BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Scoparia dulcis L. atau yang biasa dikenal dengan nama jaka tuwa merupakan tumbuhan anggota suku Scrophulariaceae. Jenis ini dapat tumbuh di daerah subtropis hingga tropis dan banyak tersebar di Amerika, Afrika, Eropa, dan Asia, termasuk Indonesia. Jaka tuwa telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk penyakit diabetes melitus di India dan penyakit hipertensi di Taiwan. Di Afrika, jaka tuwa sering digunakan sebagai obat diare, deman, luka, radang, sakit perut, dan bahkan penyakit kanker (Burkill, 2000). Kecenderungan masyarakat menggunakan tumbuhan sebagai bahan obat memicu banyak penelitian tentang kandungan senyawa aktif dalam tumbuhan tersebut. Senyawa metabolit sekunder di dalam tumbuhan mengandung senyawa aktif yang bermanfaat bagi pengobatan. Di dalam jaka tuwa ditemukan banyak senyawa metabolit sekunder bagi pengobatan seperti flavonoid, terpenoid, scoparic acid A, scoparic acid B, scopadulic acid A, scopadulic acid B, noradrenalin, dan adrenalin (Hayashi dkk., 1990). Kandungan flavonoid pada jaka tuwa menurut Cushine dkk. (2005) dapat digunakan untuk pengobatan kanker, antiinflamasi, dan antialergi. Di Indonesia, jaka tuwa tergolong tumbuhan liar, maka perlu upaya untuk membudidayakan dengan tujuan optimalisasi produksi flavonoid. Oleh sebab itu diperlukan terobosan bioteknologi untuk pemecahan masalah ini, salah satunya adalah dengan cara kultur tunas. Teknik kultur tunas bertujuan untuk

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Scoparia dulcis L. atau yang biasa dikenal dengan nama jaka tuwa

merupakan tumbuhan anggota suku Scrophulariaceae. Jenis ini dapat tumbuh di

daerah subtropis hingga tropis dan banyak tersebar di Amerika, Afrika, Eropa, dan

Asia, termasuk Indonesia. Jaka tuwa telah lama digunakan sebagai obat

tradisional untuk penyakit diabetes melitus di India dan penyakit hipertensi di

Taiwan. Di Afrika, jaka tuwa sering digunakan sebagai obat diare, deman, luka,

radang, sakit perut, dan bahkan penyakit kanker (Burkill, 2000).

Kecenderungan masyarakat menggunakan tumbuhan sebagai bahan obat

memicu banyak penelitian tentang kandungan senyawa aktif dalam tumbuhan

tersebut. Senyawa metabolit sekunder di dalam tumbuhan mengandung senyawa

aktif yang bermanfaat bagi pengobatan. Di dalam jaka tuwa ditemukan banyak

senyawa metabolit sekunder bagi pengobatan seperti flavonoid, terpenoid,

scoparic acid A, scoparic acid B, scopadulic acid A, scopadulic acid B,

noradrenalin, dan adrenalin (Hayashi dkk., 1990). Kandungan flavonoid pada jaka

tuwa menurut Cushine dkk. (2005) dapat digunakan untuk pengobatan kanker,

antiinflamasi, dan antialergi.

Di Indonesia, jaka tuwa tergolong tumbuhan liar, maka perlu upaya untuk

membudidayakan dengan tujuan optimalisasi produksi flavonoid. Oleh sebab itu

diperlukan terobosan bioteknologi untuk pemecahan masalah ini, salah satunya

adalah dengan cara kultur tunas. Teknik kultur tunas bertujuan untuk

2

memperbanyak tanaman dalam waktu singkat, mendapatkan individu yang

mempunyai sifat fisiologis dan morfologis sama dengan induk, memperoleh

tanaman yang bersifat unggul, dan untuk menghasilkan metabolit sekunder yang

kita inginkan. Optimasi produksi metabolit sekunder dapat dilakukan dengan cara

manipulasi media kultur, manipulasi kondisi kultur (persyaratan faktor-faktor

klimatik dan media kultur), pemuliaan galur, dan teknik elisitasi.

Elisitasi adalah perlakuan penambahan substansi biotik maupun abiotik ke

dalam sistem sel hidup pada konsentrasi rendah sehingga dapat meningkatkan

biosintesis metabolit sekunder sebagai respon tumbuhan dalam mempertahankan

diri. Penggunaan elisitor dapat menstimulasi pembentukan metabolit sekunder

pada kultur sel tumbuhan (Radman dkk., 2003). Salah satu elisitor yang sering

digunakan adalah asam metil jasmonat (MeJA). Senyawa ini akan memengaruhi

biosintesis metabolit sekunder sebagai respon pertahanan diri. Penambahan MeJA

dalam kultur tunas dapat meningkatkan berbagai hasil metabolit, seperti

flavonoid, terpenoid, alkaloid, dan fenilpropanoid serta berbagai metabolit

sekunder lainnya (Zhao dkk., 2005).

Pemberian elisitor yang bersifat cekaman sehingga nutrisi yang terdapat

dalam tanaman digunakan untuk menutup luka, akibatnya tidak ada nutrisi yang

digunakan untuk pertumbuhan sel. Oleh karena itu, penambahan elisitor yang

terlalu banyak, justru akan mengurangi pertumbuhan sel, tetapi apabila terlalu

sedikit justru dapat mengurangi produksi metabolit sekundernya. Kemampuan

elisitor dalam upaya meningkatkan produksi metabolit sekunder tidak dapat

diprediksi senyawa metabolit sekunder yang akan meningkat, maka dibutuhkan

3

senyawa elisitor spesifik untuk metabolit sekunder tertentu (Verpoorte & Heidjen,

1994).

Analisis terhadap kandungan senyawa pada tumbuhan salah satunya dapat

dideteksi dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT). Secara kualitatif dapat

dilakukan pengamatan terhadap warna bercak dan nilai Rf pada pelat KLT.

Pengamatan dilakukan di bawah sinar tampak, sinar UV 254 nm, dan UV 366 nm.

Analisis kualitatif untuk melihat profil bercak antara hasil kultur tunas dengan

bercak tumbuhan asal. Untuk analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan metode

KLT densitometri. Data yang didapatkan dari analisis kuantitatif dengan metode

KLT densitometri selanjutnya dapat dianalisis dengan uji statistika dengan

software SPSS.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

dapat dirumuskan dua permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana profil KLT tiap-tiap kultur tunas jaka tuwa hasil perlakuan

penambahan asam metil jasmonat 50 µM dengan waktu panen 24 jam, 48

jam, dan 72 jam?

2. Apakah pemberian MeJA 50 µM dengan waktu panen 24, 48 dan 72 jam di

media kultur berpengaruh terhadap produksi flavonoid jaka tuwa ?

4

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan MeJA 50

µM dengan waktu panen 24, 48 dan 72 jam terhadap produksi flavonoid kultur

tunas jaka tuwa dan mengetahui profil kromatografi lapis tipisnya berdasarkan

metode KLT densitometri.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan awal mengenai penambahan

asam metil jasmonat pada waktu panen yang optimal untuk meningkatkan kadar

senyawa flavonoid pada kultur tunas tumbuhan jaka tuwa sehingga dapat

diperoleh bibit unggul dengan produksi flavonoid yang optimal.

E. Tinjauan Pustaka

1. Uraian Tumbuhan

a. Sistematika

Kategori takson-takson untuk jaka tuwa di dalam sistematika tumbuhan

adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Solanales

Suku : Scrophulariaceae

Marga : Scoparia

Jenis : Scoparia dulcis L.

5

Gambar 1. Jaka tuwa (Scoparia dulcis L.)

b. Nama daerah Jaka tuwa (Sunda), ginje menir, ginje jepun (Jawa) (Heyne, 1987)

c. Morfologi

Jaka tuwa merupakan tumbuhan berhabitus herba yang bercabang-cabang,

tinggi 0,2-0,8 meter. Daun berkarang 3, bertangkai pendek, memanjang, di atas

pangkal beringgit bergigi dengan panjang 1-3 cm dan lebar 3-12 mm. Bunga

bertangkai, tunggal, di ketiak sari dari semua daun yang di atas. Kelopak tidak

gugur, berbagi dalam, panjang 2 mm. Mahkota berbentuk roda, pada leher berbulu

panjang, ungu pucat dengan pusat yang lebih gelap, taju sama sekali sama, bulat

telur terbalik dengan panjang 2-3 mm dan lebar 0,5-1,7 mm. Benang sari 4, lepas,

kira-kira sama panjang. Tangkai putik 1,3 mm panjangnya, kepala putik

berbentuk bulat kecil. Buah kotak berbentuk bulat telur, pecah menurut sekat dan

celah dengan 4 katup, 2-3 mm panjangnya (Steenis, 1987).

d. Persebaran

Tumbuhan ini berasal dari Amerika tropis dan banya tumbuh di ladang dan

sawah yang kering pada daerah ketinggian mencapai 700 meter di atas permukaan

laut.

6

e. Kandungan kimia

Jaka tuwa mengandung berbagai senyawa aktif seperti flavonoid, kumarin,

fenol, saponin, tanin, asam amino, terpenoid, katekolamin. Ditemukan pula

kandungan scoparic acid A, scoparic acid B, scoparic acid C (Hayashi dkk.,

1996). Kandungan scopadulic acid A dan scopadulic acid B juga terkandung pada

jaka tuwa (Hayashi dkk., 1990). Analisis dengan metode HPLC pada fraksi air

jaka tuwa ditemukan kandungan noradrenalin dan adrenalin yang mempunyai

efek simpatomimetik (De Farias dkk., 1996).

f. Kegunaan tumbuhan

Secara tradisional jaka tuwa banyak digunakan untuk pengobatan sakit

perut (Satyanarayana, 1969), hipertensi (Chow dkk., 1974), diabetes (Perry,

1980), serta sebagai analgesik dan antipiretik (De Farias dkk., 1993). Glikosida

flavonoid terasetilasi pada jaka tuwa mempunyai Nerve Growth Factor (NGF)

yang berpotensi mempunyai aktivitas neurotopik yang berguna untuk pengobatan

kerusakan saraf (Li & Ohizumi, 2004). Jaka tuwa mempunyai potensi untuk

pengobatan diare, disentri, dan radang tenggorokan.

g. Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan merupakan suatu proses untuk mengungkapkan atau

menetapkan identitas suatu tumbuhan, yang dalam hal ini berarti menentukan

nama yang benar dan tempat yang tepat dalam sistem klasifikasi. Selain istilah

identifikasi sering juga digunakan istilah determinasi (Tjitrosoepomo, 1998). Hal

ini bertujuan mendapatkan spesies yang benar dan spesifik sehingga dalam

pemanfaatannya dapat digunakan dengan tepat.

7

Proses identifikasi tumbuhan selalu menghadapi dua kemungkinan, yaitu:

tumbuhan yang sudah dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan dan tumbuhan yang

belum dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan. Untuk tumbuhan yang sudah

dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan dapat dikategorikan ke dalam takson-

takson tertentu. Bagi jenis belum memiliki nama ilmiah maka jenis tersebut harus

dipublikasikan dalam jurnal ilmiah taksonomi tumbuhan (Tjitrosoepomo, 1998).

Identifikasi tumbuhan yang belum dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan

didasarkan atas spesimen (bahan) yang riil, dengan cara dikeringkan atau dalam

bejana yang berisi cairan pengawet. Pelaku identifikasi spesimen kemudian

membuat deskripsi mengenai bagian-bagian tumbuhan yang memuat ciri-ciri

diagnostiknya, yang atas dasar hasil studinya kemudian ditetapkan spesimen itu

merupakan anggota populasi jenis tertentu, dan berturut-turut ke atas dimasukkan

kategori tertentu pula (marga, suku, bangsa, dan kelas serta divisinya). Nama

takson baru itu selanjutnya harus dipublikasikan melalui cara-cara yang sudah

diatur. Pelaku identifikasi tumbuhan yang belum dikenal harus mempunyai bekal

yang lazimnya hanya dimiliki mereka yang berpendidikan ilmu hayati, khususnya

taksonomi (Tjitrosoepomo, 1998).

Cara identifikasi tumbuhan yang telah dikenal oleh dunia ilmu

pengetahuan, pada waktu ini tersedia berbagai sarana, antara lain:

1. Menanyakan identitas tumbuhan yang tidak kita kenal kepada orang

yang kita anggap ahli. Metode ini merupakan metode yang paling

mudah, murah, dan cepat memberikan hasil. Cara ini banyak dilakukan

oleh orang awam.

8

2. Mencocokkan dengan spesimen herbarium yang diidentifikasikan.

Metode ini dilakukan dengan pencocokkan spesimen yang ditanyakan

dengan koleksi spesimen-spesimen herbarium yang telah teridentifikasi.

Cara ini berupa pengiriman spesimen tumbuhan ke herbarium atau

lembaga penelitian biologi. Cara ini banyak dilakukan oleh orang awam

atau ilmuwan lain yang ingin melakukan konfirmasi.

3. Mencocokkan dengan candra dan gambar-gambar yang ada dalam

buku-buku flora atau monografi. Cara ini tidak dapat dilakukan oleh

setiap orang, selain penguasaan ilmu hayati, pelaku identifikasi harus

menguasai peristilahan yang lazim digunakan untuk mencandra

tumbuhan. Selain itu, cara ini juga membutuhkan peralatan tertentu

misalnya, perangkat alat pengurai, kaca pembesar, bahkan mikroskop.

4. Penggunaan kunci identifikasi dalam identifikasi tumbuhan. Dasar

identifikasi dengan kunci identifikasi pun mencocokkan ciri-ciri yang

terdapat pada tumbuhan yang akan diidentifikasi dengan ciri-ciri

tumbuhan yang telah dikenal dan dibuat kuncinya. Kunci identifikasi

merupakan serentetan pertanyaan yang jawabnya harus ditemukan pada

spesimen yang akan diidentifikasi. Bila semua pertanyaan berturut-turut

dalam kunci identifikasi itu ditemukan jawabnya, berarti tumbuhan

tersebut sama dengan salah satu tumbuhan yang telah dibuat kuncinya,

dan nama serta tempatnya dalam sistem klasifikasi.

5. Penggunaan lembar identifikasi jenis. Lembar identifikasi jenis adalah

sebuah gambar suatu jenis tumbuhan yang disertai nama, klasifikasi,

9

dan keterangan-keterangan lain. Identifikasi dengan lembar identifikasi

jenis pada dasarnya adalah mencocokkan spesimen tumbuhan yang

akan diidentifikasikan dengan lembar identifikasi yang telah

dipersiapkan sebelumnya (Tjitrosoepomo, 1998).

2. Metode Kultur Tunas

Kultur jaringan tanaman merupakan salah satu teknik budidaya tanaman

secara in vitro. Istilah budi daya secara in vitro secara lebih luas diartikan sebagai

teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan

terkendali dalam keadaan aseptik serta bebas mikroorganisme (Santoso &

Nursandi, 2002). Beberapa kelebihan teknik budidaya secara in vitro, yaitu

mampu menghasilkan metabolit sekunder dalam jangka waktu lebih cepat

dibandingkan isolasi langsung dari tumbuhan asal dan keleluasaan manipulasi

media tumbuh agar tumbuhan tersebut mampu menghasilkan metabolit sekunder

sesuai dengan yang kita harapkan.

Salah satu metode dalam kultur jaringan tanaman adalah kultur tunas.

Metode ini dipilih dalam penelitian karena mampu menghasilkan metabolit

sekunder dalam jangka waktu lebih singkat dibanding kultur kalus dan kultur

suspensi sel. Kultur tunas dipilih pada penelitian ini karena peneliti ingin melihat

pengaruh pemberian MeJA terhadap produksi metabolit sekunder yang dihasilkan

terutama flavonoid.

Perbanyakan tanaman dengan sistem kultur jaringan akan dapat berhasil

baik apabila syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut

meliputi: pemilihan eksplan sebagai bahan dasar pembentukan tunas, penggunaan

10

media yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik. Prinsip

dasar dalam kultur jaringan adalah semua sel dapat ditumbuhkan, tetapi sebaiknya

dipilih bagian tanaman yang masih muda dan masih mudah tumbuh, yaitu pada

titik tumbuh tanaman misalnya: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji,

dan sebagainya (Santoso & Nursandi, 2002).

Kegunaan utama kultur jaringan tanaman adalah untuk mendapatkan

tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu relatif singkat, yang mempunyai

sifat fisiologis dan morfologis sama persis dengan induknya serta tanaman baru

yang dihasilkan bersifat unggul. Melalui usaha ini juga dapat menghasilkan

metabolit sekunder untuk upaya penemuan obat, yaitu dengan memisahkan

senyawa yang terdapat di dalam kalus atau tunas, misalnya alkaloid, flavonoid,

saponin, dan sebagainya (Santoso & Nursandi, 2002).

Upaya peningkatan produksi metabolit sekunder dapat dilakukan dengan

menyeleksi atau menapis sel unggul, mencari komposisi media yang optimal atau

dengan pemberian prazat untuk mempersingkat proses biosintesis. Peningkatan

produksi metabolit sekunder juga dapat diupayakan dengan penggunaan elisitor

untuk meningkatkan biosintesis metabolit sekunder (Soegihardjo, 1996).

Elisitasi merupakan proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan dengan

tujuan menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder. Elisitor

terdiri atas dua kelompok, yaitu elisitor biotik dan elisitor abiotik (Salisburry &

Ross, 1995). Elisitor biotik dapat dikelompokkan dalam elisitor endogen dan

elisitor eksogen. Elisitor endogen umumnya berasal dari bagian tumbuhan itu

sendiri, seperti bagian dari dinding sel (oligogalakturonat) yang rusak. Rusaknya

11

dinding sel ini disebabkan oleh suatu serangan patogen. Elisitor eksogen berasal

dari dinding jamur misalnya kitin atau glukan. Selain itu dapat berupa senyawa

yang disintesis oleh patogen misalnya protein (Salisburry & Ross, 1995).

Elisitor abiotik dapat berasal dari senyawa anorganik, radiasi secara fisik

seperti ultraviolet, logam berat dan deterjen (Robinson, 1995). Elisitor abiotik

yang sering digunakan pada kegiatan kultur jaringan tanaman antara lain: asam

salisilat, nitrat oksida, tembaga (II) sulfat, asam jasmonat, dan metil jasmonat

(Zhao, dkk., 2005; El-Mawla, 2012).

3. Asam Metil Jasmonat

Asam metil jasmonat (MeJA) merupakan salah satu contoh elisitor abiotik

yang diberikan secara eksogen dalam kultur jaringan tanaman. MeJA merupakan

fitohormon endogen yang memiliki peran dalam regulasi beberapa proses

fisiologis tanaman seperti, merangsang pertumbuhan akar dan transportasi karbon

tanaman (Babst dkk., 2005), induksi pematangan buah, sinyal regulasi ekspresi

gen pada proses penuaan daun dan bunga (Srivastava, 2002), dan sinyal

transduksi respon ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik (Yang,

dkk., 1997). Adanya cekaman terhadap tumbuhan membuat produksi MeJA

meningkat dan menyebabkan terjadinya mekanisme pertahanan tumbuhan salah

satunya dengan pembentukan metabolit sekunder (Vasconsuelo & Boland, 2007).

MeJA memiliki kemiripan sifat dengan asam absisat karena sama-sama banyak

diproduksi saat adanya cekaman. MeJA akan menstimulasi produksi sitokinin

sebagai fitohormon yang memacu pertumbuhan. Asam absisat merupakan

fitohormon yang mekanisme kerjanya berlawanan dengan fitohormon lainnya

12

seperti, auksin, sitokinin, dan giberalin karena asam absisat merupakan zat

penghambat pertumbuhan tanaman (Santoso & Nursandi, 2002).

MeJA merupakan derivat dari asam jasmonat yang terbentuk akibat proses

metilasi asam jasmonat oleh enzim karboksil metil transferase pada jalur asam α-

linolenat (Zhao dkk., 2005). Gambar 2 merupakan skema jalur biosintesis asam

jasmonat dan metil jasmonat secara alami pada tumbuhan saat berada dalam

cekaman dari lingkungan seperti pelukaan atau patogen. Mekanisme pertahanan

yang dilakukan oleh tanaman adalah membentuk fitoaleksin atau metabolit

sekunder. Dari ilustrasi skema tersebut dapat dilihat ketika ada elisitor atau

penyebab patogen masuk ke dalam membran plasma tumbuhan maka akan

ditangkap oleh reseptor yang spesifik. Reseptor yang teraktivasi kemudian

mengaktivasi kanal ion dan protein G yang selanjutnya mengaktivasi fosfolipase

melalui Ca2+signaling atau dengan kopling protein G. Fosfolipase kemudian

menghidrolisis fosfolipid dan selanjutnya terjadi pelepasan asam linolenat dari

membran fosfolipid. Asam linolenat kemudian dikonversi menjadi asam 12-

oksofitodieonat yang kemudian membentuk asam jasmonat dan selanjutnya

termetilasi menjadi metil jasmonat (Zhao dkk., 2005).

Menurut Zhao dkk (2005) melalui jalur asam jasmonat dapat meningkatkan

berbagai macam produksi metabolit sekunder seperti terpenoid, flavonoid,

alkaloid, dan fenilpropanoid serta metabolit sekunder yang lainnya.

13

Gambar 3 merupakan gambar struktur MeJA yang secara alami pada

tumbuhan digunakan sebagai mekanisme pertahanan terhadap cekaman dengan

memproduksi metabolit sekunder.

4. Senyawa Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang termasuk dalam

kelompok polifenol. Golongan flavonoid digambarkan sebagai deretan senyawa

C6-C3-C6, yang kerangka utamanya terdiri dari 15 atom karbon yaitu gugus C6

disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon seperti pada Gambar 4. Flavonoid

Gambar 2. Jalur biosintesis asam jasmonat sebagai elisitor transduksi sinyal

dalam pembentukan metabolit sekunder (Zhao dkk., 2005)

Gambar 3. Struktur MeJA

14

mempunyai karakteristik pita I cincin B sistem sinamoil pada panjang gelombang

240-280 nm dan cincin II cincin A sistem benzoil pada panjang gelombang 300-

380 nm (Robinson, 1995).

Gambar 4. Struktur dasar flavonoid

Secara umum sintesis flavonoid terdiri atas dua jalur, yaitu jalur poliketida

dan jalur fenil propanoid. Reaksi pada jalur poliketida diawali dengan adanya

reaksi asetil CoA dengan enzim asetil CoA karboksilase yang akan menghasilkan

malonil CoA. Reaksi ini akan berlanjut sehingga membentuk poliasetil. Poliasetil

yang terbentuk akan berkondensasi dan bereaksi dengan hasil dari jalur

fenilpropanoid membentuk senyawa flavonoid (Markham, 2006).

Jalur fenilpropanoid berasal dari asam shikimat yang ditransformasikan

menjadi asam amino fenilalanin. Selanjutnya, fenilalanin akan melepaskan NH3

membentuk sinamat dan kemudian membentuk 4-Coumaroyl-CoA. Kemudian 4-

Coumaryl-CoA bereaksi dengan hasil dari jalur poliketida untuk membentuk

flavonoid (Markham, 2006). Gambar 5 merupakan biosintesis flavonoid secara

umum.

15

Salah satu golongan flavonoid adalah kuersetin. Senyawa kuersetin

merupakan flavonol yang banyak terdapat di jaringan tumbuhan dan banyak

memiliki aktifitas farmakologi. Sintesis kuersetin berasal dari bentuk flavanon

eriodityol yang bereaksi dengan 2-oksoglutarat dan bantuan enzim flavanon 3-

Gambar 5. Biosintesis flavonoid (Markham, 2006)

16

hidroksilase membentuk dihidrokuersetin. Selanjutnya, dihidrokuersetin bereaksi

dengan 2-oksoglutarat dan enzim flavonol sintase membentuk kuersetin (Dewick,

2009). Adapun reaksi sintesis kuersetin pada Gambar 6 sebagai berikut:

Gambar 6. Biosintesis kuersetin (Dewick, 2009).

Flavonoid di dalam tumbuhan memiliki peran penting dalam

pertumbuhan, perkembangan dan pertahanan tumbuhan. Penelitian terhadap

khasiat dari flavonoid telah banyak dilakukan diantaranya memiliki kemampuan

kemopreventif pada model in vitro dan in vivo, mengurangi penyakit

kardiovaskuler (Chow dkk., 1974). Penetapan kadar flavonoid dapat ditentukan

menggunakan metode densitometri (Saric dkk., 2008).

17

5. Metode Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari

bahan asal dengan menggunakan pelarut. Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk

mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat

pengobatan (Syamsuni, 2006).

Beberapa metode ekstraksi antara lain, maserasi, refluks, perkolasi,

infundansi, dan soxhletasi. Pada penelitian kali ini metode ekstraksi yang

digunakan adalah refluks. Metode refluks merupakan metode ekstraksi dengan

cara panas, yaitu membutuhkan pemanasan pada proses ekstraksinya. Secara

umum pengertian refluks sendiri adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur

titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000).

Prinsip metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap

namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam

bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah

reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung. Metode refluks

dapat digunakan untuk memperkaya sari sehingga ekstrak yang diperoleh lebih

banyak (Anantharaman & Begum, 2011).

6. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatogafi lapis tipis (KLT) merupakan sistem pemisahan fisikokimia

dengan menggunakan fase diam yang berupa lapisan tipis dan pengelusian dengan

fase gerak yang sesuai di dalam suatu bejana tertutup rapat (Stahl, 1985).

Keuntungan menggunakan metode ini antara lain pelaksanaan analisis sederhana,

18

komponen yang terpisah dapat diidentifikasi lebih lanjut menggunakan pereaksi

warna, fluoresensi atau radiasi sinar UV, elusi dapat dilakukan secara menaik

(ascending), menurun (descending), atau dua dimensi, serta kadar dapat

ditentukan dengan baik karena bercak tidak bergerak.

Pada semua prosedur kromatografi, kondisi optimum untuk suatu

pemisahan merupakan hasil kecocokan antara fase diam dan fase gerak (Sudjadi,

1988). Fase diam dalam KLT merupakan suatu penjerap berdiameter partikel

antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin

sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal

efisiensi dan resolusinya (Gandjar & Rohman, 2007). Penggunaan fase gerak

dapat disesuaikan dengan jenis senyawa yang ingin diisolasi.

Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan di

daerah serapan ultraviolet (UV) gelombang pendek (254 nm) atau bisa pada

gelombang panjang (366 nm). Cara lain adalah dengan menggunakan pereaksi

semprot yang sesuai. Pereaksi semprot harus mencapai pelat KLT dalam bentuk

tetesan yang sangat halus (Stahl, 1985).

Evaluasi dilakukan dengan pengamatan secara visual dan membandingkan

jarak bercak dari awal pengembangan dari senyawa yang dipisahkan. Jarak

tersebut pada umumnya dikonversikan dalam nilai Rf (Retardation factor) yang

merupakan hasil bagi antara jarak yang ditempuh senyawa terlarut dengan jarak

yang ditempuh pelarut.

Rf = Jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal

Jarak yang ditempuh pelarut dari titik asal

(Sudjadi, 1988).

19

F. LANDASAN TEORI

Senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan diketahui mempunyai banyak

manfaat bagi manusia, salah satunya sebagai senyawa obat. Maka banyak

dilakukan usaha untuk memaksimalkan produksi metabolit sekunder salah satunya

dengan teknik budidaya kultur jaringan tanaman. Usaha untuk memaksimalkan

produksi metabolit sekunder salah satunya dapat dilakukan manipulasi media

dengan cara mengubah konsentrasi senyawa pada media seperti elemen makro

dan mikro atau penambahan senyawa tertentu seperti elisitor. MeJA merupakan

fitohormon endogen yang secara alami berperan sebagai sinyal transduksi respon

ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik (Yang dkk., 1997).

MeJA termasuk dalam elisitor abiotik, yaitu senyawa yang mampu

merangsang produksi fitoaleksin dan metabolit lain pada tumbuhan. Sharman dkk.

(2013) melaporkan bahwa penambahan MeJA dengan kadar 50 µM pada kultur

tunas Bacopa monnieri memberikan peningkatan kadar metabolit sekunder yaitu

bacoside A paling tinggi pada perlakuan selama 48 jam.

Mekanisme MeJA dalam mempengaruhi produksi metabolit pada

tumbuhan berkaitan dengan fungsinya sebagai respon pertahanan terhadap

cekaman. Reseptor pada membran sel yang teraktivasi oleh cekaman dari

lingkungan luar akan mengaktifkan kanal ion Ca2+ dan protein G yang akibatnya

merangsang lipase. Fosfolipase kemudian menghidrolisis fosfolipid dan

selanjutnya terjadi pelepasan asam linolenat dari membran fosfolipid. Asam

linolenat kemudian dikonversi menjadi asam 12-oksofitodieonat yang kemudian

terjadi pembentukan asam jasmonat dan kemudian termetilasi menjadi metil

20

jasmonat. Senyawa tersebut kemudian terintegrasi dengan oksilipin siklik yang

selanjutnya akan meningkatkan biosintesis metabolit sekunder. Enzim biosintesis

yang dituju pada peningkatan senyawa flavonoid adalah CHS (Chalcone

synthase) (Zhao dkk., 2005).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Horbowicz dkk. (2015),

penambahan MeJA dapat meningkatkan produksi flavonoid pada biji Fagopyrum

esculentum Moench. Enam jenis flavonoid yang terdeteksi peningkatan kadarnya

adalah rutin, orientin, vitexin, kuersetin, iso-vitexin, dan iso-orientin. Melalui

metode kultur tunas ini akan membuktikan bagaimana pengaruh asam metil

jasmonat terhadap produksi flavonoid pada kultur tunas tumbuhan jaka tuwa.

G. HIPOTESIS

Asam metil jasmonat bertindak sebagai elisitor yang dapat merangsang

pembentukan produksi metabolit sekunder, salah satunya flavonoid. Penambahan

asam metil jasmonat (MeJA) pada media akan meningkatkan produksi flavonoid.