative susah dijatuhkan oleh partai-partai kecil yang berkoalisi sesamanya

atau mengalihkan dukungan dari partai pemerintahan kepada partai besar

yang berada di luar pemerintahan.

Teori ini tampaknya hanya cocok untuk negara-negara Eropa barat yang

memang sudah tidak mempunyai masalah dengan identitas-identitas atau

integrasi mereka, sehingga “perdebatan mengenai nilai budaya” atau “konflik

antar kelompok budaya” sudah dapat dikatakan tidak ada lagi. Situasi tidak

sama terjadi dalam negara Indonesia karena masih terdapat perbedaan nilai

kelompok budaya yang masih sangat menonjol. Akibatnya, belum tentu

sistem ini menghasilkan stabilisasi sistem politik kita sebagaimana yang

Page 24: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

24

dikemukakan pada teori Duverger. Sebaliknya, sistem distrik justru akan

mempertajam konflik politik16.

Sementara, menurut Cornelis Lay17 : Titik yang paling rawan dari sistem

pemilihan distrik adalah ia menyediakan ruang yang luas bagi, dan sekaligus

dengan mudah memacu radikalisme daerah. Bisa dipastikan, daerah-daerah

akan mematok “putra asli” sebagai syarat politik, sementara perilaku pemilih

pun akan banyak didikte oleh keterkaitan primordialisme sempit. Pengalaman

banyak bangsa memastikan eskploitasi berlebihan isu-isu primordial bisa

merosot sangat tajam menjadi kecenderungan etnonasionalisme-

provinsialisme atau daerahisme yang sangat menghancurkan.

Bagi Indonesia, persoalan di atas akan menjadi semakin pelik karena realitas

masyarakat Indonesia yang super-majemuk dengan derajat cross-cutting

affiliation yang sangat rendah, merupakan faktor-faktor yang bisa

mempercepat radikalisme daerah-daerah. Pemilahan masyarakat kita yang

sangat tegas-etnik yang bertumpang tindih dengan agama, lokasi (pulau atau

daerah), kultur, bahkan ciri-ciri fisik dan lain-lain- yang diikuti oleh

keterbatasan arena dan sarana (antara lain, karena kendala geografis) bagi

pembentukan jaringan afiliasi yang bersifat tumpang tindih, tentunya bukan

merupakan kondisi yang kondusif bagi pemberlakuan sistem distrik.

Apabila sistem distrik ini diberlakukan maka akan terjadi perubahan secara

luar biasa di daerah. Dinamika hubungan politik akan lebih diwarnai dan

dideterminasi oleh rute politik primordial, menyisihkan pertimbangan-

pertimbangan dan isu-isu lainnya.

Dalam konteks ini, daerah-daerah ini dengan pemilahan masyarakat yang

tegas berdasarkan garis etnik yang bertumpangtindih dengan agama, kultur

16

Sugiono, Bahaya Sistem Distrik Bagi Integrasi Bangsa dalam Sistem-sistem Pemilihan Umum : Suatu Himpunan Pemikiran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.

17 Cornelis Lay, Problem Sistem Pemilihan Distrik, dalam Sistem-sistem Pemilihan Umum :

Suatu Himpunan Pemikiran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

25

dan seterusnya akan menjadi kawasan yang sangat ringkih terhadap

kemungkinan terjadinya benturan antar aneka segmen yang terpilih di atas.

Akibatnya, daerah-daerah dengan karakter diatas, arena pemilihan bukan

sebatas sebagai arena perebutan pengaruh diantara elit-elit politik yang

saling bersaing ke posisi di lembaga-lembaga perwakilan, tapi sebagai arena

konsolidasi dan reproduksi “perbedaan-perbedaan di antara masyarakat yang

memang sudah berbeda. Di ujungnya pada tingkat paling moderat,

pemberlakuan sistem pemilihan distrik akan semakin mempertegas dan

mengentalkan pemilahan masyarakat ke dalam sekat-sekat eksklusivisme

berdasarkan kesamaan stink, agama, asal daerah, kultur, ciri fisik, dan

seterusnya.

Sistem ini mempunyai varian antara lain First Past The Post (FPTP), Block

Vote (BV), Alternative Vote (AV) dan Two Round Sistem (TRS).

a. First Past The Post (FPTP)18

Sistem tipe ini secara menonjol diterapkan di Inggris dan daerah-daerah

bekas jajahannya. Sistem ini memiliki karakteristik:

(1) Sistem ini didasarkan pada ‘distrik-distrik wakil tunggal’ – satu wakil

dipilih dari setiap daerah pemilihan.

(2) Pemenang di setiap daerah pemilihan merupakan kandidat yang

mendapatkan suara terbanyak. Ini tidak selalu berarti kandidat yang

memperoleh suara mayoritas.

Beberapa kelebihan yang signifikan dari ‘First Past The Post’:

(1) FPTP dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai, biasanya

menjadi dua partai yang memiliki jangkauan luas, sehingga para

pemilih memiliki pilihan yang jelas. Hal ini dapat membatasi

kemungkinan adanya partai-partai yang ekstrim.

(2) Memiliki kecenderungan untuk menghasilkan pemerintahan yang

kuat, dan berasal dari satu partai.

18

Andrew Reynold, First Past The Post, dalam Sistem Pemilu” op.cit., hal 82.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

26

(3) Pemilihan dengan sistem FPTP cenderung membuat partai-partai

bertanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka.

(4) Dapat mendorong adanya pihak oposisi untuk membuat pemerintah

bertanggungjawab.

(5) Seperti sistem lain yang berdasarkan pada daerah pemilihan, dapat

membuat hubungan yang erat antara pemilih dan wakilnya, juga

lebih menjamin akuntabilitas wakil rakyat terhadap pemilihnya.

(6) Memungkinkan kandidat independen untuk mengikuti pemilu.

(7) Menyeimbangkan fokus antara partai politik dan para kandidat

secara individual.

(8) Merupakan sistem yang sederhana untuk dimengerti dan digunakan

oleh para pemilih, serta mudah dalam pelaksanaannya.

Beberapa kekurangan sistem ‘First Past The Post’:

(1) Kursi-kursi yang dimenangkan sangat tidak proporsional dengan

keseluruhan suara yang diperoleh dalam pemilu. Partai dengan

jumlah suara mayoritas atau terbanyak, mungkin tidak mendapatkan

mayoritas, atau bagian terbesar dari jumlah kursi yang ada. Partai

dengan proporsi yang menonjol dari keseluruhan jumlah suara

mungkin tidak mendapatkan kursi sama sekali;

(2) Proses ‘pemenang memperoleh semua’ (the winner takes all)

mengakibatkan sebagian besar dari suara yang ada terbuang. Para

pemilih ini tidak terwakili dan partai-partai minoritas tidak

terikutsertakan dalam perwakilan yang ‘adil’;

(3) Sistem pluralitas berarti bahwa kandidat yang menang mungkin

hanya didukung oleh 30-40% pemilih, atau mungkin kurang dari itu;

(4) Sebagaimana lazimnya sistem distrik wakil tunggal, FPTP tidak

memberikan insentif untuk kandidat-kandidat dari partai-partai

minoritas;

(5) Menghalangi berkembangnya sistem multi partai yang pluralisits;

(6) Dapat menciptakan dominasi partai daerah dan mendorong adanya

partai-partai yang berhaluan etnis/kesukuan;

Page 27: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

27

(7) Tidak sensitif atau teramat sensitif terhadap perubahan opini publik

(8) Dapat dipengaruhi manipulasi dari batas-batas daerah pemilihan.

b. Block Vote (BV)19

Secara prinsip sama dengan sistem FPTP, kecuali BV berwakil banyak.

Para pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak kursi yang akan

diisi dan biasanya mereka bebas memilih calon anggota legislative tanpa

mempertimbangkan afiliasi partainya. Dalam sistem BV, para pemilih

dapat menggunakan sebanyak mungkin atau sesedikit mungkin pilihan

yang mereka inginkan.

c. Alternative Vote (Preferential Voting atau AV)

Sistem ini diterapkan di Australia, dan di Nauru dalam bentuk yang telah

dimodifikasi. Sistem ini juga pernah diterapkan di Fiji, hanya sekali, pada

tahun 1999, dan juga di Papua Nugini dari tahun 1964 sampai 1975,

ketika masih berada di bawah administrasi Australia.

Karakteristik sistem ini adalah:

(1) Sistem Alternative Vote biasanya menggunakan distrik wakil tunggal

(dapat diterapkan untuk pemilu dengan distrik wakil majemuk,

misalnya untuk Senat Australia sampai tahun 1949, sistem ini

cenderung menghasilkan hasil yang lebih tidak berimbang

dibandingkan dengan sistem-sistem Block Vote).

(2) Pada sistem full preferential voting, para pemilih harus mengurutkan

semua kandidat sesuai urutan preferensi mereka (1,2,3,4, dan

seterusnya).

(3) Pada sistem optional preferential voting, para pemilih memiliki pilihan

untuk menandai hanya satu kandidat atau memilih mengurutkan

beberapa atau semua kandidat.

19

Ben Reilly dan Andrew Reynold, Block Vote dalam “Sistem Pemilu” op.cit

Page 28: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

28

(4) Pada sistem ‘ticket voting’ pemilih memilih sebuah partai politik, dan

preferensi pemilih akan sama dengan urutan preferensi yang telah

ditentukan partai yang bersangkutan, yang diumumkan oleh semua

partai politik kepada pelaksana pemilu sebelum hari pemilihan.

(5) Pemenangnya adalah kandidat dengan perolehan 50% + 1 dari

suara sah yang ada di distrik yang bersangkutan. Apabila ketentuan

ini tidak tercapai dari preferensi pertama para pemilih, maka kandidat

dengan jumlah pilihan pertama yang terrendah akan disingkirkan,

dan pilihan kedua yang ditandai di kertas suara kandidat tersebut

dibagikan ke kandidat lainnya.

Proses eliminasi kandidat dengan jumlah suara terendah dan

membagikan kertas suaranya kepada kandidat lain yang tertinggal, di

mana kepada mereka pemilih telah menentukan pilihan berikutnya,

berlanjut sampai seorang kandidat memperoleh 50% + 1 total suara.

Beberapa kelebihan dari Alternative Vote:

(1) Sistem Alternative Vote memiliki kelebihan dalam mempererat

hubungan pemilih dengan para wakil mereka, seperti juga halnya

dalam sistem-sistem lain yang berdasar kepada distrik.

(2) Sistem Alternative Vote memungkinkan pemilih untuk mendapatkan

lebih dari satu kesempatan untuk menentukan siapa yang akan

menjadi wakil mereka, meskipun argumentasi ini menjadi kurang

kuat apabila varian ‘ticket voting’ diterapkan.

(3) Berkat adanya persyaratan dukungan mayoritas bagi seorang

kandidat untuk dapat terpilih, sistem ini memberikan legitimasi kuat

kepada para kandidat yang terpilih.

(4) Mendorong adanya kerjasama antar partai politik dan mengurangi

efek-efek ekstrimisme.

(5) Memungkinkan partai-partai kecil terfokus untuk berkoordinasi tanpa

harus beraliansi secara formal.

(6) Lebih murah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan sistem

majority yang lain seperti sistem dua putaran.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

29

Beberapa kekurangan sistem Alternative Vote:

(1) Hasilnya tidak proporsional, seringkali memberi peluang bagi

terbentuknya suatu pemerintahan yang dikuasai suatu partai dengan

proporsi suara yang lebih kecil dalam total jumlah suara.

(2) Sistem-sistem Alternative Vote ini seringkali memberikan

kemenangan kepada kandidat yang tidak memperoleh suara

preferensi teratas pertama dan justru kandidat yang memperoleh

suara preferensi teratas kedua dan ketiga sering menjadi pemenang.

(3) Membutuhkan tingkat melek-huruf dan numerasi yang tinggi diantara

populasi pemilih. Apabila tidak terpenuhi dapat menimbulkan

banyaknya suara yang tidak sah sehingga akhirnya legitimasi pemilu

dipertanyakan.

(4) Membutuhkan program pendidikan pemilih yang lebih rumit dan

intensif.

(5) Kertas suara untuk distrik pemilihan harus dikumpulkan di statu

lokasi untuk penghitungan suara dan penentuan hasil sesuai sistem

ini. Hal ini menimbulkan implikasi pada aspek keamanan,

transparansi dan logistik.

(6) Kerumitan penghitungan suara mungkin melebihi kapacitas pelatihan

dan penerapan administrator pemilu, dan tidak sepenuhnya dapat

dipahami partai dan para pengamat. Bahkan dalam situasi yang ideal

pun, akan membutuhkan waktu lama untuk menentukan pemenang.

Ini bukanlah sistem yang mudah dan sederhana.

(7) Membuka peluang bagi adanya kesepakatan-kesepakatan bawah

tangan dan praktek politik uang untuk menunjang upaya partai politik

untuk mempengaruhi preferensi pemilih.

(8) Dapat dipengaruhi oleh manipulasi batas-batas daerah pemilihan.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

30

d. Two Round System (TRS)20

Bentuk terakhir sistem pluralitas mayoritas adalah two round system

(TRS) atau sistem dua putaran yang juga dikenal dengan sistem run-off

atau double ballot. Dalam sistem TRS ini, pemilihan dilakukan dalam dua

putaran. Jarak antara putaran pertama dan kedua satu atau dua minggu.

Putaran pertama dilaksanakan seperti model FPTP. Jika seorang calon

anggota legislatif mendapatkan suara mayoritas absolut, maka secara

langsung dipilih dan tidak diperlukan putaran kedua. Tetapi jika tidak ada

calon anggota legislatif yang mendapatkan suara mayoritas absolut, maka

putaran kedua dilaksanakan dan pemenang putaran ini dinyatakan

terpilih.

4. Batas Representasi (Thresholds)

Semua sistem pemilu mempunyai batas representasi perwakilan. Artinya,

tingkat dukungan minimal yang diperlukan sebuah partai untuk memperoleh

perwakilan, yang diterapkan secara legal (efektif).

Dalam beberapa hal, batas representasi ini merupakan produk sampingan

dari sistem milihan umum yang lain, seperti jumlah kursi yang harus diisi dan

jumlah partai atau caleg yang bertarung dalam milihan umum, dan dengan

demikian disebu t batas representasi yang “efektif”. Meskipun demikian, pada

banyak hal lagi, batas representasi ini dimasukkan ke dalam UU Pemilu, yang

kemudian memunculkan sistem RP, dan dengan demikian disebut “formal”.

Di Jerman, Selandia Baru, dan Rusia, misalnya, diberlakukan batas

representasi 5%21. Partai-partai politik yang tidak mencapai batas

representasi lima persen tidak berhak memperoleh bagian kursi dari RP

20

Ben Reilly dan Andrew Reynolds, Two Round System, dalam “Sistem Pemilu,” op.cit., hal.91 21

Sebagai pembanding, electoral threshold di Swedia 4%, Argentina dan Bolivia 3%, sedangkan Meksiko dan Norwegia masing-masing 2%. Lihat Lili Romli, “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan”, dalam Jurnal Politika, Vol. 2, 2006, hal. 32.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

31

Daftar. Sebagai perbandingan, lihat dalam Jerman: Sistem Mixed Member

Proportional yang orisinal dan Rusia-Sistem Paralel yang terus berkembang.

Ketentuan ini berasal dari Jerman dengan maksud untuk membatasi

terpilihnya kelompok ekstrimis, dan dimaksudkan untuk menghentikan partai-

partai kecil sehingga mereka tidak mendapatkan perwakilan. Meskipun

demikian, baik di Jerman maupun di Selandia Baru ada jalan “pintu belakang”

bagi sebuah partai sehingga mereka dapat memperoleh kursi dari daftar

tersebut.

Di Selandia Baru sebuah partai harus memenangkan sedikitnya satu kursi

konstituen, dan di Jerman tiga kursi untuk dapat lepas dari persyaratan batas

representasi. Di Rusia pada tahun 1995 tidak ada jalan “pintu belakang” dan

hampir setengah dari suara partai berdasarkan daftar partai terbuang.

Partai-partai yang mendapatkan kurang dari persentase ini dikeluarkan dari

penghitungan. Dalam semua kasus diatas, adanya batas representasi formal

cenderung meningkatkan tingkat disproporsionalitas, karena suara yang

sebenarnya dapat dipakai dalam perwakilan menjadi terbuang.

Di Polandia pada tahun 1993, bahkan dengan batas representasi yang

relative kecil yaitu sebesar lima persen, lebih dari 34 % suara diberikan untuk

partai politik, yang ternyata tidak dapat melampaui batas representasi

tersebut. Tetapi pada kebanyakan kasus lain, batas representasi mempunyai

pengaruh yang kecil saja terhadap hasil secara keseluruhan. Maka dari itu,

beberapa ahli pemilu melihatnya tidak perlu dan seringkali menambah

rumitnya aturan pemilu, yang seharusnya dihindari.

Batas representasi yang tinggi dapat berfungsi untuk mendiskriminasikan

partai-partai kecil – dan ternyata dalam beberapa kasus memang inilah

maksud dari adanya batas representasi. Tetapi dalam banyak kasus

diskriminasi terhadap partai-partai kecil yang disengaja sebenarnya tidak

diinginkan, terutama dalam kasus-kasus di mana beberapa partai kecil

Page 32: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

32

dengan dasar pendukung yang hamper sama “memecah” suara mereka

sendiri dan pada akhirnya terjatuh dibawah batas representasi. Padahal

seandainya mereka menyatukan suara mereka, mereka pasti dapat

memperoleh kursi di parlemen.

Untuk dapat mengatasi masalah ini, banyak negara yang menggunakan

sistem RP Daftar juga memperbolehkan partai-partai kecil membuat

kelompok bersama untuk pemilu, dan dengan demikian membentuk kartel

atau apparentement untuk dapat bertarung dalam pemilu. Ini berarti bahwa

partai tersebut tetap merupakan partai-partai tersendiri, dan dicantumkan

sendiri-sendiri dalam kertas suara, tetapi suara yang diperoleh dihitung

seolah-olah mereka bersama-sama menjadi satu kartel. Maksudnya,

meningkatkan kemungkinan bahwa suara mereka yang dijadikan satu secara

keseluruhan akan berada diatas batas representasi, dan dengan demikian

mereka mungkin dapat memperoleh perwakilan tambahan.

B. SISTEM PEMILU YANG DITERAPKAN DI INDONESIA

Pemilu merupakan mekanisme penting dalam sebuah negara, terutama yang

menggunakan jenis sistem politik demokrasi liberal. Pemilu yang

mendistribusikan perwakilan kepentingan elemen masyarakat berbeda ke dalam

bentuk representasi orang-orang partai di parlemen. Karena itu, pemilihan

sebuah sistem pemilu perlu disepakati bersama antara partai-partai politik yang

terdaftar (yang sudah duduk di parlemen) dengan pemerintah.

Indonesia telah menyelenggarakan 10 kali pemilu22. Khusus untuk pemilihan

anggota parlemen (baik pusat maupun daerah) digunakan jenis proporsional,

yang kadang berbeda dari satu pemilu ke pemilu lain. Perbedaan ini akibat

sejumlah faktor yang mempengaruhi seperti jumlah penduduk, jumlah partai

22

Indonesia yang merdeka tahun 1945 cukup sering menyelenggarakan pemilihan umum. Pemilu-pemilu yang pernah terjadi adalah 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 dan 2009.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

33

politik, trend kepentingan partai saat itu, dan juga jenis sistem politik yang tengah

berlangsung.

Masing-masing pemilu memiliki karakteristik, bergantung pada tipe sistem politik

yang berlangsung. Sistem Demokrasi Liberal menaungi pemilu 1955, 1999, dan

2004. Pemilu lainnya terjadi di masa sistem politik rezim otoritarian kontemporer

Orde Baru. Tipe sistem pemilu yang banyak dipakai di Indonesia adalah

Proporsional, dengan beberapa pengecualian.

1. Sistem Pemilu Orde Baru

Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde

Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan pemilu yang pertama dalam masa

pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan

MPRS No. XI Tahun 1966 pemilu diselenggarakan pada tahun 1968.

Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto,

yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa pemilu

akan diselenggarakan pada tahun 1971.

Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU

No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan

Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dalam hubungannya dengan pembagian

kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan

Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun

1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan

(sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak

langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan

penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan

dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan

1997.

Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan

penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi

Page 34: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

34

menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia

(PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke

dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru”

tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975

tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus

dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara

terbanyak dengan persentase di atas 50%23. Berdasarkan kajian dan

pengamatan para analis politik dinyatakan bahwa pemilu di Indonesia pada

masa Orde Baru lebih sebagai sebuah pemilu yang memenuhi prosedur

demokrasi, tidak secara substansif. Pemilu masa itu lebih sebagai sebuah

rutinitas bagi sebuah negara demokratis, sehingga terkesan ada rotasi

kekuasaan sebagai sebuah prasyarat demokrasi24.

Secara lebih rinci Pemilu pada masa Orde Baru dapat digambarkan sebagai

berikut25:

a. Pemilu 1971

Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan

berdasarkan UU No. UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No.

16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu

ditujukan memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui

pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang diangkat oleh

Presiden dari kalangan angkatan bersenjata dan pemerintahan.

23

Tahun 1971 Golkar memperoleh suara 59,04% (236 kursi); Pemilu 1977: 56,07% (232 kursi), Pemilu 1982: 64,38% (242 kursi), Pemilu 1987: 73,17% (299 kursi), Pemilu 1992: 68,1% (282 kursi), dan pemilu 1997: 74,51% (325 kursi).

24 Lihat Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 200, hal 251-254. 25 Lihat dalam www.kpu.go.id, Sejarah Pemilu di Indonesia, Jum'at, 19 Maret 2004

Page 35: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

35

Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia dengan Sistem Proporsional

Daftar:

(1) Rakyat pemilih mencoblos tanda gambar partai. Suara bagi setiap

partai dibagi menurut BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Total pemilih

yang terdaftar adalah 58.179.245 orang dengan suara sah mencapai

54.699.509 atau 94% dari total suara.

(2) Dari total 460 orang anggota parlemen yang diangkat presiden, 75

orang berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari golongan

fungsional seperti tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25

anggota golongan fungsional kemudian bergabung dengan Sekber

Golkar sehingga suara Golkar ”meroket” hingga ke angka 257 (dari

232 ditambah 25). Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah anggota

berjenis kelamin laki-laki 426 dan perempuan 34 orang.

b. Pemilu 1982

Pemilu 1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti

Pemilu 1977 di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya

saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih

langsung oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden.

Voting dilakukan di 27 daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional

dengan Daftar Partai (Party-List System). Partai yang beroleh kursi

berdasarkan pembagian total suara yang didapat di masing-masing

wilayah pemilihan dibagi ”electoral quotient” di masing-masing wilayah.

Jumlah tatal pemilih terdaftar adalah 82.132.263 orang dengan jumlah

suara sah mencapai 74.930.875 atau 91,23%.

Sama seperti Pemilu 1977, sejumlah anggota Golongan Fungsional pun

akhirnya bergabung dengan Golkar. Sehingga, total kursi yang diperoleh

Golkar menjadi 267 (dari 246 ditambah 21). Dari 360 anggota parlemen,

yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 422 dan perempuan 38 orang.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

36

c. Pemilu 1987

Pemilu 1987 diadakan tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama

dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi

yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara

langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang

digunakan sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu Proporsional dengan

varian Party-List.

Total pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara

sah mencapai 85.869.816 atau 91,30%. Daftar hasil pemilu 1987 adalah

jumlah anggota parlemen yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443

sementara yang perempuan 57 orang. Sementara itu, jumlah anggota

parlemen berusia 21-30 tahun adalah 5 orang, 31-40 tahun 38 orang, 41-

50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213 orang, 61-70 tahun 70 orang, dan

71-80 tahun 1 orang.

d. Pemilu 1992

Pemilu 1992 diadakan tanggal 9 Juni 1992. Sistem Pemilu yang

digunakan sama seperti pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan

varian Party-List. Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung

400 kursi DPR. Total pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang

dengan total suara sah adalah 97.789.534.

Untuk hasil Pemilu 1992, anggota DPR yang berasal dari Angkatan

Bersenjata dan kelompok Fungsional, yaitu sebanyak 100 orang diangkat

langsung oleh Presiden Suharto. Komposisi anggota DPR totalnya adalah

500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin laki-laki adalah 439

orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain, kisaran usia anggota

DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun

144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

37

e. Pemilu 1997

Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden

Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini

adalah memilih 424 orang anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan

adalah Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997,

sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna

memperoleh kursi parlemen. Hasil Pemilu 1997 dapat dilihat pada tabel

berikut :

Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang,

Madura, puluhan kotak suara dibakar massa oleh sebab kecurangan

Pemilu dianggap sudah keterlaluan. Sementara itu, PDI mengalami

penurunan suara signifikan akibat intervensi pemerintah terhadap

kepemimpinan partai. Megawati Sukarnoputri ”dihabisi” secara politik

dengan cara pemerintah mendukung pimpinan tandingan Suryadi dan

Fatimah Ahmad.

Dari 500 anggota DPR, yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang

sementara perempuan adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang

berusia 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134

orang; 51-65 orang 310 orang; dan di atas 65 tahun 2 orang.

2. Sistem Pemilu 1999

DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa

“reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang

kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie,

masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan

untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil.

Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk

memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan

dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU

Page 38: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

38

Pemilu, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD

(UU Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih

demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.

Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto.

Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu

ini terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal26. Artinya, jumlah

partai peserta tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri

dari Golkar, PPP, dan PDI.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan

3 rancangan undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya pemilu

1999, yaitu RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU

tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini

diolah oleh Tim 7 yang diketuai Prof. Ryaas Rasyid dari Institut Ilmu

Pemerintahan Jakarta. Pada awalnya Pemerintah yang diwakili menteri

dalam negeri dalam draft RUU nya menghendaki sistem distrik dengan

kombinasi sistem proporsional karena dianggap paling akuntabel dan dapat

dipertanggungjawabkan secara teoritis dan praktek. Namun di lain pihak

kekuatan di DPR menghendaki sistem yang tidak jauh berbeda dengan masa

Orde Baru, alasan utamanya adalah karena masyarakat belum terbiasa

dengan sistem distrik serta kondisi geopolitik Indonesia yang tersebar dalam

kepulauan.27 Pada akhirnya UU No. 3 Tahun 199 menyatakan bahwa sistem

Pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional berdasarkan stelsel

daftar28. Setelah disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan.

Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141

partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48

26

Miriam Budiardjo, Pemilu 1999 dan Pelajaran untuk Pemilu 2004, (Makalah disampaikan pada Diskusi Meja Bundar Pemilu 1999 : Evaluasi dan Reformasinya yang diselenggarakan oleh Cetro (Center for Electoral Reform) pada tanggal 9 September 1999.)

27 Lihat pidato pengantar Menteri dalam Negeri RI pada penyerahan 3 RUU bidang Politik

tanggal 2 oktober 1998. 28

Pasal 1 angka 7 UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum

Page 39: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

39

partai. Pemilu 1999 diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti

pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami hambatan dalam proses

perhitungan suara. Ada sekitar 27 partai politik yang tidak menandatangani

berkas hasil pemilu 1999 yaitu : Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi,

PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI,

PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI,

PSP, dan PARI.

Oleh sebab adanya penolakan ini, KPU menyerahkan keputusan kepada

Presiden. Presiden menyerahkan kembali penyelesaian persoalan kepada

Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil

Pemilu 1999 sudah sah. Lebih jauh, partai-partai yang menolak

menandatangani hasil tidaklah menyertakan point-points spesifik keberatan

mereka. Sebab itu, Presiden kemudian memutuskan bahwa Pemilu 1999

adalah sah, dan masyarakat mengetahui hasil tersebut tanggal 26 Juli 1999.

Problem selanjutnya adalah pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan

adalah Proporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul adalah

pembagian kursi sisa. Partai-partai beraliran Islam yang melakukan stembus-

accord (penggabungan sisa suara) menurut hitungan PPI (Panitia Pemiliha

Indonesia) hanya beroleh 40 dari 120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran

Islam yang melakukan stembus-accord tersebut mengklaim beroleh 53 dari

120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat ini lalu diserahkan PPI kepada KPU (Komisi Pemilu).

KPU, di depan seluruh partai politik peserta pemilu 1999 menyarankan

voting. Voting ini terdiri atas 2 opsi. Opsi Pertama, pembagian kursi sisa

dihitung dengan memperhatikan suara stembus-accord. Opsi Kedua,

pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 suara mendukung Opsi

Pertama, dan 43 suara mendukung Opsi Kedua. Lebih dari 8 partai

melakukan walk-out. Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa

stembus-accord.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

40

Total jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau

meliputi 9,17% dari suara yang sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan

sistem pemilihan Proporsional dengan Varian Roget. Dalam sistem ini,

sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya

di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest

remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai yang punya sisa suara

terbesar).

Perbedaan dengan Pemilu 1997 adalah, pada Pemilu 1999 penetapan calon

terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah

pemilihan. Jika sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar

partai otomatis terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999

calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari

daerah di mana seseorang dicalonkan. Contohnya, seorang Caleg A meski

berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya partai

mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan

caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II

(kabupaten/kota), Pemilu 1999 ini sama dengan metode yang digunakan

pada Pemilu 1971.

Dari total 500 anggota DPR yang dipilih, sebanyak 460 orang berjenis

kelamin laki-laki dan hanya 40 orang yang berjenis kelamin perempuan.

Sebab itu, persentase anggota DPR yang berjenis kelamin perempuan hanya

meliputi 8%.

3. Sistem Pemilu 2004

Secara garis besar sistem Pemilu Tahun 2004 mencampur-adukkan dua

mazhab besar (proportional dan plural majority). Sistem tersebut secara

teoritis membingungkan peserta Pemilu, baik kontestan maupun pemilih29.

29

Riswandha Imawan, Mencari Alternatif Kuldesak Pemilu 2004, Yogyakarta, 2004

Page 41: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

41

Sistem yang digunakan dalam Pemilu 2004 dalam pemilihan anggota DPR,

DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten menggunakan proportional open list

system yang dalam prakteknya lebih sebagai Proporsional Representation

List Tertutup. Hal ini dapat dilihat dari cara memberi suara yang benar adalah

mencoblos tanda gambar dan nama orang dalam daftar yang disediakan.

Namun dalam aturan dapat disahkan pada tanda gambar saja, sehingga

makna proporsional open-list sistem yang mengedepankan rasionalitas

berbelok menjadi proportional closed-list system yang meminimalkan

rasionalitas pemilih seperti pada pemilu-pemilu sebelumnnya. Adapun sistem

pemilu yang dipakai untuk memilih anggota DPD adalah sistem First Past

The Post dan Two Round System untuk memilih Presiden dan Wapres.

Dari pandangan normative/legal, jabatan-jabatan publik menurut konstitusi

dan tata perundangan yang berlaku, dapat dianalisis sebagai berikut30:

(1) Jabatan politik eksekutif nasional (Presiden/Wakil Presiden)

Tata perundangan di Indonesia secara tegas menandai fungsi kepala

negara dan kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, maka seorang

Presiden adalah pemimpin bangsa ataupun semua teritori yang ada

dalam sebuah negara. Ini berarti bahwa ia harus merepresentasikan

mayoritas semua elemen dan wilayah sebuah negara. Untuk membuat

seorang kepala negara efektif melaksanakan fungsi ini, maka ia sebaiknya

dipilih dengan cara pemilihan yang menggunakan prinsip majoritarian.

Sedangkan sebagai kepala pemerintahan, maka seorang presiden

adalah pemimpin yang diukung sebagian besar pemilih. Dalam proses

pemilu, dukungan tersebut bisa didapat secara langsung dari pemilih

(pemilihan langsung) dan atau dukungan mobilisasi partai atau gabungan

partai (pemilihan langsung atau tidak langsung). Ada berbagai sistem

30

I Ketut Putra Erawan, Logika perubahan dan Keberlanjutan Sistem pemilihan Umum Bagi Indonesia 2009, Seminar Nasional Mencari Format Baru Pemilu dalam rangka Penyempurnaan Undang-undang Bidang Politik, LIPI, Jakarta, 10 Mei 2006

Page 42: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

42

pemilihan yang dapat melahirkan seorang presiden yang bisa efektif

sebagai kepala pemerintahan. Biasanya adalah sistem plurality misalnya

FPTP, kalau tekanannya adalah Presidensiil yang didukung oleh

sebagaian besar pemilih. Bisa pula dengan sistem lainnya.

Tetapi gabungan dari posisi seorang kepala pemerintahan dan kepala

negara mensyaratkan pula gabungan dari dukungan dari mayoritas

semua elemen dan wilayah sebuah negara (majoritarian) dan sebagaian

besar pemilih dan atau dukungan partai atau gabungan partai (plurality).

Beberapa tawaran cocok untuk memenuhi criteria tersebut adalah Sistem

Plural Majority with Two Round System dan Alternative Vote System.

Yang dianut oleh Indonesia adalah sistem Plural Majority with Two Round

System.

(2) Jabatan politik legislatif nasional dan daerah (DPR, DPRD Provinsi, DPRD

Kabupaten/Kota)

Tata perundangan di Indonesia secara kurang tegas menyebutkan

substansi lembaga legislative nasional maupun daerah. Paling tidak ada

tiga substansi yang bisa dilekatkan kepada legislator, yakni sebagai

perwakilan rakyat, sebagai perwakilan partai atau kekuatan politik,

ataupun sebagai perwakilan daerah. Sebagai wakil rakyat, maka legislator

harus merepresentasikan mayoritas semua elemen masyarakat. Untuk

membuat seorang legislator efektif melaksanakan fungsi ini, maka ia

sebaiknya dipilih dengan cara pemilihan yang menggunakan prinsip yang

menekankan proporsionalitas. Pilihan yang kuat adalah sistem

Proportional Reprecentation dengan List Terbuka.

Sedangkan sebagai wakil partai, maka seorang legislator adalah

pemimpin yang didukung partai mayoritas pemilu. Dalam proses pemilu,

dukungan tersebut bisa didapat secara langsung dari pemilih (pemilihan

langsung) dan atau dukungan mobilisasi partai atau gabungan partai

(pemilihan langsung ataupun tidak langsung). Ada berbagai sistem

Page 43: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

43

pemilihan yang dapat melahirkan seorang legislator yang bisa efektif

adalah sistem plurality misalnya FPTP ataupun Proportional

Reprecentation dengan List Tertutup.

(3) Pergeseran logika Pemilu 2004

Dalam Pemilu 2004 telah terjadi kompleksitas politik ketika logika normatif

di atas coba diterapkan. Logika awal dari pemilihan Presiden Indonesia

2004 adalah upaya mencapai majoritarian karena presiden adalah kepala

negara dan juga kepala pemerintahan.

Sistem yang diharapkan menghasilkan pemimpin yang representatif bagi

pemilih, bangsa, dan territorial Indonesia adalah Plural Majority dengan

Two Round Sistem. Tetapi yang belum banyak diperhitungkan adalah

bobot yang bisa diberikan oleh wakil presiden. Bisa jadi seorang presiden

adalah terpilih karena popularitas pribadinya dan untuk dukungan

kekuatan politik, ia menggunakan wakilnya yang berasal dari salah satu

partai besar pemenang pemilu legislatif.

Persoalannya adalah apabila wakil presiden punya agenda yang kurang

kompatibel dengan presiden. Presiden bisa dibiarkan sendirian

menghadapi legislative, yang implikasinya adalah kebijakan tidak efektif.

Dari kacamata pemilih, konstituen memilih mereka sebagai pasangan

lebih seperti logika block vote ataupun alternative vote tanpa mereka

sadari. Sistem yang demikian ini cenderung positif untuk membantu

mengurangi konflik. Tetapi kelemahan yang paling dasar adalah

majoritarian yang didapat dari dukungan kekuatan politik akan bersifat

manufactured dan sangat tergantung konstelasi politik yang berkembang.

Sangat negatif efeknya kalau presiden mengambil kebijakan tidak populis

yang membuat ia ditinggalkan oleh pendukung popular pada saat yang

sama dukungan dari partai pemegang mayoritas legislatif tidak kredibel.

Apalagi presidennya tidak berani mengambil kebijakan decisive. Presiden

Page 44: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

44

menjadi serba salah dan wakilnya merasa tidak perlu bertanggungjawab

karena ia harus menghitung feasibilitasnya di kemudian hari.

Hal yang sama kemungkinan besar juga terjadi dalam pemilihan kepala

daerah langsung (Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, atau Walikota/Wakil

Walikota). Sistem yang diharapkan menghasilkan pemimpin yang

representatif bagi pemilih, kekuatan politik, dan pada saat yang sama

daerah adalah juga dengan Plural Majority dengan Two Round Sistem.

Tetapi yang belum banyak diperhitungkan adalah bobot yang bisa

diberikan oleh wakil kepala daerah dan partai politik yang menjadi perahu

tumpangannya untuk memenangkan pilkada. Bisa jadi seorang kepala

daerah adalah terpilih karena popularitas pribadinya dan untuk dukungan

politik ia menggunakan wakilnya yang berasal dari salah satu partai besar

pemenang pemilu legislatif atau partai politik yang mendukungnya.

Pergeseran logika juga melanda pemilu legislatif, baik di level nasional

maupun di level daerah. Legislator diharapkan mampu merepresentasikan

berbagai elemen masyarakat baru kemudian representasi kekuatan

politik. Dengan kata lain mereka adalah wakil rakyat pertama, baru

kemudian wakil partai. Logika ini yang menyebabkan mereka dipilih

dengan cara proportional representation dengan list terbuka. Terbuka di

sini berarti rakyat/pemilih yang menentukan siapa dari calon yang

diajukan partai yang mereka dukung.

Tetapi dalam prakteknya, ada berbagai persyaratan yang membuat sistem

pemilihannya cenderung menggunakan logika proportional reprecentation

list tertutup. Persyaratan tersebut misalnya penentuan bilangan pembagi

pemilih (BPP) dibuat sangat tinggi, sehingga hanya segelintir kandidat

saja yang dapat memenuhi. Sisanya harus mengikuti nomor urut atau

ranking kandidat yang dibuat partai, belum lagi ada ketentuan yang

mengatakan memilih partai saja adalah sah tetapi memilih kandidat saja

tidaklah sah.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

45

Apapun alasannya, implikasinya adalah pengakuan keberadaan partai

lebih penting dari kandidat. Akibatnya, retorika untuk membuat keterkaitan

pemilih dengan wakilnya menjadi lebih ilusi. Wakil harus menjadi delegasi

dari partai daripada “trustee” yang menggunakan kesadaran individual

untuk membawa aspirasi pemilihnya.

Persoalannya menjadi rumit ketika partai tidak responsif pada keinginan

pemilih. Wakil rakyat yang berada ditengahnya menjadi tidak relevan.

Mereka menjadi wakil partai atau kelompoknya sendiri.

DPD yang diharapkan untuk mewakili territorial, diharapkan mampu

mengerti kepentingan daerah dan mampu memperjuangkannya pada

level daerah. Sistem yang dipakai adalah Single Non Transferaable Vote.

Lain dengan berbagai jabatan politik, maka DPD bukan mengalami

pergeseran logika pada tahap implementasi. Tetapi DPD belum cukup

banyak dipikirkan dan dikaji. Ada yang menganggap mereka sebagai

kesalahan politik yang terlanjut melahirkan lembaga ini. Ada yang

menganggap fungsi yang diberikan separuh hati. Belum lagi dengan isu

bagaimana mereka bisa diakarkan, bagaimana mereka membangun

popularitas juga dengan berbagai sumber-sumber ekonomi politik. Hal lain

adalah apakah mereka bisa mempunyai kaki organisasi di daerah serta

hubungannya dengan kekuatan politik seperti partai.

C. SISTEM PEMILU BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN 2008

UU No. 10 Tahun 2008 mengatur tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan

DPRD. Sistem Pemilu yang digunakan adalah Daftar Proporsional Representasi

Terbuka untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Maknanya hampir sama

dengan sistem Pemilu tahun 2004 meski berbeda dalam penamaannya. Pada

sistem ini selain tanda gambar partai politik peserta pemilu, juga terdapat nama

calon anggota DPR dan DPRD. Rakyat pemilih melakukan pemilihan dengan

Page 46: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

46

cara memberikan tanda pada salah satu gambar partai politik atau nama calon

atau dua-duanya yang dapat dianggap sah. Sehingga diharapkan rakyat pemilih

juga tahu dan sadar bahwa ia memilih siapa. Berbeda dengan sebelumnnya jika

pemilih tidak mencoblos tanda gambar partai politik maka dianggap tidak sah,

pada Pemilu 2009 jika pemilih hanya memberi tanda pada calon anggota

legislatif tetap dianggap sah31. Sementara sistem yang digunakan untuk memilih

anggota DPD adalah tetap First Past The Post.

Secara umum Pemilu 2009 yang menggunakan dasar UU No. 10 Tahun 2008

masih menggunakan sistem yang mirip dengan Pemilu 2004. Perbedaan hanya

pada digunakannya sistem daftar proporsional representasi terbuka secara

konsisten di mana suara didasarkan pada suara terbanyak berdasarkan

perolehan suara masing-masing calon anggota legislatif.

Jadi berdasarkan sistem ini, maka perolehan suara dikonversi dulu menjadi

perolehan kursi partai politik pada setiap daerah pemilihan, caranya dengan

membagi perolehan suara partai politik dengan bilangan pembagi pemilih yang

telah ditentukan sebelumnnya. Setelah ditentukan perolehan kursi masing-

masing partai politik baru kemudian dilakukan penentuan pemilik kursi dengan

cara diberikan kepada calon anggota legislatif dengan suara terbanyak. Sistem

ini mengakibatkan nomor urut masing-masing calon tidak berpengaruh dalam

penentuan calon terpilih asalkan calon tersebut dapat memperoleh suara

terbanyak.

Berdasarkan perkembangan dinamika politik Indonesia serta peningkatan

populasi, maka jumlah kursi untuk DPR RI adalah 560 kursi atau meningkat 10

kursi dari sebelumnya (550). Hal ini dalam upaya meningkatkan derajat

keterwakilan seluruh wilayah Indonesia yang sangat heterogen, tetapi tetap

dengan memperhatikan komposisi Jawa – Luar Jawa yang proporsional. Oleh

karena itu, alokasi kursi untuk tiap daerah pemilihan untuk memilih anggota DPR

RI adalah berkisar antara 3-10 kursi.

31

Lihat dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

47

Di samping itu terdapat ketentuan ambang batas (threshold) yang dinaikkan

menjadi 2,5%. Artinya, partai-partai politik tatkala masuk ke perhitungan kursi

calon legislatif hanya dibatasi bagi yang berhasil mengumpulkan komposisi

suara di atas 2,5%.

Akibat diterapkannya ambang batas kursi di DPR (Parliamentary Threshold),

implikasinya sekitar 18,8% suara menguap begitu saja alias tidak diperhitungkan.

Suara itu merupakan gabungan perolehan suara 29 partai nasional yang

memperoleh suara di bawah 2,5%. Secara hitungan kasar, terdapat sekitar 30

juta suara yang tidak diperhitungkan dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009.

Hal itu menjadi konsekuensi aturan parliamentary threshold sebagai seleksi awal

penghitungan kursi DPR secara nasional. Suara rakyat yang jumlahnya cukup

signifikan harus terbuang sia-sia. Sebelum pemilu berlangsung, memang ada

upaya untuk mengajukan judicial review tentang aturan ini ke Mahkamah

Kontistusi (MK) karena dianggap melanggar hak politik warga negara. Tapi MK

dengan keputusannya yang bersifat final dan mengikat memutuskan aturan

parliamentary threshold kontitusional tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

48

BAB III

EVALUASI PEMILU 2009

A. PENYEMPURNAAN SISTEM MENUJU KONSOLIDASI DEMOKRASI

Sejak era reformasi, Indonesia telah melaksanakan pemilu secara periodik dan

tetap yaitu Pemilu tahun 1999, Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Prestasi

menyelenggarakan pemilu mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, bahkan

luar negeri dan mengantarkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di

dunia selain Amerika Serikat dan India. Di tengah kekhwatiran bahwa

penyelenggaraan pemilu dapat menimbulkan konflik, ternyata bangsa Indonesia

justru berhasil menyelenggarakan pemilu dengan aman, tertib dan demokratis.

Padahal, banyak kalangan sejak tahun 2004 menilai bahwa Pemilu di Indonesia

merupakan Pemilu yang paling rumit di dunia- seperti ditulis sebuah majalah luar

negeri Far Ekonomic Review pada tahun 2004.

Menyimak perjalanan tiga kali penyelenggaraan pemilu, tampak upaya untuk

meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu. Hal ini dapat dilihat dari dari

berbagai aspek penyelenggaran seperti ketentuan undang-undang yang menjadi

dasar pelaksanaan yang selalu disempurnakan sehingga terdapat perbedaan

mendasar pada setiap pemilu. Salah satunya yang selalu disempurnakan adalah

sistem pemilu yang digunakan.

Sistem pemilu merupakan satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat

memilih para wakil mereka. Dalam sistem Pemilu ini sejumlah suara ditransfer

menjadi kursi dalam parlemen (DPR, DPD atau DPRD) sehingga dengan

demikian terpilih sejumlah wakil dari partai politik yang duduk dalam parlemen.

Jika pada tahun 1999, sistem pemilu yang digunakan adalah proporsional

tertutup, Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas,

sementara pada tahun 2009 sudah mengarah sistem proporsional terbuka

Page 49: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

49

penuh. Meskipun sesungguhnya, jika menilik semangat pembentuk undang-

undang, Pemilu 2009 semula masih akan menggunakan sistem proporsional

terbatas (kuota BPP 30%), namun kemudian dibatakan Mahkamah Konstitusi

(MK) sehingga menjadi terbuka penuh (suara terbanyak).32

Pemilu tahun 2009, merupakan Pemilu yang ketiga yang diselenggarakan sejak

era reformasi diharapkan dapat semakin meningkatkan kualitas demokrasi dan

bahkkan sudah meningkat menjadi sarana konsolidasi demokrasi.33 Beberapa

acuan parameter konsolidasi demokrasi, diantaranya disebutkan Juan Linz dan

Alfred Stepan bahwa demokrasi yang terkonsolidasi adalah kondisi di mana

demokrasi berlaku sebagai aturan main baik dalam segi perilaku, sikap, maupun

dalam segi tata aturan hukum (konstitusi).

Secara lebih operasional Linz dan Stepan mengujukan lima syarat yang saling

berkaitan bagi terciptanya konsolidasi demokrasi yaitu (1) masyarakat sipil yang

bebas dan aktif.(2) masyarakat politik yang bebas dan otonom. (3) tokoh-tokoh

politik utama yang tunduk pada aturan hukum. (4) birokrasi yang mendukung

pemerintahan yang demokratis. (5) masyarakat ekonomi yang dilembagakan.

Senada dengan parameter di atas Larry Diamond juga menegaskan bahwa

esensi konsolidasi demokrasi terbentuknya perilaku dan sikap baik di tingkat elit

maupun massa yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip

demokrasi. Dengan mengutip Linsz, Diamond mengatakan bahwa “para

elit/pemain politik harus menghormati demokrasi (hukum, posedur, dan isntitusi

yang ditetapkan) sebagai satu-satunya olly game in town, satu-satunya kerangka

kerja untuk mengatur kehidupan masyarakat dan memajukan kepentingan

mereka. Sementara pada tingkat massa harus ada konsensus normatif dan

perilaku pada tingkat yang luas baik dalam skala lintas kelas, etnis, kebangsaan

dan pemisah-pemisah lainya.”

32

Fery Mursidan Baldan dalam “Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi”. P3DI DPR-RI, Jakarta 2008.

33 Lily Romly dalam “Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi”, P3DI DPR-RI, Jakarta 2008.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

50

Selanjutnya Diamond menekankan konsolidasi demokrasi mencakup tiga

agenda besar yaitu pertama, kinerja politik dan ekonomi rejim pemerintah

demokratis. Kedua, institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik,

parlemen, pemilu dan penegakkan hukum). Dan ketiga, restrukturisasi hubungan

sipil dan militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu

pihak dan terbentuknya civil society yang otonom.

Menarik dicermati, bahwa parameter pertama dari Diamond adalah menujuk

pada adanya pemerintahan yang efektif sebagai hasil pemilu sebagai salah satu

para meter konsolidasi demokrasi.

Apabila merujuk pada berbagai parameter konsolidasi demokrasi tersebut,

nampaknya Pemilu 2009 dengan pilihan sistemnya yang sejak awal diharapkan

sebagai sarana mengakhiri masa transisi dan mencipatakan konsolidasi

demokrasi yang semakian kuat masih belum sepenuhnya tercapai. Meski kinerja

hasil pemilu masih harus dinilai hingga lima tahun ke depan, namun indikasi

awal- khususnya menyangkut terbentuknya sikap dan perilaku elit politik yang

tunduk ada mekanisme demokrastis dan terciptanya pemerintahan demokratis

yang efektif- masih belum terpenuhi sesuai harapan.

Dengan demikian harus diakui secara substantif, sistem dan hasil Pemilu 2009

belum memenuhi target yang sejak awal ditentukan pada saat legislasi Pemilu

disusun. Hal itu, tetap membuka ruang untuk kembali dikaji dan disempurnakan.

B. KELEMAHAN LEGISLASI DAN REGULASI PEMILU 2009

Menyimak evaluasi Pemilu 2009 yang dilakukan oleh Kemitraan, ada enam

parameter proses penyelenggaraan Pemilu yang demokratis (democratic

electoral process), yakni mencakup :

(1) Pengaturan semua tahapan Pemilu mengandung kepastian hukum (tidak

ada kekosongan hukum, tidak ada kontradiksi antarketentaun dalam Pasal

Page 51: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

51

dalam suatau undang-undang, tidak multi tafsir, dan dapat dilaksanakan

sehingga dipahami dan dilaksanakan sama oleh seluruh pelaksana).

(2) Pengaturan semua tahapan Pemilu dirumuskan berdasarkan asas-asas

yang demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,

transparan dan akuntabel.

(3) Pengaturan dan pelaksanaannya menjamin integritas proses dan hasil

Pemilu (electoral integrity);

(4) Semua sengketa Pemilu (pelanggaran ketentuan pidana Pemilu, peraturan

administratif Pemilu, dan kode etik Pemilu) diselesaikan oleh penegak

hukum secara adil dan cepat. Sedangkan perselisihan hasil Pemilu

(electoral contest) diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi secara terbuka,

adil, secara prosedural serta akurat.

(5) Pemilu diselenggarakan tidak hanya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan, tetapi juga sesuai dengan tahapan, program dan jadwal

penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan perencanaan oprerasioanl yang

telah ditetapkan oleh penyelenggara.

(6) Penyelenggaran Pemilu yang profesional dan independen.

Dari keenam parameter tersebut, diantaranya yang penting juga adalah aspek

integritas proses dan hasil pemilu (electoral integrity). Proses penyelenggaraan

Pemilu dapat dikatakan memiliki integritas apabila semua tahapan Pemilu

diselenggarakan menurut peraturan perundang-undangan (undang-undang dan

Peraturan KPU) yang tidak saja mengandung kepastian hukum (tidak ada

kekosongan hukum, tidak ada kontradiksi antarketentaun dalam Pasal dalam

suatau undang-undang, tidak multi tafsir, dan dapat dilaksanakan), tetapi juga

dilaksanakan secara konsisten oleh intitusi yang berwenang. Integritas Pemilu

sangat penting diwujudkan karena akan menjamin perlakuan yang sama

terhadap pesrta dan calon, dan terhadap pemilih. Peserta Pemilu dan pemilih

Page 52: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

52

akan dapat menerima legitimasi Pemilu apabila ketentuan yang mengatur

berlaku sama dan ditegakkan secara konsisten tanpa kecuali.

Seluruh bangun teknis Pemilu memang disandarkan pada legislasi dan regulasi

yang semestinya ketentuan yang baik, lengkap dan mudah dilaksanakan sebagai

dapat menjadi pegangan bagi penyelenggara dan menjamin integritas dan

kualitas Pemilu. Begitu pentingnya legislasi dan regulasi Pemilu karena akan

menjadi rujukan bagi semua pihak yang terkait Pemilu.

Dalam konteks Pemilu 2009, legislasi yang dijadikan dasar adalah Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, merupakan penyempurnaan dari

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan

Pemilu tahun 2009.

Proses penyusunan UU Nomor 10 Tahun 2008 berlangsung alot dan memakan

waktu yang cukup lama, sehingga dari semula ditargetkan selesai pada tahun

2007, mundur satu tahun dan baru disahkan tahun 2008. Dari segi proses ini

saja dapat dilihat betapa penyusunan undang-undang ini sarat dengan

kepentingan yang sulit dipertemukan. Maka dapat dipahami jika sebagian

ketentuan yang dalam undang-undang tersebut dicapai melalui kesepakatan

fraksi setelah melalui lobi yang alot dan tetap menimbulkan ketidakpuasan begitu

disahkan.

Akibatnya undang-undang ini banyak digugat dan diajukan ke Mahkamah

Konstitusi, dan sebagian diantaranya dikabulkan. Tak kurang dari sepuluh

gugatan diajukan diantaranya yang dikabulkan adalah penentuan calon terpilih

sehingga menjadi suara terbanyak, perlakuan bagi Parpol peserta Pemilu 2004

untuk mengikuti Pemilu dari semula yang hanya memperoleh kursi di DPR

menjadi seluruh peserta Pemilu 2004 dapat menjadi peserta Pemilu serta

Page 53: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

53

ketentuan pengumuman hasil survei oleh lembaga yang melakukan survei

Pemilu.

Dalam pengamatan Ramlan Surbakti, terdapat setidaknya 40 materi yang

semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, namun kemudian

tidak lagi diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 sehingga

berpootensi menimbulkan kekosongan hukum dan menyulitkan pelaksanaan

Pemilu.

Berikut adalah beberapa identifikasi kelemahan pengaturan dalam Undang-

undang Nomor 10 Tahun 2008 yang antara lain meliputi:

(1) Ketentuan tentang sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional

terbuka (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010, tidak

konsisten dengan ketentuan penetapan calon terpilih yang menetapkan

kuota 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Hal ini dinilai

menimbulkan ketidakadilan sehingga digugat dan dibatalkan oleh

Mahkamah Konstitusi.

(2) Ketentuan tentang pemutakhiran data pemilih, khususnya terkait jangka

waktu pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS), masa perbaikan dan

penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) terlalu singkat sehingga dalam

praktek tidak mencukupi untuk perbaikan dan akurasi.

(3) Ketentuan tentang batas kursi dalam suatu Daerah Pemilihan (Dapil) DPR-

RI paling sedikit 3 dan maksimal 10 kursi, belum sepenuhnya dapat

mendorong keterwakilan karena dalam prakteknya dapat mencakup daerah

yang sangat luas (terdiri atas beberapa kabupaten) terutama di luar Jawa,

sehingga dapat terjadi satu propinsi hanya satu Dapil.

(4) Ketentuan tentang batas kursi dalam suatu Daerah Pemilihan (Dapil) untuk

DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tidak sepenuhnya dapat

diterapkan karena dalam praktek dapat terjadi karena jumlah penduduk

Page 54: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

54

yang sangat besar sehingga satu Dapil dapat melebihi jumlah kursi

maksimal di atas 12 kursi.

(5) Ketentuan tentang penetapan jumlah kursi dalam satu Dapil DPRD Propinsi

yang menegaskan bahwa jumlah kursi setiap Dapil anggota DPRD Propinsi

ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya (Pasal 24 ayat 2 UU Nomor

10 Tahun 2008). Ketentuan ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan

dalam Pasal 25 ayat (3) yang menentukan dalam hal terjadi pembentukan

provinsi baru setelah Pemilu dilakukan penataan Dapil di Provinsi induk

sesuai dengan jumlah penduduk. Dengan demikian tidak mungkin Dapil

tetap, karena jika ada pemekaran pasti ada pengurangan jumlah penduduk

yang berdampak pada berubahnya Dapil.

(6) Ketentuan yang mengatur penetapan kursi daerah pemilihan bagi anggota

DPRD Propinsi agar disesuaikan dengan penetapan kursi daerah pemilihan

anggota DPR-RI karena jumlah dan nama kabupaten/kotanya sama, sering

terjadi kesulitan ketika dimplementasikan karena untuk beberapa daerah

jika disamakan daerah pemilihannya akan menabrak ketentuan batas

jumlah kursi dalam sutau daerah pemilihan yang telah ditentukan antara 3-

12 kursi (Pasal 314 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2010). Hal ini terjadi

karena untuk menetapkan alokasi kursi tiap daerah pemilihan anggota

DPRD propinsi didasarkan atas Bilangan Pembagi Penduduk dan BPP

penduduk tersebut diperoleh dari hasil bagi total jumlah total jumlah

penduduk di propinsi tersebut dengan jumlah kursi DPRD propinsi yang

sudah secara pasti ditentukan yaitu paling sedikit 35 kursi dan paling

banyak 100 kursi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010).

(7) Ketentuan syarat bagi calon anggota legislatif (caleg) khususnya mengenai

pemenuhan syarat calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)

tahun atau lebih (Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g Undang-

Page 55: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

55

Undang Nomor 10 Tahun 2010) perlu menyesuaikan dengan semangat

putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009. Pada intinya yang

dilihat dalam pemenuhan syarat calon memnuhi 5 tahun atau lebih adalah

ancaman pidana yang sudah pasti yang menjadi dasar pengenaan

dakwaan.

(8) Ketentuan pencalonan anggota legislatif khususnya mengenai syarat

keterwakilan perempuan minimal 30 persen yang diajukanoleh Parpol

peserta Pemilu Anggota DPR/DPRD dalam pelaksanaannya sulit dipenuhi.

Parpol sering beralsan sulit memnuhi karena keterbatasan dan

kekurangsiapan kader perempuan. Hal ini perlu diperjelas mengani sanksi

jika Parpol tidak memnuhi kuota caleg perempuan apakah sanksi

adminstratif atau sanksi lainya.

(9) Ketentuan pemberian suara yang hanya membolehkan pemilih yang

terdaftar dalam DPT yang dapat menggunakan hak pilihnya banyak

mengakibatkan hilangnya hak pilih warga masyarakat. Hal ini terjadi karena

pendaftaran pemilih tidak berjalan sebagaiman mestinya.

(10) Ketentuan tentang teknis pemberian suara, dengan memberikan tanda dan

kemudian didalam prakteknya diakui berbagai tanda yang dianggap sah

menyulitkan warga sehingga banyak suara yang tidak sah.

(11) Ketentuan tentang peserta Pemilu Tahun 2004 yang dapat mengikuti

Pemilu Pada Tahun 2009, yang ditentukan hanya Parpol yang memiliki

kursi di DPR dinilai diskrimintaif dan kemudian dibatalkan oleh Mahkamah

Konstitusi.

(12) Ketentuan tentang perhitungan pengkategorian sisa suara dan sisa kursi

dalam suatu Dapil tidak jelas sehingga menimbulkan multi tafsir dan

sengketa di Mahkamah Agung maupun di Mahkamah Konstitusi.

(13) Ketentuan tentang pembatasan pengumuman hasil survei oleh lembaga

survei publik terkait persepsi masyarakat terhadap peserta Pemilu dianggap

Page 56: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

56

membatasi dan tidak sejalan dengan nilai-nilai dalam konstitusi sehingga

digugat dan kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Kosntitusi.

(14) Ketentuan kampanye bagi parpol peserta Pemilu yang telah ditetapkan

sebagai peserta Pemilu yaitu 3 (tiga) hari setelah penetapan peserta Pemilu

tidak secara tegas mengartu bentuk-bentuk dan media apa saja yang

digunakan dalam kampanye dan apa sanksinya jika melanggar ketentuan

bentuk dan waktu kampanye. Hal ini terkait dengan ketentuan sanksi

kampanye hanya berlaku bagi kampanye terbuka (rapat umum).

(15) Ketentuan ambang batas 2,4 persen perolehan suara sah Parpol secara

nasional untuk menetapkan Parpol peserta Pemilu yang dapat diikutkan

dalam pehitungan kursi DPR perlu dipertegas apakah hanya berlaku bagi

suara sah DPR atauakah termasuk sura sah DPRD Propinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota. Perlu penegasan apakah ketentuan ambang batas ini

hanya berlaku bagi pembagian kursi DPR ataukah juga berlaku bagi

pembagian kursi DPRD Propinsi dan pembagian kursi DPRD

Kabupaten/Kota.

(16) Ketentuan penetapan/pembagian kursi perolehan kursi DPR, tidak

mengatur secara tegas penempatan kursi hasil perhitungan tahap III,

semestinya parpol yang memperoleh kursi tahap III baik berdasarkan

Bilangan Pembagi Pemilihan DPR yang baru pada tingkat propinsi maupun

peringkat sisa suara maka penempatan kursinya didasarkan atas sisa suara

suara terbanyak suatu parpol di daerah pemilihan yang masih tersedia sisa

kursi yang belum terbagi dan sisa suara parpol tersebut juga lebih banyak

dari sisa suara parpol lain di daerah pemilihan yang bersangkutan (Pasal

205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 206 dan Pasal 208 Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2010). Hal ini juga perlu memperhatikan hasil

putusan sengketa Pemilu yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi

dalam putusan Nomor 74-80-94-59-67/PHPU.C-VII/2009).

Page 57: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

57

(17) Ketentuan parpol menjadi peserta Pemilu berikutnya apabila sudah

ditentukan prosentasenya berdasarkan perolehan kursi DPR, atau kursi

DPRD propinsi, atau kursi DPRD kabupaten/kota, semestinya tidak perlu

diatur bahwa parpol yang memperoleh kursi seberapapun tetap dapat

menjadi peserta Pemilu berikutnya. Hal ini akan bertentangan dengan

ketentuan mengenai prosesntase berdasarkan jumlah kursi yang diperoleh

parpol untuk menjadi peserta pada pemilu beriktunya (Pasal 316 hurf d,

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010).

(18) Ketentuan mengenai logistik Pemilu, khususnya surat suara cadangan yang

ditentukan sebanyak 2% dari jumlah pemilih tetap, dalam pelaksanaanya

menyulitkan karena surat suara yang datang dari percetakan tidak selalu

persis jumlahnya karena setiap dus seringkali jumlahnya tidak tepat karena

menggunakan mesin hitung elektronik, sehingga cadangan riil yang

diperoleh oleh KPU/KPU Propinsi/KPU Kabupaten/Kota tidak sesuai dan

selalu kurang dari hitungan yang ditetapkan (Pasal 145 ayat (2) dan Pasal

150 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010).

Selain berbagai kelemahan tersbut masih terdapat sejumlah ketentuan dalam

Pasal maupun ayat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 yang dalam

pelaksannaannya menyulitkan pelaksana pemilu di lapangan sehingga perlu

dikaji dan disempurnakan dalam rangka memperbaiki pelaksanaan

penyelenggaraan Pemilu tahun 2014 yang akan datang.

Setelah mengidentifikasi kelemahan legislasi, -dalam hal ini Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2010,- dalam penyelenggaraan Pemilu juga ditindaklanjuti

dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilu sebagai

penyelenggara Pemilu. Ketentuan ini merupakan regulasi lanjutan yang

diperintahkanh oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 untuk diatur lebih

lanjut atau sering disebut sebagai petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk

teknis (Juknis) bagi pelaksana Pemilu.

Page 58: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

58

Selama ini terdapat cukup banyak regulasi yang dikeluarkan oleh KPU, terkait

penyelenggaraan Pemilu. Fakta-fakta empiris menunjukkan KPU sering kesulitan

ataupun terlambat dalam menyiapkan regulasi sehingga mengganggu

kelancaran penyelenggaraan Pemilu. Tercatat sejumlah tahapan Pemilu yang

sudah berjalan seperti tahapan kampanye Pemilu 2009 namun regulasinya

belum tuntas atau bahkan ada yang mengalami perubahan-perubahan saat

dilaksanakan.

Di antara regulasi yang mengandung kelemahan dan menimbulkan persoalan

adalah Peraturan KPU yang mengatur teknis penetapan perhitungan suara dan

perolehan kursi. Peraturan ini kemudian digugat ke Mahkamah Agung (MA)

karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010. MA

kemudian mengabulkan gugatan dan membatalkan peraturan KPU namun dalam

prakteknya tidak dapat dilaksanakan. Hal ini menyisakan permasalahan yang

masih menggantung dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

C. KELEMAHAN PENYELENGGARAAN

Penyelenggaraan Pemilu 2009 sampai saat ini masih menyisakan banyak

permasalahan dan menimbulkan kekecewaan masyarakat. Bahkan, baru terjadi

kali ini, efek penyelenggaraan Pemilu berujung pada diajukannya hak angket

DPR terkait pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara. Banyak kecaman

dan tudingan diarahkan kepada ketidakprofesionalan KPU karena sumberdaya

manusianya dianggap lemah.

Berikut berbagai kelemahan penyelenggaraan Pemilu yang terjadi:

(1) Banyak pemilih tidak dapat menggunakan haknya

Pemilu 2009 yang semula diharapakan lebih baik, dengan alasan sudah

ada contoh sebagai pembelajaran dari Pemilu 2004 ternyata justru

berbanding terbalik. Pemilu 2009 disebut-sebut sebagai Pemilu yang paling

Page 59: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

59

buruk dilihat dari persiapan dan kesiapan lembaga penyelenggara. KPU

tampak sangat kedodoran sehingga berbagai tahapan menjadi terganggu

atau tertunda.

Salah satu kelemahan yang sampai saat ini masih menyisakan persoalan

adalah banyaknya pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Tercatat kurang lebih 59 (dichek lagi) juta pemilih dari pemilih terdaftar yang

tidak menggunakan hak pilihnya karena kelalaian KPU. Penyelenggara

pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilu (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu

(Bawaslu) dalam menyelenggarakan Pemilu tahun 2009, baik Pemilu

Anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden/ Wakil Presiden,

dua institusi ini mendapat sorotan dan kritik tajam dari berbagai pihak,

khususnya yang ditujukan kepada KPU. Kritik tajam tersebut disebabkan

oleh penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 diwarnai oleh sejumlah persoalan

serius, terutama dalam proses penyelenggaraan tahap pemutakhiran data

pemilih timbul masalah seputar akurasi DP4, DPS dan Daftar Pemilih Tetap

(DPT).

Sejumlah pihak menilai, KPU dianggap tidak profesional, kinerjanya rendah,

tidak memiliki kemampuan mengantisipasi masalah, koordinasi diantara

jajarannya lemah, dan sebagainya. Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya,

memberi penilaian bahwa KPU mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan

politik, termasuk oleh para peserta Pemilu, sehingga terkesan kurang

kompeten dan kurang profesional.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan bahwa

KPU telah terbukti melakukan penghilangan terhadap hak konstitusional

warga negara dalam Pemilu. Panitia Angket DPR RI juga menyimpulkan

bahwa KPU patut dinilai tidak mampu dalam melakukan pemutakhiran

daftar pemilih sehingga DPS dan DPT Pemilu Legislatif 2009 tidak akurat.

Berbagai kalangan dan pengamat di media massa juga turut memperkuat

Page 60: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

60

bahwa KPU memiliki sejumlah kelemahan dalam melaksanakan fungsi dan

tugasnya.

Permasalahan DPT ini tidak dapat hanya dipandang sebagai persoalan

teknis administrasi, melainkan juga permasalahan penghilangan hak

konstitusi warga negara untuk memilih. Selanjutnya, DPR membentuk

Panitia Khusus Hak Angket Mengenai Pelanggaran Hak Konstitusional

Warga Negara Untuk Memilih.

Berdasarkan hasil penyelidikan dan pemeriksaan Panitia Angket DPR RI

Tentang Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara Untuk Memilih,

pada tanggal 29 September 2009, menemukan fakta-fakta adanya berbagai

permasalahan yang dilakukan oleh KPU dalam penyelenggaraan Pemilu

tahun 2009, antara lain :

a) Pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh KPU terlambat dan

proses itu dilakukan dengan cara tidak profesional sehingga

mengakibatkan banyak terjadi penggelembungan data pemilih serta

warga masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif

2009 (padahal sebelumnya terdaftar dalam Pemilu 2004 atau bahkan

terdaftar dalam DPS Pemilu Legislatif 2009). Selain itu, KPU

berulangkali melakukan pemutakhiran data yang jelas-jelas

bertentangan dengan undang-undang. KPU dinilai tidak mampu dalam

melakukan Pemutakhiran Daftar Pemilih yang kemudian menghasilkan

DPS serta DPT Pemilu Legislatif Tahun 2009 yang tidak akurat.

b) Jumlah pemilih berdasarkan Keputusan Nomor 383/SK/KPU/2008

tanggal 24 Oktober 2008, dalam DPT sebanyak 170.022.239.

Selanjutnya berdasarkan Keputusan KPU Nomor: 427/SK/KPU/2008

tanggal 24 November 2008, DPT secara nasional berjumlah

171.068.667. Kemudian setelah kurangnya Perppu Nomor 1 Tahun

2009 jumlah pemilih dalam DPT menjadi 171.265.442 pemilih, terdiri

atas 169.789.595 pemilih dalam negeri dan 1.475.847 pemilih luar

Page 61: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

61

negeri yang tertuang dalam Keputusan KPU Nomor

164/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 7 Maret 2009. Terkait dengan

ditetapkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2009, KPU mengeluarkan Surat

Edaran Nomor 607/KPU/III/2009 tanggal 27 Maret 2009 mengenai

pemeriksaan dan penelitian pasca Perppu Nomor 1 Tahun 2009. Jumlah

DPT Pemilu Legislatif 2009 tersebut dinilai terlalu tinggi sebesar 9 juta

dibandingkan data proyeksi BPS (dan sekitar 14 juta dibandingkan data

untuk Pilpres 2009), jika dibandingkan dengan data proyeksi jumlah

penduduk berumur 17 tahun ke atas ditambah dengan penduduk umur

10-16 tahun yang pernah kawin pada pertengahan tahun 2009 adalah

sejumlah 160,8 juta. Dengan demikian DPS dan DPT PemiluLegislatif

2009 dapat dinyatakan tidak valid. Padahal disisi lain, banyak terdapat

warga negara yang kehilangan hak konstitusionalnya untuk memilih

karena tidak terdaftar dalam DPT.

c) Kekisruhan dalam penyiapan data kependudukan yang menghasilkan

DP4, serta pemutakhiran data pemilih yang menhasilkan DPS dan DPT

Pemilu Legislatif 2009, tidak dapat diawasi secara optimal oleh pihak

pengawas pemilu baik Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu

kabupaten/ kota, Panwaslu kecamatan, maupun oleh Pengawas Pemilu

Lapangan (termasuk Pengawas Pemilu Luar Negeri) karena terbentuk

secara kelembagaan (terutama panwaslu provinsi dan Panwaslu

kabupaten/ kota serta Panwaslu kecamatan dan pengawas pemilu

lapangan). Oleh karena itu Panwaslu di setiap tingkatan pun tidak dapat

memberikan rekomendasi apapun terkait dengan kekisruhan daftar

pemilih. Hal yang sama terjadi di Pengawas Pemilu Luar Negeri

khususnya di Malaysia ang baru terbentuk 4 (empat) hari sebelum

pelaksanaan Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009. Namun demikian

diakui Bawaslu (pengawas Pemilu Pusat yang bersifat permanen)

bahwa telah terjadi pelanggaran hak warga negara untuk memilih.

Terhadap hal itu, Bawaslu telah mengeluarkan surat rekomendasi

kepada KPU untuk membentuk Dewan Kehormatan karena adanya

Page 62: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

62

dugaan telah terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para

anggota KPU terkait dengan tahapan penyusunan Daaftar Pemilih.

Dalam perjalanannya, hingga saat ini tidak ada tindak lanjut atas

rekomendasi Bawaslu dimaksud. Oleh karena itu patut dinilai bahwa

KPU tidak serius menangani masalah DPT Pemilu Legislatif 2009.

d) DPT Pemilu Legislatif 2009 yang disusun oleh KPU tidak sesuai dengan

ketentuan Pasal 32 UU No. 10 Tahun 2008 karena tidak seluruhnya

memuat Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, tanggal lahir, jenis

kelamin dan alamat. Bahkan justru memuat NIK double (dua kali), triple

(tiga kali), atau lebih dalam satu TPS. Selain itu terdapat data pemilih

dalam DPT Pemilu Legislatif 2009 yang berisikan warga negara yang

sudah meninggal, anggota TNI/Polri, serta pemilih di bawah umur.

Ketidakakuratan DPT Pemilu Legislatif Tahun 2009 berpotensi terjadinya

penggelembungan suara dibeberapa daerah, termasuk DPT luar negeri.

e) Bahwa terbukti secara meyakinkan, telah terjadi pelanggaran hak

konstitusional warga negara untuk memilih pada pemilu Legislatif

tanggal 9 April 2009 yang disebabkan oleh tidak diterapkannya sistem

penyiapan DP4, sistem pemutakhiran data pemilih, dan sistem

penyusunan DPS dan DPT sebagaiman mestinya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Pemerintah dan

KPU.

f) Dalam melaksanakan tugasnya menyusun DPT Pemilu Legislatif 2009

yang sesuai peraturan perundang-undangan, KPU patut dinilai tidak

mampu melakukan pemutakhiran data pemilih dengan baik dan akurat.

g) Diduga telah terjadi tindak pidana terkait dengan perubahan secara

sepihak isi dan komposisi DPT Pemilu Legislatif 2009 yang dilakukan

oleh pihak rekanan percetakan DPT (PT. Jasuindo Tiga Perkasa Tbk)

yang berdomisili di Sidoarjo, Jawa Timur.

Page 63: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

63

(2) Pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih tidak akurat

Salah satu tahapan awal dalam penyelenggaraan Pemilu yang sangat

penting dalam kaitan seseorang dapat menggunakan hak pilihnya adalah

pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Permasalahan hilangnya hak

pilih warga negara yang semestinya berhak memilih adalah karena

lemahnya akurasi pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Akibatnya

jumlah pemilih yang tidak terdaftar sangat besar meskipun angka pastinya

sulit dipastikan.

Proses pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih yang dalam

pelaksanaanya menjadi tanggungjawab Panitia Pemungutan Suara (PPS)

dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDT) sebelum ditetapkan oleh

KPU/KPU Propinsi/KPU Kabupaten/Kota. Kelemahan yang terjadi antara

lain disebabkan pendafatrannya menggunakan asas domisili de jure

(berdasarkan KTP dan Nomor Induk Kependudukan/NIK) sehingga orang

yang tinggal disuatu tempat tapi tidak memiliki KTP tidak terdaftar.

Pada saat yang sama validitas administrasi kependudukan yang berbasis

NIK belum optimal karena masih banyak penduduk ber-KTP ganda. Hal ini

memicu munculnya pemilih siluman yaitu seorang terdata lebih dari satu

kali, pemilih yang sudah pindah lama tetap tercatat, pemilih yang sudah

meninggal masih juga dicatat dan lain-lain, dalam jumlah yang cukup besar.

Semua itu masih ditambah dengan lemahnya SDM dan ketersediaan

perangkat pendukung (teknologi) di PPS dan PPDP serta mekanisme

pengawasan atas pelaksanaan tugas penyusunan dan pemutakhiran data

pemilih. Jika dicermati permasalahan data pemilih memang terjadi dalam

setiap Pemilu sejak tahun 2004, namun untuk tahun 2009 tergolong lebih

buruk sehingga perlu perubahan dan perbaikan secara total.

Page 64: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

64

(3) Pemilih kesulitan menggunakan haknya

Selain masalah hilangnya hak pilih warga negara, Pemilu 2009 juga

tergolong menyulitkan pemilih. Padahal, salah satu indikator Pemilu yang

demokratis adalah memudahkan pemilih dalam menggunakan haknya.

Kesulitan tersebut terutama terjadi ketika pemilih akan menggunakan

haknya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini disebabkan antara lain

oleh hal-hal sebagai berikut:

a) Untuk dapat menggunakan hak pilih, harus terdaftar dalam DPT,

padahal akurasi DPT sangat lemah.

b) Bentuk dan ukuran surat suara sangan besar (ukuran jumbo) sehingga

ketika membuka dan mencari calon atau partai yang akan dipilih

sangat sulit karena gambar partai dan nama calon kecil. Tingkat

kesulitan semakin bertambah di beberapa daerah karena selain

ukurannya sangat besar lembar surat suara lebih dari satu. Akibatnya

banyak terjadi suara yang tidak sah yang besaranya mencapai kurang

lebih 14,41% atau sekitar 16 juta suara.

c) Pemberian tanda dengan mencontreng atau tanda lain dengan

menggunakan balpoint, karena bentuk surat suara yang besar juga

dapat mengakibatkan tercoretnya bagian lain sehingga tidak sah.

d) Kolom yang disediakan untuk nama calon terlalu kecil sehingga sulit

dicari, apalagi bagi pemilih yang sudah tidak mahir membaca dan

sudah terhambat penglihatanya atau sudah tua.

e) Ketika melipat surat suara juga sering terjadi kesulitan (salah lipat)

untuk dimasukan kedalam kotak suara.

f) Waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan hak pilih cukup lama

karena ada empat jenis surat suara dengan ukuran yang terlalu besar

dan lebar.

Page 65: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

65

(4) Jumlah peserta Pemilu terlalu banyak

Pemilu tahun 2009 diikuti oleh 38 partai untuk tingkat nasional dan 6 partai

lokal di Aceh sehingga total peserta pemilu legislatif menjadi 44 partai.

Jumlah 38 partai untuk tingkat nasional dinilai terlalu banyak dan tidak

sejalan dengan sistem Pemilu yang digunakan yaitu sistem proporsional

dengan daftar calon terbuka yang mengharuskan suarat suara harus

memuat gambar partai peserta pemilu dan nama calon anggota (caleg).

Banyaknya peserta pemilu inilah yang mengakibatkan ukuran surat suara

menjadi terlalu besar dan menyulitkan. Kalangan ahli dan pakar sering

memperkirakan mestinya dengan sistem proporsioanl terbuka maka jumlah

peserta Pemilu yang ideal berkisar antara 10-16 partai.

(5) Verifikasi peserta Pemilu tidak valid

Jumlah peserta Pemilu ditentukan oleh sejauh mana kualitas dan validitas

proses verifikasi peserta Pemilu. Sesungguhnya dengan ketentuan

persyaratan menjadi peserta Pemilu yang ada sudah cukup berat. Apabila

verifikasi dilakukan dengan benar banyak kalangan yang memperkirakan

peserta Pemilu legislatif tidak lebih dari 10 parpol. Salah satu hal yang

menentukan dalam verifikasi, terutama verifikasi faktual adalah kejelasan

metode verifikasi dan kualitas petugas verifikasi serta jangka waktu yang

cukup. Selama ini, selain karena metode verifikasi yang kurang jelas, biaya,

petugas dan jangka waktu yang tersedia terbatas sehingga proses

verifikasi tidak berjalan optimal.

(6) Jumlah calon anggota legislatif terlalu banyak

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 memperbolehkan

setiap peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR/DPRD

Propinsi/DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 120% dari jumlah kursi yang

tersedia pada setiap Dapil. Dengan ketentuan batas jumlah kursi pada

setiap Dapil berkisar antara 3-10 kursi untuk DPR RI dan 3-12 kursi untuk

Page 66: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

66

DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota maka dalam satu surat suara akan

terpampang nama calon paling sedikit 152 calon dan paling banyak 532

calon dari 38 partai peserta Pemilu.

Dapat dibayangkan, bagaiamana pemilih dengan mudah mengenal dan

memilah dan pada akhirnya memilih salah seorang calon karena banyaknya

calon yang harus dicermati. Banyaknya jumlah calon ini juga yang

mempengaruhi besarnya ukuran surat suara yang lagi-lagi akan

menyulitkan para pemilih ketika memberikan suara.

(7) Kerumitan logistik

Pemilu tahun 2009 yang diikuti oleh 38 peserta pemilu juga menimbulkan

kerumitan logistik yang tinggi. Pertama, terkait dengan surat suara bagi

2500 Dapil DPR/DPD dan DPRD. Dengan demikian untuk surat suara

terdapat kurang lebih 2500 jenis dan masih ditambah dengan logistik untuk

daftar calon, dan berkas adminitrsasi perhitungan suara dan empat kotak

suara pada masing-masing TPS. Kerumitan juga terjadi terkait pengiriman

(distribusi) logistik karena cakupan wilayah Indonesia yang begitu luas dan

kondisi geografis yang beragam tingkat kesulitannya sehingga pada Pemilu

2009 terjadi berbagai kekacauan logistik.

Kekacauan itu diantaranya banyak logistik khususnya suarat suara yang

tertukar (salah kirim) bahkan beberapa diataranya tetap digunakan karena

tidak cukup waktu untuk mengganti. Kesulitan logistik ini juga yang

mengakibatkan penundaan Pemilu, untuk wilayah Papua sehingga Pemilu

tidak dapat dilaksanakan secara serentak.

(8) Administrasi perhitungan suara rumit

Ketentuan dan tata cara pengisian berita acara hasil perhitungan suara di

TPS dinilai banyak pihak memiliki tingkat kerumitan yang tinggi sehingga

menyulitkan dan melelahkan pelaksana Pemilu khususnya KPPS. Hal ini

Page 67: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

67

terjadi karena variabel yang harus dimasukan dalam komponen berita acara

maupun sertifikat surat suara terlalu banyak.

Dalam pelaksanaannya banyak terjadi kekeliruan dan kesalahan pengisian

apalagi jumlah partai peserta Pemilu juga terlau banyak sehingga formulir

berita acara tebal. Kesulitan ini memicu berbagai kesalahan penulisan dan

memasukan variabel, sehingga akhirnya terjadi ketidakauratan pengisian

berita acara dan dapat mendorong terjadinya sengketa perselisihan hasil

Pemilu.

(9) Biaya mahal

Pemilu tahun 2009 membutuhkan anggaran yang sangat besar.

Sebagaimana diketahui pada tahap awal KPU menghitung kebutuhan

Pemilu legisltif sebesar kurang lebih Rp 40 triliun. Namun karena kondisi

keuangan negara yang terbatas, dan perlunya penghematan anggaran

untuk meneyelenggarakan Pemilu tanpa mengorbankan prinsip-prinsip

demokrasi, biaya tersebut dilakukan penghematan besar-besaran.

Mahalnya biaya Pemilu karena berbagai faktor seperti bentuk dan ukuran

suarat suara, jumlah peserta Pemilu, dan banyaknya formulir yang

dibutuhkan. Selain itu juga karena besarnya jumlah TPS dan petugas

pelaksana juga membutuhkan anggaran yang besar untuk honorarium

petugas. Jumlah biaya yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan Pemilu

akan semakin besar jika dihitung dengan pengeluaran yang dikeluarkan

oleh peserta dan para calon, meskipun untuk pos ini tidak berasal dari

anggaran negara.

(10) Kampanye belum mendidik

Pelaksanaan kampanye Pemilu tahun 2009 berbeda dengan Pemilu

sebelumnya. Peserta Pemilu sudah dapat melakukan kampanye setelah

tiga hari ditetapkan sebagai peserta Pemilu. Selain itu kampanye banyak

Page 68: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

68

dilakukan oleh caleg sebagai akibat sistem penentuan calon terpilih

berdasarkan suara terbanyak.

Namun berbagai kalangan menilai muatan dan substansi materi kampanye

belum mengarah pada mencerdaskan pemilih karena masih

mengandalakan pengerahan massa yang serintg juga menelan korban. Dari

segi akuntabilitas dana kampanye juga masih lemah. Sistem administrasi

dan pelaporan dana kampanye masih lemah sehingga setiap Pemilu sering

muncul dugaan penggunaan dana yang tidak sah untuk kepentingan

kampanye, namun sulit dibuktikan.

(11) Potensi sengketa Pemilu tinggi

Pelaksanaan Pemilu yang baik dan memenuhi asas-asas Pemilu yaitu

Luber dan Jurdil menjadi idaman semua pihak. Jika hal itu tercapai maka

kredibilitas dan integritas Pemilu dapat ditegakkan. Namun sejauh ini,

termasuk Pemilu 2009 masih menimbulkan berbagai kelemahan yang

mengundang ketidakpuasan dan peserta Pemilu tidak sepenuhnya

menerima hasil Pemilu.

Hal ini tampak dari banyaknya sengketa hasil Pemilu tahun 2009 yang

masuk ke Mahkamah Konstitusi. Pokok materi sengketa juga meluas, tidak

semata-mata hasil perhitungan namun juga memasuki materi lain seperti

praktek politik uang (money politics) dan penetapan kursi caleg terpilih.

Pemilu 2009 juga tercatat sebagai Pemilu yang sengketa Pemilu

berkepanjangan bahkan untuk satu materi sengketa diajukan ke Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi terkait penentuan hasil perolehan kursi

dengan putusan yang berbeda.

(12) Tingkat partisipasi pemilih tidak optimal

Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya (votting-turn-out) dalam

Pemilu legislatif 2009 mengalami penurunan dibanding Pemilu tahun 2004.

Pada Pemilu tahun 2004 partisipasi pemilih mencapai 87%, sedangkan

Page 69: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

69

pada Pemilu 2009 turun menjadi 70%. Dengan demikian 30% warga negara

yang berhak memilih tidak menggunakan hak pilihnya dan jika mengacu

pada pemilih terdaftar yang jumlahnya mencapai kurang lebih 170 juta

maka berarti terdapat kurang lebih 57 juta pemilih yang tidak menggunakan

haknya.

D. KELEMAHAN DARI ASPEK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga

kekuasaan kehakiman tersebut memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)

kewajiban konstitusional. Pasal 24C ayat (1) UUD menyebut secara eksplisit

mengenai empat kewenangan tersebut, yaitu: (1) menguji undang-undang

terhadap UUD; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) memutus pembubaran partai politik;

dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Sedangkan 1 (satu) kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 24C ayat (2) UUD

yang berbunyi sebagai berikut: “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan

atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh

presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang dasar.”

Semenjak didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003, MK telah menangani 3 (tiga)

kewenangan konstitusionalnya, yaitu; (1) menguji undang-undang terhadap

UUD; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara; dan (3) memutus

perselisihan hasil Pemilu.

MK sejak 2003 sampai dengan 2009 telah melaksanakan persidangan dari 404

perkara yang masuk dalam registrasi perkara. Di antara 404 perkara tersebut,

terdapat 247 perkara pengujian UU, 11 perkara sengketa kewenangan lembaga

Negara, 116 perkara PHPU legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden, dan 30 perkara lainnya terkait sengketa Pemilu Kepala Daerah.

Page 70: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

70

Dalam konteks pengujian undang-undang terhadap UUD, undang-undang yang

telah diuji sejak 2003 hingga 31 Desember 2009 adalah sebanyak 108 UU. Jika

dilihat dari frekuensi undang-undang yang diuji maka data menunjukkan bahwa

UU Nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD

merupakan UU yang paling banyak diuji yakni sebanyak 22 kali. Untuk lebih

lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No. Registrasi Gugatan Pemilu Pokok Masalah

1. Nomor 15/PUU-VIII/2010 “Alokasi Dapil Kota Tangerang Selatan”

2. Nomor 132/PUU-VII/2009 “Definisi Keuangan Negara”

3. Nomor 131/PUU-VII/2009 “Ketidakpastian hukum norma-norma

UU Pemilu Legislatif”

4. Nomor 130/PUU-VII/2009 “Tata cara penetapan kursi DPRD

Provinsi”

5. Nomor 119/PUU-VII/2009 “Tenggang waktu pelaporan

pelanggaran Pemilu”

6. Nomor 114/PUU-VII/2009 “Pembatasan pengajuan permohonan

Pemilu 3 x 24 jam”

7. Nomor 113/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua”

8. Nomor 112/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua”

9. Nomor 111/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua”

10. Nomor 110/PUU-VII/2009 “Pembagian kursi tahap kedua”

11. Nomor 107/PUU-VII/2009 “Suara rakyat yang tidak terwakili tidak

boleh terbuang”

12. Nomor 105/PUU-VII/2009 “Perolehan kursi partai politik”

13. Nomor 100/PUU-VII/2009 “Tenggang waktu pelaporan

Page 71: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

71

pelanggaran pemilu”

14. Nomor 9/PUU-VII/2009 “Hasil survei pemilu”

15. Nomor 4/PUU-VI/2008 “Diskriminasi hak terpidana terhadap

hak dipilih dalam pemilu legislative”

16. Nomor 3/PUU-VII/2009 “Parliamentary Threshold”

17. Nomor 32/PUU-VI/2008 “Iklan kampanye dalam pemilu”

18. Nomor 22/PUU-VI/2008 “Keterwakilan caleg perempuan dan

syarat perolehan suara caleg terpilih”

19. Nomor 32/PUU-VI/2008 “Iklan kampanye dalam Pemilu”

20. Nomor 22/PUU-VI/2008 “Keterwakilan caleg perempuan dan

syarat perolehan suara caleg terpilih”

21. Nomor 12/PUU-VI/2008 “Persyaran mengikuti Pemilu tahun

2009”

22. Nomor 10/PUU-VI/2008 “Pemilihan Anggota DPD”

Terkait dengan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD yang dinyatakan dapat

diterima oleh Mahkamah Konstiusi dapat dipetakan sebagai berikut:

1. Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008

“Persyaratan Mengikuti Pemilu Tahun 2009”

Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009

Pemohon 1. Partai Persatuan Daerah

2. Partai Perhimpunan Indonesia Baru

3. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan

4. Partai Patriot Pancasila

5. Partai Buruh Sosial Demokrat

Page 72: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

72

6. Partai sarikat Indonesia

7. Partai Merdeka

Pokok Perkara Pengujian UU No. 10 Tahun 2008

Norma yang diuji

Pasal 316 huruf d

Norma UUD 1945 sebagai alat pengujian

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2),

Amar Putusan Menyatakan pasal 316 huruf d UU 10 Tahun 2008

bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia

1945

2. Putusan Nomor 32/PUU-VI/2008

“Media Massa Boleh Menyiarkan Iklan Kampanye”

Putusan Nomor 32/PUU-VI/2008

Pemohon H. Tarman Asma, Kristanto Hartadi, Sasongko Tedjo,

Ratna Susilowati, Badiri Siahaan, Dedy Pristiwanto,

dan Ilham Bintang.

Pokok Perkara Pengujuan UU No. 10 Tahun 2008

Norma yang diuji

Pasal 98 ayat (2), Pasal 98 ayat (3), Pasal 98 ayat (4),

Pasal 99 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (2)

Norma UUD 1945 sebagai alat pengujian

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 F,

Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28J ayat (1)

Amar Putusan (1) Mahkamah berpendapat sejak era reformasi

negara telah memberikan jaminan yang sangat

tegas atas perlindungan kebebasan untuk

menyatakan pendapat baik dengan lisan maupun

dengan tulisan sebagai hak konstitusional warga

Page 73: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

73

negara dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.

(2) Jaminan tersebut semula dilakukan dengan

pencabutan ketentuan tentang keharusan adanya

surat izin bagi usaha penerbitan pers (SIUPP) dan

segala bentuknya sebagaimana diatur dalam UU

NO. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang kemudian

diperkuat posisinya melalui ketentuan Pasal 28E

ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan yang berbunyi

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,

berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

(3) Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 98 ayat (2),

ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 99 ayat (1) dan

ayat (2) UU 10 Tahun 2008 bertentangan dengan

kebebasan berekspresi (freedom of expression)

sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E ayat (3)

UUD 1945.

(4) Kedua Pasal a quo juga bertentangan dengan

ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi,

“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan

memperoleh informasi untuk mengembangkan

pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak

untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan

menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

(5) Dalam konklusinya, MK menyatakan pasal 98 ayat

(2), ayat (3), dan ayat (4) serta pasal 99 ayat (1)

dan ayat (2) UU Pemilu Legislatif menyebabkan

ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan

bertentangan dengan prinsip kebebasan

berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945. Dalil-dalil

Page 74: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

74

para pemohon juga beralasan.

Tanggal Putusan

24 Februari 2009

3. Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009

“Syarat bukan narapidana lima tahun bertentangan dengan UUD

1945 secara bersyarat”

Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009

Pemohon Robertus

Pokok Perkara Pengujian UU No. 10 Tahun 2008

Norma yang

diuji

Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g

Norma UUD

1945 sebagai

alat pengujian

Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2),

Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3)

Amar Putusan (1) Menyatakan mengabulkan permohonan

Pemohonan untuk sebagian;

(2) Menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1)

huruf g UU No. 10 Tahun 2008 serta Pasal 58 huruf

f UU No. 12 tahun 2008 bertentangan dengan UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara

bersyarat (conditionally unconstitutional);

(3) Menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1)

huruf g UU No. 10 Tahun 2008 serta Pasal 58 huruf

f UU No. 12 tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-

syarat:

Page 75: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

75

(i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih

(elected officials);

(ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya

selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai

menjalani hukumannya;

(iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang

secara terbuka dan jujur mengemukakan

kepada publik bahwa yang bersangkutan

mantan terpidana;

(iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang

berulang-ulang;

(4) Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk

selain dan selebihnya;

(5) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita

Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Tanggal

putusan

24 Maret 2009

4. Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009

“Pelarangan Pengumuman Hasil Quick Count pada hari Pemilu

Legislatif Bertentangan dengan UUD 1945”

Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009

Pemohon Denny A.Yanuar dan Umar S.Bakry

Pokok Perkara Pengujian UU No. 10 Tahun 2008

Norma yang

diuji

Pasal 245 ayat (2), (3), (5), Pasal 282, dan Pasal 307

Page 76: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

76

Norma UUD

1945 sebagai

alat pengujian

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28ª, Pasal 28C ayat (2), Pasal

28D ayat (1), dan Pasal 28F

Amar Putusan (1) Menyatakan mengabulkan permohonan

Pemohonan untuk sebagian;

(2) Mahkamah menyatakan pendapat bahwa Pasal

245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10 Tahun 2008

adalah tidak sejalan dengan semangat reformasi

dan Jiwa UUD 1945 yang mengedepankan

kebebasan berekspresi.

(3) Mahkamah juga berpendapat bahwa terhadap

Pasal 245 ayat (2) UU 10 Tahun 2008 yang

berbunyi, ”Pengumuman hasil survei atau jajak

pendapat tidak boleh dilakukan pada masa

tenang”, Mahkamah menilai bahwa hak-hak dasar

yang diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat

dikesampingkan oleh ketentuan a quo. Artinya,

pengumuman hasil survei tersebut tidak

inkonstitusional sepanjang tidak berkaitan dengan

rekam jejak atau bentuk lain yang dapat

menguntungkan atau merugikan salah satu peserta

Pemilu yang sudah diatur dalam Pasal 89 ayat (5)

UU 10 Tahun 2008.

Tanggal

Putusan

30 Maret 2009

5. Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009

“Perhitungan Kursi Tahap Kedua Konstitusional Bersyarat”

Page 77: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

77

Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009

Pemohon Wiranto dan Yus Usman Sumanegara dari Partai

Hanura (Pemohon I)

Ahmah Yani, Zainut Tauhid Sa’adi, M. Romahurmuziy,

Machmud Yunus, Muhammad Arwani (Pemohon II)

Suhardi dan Ahmad Muzani dari Partai Gerindra

(Pemohon III)

Tifatul Sembiring dan Anis Matta dari PKS (Pemohon

IV)

Pokok Perkara Pengujian UU No. 10 Tahun 2008

Norma yang

diuji

Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212

ayat (3)

Norma UUD

1945 sebagai

alat pengujian

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3),

Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1)

Amar Putusan (1) Mengabulkan permohonan para pemohon untuk

sebagian;

(2) Menyatakan Pasal 205 ayat (4) UU No 10 Tahun

2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally

constitusional). Artinya, konstitusional sepanjang

dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk

penetapan perolehan kursi DPR bagi parpol

peserta Pemilu dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

(i) Menentukan kesetaraan 50% suara sah dari

angka BPP, yaitu 50% dari angka BPP di

setiap daerah pemilihan anggota DPR;

Page 78: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

78

(ii) Membagikan sisa kursi pada setiap daerah

pemilihan anggota DPR kepada Partai Politik

peserta Pemilu anggota DPR, dengan

ketentuan:

a. Apabila suara sah atau sisa suara parpol

peserta pemilu anggota DPR mencapai

sekurang-kurangnya 50% dari angka BPP,

maka partai politik tersebut memperoleh 1

(satu) kursi.

b. Apabila suara sah atau sisa suara partai

politik peserta pemilu anggota DPR tidak

mencapai sekurang-kurangnya 50% dari

angka BPP dan masih terdapat sisa kursi,

maka: 1) suara sah partai politik yang

bersangkutan dikategorikan sebagai sisa

suara yang diperhitungkan dalam

penghitungan kursi tahap ketiga; dan 2)

sisa suara partai politik yang bersangkutan

diperhitungkan dalam penghitungan kursi

tahap ketiga.

(3) Menyatakan Pasal 211 ayat (3) UU Nomor 10

Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat

(conditionally constitusional). Artinya, konstitusional

sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai

berikut:

(i) Menentukan jumlah sisa kursi yang belum

terbagi, yaitu dengan cara mengurangi jumlah

alokasi kursi di daerah pemilihan anggota

DPRD Provinsi tersebut dengan jumlah kursi

yang telah terbagi berdasarkan penghitungan

Page 79: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

79

tahap pertama.

(ii) Menentukan jumlah sisa suara sah partai

politik peserta pemilu anggota DPRD Provinsi

tersebut, dengan cara:

a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi

pada penghitungan tahap pertama, jumlah

suara sah partai politik tersebut dikurangi

dengan hasil perkalian jumlah kursi yang

diperoleh partai politik pada tahap pertama

dengan angka BPP

b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh

kursi pada penghitungan tahap pertama,

suara sah yang diperoleh Partai Politik

tersebut dikategorikan sebagai sisa suara.

(iii) Menetapkan perolehan kursi partai politik

peserta pemilu anggota DPRD Provinsi

dengan cara membagikan sisa kursi kepada

partai politik peserta pemilu anggota dprd

Provinsi satu demi satu berturut – turut

sampai semua sisa kursi habis terbagi

berdasarkan sisa suara terbanyak yang

dimiliki oleh Partai Politik.

(4) Menyatakan Pasal 212 ayat (3) UU No. 10 Tahun

2008 adalah konstitusional bersyarat. Artinya

konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara

sebagai berikut:

(i) Menentukan jumlah sisa kursi yang Belem

terbagi, yaitu dengan cara mengurangi jumlah

alokasi kursi di daerah pemilihan anggota

Page 80: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

80

DPRD kabupaten/kota tersebut dengan jumlah

kursi yang telah terbagi berdasarkan

penghitungan tahap pertama.

(ii) Menentukan jumlah sisa suara sah partai

politik peserta pemilu anggota DPRD

kabupaten/kota tersebut dengan cara:

(iii) Menetapkan perolehan cursi partai politik

peserta pemilu anggota DPRD

Kabupaten/Kota, dengan cara membagikan

sisa kursi lepada partai politik peserta Pemilu

anggota DPRD Kabupaten/kota satu demi satu

berturut-turut sampai semua sisa kursi habis

terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang

dimiliki oleh partai politik.

(5)Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum

melaksanakan penghitungan perolehan kursi DPR,

DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tahap

kedua hasil pemilihan umum tahun 2009

berdasarkan putusan mahkamah ini;

(6) Memerintahkan pemuatan keputusan ini dalam

Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana

mestinya;

(7) Menolak permohonan para pemohon untuk selain

dan selebihnya.

Tanggal

Putusan

7 Agustus 2009

Page 81: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

81

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menunjukan adanya kelemahan

sehingga perlu penyempurnaan UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Di samping evaluasi sistem, legislasi

dan regulasi, penyelenggaraan Pemilu, putusan Mahkamh Konstitusi menjadi

salah satu acuan dalam arah pokok perubahan dan materi yang dimuat dalam

RUU Perubahan No 10 Tahun 2008 tersebut.

Berbagai kelemahan penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 yang telah dipaparkan

di atas mungkin belum sepenuhnya merangkum semua kelemahan yang ada.

Namun sudah barang tentu kelemahan tersebut menjadi catatan penting dan

menjadi bahan untuk dicarikan alternatif perbaikannya yang kemudian dijadikan

bahan untuk perbaikan penyelenggaraan Pemilu 2014 mendatang.

Page 82: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

82

BAB IV

ARAH PERUBAHAN DAN POKOK-POKOK MATERI

A. ARAH PERUBAHAN

Pada dasarnya penyempurnaan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu

anggota DPR, DPD dan DPRD diarahkan untuk memperbaiki kualitas

penyelenggaraan pemilu dari waktu ke waktu secara konsisten khususnya

berkaca dari pengalaman Pemilu 2009 dan adanya berbagai putusan Mahkamah

Konstitusi. Upaya memperbaiki penyelenggaraan pemilihan umum ini merupakan

bagian dari proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepening

democracy) serta upaya mewujudkan tata pemerintahan yang efektif. Dengan

penyempurnaan UU Nomor 10 Tahun 2008 ini diupayakan bahwa proses

demokratisasi tetap berlangsung melalui pemilihan umum yang lebih berkualitas

dan pada saat yang bersamaan proses demokratisasi berjalan dengan baik,

terkelola dan terlembaga.

Sejalan dengan hasil identifikasi kelemahan Pemilu Legislatif tahun 2009, maka

bisa ditentukan solusi atas kelemahan untuk menjawab permasalahan Pemilu

Legislatif Tahun 2009. Solusi ini mengarahkan perubahan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2008, yang selanjutnya akan dijabarkan dalam pokok-pokok

materi perubahan. Tujuan pokok yang ingin dicapai dari perubahan tidak lain

adalah memperbaiki sistem, legislasi dan regulasi, kelemahan teknis

penyelenggaraan, memperkuat keterwakilan sekaligus mendorong efektifitas

pemerintahan hasil Pemilu ke depan.

Adapun arah perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota

DPR, DPD dan DPRD meliputi:

Page 83: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

83

1. Penyederhanaan Sistem Pemilu

Sistem Pemilu yang diterapkan di Indonesia, menurut majalah Far Eastern

Ecnomic Review pada salah satu edisi tahun 2004, merupakan the most

complex electoral system in the world (sistem Pemilu yang paling kompleks)

di dunia. Hal ini karena jumlah Dapil mencapai 2057 dengan besaran kursi

berkisar 3-12, sehingga terdapat sekitar 20.000 kursi anggota DPR/DPRD.

Jumlah partai politik peserta Pemilu peserta Pemilu tercatat 24 partai

dengan calon anggota DPR/DPRD berkisar 96 sampai dengan 336 (asumsi

batas kursi 3-12 per daerah pemilihan). Pemilih harus memberikan suara

dengan mencoblos partai, partai dan calon atau calaon saja. Sedangkan

pembagian kursi dilakukan dengan memberikan kepada calon berdasarkan

nnomor urut, kecuali calon yang memperoleh BPP (Bilangan Pembagi

Pemilihan) sampai 100 persen.34

Pada Pemilu 2009 kompleksitasnya bertambah karena jumlah Dapil

bertambah terutama untuk pusat karena batasan alokasi kursi pada setiap

Dapil disederhankan menjadi 3-10. Jumlah peserta juga meningkat menjadi

38 prtai pada Pemilu Nasional dan 6 partai untuk Pemilu lokal di Aceh.

Kompleksitas itu secara jelas tergambar dalam bentuk surat suara yang

ukuranya sangat besar selebar kertas koran sehingga semakin menyulitkan

pemilih. Apalagi cara memberi tanda juga berubah dari mencoblos menjadi

mencontreng.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu dilakukan

penyederhanaan sistem Pemilu. Langkah penyederhanaan sistem Pemilu

menurut setidaknya menyangkut lima langkah;35

(1) Memperkecil daerah pemilihan dari 3-10 untuk DPR dan 3-12 untuk

DPRD menjadi 3-6 kursi pada setiap Dapil. Bagi wilayah

kabupaten/kota dan kecamatan yang mendapat alokasi kursi yang

34

Ramlan Surbakti, Penyederhanaan Pemilu, Jakarta, 2010. 35

Ibid halaman 5.

Page 84: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

84

melebihi batas maksimal jumlah kursi (karena memiliki jumlah

penduduk yang besar harus mengikuti besaran yang telah ditetapkan

dengan memilah wilayah itu menjadi satu, dua atau lebih Dapil).

(2) Jumlah perserta Pemilu perlu disederhanakan, sehingga dapat sejalan

dengan sistem Pemilu yang digunakan. Dis amping mempermudah

penyelenggaraan (surat suara, administrasi dan lainlain) lebih simpel.

Dan yang lebih penting jika jumlah peserta tidak terlalu banyak maka

hal ini akan memudahkan pemilih. Selain itu juga akan lebih

memungkinkan partai berkompetisi secara lebih sehat dan optimal

dalam menarik dukungan rakyat sehingga di kemudian hari setelah

selesai Pemilu pemilih akan lebih mudah mengontrol parpol.

(3) Jumlah calon yang dapat diajukan oleh setiap partai politik peserta

Pemilu sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah kursi yang

diperebutkan. Apabila batasan kursi setiap Dapil 3-6 kursi maka jumlah

calon akan berkisar 3-6 kali jumlah peserta Pemilu. Dengan demikian

dalam suarat suara tidak akan terlalu banyak calon dan ukuranya juga

kemungkinan lebih kecil sehingga pemilih tidak terlalu kesulitan dalam

menentukan pilihan terhadap calon.

(4) Tata cara pemberian suara Pemilu DPR dan DPRD perlu

disederhanakan yang mencakup;

a) Pemilih memberikan suara kepada calon dari satu partai politik

peserta Pemilu atau kepada satu partai peserta Pemilu. Jika

memberikan suara kepada calon berarti suara itu diberikan juga

kepada partai politik. Jika memberikan suara kepada partai maka

suara akan diberikan kepada calon yang ditentukan oleh partai

politik atau tetap hanya dihitung sebagai suara partai.

Page 85: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

85

b) Pemberian suara dilakukan dengan memberikan tanda contreng

pada kolom nama partai atau pada kolom nomor urut calon atau

kolom nama calon.

(5) Pembagian kursi di setiap Dapil kepada partai peserta Pemilu

dilakukan berdasarkan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Sedangkan

sisa kursi diberikan kepada peserta Pemilu berdasarkan urutan sisa

suara terbanyak.

2. Penyempurnaan Legislasi dan Regulasi Pemilu

(1) Perbaikan Mekanisme Verifikasi Peserta Pemilu

Jumlah peserta Pemilu akan menjadi salah satu faktor kunci yang

menentukan bagi kelancaran dan kemudahan teknis maupun pada

akhirnya dapat mengarahkan pada efektivitas ak hasil Pemilu.

Semestinya dengan sistem Pemilu yang menggunakan proporsional

terbuka penuh, maka jumlah peserta Pemilu tidak bisa terlalu banyak.

Hal ini terkait dengan desain surat suara agar tidak terlalu besar dan

memberikan kemudahan bagi pemilih pada saat menggunakan hak

suaranya.

Namun penyederhanaan jumlah peserta Pemilu harus dilakukan

dengan cara-cara yang legal dan demokratis yaitu mengacu pada

ketentuan undang-undang yang telah disepakati. Mengacu pada

Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 maka mekanisme yang telah ditentukan

adalah verifikasi peserta Pemilu secara cermat dan akurat. Banyak ahli

menyakini sesungguhnya sarat untuk menjadi peserta Pemilu baik

pada Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 sudah sangat ketat, namun

sayanganya dalam verifikasi yang dilakukan oleh KPU tidak cermat

dan akurat.

Ke depan, hal ini mesti menjadi perhatian dan perlu ada pengawasan

khusus terhadap regulasi lanjutan (juklak) yang dibuat oleh KPU dan

Page 86: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

86

pelaksanaanya, karena ketentuan tentang tata cara verifikasi selalu

didelegasikan lebih lanjut dalam peraturan KPU. Namun, tentu saja

jika verifikasi diharapkan dapat berjalan secara cermat dan akurat

dibutuhkan waktu yang cukup sehingga tahapan Pemilu harus cukup

waktu (waktunya panjang).

(2) Melindungi dan melayani hak pilih

Pada intinya Pemilu adalah memberikan kesempatan kepada warga

negara yang berhak (pemilih) untuk dapat menggunakan hak pilihnya

memilih wakil-wakil yang akan duduk di lembaga perwakilan. Oleh

karena itu, harus diupayakan sungguh-sungguh agar jangan sampai

ada pemilih yang tidak dapat menggunakan haknya. Pilihan yang

harus dilakukan adalah memperbaiki tata cara dan jadwal

pemutakhiran data pemilih sehingga memungkinkan prosesnya

berlangsung dengan baik.

Dalam konteks ini pilihan untuk mempercayakan pemutakhiran data

Pemilih kepada PPS semata perlu dipertimbangkan dengan lebih

memberdayakan KPU Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab.

Jika memungkinkan dan waktu yang tersedia cukup panjang maka

pelaksanaan Pantarlih langung dikordinasikan oleh KPU

Kabupaten/Kota dengan mengangkat PPDP (Petugas Pemutakhiran

Data Pemilih). Jangka waktu penyusunan DPS, perbaikan dan

penetapan DPT dibuat dalam jangka waktu yang cukup panjang agar

dapat diawasi untuk meminimlisir kesalahan dan ketidakakuratan.

Dengan mekanisme ini maka dimungkinkan hambatan SDM dan

teknologi dapat lebih diatasi. Asumsinya KPU harus melatih PPDP dan

menyediakan sarana pengolahan data yang memadai dengan SDM

yang kapabel. Setiap pemilih harus diberikan tanda bukti daftar, yang

nantinya dapat digunakan sebagai salah satu bukti memiliki hak pilih

saat akan melaksanakan hak pilihnya di TPS.

Page 87: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

87

(3) Penyederhanaan administrasi Pemilu

Administrasi Pemilu, khususnya di tingkat TPS, variabel yang harus

diisi oleh KPSS perlu disederhanakan agar tidak menyulitkan. Apalagi

seringkali pelatihan dan pembekalan bagi KPPS tidak memadai

sehingga ketika melaksanakan tugas banyak terjadi kesalahan. Jika

memungkinkan lebih mengutamakan data tentang jumlah pemilih yang

menggunakan, suara sah, perolehan calon dan perolehan partai.

3. Perbaikan Penyelenggaraan Pemilu

(1) Pengaturan kembali kalender Pemilu

Penyelenggaraan Pemilu merupakan kegiatan yang sangat kompleks

dan masif apabila dilihat dari cakupan wilayah dan keterlibatan

personil. Kegiatan ini akan mencakup seluruh wilayah Indonesia

bahkan juga di luar negeri, melibatkan kurang lebih 170 juta pemilih,

dengan ribuan macam jenis logistik. Dari segi personil terdapat kurang

lebih 5 juta orang baik personil di KPU, KPU Propinsi, KPU

Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia

Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan

Suara (KPPS). Jumlah itu masih ditambah dengan Petugas

Pemutakhiran Data Pemilih (PPDT), Pengawas Pemilu mulai tingkat

pusat (Bawaslu), Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota dan

Pengawas Pemilu Lapangan (PPL).

Mengingat begitu kompleks penyelenggaran Pemilu maka perlu

dikelola dan dirancang sedimikian rupa dengan alokasi waktu yang

mencukupi. Kilas balik penyelenggaraan Pemilu 2004 sebagai awal

Pemilu yang kompleks dan rumit dipersiapakan dalam jangka waktu

terbatas yaitu kurang 2 dari tahun karena undang-undangnya baru

disahkan pada tahun 2003 (UU Nomor 12 Tahun 2003) sehingga

menimbulkan permasalahan yang memprihatinkan. Meskipun Pemilu

Page 88: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

88

berjalan sukses, demokratis dan damai dan diakui dunia internasional

sebagai Pemilu yang berjalan cukup baik, namun para

penyelenggaranya (KPU) terjerat permasalahan hukum. Masalah

hukum ini dipicu oleh keterbatasan waktu, khususnya terkait

pengadaan logistik (barang) yang ketentuannya membutuhkan jangka

waktu yang panjang.

Problem keterbatasan waktu untuk persiapan Pemilu tahun 2009

kembali terulang. Perangkat hukum yang dijadikan dasar hukum baru

selesai pada tahun 2008 (setahun sebelum Pemilu UU Nomor 10

Tahun 2008 baru disahkan). Akibatnya lebih parah lagi dibandingkan

dengan Pemilu 2004, di mana banyak tahapan Pemilu yang kedodoran

dan hasilnya tidak maksimal seperti tampak pada kasus pemutakhiran

data pemilih yang berujung pada hak angket DPR karena banyaknya

hak pilih yang hilang karena warga yang berhak memilih tidak dapat

melaksanakan haknya.

Dari segi penyelenggara Pemilu (KPU dan jajaranya) juga menghadapi

permasalahan keterlambatan pergantian masa keanggotaan. KPU

Pusat masa periode 2002-2007 diperpanjang masa tugasnya selama 6

bulan dan bahkan sampai dikeluarkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undnag (Perpu) untuk mengatasi masalah ini.

Imbas dari perpanjangan masa tugas KPU pusat ini juga berimbas ke

bawah baik KPU Propinsi maupun KPU Kabupaten/Kota yang masa

tugasnya diperpanjang kurang lebih 6 bulan.

Kondisi ini mengakibatkan KPU periode berikutnya 2007-20012 juga

mundur sehingga terjadi situasi yang tidak ideal bagai penyiapan

tahapan Pemilu. Masa tugas KPU periode saat ini (2007-2012) baru

dilantik pada akhir 2007, sehingga terlalu pendek waktu untuk

mempersiapkan Pemilu 2009. Sebaliknya, kekosoangan tugas KPU

Page 89: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

89

saat ini terjadi lebih pajang setelah Pemilu 2009 selesai, mereka

praktis kegiatan KPU setelah Pemilu tidak terlalu signifikan lagi.

Situasi tersebut harus dipecahkan dengan melakukan pengaturan

kembali kalender Pemilu baik menyangkut penyelenggara maupun

tahapannya. Cara yang ditempuh adalah dengan mengalokasikan

waktu untuk persiapan penyelenggaraan Pemilu lebih panjang

sekurang-kurangnya 3 (tiga tahun). Demikian halnya dengan masa

keanggotaan penyelenggara Pemilu juga perlu ditata kembali agar

masa tugasnya sesuai dengan jangka waktu persiapan tahapan

Pemilu di atas (minimal 3 tahun).

(2) Efisiensi Biaya

Pada akhirnya apabila berbagai arah perubahan dan langkah-langkah

tersebut diharapkan dapat membuat Pemilu dapat berkurang

kompleksitasnya sehingga dari segi pembiyaan juga dapat lebih

diefsienkan. Apabila bentuk surat suara tidak terlalu besar dan jumlah

peserta Pemilu maupun calon juga dapat disederhanakan akan

mengurangi biaya logistik pokok Pemilu yaitu surat suara dan

formulirnya.

B. POKOK-POKOK MATERI PERUBAHAN

Berdasarkan pada arah dan langkah-langkah perubahan di atas maka beberapa

ketentuan yang perlu dilakukan perubahan dalam perubahan UU Nomor 10

Tahun 208 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD antara lain sebagai berikut;

1. Tahapan Penyelenggaraan Pemilu.

Dalam RUU perubahan Pasal 4 ayat (5) Diatur bahwa: ”Tahapan

penyelenggaraan Pemilu dimulai sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) bulan

Page 90: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

90

sebelum hari pemungutan suara”. Tahapan tersebut dimulai sejak

penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu.

2. Hari Pemungutan Suara di Luar Negeri.

Dalam RUU perubahan Pasal 4 ayat (4) diatur bahwa pemungutan suara di

luar negeri dapat dilaksanakan bersamaan atau sebelum pemungutan suara

di dalam negeri”.

3. Persyaratan Partai Politik Menjadi Peserta Pemilu

Dalam RUU Perubahan Pasal 8 ayat (1) diatur bahwa: “Partai Politik dapat

menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan antara lain memiliki

kepengurusan di seluruh Provinsi, memiliki kepengurusan di 75% jumlah

Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di

50% jumlah Kecamatan di Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

4. Pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu.

Dalam RUU perubahan Pasal 14 ayat (4) diatur bahwa: ”Jadwal waktu

pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU paling lambat

24 (dua puluh empat) bulan sebelum hari pemungutan suara”

5. Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu.

Dalam RUU perubahan Pasal 16 ayat (2) diatur bahwa: “verifikasi terhadap

partai politik yang mendaftar sebagai peserta pemilu harus sudah

diselesaikan oleh KPU paling lambat 18 (delapan belas) bulan sebelum

hari/tanggal pemungutan suara”.

6. Mekanisme Pengajuan Keberatan Partai Politik Calon Peserta Pemilu.

Dalam RUU perubahan Pasal 17A diatur bahwa Partai Politik calon peserta

Pemilu yang tidak lolos verifikasi KPU dapat mengajukan keberatan pada

Pengadilan tata Usaha Negara. Pengajuan keberatan tersebut diajukan

paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak putusan KPU dikeluarkan. Selanjutnya

Page 91: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

91

diatur mengenai mekanisme banding atas putusan Pengadilan tata Usaha

Negara ke Pengadilan Tinggi tata usaha Negara sampai putusan bersifat final

dan mengikat dan wajib ditindaklanjuti oleh KPU.

7. Mekanisme Penggunaan Hak Pilih Warga Negara.

Dalam RUU perubahan Pasal 20 ayat (2) diatur bahwa ”Dalam hal terdapat

Warga negara Indonesia yang belum terdaftar sebagai pemilih dapat

menggunakan hak memilihnya dengan bukti kartu tanda penduduk atau

paspor”.

8. Daerah Pemilihan Provinsi dan Kabupaten

Dalam RUU perubahan Pasal 24 dan Pasal 27 diatur bahwa ”dalam hal

penentuan jumlah kursi melebihi 12 kursi di sebuah dapil di Provinsi maupun

kabupaten/kota, maka jumlah kursi di daerah pemilihan tersebut dapat

melebihi ketentuan. Sebagai contoh di dapil Jakarta Timur yang lebih dari 12

kursi.

9. Penyedia Data Pemilih

Dalam RUU perubahan diatur bahwa KPU wajib menyediakan data pemilih

secara nasional. Data pemilih tersebut disusun KPU berdasarkan data

pemilih pada pemilu terakhir yang dimiliki KPU Kabupaten/Kota dan data

kependudukan dari pemerintah.

10. Penyerahan Data Pemilih dari KPU ke KPU Kabupaten/Kota

Dalam RUU perubahan Pasal 33 ayat ayat (1) dan ayat (2) diatur bahwa KPU

menyerahkan data pemilih ke KPU Kabupaten/Kota paling lambat 18 bulan

sebelum tanggal pemungutan suara. Oleh KPU Kabupaten/Kota data

tersebut menjadi bahan penyusunan daftar pemilih.

Page 92: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

92

11. Pemutakhiran Data Pemilih

Dalam RUU perubahan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diatur bahwa KPU

Kabupaten/Kota melakukan pemutakhiran data pemilih dari data yang

disediakan oleh KPU. Pemutakhiran data pemilih harus diselesaikan paling

lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya data dari KPU. Dalam pemutakhiran

data ini KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPDP, PPS dan PPK. Hasil

pemutakhiran data ini kemudian menjadi daftar pemilih sementara.

12. Daftar Pemilih Sementara

Dalam RUU perubahan Pasal 36 dan Pasal 37 diatur mekanisme

pengumuman Daftar pemilih sementara pada masyarakat, penerimaan

masukan/tanggapan dari masyarakat dan peserta pemilu dan kewajiban KPU

Kabupaten/Kota untuk memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan

masukan/tanggapan dari masyarakat. KPU Kabupaten/Kota juga harus

memberikan salinan daftar pemilih sementara kepada peserta pemilu

dikecamatan.

13. Daftar Pemilih Tetap

Dalam RUU perubahan ini Pasal 38 diatur bahwa KPU Kabupaten/Kota

menetapkan daftar pemilih tetap berdasarkan daftar pemilih sementara yang

telah diperbaiki. Daftar pemilih tetap tersebut ditetapkan paling lama 7 (tujuh)

hari sejak berakhirnya perbaikan terhadap daftar pemilih sementara. Diatur

lebih lanjut mengenai kewajiban KPU Kabupaten/Kota untuk memberikan

salinan daftar pemilih dalam bentuk softcopy atau cakram padat kepada

Partai Politik Peserta Pemilu.

14. Sistem Informasi Data Pemilih

Dalam RUU perubahan ini ditambahkan satu Pasal baru yaitu Pasal 47A

yang mengatur mengenai Sistem Informasi Data Pemilih yang berisi data

pemilih secara nasional. Data tersebut wajib dipelihara dan dimutakhirkan

oleh KPU Kabupaten/Kota agar dapat digunakan dalam Pemilu selanjutnya.

Page 93: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

93

Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem Informasi data pemilih ini diatur

dengan peraturan KPU.

15. Mekanisme Memilih bagi Pemilih yang Tidak Terdaftar Sebagai Pemilih

Dalam RUU perubahan ini ditambahkan satu Pasal baru yaitu Pasal 149A

yang mengatur mengenai mekanisme Pemilih yang tidak terdaftar pada

pemilih tetap atau daftar pemilih tambahan dapat menggunakan KTP dan

Paspor dengan ketentuan harus memilih di TPS yang sesuai dengan alamat

yang tertera di KTP atau paspor pemilih.

16. Mekanisme Pemberian Suara

Dalam RUU perubahan Pasal 153 diatur mengenai mekanisme pemberian

suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau

nama calon pada surat suara.

17. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Treshold)

Ketentuan Pasal 202 tentang ambang batas parlemen masih berupa

alternative draft. Alternatif rumusan 1 mensyaratkan 3% bagi ambang batas

partai politik peserta pemilu untuk bisa dihitung dalam perolehan kursi dan

alternative rumusan 2 mensyaratkan antara 2,5 persen sampai dengan 5

persen dan diberlakukan secara nasional. Artinya pada tingkat DPRD juga

berlaku ketentuan ambang batas ini. Terhadap ketentuan ini DPR

berpendapat agar penentuan angka ambang batas yang tetap akan lebih baik

apabila diputuskan dalam rapat pembahasan bersama antara DPR dengan

Pemerintah.

18. Konversi Suara menjadi Kursi

Ketentuan dalam Pasal 205 tentang Konversi suara menjadi kursi masih

terdapat dua alternatif rumusan yang diusulkan oleh DPR. Alternatif 1 adalah

konversi suara menjadi kursi dengan prinsip habis di dapil, dan alternative 2

Page 94: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

94

adalah konversi suara menjadi kursi dengan prinsip sisa suara ditarik ke

Provinsi. Terhadap ketentuan dalam pasal ini, DPR berpendapat agar

penentuan konversi suara menjadi kursi ini akan dibicarakan lebih lanjut

dalam pembicaraan tingkat I dengan Pemerintah.

19. Penetapan Calon Terpilih

Dalam RUU perubahan Pasal 214 diatur bahwa Penetapan calon terpilih

anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik

Peserta Pemilu ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara

terbanyak.

20. Penghitungan Cepat Hasil Pemilu

Dalam RUU perubahan Pasal 245 diatur bahwa pelaksana kegiatan

penghitungan cepat wajib memberitahukan sumber dana dan metodologi

yang digunakan untuk menjamin obyektifitas. Di samping itu diatur juga

bahwa pengumuman penghitungan cepat hasil Pemilu hanya boleh dilakukan

paling cepat setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia

bagian barat.

21. Ketentuan Pidana

Dalam RUU perubahan terkait dengan ketentuan pidana dilakukan

perubahan dan penambahan Pasal baru yang pada prinsipnya semakin

memberatkan sanksi pidana bagi:

a. Unsur penyelenggara pemilu yang dengan sengaja tidak memperbaiki

daftar pemilih sementara, tidak memberikan salinan daftar pemilih tetap

kepada partai politik peserta pemilu;

b. Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan suara seorang pemilih

tidak bernilai atau mendapat tambahan suara; dan

c. Setiap orang atau lembaga yang mengumumkan hasil penghitungan

cepat sebelum selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian

barat.

Page 95: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

95

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD harus dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagai perwujudan

kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan

adil perlu terus menerus ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu,

sehingga Pemilu 2014 dapat menghasilkan anggoat DPR, DPD, dan DPRD

yang semakin berkualitas dalam menyelenggarakan pengelolaan negara

dan pemerintahan.

B. SARAN

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD merupakan keharusan untuk

memperbaiki sistem dan penyelenggaraan pemilu. RUU ini perlu segera dibahas

untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Demikianlah Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dibuat untuk dijadikan

acuan dalam perumusan dan pembahasan yang dilaksanakan oleh DPR

bersama dengan pemerintah. UU yang dihasilkan diharapkan dapat memenuhi

Page 96: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

96

maskud dan tujuan bersama dalam menata sistem kelembagaan negara dan

pemerintahan.

Page 97: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

97

DAFTAR PUSTAKA

Affan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2000.

Alan Ware, Political Party and Party System, Oxford University Press, New York,

2000

Ben Reilly dan Andrew Reynolds, Sistem Pemilu, IDEA International Stockhlom,

United Nations New York, dan IFES Washington DC, 2001.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

2004.

Makmur Keliat dkk (Eds), Selamatkan Pemilu, Agar Rakyat Tak Ditipu Lagi, The

Ridep Institute, Jakarta, 2001

Robert Dahl, Perihal Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001

Ramlan Surbakti, Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru, dalam

Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 19 Tahun 2003.

Ben Reilly dan Andrew Reynolds, Sistem Pemilu, ACE PROJECT sebuah

kerjasama IDEA, United Nations, dan IFES, 2001

Indra Pahlevi, Pemilu Legislatif 2009 dan Kesiapan Infra Struktur Politik

Demokrasi di Daerah, Studi Pelaksanaan Pemilu 2009 di Provinsi

Sumatera Utara, Pusat Pengkajian Pengolahan Data Informasi,

Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009

Syamsuddin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi

dan Seleksi Calon Legislative Pemilu 2004, PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2005

Page 98: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

98

Ramdansyah, Sisi Gelap Pemilu 2009; Potret Aksesori Demokrasi Indonesia,

Rumah Demokrasi, Jakarta, Maret 2010.

Lili Romli (ed), Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi, Pusat Pengkajian

Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008.

Makalah :

I Ketut Putra Erawan, Ph.D, Logika Perubahan dan Keberlanjutan Sistem Pemilu

Bagi Indonesia 2009, Jakarta, Mei 2006.

Riswandha Imawan, Penyempurnaan Sistem Pemerintahan dan Sistem

Perwakilan, Jakarta, Mei 2006.

C. Effendi, Phd, Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah, Jakarta, Mei 2006

Dr. Ir. Sudarsono H, MA,SH, Pembahasan Berbagai Sistem Pemilihan dan

Sistem Pemilu 2009, Jakarta, Mei 2006

Miriam Budiardjo, Pemilu 1999 dan Pelajaran untuk Pemilu 2004, (Makalah

disampaikan pada Diskusi Meja Bundar Pemilu 1999 : Evaluasi dan

Reformasinya yang diselenggarakan oleh Cetro (Center for Electoral

Reform) pada tanggal 9 September 1999.)

Leonard Sebastian, Indonesia’s Historic First Presidential Elections, UNISCI

Discussion Papers, Octubre de 2004

Surat Kabar :

Fuad Bawazier, Pemilihan Presiden Langsung, Republika, 12 Juni 2000

Joko Siswanto, DPD Ibarat Macan Ompong, Sriwijaya Post, 26 Agustus 2002.

Page 99: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

99

Laporan:

Mengawal Demokrasi menegakkan Keadilan Substantif, laporan tahunan 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

The Carter Center 2004 Indonesia Election Report, June, 2005, (Atlanta : The Carter Center, 2004)

Internet

Bali Post, Dari Pemilu ke Pemilu, http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2004/3/12/n5.htm www.kpu.go.id

Sumber lain:

Undang-undang No.7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Undang-Undang No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR,

DPD, dan DPRD, Departemen Dalam Negeri, 2008.

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 15/PUU-VIII/2010 tentang

Alokasi Dapil Kota Tangerang Selatan

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 132/PUU-VII/2009 tentang

Definisi Keuangan Negara

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 131/PUU-VII/2009 tentang

Ketidakpastian Hukum Norma-norma UU Pemilu Legislatif

Page 100: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

100

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 130/PUU-VII/2009 tentang

Tata Cara Penetapan Kursi DPRD Provinsi

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 119/PUU-VII/2009 tentang

Tenggang Waktu Pelaporan Pelanggaran Pemilu

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 114/PUU-VII/2009 tentang

Pembatasan Pengajuan Permohonan Pemilu 3 x 24 Jam

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-

VII/2009 tentang Pembagian Kursi Tahap Kedua

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 107/PUU-VII/2009 tentang

Suara Rakyat yang Tidak Terwakili Tidak Boleh Terbuang

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 105/PUU-VII/2009 tentang

Perolehan Kursi Partai Politik

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 100/PUU-VII/2009 tentang

Tenggang Waktu Pelaporan Pelanggaran Pemilu

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 9/PUU-VII/2009 tentang

Hasil Survei Pemilu

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 4/PUU-VI/2008 tentang

Diskriminasi Hak Terpidana terhadap Hak Dipilih dalam Pemilu

Legislatif

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 3/PUU-VII/2009 tentang

Parliamentary Threshold

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 22/PUU-VI/2008 tentang

Keterwakilan Caleg Perempuan dan Syarat Perolehan Suara Caleg

Terpilih

Page 101: BAB I PENDAHULUAN -  · PDF filePenyusunan naskah akademis RUU Perubahan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

101

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 32/PUU-VI/2008 tentang

Iklan Kampanye dalam Pemilu

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 12/PUU-VI/2008 tentang

Persyaran Mengikuti Pemilu Tahun 2009

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 10/PUU-VI/2008 tentang

Pemilihan Anggota DPD