BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

40
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penemuan senyawa antibiotik dan mekanisme aksinya pada abad ke-20 telah menjadi salah satu kisah sukses besar dari dunia biokimia organik, mulai dari penemuan penisilin, eritromisin, kloramfenikol, streptomisin, sampai vankomisin. Bagaimanapun “era keemasan penemuan antibiotik” telah terlewati, dan laju penemuan antibiotik baru selama 30 tahun terakhir melambat dengan drastis. Kegagalan program skrining berdasarakan target obat genomik di tahun 1990-an dan beberapa faktor lain membuat banyak industri farmasi mengurangi bahkan menghentikan program penelitian dan pengembangan di bidang antibiotik (Bugg, 2014). Seiring dengan penemuan dan perkembangan antibiotik dan agen antimikroba lainnya, resistensi adalah konsekuensi alami dari penggunaan antimikroba itu sendiri. Bahkan dengan penggunaan antimikroba dalam jumlah yang sesuai, tingkat kejadian resistensi dapat meningkat. Progresnya menjadi semakin cepat apabila terdapat penggunaan yang tidak tepat (World Health Organization, 2010). Peresepan antibiotik yang tidak tepat dan tidak perlu, penggunaan antibiotik yang berlebihan pada industrti pertanian dan peternakan, dan kurangnya kepatuhan pasien terhadap regimen pengobatan dengan antibiotik tampaknya menjadi kontributor utama munculnya resistensi antibiotik (Bologa dkk., 2013).

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penemuan senyawa antibiotik dan mekanisme aksinya pada abad ke-20

telah menjadi salah satu kisah sukses besar dari dunia biokimia organik, mulai

dari penemuan penisilin, eritromisin, kloramfenikol, streptomisin, sampai

vankomisin. Bagaimanapun “era keemasan penemuan antibiotik” telah terlewati,

dan laju penemuan antibiotik baru selama 30 tahun terakhir melambat dengan

drastis. Kegagalan program skrining berdasarakan target obat genomik di tahun

1990-an dan beberapa faktor lain membuat banyak industri farmasi mengurangi

bahkan menghentikan program penelitian dan pengembangan di bidang antibiotik

(Bugg, 2014).

Seiring dengan penemuan dan perkembangan antibiotik dan agen

antimikroba lainnya, resistensi adalah konsekuensi alami dari penggunaan

antimikroba itu sendiri. Bahkan dengan penggunaan antimikroba dalam jumlah

yang sesuai, tingkat kejadian resistensi dapat meningkat. Progresnya menjadi

semakin cepat apabila terdapat penggunaan yang tidak tepat (World Health

Organization, 2010). Peresepan antibiotik yang tidak tepat dan tidak perlu,

penggunaan antibiotik yang berlebihan pada industrti pertanian dan peternakan,

dan kurangnya kepatuhan pasien terhadap regimen pengobatan dengan antibiotik

tampaknya menjadi kontributor utama munculnya resistensi antibiotik (Bologa

dkk., 2013).

2

Resistensi antimikroba sediri menjadi salah satu masalah kesehatan

masyarakat yang paling serius di seluruh dunia. Hal ini menjadi masalah global

karena kemampuan dari resistensi antimikroba untuk menyebar antar negara

ataupun benua. Peningkatan perdagangan dan perjalanan jarak jauh

memungkinkan penyebaran patogen resisten secara cepat. Penyebaran New Delhi

Metallo-beta-laktamase-1 (NDM-1), enzim yang membuat bakteri seperti

Escherichia coli resisten terhadap antibiotik, dari India ke negara-negara barat

adalah salah satu contoh terbaik dari transmisi resistensi antimikroba antar negara.

Kasus ini menunjukkan dampak kritis resistensi antimikroba, bukan hanya pada

bidang kesehatan masyarakat namun juga pada bidang ekonomi dan perdagangan

(Kang & Song, 2013).

Asia merupakan salah satu pusat resistensi antimikroba di seluruh dunia.

Di antara mikroba patogen yang ada, macrolide-resistant Streptococcus

pneumoniae, methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), dan multidrug-

resistant (MDR) enteric pathogen menjadi perhatian utama di kawasan ini.

Pengawasan secara terus menerus sangat penting dilakukan untuk memberikan

informasi tingkat dan kecenderungan dari resistensi antibiotik (Kang & Song,

2013). Besarnya ancaman dari patogen MDR dan terus berkembangnya mikroba

resisten membuat pengembangan terapi antimikroba baru menjadi kebutuhan yang

sangat mendesak (Bologa dkk., 2013).

Produk alam adalah sumber utama obat-obatan antibakteri baru dan

menimbulkan revolusi pengobatan dari berbagai penyakit infeksi. Dimulai dari

penemuan penisilin pada tahun 1929, produk alam dan analognya terus berperan

3

penting dalam pengobatan, dua dari tiga antibiotik baru dari alam disetujui

sepanjang tahun 1980 sampai 2010 dan beberapa masih dalam tahapan uji klinik

(Bologa dkk., 2013). Beberapa tahun belakangan, banyak laporan tentang fungi

dan alga sebagai sumber alami dari senyawa bioaktif yang memiliki cakupan

aktivitas biologis luas seperti antibiotik, antivirus, antioksidan, antiinflamasi,

sitotoksik, aktivitas antimitotik, dan berbagai aktivitas lainnya. Efikasi produk

alam sebagai agen antibakteri mungkin berasal dari kenyataan bahwa mereka

telah diasah oleh proses evolusi untuk menjadi bioaktif (Gyawali & Ibrahim,

2014).

Pertumbuhan mikroorganisme yang paling ekstensif terjadi pada

permukaan tanah. Dengan temperatur dan kondisi kelembapan yang ideal, tanah

menyediakan media kultur yang baik bagi berbagai jenis mikroorganisme

(Benson, 2001). Selain itu partikel tanah mengandung berbagai macam

lingkungan mikro sehingga dapat menyokong pertumbuhan mikroorganisme

(Madigan dkk, 2012). Hal tersebut menjadikan tanah sebagai salah satu sumber

mikroorganisme yang potensial.

Pencarian antimikroba dari tanah di seluruh dunia telah menghasilkan

antibiotik dalam jumlah yang melimpah untuk pengobatan banyak penyakit. Dari

ratusan isolat yang diisolasi dari tanah di Mesir, beberapa isolat memiliki aktivitas

antifungi terhadap beberapa fungi patogen pada manusia dan tumbuhan seperti

Apergillus sp., Fusarium oxysporum, Penecillium digitatum dan Alternaria solani

(Gebree1 et al., 2008). Antibiotik seperti penisilin, griseofulvin diproduksi

Penicillium sp., dan sefalosporin diproduksi oleh Chephalosporium. Beberapa

4

mikroba lain yang diisolasi dari tanah di India juga menunjukkan aktivitas

antimikroba yang kuat (Singh et al., 2009).

Dari penelitian yang dilakukan oleh Putra (2012) didapatkan fungi

terpilih yang memiliki aktivitas antimikroba dari tanah hasil koleksi kebun herbal

Bagian Biologi Farmasi UGM. Terdapat tiga strain yang memiliki aktivitas

antibakteri yaitu strain dengan kode TBF-04, TBF-05, dan TBF-09. Strain fungi

TBF-05 dipilih karena dari skrining awal aktivitas antimikroba menggunakan

metode difusi, diketahui bahwa fungi tersebut menunjukkan zona hambatan

pertumbuhan terhadap bakteri uji Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan

Staphylococcus aureus namun tidak menunjukkan aktivitas terhadap Bacillus

subtilis. Dengan demikian fungi TBF-05 diharapkan menghasilkan metabolit yang

potensial untuk dikembangkan sebagai agen antimikroba.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, permasalahan yang

diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana potensi aktivitas antimikroba dari ekstrak etil asetat

fungi TBF-05?

2. Golongan senyawa apakah yang bertanggung jawab atas aktivitas

antimikroba ekstrak etil asetat fungi TBF-05?

5

C. Pentingnya Penelitian

Pada penelitian ini, potensi aktivitas antimikroba fungi TBF-05 diketahui

dengan menentukan nilai KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum) dan KHM

(Konsentrasi Hambat Minimum) fraksi etil asetat ekstrak fungi TBF-05.

Penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan penemuan antimikroba baru dari

fungi yang diisolasi dari tanah. Penelitian ini juga mendasari penelitian

selanjutnya tentang isolasi senyawa aktif dari fungi TBF-05 dan pengujian

aktivitas antimikroba esktrak etil asetat fungi TBF-05 terhadap strain mikroba lain

yang resisten.

D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui potensi aktivitas antimikroba dari fraksi etil asetat fungi

TBF-05.

2. Mengetahui golongan senyawa yang bertanggung jawab atas

aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat fungi TBF-05.

E. Studi Pustaka

1. Fungi

Fungi adalah organisme eukariot dan selnya memiliki membran nukleus,

karenanya terdapat banyak persamaan biokimiawi antara sel fungi dan sel

manusia. Fungi tersebar luas di alam, terdapat pada tubuh binatang berdarah panas

sebagai flora normal, sebagai dekomposer senyawa organik, dan sebagai patogen

pada hewan maupun tumbuhan. Fungi merupakan kelompok mikroba yang

6

penting dalam dunia kesehatan karena bertanggung jawab atas sejumlah penyakit

mematikan pada manusia. Namun, banyak jenis fungi memberikan berbagai

manfaat bagi kehidupan seperti dalam produksi minuman beralkohol, roti, dan

antibiotik (Hugo & Russel, 2004).

Fungi menghasilkan spora dan mengabsorbsi nutrisi dari lingkungan,

tidak mengandung klorofil, dan bereproduksi secara seksual maupun aseksual

(Prescott, 2002). Beberapa fungi memiliki sifat dimorf, yaitu dapat tumbuh

sebagai kapang maupun khamir. Dimorfisme pada fungi patogen tergantung pada

suhu, berbentuk khamir pada suhu 37oC dan seperti kapang pada suhu 25

oC

(Tortora dkk, 2010).

Pertumbuhan pada bentuk kapang terjadi dengan pembentukan koloni-

koloni multiseluler berfilamen. Koloni-koloni tersebut terdiri dari tubul-tubul

silinder bercabang yang disebut hifa dengan diameter bervariasi antara 2 μm

sampai 10 μm. Hifa yang menembus medium pertumbuhan dan mengabsorbsi

nutrisi adalah hifa vegetatif. Sedangkan hifa aerial berada pada permukaan

miselium (kumpulan hifa) dan biasanya menjalankan fungsi reproduktif dari

kapang (Kar, 2008). Genus atau spesies dari kebanyakan kapang yang diisolasi

dapat ditentukan dengan pengamatan ontogeni dan morfologi dari bentuk spora

aseksualnya (konidia) menggunakan mikroskop (Brooks dkk, 2007).

Fungi dalam bentuk khamir merupakan mikroorganisme bersel tunggal,

biasanya berbentuk bulat atau elips dengan diameter bervariasi antara 3 μm

sampai 15 μm. Kebanyakan khamir bereproduksi dengan pertunasan. Beberapa

spesies khamir membentuk tunas yang gagal melepaskan diri dari induknya dan

7

memanjang. Proses pertunasan terus menerus akan menghasilkan rantai sel

khamir memanjang yang disebut pseudohifa. Koloni khamir biasanya lembut,

keabuan, berukuran 1-3 mm, dan berwarna putih kekuningan. Karena kebanyakan

morfologi dari khamir memiliki bentuk mikroskopik yang mirip, spesies khamir

diidentifikasi berdasarkan uji fisiologis dan beberapa perbedaan morfologi khusus

(Brooks dkk, 2007).

Pada pertumbuhan di fase vegetatif, baik sebagai kapang maupun

khamir, fungi mampu memproduksi spora yang akan meningkatkan

kemampuannya dalam bertahan hidup. Spora yang sudah matang dan siap untuk

disebarkan bersifat lebih tahan terhadap kondisi ekstrim dan akan tumbuh ketika

kondisi pertumbuhannya terpenuhi (Brooks dkk, 2007). Baik reproduksi seksual

maupun aseksual pada fungi terjadi melalui pembentukan spora. Pembentukan

spora melalui reproduksi seksual disebut spora seksual, sedangkan spora yang

dihasilkan melalui proses reproduksi aseksual disebut spora aseksual.

Spora aseksual dihasilkan oleh hifa dari fungi melalui mitosis dan

pembelahan sel, sehingga akan menghasilkan organisme yang secara genetik

identik dengan induknya. Pada laboratorium, kebanyakan fungi hanya

menunjukkan spora aseksual. Spora seksual merupakan hasil fusi inti sel yang

berasal dari 2 strain spesies fungi yang sama. Organisme yang berasal dari spora

seksual akan memiliki karakteristik genetik dari kedua strain induknya. Fungi

sering diidentifikasi berdasarkan tipe sporanya. Hal ini disebabkan karena spora

dihasilkan oleh hifa reproduktif melalui sejumlah cara yang berbeda, tergantung

pada spesies funginya (Tortora dkk, 2010).

8

Fungi secara umum beradaptasi pada lingkungan yang berbahaya bagi

bakteri. Seperti bakteri, fungi bersifat kemoheterotrof, yaitu menyerap nutrisi dari

lingkungannya, bukan mencernanya seperti hewan. Akan tetapi, fungi berbeda

dari bakteri dalam kebutuhan lingkungan tertentu dan pada ciri-ciri nutrisi berikut:

1. Fungi biasanya tumbuh lebih baik pada lingkungan dengan pH sekitar 5,

yang terlalu asam bagi pertumbuhan kebanyakan bakteri pada umumnya.

2. Hampir semua kapang bersifat aerobik, sedangkan sebagian besar khamir

bersifat anaerob fakultatif.

3. Sebagian besar fungi lebih resisten terhadap tekanan osmosis dibandingkan

bakteri, sehingga dapat tumbuh pada lingkungan dengan kadar gula atau

garam yang relatif tinggi.

4. Fungi dapat tumbuh pada zat dengan kelembaban sangat rendah, umumnya

terlalu rendah untuk pertumbuhan bakteri.

5. Fungi memerlukan lebih sedikit nitrogen daripada bakteri untuk

pertumbuhan yang sama.

6. Fungi sering mampu memetabolisme karbohidrat kompleks seperti lignin,

yang kebanyakan bakteri tidak mampu.

Ciri-ciri tersebut memungkinkan fungi untuk tumbuh pada tempat-

tempat unik seperti dinding kamar mandi, sepatu kulit, dan koran bekas (Tortora

dkk, 2010). Fungi diklasifikasikan menjadi empat filum: Chytridiomycota,

Zygomycota, Ascomycota, dan Basidiomycota. Filum terbesar adalah

Ascomycota, yang terdiri dari 60% fungi yang sudah diketahui dan 85% nya

adalah patogen pada manusia. Spesies fungi diklasifikasikan berdasarkan mode

9

reproduksi seksual, properti fenotip (morfologi dan fisiologi), dan hubungan

filogeniknya (Brooks dkk, 2007).

2. Antibiotik

Kemoterapi sebagai ilmu pengetahuan yang digunakan untuk

pengobatan dimulai di awal abad ke-20 dengan pemahaman akan toksisitas

selektif, perkembangan dari resistensi obat, dan peranan dari terapi yang

dikombinasikan. Penelitian kemudian menghasilkan terapi kemoterapetik

pertama, asfenamin, untuk penyakit sifilis. Penggunaan konsep kemoterapi

sebagai antimikroba dimulai di tahun 1935 dengan penemuan golongan

sulfonamid. Selama 25 tahun berikutnya, penelitian tentang agen agen kemoterapi

terpusat pada senyawa antibiotik (Brooks dkk, 2007).

Antibiotik sendiri didefinisikan sebagai senyawa yang diproduksi oleh

mikroorganisme yang dalam jumlah kecil mampu menghambat organisme lain.

(Tortora dkk, 2010). Agen antimikroba yang ideal memiliki toksisitas selektif,

yaitu obat bersifat membahayakan hidup patogen tanpa membahayakan inang.

Kadang, toksisitas selektif bersifat relatif, bukan absolut. Hal ini berarti bahwa

obat pada konsentrasi tertentu masih dapat ditoleransi oleh inang, tetapi dapat

merusak mikroorganisme yang menginfeksi. Toksisitas selektif dapat berupa

fungsi reseptor spesifik yang dibutuhkan untuk penempelan obat, atau dapat juga

berupa penghambatan reaksi biokimia yang penting bagi mikroorganisme

patogen, namun tidak essensial bagi inang (Brooks dkk, 2007).

Berdasarkan spektrum aktivitas antimikroba, antibiotik terbagi menjadi

dua yaitu antibiotik spektrum luas dan spektrum sempit. Dikatakan antibiotik

10

spektrum luas apabila dapat mempengaruhi pertumbuan bakteri Gram positif

maupun Gram negatif. Sedangkan antibiotik spektrum sempit hanya dapat

mempengaruhi salah satunya. Kerugian dari antibiotik spektrum luas adalah obat-

obatan tersebut membunuh banyak mikroba normal dari inang. Mikroba normal

tersebut biasanya berkompetisi dengan mikroba patogen. Jika antibiotik tidak

membunuh organisme tertentu pada mikroba normal tetapi membunuh

kompetitornya, organisme yang bertahan hidup dapat berkembang dan menjadi

mikroba patogen oportunistik. Peristiwa ini disebut dengan superinfeksi, sebuah

istilah yang juga mengacu pada pertumbuhan mikroba patogen target yang

resisten terhadap antibiotik. (Tortora dkk, 2010).

Mekanisme kerja obat-obatan antibiotik adalah:

1. Penghambatan sintesis dinding sel

Dinding sel suatu mikroorganisme memiliki tekanan osmotik

internal yang tinggi, rusaknya dinding sel (misalnya karena lisosom)

atau penghambatan pembentukannya dapat menyebabkan lisis. Dinding

sel bakteri mengandung polimer kompleks mukopeptida atau

peptidoglikan, yang terdiri dari polisakarida dan ikatan polipeptida.

Polisakarida pada bakteri biasanya mengandung gula amino N-

asetilglukosamin dan asam asetilmuramat, yang hanya ditemukan pada

bakteri (Brooks dkk, 2007). Penghambatan sintesis peptidoglikan hanya

akan berakibat pada dinding sel bakteri dan memiliki toksisitas yang

sangat kecil terhadap sel inang (manusia). Contoh obat yang beraksi

menggunakan mekanisme ini adalah penisilin (Tortora dkk, 2010).

11

2. Menghambat fungsi membran sel

Sitoplasma semua sel hidup terbungkus oleh membran sitoplasma,

yang berfungsi sebagai barier dengan permeabilitas selektif,

menjalankan transport aktif, dan meregulasi komposisi di dalam sel. Jika

integritas fungsional dari membran sitoplasma terganggu, makromolekul

dan ion keluar dari sel, dan berakibat kerusakan ataupun kematian dari

sel. Membran sitoplasma dari fungi dan bakteri berbeda dari membran

sel manusia, dan dapat dirusak dengan senyawa tertentu, sehingga dapat

digunakan sebagai target kemoterapi. Obat obatan yang menggunakan

mekanisme ini dalam aksinya sebagai antibiotik antara lain golongan

polimiksin, imidazol, dan triazol (Brooks dkk, 2007).

3. Menghambat sintesis protein

Bakteri memiliki ribosom 70s, sedangkan sel mamalia memiliki

ribosom 80s, karenanya sub-unit dari ribosom, komposisi kimia, dan

spesifitas fungsionalnya berbeda. Hal inilah yang menyebabkan obat

obatan antimikroba dapat menghambat sintesis protein pada ribosom

bakteri, tetapi tidak berefek pada ribosom mamalia. Contoh obat-obatan

yang beraksi dengan menghambat sintesis protein adalah eritromisin,

linkomisin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan kloramfenikol (Brooks dkk,

2007).

4. Menghambat sintesis asam nukleat

Beberapa antibiotik mengganggu proses transkripsi dan replikasi

DNA pada mikroorganisme. Obat-obatan dengan aksi tersebut memiliki

12

kegunaan yang sangat terbatas karena ikut mengganggu DNA dan RNA

sel mamalia. Contoh antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat

adalah rifamycin, quinolon, dan fluoroquinolon (Tortora dkk, 2010).

5. Penghambatan sintesis metabolit esensial (antimetabolit)

Aktivitas enzimatik tertentu dari mikroorganisme dapat secara

kompetitif dihambat oleh senyawa (antimetabolit) yang mirip dengan

substrat normal dari enzim tersebut. Contohnya adalah hubungan antara

sulfanilamid dengan asam para-aminobenzoat (PABA). Pada banyak

mikroorganisme, PABA merupakan substrat dari enzim yang

mensintesis asam folat, vitamin yang berfungsi sebagai koenzim bagi

sintesis basa purin dan pirimidin dari asam nukleat dan banyak asam

amino (Tortora dkk, 2010).

Gambar 1 Mekanisme Aksi Antimikroba (Tortora dkk, 2010)

Tortora dkk (2010) dalam bukunya menjelaskan bahwa ketika pertama

kali terkena antibiotik baru, kerentanan dari mikroba cenderung tinggi, sehingga

13

tingkat mortalitas dari mikroba juga cukup tinggi. Namun, masih mungkin

terdapat mikroba yang dapat bertahan hidup setelah terpapar antibiotik.

Pertahanan terhadap antibiotika ini biasanya menyebabkan perubahan

karakteristik genetik yang muncul dari mutasi acak. Keturunan dari mikroba yang

berhasil bertahan hidup membawa karakteristik genetik dari induknya sehingga

memiliki resistensi yang sama.

Prescott (2002) menjelaskan mekanisme resistensi bakteri terhadap

antibiotik terjadi dengan berbagai macam cara. Cara pertama adalah variasi

genetik dari bakteri yang mengakibatkan perbedaan respon terhadap intervensi

dari obat. Dua bakteri mungkin memiliki mekanisme resistensi yang berbeda

terhadap satu agen kemoterapi yang sama. Patogen sering menjadi resisten dengan

menghalangi masuknya obat ke dalam sel. Banyak bakteri Gram negatif yang

tidak terpengaruh adanya penisilin G karena penisilin tidak mampu menembus

membran luar bakteri yang terbungkus lapisan yang disebut envelope.

Mikobakteria tidak tertembus antibakteri karena memiliki kandungan asam

mikolat yang tinggi pada lapisan peptidoglikan. Berkurangnya permeabilitas

membran dari bakteri juga dapat mengakibatkan resistensi sulfonamid.

Strategi resistensi selanjutnya adalah dengan memompa obat keluar dari

sel. Beberapa patogen memiliki membran plasma translokase, atau disebut efflux

pump, yang mengeluarkan obat. Protein transport ini juga disebut multidrug-

resistance pump karena bersifat tidak spesifik dan dapat memompa keluar banyak

macam obat. Banyak juga yang merupakan antiporter proton-obat. Ketika proton

memasuki sel, obat akan dipompa keluar. Sistem ini dimiliki oleh Escherisia coli,

14

Pseudomonas aeruginosa, Mycobacterium smegmatis, dan Staphylococcus

aureus.

Patogen lainnya menjadi resisten dengan menginaktivasi obat melalui

modifikasi kimia. Contoh yang sudah sering disebutkan adalah mekanisme

inaktivasi obat golongan betalaktam karena perusakan cincin betalaktam oleh

enzim betalaktamase. Obat juga diinaktivasi dengan penambahan gugus kimia.

Organisme resisten dapat memfosforilasi atau mengasetilasi obat aminoglikosida

dan kloramfenikol.

Karena agen kemoterapik beraksi pada target spesifik, resistensi terjadi

ketika enzim target atau organel dimodifikasi sehingga tidak lagi cocok dengan

sisi aktif obat. Contohnya Enterococcus menjadi resisten terhadap vankomisin

dengan merubah ujung D-alanin-D-alanin pada peptidoglikan menjadi D-alanin-

D-laktat.

Efek antimetabolit obat-obatan antibakteri dilawan melalui perubahan

enzim. Pada bakteri resisten sulfonamid, enzim yang menggunakan asam p-

aminobenzoat selama proses sintesis asam folat sering memliki afinitas yang lebih

rendah terhadap sulfonamid. Mycobacterium tuberculosis menjadi resisten

terhadap rifampin karena mutasi yang merubah sub unit β dari RNA polimerase.

Bakteri resisten dapat juga menggunakan jalur alternatif dengan membuang

sekuens yang dihambat obat atau meningkatkan produksi metabolit target.

Sebagai contoh, beberapa bakteri resisten terhadap sulfonamid karena dapat

mengambil asam folat dari lingkungan, dan tidak mensintesisnya sendiri. Strain

lainnya meningkatkan kecepatan produksi asam folat.

15

Untuk dapat mengatasi permasalahan resistensi mikroba tersebut, perlu

ditemukan antibiotik baru dari bahan-bahan alam dengan proses skrining untuk

mendapatkan organisme penghasil antibiotik. Proses skrining memiliki dua

tahapan proses, yaitu skrining primer yang meliputi proses pencarian

mikroorganisme penghasil, penumbuhan mikroorganisme yang ditemukan,

mengisolasi mikroorganisme dan pengujian kemampuan isolat. Tahapan kedua

adalah skrining sekunder yang terdiri dari pemilihan koloni mikroorganisme,

pencarian kondisi (pH, suhu, media, dll) yang optimal, pengidentifikasian

mikroorganisme, dan identifikasi senyawa (Pratiwi, 2008).

Senyawa antibiotik yang dihasilkan mikroorganisme biasanya

merupakan produk metabolit sekunder yang disintesis mikroorganisme tersebut

selama fase stasioner pertumbuhannya. Terdapat empat fase pada pertumbuhan

mikroorganisme yaitu fase lag, fase log, fase stasioner, dan kematian. Fase

pertama adalah fase lag, yaitu fase dimana pertumbuhan tidak terjadi, fase ini

dapat dianggap sebagai masa adaptasi. Kemudian laju pertumbuhan sel perlahan-

lahan meningkat dan sel tumbuh pada kecepatan yang maksimum dan konstan,

periode ini disebut fase log atau eksponensial. Selama fase log, mikroorganisme

menghasilkan produk yang bersifat esensial terhadap pertumbuhan sel, termasuk

didalamnya adalah asam amino, nukleotida, protein, asam nukleat, lipid,

karbohidrat, dan sebagainya. Produk-produk ini disebut metabolit primer dan fase

dimana produk ini dihasilkan disebut tropofase.

Akhirnya, pertumbuhan terhenti dan sel memasuki apa yang disebut

sebagai fase stasioner. Selama fase stasioner, beberapa kultur mikroorganisme

16

mensintesis senyawa yang tidak dihasilkan selama tropofase dan tidak memiliki

fungsi yang jelas terhadap metabolisme sel. Senyawa ini disebut metabolit

sekunder dan fase dimana senyawa ini diproduksi disebut idiofase. Tidak sedikit

mikroorganisme menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki aktivitas

antimikrobial, yang lainnya memiliki aktivitas inhibitor enzim spesifik, beberapa

adalah promotor pertumbuhan dan banyak yang memiliki sifat-sifat farmakologis.

Setelah jangka waktu yang lebih lama, jumlah sel viable menurun saat kultur

memasuki fase kematian (Stanbury dkk., 2003).

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme pada Sistem Tertutup (Prescott, 2002)

17

3. Mikroba uji

a. Escherichia coli

Gambar 3. Escherichia coli Menggunakan Scanning Electron Microscope (Carr, 2006)

Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacter

Class : Gammaproteobacter

Order : Enterobacteriales

Family : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Species : Escherichia coli

(Todar, 2012a)

Escherichia coli bersifat anaerob fakultatif, termasuk Gram negatif,

berbentuk batang (rod), dan hidup pada usus hewan, baik sehat ataupun

sakit. Bakteri ini merupakan bagian dari famili besar Enterobacteriaceae

yang merupakan bakteri enterik. E. coli dapat tumbuh pada media yang

hanya mengandung glukosa, E. coli wild-type bahkan tidak membutuhkan

faktor pertumbuhan dan mampu memetabolisme glukosa menjadi semua

18

komponen makromolekuler yang membentuk sel. E. coli merupakan

organisme fakultatif yang utama dalam saluran gastrointestinal manusia,

namun demikian, E. coli hanya sebagian kecil dari total kandungan bakteri

pada pencernaan. Strain patogen E. coli bertanggung jawab terhadap tiga

tipe infeksi pada manusia, yaitu infeksi saluran urin, meningitis pada

neonatal, dan penyakit gastrointestinal Selama bertahun-tahun bakteri ini

hanya dianggap sebagai organisme komensal yang hidup di dalam usus

besar. Baru pada tahun 1935 ditemukan bahwa sebuah strain dari E. coli

menyebabkan penyebaran diare pada bayi (Todar, 2012a).

b. Pseudomonas aeruginosa

Gambar 4. Ilustrasi 3 Dimensi dari Gambar SEM Pseudomonas aeruginosa (Brower, 2013)

19

Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Gamma Proteobacteria

Order : Pseudomonales

Family : Pseudomonaceae

Genus : Pseudomonas

Species : Pseudomonas aeruginosa

(Todar, 2012b)

Pseudomonas aeruginosa termasuk bakteri Gram negatif, aerob,

berbentuk batang, dan termasuk famili Pseudomonaceae. P. aeruginosa

merupakan mikroba patogen yang oportunistik, artinya ia mengeksploitasi

celah pada pertahanan inangnya untuk menginisiasi infeksi. P. aeruginosa

merupakan bakteri Gram negatif dimana hampir semua strain bergerak

menggunakan satu flagella polar. Kebutuhan nutrisi P. aeruginosa

sangatlah sederhana, ia sering ditemui pada air suling yang menjadi bukti

minimalnya kebutuhan nutrisi bakteri tersebut. Pada laboratorium

P.aeruginosa dapat tumbuh pada media yang hanya mengandung asetat

sebagai sumber karbon dan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen. Ia

tumbuh optimum pada suhu 30oC dan sangat toleran terhadap berbagai

kondisi lingkungan, termasuk suhu, konsentrasi garam yang tinngi,

antiseptik lemah, dan banyak antibiotik yang biasa digunakan. Hanya

beberapa antibiotik yang efektif membunuh P. aeruginosa diantaranya

adalah floroquinolon, gentamisin, dan imepenem. Namun bahkan

20

antibiotik- antibiotik tersebut tidak efektif terhadap semua strain. Sebagian

besar infeksi Pseudomonas bersifat invasif dan toksinogenik. Infeksi

tersebut terbagi menjadi 3 tahap yaitu pelekatan dan kolonisasi bakteri,

invasi lokal, dan penyakit sistemik (Todar, 2012b).

c. Staphylococcus aureus

Gambar 5. Hasil Scanning Bakteri Staphylococcus aureus Dengan Mikroskop Elektron (Carr,

2001)

Kingdom : Bacteria

Phylum : Firmicules

Class : Bacilli

Order : Bacillales

Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Species : Staphylococcus aureus

(Todar, 2012c)

Staphylococci merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat dengan

diameter sekitar 1 µm yang terlihat sebagai kumpulan menyerupai anggur.

21

Pada tahun 1884, Rosenbatch mendeskripsikan dua tipe berwarna dari

Staphylococci dan mengusulkan tata nama Staphylococcus aureus (kuning)

dan Staphylococcus albus (putih). Walaupun lebih dari dua puluh spesies

Staphylococcus telah dideskripsikan sampai saat ini, hanya kedua strain

tersebut yang signifikan interaksinya dengan manusia. S. aureus terutama

menempati saluran pada hidung, namun juga terdapat pada kulit, rongga

mulut, dan saluran gastrointestinal. S. aureus membentuk koloni berwarna

kuning yang cukup besar pada medium yang diperkaya, bersifat anaerob

fakultatif yang tumbuh menggunakan respirasi aerob atau dengan

fermentasi yang menghasilkan asam laktat. S. aureus dapat tumbuh pada

suhu 15oC - 45

oC dan pada konsentrasi NaCl mencapai 15%. Hampir

semua strain S. aureus memproduksi enzim koagulase dan merupakan

mikroba patogen yang poten. S. aureus merupakan penyebab utama infeksi

nosokomial dari infeksi dan luka operasi, menyebabkan keracunan

makanan dengan melepaskan enterotoksin dan menyebabkan toxic shock

syndrom dengan melepas superantigen ke peredaran darah (Todar, 2012c).

22

d. Bacillus subtilis

Gambar 6. Fase Pembentukan Endospora pada Bacillus subtilis (Talaro & Talaro, 2002)

Kingdom : Bacteria

Phylum : Firmicules

Class : Bacilli

Order : Bacillales

Family : Bacillaceae

Genus : Bacillus

Species : Bacillus subtilis

(Todar, 2012d)

Bacillus subtilis merupakan bakteri Gram positif yang mampu tumbuh

pada lingkungan yang mengandung oksigen (aerob) dan membentuk

endospora. Mayoritas dari genus Bacillus merupakan mesofil, dengan suhu

optimum antara 30oC sampai 45

oC, beberapa bersifat termofil dengan suhu

optimum mencapai 65oC, dan sisanya merupakan psikrofil sejati, mampu

tumbuh pada suhu 0oC. Bacillus dapat tumbuh pada pH 2-11. Di

laboratorium, pada kondisi optimum, waktu perkembangbiakan Bacillus

23

adalah 25 menit. Sebagian besar Bacillus dapat ditumbuhkan pada media

terdefinisi atau media kompleks yang sederhana. Isolasi primer dapat

dilakukan pada nutrien agar. Antibiotik yang dihasilkan oleh Bacillus

seringkali merupakan polipeptida dan memiliki aktivitas yang bervariasi

mulai dari spektrum sempit, spektrum luas, dan antifungi (Todar, 2012d).

4. Fermentasi

Istilah fermentasi berasal dari bahasa Latin fervere, berarti untuk

mendidih, yang mendeskripsikan penampakan aksi ragi pada ekstrak buah.

Penampakan mendidih merupakan akibat produksi gelembung karbon dioksida

yang disebabkan katabolisme anaerob dari gula yang terdapat pada ekstrak

tersebut. Menurut Stanburry dkk (2003) terdapat 5 kelompok proses fermentasi

yang penting secara komersial:

1. Fermentasi untuk memproduksi sel mikroba (biomassa)

2. Fermentasi untuk memproduksi enzim mikrobial. Enzim mikrobial

memiliki keunggulan dibandingkan enzim dari tumbuhan ataupun

hewan sebab dapat diproduksi dalam jumlah besar melalui teknik

fermentasi yang mapan, lebih mudah untuk meningkatkan

produktivitas sistem mikroba, dimungkinkan untuk mensintesis

enzim yang berasal dari hewan menggunakan mikroorganisme.

3. Fermentasi untuk memproduksi metabolit mikrobial. Selama fase

deselerasi dan stasioner pada pertumbuhan mikroorganisme,

disintesis senyawa metabolit sekunder yang tidak memiliki fungsi

yang jelas terhadap metabolisme sel. Metabolit tersebut ada yang

24

memiliki aktivitas antimikrobial, aktivitas inhibitor enzim spesifik,

promotor pertumbuhan dan memiliki sifat-sifat farmakologis.

4. Fermentasi untuk memproduksi produk rekombinan seperti produksi

interferon, insulin, human serum albumin, faktor VIII dan IX, faktor

pertumbuhan epidermal, dan bovine somatostatin dari modifikasi

genetik organisme.

5. Fermentasi untuk modifikasi senyawa tambahan proses fermentasi

Media fermentasi yang sesuai dibutuhkan untuk mendapatkan

pertumbuhan mikroorganisme yang optimum. Penyelidikan secara terperinci

dibutuhkan untuk menentukan medium yang paling tepat untuk setiap proses

fermentasi, namun demikian beberapa kebutuhan dasar harus terpenuhi untuk

setiap jenis medium. Semua mikroorganisme membutuhkan air, sumber energi,

karbon, nitrogen, mineral, dan mungkin juga vitamin ditambah oksigen jika

aerobik. Pada skala kecil, cukup mudah untuk mendapatkan media yang

mengandung senyawa-senyawa murni, akan tetapi media yang dihasilkan,

walaupun memberikan pertumbuhan yang memuaskan, sering kali tidak cocok

untuk digunakan pada skala besar. Dalam skala besar, media fermentasi harus

memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Menghasilkan produk atau biomassa yang maksimal untuk setiap

gram substrat yang digunakan

2. Menghasilkan konsentrasi produk atau biomassa yang maksimal

3. Memiliki kecepatan pembentukan produk yang maksimal

4. Sedikit menghasilkan produk-produk yang tidak diinginkan

25

5. Kualitas konsisten dan tersedia sepanjang tahun

6. Sedikit menimbulkan masalah selama proses pembuatan dan

sterilisasi media

7. Sedikit menimbulkan masalah pada aspek-aspek lain selama proses

produksi termasuk didalamnya aerasi, agitasi, ekstraksi, purifikasi,

dan pengolahan limbah.

Formulasi media merupakan tahap yang penting dalam proses

fermentasi, karena penelitian mikrobiologi sangat bergantung pada kemampuan

untuk menumbuhkan dan memelihara mikroorganisme di laboratorium, hal ini

hanya mungkin jika media kultur yang sesuai tersedia (Prescott, 2002).

Kandungan media harus memenuhi kebutuhan dasar untuk biomassa sel dan

produksi metabolit. Selain itu, media harus menyediakan pasokan energi yang

mencukupi untuk biosintesis dan ketahanan hidup sel (Stanbury dkk, 2003).

Kebutuhan nutrisi mikroba sangat bervariasi mulai dari senyawa

anorganik sederhana sampai kumpulan senyawa organik dan anorganik yang

kompleks. Setidaknya ada 500 tipe media yang berbeda yang digunakan untuk

menumbuhkan dan mengidentifikasi mikroorganisme. Media dapat

diklasifikasikan berdasarkan 3 kategori utama, yaitu berdasarkan bentuk fisik

(cair, semi padat, padat), komposisi kimia (media sintetis dan semi sintetis), dan

fungsinya (media dengan fungsi umum, media yang diperkaya, media selektif dan

diferensial).

26

5. Ekstraksi

Istilah ekstraksi pelarut mengacu pada distribusi zat terlarut dalam dua

fase cair yang tidak saling bercampur, yaitu distribusi dua fase dari zat terlarut.

Ekstraksi pelarut digunakan pada banyak industri kimia untuk memproduksi

senyawa kimia murni sebagai produk farmasetik dan biomedis sampai logam

berat pada purifikasi limbah (Rydberg dkk, 2004). Prinsip metode ini didasarkan

pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang

tidak saling bercampur. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada

jumlah yang berbeda dalam kedua fase pelarut. Teknik ini dapat digunakan untuk

kegunaan preparatif, kemurnian, pengkayaan, pemisahan serta analisis pada skala

kerja (Khopkar, 1990).

Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi

yang menyatakan bahwa “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan

terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang tidak

saling campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam dua

fase disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (KD), dan

diekspresikan dalam rumus:

KD = [S]org

[S]aq

Keterangan: [S]org dan [S]aq masing masing adalah konsentrasi analit pada fase organik dan dalam

fase air, KD merupakan koefisien partisi (Gandjar & Rohman, 2007).

Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah pelarut yang

mempunyai kelarutan yang rendah dalam air, dapat menguap sehingga

memudahkan penghilangan pelarut organik setelah proses ekstraksi, dan

mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalisasi adanya kontaminasi

27

sampel (Gandjar dan Rohman, 2007). Dalam bukunya, Khopkar (1990)

menyebutkan terdapat tiga metode dasar pada ekstraksi cair-cair yaitu ekstraksi

bertahap (batch), ekstraksi kontinyu, dan ekstraksi arus balik (current counter).

Ekstraksi bertahap merupakan cara yang paling sederhana, yaitu dengan

menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak bercampur dengan pelarut

semula, kemudian dilakukan penggojogan sehingga terjadi kesetimbangan

konsentrasi solut pada dua lapisan, setelah kesetimbangan tercapai, lapisan

didiamkan dan kemudian dipisahkan. Kesempurnaan ekstraksi tergantung pada

banyaknya ekstraksi yang dilakukan. Hasil paling baik diperoleh jika jumlah

ekstraksi yang dilakukan berulang-ulang dengan jumlah pelarut yang sedikit.

Ekstraksi kontinyu dilakukan dengan mengkontakkan sautu fase secara

berulang-ulang pada fase kedua. Hal ini dapat diterapkan ketika suatu zat tetap

secara kuantitatif tinggal dalam satu fase, sedangkat zat lain terbagi antara dua

fase tersebut. Contohnya adalah ekstraksi berulang larutan air dengan porsi

larutan organik secara berurutan.

Pada ekstraksi arus balik atau current counter, fase cair pengekstraksi

dialirkan dari arah yang berlawanan dengan larutan zat yang mengandung solut.

Biasanya digunakan untuk pemisahan zat, isolasi, ataupun pemurnian.

6. Pengujian aktivitas dan potensi antimikroba

Pengujian mikrobiologi memanfaatkan mikroba sebagai indikator

pengujian. Pada uji antimikroba diukur respon dari pertumbuhan populasi

mikroba terhadap agen antimikroba. Tujuan uji antimikroba adalah untuk

menentukan potensi dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa

28

antimikroba di pabrik, untuk menentukan farmakokinetik dari obat pada hewan

atau manusia, dan untuk memonitor dan mengontrol kemoterapi obat. Kegunaan

uji antimikroba adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan

efisien (Pratiwi, 2008).

a. Metode difusi

Pada teknik difusi, sebuah reservoir yang berisi senyawa uji pada

konsentrasi tertentu dikontakkan dengan media yang sudah

diinokulasikan bakteri dan diameter jernih di sekeliling reservoir diukur

pada akhir masa inkubasi. Metode difusi tidak sesuai untuk menguji

sempel non-polar atau sampel yang tidak mudah berdifusi ke dalam agar.

Potensi antimikroba dari sampel yang berbeda tidak selalu dapat

dibandingkan karena perbedaan sifat fisik seperti kelarutan, volatilitas,

dan karakteristik difusi dari agar (Cos dkk., 2006)

Terdapat beberapa metode difusi yang digunakan untuk mengetahui

aktivitas antimikroba suatu senyawa seperti metode disc diffusion, E-test,

ditch-plate teqnique, cup-plate technique, dan gradient-plate technique.

Disc diffusion (Kirby & Bauer test) dilakukan dengan cara meletakkan

piringan yang mengandung senyawa antimikroba pada permukaan media

mikroorganisme uji. Dengan demikian, agen antimikroba akan berdifusi

pada media mikroorganisme tersebut dan beraktivitas yang ditandai

dengan daerah jernih pada sekeliling piringan (Pratiwi, 2008).

Keuntungan metode ini antara lain adalah uji yang sederhana, tidak

29

memerlukan peralatan khusus, fleksibilitas pemilihan disc yang akan

diuji, dan hasil uji mudah diinterpretasikan (Jorgensen & Ferraro, 2009).

Contoh metode difusi lainnya adalah Epsilometer-test (E-test). E-

test merupakan metode paling praktis untuk menentukan KHM dari

bakteri. Pada dasarnya metode ini sama dengan metode disc diffusion,

bedanya pada E-test piringan diganti dengan strip nilon yang

mengandung gradien konsentrasi senyawa antimikroba. Pada sisi

sebaliknya terdapat garis dan angka-angka yang menunjukkan nilai

KHM. Setelah inkubasi, KHM ditentukan dengan mengamati dimana

daerah jernih yang berbentuk buah pir melintasi strip tersebut (Smith,

2004).

b. Metode dilusi

Metode makrodilusi atau difusi tabung merupakan salah satu

metode pertama yang digunakan untuk menguji kerentanan bakteri

(Jorgensen & Ferraro, 2009). Pada metode dilusi, senyawa uji

dicampurkan dengan medium yang sudah diinokulasikan bakteri uji

sebelumnya. Metode ini dapat dilakukan dalam bentuk padat maupun

cair, dan pertumbuhan mikroorganisme dapat diukur menggunakan

beberapa cara. Pada metode dilusi agar, konsentrasi bunuh minimum

(KBM) didefinisikan sebagai konsentrasi terkecil yang mampu

menghambat semua pertumbuhan mikroba yang teramati secara visual,

sedangkan pada dilusi cair diamati kekeruhan atau digunakan indikator

redoks. Senyawa uji yang tidak larut sempurna dapat mempengaruhi

30

pembacaan kekeruhan, sehingga diperlukan adanya kontrol negatif atau

kontrol sterilitas. Metode dilusi cair juga memungkinkan penentuan

apakah senyawa uji bersifat bakterisidal atau bakteristatik. Pada

umumnya metode dilusi sesuai untuk menguji senyawa polar dan non-

polar, atau penentuan nilai KBM dan KHM (Cos dkk., 2006).

1) Dilusi cair/broth dilution test (serial dilution)

Metode dilusi merupakan sebuah teknik dimana setiap wadah

uji mengandung larutan antimikroba dengan volume identik dan

konsentrasi yang naik secara inkremental dan diinokulasikan dengan

suspensi bakteri yang diketahui jumlahnya. Mikrodilusi merupakan

aplikasi dari uji dilusi dengan menggunakan plat mikrodilusi dengan

kapasitas ≤500 µL tiap sumurannya (European Society of Clinical

Microbioogy and Infectious Disease, 2003).

Metode ini biasa digunakan untuk mengukur Kadar Hambat

Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Seperti

namanya, uji dilakukan dengan cara membuat seri konsentrasi dari

senyawa antimikroba pada tabung reaksi kemudian pada setiap

tabung ditambahkan mikroba uji. Kadar terkecil yang menghasilkan

larutan jernih (tidak tampak adanya pertumbuhan mikroba)

ditentukan sebagai KHM. Untuk menentukan KBM, larutan yang

ditetapkan sebagai KHM dikulturkan pada media cair steril yang

tidak mengandung mikroba uji maupun senyawa antimikroba.

Larutan tersebut diinkubasi selama 18-24 jam dan larutan yang

31

masih terlihat jernih setelah inkubasi ditentukan sebagai KBM

(Pratiwi, 2008).

2) Dilusi padat/solid dilution test

Pada intinya metode ini sama dengan metode dilusi cair, satu-

satunya perbedaan terdapat pada media yang digunakan. Metode

dilusi padat menggunakan media padat sebagai pengganti media

cair. Metode ini memiliki keuntungan dimana satu konsentrasi

senyawa antimikroba dapat digunakan untuk menguji beberapa

mikroba uji sekaligus (Pratiwi, 2008).

7. KLT-Bioautografi

Kromatografi kertas diikuti dengan bioautografi pertama kali digunakan

pada tahun 1946 oleh Goodal dan Levi untuk memperkirakan kemurnian dari

penisilin. Sedangkan penggunaan kromatografi lapis tipis-bioautografi (KLT-

bioautografi) diperkenalkan pertama kali oleh Fisher dan Lautner, dan Nicolaus et

al. pada tahun 1961 (Choma, 2005). KLT-bioautografi merupakan metode untuk

melokalisasi aktivitas antibakteri pada kromatogram (Horvath dkk, 2002). Metode

ini melibatkan perpindahan senyawa antibakteri dari plat kromatografi ke agar

terinokulasi melalui difusi, dan visualisasi dari zona hambatan yang terbentuk

(Atta-ur-Rahman dkk, 2005). Manfaat utama dari bioautografi adalah dapat

memberikan informasi tentang aktivitas antimikroba senyawa yang dipisahkan

dari campuran.

Dibandingkan dengan metode lainnya, KLT-bioautografi dapat dengan

cepat mendeteksi dan memisahkan komponen aktif dari ekstrak tanaman, dan juga

32

memiliki keuntungan tambahan seperti praktis, sederhana, dan tidak

membutuhkan peralatan khusus (Gu dkk, 2009). Namun demikian KLT-

bioautografi tidak dapat digunakan untuk menentukan nilai KHM dan KBM

(Pratiwi, 2008). Metode bioautografi biasanya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu

difusi agar atau bioautografi kontak; imersi atau agar-overlay bioautography; dan

bioautografi langsung.

a. Bioautografi kontak

Pada bioautografi kontak, agen antimikroba berdifusi dari plat KLT

atau kertas ke plat agar yang terinokulasikan bakteri. Kromatogram

ditempatkan menghadap lapisan agar dan dibiarkan beberapa menit

sampai jam untuk memungkinkan terjadinya difusi. Kromatogram

kemudian diambil dan lapisan agar diinkubasi. Zona penghambatan

diamati pada permukaan agar dimana spot dari antimikroba ditempelkan

pada agar. Metode ini mirip dengan uji lempeng. Kerugian dari metode

ini adalah pada kesulitan mendapatkan kontak sempurna antara agar dan

plat KLT, dan perlekatan adsorben (senyawa antimikroba) ke permukaan

agar. Kelemahan ini dapat dihindari dengan menggunakan ChromAR,

lembaran serat gelas asam silikat untuk kromatografi. Dasar dari metode

ini adalah sama, yaitu transfer senyawa antimikroba dari lembaran ke

agar.

b. Bioautografi imersi

Pada bioautografi imersi, kromatogram ditutup dengan sebuah

molten, media agar berbakteri yang sudah dicairkan. Setelah pengerasan,

33

inkubasi dan pewarnaan (biasanya digunakan cat tetrazolium) pada agar,

penghambatan atau pita pertumbuhan divisualisasikan. Biasanya

sebelum inkubasi plat dibiarkan beberapa jam pada temperatur rendah

untuk memungkinkan proses difusi. Agar-overlay adalah penggabungan

dari bioautografi kontak dan bioautografi langsung. Senyawa

antimikroba ditransfer dari plat KLT ke lapisan agar seperti pada

pengujian bioautografi kontak, namun selama inkubasi dan visualisasi

lapisan agar tetap kontak dengan plat KLT sebagaimana pada

bioautografi langsung. Kekurangan utama dari metode ini adalah

sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan pada metode bioautografi

langsung. Hal ini dikarenakan terjadinya dilusi senyawa antibakteri pada

lapisan agar. Agar overlay disarankan apabila bioautografi langsung

tidak mungkin dilakukan.

c. Bioautografi langsung

Pada bioautografi langsung, plat KLT yang sudah dielusi dicelupkan

pada suspensi mikroorganisme yang ditumbuhkan pada media yang

sesuai. Atau dapat juga dilakukan dengan menyemprotkan suspensi

mikroorganisme ke plat KLT. Plat kemudian diinkubasi dan

mikroorganisme tumbuh langsung pada plat. Karenanya, proses

pemisahan, persiapan, inkubasi, dan visualisasi dilakukan langsung pada

plat KLT. Untuk penentuan dan visualisasi lokasi penghambatan

pertumbuhan bakteri biasanya digunakan garam tetrazolium, yang akan

dikonversi menjadi senyawa berwarna formazan oleh enzim

34

dehidrognase pada mikroorganisme hidup. Bakteri akan dibunuh dengan

adanya antimikroba pada plat KLT sehingga tidak terbentuk warna pada

bercak yang memiliki aktivitas antimikroba.

8. Reaksi semprot

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak

berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun

biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak

dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas.

Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan

pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar

ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak

akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi, maka bahan

penyerapnya akan diberi indikator yang berfluorsensi, dengan demikian bercak

akan kelihatan hitam dengan latar belakang berpendar (Gandjar & Rohman,

2007).

Cara kimiawi lain untuk penampakan bercak adalah dengan menyemprot

lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia

dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak

akan menjadi berwarna. Tedapat dua macam reagen semprot dalam penampakan

bercak, yaitu reagen umum dan reagen selektif. Reagen umum akan menimbulkan

warna untuk hampir semua senyawa organik, sedangkan reagen selektif hanya

akan mendeteksi jenis atau golongan senyawa tertentu (Gandjar & Rohman,2007).

Dari sekian banyak metode kromatografi yang tersedia, kromatografi

35

lapis tipis (KLT) banyak digunakan untuk mendeteksi obat-obatan secara cepat

dan tahapan persiapan obat. Beberapa alasan digunakannya KLT antara lain

adalah waktu yang diperlukan untuk menunjukkan karakteristik dari sebagian

besar bahan obat menggunakan KLT sangat singkat. Selain digunakan untuk

deteksi kuanlitatif, KLT menyediakan informasi semi kuantitatif dari bahan aktif

obat atau persiapan obat sehingga memungkinkan penilaian kualitas obat. KLT

memberikan informasi “sidik jari” obat, karena itu cocok untuk memantau

identitas dan kemurnian obat-obatan dan untuk mendeteksi pemalsuan dan

pencampuran obat. Dengan adanya prosedur pemisahan yang tepat, KLT dapat

digunakan untuk menganalisis kombinasi obat dan persiapan fitokimia (Wagner

dan Bladt, 1996)

Untuk deteksi utama senyawa aktif obat, dipilih metode yang

memberikan warna paling mencolok. Gugus aktif dari satu kelompok obat

mungkin sangat mirip (misalnya obat dari Solanaceae atau obat saponin),

sehingga diferensiasi dan identifikasi sulit atau tidak mungkin didasarkan pada

gugus aktif saja. Dalam kasus tersebut, senyawa lain dimanfaatkan untuk

diferensiasi. Untuk obat dengan gugus aktif yang tidak diketahui atau tidak

lengkap sama sekali, identifikasi didasarkan pada bagian yang non-aktif, tetapi

mudah terdeteksi yang dapat dianggap sebagai “zat panduan” (Wagner dan Bladt,

1996).

Wagner dan Bladt (1996) dalam bukunya menyebutkan beberapa contoh

penggunaan reagen semprot dalam analisis senyawa dari tanaman seperti

anisaldehid-asam sulfat dengan pemanasan untuk deteksi petasin atau isopetasin,

36

dragendroff untuk deteksi alkaloid dan nitrogen heterosiklik, FeCl3 untuk deteksi

oleuropein, DNPH untuk deteksi terpen dan fenilpropana, reagen iodin untuk

deteksi senyawa dengan ikatan rangkap, iodin-asam hidroklorida untuk deteksi

senyawa turunan purin (kafein, teofilin, teobromin), dan banyak reagen lain yang

bisa digunakan. Gritter et al. (1991) juga menyebutkan beberapa contoh pereaksi

umum dan khusus pada deteksi bercak.

Tabel 1. Beberapa Reagen Umum yang Digunakan pada KLT (Gritter et al., 1991)

Metode Deteksi Warna Bercak Solut Penggunaan

Asam fosfomolibdat +

pemanasan Biru gelap Beberapa senyawa organik

Asam sulfat pekat +

pemanasan Hitam kecoklatan Semua senyawa organik

Uap iodium Coklat Beberapa senyawa organik

Tabel 2. Beberapa Reagen Spesifik yang Digunakan pada KLT (Gritter et al., 1991)

Metode Deteksi Warna Bercak Solut Penggunaan

Ninhidrin Pink ke ungu Asam-asam amino dan

amina

2,4-dinitrofenilhidrazon Oranye/ merah Senyawa-senyawa karbonil

Bromokresol hijau/ biru Kuning Asam-asam organik

2,7-fluoresein Kuning-kehijauan Senyawa organik

Vanilin/ asam sulfat Merah/ hijau/ pink Alkohol, keton

Rhodamin B Berfluoresensi merah Lemak

Anisaldehid/ antimon

triklorida Berbagai macam Steroid

Difenil amin/ seng Berbagai macam Pestisida

F. Landasan Teori

Resistensi antimikroba menjadi ketakutan besar bagi dunia kesehatan

dan kedokteran saat ini. Tingginya penggunaan antimikroba ditambah dengan

penggunaan antimikroba yang tidak sesuai aturan membuat mikroba patogen

menjadi organisme yang resisten. Obat-obatan yang dulunya ampuh mengobati

37

penyakit karena mikroorganisme sekarang tidak mampu lagi membunuh

mikroorganisme yang telah bermutasi. Untuk menanggulangi permasalahan ini

diperlukan jenis obat antimikroba baru yang mampu membunuh berbagai

mikroorganisme yang sudah resisten.

Tanah memiliki berbagai unsur yang dibutuhkan mikroorganisme untuk

tumbuh, baik yang dibutuhkan dalam jumlah besar (makronutrien) ataupun yang

dibutuhkan dalam jumlah kecil (mikronutrien). Karenanya, tanah merupakan

medium yang sesuai bagi kehidupan berbagai macam mikroorganisme, termasuk

fungi. Selama bertahun-tahun fungi yang diisolasi dari tanah terbukti mampu

menghasilkan senyawa antibiotik seperti penisilin, griseofulvin yang diproduksi

Penicillium sp., dan sefalosporin yang diproduksi oleh Chephalosporium.

Untuk menghasilkan agen antimikroba baru dari alam, dikenal proses

skrining yang terdiri dari skrining primer dan skrining sekunder. Skrining primer

merupakan tahapan pencarian mikroorganisme penghasil senyawa antimikroba.

Dari tahapan skrining primer akan didapatkan beberapa strain tunggal

mikroorganisme yang memiliki aktivitas antimikroba. Tahapan kedua adalah

skrining sekunder, yaitu pemilihan mikroorganisme potensial, pencarian kondisi

pertumbuhan optimum, identifikasi mikroorganisme, dan identifikasi senyawa.

Selama tahap pertumbuhan mikroorganisme dikenal fase stasioner, yaitu

fase dimana terjadi pegurangan kecepatan pertumbuhan sampai tidak terjadi

pertumbuhan sama sekali. Pada tahapan ini, mikroorganisme menghasilkan

senyawa metabolit sekunder. Berbeda dengan metabolit primer yang berfsifat

esensial bagi pertumbuhan sel, metabolit sekunder tidak memiliki fungsi yang

38

jelas pada metabolisme sel. Senyawa metabolit sekunder inilah yang kemudian

diketahui memiliki berbagai aktivitas yang dapat dimanfaatkan seperti aktivitas

antimikroba, inhibitor enzim spesifik, dan beberapa aktivitas farmakologis lain.

Produksi metabolit sekunder pada fase stasioner inilah yang menjadi

dasar proses fermentasi. Pada proses fermentasi, mikroorganisme ditumbuhkan

pada media yang sesuai sampai mencapai fase stasioner, kemudian proses

fermentasi dihentikan. Media dari hasil fermentasi ini akan berisi senyawa

metabolit sekunder dan senyawa lainnya. Untuk mengambil senyawa senyawa

hasil fermentasi pada media, dilakukan ekstraksi dengan pelarut yang sesuai. Dari

ekstraksi inilah yang nantinya akan didapatkan ekstrak kental untuk diuji aktivitas

farmakologisnya.

Beberapa uji dapat dilakukan untuk mengetahui aktivitas dan potensi

antimikroba dari ekstrak, diantaranya adalah metode difusi dan dilusi. Pada

metode difusi, senyawa pada ekstrak akan berdifusi ke media padat yang

diinokulasikan mikroba dan bila terdapat aktivitas antimikroba akan menyebabkan

terjadinya penghambatan pertumbuhan mikroba dan diamati dengan daerah jernih

di sekitar tempat diletakkannya medium difusi (cakram, strip nilon, ataupun

sumuran). Sedangkan pada metode dilusi, ekstrak yang memiliki aktivitas

antimikroba memberikan penghambatan pertumbuhan dengan dilusi atau melarut

pada media yang diinokulasikan mikroba uji.

Ekstrak tidak terdiri dari satu senyawa saja, namun dapat berisi puluhan

hingga ratusan senyawa. Karenanya, aksi farmakologis, dalam hal ini aktivitas

antimikroba dari ekstrak merupakan interaksi yang kompleks dari berbagai

39

senyawa. Untuk dapat mengetahui senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas

antimikroba dari suatu ekstrak atau campuran dapat diketahui dengan metode

KLT-bioautografi. Pada KLT-bioautografi, senyawa-senyawa pada ekstrak

dipisahkan dengan proses kromatografi lapis tipis. Senyawa yang sudah terpisah

menjadi bercak dengan jarak elusi tertentu pada plat KLT kemudian ditempelkan

pada media yang sudah diinokulasikan mikroba uji. Senyawa pada plat KLT akan

berdifusi pada permukaan media, dan bercak senyawa dengan aktivitas

antimikroba akan memberikan hambatan pertumbuhan mikroba uji.

Untuk mengetahui senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas

antimikroba ekstrak dapat dilakukan pendekatan golongan senyawa aktif dengan

menggunakan pereaksi semprot. Ekstrak dipisahkan dengan KLT menggunakan

kondisi (fase diam, fase gerak, jarak elusi) yang sama pada proses KLT

bioautografi. Pendekatan golongan senyawa aktif didasarkan pada reaksi

golongan senyawa tertentu dengan pereaksi semprot selektif dan menimbulkan

warna.

Fungi TBF-05 merupakan fungi yang diisolasi dari tanah di sekitar

kebun herbal Bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta. Dari

penelitian yang telah dilakukan oleh Virdion Eko Putra pada tahun 2012 diketahui

bahwa ekstrak etil asetat fungi TBF-05 memiliki aktivitas antibakteri terhadap

Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa, namun

tidak menunjukkan aktivitas terhadap Bacillus subtilis pada uji difusi. Untuk

dapat dikembangkan menjadi agen antimikroba baru, perlu diketahui potensi dan

golongan senayawa yang memiliki aktivitas antibakteri dari ekstrak fungi TBF-05.

40

G. Hipotesis

1. Ekstrak etil asetat TBF-05 memiliki aktivitas antibakteri terhadap

bakteri Gram positif maupun Gram negatif dan dapat diketahui

potensinya berdasarkan nilai KBM dan KHM dengan menggunakan

metode mikrodilusi.

2. Golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas

antimikroba ekstrak etil asetat TBF-05 dapat diidentifikasi dengan

KLT bioautografi dan pereaksi semprot.