BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

45
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia siaran sudah merambah Indonesia sejak zaman penjajahan. Bahkan, kemerdekaan Indonesia pertama kali diproklamirkan melalui siaran Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (RRI) pada 17 Agustus 1945. Sehingga benar kiranya jika masyarakat Indonesia tidak lagi asing dengan siaran, yang merupakan pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar, atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran (UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, I:1). Sementara itu kegiatan pemancarluasan siaran melalui perangkat pemancar disebut penyiaran. Penyiaran (broadcasting) dalam bahasa Inggris merupakan pengiriman program oleh media radio dan televisi. Sedangkan sebutan profesional untuk orang yang mengirimkan program di radio atau televisi disebut dengan broadcaster. Bentuk penyiaran dibagi menjadi dua, yakni penyiaran radio dan penyiaran televisi. Perbedaan paling mendasar, jika penyiaran televisi tidak hanya melingkupi audio yang bisa didengar massa, namun juga mampu menyajikan visual yang bisa ditangkap indera penglihatan, lain hal dengan penyiaran radio yang hanya menyajikan audio/ suara saja. Meskipun pada akhirnya, di era persaingan global ini radio sudah mampu berkonvergensi dengan teknologi visual,

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia siaran sudah merambah Indonesia sejak zaman penjajahan. Bahkan,

kemerdekaan Indonesia pertama kali diproklamirkan melalui siaran Lembaga

Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (RRI) pada 17 Agustus 1945.

Sehingga benar kiranya jika masyarakat Indonesia tidak lagi asing dengan siaran,

yang merupakan pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau

suara dan gambar, atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat

interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran

(UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, I:1). Sementara itu kegiatan

pemancarluasan siaran melalui perangkat pemancar disebut penyiaran.

Penyiaran (broadcasting) dalam bahasa Inggris merupakan pengiriman

program oleh media radio dan televisi. Sedangkan sebutan profesional untuk

orang yang mengirimkan program di radio atau televisi disebut dengan

broadcaster. Bentuk penyiaran dibagi menjadi dua, yakni penyiaran radio dan

penyiaran televisi. Perbedaan paling mendasar, jika penyiaran televisi tidak hanya

melingkupi audio yang bisa didengar massa, namun juga mampu menyajikan

visual yang bisa ditangkap indera penglihatan, lain hal dengan penyiaran radio

yang hanya menyajikan audio/ suara saja. Meskipun pada akhirnya, di era

persaingan global ini radio sudah mampu berkonvergensi dengan teknologi visual,

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

2

sehingga menciptakan video streaming. Terobosan ini menyebabkan para

pendengar radio bisa menyaksikan siaran langsung penyiar dari dalam studio

melalui internet. Teknologi penyiaran seakan berkejaran dengan waktu, mungkin

ini merupakan salah satu dampak dari berkembangnya gaya hidup masyarakat

yang semakin sulit lepas dari teknologi.

Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai

ketatnya peraturan, pengendalian, dan pemberian ijin oleh pemerintah yang pada

awalnya didasari pertimbangan kepentingan dari segi teknis, kemudian

berkembang menjadi kepentingan negara, pembiayaan, dan akhirnya sebagai

sebuah kebiasaan yang melembaga dalam negara. Hal ini dikarenakan semakin

disadarinya fungsi ekonomi dan politis radio dan televisi yang menyebabkan

keberadaannya sangat erat dengan kepentingan penguasa dan pemodal kapitalis.

Pasca-reformasi, media massa baik cetak maupun elektronik serasa

menemukan pintu kebebasan yang sangat luar biasa. Imajinasi liar yang disimpan

selama era kepemimpinan Soeharto, akhirnya bisa mereka ekspresikan sejak

masuk di era demokrasi. Pada dasarnya ini dampak yang baik bagi pers Indonesia

karena aspirasi rakyat lebih dihargai dan dipertimbangkan. Namun, tetap harus

ada pengontrol agar kebebasan itu tidak berubah menjadi semena-mena.

Termasuk juga lembaga penyiaran yang semakin berani menyajikan pemikiran-

pemikiran bebas, juga memerlukan pengontrol karena cakupan media massa

adalah ranah publik yang dampaknyapun juga bersentuhan dengan publik.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

3

Freedom of the press (kebebasan pers) merupakan bentuk demokratisasi

pers. Pers berhak untuk menyiarkan segala bentuk informasi kepada publik tanpa

ada kekangan dari pihak manapun. Bentuk demokratisasi pers juga bisa dilihat

dalam hal diversity of content (keberagaman isi), diversity of ownership

(keberagaman kepemilikan), atau diversity of voice (keberagaman pendapat dan

suara) (KPI, 2012: 4). Keberagaman inilah yang bisa dimanfaatkan oleh lembaga

penyiaran dalam melayani kebutuhan masyarakat akan informasi, edukasi, dan

hiburan yang positif serta konstruktif.

Karena sifat penyiaran yang mencakup ranah publik, media penyiaran

harus dikontrol yang menurut McQuail dan dikutip Masduki (2007: 12) dibagi

pada dua wilayah dan alasan, yaitu:

1. wilayah isi dikontrol karena ada alasan politik dan kultural,

2. wilayah infrastruktur terutama frekuensi dikontrol karena alasan

ekonomi dan teknologi.

Isi siaran perlu diatur karena sangat mudah untuk mempengaruhi sikap dan

perilaku audience, khususnya yang belum memiliki referensi yang kuat seperti

usia muda/ remaja. Untuk pedoman isi siaran ada tiga, yakni sopan (decency) dan

menyenangkan (converince), seperlunya (necessity), dan penting bagi publik

(public interest). Sementara, pengontrolan yang disandarkan pada kultural

dikarenakan efeknya yang sangat besar terhadap khalayak. Efek media penyiaran

mencakup efek dikotomi dan trikotomi. Efek dikotomi yang dimaksud adalah efek

kehadiran media itu sendiri dan efek pesan yang ditimbulkan kepada khalayak

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

4

dalam bentuk kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), dan behavioural

(perilaku). Sedangkan efek trikotomi, yaitu efek sasaran yang terdiri dari

individual, interpersonal, dan suatu sistem dalam bentuk kognitif, afektif, dan

behavioural.

UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran telah menyebutkan, untuk

melindungi publik dari pers yang tidak bertanggung jawab, maka dibentuklah

lembaga independen yang tidak ada campur tangan pemerintah maupun

pengusaha di dalamnya, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah satu

kewenangan dari KPI adalah menyusun dan menetapkan Pedoman Perilaku

Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang berfungsi untuk

memartabatkan lembaga penyiaran dan isi siarannya.

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan terhadap beberapa pasal

dalam BAB XIX P3, yakni mengenai narasumber karena mengingat bahwa

lembaga penyiaran tak lepas dari narasumber sebagai salah satu sumber

pemberitaannya. Begitu pentingnya peran narasumber, maka perlu kiranya

melihat lebih dalam, apakah poin-poin ayat yang tertuang dalam pasal-pasal

tersebut dilaksanakan dengan baik ataukah tidak oleh lembaga penyiaran. Adapun

pasal yang akan diteliti implementasinya di lapangan adalah pasal 27-29 dan 35.

Pemilihan beberapa pasal ini dikarenakan beberapa pasal dalam BAB XIX inilah

yang relevan dijadikan pedoman saat penyiar berhadapan langsung dengan

narasumbernya. Peneliti ingin melihat secara langsung interaksi antara penyiar

beserta tim produksi dengan narasumber mereka dan hal ini bisa didapati dalam

program talk show radio.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

5

Sebagai informasi, BAB XIX dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)

memuat tentang segala yang berhubungan dengan narasumber dan tertuang pada

pasal 27-35, diantaranya: penjelasan kepada narasumber (pasal 27), persetujuan

narasumber (28), anak dan remaja sebagai narasumber (29), hak narasumber

menolak berpartisipasi (30), wawancara (31), perekaman tersembunyi program

nonjurnalistik (32), pencantuman sumber informasi (33), hak siar (34), dan

pewawancara (35). Tiap-tiap pasal tersebut menjelaskan dengan terperinci

bagaimana hak narasumber dan kewajiban media penyiaran, baik televisi maupun

radio memperlakukan narasumber-narasumbernya. Bukan lantas, dengan asas

kebebasan berkreasi atau kebebasan pers, hak narasumber maupun kewajiban

lembaga penyiaran terhadap narasumber diabaikan.

Jika melihat pada rekap teguran dan himbauan 2010 yang dirilis KPI dan

peneliti unduh melalui situs resmi KPID Jawa Timur (kpid-jatimprov.go.id),

terdapat 98 catatan sepanjang 12 Januari 2010 – 12 November 2010. Dari sederet

rekapan itu, hanya 2 poin yang menyangkut radio, yaitu mengenai program

Sexophone (Sex Solution On The Microphone) yang disiarkan oleh MD Radio

93,2 FM Jakarta. Dalam surat tertanggal 3 Maret 2010 nomor 96/K/KPI/03/10,

KPI menyebutkan bahwa pelanggarannya adalah memuat siaran mengenai

pembenaran terhadap hubungan seks di luar nikah, hubungan seks secara vulgar,

percakapan yang menggambarkan rangkaian aktifitas ke arah hubungan seks.

Sayangnya, dalam situs resmi KPI maupun KPID hingga penelitian ini

dilaksanakan belum ada rekapan terbaru yang memuat teguran dan himbauan

sejak 2011.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

6

Sekalipun dalam rekapan teguran dan himbauan 2010 oleh KPI tidak

terdapat pelanggaran yang berkaitan dengan narasumber, namun pada

kenyataannya banyak sekali pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran

terkait dengan hal tersebut. Diantaranya yang disebutkan oleh Wakil Ketua KPI

Pusat, Ezki Suyanto dalam acara pelatihan pelatihan jurnalistik PPMN

(Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara) di Jakarta, 19 April 2012 lalu,

bahwa masih ada saja televisi yang sudah menyamarkan wajah dan identitas

korban anak-anak, tetapi justru menyebutkan nama sekolah dan mewawancarai

orangtua korban maupun pelaku yang masih di bawah umur. Ezki mengatakan:

“Seharusnya, semua yang berhubungan dengan korban atau pelaku

harus di tutupi dan disamarkan. Berita ini memang harus naik,

tetapi televisi harus berhati-hati dalam menayangkan si korban dan

pelaku yang masih anak-anak atau remaja”

(http://www.kpi.go.id/P3SPS Lindungi Anak dan Remaja.htm.)

Begitu pula dengan penayangan adegan reka ulang untuk pemerkosaan atau tindak

asusila lain, tidak menutup kemungkinan anak-anak dan remaja juga menyaksikan

tayangan ini dan bisa berdampak buruk untuk ke depannya.

Kasus narasumber palsu yang dihadirkan oleh presenter Indy Rahmawati

dan TV One pada 2011 lalu juga sempat menjadi buah bibir seluruh media massa

cetak, elektronik, dan online. Kesalahan penulisan nama, gelar, ataupun jabatan

narasumber terkadang juga masih kita temui pada media massa. Ketika kita juga

melihat kepada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 2 (dewanpers.or.id), disebutkan

bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan

tugas jurnalistiknya. Diantara beberapa cara profesional yang dimaksud dalam

pasal ini adalah: (1) menunjukkan identitas diri kepada narasumber, (2)

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

7

menghormati hak privasi, dan (3) menghormati pengalaman traumatik narasumber

dalam penyajian gambar, foto, suara.

Ketiadaan pengaduan kepada KPI mengenai pelanggaran terhadap

narasumber radio bisa jadi disebabkan ketidaktahuan radio sebagai penyelenggara

penyiaran maupun narasumber mengenai P3. Kemungkinan lain adalah

keengganan melaporkan pelanggaran yang terjadi karena dianggap hal yang

sepele. Melihat fenomena di atas, peneliti tergugah untuk mengkaji suatu

permasalahan yang membahas tentang implementasi P3 mengenai narasumber.

Peneliti mengharapkan penelitian ini mampu mendeskipsikan secara detail dan

jelas tentang bagaimana implementasi peraturan komisi penyiaran Nomor 1

Tahun 2012 Pasal 27-29 dan 35 tentang narasumber oleh media massa yang

dalam penelitian ini pada program talk show di radio-radio Kota Malang.

Dengan kata kunci implementasi, kebijakan/ peraturan KPI, talk show, dan radio,

judul yang diangkat peneliti adalah “Implementasi Peraturan Komisi

Penyiaran Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 27-29 dan 35 Oleh Media Massa (Studi

pada Program Talk Show di Radio-radio Kota Malang”.

B. Rumusan Masalah

Kebutuhan informasi langsung dari subyek yang terkait dengan berita/

narasumber, sangatlah dibutuhkan oleh media massa yang melakukan kegiatan

jurnalistik. Hal ini berkaitan dengan kefaktualan, keakuratan, dan keberimbangan

informasi yang kemudian diolah dan disajikan kepada para pendengar.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

8

Dikarenakan narasumber yang seharusnya berada pada keadaan yang baik dan

aman, sementara di sisi lain masih ada aduan dari narasumber mengenai perlakuan

awak media yang kurang baik, maka didapatkan rumusan beberapa masalah yang

dideskripsikan dalam penelitian ini diantaranya:

1. Bagaimana implementasi P3 Pasal 27-29 dan 35 oleh radio-radio di

Kota Malang?

2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat radio-radio

di Kota Malang dalam mengimplementasikan P3 Pasal 27-29 dan 35?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti, maka tujuan

penelitian ini adalah untuk:

1. Menjelaskan implementasi P3 Pasal 27-29 dan 35 oleh radio-radio di

Kota Malang,

2. Menganalisis faktor-faktor yang mendukung dan menghambat radio-

radio di Kota Malang dalam mengimplementasikan P3 Pasal 27-29 dan

35.

D. Manfaat Penelitian

Betapapun baiknya sebuah penelitian, tidak akan pernah sempurna jika

hasilnya tidak bisa memberikan manfaat terhadap apa yang menjadi perhatian dari

penelitian tersebut. Oleh karenanya, peneliti mengharapkan penelitian ini nantinya

bisa memberikan manfaat berupa:

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

9

D.1 Manfaat praktis

1. Memberikan masukan terhadap pelaksana kebijakan, yang dalam

hal ini media massa beserta sumber daya manusia yang ada di

dalamnya untuk bisa bersama-sama meninjau, menyimak, dan

kemudian mengimplementasikan seluruh kebijakan yang dibuat

oleh KPI demi terciptanya iklim penyiaran Indonesia yang lebih

baik.

2. Memberikan masukan terhadap pembuat kebijakan, yang dalam

hal ini adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), mengenai ada

tidaknya hambatan yang ditemukan dalam hasil penelitian ini

untuk kemudian ditindaklanjuti demi pengoptimalan implementasi

kebijakan-kebijakan yang sedang dan akan dibuat secara

menyeluruh dan kontinyu.

D.2. Manfaat Akademis

1. Memberikan gambaran bagaimana implementasi kebijakan oleh

media massa yang merupakan salah satu kajian Ilmu Komunikasi.

2. Dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan

membahas kajian kebijakan yang berkaitan dengan narasumber.

3. Menjadi pembelajaran sekaligus buah karya peneliti guna

persyaratan menyelesaikan studi Strata 1 di Universitas

Muhammadiyah Malang.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

10

E. Tinjauan Pustaka

E.1 Implementasi

E.1.1 Pengertian dan Proses Implementasi

Secara garis besar, implementasi membentuk suatu hubungan yang

memungkinkan tujuan ataupun sasaran dari kebijakan diwujudkan sebagai

hasil akhir kegiatan yang dilakukan (Wahab, 2008: 117).

Pembuatan kebijakan berakhir bukan lantas setelah dibuat dan

diputuskan, namun berkelanjutan hingga implementasi dan evaluasi

apakah kebijakan tersebut baik ataukah tidak, terlaksana dengan maksimal

ataukah tidak. Hal ini akan berimbas terhadap pembuatan kebijakan-

kebijakan selanjutnya sebagai bahan evaluasi. Clausewitz seperti yang

dikutip dalam Public Policy (Parsons, 2008: 464) menyebut implementasi

adalah pelaksanaan pembuatan kebijakan dengan cara-cara lain.

Mazmanian dan Sabatier (Dwidjowijoto, 2006: 119)

mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan

keputusan kebijakan.

E.1.2 Syarat Implementasi yang Baik

Implementasi pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan

bisa mencapai tujuan yang sudah direncanakan, tidak lebih dan tidak

kurang. Namun, dalam pelaksanaannya, dibutuhkan trik-trik khusus yang

dianggap paling cocok dan ideal untuk bisa memenuhi tujuan tersebut.

Dalam buku Limits to Administration (1976), Christopher Hood (dikutip

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

11

Parsons, 2008: 467) mengungkapkan syarat untuk implementasi yang

sempurna, yakni:

1. implementasi ideal itu adalah produk dari organisasi yang padu

seperti militer, dengan garis otoritas yang tegas,

2. norma-norma ditegakkan dan tujuan ditentukan,

3. orang akan melaksanakan apa yang diminta dan diperintahkan,

4. harus ada komunikasi yang sempurna intra dan antar organisasi,

5. tidak ada tekanan waktu.

Memang menurut Christopher Hood, implementasi efektif membutuhkan

sistem komando, pengorganisasian, dan pengontrolan yang baik.

Sedangkan George Edward III (1980) (dikutip Dwidjowijoto,

2006: 140) menegaskan bahwa masalah utama dari administrasi publik

adalah lack of attention to implementation (kurangnya perhatian terhadap

implementasi). Dikatakannya, bahwa without effective implementation the

decision of policymakers will not be carried out successfully (tanpa

implementasi yang efektif, keputusan oleh pembuat kebijakan tidak akan

terlaksana dengan sukses). Edward menyarankan untuk memperhatikan

empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu

communication (komunikasi), resource (sumber daya), disposition or

attitudes (sikap), dan bureaucratic structures (struktur organisasi).

Komunikasi berkaitan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan/

disosialisasikan kepada lembaga/ publik. Ketersediaan sumber daya untuk

melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggapan dari para pihak yang terlibat

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

12

dalam pelaksanaan kebijakan. Terakhir, bagaimana struktur organisasi

pelaksana kebijakan juga menjadi isu penting dalam implementasi

kebijakan.

E.2 Peraturan KPI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku

Penyiaran (P3)

Sebagai salah satu produk kebijakan yang dihasilkan oleh KPI

selain Standar Program Siaran (SPS), Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)

dibuat dalam rangka mengatur perilaku lembaga penyiaran dan lembaga-

lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran di Indonesia dan ditinjau

kembali dalam rapat koordinasi nasional (rakornas) setiap 3 tahun sekali.

Selain itu, fenomena menjamurnya stasiun radio dan televisi hingga ke

pelosok negeri ini, harus disusun standar baku yang mampu mendorong

lembaga penyiaran untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya

watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan

kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka

membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera

(KPI, 2010:1).

P3 seyogyanya sudah harus diimplementasikan sejak ditetapkan di

Jakarta pada 22 Maret 2012 oleh ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto,

S.H., M.Si. Sebanyak 54 pasal P3 memuat ketentuan-ketentuan yang

mencakup:

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

13

1. nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan;

2. nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan;

3. etika profesi;

4. kepentingan publik;

5. layanan publik;

6. hak privasi;

7. perlindungan kepada anak;

8. perlindungan kepada orang dan kelompok masyarakat tertentu;

9. muatan seksual;

10. muatan kekerasan;

11. muatan program siaran terkait rokok, NAPZA (narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif) dan minuman beralkohol;

12. muatan program siaran terkait perjudian;

13. muatan mistik dan supranatural;

14. penggolongan program siaran;

15. prinsip-prinsip jurnalistik;

16. narasumber dan sumber informasi;

17. bahasa, bendera, lambing negara, dan lagu kebangsaan;

18. sensor;

19. lembaga peyiaran berlangganan;

20. siaran iklan;

21. siaran asing;

22. siaran lokal dalam system stasiun jaringan;

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

14

23. siaran langsung;

24. muatan penggalangan dana dan bantuan;

25. muatan program kuis, undian berhadiah, dan permainan lain;

26. siaran pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah; dan

27. sanksi dan tata cara pemberian sanksi.

(Sumber: Pedoman Perilaku Penyiaran 2012 pasal 5)

E.3 Radio

E.3.1 Pengertian Radio

Beberapa pakar radio memberikan pandangan beragam

tentang radio, diantaranya:

1. Menurut dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM)

Universitas Mercu Buana Jakarta, Riswandi, “Penyiaran

radio adalah media komunikasi massa dengar, yang

menyalurkan gagasan informasi dalam bentuk suara

secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur

dan berkesinambungan” (Riswandi, 2008: 1),

2. Fatmasari Ningrum dalam bukunya yang berjudul Sukses

Menjadi Penyiar, Scriptwriter & Reporter Radio

berpendapat, “Radio merupakan media massa auditif,

yakni dikonsumsi telinga atau pendengaran sehingga isi

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

15

siarannya bersifat sepintas lalu dan tidak dapat diulang”

(Ningrum, 2007: 6),

3. Menurut Masduki, penulis Jurnalistik Radio, 2006, “Peran

ideal radio sebagai media publik adalah mewadahi

sebanyak mungkin kebutuhan dan kepentingan

pendengarnya. Ada tiga bentuk kebutuhan, yaitu informasi,

pendidikan, dan hiburan” (Masduki, 2006: 2),

4. Sementara itu, Santi Indra Astuti, S.Sos, M.Si dalam

bukunya, Jurnalisme Radio berpendapat, “Radio adalah

buah perkembangan teknologi yang memungkinkan suara

ditransmisikan secara serempak melalui gelombang radio

di udara” (Astuti, 2008: 5),

5. Dalam testimonial yang diberikan Menteri Komunikasi dan

Informatika, Tifatul Sembiring dalam buku karangan Ficky

A. Hidajat (2011: back cover), dia mengatakan, “Radio itu

teman setia. Ia bisa didengarkan kapan & dimana saja.

Pilihan acaranya beragam sesuai dengan kesukaan. Di era

digital ini, mendengarkan radio tidak selalu melalui

pesawat radio, di mobile phone bisa, semakin praktis”,

6. Sedangkan Shahnaz Haque, yang sampai saat ini masih

aktif bersiaran di Delta FM, Jakarta ini mengatakan,

“Radio adalah media selintas karena kebanyakan orang

mendengar radio dengan melakukan aktifitas sampingan

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

16

lain. Misal: sambil bekerja, berkendara, belajar…”

(Hidajat, 2011: 33),

7. Penyiar sekaligus presenter kondang Farhan berpendapat,

“Radio kan personal yang memungkinkan kita bisa sedekat

yang kita inginkan dibanding dengan televisi.” (Hidajat,

2011: 117),

8. Manager on air Radio Suara Surabaya, Yoyong

Burhanuddin menjelaskan bahwa radio adalah sarana to

educate, to entertaint, to inform, and to influence (untuk

memberi pengajaran, menghibur, menginformasikan, dan

mempengaruhi) (Jufriansah, 2010).

9. Penyiaran radio adalah media massa dengar, yang

menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara

secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur

dan berkesinambungan (UU 32/2002 pasal 1 ayat 3).

Dari beberapa pengertian tersebut, radio merupakan media

massa auditif yang mentransmisikan suara melalui gelombang

radio dan bisa didengar melalui perangkat penerima; bersifat

selintas, bisa didengar sambil lalu, personal, dan berfungsi to

inform, to educate, to entertaint, dan to influence kepada

pendengarnya.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

17

E.3.2 Kekuatan dan Kelemahan Radio

Semenjak kemunculan teknologi wireless telegraph yang

memanfaatkan gelombang radio sebagai pembawa pesan dalam

bentuk kode Morse di tahun 1896 ditemukan oleh Gugliemo

Marconi, banyak fenomena yang terjadi akibat teknologi tersebut.

Seratus tahun yang lalu, berita mengenai kapal pesiar mewah yang

diklaim pembuatnya tidak akan pernah tenggelam, namun pada

pelayaran perdananya di tahun 1912 tenggelam akibat menabrak

gunung es, yaitu kapal Titanic, dikirimkan melalui radio.

Karenanya, banyak penumpang Titanic yang selamat.

Pada 30 Oktober 1938 sempat di Amerika Serikat ada

sebuah stasiun radio yang menyajikan drama radio War of the

Worlds karya H.G. Wells yang bercerita tentang kedatangan

makhluk luar angkasa yang menguasai bumi. Akibat dari siaran

tersebut, gelombang kepanikan melanda Amerika. Banyak orang

yang kabur dari rumahnya dikarenakan mendengar siaran drama

radio yang dianggap suatu realitas oleh masyarakat. Bahkan ada

yang terluka dan ada yang hampir bunuh diri. Fenomena ini

merupakan satu gambaran tentang salah satu kekuatan radio, yakni

membentuk theatre of mind. Dengan kekuatan suara, musik, dan

berbagai efek suara, radio mampu membuat sesuatu yang

direkayasa terasa sangat nyata.

Adapun kekuatan dan kelemahan dari radio, yakni:

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

18

E.3.2.1 Kekuatan Radio

Dalam Jurnalisme Radio (Astuti, 2008: 40)

dijabarkan beberapa kekuatan radio, diantaranya:

1. radio dapat membidik secara spesifik. Radio

memiliki kemampuan untuk memfokuskan

pendengarnya secara demografis maupun kultural

melalui program acara yang disajikan. Mengenai

perubahan segmen seperti ini, radio jauh lebih

fleksibel dibanding media massa yag lain,

2. radio bersifat mobile dan portable. Hal ini berkaitan

dengan perangkat pemutar radio yang bisa dibawa

kemana-mana, simple, dan lebih murah dibanding

media massa lain,

3. radio bersifat intrusive, memiliki daya tembus

tinggi. Begitu radio dinyalakan, maka radio bisa

menembus batas ruang karena juga sesuai dengan

sifat gelombang suara,

4. radio bersifat fleksibel. Yang dimaksud dengan

fleksibel adalah radio mampu dengan mudah dan

sederhana mengubah program acaranya,

mengudarakan suatu informasi, dan dengan cepat

dan mudah pula mengubah ataupun meng-update-

nya,

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

19

5. radio itu sederhana. Sederhana dalam artian

mengoperasikannya, sederhana dalam

manajemennya dibanding media massa lain, dan

sederhana isinya, sehingga mudah untuk dicerna

oleh pendengar meskipun didengar sambil lalu.

Kelebihan radio yang umum diketahui ialah:

1. cepat dan langsung, karena radio tidak

membutuhkan proses yang rumit untuk

penyampaian informasi,

2. hangat dan dekat, karena sifatnya yang personal.

Seakan-akan hanya ada penyiar dan Anda

(pendengar). Penyiar seolah menjadi teman baik

bagi pendengarnya dalam keadaan apapun,

3. memancing theatre of mind, seperti gambaran

sebelumnya, hanya melalui suara penyiar, musik,

efek suara, masing-masing pendengar akan

membentuk gambarannya masing-masing atas apa

yang didapatkan melalui radio, berdasarkan frame

of reference dan field of experience-nya,

4. tanpa batas, siaran radio bisa didengar oleh

siapapun, menembus batas geografis, demografis,

suku, ras, usia, dan kelas sosial. Hanya tunarungu

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

20

yang hingga saat ini belum bisa menikmati siaran

radio,

5. bisa didengar sambil mengerjakan pekerjaan lain.

Lain halnya saat kita menonton televisi maupun

membaca koran yang membutuhkan konsentrasi

lebih,

6. murah,

7. menghibur, selain dikarenakan musik yang diputar

juga karena penyiar yang memiliki kemampuan

untuk menghibur para pendengarnya,

E.3.2.2 Kelemahan Radio

Menurut Meeske yang ditulis dalam buku Jurnalisme

Radio (Astuti, 2008: 40), kelemahan radio adalah:

1. Radio is aural only. Satu-satunya yang diandalkan

dari radio adalah suara (sound) saja,

2. Radio message are short lived. Pesan radio hanya

bersifat satu arah, sekilas, antidetil dan tidak dapat

ditarik kembali,

3. Radio listening is prone to distraction. Radio

rentan dengan gangguan. Jika suara yang

ditangkap kurang jernih, bisa jadi informasi yang

didapat kurang maksimal.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

21

E.3.3 Jurnalistik Radio

Jurnalistik radio sama halnya dengan jurnalistik pada

umumnya, ada proses mencari, mengolah dan kemudian

mempublikasikan berita. Yang membedakan hanyanya medianya

saja. J.B. Wahyudi membagi produk radio menjadi dua kelompok

besar (Astuti, 2008: 55-56), yakni:

1. Karya artistik, tentunya diproduksi dengan pendekatan

artistik. Biasanya karya ini membutuhkan dramatisasi,

sehingga fiksi atau non-fiksi boleh dibuat sekreatif

mungkin. Contoh: drama radio, iklan, pernik.

2. Karya jurnalistik, tentu diproduksi dengan pendekatan

jurnalistik, dibuat sesuai dengan kaidah jurnalistik serta

mengindahkan kode etik jurnalistik sebagai acuannya.

Sebisa mungkin dijauhkan dari dramatisasi, sehingga tidak

menimbulkan ambiguitas. Contoh: berita, feature,

dokumenter.

E.3.4 Program Berita Radio

Dalam jurnalistik radio, berita (news) memang menjadi

dasarnya dan disajikan dalam berbagai bentuk, diantaranya:

actualities/ soundbite, voicer, wrap, berita langsung (straight

news), breaking news, sequence/ sequel news, kronik (chronicles),

soft news, dan reportase langsung. Actualities/ soundbite

memanfaatkan suara-suara dari kejadian yang sebenarnya untuk

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

22

melengkapi penyampaian berita. Dengan actualities, informasi

yang disampaikan akan terdengar lebih riil dan bisa menimbulkan

reaksi emosi yang lebih dari pendengar.

Voicer memberikan observasi, persepsi, deskripsi nyata

yang terjadi disertai suara pendukung yang diliput dan disampaikan

oleh reporter. Wrap, format ini menggabungkan ciri dari voicer dan

actualities sehingga tercipta satu paket berita yang direkam dan

diedit terlebih dahulu. Jenis berita yang lebih mengedepankan

aktualitas adalah straight news atau berita langsung.

Penyampaiannya bisa berupa actualities, voicer, ataupun wrap¸

yang terpenting 5W+1H (who, what, where, when, why, dan how)

bisa tersampaikan dengan tepat dan sesegera mungkin. Berita yang

disampaikan dengan sangat segera, biasanya berkaitan dengan

insiden/ peristiwa yang sedang berlangsung disebut dengan

breaking news.

Jenis berita selanjutnya adalah sequence, yakni berita yang

disusun secara berurutan dan disampaikan secara

berkesinambungan dalam waktu yang berbeda. Lazimnya,

sequence disampaikan untuk menginformasikan perkembangan

satu topik berita (Indra Astuti, 2008: 104). Kemudian, kronik yang

merupakan kumpulan headline berita, yang berisi pokok-pokok

penting dan biasanya berdurasi singkat, tidak lebih dari 15 detik.

Ada berita yang kadang tidak aktual, namun penting untuk

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

23

diinformasikan yang disebut soft news. Penyajiannya tidak setajam

straight news, tapi lebih ringan tanpa menghilangkan nilai

beritanya. Live reportage atau siaran langsung merupakan

informasi yang disiarkan langsung dari tempat kejadian dalam

waktu yang bersamaan. Untuk jenis berita yang terakhir, dewasa

ini lebih banyak digunakan karena berkaitan dengan persaingan

antar lembaga penyiaran dalam kecepatannya menyampaikan

informasi.

Selain reportase langsung, radio dengan jurnalisme yang

kental biasanya akan lebih banyak menampilkan siaran berbasis

talk show berbentuk forum diskusi interaktif yang melibatkan

banyak pihak. Penyiarannya kepada publik bisa secara langsung

(live talk show) ataupun siaran tunda yang direkam sebelumnya.

Namun untuk talk show yang menyediakan ruang interaksi

langsung bersama pendengar, dituntut untuk menyiarkan secara

langsung. Instruktur radio dari Munchen, Jerman, Klaus Kastan

menyumbangkan metode talk show, yaitu HARLEY (Harmony,

Actual, Responsible, Leading, Entertainment, and Yield).

E.3.5 Wawancara Radio

Wawancara dalam bahasa inggris disebut “interview”, yaitu

dari kata inter (antara) dan view (pandangan). Makna ini

menunjukkan terjadi saling pandang atau kontak antara

pewawancara dan yang diwawancarai (Riswandi, 2009: 43).

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

24

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang akurat

dari orang yang berhak memberikan keterangan (narasumber) atas

suatu gejala sosial atau suatu topik pembicaraan. Kegiatan

wawancara dilakukan dengan persiapan yang matang dan memiliki

tujuan tertentu. Tujuan wawancara penting untuk dirumuskan

karena menentukan keberhasilan wawancara itu sendiri. Kegagalan

suatu wawancara sering didapati karena pewawancara tidak tau apa

sebenarnya tujuan dari wawancara yang dilakukan, apakah sekedar

untuk konfirmasi, meminta opini, atau tujuan lain.

Pakar komunikasi radio, Dr. Myles Martel dalam buku

Dasar-dasar Penyiaran (Riswandi, 2009: 44) merumuskan 8

tujuan wawancara, yaitu:

1. memastikan kebenaran dan aktualitas fakta,

2. memperoleh pernyataan resmi langsung dari sumbernya,

3. menggali titik pandang/opini (point of view),

4. memformulasikan suatu masalah,

5. memperoleh suara yang mewakili masyarakat,

6. menciptakan gaya berita bercerita,

7. meningkatkan citra pribadi reporter,

8. memperkuat kredibilitas radio di bidang informasi.

Selain itu, tujuan dari wawancara juga untuk konfirmasi,

melengkapi data, mendorong narasumber agar mengungkapkan

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

25

suatu fakta, atau hanya sekedar menyambung tali silaturahim

antara media dengan narasumber.

Ditinjau dari segi teknis (Masduki, 2006: 41), wawancara

radio dibagi menjadi:

1. wawancara berdasarkan perjanjian atau kesepakatan

bersama,

2. wawancara konferensi pers. Reporter diundang oleh

narasumber untuk mendapatkan penjelasan atas suatu

peristiwa,

3. wawancara di lokasi peristiwa,

4. wawancara dari studio dengan menggunakan telepon

atau alat telekomunikasi lainnya,

5. wawancara siaran langsung. Reporter mengadakan

wawancara yang disiarkan saat itu juga,

6. wawancara jalanan (on the street/ vox pop interview),

wawancara spontan yang dilakukan di berbagai lokasi

untuk mendapatkan tanggapan dari masyarakat

mengenai suatu peristiwa.

Dari segi isi, wawancara dibagi menjadi wawancara

infomasi, wawancara opini, dan wawancara tokoh. Wawancara

informasi dilakukan untuk mencari kejelasan data faktual dari

suatu peristiwa, bisa berupa hasil reportase langsung maupun

wawancara melalui sambungan telepon dari studio. Wawancara

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

26

opini merupakan wawancara yang memusatkan pada gagasan,

penilaian, dan kepercayaan narasumber atas sebuah persoalan.

Terakhir, yakni wawancara tokoh yang mengungkap biografi

seorang public figure.

Sementara itu, berdasarkan penyajiannya wawancara radio

dibagi menjadi tiga (Tebba, 2005: 129-130), yaitu:

1. Wawancara aktualitas/ band interview/ ATI (Audio

Tape Insert), yaitu petikan wawancara berdurasi

pendek untuk mendukung berita aktual. Biasanya

ditampilkan sebagai penegasan yang mendukung suatu

berita yang ditayangkan,

2. Wawancara berita, yaitu wawancara dalam waktu

singkat yang merupakan sebuah berita actual. Biasanya

wawancara ini membahas sebuah persoalan secara

singkat,

3. Wawancara program, yaitu wawancara dalam waktu

yang panjang dan dalam perbincangan itu dapat dibahas

secara tuntas permasalahan yang diangkat. Wawancara

jenis ini juga biasa disebut talk show.

E.3.6 Talk show Radio

E.3.6.1 Pengertian Talk show Radio

Menurut sejarah, program talk merupakan program

tertua. Obrolah formal mulai dipopulerkan di Inggris,

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

27

wawancara dengan gaya modern muncul dari Amerika,

sedangkan forum diskusi-diskusi publik yang bersifat lokal

dimulai di Kanada. Sekarang, bentuk-bentuk talk program

ini sudah diadopsi untuk kemudian dikreasikan dengan

kultur dan kebutuhan komunitas masing-masing di seluruh

dunia.

Ada perbedaan dan persamaan antara wawancara

dan dialog/ talk show. Persamaan antara keduanya adalah

sama-sama selalu terdiri dari orang yang mewawancarai

atau pewawancara atau moderator atau host dan orang yang

diwawancarai atau narasumber. Perbedaannya, pada

wawancara, pewawancara hanya mengajukan pertanyaan

kepada narasumber dan narasumber berfungsi menjawab

pertanyaan. Sementara pada dialog/ talk show,

pewawancara tidak selalu hanya bertanya tapi juga bertukar

argumen dengan orang yang diwawancarai untuk sepakat,

saling memperkuat argumen atau berbeda pendapat (Tebba,

2005: 127).

Menurut Masduki (2006: 45) perbedaan paling

penting antara talk show dan wawancara berita adalah talk

show bersifat dinamis, tidak terpaku pada aktualitas topik

perbincangan, dan jam tayang fleksibel. Talk show dapat

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

28

dimasukkan ke dalam kategori program spesial atau

program wawancara sebagai acara. Komponen yang selalu

ada dalam program talk show adalah obrolan dan musik

yang berfungsi sebagai selingan.

Santi Indra Astuti (2008: 119) dalam bukunya

mengatakan paling tidak ada dua program yang berbasis

talk yang sering muncul di radio, yakni interview

(wawancara) dan diskusi radio. Keduanya bisa bersifat

interaktif dengan pendengar ataupun tidak. Untuk

narasumbernya bisa jadi dihadirkan di dalam studio atau

hanya melalui teleconference/ mobile phone. Menurut

konsultan radio UNESCO Paris, Richard Aspinall yang

dikutip Astuti (2008: 141), “The best radio talks

programming is simply an extension of the talking we do in

our everyday lives”. Program radio talk yang paling baik

adalah perpanjangan obrolan dari apa yang kita lakukan

dalam kegiatan sehari-hari. Obrolan seperti ini akan

berlangsung alamiah, bebas, mengalir, terbuka, dan saling

mempengaruhi.

Dalam Jurnalisme Radio (Gunawan, dkk, 2001:

139) yang diterbitkan UNESCO Jakarta bekerjasama

dengan Kedutaan Besar Denmark di Jakarta menjelaskan

program interaktif adalah program yang melibatkan

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

29

interaksi antara pembawa acara atau presenter (dengan atau

tanpa pembicara dari luar) di studio, dengan pendengar di

luar studio (dalam beberapa kejadian, pendengar bisa juga

diundang hadir di studio). Karena sifatnya yang sarat

muatan dialog, program interaktif juga sering disebut

sebagai talk show atau tontonan perbincangan.

E.3.6.2 Macam-macam Talk Show

Ada beragam jenis program interaktif/ talk show,

diantaranya (Gunawan, dkk, 2001: 140-141):

1. Pilihan pendengar, pendengar bisa menelpon

penyiar di studio untuk diputarkan lagu pilihannya,

sekaligus bisa berbincang tentang berbagai hal,

2. Kuis, dewasa ini radio selalu menggunakan telepon

sebagai penghubung pendengar dengan penyiar

untuk kebutuhan kuis radio,

3. Program pengaduan, masyarakat bisa mengadukan

tentang hal apapun, termasuk public service,

pelayanan pemerintah, traffic, dll,

4. Konseling pribadi, biasanya radio akan

menghadirkan psikolog dan pendengar bisa

melakukan konsultasi lewat udara untuk

mendapatkan solusi dari segala permasalahan yang

dihadapi,

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

30

5. Diskusi atau perdebatan, lazimnya ditentukan

terlebih dulu topik yang akan dibicarakan. Ada

pakar yang dihadirkan di studio yang sesuai dengan

topik yang akan dibahas. Terkadang pendengar juga

ikut diundang untuk ikut berpartisipasi dalam

diskusi radio ini.

Jenis diskusi atau perdebatan merupakan jenis talk

show yang paling rumit dalam pengerjaannya, namun juga

yang paling mendukung radio-radio yang memiliki program

pemberitaan. Karena banyak kasus pemberitaan hanya

dinformasikan sekilas saja, padahal banyak hal yang ingin

dibahas, dalam diskusi inilah bisa menghadirkan

narasumber untuk secara bersama-sama membahas

pemberitaan tersebut hingga tuntas. Semua pemikiran baik

dari pakar maupun pendengar bisa ditampung untuk

mendapatkan solusi bersama, jika dibutuhkan. Oleh

karenanya, bisa dikatakan bahwa program semacam ini

merupakan program yang menjunjung tinggi asas

demokrasi.

E.3.6.3 Produksi Program Talk Show

Langkah yang harus dipersiapkan radio untuk

membuat program talk show (Gunawan, dkk, 2001: 142-

145) adalah:

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

31

1. Menentukan format

Program interaktif format apa yang dipakai harus

ditentukan terlebih dahulu oleh produser acara dan

tim. Mulai dari tema, apakah ada narasumber,

membutuhkan apa saja baik itu segi teknis maupun

SDM, dll.

2. Memilih topik

Topik yang dipilih harus benar-benar menadi daya

tarik bagi masyarakat, sehingga talk show tersebut

akan benar-benar efektif dan menimbulkan efek

yang sesuai dengan tujuan dari program,

3. Melakukan riset

Sama halnya dengan kegiatan jurnalistik lain, jika

ingin memperbincangkan suatu permasalahan,

mutlak untuk mencari informasi sebanyak-

banyaknya tentang apa yang akan kita bahas.

Semakin kaya hasil riset yang didapat, maka

semakin bermanfaat dan berkualitas talk show

tersebut,

4. Menentukan narasumber

Menentukan siapakah yang akan menjadi

pembicara ini juga penting, jangan sampai kita

salah memilih narasumber kalau tidak ingin acara

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

32

yang sudah kita arrange sedemikian rupa rusak

hanya gara-gara narasumber tidak kompeten di

topik yang diangkat. Narasumber yang baik adalah

yang memiliki kompetensi untuk berbicara

mengenai topik yang dibahas dan artikulatif

(mempunyai kemampuan berbicara yang baik,

runtut, jelas, dan berisi),

5. Mempersiapkan peralatan teknis

Peralatan di dalam studio harus dicek dan

dipastikan berfungsi dengan baik demi kelancaran

talk show, baik itu michophone, headset, mixer,

maupun sambungan telepon untuk interaktif, jika

digunakan,

6. Menyiapkan langkah tindak lanjut bila diperlukan

Obrolan yang bagus, jika masih meninggalkan

ganjalan di akhir acara tidak akan bisa dikatakan

sukses sepenuhnya. Masyarakat akan lebih

mengapresiasi radio yang mampu menyelesaikan

permasalahan hingga tuntas. Jika dalam talk show

itu masih ada hal yang harus diteruskan ke instansi

lain atau individu lain, alangkah baiknya jika

diselesaikan. Jika hal ini dilakukan, maka

masyarakat akan menilai bahwa radio kita tidak

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

33

diragukan lagi kredibilitasnya dalam melayani

kebutuhan masyarakat.

E.3.6.4 Struktur Siaran Talk Show

Seperti program siaran lain, struktur dari talk show

radio adalah opening, body, dan closing (Astuti, 2008: 139-

140). Opening talk show biasanya diisi dengan pengantar

pada topik, alasan mengapa topik ini diangkat, apa yang

diharapkan dari diskusi yang akan berlangsung. Kemudian

penyiar akan mengenalkan narasumber dan latar belakang

narasumber.

Body berisikan pokok permasalahan diskusi, dalam

talk show dibagi menjadi beberapa segmen. Di tiap jeda

segmen disajikan iklan, lagu, atau yang lain. Agar

pembahasan mudah dicerna oleh pendengar dan lebih

mudah pembahasannya oleh narasumber, disarankan agar

setiap segmen berisikan satu isu, aspek, atau subtema.

Terakhir adalah closing atau penutup. Biasanya

kesimpulan dari perbincangan diutarakan lagi di segmen

terakhir ini dalam kalimat yang singkat, boleh disampaikan

oleh penyiar, atau oleh narasumber. Tidak lupa ucapan

terimakasih dan informasi lain yang berkaitan dengan

tindak lanjut talk show tersebut.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

34

E.4 Model Implementasi Bottom-up

Model bottom-up bermakna meskipun kebijakan dibuat oleh

pemerintah, namun pelaksanaan oleh rakyat. Pendekatan bottom-up

dikembangkan oleh Michael Lipsky dan Benny Hjern. Model ini

menekankan pada fakta bahwa bagaimana tiap-tiap pelaku kebijakan

diberikan keleluasaan dalam menetukan bagaimana mereka

mengimplementasikan kebijakan. Para pelaku kebijakan seperti halnya

media massa, mendapatkan kesempatan untuk menerapkan kebijakan yang

dibuat pemerintah sesuai dengan kondisi di wilayah masing-masing.

Artinya, bisa jadi metode yang disiapkan pembuat kebijakan untuk

diimplementasikan di lapangan tidak dipergunakan oleh pelaku kebijakan

karena metode, sistem koordinasi, maupun sistem pengontrolannya tidak

sesuai untuk diterapkan.

Model ini mengkritik model top-down yang dianut Daniel

Mazmanian, Paul Sabatier, Robert Nakamura, Frank Smallwood, dan Paul

Berman yang merupakan tipe implementasi ideal, dengan rantai komando

yang baik, kapasitas koordinasi dan kontrol baik. Sehingga peran pembuat

kebijakan seakan menjadi sakral kedudukannya dan pelaku kebijakan tidak

bisa dengan kritis dan bebas melaksanakan kebijakan sesuai dengan apa

yang dirasa cocok untuk diterapkan.

Dwidjowijoto (2006: 126) memaparkan model pemetaan top-down

versus bottom-up terhadap mekanisme pasar versus mekanisme paksa

lewat Gambar 1.1.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

35

Gambar 1.1 Pemetaan Implementasi Top-Down Versus Bottom-Up

Terhadap Mekanisme Pasar Versus Mekanisme Paksa Model

Dwidjowijoto

Model bottom-up yang digunakan dalam penelitian ini yang

bernomor 5 pada gambar. Model yang disusun oleh Richard Elmore,

Michael Lipsky, dan Benny Hjern dan David O’Porter. Letaknya ada pada

kuadran bawah ke atas dan lebih berada di mekanisme pasar. Mekanisme

pasar yang dimaksud adalah mengedepankan mekanisme insentif bagi

yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak akan mendapat

sanksi, namun tidak mendapat insentif.

Model implementasi bottom-up ini dimulai dengan

mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan

Atas ke bawah

Mekanisme Mekanisme

Paksa Pasar

Bawah ke Atas

(Sumber: Dwidjowijoto, 2006: 126)

2

1

3

4

5

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

36

menanyakan kepada mereka tentang tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-

kontak yang mereka miliki. Model ini didasarkan pada jenis kebijakan

publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri

implementasi kebijakannya, atau masih melibatkan pejabat pemerintah,

namun hanya di tataran rendah (Dwidjowijoto, 2006: 134-135).

Dwidjowijoto (2006: 148) mengistilahkannya dengan diskresi,

yakni ruang gerak bagi individu pelaksana di lapangan untuk memilih

tindakan sendiri yang otonom dalam batas wewenangnya apabila

menghadapi situasi khusus ketika kebijakan tidak mengatur atau mengatur,

namun berbeda dengan kondisi lapangan. Penyesuaian di lapangan inilah

yang menjadi inti dari diskresi. Akan tetapi, agar tidak terjadi diskresi

yang “keterlaluan” maka tetap dibutuhkan pengawasan oleh policymakers,

yang dalam penelitian ini adalah monitoring dari KPI.

Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan model

implementasi bottom-up yang bisa digambarkan lebih sederhana dalam

Gambar 1.2 berikut:

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

37

Gambar 1.2 Penyederhanaan Model Implementasi Bottom-up

Menurut pendukung model bottom-up, yang terpenting adalah

hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Daripada

menganggap manusia sebagai mata rantai dalam garis komando, seperti

yang dianut model top-bottom, pembuat kebijakan semestinya sadar bahwa

kebijakan paling baik diimplementasikan dengan apa yang diistilahkan

Richard Elmore “backward mapping” (pemetaan mundur) problem dan

kebijakan. Artinya, mendefinisikan sukses berdasarkan term manusia atau

perilaku manusia, dan karenanya kesuksesan bukanlah sekedar pemenuhan

sebuah “hipotesis” (Parson, 2008: 470).

F. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan kepada bagaimana

implementasi atau penerapan P3 pasal 27-29 dan 35, baik berupa perilaku maupun

ucapan dari penyiar dan atau tim produksi terhadap narasumber yang hadir dalam

(Dapat mempengaruhi)

(Sumber: Diolah dari data primer)

Peraturan Komisi Penyiaran

Indonesia (KPI)

Lembaga Penyiaran

(Produser, penyiar,

moderator, dll)

Lembaga Penyiaran

(Produser, penyiar,

moderator, dll)

Lembaga Penyiaran

(Produser, penyiar,

moderator, dll)

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

38

acara talk show di radio-radio Kota Malang, yakni di Radio RRI Pro-1,

Kosmonita, dan Mas FM. Dalam pasal tersebut dijelaskan apa saja hak dari

narasumber dan kewajiban media yang harus dipenuhi pada saat sebelum dan saat

berlangsungnya program siaran talk show radio. Hal-hal yang dibahas dalam

pasal-pasal yang diteliti, yakni:

1. Pasal 27: penjelasan kepada narasumber,

2. Pasal 28: persetujuan narasumber,

3. Pasal 29: anak dan remaja sebagai narasumber, dan

4. Pasal 35: pewawancara.

Dari penelitian ini, peneliti mencari tahu tentang bagaimana bentuk

implementasi P3 yang dilakukan oleh penyiar beserta tim produksi terhadap

narasumbernya. Peneliti juga mengumpulkan informasi terkait apa saja hambatan

maupun faktor pendukung implementasi P3 pasal 27-29 dan 35, sesuai dengan apa

yang menjadi tujuan dari penelitian ini.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu pendekatan umum ke arah fenomena yang

telah dipilih oleh peneliti untuk diselidiki dan dengan demikian merupakan sejenis

logika yang mengarahkan penelitian (Robert & Ernest, 1984: 80).

G.1 Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif adalah pendekatan penelitian yang berlandaskan

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

39

pada filsafat post-positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi

obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci,

pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan

snowball, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis

data bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih

menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2009: 15).

G.2 Tipe dan Dasar Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe deskriptif karena

peneliti ingin menggambarkan sekaligus menjelaskan bagaimana

implementasi P3 di media massa terutama dalam penelitian ini adalah

radio-radio di Kota Malang secara utuh, lengkap, dan menyeluruh.

Sedangkan dasar penelitian ini adalah penelitian kebijakan (policy

research), karena dalam hal ini penelitian mengarah kepada bagaimana

peneliti menganalisis implementasi peraturan dari KPI, yakni pasal 27-29

dan 35 dalam P3. Salah satu pelopor dan pendiri analisis kebijakan, Harold

Lasswell menggambarkan orientasi kebijakan itu sebagai pendekatan ilmu

kebijakan (the policy science approach), suatu istilah untuk menunjukkan

adanya sumbangan pemikiran berupa pengetahuan yang sistematik,

rasionalitas terstruktur dan kreativitas yang terorganisasikan untuk

membuat kebijakan yang lebih baik (Wahab, 2008: 7).

Pada prinsipnya menurut Majchrzak, penelitian kebijakan adalah

suatu proses penelitian yang dilakukan pada masalah-masalah sosial yang

mendasar, sehingga hasil dari penelitian dapat dijadikan sebagai

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

40

rekomendasi dalam pembuatan keputusan untuk bertindak secara praktis

dalam menyelesaikan kasus-kasus (pps.unud.ac.id).

H. Tempat Penelitian

Penentuan tempat penelitian dengan pendekatan bertujuan (purposive).

Radio yang dipilih adalah radio yang memiliki program talk show dengan

beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan yakni:

1. Instrumen talk show minimal terdiri dari satu orang penyiar/

moderator dan satu orang narasumber,

2. Jenis talk show adalah talk show program pengaduan atau talk show

diskusi / dialog interaktif,

2. Talk show bertema pendidikan, publik service, human interest, atau

poleksosbudhankam,

3. Talk show bersifat non-komersil (misal: talk show promosi produk/

jasa berbayar),

4. Bukan merupakan talk show human interest artis hiburan yang bersifat

promosi (misal: talk show promosi lagu musisi, baik solo/ band).

Adapun radio yang memiliki program talk show dengan dasar pertimbangan di

atas adalah:

1. LPP RRI Programa 1 (Pro-1) 94,6 FM

Jl. Candi Panggung Barat 58, Malang (0341) 495 850

2. Radio Kosmonita 95,4 FM

Kompleks ruko WR. Supratman C1 Kav. 18 (0341) 558 044

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

41

3. Radio Mitra Adiswara (Mas FM) 104,5 FM

Jl. Dr. Cipto 16, Malang (0341) 327 463

Pada Radio RRI Pro-1, Kosmonita, dan Mas FM inilah penelitian dilakukan.

I. Subyek Penelitian

Penentuan subyek berdasarkan teknik purposive sampling, yaitu teknik

penentuan sampel dengan tujuan tertentu dari peneliti. Tidak semua orang yang

ada dalam radio-radio tempat penelitian dijadikan subyek/ informan dalam

penelitian ini. Oleh karenanya, hanya beberapa orang saja yang berkaitan

langsung dengan acara talk show yang diudarakan oleh radio-radio tersebut yang

dijadikan informan dan dibagi menjadi informan utama dan informan tambahan.

Penyiar/ moderator sebagai informan utama karena penyiar yang berhadapan

langsung dengan narasumber talk show yang dipandunya dan menjadi tolok ukur

implementasi P3 pasal 27-29 dan 35. Sedangkan informan tambahan yang

dibutuhkan adalah: (1) produser acara talk show, yang merupakan “otak” dari

program talk show dan bertanggung jawab atas penyiarnya; (2) narasumber

program talk show, sebagai data pembanding.

J. Metode Pengumpulan Data

Guna memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian

ini, maka digunakan beberapa metode pengumpulan data, yakni:

1. Wawancara Semiterstruktur (Semistructure Interview)

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

42

Termasuk dalam kategori in depth interview, pada wawancara jenis ini

tujuannya adalah menemukan permasalahan dengan lebih terbuka,

dimana partisipan diminta untuk memberikan pendapat dan ide-idenya.

Pertanyaan yang diajukan dalam jenis interview ini disesuaikan dengan

draf wawancara, meskipun dalam perjalanannya tidak menutup

kemungkinan pertanyaan akan berkembang. Dengan metode ini,

peneliti mengharapkan wawancara yang lebih luwes, arahnya bisa

lebih terbuka, percakapan tidak membuat jenuh kedua belah pihak,

sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya (Patilima, 2005: 75).

2. Observasi Tak Berstruktur

Observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan

secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi (Sugiyono, 2009:

313). Seperti yang tertulis dalam karangan Prof. Dr. Sugiyono

(2009:310), Marshal (1995) menyatakan bahwa “through observation,

the researcher learn about behavior and the meaning attached to those

behavior” (melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan

makna dari perilaku tersebut).

3. Dokumen

Dokumen yang dibutuhkan guna membantu peneliti menganalisis data

diantaranya adalah dokumen peraturan yang dibuat oleh KPI (P3),

hasil rekaman talk show.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

43

K. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis

kualitatif Miles dan Huberman (1984). Langkah yang harus dilakukan peneliti

menurut mereka adalah:

1. Data reduction (reduksi data)

Kegiatan merangkum, menyeleksi mana data yang dipakai dan mana

data yang tidak dipakai. Banyaknya data yang diperoleh baik dari

wawancara maupun observasi menuntut adanya penyeleksian data

untuk kemudian difokuskan pada tujuan penelitian,

2. Data display (penyajian data)

Dalam penelitian ini jenis datanya adalah kualitatif, sehingga data

yang disajikan berupa kata-kata atau gambar, sehingga tidak

menekankan pada angka-angka.

3. Conclusion drawing/ verification (penarikan kesimpulan dan

verifikasi)

Dari data yang sudah disajikan, maka perlu ditarik kesimpulan untuk

menjawab rumusan masalah yang sudah dibuat mengenai bagaimana

implementasi P3 di radio Kota Malang. Peneliti dapat memverifikasi

kembali kesimpulan yang didapat untuk mempertajam dan mengecek

kembali dengan fenomena yang ada untuk bisa memperoleh

kesimpulan akhir yang lebih valid.

Pada dasarnya Miles dan Huberman membagi analisis data menjadi dua

model (Patilima, 2005: 99), yakni model air dan interaktif. Pada model air,

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

44

peneliti memperhatikan pengaturan waktu, penyusunan proposal penelitian,

pengumpulan data dan analisis data, dan pasca pengumpulan data. Ketiga kegiatan

analisis dilakukan secara bersamaan dalam model air ini. Sedangkan model

interaktif, reduksi data dan penyajian data memperhatikan hasil data yang

dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian baru pada proses penarikan kesimpulan

dan verifikasi. Lebih mudahnya, model interaktif Miles dan Huberman yang

dikutip Machmud (2011: 26) dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data model interaktif Miles dan

Huberman. Penggunaan model ini dikarenakan dalam konteks melihat bagaimana

implementasi P3 oleh media massa menuntut peneliti melakukan analisis setahap

demi setahap guna mendapatkan hasil yang maksimal.

L. Uji Keabsahan Data

Triangulasi dalam pengujian keabsahan diartikan sebagai pengecekan data

dari berbagai sumber, cara dan waktu. Adapun yang digunakan untuk menguji

(Sumber: Machmud, 2011: 26)

Pengumpulan data Penyajian data

Reduksi data Penarikan/ pengujian

kesimpulan

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26631/2/jiptummpp-gdl-silviaaria-31669-2-babi.pdf · Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya

45

kebenaran dari data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber

dan teknik.

Triangulasi sumber dilakukan dengan mengecek data yang diperoleh lewat

beberapa sumber. Yang dalam hal ini peneliti mengecek data yang diperoleh dari

penyiar/ moderator dalam talk show radio dengan yang diperoleh dari narasumber

yang diwawancarai oleh penyiar tersebut. Sehingga didapati kecocokan dari data

yang diperoleh apakah sah ataukah tidak.

Sedangkan penggunaan triangulasi teknik adalah dengan mengecek data

pada sumber yang sama, namun dengan cara yang berbeda. Misalkan dari salah

seorang penyiar yang memandu acara talk show radio, peneliti tidak hanya

menghimpun data dengan teknik wawancara, namun juga mengecek dengan

observasi terhadapnya agar diperoleh data yang lebih akurat. Setelah itu, baru

peneliti mengecek dengan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan

mengenai penyiaran radio, maupun dokumen pendukung lain.