BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...
-
Upload
phungthuan -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pemerintah Daerah diberi hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kebijakan desentralisasi sebagaimana tertuang
dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan landasan
normatif bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk perubahan
kewenangan baik di tingkat Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, maupun
Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintahan Daerah sendiri menurut UU 32 th
2004 tersebut terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Dengan demikian Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang baru berumur
sekitar lima tahun akhirnya direvisi. Di dalam diktum menimbang Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004, disebutkan:
“bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti.”
Perubahan suatu undang-undang adalah hal yang wajar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, untuk mengikuti perkembangan masyarakat. .
Berkaitan hubungan Pemerintah Daerah dan DPRD dengan diterbitkannya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, khusus Pasal 40 yang menyebutkan,
2
bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya, Pasal 41
menyebutkan DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Dengan diterbitkannya undang-undang yang baru tersebut, maka kewenangan
DPRD menjadi lebih terbatas dibandingkan di dalam undang-undang sebelumnya,
yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Kehadiran Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 yang bersifat resentralisasi menyebabkan peran dan fungsi, serta
kewenangan DPRD menjadi terbatas, bahkan kewenangan eksekutif lebih besar
dibandingkan DPRD seperti yang pernah terjadi sebelum diberlakukannya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.
Di sisi lain, banyak kalangan masyarakat sudah sejak lama menyoroti atau
mempertanyakan tentang peran fungsi atau kinerja DPRD, apakah dapat
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat seperti yang diamanatkan
dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah sebagai wakil rakyat atau
mslsh berkonotasi negatif hanya sebagai simbol/stempel saja. Bentuk otonomi
yang disalurkan tersebut menginginkan substansi yang lebih riil, mengandung
makna pemberdayaan daerah sebenarnya.
Terbitnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengingatkan
kembali kepada otonomi daerah di masa Orde Baru. Sisi kelemahan di masa Orde
Baru dapat juga dilihat dari besarnya kekuasaan pemerintah (eksekutif)
dibandingkan lembaga perwakilan rakyat (legislatif). Sebagai negara demokrasi
masing-masing lembaga, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif seharusnya
mmpunyai kekuasaan mandiri, tanpa intervensi kekuasaan antar lembaga tersebut.
3
Selama Orde Baru dapat dikatakan kuatnya demokrasi eksekutif terhadap
legislatif dan yudikatif sehingga terdapat kerancuan dalam proses pembangunan
Negara. Istilah kekuasaan otoriter berselubungkan demokrasi dapat diungkapkan
melihat fenomena Negara Repoblik Indonesia selama 32 tahun di bawah
pemerintahan Orde Baru.
Dari kondisi ini dapat ditarik beberapa persoalan yang dapat didentifikasi
sebagai bentuk kurang berfungsi lembaga DPRD, dalam mendukung demokrasi
di daerah baik dalam proses pembentukan maupun kinerja yang dihasilkan
sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan jabatan sebagai lembaga DPRD dalam pelaksanaan tugas
Pemerintah Daerah sehingga menjadikan tidak optimalnya fungsi kontrol
lembaga DPRD terhadap kinerjanya. Disisi lain juga mengakibatkan
kerancuan pemahaman terhadap kedudukan DPRD sebagai lembaga yang
berfungsi sebagai tempat penyaluran aspirasi masyarakat di daerah. Fungsi
pengawasan terhadap kinerja Eksekutif yang selama ini mandul, kini rajin
dijalankan. Namun sebuah prestasi tidak selalu identik dengan
kesempurnaan. Apalagi jika beragam kasus korupsi, penyalahgunaan
jabatan dan tindakan tercela tidak luput dalam segenap akitifitas para
wakil rakyat. Bahkan kini nyaris terjadi diseluruh pelosok negeri ini.
(Kompas ; 2005, )
2. Dipihak lain masalah lembaga DPRD yang juga dipersoalkan, karena
keanggotannya lebih banyak mementingkan terhadap golongan/partai yang
4
diwakilinya dari pada kepentingan masyarakat sehingga berdampak
terhadap tidak tersalurnya aspirasi masyarakat dengan baik dan efektif
sesuai dengan tuntutan yang dikehendaki. Kesimpulan ini terangkum dari
pernyataan 35 persen responden yang beranggapan DPRD di daerah lebih
mengutamakan kepentingan partai politiknya dibanding kepentingan
masyarakat. Bahkan hal ini diperkuat pula oleh separuh responden yang
menyatakan kinerja DPRD di daerah saat ini lebih banyak menyuarakan
kepentingan pribadi masing-masing individu (Kompas, 2005 ; 32)
Padahal peran yang diharapkan dari Lembaga DPRD amat strategis dalam
upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan daerah. DPRD
diharapkan mampu menjadi penyambung aspirasi dan kepentingan masyarakat
daerah, guna kemajuan kemakmuran masyarakat sehingga dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 membawa perubahan dan paradigma baru
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Peran yang diharapkan dari
Lembaga DPRD amat strategis dalam upaya pemberdayaan masyarakat dalam
proses pembangunan daerah. DPRD diharapkan mampu menjadi penyambung
aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah, guna kemajuan kemakmuran
masyarakat.
Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka
permasalahan yang muncul adalah sejauh mana DPRD sebagai lembaga legislatif
daerah dapat melepaskan diri dari intervensi kekuasaan pemerintah daerah sebagai
lembaga eksekutif daerah, sehingga roda pembangunan daerah otonom berjalan
5
sesuai dengan asas desentralisasi. Tuntutan yang berkembang dalam masyarakat
adalah tuntutan agar dilibatkan dalam proses kebijakan pembangunan daerah. Hal
ini disebabkan masyarakat merasa selama ini ditempatkan sebagai objek, dan
bukan subjek dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat dipenuhi
adanya keterlibatan atau partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat
dikategorikan dalam perspektif sekaligus politik. Di dalam perspektif politik,
partisipasi ini merupakan proses demokratisasi, suatu proses aktif yang
memberikan kebebasan lebih besar kepada individu atau kelompok masyarakat
untuk terlibat dalam kebijaksanaan. Seluruh kegiatan masyarakat yang
mempunyai tujuan-tujuan untuk mempengaruhi penentuan arah dan strategi
kebijaksanaan pemerintah, baik yang dilakukan melalui cara yang legal, seperti
perhitungan suara atau yang disalurkan melalui lembaga perwakilan dan segala
bentuk aksi seperti demonstrasi dalam rangka menyampaikan tuntutan yang
diajukan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, juga merupakan
bentuk partisipasi politik (Samuel P. Huntington, 1994:8).
Persoalannya kemudian tingkat pendidikan seorang wakil akan
mempengaruhi secara berarti performance dari lembaga perwakilan. Berbicara
dalam kontes tarik menarik antara Legislatif ke tangan Eksekutif antara lain
disebabkan karena ketidakmampuan DPRD dalam hal pengetahuan teknis dan
keahlian dalam mengantisipasi perubahan struktur sosial, ekonomi dan politik
masyarakat modern yang sangat ketat. Dengan demikian untuk merealisasikan
fungsinya dengan baik, dengan sendirinya mutu atau kualitas anggota DPRD
6
sangat menentukan maka diperlukan pula pendidikan dan pengalaman (Josef
Riwu Kaho, 1991:71).
Salah satu tuntutan terhadap kinerja DPRD adalah pada pelaksanaan
pembangunan daerah sesuai semangat otonomi daerah yang lebih berdaya untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri namun tetap dalam koridor melalui
peraturan yang berlaku. Fenomena baru yang muncul dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah bahwa DPRD merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
. Berkaitan dengan kinerja DPRD maka menurut Prawirosentono (1992 :
2) kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai oleh seorang atau kelompok
orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-
masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.
Sementara Levine, dkk (1990) mengusulkan tiga konsep yang dapat
dipergunakan untuk mengukur kinerja sebuah lembaga publik , yaitu:
a. Responsiveness, yakni kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
b. Responsibility, yakni menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan
organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
7
administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik
secara implisit atau eksplisit.
c. Acountability, menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik untuk pada para pejabat politik yang dipilih oleh
rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat
digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak.
Berdasarkan undang-undang 32 tahun 2004, muncul kekhawatiran bahwa
DPRD sebagai lembaga legislatif daerah tidak mampu melepaskan diri dari
intervensi kekuasaan eksekutif (Kepala Daerah). Padahal, tuntutan yang muncul
di dalam masyarakat adalah dalam pelaksanaan pembanguan daerah kinerja
DPRD harus mampu merumuskan kebijaksanaan daerah sekaligus mampu
mengawasi jalannya pelaksanaan otonomi daerah oleh Kepala Daerah.
Rendahnya kinerja DPRD secara umum termasuk di Kabupaten Kulon
Progo mendasarkan pada hasil penelitian (kompas) dan berdasarkan pengamatan
penulis serta dikaitkan dengan teori diatas maka dapat dilihat dari belum
berjalannya peran, tugas dan fungsi DPRD secara baik. Permasalahan rendahnya
kinerja DPRD terlihat bila ditinjau dari faktor-faktor sebagai berikut: 1)
Akuntabilitas, hal ini belum berjalan sebagaimana mestinya kebijakan dan
organisasi publik konsisten dengan kehendak rakyat, sehingga
pertanggungjawaban oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan masyarakat daerah
belum efektif; 2) Responsivasi, dimana belum menunjukan kemampuan
organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan
8
prioritas pelayanan peserta pengembangan program-program pelayanan publik
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat daerah sebagai salah satu fungsi
DPRD itu sendiri; 3) Efektifitas, dimana dalam pelaksanaan fungsi DPRD
khususnya dalam fungsi legislasi belum digunakan hak inisiatif DPRD dalam
penyusunan Peraturan Daerah. Begitupun dari fungsi pengawasan yang terjadi
justru sebagai bentuk kecurigaan terhadap Pemerintah Daerah, bukan sebagai
kontrol yang membangun dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Dari uraian di atas diperoleh rendahnya kinerja tersebut dipengaruhi
karena belum adanya sosialisasi dan orientasi dalam bentuk pelatihan bagi
lembaga DPRD dalam pelaksanaan fungsinya secara teknis. Di samping itu juga
diperoleh rendahnya kemampuan DPRD dalam menganalisa dan menjabarkan
Peraturan Daerah yang ada. Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan diatas
menurut penulis secara kongkrit beberapa kendala dan hambatan dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD tersebut meliputi: Pertama, secara
kelembagaan (organisasi), kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki serta
belum jelasnya anggaran dan pembiayaan oprasional kegiatan DPRD di samping
tunjangan dan dan insentif berupa uang sidang. Kedua, dari segi Sumber Daya
Manusia, masih rendah tingkat pendidikan DPRD serta minimnya pengalaman di
bidang organisasi, politik, maupun pemerintah. Ketiga, dari segi informasi,
kurangnya media dan sumber informasi serta kurangnya keterbukaan dan
intensitas DPRD dalam menyerap informasi yang berkembang di masyarakat.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui dan membahas, bagaimana
9
kinerja lembaga DPRD Kabupaten Kulon Progo dan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhinya.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di dalam latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
melakukan pengkajian terhadap lembaga legislatif yang menjadi the core problem
penelitian tentang kinerja DPRD Kabupaten Kulon Progo, dengan rumusan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kinerja DPRD Kabupaten Kulon Progo dilihat dari aspek
Akuntabilitas, Responsivitas dan Efektifitas?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kinerja lembaga DPRD
Kabupaten Kulon Progo?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini adalah sarana fundamental untuk memenuhi pemecahan
masalah secara ilmiah, untuk itu penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah kinerja DPRD Kabupaten Kulon Progo
yang dilihat dari aspek Akuntabilitas, Responsivitas dan Efektifitas.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja
DPRD, sehingga dapat diidentifikasi dan dianalisis masalah dan kendala
dalam pelaksanaan fungsi DPRD Kabupaten Kulon Progo.
10
D. MANFAAT PENELITIAN
Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan adalah :
1. Dapat memberikan hasil atau manfaat dalam usaha meningkatkan serta
mengembangkan kualitas agar menghasilkan kinerja yang lebih baik
sebagai lembaga DPRD, khususnya DPRD Kabupaten Kulon Progo.
2. Sebagai masukan bagi para pengambil kebijakan, baik untuk kajian praktis
maupun akademis.
3. Untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam rangka meningkatkan
kinerja DPRD Kabupaten Kulon Progo.
E. KERANGKA TEORI
Untuk membangun suatu penelitian, kerangka teori sangat diperlukan
terutama sebagai landasan untuk menjawab masalah atau pernyataan penelitian.
Sejalan dengan tema dan topiknya, melalui pendekatan holistik penelitian ini
memerlukan dukungan tori-teori dan referensi-referensi tentang desentralisasi dan
otonomi daerah, kinerja organisasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
DPRD.
1. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Desentralisasi tidak bisa dipisahkan dengan masalah sentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan penyelenggaraan publik,
karena pada dasarnya berkenaan dengan “delegation of authority and
11
responsibility” yang dapat diukur dari sejauh mana unit-unit bawahan memiliki
wewenang dan tanggung jawab di dalam proses pengambilan keputusan (Miewald
dalam Pamudji, 1984: 2). Pide (1997 : 34) mengemukakan bahwa desentralisasi
pada dasarnya adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di
bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi
kepada institusi/lembaga/fungsionaris bawahannya sehingga yang
diserahi/dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama
sendiri dalam urusan tertentu tersebut.
Selain itu, Rondineli (1983 : 69) mengemukakan, desentralisasi perlu
dipilih dalam penyelenggaraan pemerintahan pembangunan, karena melalui
desentralisasi akan dapat meningkatkan efektifitas dalam membuat kebijaksanaan
nasional, dengan cara mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada
para pejabat tingkat lokal untuk merancang proyek-proyek pembangunan, agar
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Desentralisasi akan dapat
memungkinkan para pejabat setempat untuk lebih dapat mengatasi masalah-
masalah yang selama ini dianggap kurang baik dan ciri-ciri prosedur yang sangat
birokratis di dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan yang
seringkali dialami oleh Negara berkembang yang acapkali tercipta konsentrasi
kekuasaan, otoritas dan sumber-sumber yang begitu berlebihan dari tingkat pusat.
Jika dilihat dari fungsi-fungsi pembangunan yang didesentralisasikan para
pejabat, staf pada tingkat lokal atau unit-unit administratif yang lebih rendah, akan
dapat meningkatkan pemahaman dan sensitivitas (daya tanggap) mereka terhadap
masalah dan kebutuhan setempat, karena mereka akan bekerja pada tingkat
12
dimana suatu permasalahan tersebut terasa paling menekan dan terlihat paling
jelas.
Di samping pendapat Rondenelli, Barkley (1978 : 2) mengemukakan
bahwa desentralisasi dipandang dapat mendorong pengambilan keputusan yang
lebih cepat dan lebih luas atau dengan kata lain memberikan dukungan yang lebih
konstruktif di dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan Mc. Gregor (1966
: 3) menegaskan, jika kita dapat menekan pengambilan keputusan dalam
organisasi ke tingkat yang lebih rendah, maka kita akan cenderung memperoleh
keputusan-keputusan yang lebih baik. Desentralisasi bukan saja akan dapat
memperbaiki kualitas dari keputusan-keputusan yang diambil, tetapi juga akan
dapat memperbaiki kualitas daripada pengambilan keputusan, karena orang
cenderung untuk tumbuh dan berkembang secara lebih cepat manakala mereka
dimotivasi secara efektif dan ini bisa terjadi jika kewenangan pengambilan
keputusan didesentralisasikan. Hal demikian tadi harus menerapkan azas
desentralisasi yang berarti pengambilan keputusan pada tingkat bawah organisasi
dipandang sebagai cara terbaik untuk melahirkan keputusan-keputusan yang lebih
sesuai dengan kepentingan organisasi besar.
Secara terminologis, cukup banyak pengertian otonomi yang dikemukakan
oleh para pakar. Logemann (Koswara, 2001 : 59) memberikan konsep otonomi
sebagai berikut:
“bahwa kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otonomi berarti memberikan kesempatan kepadanya untuk menggunakan prakarsanya sendiri dari segala macam kekuasaan dan untuk mengurus kepentingan publik. Kekuasaan bertindak merdeka yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah
13
sendiri daerahnya itu adalah kekuasaan yang berdasarkan inisiatif sendiri dan pemerintahan berdasarkan inisiatif sendiri.”
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dikemukakan tentang pengertian otonomi daerah, yaitu kewenangan
daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pemberian kewenangan otonomi kepada daerah didasarkan
kepada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab.
Dari berbagai pendapat di atas terhadap pelaksanaan asas desentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan otonomi kepada
daerah, dapat disimpulkan bahwa motivasi dan urgensi pemberian otonomi
kepada daerah adalah sebagai upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan, upaya melancarkan pelaksanaan pembangunan
sesuai dengan kemampuan daerah serta meningkatkan peran serta masyarakat
dalam proses demokrasi di lapisan bawah, sehingga dalam konteks ini, analisis
terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi DPRD sebagai lembaga legislatif di
daerah menjadi sangat relevan, oleh karena salah satu prinsip yang terkandung
dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah pelaksanaan otonomi daerah harus dapat
meningkatkan peran dan fungsi legislatif daerah. Namun demikian, UU ini tidak
memberikan hak dan kewenangan yang cukup luas kepada DPRD agar dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
14
2. Kinerja Organisasi
Istilah kinerja atau penampilan kerja seringkali disamakan dengan istilah
yang lain yaitu job performance. Teori tentang job performance adalah teori
psikologi tentang proses tingkah laku kerja seseorang hingga ia akan
menghasilkan sesuatu yang akan menjadi tujuan dari pekerjaannya. Menurut
Prawirosentono (1992 : 2) kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai oleh
seorang atau kelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi
bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan
etika.
Levine, dkk (1990) mengusulkan tiga konsep yang dapat dipergunakan
untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu:
a. Responsiveness, yakni kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat, responsiveness
disini menunjukan keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan
sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam
menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukan dengan
ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal
15
tersebut jelas menunjukan kegagalan organisasi dalam mewujudkan
misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki
responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek
pula.
b. Responsibility, yakni menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan
organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik
secara implisit atau eksplisit.
c. Acountability, menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik untuk pada para pejabat politik yang dipilih oleh
rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat
digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak.
Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal
yang dikembangkan oleh organisasi publik itu pemerintah, seperti
pencapaian target, akan tetapi kinerja sebaiknya harus dilihat dari
ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas
yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai
dan norma yang berkembang dalam masyarakat.
Selanjutnya, Dwiyanto (2001 : 60) menambahkan beberapa indikator yang
biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, selain yang
dikembangkan oleh Levine dkk (1990) yakni:
16
a. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi
juga efektifitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami
sebagai rasio antara input dan output. Konsep ini dirasa terlalu sempit
dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba
mengembangkan suatu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan
memasukan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang
diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
b. Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting
dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak
pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul
karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang
diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan
masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja
organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan
masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai
kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah.
Sebagai suatu proses perilaku seseorang atau sekelompok orang yang
menghasilkan sesuatu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka kinerja
antar orang yang satu dengan yang lainnya di dalam situasi kerja dipengaruhi oleh
perbedaan karakteristik dari individu, di samping itu orang yang sama dapat
menghasilkan performance kerja yang berada di dalam situasi yang berbeda pula,
17
sehingga secara umum, kinerja dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor-faktor
individu dan faktor-faktor situasi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pengukuran tentang job
performance atau kinerja itu tergantung pada jenis pekerjaannya dan tujuan dari
organisasi. Johson dan Levin (Widodo, 2001 : 207) menyatakan bahwa faktor-
faktor yang bisa digunakan dalam menilai kinerja dan kualitas pekerjaan,
kerjasama, kepemimpinan, kehati-hatian, pengetahuan mengenai jabatan,
kerajinan, kesetiaan, dapat tidaknya diandalkan dan inisiatif. Selanjutnya
dijelaskan bahwa kinerja dapat dilihat berdasarkan kualitas kerja, kuantitas kerja,
sampel dari suatu tugas yang merupakan bagian dari pekerjaan, waktu yang
digunakan untuk mempelajari tugas, jumlah promosi yang pernah dilampaui,
rating kelompok serta rating atasan, sehingga pengukuran/penilaian kinerja
merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan
dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang
ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun suatu proses.
Prinsip-prinsip pemilihan ukuran kinerja menurut Johson dan Levin adalah
“Elevasi kembali ukuran yang ada, pengukuran harus motivasi tim kerja untuk pencapaian tujuan (Goal-driven Teamwork), mengukur kegiatan yang penting, tidak hanya hasil keseluruhan, proses pengukuran merupakan perangkat yang terintegrasi, fokus pengukuran harus melibatkan akuntabilitas publik.”
Berdasarnya uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja
merupakan hasil kerja yang telah dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang
dan tanggung jawab yang dimilikinya, sehingga pengukuran kinerja
18
merupakan metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi dibandingkan
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengukuran digunakan untuk
penilaian atas keberhasilan, kegagalan pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi organisasi yang didasarkan pada tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi organisasi.
Indikator yang dapat dipergunakan untuk mengukur kinerja DPRD
adalah sejauhmana pelaksanaan fungsi-fungsi yang melekat dalam
institusi DPRD tersebut dilaksanakan dikaitkan dengan aspek
responsivitas, produktivitas, dan kualitas lainnya. Meskipun DPRD
sebagai lembaga legislatif daerah, namun penggunaan konsep
organisasi publik dipandang tepat karena institusi ini merupakan
lembaga yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat,
membuat/menghasilkan kebijakan atau peraturan yang berdampak
pada masyarakat banyak.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja DPRD
Kinerja lembaga legislatif didalam sistem politik merupakan cermin dari
kadar terlaksananya kehidupan bernegara dan demokrasi, sehingga kajian
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap kinerja lembaga ini menjadi
sesuatu yang penting, mengingat tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh
lembaga legislatif daerah di era otonomi saat ini sangat besar. Johnson dan Levin
19
menyatakan bahwa ada 2 (dua) macam faktor yang dapat mempengaruhi kinerja
seseorang, yaitu:
a. Faktor individual yang meliputi sikap, sifat-sifat kepribadian, sifat
fisik, keinginan atau motivasinya, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pengalaman kerja, latar belakang budaya dan variabel-variabel
personal lainya.
b. Faktor sosial dan organisasi, meliputi kebijaksanaan organisasi, jenis
latihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial.
Melemahnya peran lembaga legislatif daerah sebagaimana mestinya sesuai
dengan harapan masyarakat, disebabkan oleh 2 (dua) faktor utama. Kedua faktor
penyebab itu adalah faktor internal dan faktor eksternal. Fried (1996) menunjukan
10 faktor yang menghambat berfungsinya lembaga politik, termasuk didalamnya
lembaga legislatif daerah (DPRD). Faktor-faktor tersebut meliputi: informasi,
keahlian, social power, popularitas, legitimasi, kepemimpinan, kekerasan
(violence), peraturan (rules), economic power, man power dan jabatan (office).
Sedangkan Curtis (1978) mengidentifikasi beberapa sumber kelemahan badan
legislatif, yang meliputi kekurangan fasilitas kerja, kekurangan saranapenelitian
dan kepustakaan, kekurangan tenaga sekretariat dan kurangnya spesialisasi
komisi-komisi yang ada di lembaga tersebut.
Sementara itu, Imawan (1993 : 79) mengklasifikasikan faktor-faktor yang
dapat menghambat anggota legislatif dalam melaksanakan fungsinya ke dalam 2
(dua) faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi:
a. Peraturan Tata Tertib
20
Tujuan diciptakannya sebuah peraturan adalah agar tugas-tugas yang
dijalankan dapat dilaksanakan secara tertib dan efisien. Namun, bila
peraturan itu terlalu detail, hal ini dapat menghambat pelaksanaan satu
tugas. Peraturan tata tertib yang terlalu detail inilah yang menjerat para
anggota legislatif untuk melaksanakan tugasnya.
b. Data dan Informasi
Hal yang paling menonjol dalam topik ini adalah terlambatnya anggota
legislatif dalam memperoleh data dan informasi yang diperlukan
dibandingkan pihak eksekutif. Kondisi ini dapat dimaklumi, sebab
pihak eksekutiflah yang bergelut dengan masalah pemerintahan sehari-
hari. Selain itu, untuk memutuskan suatu tindakan/kebijakan yang
sifatnya kolektif organisasi, jauh lebih sulit dibandingkan pada pihak
eksekutif, mengingat banyaknya kepentingan yang ada dalam lembaga
legislatif sehingga perlu adanya bargaining para anggota/lembaga.
c. Kualitas Anggota Legislatif
Secara formal, kualitas teknik anggota legislatif mengalami
peningkatan, akan tetapi hal ini tidak berimplikasi secara signifikan
terhadap peningkatan kinerja anggota legislatif. Persoalannya
terpulang pada tekad dan mental anggota legislatif untuk benar-benar
mewakili rakyat. Bukan rahasia umum, bahwa karena mereka
dicalonkan oleh partai sehingga banyak anggota legislatif yang tidak
memiliki akar dalam masyarakat. Kondisi semacam ini menimbulkan
banyaknya anggota legislatif yang berperan seperti orang birokrat,
21
yang berfikir bahwa mereka harus dilayani rakyat dan bukan
sebaliknya.
Sedangkan yang termasuk dalam kategori faktor eksternal, adalah:
a. Mekanisme Sistem Pemilu yang kita anut, sebenarnya sudah sangat
memadai untuk mendapatkan wakil rakyat yang representatif, namun
mekanisme pelaksanaan sistem perwakilan berimbang dengan stelsel
daftar yang kita anut, telah banyak memunculkan tokoh-tokoh
masayarakat karbitan. Penggunaan vote getter yang dikenal selama ini,
telah membuka kemungkinan bagi munculnya tokoh yang sama sekali
tidak dikenal oleh masyarakat.
b. Kejumbuhan Kedudukan Eksekutif dan Legislatif
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, lembaga legislatif ditempatkan
sebagai partner eksekutif. Partner dalam konteks ini lebih bersifat
kooptasi, dimana satu pihak (eksekutif) kedudukannya jauh lebih kuat
dari pihak yang lain (legislatif) sehingga kondisi ini sangat
berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing
institutsi/lembaga.
Sejalan dengan pendapat diatas, Thaib (2000 : 65) mengemukakan
bahwa paling tidak faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh
terhadap kinerja anggota legislatif dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya adalah:
a. Faktor Internal
22
1) Peraturan Tata Tertib, yaitu mekanisme kerja intern lembaga
legislatif diatur oleh sebuah peraturan Tata Tertib.
2) Kualitas Anggota, faktor kualitas anggota merupakan faktor
penting dalam mengoptimalkan pada lembaga legislatif. Peran
yang lebih besar dari lembaga ini tidak akan mungkin dicapai bila
para anggota lembaga tersebut tidak mempunyai kemampuan
untuk itu.
3) Sarana dan Anggaran, keterbatasan dana yang tersedia bagi DPRD
dapat menghambat pengembangan sarana penunjang yang
diperlukan bagi kelancaran kerja institusi ini.
4) Faktor penghambat lain yang dapat dimasukkan dalam faktor
internal ini adalah tradisi dan kejadian dalam sejarah lembaga
legislatif selama ini terutama setelah kembali ke UUD 1945 yang
menempatkan DPRD pada posisi lemah apabila berhadapan
dengan pemerintah.
b. Faktor Eksternal
1) Sistem Pemilihan, sebagaimana kita ketahui bahwa dalam sistem
politik Indonesia, para calon legislatif adalah calon-calon yang
diajukan oleh organisasi politik mereka masing-masing.
2) Latar Belakang Sejarah dan Iklim Politik yang Berlaku, dalam
sistem politik Indonesia, demokrasi eksekutif terhadap legislatif
sangat kuat.
23
3) Masih kurangnya Kesadaran terhadap Amanat Konstitusi, dalam
penjelasan UUD 1945 ditegaskan “… yang penting dalam
pemerintahan dan dalam hal hidupnya Negara ialah semangat,
semangat para penyelenggara Negara, semangat para pemimpin
pemerintahan …” Dalam kenyataannya, pihak eksekutif belum
sepenuhnya mendukung hubungan kerja dengan legislatif, dimana
selama ini suara lembaga legislatif sering tidak diperhatikan
dengan sungguh-sungguh oleh pihak eksekutif.
Adapun argumen yang penulis ajukan adalah bahwa walaupun
DPRD merupakan lembaga politik, tetapi kinerjanya sebagai suatu
organisasi tetap tidak dapat dilepaskan dari faktor kelembagaan
(organisasi), Kemampuan Sekretariat Dewan berkaitan erat dengan
Sumber Daya Manusia dan informasi. Walaupun diakui faktor politik
memberi pengaruh terhadap kinerja DPRD sebagai lembaga politik, tetapi
ke 3 (tiga) faktor tersebut juga memberi pengaruh pula terhadap kinerja
DPRD sebagaimana halnya kinerja organisasi pada umumnya. Selain itu
penelitian ini merupakan studi dibidang administrasi publik, oleh karena
itu layak pula menganalisis kinerja DPRD dari faktor kelembagaan
(organisasi), Kemampuan Sekretariat Dewan dan informasi dan bukan dari
faktor politik.
24
Maka variabel penjelas dari kinerja lembaga DPRD adalah :
1. Kelembagaan (Organisasi)
Organisasi dapat diartikan 2 macam yaitu : 1) Dalam arti statis,
organisasi sebagai wadah kerja sama sekelompok orang yang bekerja sama
untuk mencapai tujuan tertentu. 2) Dalam arti dinamis, organisasi sebagai
sistem atau kegiatan sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu.
(Ibnu Syamsi, 1994 : 13).
Sebagai kelembagaan posisi dan bentuk DPRD sebagai institusi
lembaga daerah, sebenaranya sudah cukup jelas, namun apakah hal ini
dengan sendirinya akan menjadi picu positif? syarat apa yang masih
diperlukan? Menurut Suhartono, ada dua hal yang perlu diperhatikan,
Pertama, bagaimana lembaga daerah akan menjadi oposisi dari Eksekutif,
tentu akan dipandang sebagai gangguan atas kemampuan yang sudah ada.
Dalam posisi yang demikian, institusi atau kekuatan sosial politik apa yang
diharapkan akan mendorong pelaksanaan lembaga daerah, sehingga kualitas
lembaga daerah (DPRD) tidak dicemari oleh unsur-unsur Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN). Kedua, sebagai organisasi yang akan bekerja bagi
kepentingan rakyat banyak, tentu saja secara teknis, lembaga daerah akan
membutuhkan sarana dan prasarana operasional. Yang menjadi masalah
siapa atau dari mana kebutuhan tersebut akan dipenuhi. (Suhartono, dkk,
2000 : 202-204).
25
Terhadap masalah ini muncul beberapa dugaan : 1) Pengurus
lembaga daerah akan malas sebab tidak ada insentif yang jelas; 2) Pihak
daerah (Perangkat Daerah) akan bisa mengendalikan karena pembiayaan
masuk dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dikelola
oleh Eksekutif; dan 3) Akan terjadi konflik baru di daerah, sehubungan
dengan kemungkinan administrasi operasional DPRD pada rakyat.
(Suhartono, Ibid).
Dari berbagai uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pelaksanaan fungsi dan tugas serta kinerja dari DPRD terletak dari daya
dukung organisasi dan sarana prasarana yang tersedia yang ada untuk
menyelaraskan berbagai kepentingan atau pihak yang terlibat, sehingga
memungkinkan kerja lembaga tersebut lebih efektif dan efisien. Maka untuk
mengetahui kinerja DPRD dapat dilihat dari seberapa jauh kemandirian
organisasinya.
2. Kemampuan Sekretariat Dewan
Kemampuan Skretariat Dewan merupakan faktor penting dalam
menuju misi, tujuan dan pencapaian hasil organisasi. Tanpa adanya sumber
daya manusia proses yang ada dalam organisasi tidak dapat dijalankan. Dari
berbagai sumber daya yang ada dalam organisasi, manusia merupakan
sumber daya yang paling penting dalam organisasi untuk mencapai
keberhasilan. Sebab sumber daya manusia merupakan satu-satunya yang
punya akal, perasaan keinginan, kemampuan, keterampilan, pengetahuan,
dorongan, daya dan karya. (Gomes, 1995 : 12).
26
Sedangkan menurut Miftah Toha, arti penting manusia dalam
organisasi dikatakan sebagai berikut :
“Betapapun majunya suatu organisasi dan betapapun modernya peralatan
yang digunakan, manusia dalam organisasi tetap menduduki peranan yang
menentukan.” (Miftah Toha, 1989 : 60).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan manusia
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan maupun kegagalan dalam
suatu organisasi.
Untuk mencapai keberhasilan dalam pembuatan kebijakan yang tepat
dan bermutu, melalui tahap dan proses yang tidak mudah kerena kebijakan
publik menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat yang sangat
kompleks. Sebagaimana pendapat Levelt yang menyatakan membuat
Undang-Undang merupakan pekerjaan yang sulit. Untuk itu, disamping
pengetahuan tentang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara,
diperlukan juga penguasaan sepenuhnya materi yang diatur, demikian pula
pengalaman rutin. (dalam Prakoso, 1985 : 7). Sehingga untuk menunjang
keberhasilan DPRD dituntut kemampuan yang tinggi, keahlian dan
pengalaman tertentu.
Kemampuan disini dapat ditempuh melalui pendidikan formal dan
pengalaman. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang aktifitasnya di
sekolah dan bermanfaat untuk mengembangkan daya fikir. Arti penting
pendidikan ialah dapat memberi pengetahuan yang luas dan mendalam,
melatih manusia berfikir rasional dan menggunakannya dalam kehidupan
27
sehari-hari, serta memberi kemampuan dan keterampilan untuk merumuskan
fikiran dan pendapatnya. (Kaho, 1991 : 72).
Sementara itu, Miftah Toha (1989 : 60) mengungkapkan bahwa
kemampuan seseorang dalam organisasi ditempuh dengan pengalaman.
Pengalaman adalah keseluruhan pelajaran yang dapat dipetik dari segenap
peristiwa atau hal-hal yang dilalui dalam perjalanan hidup seseorang. Dari
pengalaman, seseorang akan mendapat pengetahuan sehingga menjadikan
mereka lebih menguasai bidang kerja yang ditekuninya dan pengalaman
banyak membantu seseorang dalam memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya.
Dengan demikian pengalaman suatu hal yang telah dikerjakan oleh
seseorang, apa yang telah dikerjakan oleh seseorang itu kadang benar dan
kadang salah. Dan bisa juga apa yang telah dilakukan pada masa lalu itu
manis atau pahit, sehingga hal ini akan membekas pada kehidupan seseorang
yang tentu saja hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan
suatu pekerjaan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa potensi sumber daya
manusia akan menentukan kinerja organisasi. Dalam penelitian ini, sumber
daya manusia dilihat dari tingkat pendidikan yang pernah ditempuh dan
pengalaman dibidang organisasi.
3. Informasi
Dalam masyarakat modern peranan dan pengaruh informasi dalam
kehidupan seseorang dan organisasi sangat terasa. Tidak ada kegiatan yang
28
dilakukan oleh masyarakat dan organisasi, yang tidak memerlukan
informasi. Demikian pentingnya informasi khususnya dalam suatu oranisasi,
informasi dianalogikan sebagai daerah dalam organisasi. Ini berarti kalau
aliran darah mengalami hambatan maka organisasi akan jatuh pada posisi
tidak sehat (dalam Kumorotomo dan Subando, 1998 : 11). Dalam setiap
organisasi, keterangan atau informasi dianggap bahan pokok bagi setiap
pembuatan keputusan.
Informasi adalah data yang tersusun sedemikian rupa sehingga
bermakna dan bermanfaat karena dapat dikemukakan pada seseorang yang
akan menggunakannya untuk membuat suatu keputusan. (Kumorotomo,
Ibid).
Dengan demikian bahwa informasi sangat berguna dalam menunjang
pelaksanaan fungsi DPRD, baik informasi dari media cetak seperti koran
lokal dan buletin lokal maupun informasi dari masyarakat dengan
melakukan pertemuan-pertemuan (dialog) dalam menjaring dan menampung
informasi masyarakat. Maka apabila terhambatnya suatu informasi akan
mengakibatkan tidak dapat berjalan dengan baik fungsi dan tugas DPRD
sebagai wakil rakyat.
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu informasi
merupakan hal yang penting untuk mendukung kelancaran pelaksanaan fungsi
dan tugas DPRD. Dalam penelitian ini, informasi dapat dilihat dari sumber
informasi yang digunakan, keterbukaan menerima dan menyampaikan
informasi dan intensitas dalam menyerap informasi masyarakat.
29
Berdasarkan teori dan konsep yang telah dikemukakan, maka secara
skematis model analisis yang akan dilakukan dalam menguji kinerja DPRD
Kabupaten Kulon Progo dan era otonomi daerah serta faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja DPRD dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi
yang dimilikinya sebagai lembaga legislatif daerah, dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar. 1
Hubungan Antar Faktor/Antar Aspek
Kemampuan Setwan
1. Keahlian manajerial 2. Pengetahuan atas regulasi 3. Pemahaman atas kebutuhan
Kelembagaan (Organisasi) 1. Alat kelengkapan Dewan 2. Fraksi
Informasi 1. Keterbukaan menerima informasi 2. Intensitas dalam menyerap
informasi.
Kinerja DPRD 1. Akuntabilitas 2. Responsivitas 3. Efektifitas
30
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam peneilitian ini adalah pendekatan
deskriptif- kualitatif. Istilah penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor
(dalam Meleong, 2000:3) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Beberapa pertimbangan penelitian kualitatif (Moleong, 2001:5)
1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih apabila berhadapan kenyataan ganda
2. Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antar peneliti dengan responden;
3. Metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penejaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Sejalan dengan definisi tersebut Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian
kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan manusia dan kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.
Dengan kata lain bahwa dalam penelitian kualitatif lebih menekankan
unsur manusia sebagai instrumen penelitian. Karena hanya manusia sebagai alat
sajalah yang mampu untuk memahami kaitan terhadap berbagai kenyataan di
lapangan. Penelitian ini akan secara langsung melibatkan peneliti di dalamnya,
tidak hanya sebagai orang yang berdiri di luar obyek dan wilayah penelitian tetapi
juga sekaligus sebagai obyek penelitian dan akan menjalankan hasil rekomendasi
dari penelitian ini.
31
Pemilihan metode penelitian kualitatif ini disebabkan lebih fleksibel,
seringkali melibatkan pelaku dalam “latar alamiah”, serta lebih detail, ketimbang
metode kuantitatif (Chadwick, 1991).
Sedangkan untuk taraf penjelasannya, tipe penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini bersifat deskriptif yang lebih mendalam (thick description)
dan peneliti ikut berpartisipasi dalam mencoba untuk menggambarkan secara
mendalam suatu obyek penelitian berdasarkan pada fakta yang nampak
sebagaimana adanya.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah lembaga DPRD Kabupaten Kulon Progo
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah. Sedangkan alasan pemilihan lokasi tersebut adalah :
1. Diharapkan dapat lebih memudahkan dari segi pemahaman akan
kondisi daerah penelitian.
2. Masyarakatnya dikenal kritis dan selalu mengikuti perkembangan isu-
isu seputar kinerja lembaga legislatif daerah.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini pihak yang dijadikan sumber data adalah pejabat
yang dianggap mempunyai informasi kunci (key informan). Lebih jelasnya
kunci informasi penelitian ini adalah dalam menjelaskan rendahnya kinerja
DPRD Kabupaten Kulon Progo dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya,
maka data yang diperlukan sebagai berikut :
32
1. Data Umum (Sekunder)
Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari
sumbernya, melalui dokumen-dokumen atau catatan tertulis. Data yang
tertulis yang bersumber pada dokumen, sehingga disebut data
dokumenter, yaitu data atau gambar tentang lokasi penelitian, yang
meliputi: keadaan geografis, demografi, ekonomi dan sosial budaya
serta keadaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan DPRD baik
yang berupa data statis maupun yang bersifat dinamis. Sementara guna
mendukung hasil penulisan maka dokumen –dokumen yang berkaitan
dengan kelembagaan, SDM khususnya di sekretariat Dewan dan
informasi-informasi yang berhubungan dengan obyek penelitian akan
digali secara mendalam
2. Data Khusus (Primer)
Data primer adalah data yang secara langsung diperoleh dari
sumbernya, melalui observasi dan wawancara dengan sumber
informasi terpilih. Hasil observasi dan wawancara dengan sumber
informasi terpilih. Hasil observasi dicek kebenarannya dengan sumber
data lain (data sekunder).
4. Teknik Mengumpulkan Data
Menurut Lofland sumber data utama atau primer dalam penelitian
kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumen, dan lain-lain (dalam Moleong, 2001 : 112). Data primer
yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang berkaitan
33
dengan rendahnya kinerja DPRD Kabupaten Kulon Progo dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya dilihat dari pelaksanaan fungsinya. Data ini diperoleh
dari hasil wawancara, hasil pengamatan, juga jawaban responden. Data
sekunder meliputi gambaran umum tentang profil DPRD Kabupaten Kulon
Progo yang mencakup organisasi beserta mekanisme atau prosedur
pelaksanaan fungsi DPRD. Data primer ini diperoleh dari dokumen
Pemerintahan Daerah DPRD Kabupaten kulon Progo.
Untuk memperoleh data yang represif, maka penelitian ini akan
menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1. Wawancara Mendalam
Teknik wawancara dipergunakan untuk memperoleh data,
keterangan ataupun penjelasan dari orang yang berkompoten dengan
masalah yang diteliti. Teknik ini merupakan komunikasi langsung
antara penelitian ini dengan subyek penelitian untuk memperoleh data
yang lebih banyak. Dengan teknik wawancara, peneliti akan
memperoleh informasi yang memang hanya dapat diperoleh dengan
jalan bertanya langsung kepada responden.
Wawancara mendalam akan ditujukan kepada Ketua DPRD - Drs.
Kasdiyono, Ketua Komisi DPRD ; Drs Sudarminto, Thomas Kartoyo,
Gunawan Handoyo, SH, dan Anggota, Sekretaris – Drs. Djuwardi,
pejabat dan staf di Sekretariat DPRD yang dipilih secara random,
dengan tujuan semua anggota berpeluang untuk menjadi informan.
Untuk memperoleh data yang lebih akurat mengenai akuntabilitas,
34
responsivitas dan efektifitas pelaksanaan fungsi dan tugas DPRD.
Maka peneliti juga akan mengumpulkan data dari beberapa uinsur
yang terkait dengan penelitian ini yakni concern terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah serta mengetahui kinerja
DPRD Kabupaten Kulon Progo seperti dari pihak eksekutif-Ir. Agus
Anggono), tokoh masyarakat – Akibat SP, BcHK dan unsur pemimpin
organisasi kemasyarakatan – M. Suhaimi
Teknik dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi atau
menggali data yang tidak didapatkan dari data tertulis sehingga dapat
melengkapi data yang dibutuhkan. Dengan cara bertatap muka dengan
responden secara langsung untuk mengadakan tanggung jawab
mengenai masalah-masalah yang diteliti. Dalam proses ini hasil
wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang berintegrasi dan
mempengaruhi arus informasi. (Irawati, dalam Sofian Efendi, 1989 :
192).
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah data yang relevan dengan masalah yang diteliti
melalui dokumen-dokumen tertulis. Dokumentasi telah lama
digunakan dalam penelitian dlam penelitian sebagai sumber data
karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan
untuk menguji, mentafsirkan bahkan untuk meramalkan. Oleh karena
itu penggunaan dokumen merupakan hal yang tidak terabaikan lagi.
(Moleong, 2001 : 16). Dokumentasi dalam penelitian ini lebih
35
diutamakan untuk memperoleh data sekunder yang dibutuhkan untuk
mendukung data primer. Dokumen-dokumen yang digunakan terdiri
dari dokumen-dokumen yang ada pada instansi terkait, Pemerintah
Daerah, dan lembaga DPRD itu sendiri.
3. Pengamatan (Observasi)
Teknik pengamatan merupakan teknik pengumpulan data dimana
penyidik mengadakan pengamatan secara langsung (tanpa alat)
terhadap gejala-gejala subyek yang dimiliki. Moleong (2001 : 125-
126) mengatakan :
Ada berapa alasan untuk melakukan teknik pengamatan. Pertama,
didasarkan atas pengamatan secara langsung; Kedua, kemungkinan
melihat dan mengamati sendiri hingga dapat mencatat prilaku dan
kejadian sebagaimana yang terjadi; Ketiga, peneliti mencatat peristiwa
dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional
maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data. Keempat,
mencegah terjadinya “bias” pada data lapangan; Kelima, mungkin
peneliti mampu memahami situasi yang rumit; Keenam, dalam kasus-
kasus tertentu dimana teknik komunikasi lain tidak mungkin sehingga
peneliti hanya bisa mengamati.
Melalui teknik observasi peneliti langsung turun kelokasi penelitian
untuk mengidentifikasi sifat dan keadaan daerah penelitian. Tujuan
untuk mengamati mengapa rendahnya kinerja lembaga DPRD dan
36
mencatat secara sistematis gejala-gejala atau fenomena menyangkut
faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja tersebut.
5. Teknik Analisis Data
Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada agar sesuai
dengan tujuan penerlitian, maka metode analisis kualitatif. Metode analisis
kualitatif ini digunakan dengan pertimbangan :
Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan ganda; Kedua, metode ini menyajikan
secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden dan
Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan
banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola dan nilai-nilai
yang dihadapi. (Moleong, 2001 : 5).
Analisis dilalukan dengan melihat kondisi yang sebenarnya
terhadap rendahnya kinerja DPRD Kabupaten Kulon Progo. Dari apa yang
dikemukakan diatas, jelas bahwa tidak ada satu cara tertentu yang dapat
dijadikan pegangan bagi penyusun dan menganalisa data yang terkumpul.
Hal ini disebabkan karena data kualitatif terdiri dari kata-kata bukan
angka-angka.
7. Definisi Konsep
Pada tahap ini mendefinisikan konsep-konsep yang menjadi faktor/
aspek yang saling berhubungan sebagai terminologi penelitian ini. Definisi
konsep dari masing-masing faktor/aspek tersebut adalah
37
a. Definisi Konsep Kinerja DPRD adalah hasil kerja yang dicapai oleh
lembaga DPRD sesuai dengan fungsi dan tugasnya dengan
mengindahkan Akuntabilitas, Responsivitas dan Efektifitas yang dapat
digunakan dan dirasakan langsung oleh masyarakat.
b. Definisi Konsep:
1) Kelembagaan (organisasi) adalah sebagai wadah kerja sama atau
suatu sistem atau kegiatan sekelompok orang untuk menjalankan
tugas dan fungsi masing-masing guna mencapai tujuan organisasi.
2) Kemampuan Setwan adalah kuasa (bisa, sanggup) melakukan
sesuatu. Dengan kata lain juga kesanggupan, kecakapan, kekuatan
dalam menjalankan Tupoksi-nya sebagai Setwan.
3) Informasi adalah segala sesuatu baik berupa angka, tulisan, gambar
dan lain-lain apapun bentuknya yang disampaikan oleh seseorang
atau oleh lembaga/badan/organisasi yang dapat memberikan
manfaat bagi pengambilan suatu keputusan.
8. Definisi Operasional
Definisi operasional sering dijelaskan sebagai suatu spesifikasi
kegiatan peneliti dalam mengukur variabel. Menurut (Sofian Effendi, 1989
: 46), variabel operasional dijelaskan sebagai unsur peneliti yang
memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Pendapat
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa devinisi operasional akan mampu
menjelaskan fenomena secara tepat.
38
Definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian ini
adalah :
a) Kinerja DPRD akan diukur dengan indikator :
1) Akuntabilitas dengan tolok ukur : Apakah dari pelaksanaan
kegiatan DPRD dan kebijakannya telah sesuai dengan fungsi dan
wewenangnya, konsisten dengan hakekat masyarakat dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Pertanggungjawaban
DPRD dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
2) Responsivitas dengan tolok ukur: seberapa jauh anggota DPRD
tanggap dan bisa memahami kondisi yang berkembang dan apa
yang menjadi prioritas untuk diganti sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Berkaitan erat dengan daya tanggap DPRD terhadap
aspirasi masyarakat yang menjadi konstituennya.
3) Efektifitas dengan tolok ukur: Apakah tujuan, rencana dan program
dari lembaga DPRD sebagai penyambung aspirasi masyarakat
dapat melaksanakan fungsinya serta memberikan pelayanan dari
amanat yang diembannya. Adanya keseimbangan antara input dan
output sehingga program ataupun kegiatan dapat berhasil dan
berdaya guna.
b) Kelembagaan (Organisasi), Kemampuan Setwan dan Informasi)
dengan masing-masing operasional variabel adalah :
1) Kelembagaan (Organisasi), diukur dengan indikator :
39
a) Sarana dan prasarana
Pengaruh sarana dan prasarana yang dimiliki anggota DPRD
dalam lembaga legislatif daerah terhadap pelaksanaan tugas
pokok dan fungsi yang diembannya sebagai wakil rakyat.
b) Anggaran dan pembiayaan
Pengaruh anggaran dan pembiayaan yang dimiliki anggota
DPRD dalam lembaga legislatif daerah untuk menunjang
kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi yang diembannya
sebagai wakil rakyat.
2) Kemampuan Setwan, diukur dengan indikator:
a) Keahlian manajerial
Pengaruh manajerial atas berbagai agenda dan program yang
akan dilakukan oleh anggota DPRD, sehingga mampu
menempatkan agenda berdasarkan prioritas dan
keurgensiannya.
b) Pengetahuan atas regulasi
Pengaruh pengetahuan atas regulasi yang berlaku dan
digunakan dalam menjalankan pemerintahan.
c) Pemahaman atas kebutuhan
Pengaruh pemahaman atas kebutuhan Dewan atau anggota
Dewan terhadap suatu hal baik berupa data, informasi, yang
menyediakan hal-hal yang terkait dengan program yang akan
dijalankan oleh Dewan atua anggota Dewan.
40
1) Informasi, diukur dengan indikator:
a) Sumber Informasi yang digunakan
Tersedianya sumber informasi media yang diperlakukan
anggota DPRD dalam menunjang pelaksanaan fungsi DPRD.
b) Keterbukaan menerima dan menyampaikan informasi
Mengenai informasi yang dimiliki oleh anggota DPRD
memiliki kualitas dan dapat dipergunakan untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan fungsinya.
2) Intensitas dalam menyerap informasi
Informasi yang dimiliki oleh anggota DPRD memiliki validitas
(relevan atau sesuai) dengan permasalahan yang dihadapi dalam
pelaksanaan fungsinya.