BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni
Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Menjelang Pemilu 2014, partai-partai politik yang
kini menjadi peserta terus berjibaku untuk mengkomunikasikan visi dan misi mereka
kepada massa pemilih lewat kampanye politik. Berbagai cara pun dilakukan, mulai
dari beriklan di beragam media konvensional, hingga pelaksanaan acara-acara tatap
muka yang menarik perhatian media massa. Harapannya jelas, yaitu suara yang
melimpah setelah Pemilu dilaksanakan.
Bergulirnya kampanye politik beriringan dengan gegap gempita massa
pemilih, mulai dari sekedar pemerhati hingga simpatisan partai politik. Pembicaraan
soal partai serta tokoh politik ramai memenuhi media-media sosial, dari yang sifatnya
substansial hingga emosional. Pada pelaksanaan kampanye terbuka tanggal 16 Maret
sampai 5 April 2014, konvoi-konvoi, orasi terbuka, serta selingan hiburan konser juga
kian ramai dibanjiri massa.
Media massa pun tak mau ketinggalan. Seiring berjalannya kampanye, ribuan
berita soal partai politik dan tokoh-tokoh kunci Pemilu 2014 membanjiri media
massa. Berita positif, negatif, maupun netral berselang-seling menghiasi media
televisi, radio, surat kabar, hingga media online. Topiknya pun beragam, mulai dari
substansi kebijakan hingga hal-hal terkait kampanye politik.
Media massa merupakan salah satu institusi paling penting dalam perjalanan
kampanye politik. Alasannya sederhana, yakni di era dimana pemilihan umum
(universal suffrage) dijalankan, lingkup yang mesti dijangkau partai politik sangatlah
luas. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya perantara pesan yang mampu menjangkau
massa pemilih di saentero negara. Fungsi ini dipenuhi media massa, sebagai elemen
diseminasi ide-ide yang berskala besar atau massal (McQuail, 2010). Selain itu, hal
2
ini berkaitan dengan peran ideal media massa sebagai penyedia analisis mengenai isu-
isu yang menyangkut kepentingan publik. Di masa kampanye, para kandidat
mengemukakan visi dan misi mereka menyangkut isu-isu tersebut. Tugas media,
adalah menjelaskan keterkaitan antara masalah menyangkut isu-isu dalam kaitannya
visi serta misi kandidat, agar pemilih memiliki landasan ketika memilih (Seib, 1994:
41). Dalam perannya yang demikian, media massa memegang peran kunci dalam
proses kampanye politik.
Fungsi media massa bagi kampanye politik menjadi krusial jika menilik
tujuan kampanye politik: menggiring opini publik ke arah yang diharapkan partai
politik (Holbrook, 1996 dalam Burton & Shea, 2010: 7). Ini tidak lepas dari
kemampuan media massa, yang hingga kini, masih menjadi alat paling ampuh untuk
menumbuhkan afeksi pemilih pada partai politik atau kandidat (Mujani, Liddle, dan
Ambardi, 2012). Dalam hal ini, peneliti tidak berniat mendaulat media massa semata-
mata sebagai corong partai politik. Melainkan, pada suatu waktu, kepentingan kedua
pihak (pemilih dan kandidat) pasti bertemu: publik membutuhkan media massa
sebagai sumber informasi politik, dan kandidat membutuhkan media massa sebagai
saluran komunikasi politik. Pada kondisi inilah media massa berperan
mengakomodasi keduanya.
Momentum dimana media massa memegang perannya yang demikian,
menjadi arena persaingan paling nyata bagi partai-partai peserta Pemilu. Tugas partai
atau kandidat, dengan demikian, adalah menyusun perencanaan kampanye
sedemikian rupa sehingga visi dan misi serta image, dapat menjadi pendorong opini
positif publik terhadap mereka. Perencanaan ini kemudian diejewantahkan menjadi
beragam praktek kampanye politik. Peneliti melihat transformasi susunan
perencanaan menjadi praktek kampanye politik, salah satunya, pada kampanye
terbuka Pemilu 2014.
Kampanye terbuka ini dilaksanakan di seluruh Indonesia pada tanggal 16
Maret sampai 5 April 2014. Kegiatan ini kebanyakan berupa konvoi, yang
dilanjutkan dengan orasi terbuka dan beragam kegiatan lain dimana massa pemilih
3
dan kandidat bertatap muka. Momentum kampanye terbuka merupakan saat paling
jelas dimana kandidat menyampaikan substansi kebijakan secara langsung. Di sinilah
peran jurnalis sebagai penangkap dan penyalur visi dan misi kandidat kepada pemilih,
terutama yang sedang tidak hadir pada saat orasi, mendapatkan tempatnya.
Pada saat yang demikian, arena persaingan antara para kandidat dan partai
politik terbuka lebar. Namun, agar persaingan dapat berlangsung secara sehat, ada
satu syarat yang mesti dipenuhi: wartawan media massa bekerja secara profesional,
dengan mendasarkan diri pada kepentingan publik. Wartawan mesti memaparkan
fakta secara akurat, berusaha sebisa mungkin independen dan objektif. Dengan
demikian kampanye terbuka yang dilaksanakan oleh semua partai memiliki kans
untuk diliput, entah bagian baik atau buruknya, secara adil. Jika yang terjadi seperti
itu, maka arena kompetisi akan berlangsung adil. Kebutuhan publik akan informasi
politik akhirnya terpenuhi, dan publik mengetahui pula apa saja yang terjadi selama
kampanye terbuka.
Akan tetapi, masalah menjadi lain ketika kerja wartawan tidak profesional.
Dalam hal ini, wartawan tidak lagi mendasarkan diri pada kepentingan publik,
melainkan ada kepentingan ekonomi-politik tertentu. Jika demikian, fungsi media
massa akan berjalan timpang. Jika fungsinya sudah timpang, maka arena tidak lagi
layak. Akibatnya, sebaik apapun substansi kebijakan yang disusun serta model
kampanye yang dilaksanakan partai politik lain—yang mana kepentingannya
berlawanan—akan dihadapi dengan mata buta. Akibat terburuknya, informasi politik
yang diterima publik tidak lagi komplit, seiring adanya kans bagi substansi visi-misi
partai politik lain yang tidak terkover.
Berdasarkan kekhawatiran ini, peneliti ingin mempelajari netralitas
pemberitaan oleh media massa di Indonesia ketika memberitakan kampanye terbuka
menjelang Pemilu 2014. Peneliti membagi media yang dianalisis menjadi dua, yakni
media milik politikus dan milik non-politikus. Media milik politikus yang dipilih
peneliti adalah okezone.com, sebuah portal berita yang berada di bawah naungan
Global Mediacomm milik Hary Tanoesoedibjo, dan viva.co.id, portal berita di bawah
4
naungan Visi Media Asia di bawah naungan Bakrie & Brothers (Aburizal Bakrie).
Hary Tanoesoedibyo kini adalah petinggi Partai Hanura sekaligus calon kandidat
wakil presiden pasangan Wiranto. Sedangkan Aburizal Bakrie adalah politikus yang
sudah beriklan untuk sebagai (bakal) calon presiden dari Partai Golkar. Sedangkan
media milik non-politikus yang dipilih di sini adalah kompas.com dan tempo.co.
B. Rumusan Masalah
“Bagaimana netralitas pemberitaan kampanye terbuka oleh portal berita
online milik politikus (okezone.com dan viva.co.id) dan non-politikus (tempo.co dan
kompas.com) pada 23 Maret sampai 5 April 2014?”
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan netralitas pemberitaan kampanye terbuka oleh portal berita
online milik politikus dan non-politikus.
2. Membandingkan pemberitaan kampanye terbuka oleh portal berita online
milik politikus dan non-politikus.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap akan diperoleh manfaat:
1. Teoretis: mampu memperkaya kajian komunikasi politik, khususnya yang
berhubungan dengan kampanye politik dan pemberitaan politik.
2. Praktis: memberikan gambaran mengenai kecenderungan perilaku media
massa yang dikuasai oleh kandidat politik. Peneliti berharap gambaran yang
diperoleh dari penelitian ini bisa berguna bagi partai politik serta konsultan
komunikasi politik, khususnya yang terlibat dalam kampanye, sebagai salah
satu referensi ketika menyusun strategi yang melibatkan media massa.
5
E. Kerangka Pemikiran
Peneliti meletakkan fokus pada interaksi antara media dengan partai politik.
Dalam konteks penelitian ini, institusi media direpresentasikan oleh pers online,
sedangkan institusi partai politik direpresentasikan oleh pseudo-event yang
berhubungan dengan kampanye politik. Keduanya, sebagaimana dijelaskan di latar
belakang, menemukan titik temu, salah satunya, di momentum kampanye terbuka.
Pada momentum kampanye terbuka ini, hak untuk bersaing meraih suara adalah
setara bagi semua partai politik. Namun, arena tersebut bisa rusak jika media, yang
mana menjadi wahana diseminasi informasi politik, tidak netral. Studi ini bertujuan
mempelajari netralitas pada media berita yang terlibat dalam diseminasi berita soal
kampanye terbuka (McQuail, 2010). Sub bab kerangka pemikiran ini akan
menjabarkan studi literatur peneliti sehubungan masalah-masalah di atas.
E.1. Peran Politik Pers Sebagai Institusi Demokrasi
Pers merupakan salah satu institusi penting yang, jika bukan turut terombang-
ambing, menjadi pendorong dalam proses demokratisasi. Sebagaimana diungkapkan
Grugel (2002) dan Merkel (1998), pers merupakan institusi yang tidak berhubungan
langsung dengan proses pengambilan keputusan pada pemerintahan, namun memiliki
peran yang signifikan. Pers mampu mempengaruhi kualitas institusi demokrasi pada
pemerintahan yang berjalan, dan oleh karenanya, menjadi salah satu pilar yang
penting bagi tegaknya demokrasi (dalam Voltmer, 2006). Pentingnya pers sebagai
keran bagi diseminasi informasi, berpotensi membangkitkan kesadaran politik warga
(McQuail, 2010).
Kovach dan Rosentiel (2010) melihat kaitan antara pers dan demokrasi dari
sudut pandang lain. Menurut mereka, berkembangnya pers berjalan sedikit lebih
dahulu daripada demokrasi modern. Jurnalisme mengemuka segera setelah adanya
pemahaman tentang istilah “fakta”—atau, “sesuatu yang benar-benar terjadi atau
kejadian sebenarnya; karena itu kebenaran tertentu diketahui lewat pengamatan sejati
6
atau kesaksian yang sahih, sebagai lawan dari sekadar dugaan.”1 Munculnya istilah
tersebut merupakan buah dari pergolakan pengetahuan yang terjadi saat itu, dimana
sebelum Gutenberg menemukan mesin cetak, pengetahuan dikuasai sepenuhnya oleh
otoritas mapan (gereja dan pemerintahan). Diakuinya pengamatan “sejati” lewat
indera dan akal atas beragam fenomena di tengah-tengah masyarakat, membuat
pengetahuan tidak lagi satu sumber.
Seabad setelah penemuan mesin cetak oleh Gutenberg—sebagai penanda
terbukanya keran literasi di kalangan masyarakat Eropa—“buku-berita” (news book)
pertama muncul. Segeralah setelah itu, tepatnya pada tahun 1604, koran-koran
pertama muncul di Jerman, Perancis, dan Inggris. Meskipun mengalami penyensoran,
pelarangan, dan pemenjaraan para pegiatnya, bibit media massa tetap tumbuh.
Persebaran informasi menjadikan orang-orang berani bertanya, menentang, atau
bahkan mematahkan informasi yang disodorkan otoritas mapan. Proses literasi yang
mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat di tiga negara tersebut saat itu,
menjadikan warga semakin “terdidik”, yang akhirnya berperan dalam mengatur tata
argumen mereka. Literasi lewat proses jurnalisme saat itu memancing keluar istilah
yang sangat penting bagi demokrasi, namun absen sejak jaman Yunani dan Romawi,
yakni: opini publik. John Locke pada saat itu menggunakan istilah tersebut pada
pidato parlemen dan esai-esai politik. Ini menandakan bahwa, apa yang selama
berabad-abad merupakan pendapat kasar yang tidak dianggap, mulai mendapat posisi
terhormat.
Melalui jurnalisme, muncul konsep yang lebih kokoh, yakni: ide bahwa orang
bisa mengatur diri sendiri. Inilah yang menjadi pangkal dari demokrasi. Ini
menunjukkan bahwa, buah terbesar peradaban Barat—yakni demokrasi—tidak lain
adalah “saudara yang hampir seumuran” dengan jurnalisme. Demokrasi dan
1 Kovach dan Rosentiel (2010) menjelaskan asal kata fakta atau fact dalam bahasa Inggris
berdasarkan Oxford English Dictionary. Menurut kamus tersebut, istilah “fakta” baru muncul di
Inggris pada abad 16, atau 100 tahun sejak penemuan mesin cetak Gutenberg.
7
jurnalisme, tak lain adalah buah dari produk evolusi komunikasi (Kovach &
Rosentiel, 2010).
Proses kesejarahan pers dalam hubungannya dengan demokratisasi di Eropa,
agaknya menjalin hubungan metaforistis dengan demokratisasi Indonesia. Proses
demokratisasi selama kurang lebih 25 tahun menjelang akhir abad dua puluh, juga
ditandai oleh jatuh bangun pers: pembatasan, pembredelan, pemenjaraan pegiat, dan
sebagainya. Memang pada dasarnya bukan pers yang menjadi penyebab utama
tumbangnya rezim otoriter Orde Baru, namun perannya sebagai katup wawasan yang
membuka pikiran para “pejuang reformasi” sedikit demi sedikit, menjadikannya
institusi yang tidak bisa diremehkan (Sen & Hill, 2002).
Biar demikian, lebih penting kiranya memahami adalah apa yang terjadi
setelah itu. Tumbangnya Orde Baru mengemukakan kembali konsep-konsep penting
demokrasi yang sempat mati, seperti halnya di Eropa pada abad 17: opini publik dan
kepengaturan atas diri sendiri. Pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”, sebagaimana dinyatakan oleh Abraham Lincoln, kembali naik ke permukaan.
Penerapan demokrasi, dengan demikian, memerlukan pengawal yang konsisten dalam
memahami basis ontologisnya. Pers-lah yang berfungsi sebagai “pengawal” tersebut.
Dengan demikian, pers merupakan institusi krusial bagi penerapan demokrasi di
Indonesia.
Untuk mengenali demokrasi lebih dalam, diperlukan adanya pemahaman soal
konsep yang lebih tinggi, yakni: politik. Ada banyak definisi mengenai politik,
namun satu hal yang pasti melekat dalam politik adalah “distribusi sumber daya.”
Denton dan Woodward (1990) mendefinisikan politik sebagai “alokasi sumber daya
publik, otoritas resmi (yang diberi mandat untuk membuat keputusan eksekutif dan
legislatif secara legal), dan sanksi resmi (apa yang dihukum maupun diapresiasi oleh
negara)” (dalam McNair, 2003).
Demokrasi adalah salah satu pengejewantahan politik. Dalam demokrasi,
masing-masing fungsi yang berada di dalam politik, yakni eksekutif, legislatif
(otoritas pengambil keputusan), dan yudikatif (pemberlaku sanksi) memiliki asal
8
yang sama, yakni: rakyat. Demokrasi adalah salah satu model penerapan politik
berdasarkan aktor, dimana yang memiliki kuasa paling tinggi atas pemerintahan
adalah rakyat.
Media massa seringkali disebut sebagai institusi yang memiliki fungsi setara
dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun fungsinya itu seperti apa, masih
diperdebatkan hingga kini. Biar demikian, sejak awal mula perkembangan pemikiran
pada awal abad 18, para filsuf menyadari bahwa peran debat publik serta kebebasan
berpendapat sangat krusial dalam demokrasi. Inilah yang kemudian meluas ke
kebutuhan akan adanya pers bebas, yang merupakan dasar laku media massa (Keane,
1991). Bagaimana peran politik pers (yang sudah) bebas itu melakukan tugasnya,
adalah pertanyaan yang mengisi perdebatan kaum intelektual hingga kini.
Voltmer (2006) menjelaskan secara apik perdebatan terkait peran politik pers
bebas dari waktu ke waktu. Ia menjelaskan beberapa keyakinan yang melingkupi
pemaknaan atas pers bebas. Pandangan tersebut terdiri dari tiga versi: pasar bebas ide,
penyedia informasi, dan pengawas atau “anjing penjaga”.
E.1.1. Pasar Bebas Ide (Free Marketplace of Ideas)
Pandangan ini meyakini bahwa pers bebas merupakan akomodator dari “pasar
bebas ide” (free marketplace of ideas). Pasar bebas ide adalah kondisi dimana
kontradiksi antara suara-suara yang saling berkompetisi di tengah-tengah warga
terjadi tanpa adanya campur tangan negara.2 Istilah pasar bebas ide, secara praktis,
merunut pada kepercayaan liberal bahwa tidak ada satupun agen yang memiliki
pernyataan terakhir soal apa yang benar dalam politik. Lebih jauh, “kebenaran”
adalah hal yang akan muncul setelah tabrakan antara argumen dan kontra-argumen
secara terus menerus (Mill, 1859, dalam Voltmer, 2006). Tugas media massa, dalam
hal ini, adalah menjadi “arena” bagi kompetisi tersebut. Ini menempatkan media 2 Metafora “pasar” (marketplace) tidak mesti mengimplikasikan struktur pasar kepemilikan privat
media. Dalam konteks peran demokratis media, makna “pasar” mengarah pada istilah “pasar sebagai
ruang publik di dalam sebuah komunitas”, seperti agora di dalam demokrasi Athena. (Selengkapnya
lihat Voltmer, 2006: 3-5).
9
dalam perannya yang pasif, yakni hanya sekadar melayani sebagai “forum” dimana
bermacam-macam kelompok dan individu memiliki kesempatan yang sama untuk
mengekspresikan pandangan mereka.
Biarpun sekilas tampak ideal, pandangan tentang “pasar bebas ide” tetap tak
luput dari kritik. Kritik yang paling dalam adalah munculnya pertanyaan: apakah
konfrontasi perbedaan pandangan secara terus menerus pada akhirnya akan benar-
benar membuat “kebenaran” mengemuka? Kritik ini menghujam jauh ke dalam posisi
filosofis pendirian pasar bebas ide. Lebih jauh, efek konfrontasi antar-pandangan
justru membawa kemungkinan lain: kebingungan dan (pada akhirnya) mempertajam
(aggravate) konflik—dalam hal ini, mendorong konflik ke arahnya yang manifes.
Selain kritik tersebut, kritik lainnya adalah bahwa jangan-jangan, yang
membedakan argumen satu dan argumen lain dalam kompetisi bukanlah bagus atau
tidaknya substansi argumen itu, melainkan seberapa efektif aktor menyatakan
argumennya (Gutmann and Thomson 1996, dalam Voltmer, 2006). Perdebatan seperti
ini sebenarnya sudah pernah mengemuka jauh sebelum masa demokrasi modern.
Kejayaan retorika pada masa Yunani Kuno, melahirkan pertentangan antara Plato dan
para Sofis (pengajar pidato). Plato memandang bahwa “kebenaran” adalah nilai
paling tinggi yang mendasari retorika. Sedangkan para sofis memandang bahwa nilai
tertinggi dari retorika adalah persuasi (Perloff, 2003: 20-22). Ketika demokrasi telah
mendapatkan tempatnya di masa modern, seperti halnya demokrasi pada jaman
Yunani Kuno, perdebatan ini kembali mengemuka: jika pada masa Yunani Kuno
mediumnya adalah panggung-panggung pidato, pada masa modern mediumnya
adalah media massa.
Kritik lain yang menyerang pasar bebas ide adalah adanya ketidakjelasan,
sampai sejauh mana media massa berkontribusi dalam mengakomodasi sudut
pandang tertentu. Dengan kata lain, apakah media partisan itu sah dalam “pasar bebas
ide”, atau apakah peran mereka adalah sebagai penyalur netral atas pandangan-
pandangan yang saling bertentangan? Kritik ini melahirkan dua definisi atas posisi
pers di tengah-tengah masyarakat demokratis (McQuail 1986; Napoli 1999; Voltmer
10
2000, dalam Voltmer, 2006). Pertama, horisontal, dimana mereka ada sejajar dan
berjalan beriringan dengan aktor-aktor yang memiliki pandangan berbeda. Dalam hal
ini, setiap media massa yang ada mewakili aktor dengan pandangan tertentu, dan oleh
karenanya, informasi yang dihadirkannya sejak awal bias. Kedua, vertikal, dimana
media bersikap netral, menjadi akomodator murni atas pandangan-pandangan yang
bertentangan. Meskipun tampak ideal, posisi yang kedua ini justru mengakomodasi
kritik sebelumnya, yakni pada akhirnya pandangan yang dihargai bukanlah yang
paling benar, melainkan yang disampaikan dengan cara yang apik.
Beragam kritik atas tersebut tidak semata-mata menjadikan “pasar bebas ide”
tidak relevan, melainkan mendorong evaluasi atas konsep tersebut dari waktu ke
waktu. Dengan demikian, pasar bebas ide adalah hal yang tetap dibutuhkan oleh
masyarakat demokratis. Dengan catatan, pendefinisian atasnya direvisi dari waktu ke
waktu, sesuai konteks dimana ia berlaku.
E.1.2. Penyedia Informasi (Information Provider)
Penanda paling pangkal dari penerapan sistem demokrasi adalah adanya
keterlibatan warga pada penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu contoh
penyelenggaraan demokrasi, dalam operasionalisasinya yang paling dasar, adalah
penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum, warga
menghadapi sebuah pilihan mengenai siapa yang akan mewakili mereka. Inilah yang,
sebagaimana diungkapkan Dahl (1989), menjadi tempat bagi sebuah masalah. Proses
memilih, dimana ketika hal yang mesti dilakukan awalnya dianggap sangat mudah
(tinggal “mencoblos” kalau di Indonesia) ternyata tidak bisa dilakukan secara
serampangan (dalam Voltmer, 2006).
Tanpa adanya kemampuan warga untuk melakukan pemilihan dengan alasan
rasional, akan membuat pemilihan umum menjadi tidak berarti bagi demokrasi. Di
sinilah letak pers bebas: ia adalah penyedia informasi yang objektif bagi masyarakat
pemilih. Dalam hal ini, pers bertanggung jawab untuk menyampaikan segala bentuk
informasi yang dapat mendukung keputusan memilih. Apa yang disampaikan oleh
11
para politikus (lewat beragam bentuk kampanye politik) tidak secara otomatis
menjadi informasi yang benar ketika sampai kepada pemilih. Dibutuhkan adanya
penyaring serta penyedia beragam pertimbangan substansial yang mampu mendorong
serta menjernihkan pandangan pemilih ketika memasuki bilik suara.
Konseptualisasi pers bebas sebagai penyedia informasi, sangat lekat dengan
istilah kualitas informasi. Informasi yang berkualitas merupakan kebutuhan yang
sangat penting bagi pemilih. Akan tetapi, pendefinisian kualitas informasi adalah hal
yang hampir mustahil, mengingat kemampuan (dalam mencerna informasi) dan
kebutuhan (akan informasi) berbeda pada setiap individu. Salah satu standar kualitas
informasi adalah komprehensivitas, namun, seiring semakin kompleksnya dunia
politik saat ini, penyederhanaan juga diperlukan agar semua kalangan pemilih mampu
memahami informasi yang disediakan. Lemert (1989, dalam Voltmer, 2006)
merangkum fungsi tersebut dalam apa yang disebutnya sebagai “informasi
penggerak” (mobilizing information), dimana informasi yang disajikan memiliki
potensi untuk memperjelas identitas politik pemilih (melalui beragam pertimbangan
rasional) dan mendorong partisipasi politik (Voltmer, 2006).
Dalam demokrasi yang baru bergerak, kualitas informasi dan kebutuhan akan
orientasi politik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam proses politik. Namun
demikian, pendefinisian atas “informasi yang berkualitas” harus terus direvisi dari
waktu ke waktu, agar tidak meleset dari konteks dimana ia disebarkan. Studi-studi
lokal dibutuhkan untuk meredefinisi konsep ini, agar pers bebas sebagai penyedia
informasi, memiliki acuan yang benar-benar tepat.
E.1.3. Pengawas atau “Anjing Penjaga” (Watchdog)
Pandangan ini memaknai pers bebas sebagai “anjing penjaga” (watchdog)
yang menjaga agar otoritas politik tetap akuntabel dengan memonitor aktivitas
mereka serta menginvestigasi kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan
(Curran, 1991 dalam Voltmer, 2006). Perumpamaan “anjing penjaga” rupanya
memang tidak tergantikan dalam menggambarkan pers bebas. Pers bebas harus
12
memiliki naluri layaknya anjing penjaga, dimana ia langsung bereaksi ketika
mengendus adanya ketidakberesan. Dalam menjadi pengawas, ia mesti langsung
bereaksi layaknya binatang ketika melihat adanya kesalahan—tidak seperti manusia
(watchman) yang mesti pikir-pikir dulu sebelum bereaksi.
Istilah watchman dirasa peneliti tepat untuk menjadi penggambaran institusi
yudikatif. Perbedaan media massa (watchdog) dan institusi yudikatif (watchman)
dalam hal ini adalah pada posisi mereka. Yang satu berada di luar lingkar
pemerintahan, sedangkan yang satu masih termasuk dalam lingkaran formal
pemerintahan. Kemungkinan adanya “penyalahgunaan kolektif” (oleh eksekutif,
legislatif, dan yudikatif) atas kekuasaan, bisa ditekan dengan adanya pengawas di luar
institusi pemerintahan.
Akan tetapi, relasi yang terjadi tidak sesederhana itu. Arah pers bebas sebagai
anjing penjaga bisa menghadapi dilema ketika ada masalah-masalah yang tidak bisa
diatasi hanya sekadar melalui pengawasan. Misalnya, pada negara yang baru
menganut demokrasi secara sempurna, umumnya pemerintahannya masih “baru”, dan
oleh karena itu, masih rapuh. Di saat yang sama, tanggung jawab mereka adalah
emansipasi atas setiap warga negara. Sekalipun memaksakan diri untuk bekerja
sebaik-baiknya, ada kalanya pemerintahan yang baru itu masih belum mampu
mengatasi beragam masalah yang menumpuk, misalnya ekonomi dan keamanan,
dengan segera. Jika demikian, pers bebas sebagai pendorong kepercayaan publik pada
pemerintahan lebih dibutuhkan daripada sebagai pengawas yang mencari-cari
kesalahan. Di sisi lain, media-media yang juga baru bangkit seiring demokratisasi
juga tidak dengan sendirinya mampu membiayai produksinya sendiri—dan oleh
karena itu, membutuhkan subsidi dari pemerintah. Secara paradoksal, kemampuan
media untuk menjaga akuntabilitas kadang-kadang terbentur oleh hal-hal teknis,
seperti struktur dan prosedur yang telah disetujui bersama (Morris & Waisbord; Price
et al. 2002, dalam Voltmer, 2006).
13
E.2. Pemberitaan Politik: Kegiatan Pers dalam Memenuhi Peran Sebagai Free
Marketplace of Ideas dan Information Provider
Berdasarkan penjelasan mengenai peran politik pers sebagai institusi
demokrasi di atas, peneliti menarik dua saja untuk menjadi patokan penelitian ini,
yakni: pasar bebas ide (free marketplace of ideas) dan penyedia informasi
(information provider). Pasar bebas ide, dalam hal ini, menjadi akomodator bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dalam percaturan politik. Secara khusus,
sebagaimana ditetapkan dalam penelitian ini, pihak tersebut adalah partai politik.
Sedangkan untuk peran penyedia informasi, menjadi akomodator bagi kebutuhan
publik akan informasi politik. Kedua peran tersebut bertemu pada satu momentum
dimana partai politik membutuhkan saluran penyebarluasan visi-misi, dan publik
membutuhkan informasi politik, yakni masa kampanye politik. Dan oleh pers, peran
tersebut dilaksanakan dalam bentuk pemberitaan politik.
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dikemukakan di sini definisi kampanye
politik. Seringkali pemilih melihat pemberitaan maupun iklan beberapa tokoh di
media massa jauh sebelum Pemilu (di Indonesia, misalnya, Hary Tanoesoedibjo,
Prabowo, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh). Apakah iklan atau pemberitaan seperti
itu masuk ke dalam kampanye politik? Mana yang termasuk kampanye dan mana
yang bukan?
Definisi kampanye politik sendiri sangatlah luas. Oleh karena itu, seringkali
istilah “kampanye” menjadi sukar untuk dijelaskan. Biar demikian, beberapa ahli
mencoba mendefinisikan kampanye politik, meskipun, hanya berlaku untuk konteks
tertentu. Dalam hal ini, peneliti memilih definisi dengan melihat kondisi institusional
dan kuasi-institusional yang memungkinkan adanya kampanye. Brady, Johnston, &
Sides (2006) melihat suatu kegiatan dapat disebut sebagai kampanye politik, ketika
menemui beberapa kondisi:
1. Tanggal Pemilu sudah diketahui.
2. Identitas kandidat sudah diketahui.
14
3. Kandidat bersedia menyisihkan semua waktunya secara virtual demi dipilih
(atau dipilih kembali).
4. Kegiatan-kegiatan tertentu yang semula biasanya tidak masuk ke dalam
regulasi, menjadi masuk regulasi—misalnya, sumbangan kepada Kepala Desa
di luar masa kampanye diperbolehkan, namun pada masa kampanye tidak
boleh karena merupakan bentuk money politics.
Segala bentuk penyampaian pesan atau gagasan akan menjadi kampanye
politik ketika semua kondisi tersebut berlaku. Jadi, menjawab pertanyaan
sebelumnya, sebuah iklan tokoh atau opini tokoh soal penanggulangan suatu masalah
dalam pemberitaan isu tertentu tidak bisa disebut sebagai kampanye politik ketika
informasi masih samar. Dengan kata lain, ketika empat kondisi tersebut belum
terpenuhi. Sebaliknya, begitu ada satu iklan saja yang menyebutkan bahwa seorang
tokoh itu calon presiden atau calon wakil presiden, maka segala bentuk iklan atau
koverasi media menjadi kampanye politik.
Untuk menyederhanakan definisi, bisa ditilik pula pengertian sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik
Indonesia No. 1 2014. Menurut peraturan tersebut, “kampanye adalah kegiatan
peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan
program peserta Pemilu”. Kampanye politik bisa dilakukan dengan berbagai alat
(yang dipasang di ruang-ruang atau media tersedia) dan bahan (yang disebar kepada
pemilih), serta pelaksanaan acara-acara dimana kandidat memiliki ruang untuk
menyampaikan pesan politik kepada pemilih (PP Bawaslu RI No. 1 2014: 4). Dengan
dua definisi ini (kondisi-kondisi dan Peraturan Bawaslu RI) peneliti menyimpulkan
kampanye politik sebagai segala bentuk penyampaian pesan politik ketika sudah
terdapat kejelasan mengenai identitas kandidat dan informasi Pemilu. Di sini, kata
kunci yang bisa dipegang untuk membayangkan interaksi antara partai politik dengan
media massa adalah pesan politik. Pesan politiklah yang disampaikan dalam
pemberitaan politik, dan pesan politik pula yang menjadi inti dari kampanye politik.
15
Dalam hubungannya dengan media massa, peneliti membagi penyampaian
pesan melalui kampanye politik ke dalam dua bentuk besar, yakni: political
advertising (dalam bentuk iklan) dan political public relations (dalam bentuk
kegiatan kehumasan) (McNair: 2003: 95). Political advertising menggunakan
metode-metode yang digunakan dalam kegiatan periklanan. Misalnya, menyiapkan
biaya, menyusun materi iklan, kemudian menyewa spot siaran atau halaman media
massa untuk pemasangannya. Sedangkan, political public relation menggunakan
metode-metode dalam kehumasan. Misalnya pelaksanaan kegiatan-kegiatan (events)
seperti orasi, bakti sosial, dan sebagainya, yang kemudian memancing perhatian
media massa. (Burton & Shea, 2010; McNair, 2003)
Dalam konteks penelitian ini, secara khusus peneliti menaruh perhatian pada
political public relations. Dalam pandangan peneliti, political public relation
merupakan metode yang memiliki keterikatan lebih erat dengan media massa
dibandingkan dengan political advertising. Alasannya sederhana, yakni adanya fungsi
publisitas atau free media yang dibawa political public relations (kebalikan dari
political advertising, yang berbayar). Istilah free media sendiri secara sederhana
dapat diartikan sebagai kondisi dimana partai politik atau kandidat mendapatkan
saluran penyampaian pesan secara cuma-cuma dari media massa.
Peristiwa dimana partai politik mendapatkan free media dari media massa
disebut pseudo-event. Boorstin (1962) menelurkan istilah pseudo-event sebagai
reaksinya terhadap kenaikan kecenderungan media berita untuk meliput kejadian-
kejadian yang “tidak nyata” atau tidak otentik. Sederhananya, pseudo-event bisa
disebut peristiwa buatan yang dianggap media bernilai berita (Boorstin, 1962: 14).
Cara penyampaian pesan politik melalui pseudo-event merupakan salah satu
kunci political public relations. Dalam hal ini, fungsi media massa sebagai sumber
berita berimpitan dengan kepentingan partai atau kandidat dalam menyampaikan
pesan politik. Audiens akan menganggap informasi bermuatan politik yang
dicernanya sebagai lebih “hidup” dan lebih “asli”, karena informasi yang mereka
peroleh hasil dari peliputan langsung. Oleh karena itu, informasi akan masuk secara
16
lebih halus, atau, secara tidak sadar. Ini bertentangan dengan political advertising,
dimana, “mereka (pemilih) sadar bahwa ini (iklan politik) adalah informasi
bermuatan politik…(dan oleh karenanya) efektivitas iklan sebagai media persuasi
menjadi terbatas…mengetahui bahwa pesannya “sengaja”, pemilih akan menjaga
jarak darinya” (McNair, 2003: 130).
Ada pembelaan maupun kritik terhadap maraknya peliputan pseudo-event. Di
satu sisi, ada yang memandang bahwa peliputan pseudo-event sebagai bentuk
tindakan pengiklanan dengan “kualitas berita”. Ini mengindikasikan posisi wartawan
sebagai agen kehumasan partai politik, sebab dikendalikan oleh kepentingan selain
publik (Jamieson, 1992 dalam Blumler & Gurevitch, 2001). Namun di sisi lain, ada
yang memandang bahwa pembuatan pseudo-event dan peliputannya merupakan
bagian dari kebebasan berpendapat (freedom of speech). Sebagaimana dikemukakan
Boorstin (1962):
“Dalam masyarakat demokratis…pembuatan pseudo-event merupakan bagian
dari kebebasan pers dan penyiaran. Politisi, wartawan/jurnalis dan media
massa yang berkompetisi, menemukan (arena) kontestasinya pada pseudo-
event. Mereka berlomba satu sama lain untuk menawarkan pesan atraktif dan
informatif, serta gambaran mengenai dunia. Mereka bebas untuk berspekulasi
atas fakta, membawa fakta baru ke kenyataan, untuk menagih jawaban atas
segala pertanyaan yang mereka simpan. “Pasar bebas ide (free market of
ideas)” kita adalah tempat dimana kubu-kubu diperlawankan melalui
kompetisi pseudo-event, dan diperbolehkan untuk menghakiminya. Ketika
kita membicarakan tentang “memberi informasi” kepada warga, inilah yang
kita maksud.” (Boorstin, 1962: 35).
Peneliti menyimpulkan, dua pertentangan tersebut sama-sama mungkin terjadi jika
melihat fakta yang ada. Di satu sisi, jika pada dasarnya peliputan pseudo-event
dikendalikan kepentingan ekonomi-politik tertentu, hal tersebut tampak dalam bentuk
17
bias pemberitaan. Sebaliknya, ketika dikendalikan oleh kepentingan publik, media
akan bersikap adil dalam pemberitaan. Masalahnya bukan terletak pada pseudo-event
itu sendiri, melainkan pada bagaimana dan atas dasar apa pseudo-event itu
diperlakukan. Pseudo-event diluncurkan ke dalam arena kontestasi, dimana semua
mendapat perhatian, semua mungkin tampak baik dan semua mungkin tampak buruk
sesuai keadaan di lapangan. Artinya, persaingan terjadi secara adil. Inilah posisi yang
dipegang peneliti sebagai dasar penelitian ini. Dengan demikian, posisi pers sebagai
pasar bebas ide dan penyedia informasi mampu terlaksana dengan maksimal.
Kampanye Terbuka menjelang Pemilu Legislatif 2014, merupakan salah satu
bentuk pseudo-event kampanye politik. Kampanye ini dilaksanakan pada tanggal 16
Maret sampai dengan 5 April 2014. Pada masa ini, seluruh partai politik menerapkan
segala bentuk strategi kampanye tatap muka yang telah dirancang dalam sekali tarik.
Free media merebak, dan partai akan kebanjiran publisitas, baik dalam hal yang
mendukung maupun memojokkan. Keuntungan yang diperoleh pun dobel, satu dari
tatap muka langsung dengan massa pemilih, dan satu lagi lewat media massa. Akan
tetapi, ada masalah. Peta penguasaan media-media di Indonesia berkutat di sekitar
petinggi partai politik, dan tidak ada yang bisa menebak pola pemberitaannya seperti
apa. Penelitian yang dilakukan soal pengaruh kepemilikan media terhadap
pemberitaan, pada tahun-tahun yang lalu, ternyata menunjukkan hasil yang kurang
memuaskan.
E.3. Konsentrasi Kepemilikan Media: Studi Mengenai Terhalangnya Peran
Ideal Pers
Posisi ideal pers menemukan momentumnya yang paling penting saat masa-
masa kampanye. Pada saat yang demikian, pers tidak akan bisa melepaskan diri dari
kandidat dan pemilih, dan oleh karena itu, harus menjalankan kerjanya seideal
mungkin. Dari sini muncul pertanyaan: apa kira-kira yang menjadi dasar kerja ideal
wartawan? Tim Russert, Jody Wilgoren, dan Howard Fineman dalam Kovach (2001)
menyarankan jurnalis yang berkecimpung dalam pemberitaan politik untuk bertanya
18
kepada diri sendiri: siapa saya? Dimana sekarang posisi saya seharusnya? Apa saja
yang telah dan akan saya kerjakan dalam lingkaran politik? Apa sikap politik saya
terhadap setiap suatu peristiwa atau figur kandidat? Jawaban yang harus selalu keluar
adalah:
“Kita adalah para profesional tanpa peran partisan. Kita netral terhadap semua
partai politik, faksi, kandidat. Kita ada di sisi publik. Kita menyuplai berita-
berita vital, konteks untuk memahaminya, analisis dan interpretasi ketika
dibutuhkan” (Kovach, 2001 dalam Masduki, 2004).
Apakah massa pemilih di Indonesia kini bisa mengalami kerja jurnalis yang
benar-benar ideal seperti jawaban di atas? Jawaban peneliti: tampaknya belum.
Argumen ini, salah satunya, didasari oleh satu kenyataan, yakni bahwa kerja jurnalis
di Indonesia memang “menumpul” pada waktu Pemilu. Gejala tersebut salah satunya
terbukti pada Pemilu 2004.
Berdasarkan hasil riset, Masduki (2004) mengemukakan bahwa, “ide tentang
jurnalisme politik yang independen gagal berjalan selama Pemilu 2004 di Indonesia.
Daripada menjaga jarak dari kepentingan kapitalis dan borjuis, beberapa jurnalis
justru dengan bangga melayani mereka.” Kecenderungan watak media massa pada
Pemilu 2004 memperlihatkan kontradiksi dengan cita-cita reformasi. Pascareformasi,
kepentingan media massa justru terarah melangkahi kepentingan publik; dari
penguasa (oleh represi), langsung ke pemodal (oleh uang). Kepentingan ini terwujud
dalam bentuk sikap skeptis media massa: Pemilu 2004 justru dijadikan media sebagai
momentum untuk menyajikan berita bisnis dan hiburan (yang berorientasi pasar)
sebagai trade-mark, dan kontroversi tidak tampak sama sekali. Beberapa pengelola
media bahkan secara jelas menjadi tim sukses kandidat presiden dan wakil presiden.
Kebutuhan publik atas informasi politik yang komplit saat itu tidak terlayani dengan
baik (Masduki, 2004).
19
Selain bukti di atas, riset yang lebih baru juga menunjukkan gejala yang
sejalan. Nugroho dkk. (2012) mengemukakan bahwa “sebagai alat untuk kekuasaan,
media menanggung bias yang tidak dapat dihindari karena adanya intervensi pemilik
media, yang juga diharuskan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan korporasi
ketika menciptakan konten (terutama konten berita), serta mendistribusikannya
kepada pemirsa.” Pemilik media, dalam hal ini, membuat media menjadi sebuah
komoditas dimana pemirsa hanya dipandang sebagai konsumen, bukan warga negara
yang sah. Hasilnya, warga negara hanya terpapar informasi secara terbatas, karena
kebanyakan isu-isu seperti sosial, ekonomi, dan politik disampaikan secara selektif
(Nugroho, Putri, & Laksmi, 2012).
Apabila kecenderungannya masih sama, gejala yang mungkin dihadapi pada
Pemilu 2014 jauh lebih mengkhawatirkan. Beberapa pemilik korporasi besar induk
media massa kini bahkan sudah resmi mengampanyekan diri sebagai calon
presiden—seperti Hary Tanoesoedibjo (Global Mediacomm/MNC), Aburizal Bakrie
(Visi Media Asia), dan Surya Paloh (Media Group). Bahkan, media yang seharusnya
melayani kepentingan publik bisa beralih jadi media propaganda. Mengutip Chomsky
(1992), media propaganda ada untuk memenuhi fungsi, “’Model Propaganda’ oleh
elit yang menguasai media dan menggunaan bentuk-bentuk ‘celaan’ (censure) untuk
menjaga agar ide-ide yang tidak diinginkan (oleh elit) tetap berada di luar kesadaran
publik.” Dalam jurnalisme propaganda, media tidak berniat memberikan pendidikan
politik yang sehat, melainkan membiarkan diri menjadi political public relations para
kandidat (Herman & Chomsky, 1988). Semua hal tersebut bisa terjadi dengan latar
satu hal: media yang kian tidak netral.
20
Tabel 1.1. Kelompok media utama Indonesia Per-2011 (Nugroho, dkk., 2012).
E.4. Media yang Diteliti: Portal Berita Online Milik Politikus dan Non-Politikus
Seiring berkembangnya media internet, media massa konvensional turut serta
memperluas jalur diseminasi informasi mereka, yang kini mengambil wujud sebagai
portal berita online. Adanya fenomena ini menggeser dugaan awal mengenai fungsi
internet, yakni sebagai wahana informasi alternatif serta tempat bagi suara-suara
kaum marginal dan tertindas (Krasnoboka & Brants, 2002, dalam Voltmer (ed.),
2006). Meskipun yang terakhir ini pada akhirnya juga berjalan, namun media-media
yang sudah berkuasa sejak sebelumnya tetap dominan. Berbagai studi menunjukkan,
internet pada akhirnya hanya menjadi alat lain yang mendukung semakin
tertancapnya kuasa golongan-golongan dominan (Voltmer, 2006). Nugroho (2012)
membahasakan portal berita online ini sebagai “konten lama dengan wajah baru.”
(Nugroho dkk., 2012: 87).
Akan tetapi, gejalanya tidak mesti demikian. Di Ukraina, studi Krasnoboka
dan Brants (2002) menunjukkan bahwa portal berita online lebih banyak mengemas
21
berita secara netral dibandingkan dengan media konvensional. Dalam posisi yang
demikian, meskipun tetap merambah menjadi media jurnalistik, portal berita online
memenuhi fungsinya sebagai “penyedia sudut pandang alternatif” (mengingat media
lain condong kepada pemerintahan). Biar demikian, inti masalah belum tersentuh.
Kesan yang diperoleh dahulu mengenai informasi di internet, yakni “baca koran ya
baca koran, baca internet ya baca internet” (Nugroho, 2012: 89), luruh seiring
perpanjangan tangan media konvensional dalam menggunakan internet sebagai media
berita. Kini, seiring merebaknya portal berita online, “koran” semakin ada di mana-
mana.
Dalam kondisi seperti ini, solusi yang mestinya dijalankan adalah penerapan
kaidah-kaidah jurnalistik ideal pada portal berita online. Ketika media jurnalistik
bercampur baur dengan media-media diskusi di internet, seharusnya media jurnalistik
tersebut mampu menjadi referensi yang handal bagi diskusi yang berjalan. Artinya,
berita yang ditawarkan mesti objektif. Selain itu, media tersebut seharusnya mampu
merekam lebih banyak kegelisahan-kegelisahan yang tumpah dalam diskusi
masyarakat dalam jaringan. Dengan demikian, fungsi yang keberadaan portal berita
online justru menjadi dapur pacu pemberdayaan kaum marginal. Ukraina sudah
pernah mengalami itu, dan terbukti, media online mampu jadi penyedia informasi
politik yang lebih baik (Voltmer, 2006).
Akan tetapi, pembaca portal berita online di Indonesia tampaknya mesti lebih
dahulu gelisah jika memikirkan ini. Studi Masduki (2004) dan Nugroho (2012),
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, telah lebih dahulu menunjukkan gejala yang
membikin pesimis. Kepemilikan media konvensional, turut mengendalikan kualitas
berita yang disebar. Dan sebagian besar pemilik media konvensional itulah, yang kini
memperpanjang jangkauannya lewat portal berita online.
Studi ini ingin membandingkan bagaimana pemberitaan yang tampil pada
portal berita online, yang merupakan perpanjangan tangan media konvensional
tersebut. Portal yang dipilih peneliti adalah okezone.com, yang berada di bawah
naungan Global Mediacomm milik Hary Tanoesoedibyo, dan viva.co.id, di bawah
22
naungan Bakrie & Brothers milik Aburizal Bakrie. Selain itu, peneliti juga akan
menganalisis pemberitaan portal berita lain yang tidak dimiliki politikus, yakni
tempo.co dan kompas.com pada periode yang sama, untuk melihat bagaimana
perbedaannya. Secara implisit peneliti mempertanyakan, apakah jalur diseminasi
yang berbeda melahirkan pemberitaan yang berbeda pula—artinya menjadi lebih
“ramah khalayak”—atau sama saja—sebagai perpanjangan tangan bagi “propaganda”
si pemilik. Oleh karena itu, peneliti ingin membandingkan netralitas pemberitaan
keempat berita online tersebut.
E.5. Kerangka Konsep
Penelitian ini dilakukan dengan analisis per satuan berita. Konsep utama yang
digunakan untuk analisis tersebut adalah netralitas. Namun demikian, untuk melihat
kecenderungan pemberitaan di luar satuan berita, peneliti menggunakan unit-unit
pendukung di luar konsep netralitas. Harapannya, analisis yang akan dihasilkan
menjadi lebih kaya, dan bisa memberi gambaran-gambaran baru tanpa harus terikat
satuan unit berita. Bagian kerangka konsep ini berisi penjelasan mengenai konsep
netralitas, yang kemudian diikuti dengan pembahasan mengenai informasi umum
berita.
E.5.1. Memahami Netralitas sebagai Salah Satu Ukuran Laku Ideal Pers
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pers memegang peran politik yang
krusial sebagai di masa kampanye. Peran tersebut adalah pasar bebas ide (free
marketplace of ideas) dan penyedia informasi (information provider). Pasar bebas
ide, dalam hal ini, tertuang dalam bagaimana institusi media memperlakukan aktor-
aktor yang bergulat dalam percaturan politik. Kemudian sebagai penyedia informasi,
tertuang dalam bagaimana informasi yang disediakan mampu menjadi informasi yang
benar bagi publik. Dalam hal ini, peneliti mengangkat satu konsep yang dirasa
peneliti mampu merangkum dua peran tersebut, yakni: netralitas.
23
Netralitas dapat dikatakan sebagai konsep paling ujung dalam “genealogi”
profesionalisme wartawan (Iggers, 1999). Netralitas merupakan turunan dari
objektivitas, sebuah konsep besar yang terus dipertahankan sebagai basis
epistemologi jurnalisme. Pada pembahasan ini, peneliti akan mengawali diskusi
dengan membahas objektivitas sebagai konsep induk dari netralitas. Melalui diskusi
ini, peneliti menyajikan gambaran mengenai muasal konsep netralitas. Baru setelah
itu, peneliti akan menginjak netralitas.
E.5.1.1. Objektivitas: Arketipe Jurnalisme
Sebelum mendalami konsep netralitas, peneliti akan menjelaskan terlebih
dahulu tentang konsep “induk”-nya, yakni objektivitas. Objektivitas merupakan
konsep arketipal dalam jurnalistik, yang disebut-sebut sebagai standar (McQuail,
2010), etika sentral, maupun doktrin epistemologis (Iggers, 1999). Objektivitas dapat
dikatakan merupakan “sifat dasar” dari jurnalisme itu sendiri (Klaidman &
Beauchamp, 1987).
Konsep objektivitas mulai mengemuka di Barat pada 1920-an, ketika kerja-
kerja jurnalistik mengalami krisis kredibilitas (Iggers, 1999). Pada saat itu,
sebagaimana umum terjadi, wartawan banyak didaulat tidak untuk menjadi pengabar
peristiwa, melainkan mengarahkan opini publik. Elit negara pada saat itu
membutuhkan dukungan bagi perang, dan oleh karenanya, pers digunakan untuk
propaganda.
Di Indonesia sendiri, pers mengalami gejala yang sama. Seiring perjalanan
sejarah, pers Indonesia terus mengalami redefinisi. Di masa penjajahan, pers didaulat
menjadi “alat perjuangan”. Pada pemerintahan Sukarno pers didaulat menjadi “alat
revolusi”. Pada masa Orde Baru, pers diperbolehkan “bebas” namun
“bertanggungjawab” (dua konsep yang mulanya baik, namun menjadi ambigu ketika
digabungkan), dan merupakan “pendukung pembangunan” (Sen & Hill, 2007).
Sekilas, jika melihat konteksnya, pers sebagai alat propaganda di masa lalu
memang menghasilkan banyak manfaat bagi negara-negara yang baru lepas dari
24
penjajahan. Hal yang sama juga berlaku bagi negara yang sudah lama berdiri, yakni
ketika negara tersebut membutuhkan “nasionalisme” agar tetap bersatu. Akan tetapi,
para intelektual maupun filsuf menyadari bahwa “pers sebagai alat penguasa” tidak
boleh terus dibiarkan. Meskipun pada saat itu sangat membantu, pers propaganda
lambat laun akan membuat jurnalisme mengalami krisis ontologis. Kekhawatiran ini
bukan tanpa alasan. Daya pers yang sangat kuat saat itu telah disadari, dan jika
dimanfaatkan oleh segelintir elit, suatu saat justru akan mendesak publik.
Oleh karena itu, para intelektual berpikir bahwa pers mesti “memisahkan
diri”. Ia harus bisa berdiri sendiri, agar publik senantiasa memiliki ruang untuk
mengetahui apa yang betul-betul “benar”. Menanggapi ini, Lipmann (1920)
mengemukakan bahwa jurnalisme harus membangun tubuh profesionalnya, atau
dengan kata lain mesti mengambil metodenya dari sains, dan membangun budaya
organisasinya dari profesionalisme. Sebagai profesi, ia digadang-gadang mampu
menjawab klaim tentang bangunan keahlian (body of expertise) dan tanggung jawab
khusus kepada publik (special responsibility to the public). Oleh karena itu, pers
membutuhkan sebuah bangunan filosofis yang mampu menjadi patokan
konsistensinya. Inilah yang kemudian mendasari lahirnya konsep objektivitas.
Meskipun sudah menemukan bentuk, diskusi soal objektivitas selalu
mengalami masalah. Sekurang-kurangnya ada dua pandangan mengenai definisi
objektivitas. Pertama, jurnalisme yang objektif adalah jurnalisme yang, dalam
menyatakan fakta, atau secara lebih luas dalam menggambarkan realitas, benar-benar
mewakili fakta apa adanya. Kedua, jurnalisme yang objektif adalah yang, dalam
proses kerjanya, mematuhi seperangkat prosedur yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk yang objektif. Pada prakteknya, banyak jurnalis yang mematuhi
prosedur namun tanpa disertai komitmen epistemologis. George Lardner Jr., seorang
wartawan Washington Post, mengodifikasi prosedur-prosedur yang menentukan
objektivitas, antara lain:
25
1. Reporter hanya boleh menceritakan apa yang bisa diobservasi dan pada
sebuah peristiwa yang jelas—apa yang bisa dilihat dan diverifikasinya.
2. Reporter mesti menceritakan hal kontroversial dengan menyatakan pandangan
masing-masing pihak yang bertentangan. Aturan ini biasanya
merepresentasikan usaha reporter untuk menjelaskan unsur “mengapa”, ketika
kerjanya dibatasi oleh aturan pertama (hanya peristiwa yang bisa diobservasi
dan diverifikasi). Pertentangan pandangan akan memberikan pertimbangan-
pertimbangan soal “mengapa” dalam peristiwa.
3. Reporter, dalam mengumpulkan fakta observatif dan menuliskan pandangan
dari pihak-pihak yang bertentangan, harus imparsial. Ia tidak boleh
membiarkan keyakinan, prinsip, kehendak, bahkan pengetahuannya mewarnai
fakta mentah yang diobservasinya atau pernyataan (dalam berita) yang
mengovernya (sebagaimana dikutip Lou (1977); dalam Iggers, 1997).
Berdasarkan paparan di atas, pertanyaan akan objektivitas sebuah berita dapat
diwakili oleh dua pertanyaan: (1) “apakah berita benar-benar mewakili fakta apa
adanya?” atau (2) “apakah berita dibuat berdasarkan prosedur (etis) yang berlaku?”
Biar demikian, sebagian besar intelektual yang mempertahankan objektivitas sebagai
bangunan yang melekat dalam jurnalisme, memegang keyakinan bahwa dalam
prakteknya, objektivitas sejati tidak akan bisa dicapai. Dalam hal ini, tugas jurnalisme
adalah mendekati kebenaran objektif sedekat mungkin.
Westertahl (1983) mencoba merangkum prosedur-prosedur yang menjadi
standar objektivitas menjadi konsep-konsep baru. Menurutnya, konsep besar
objektivitas terdiri dari dua kriteria, yakni faktualitas dan imparsialitas. Faktualitas
adalah keharusan sebuah kerja atau produk jurnalistik untuk faktual, atau; pertama,
dapat dicek kebenarannya (truth), kedua, informasi yang dikumpulkan atau peristiwa
yang ditulis relevan (relevance), dan ketiga, berisi muatan yang layak
(informativeness). Sedangkan imparsialitas adalah keharusan sebuah kerja atau
produk jurnalistik untuk memperlihatkan ketidakberpihakan, atau; pertama,
26
berimbang (atau, proporsional dalam hal ruang, waktu, dan penekanan), dan kedua,
menunjukkan netralitas (tidak bias dalam proses penggambaran fakta, atau
menggambarkan fakta apa adanya).
Bagan 1.1. Objektivitas dan turunan-turunannya (Westertahl, 1983, dalam McQuail,
2010).
Faktualitas, dalam hal ini, kurang lebih sesuai dengan prosedur pertama, yakni apa
yang diceritakan haruslah memungkinkan untuk diverifikasi. Sedangkan imparsialitas
sesuai dengan prosedur kedua dan ketiga, dimana wartawan mesti merangkum semua
sisi (berimbang), di samping itu juga tidak memasukkan nilai-nilai subjektif ke dalam
berita (netral).
E.5.1.2. Turunan Netralitas
Berdasarkan penjelasan soal objektivitas di atas, dapat dilihat dimana posisi
netralitas. Netralitas sendiri, dalam konteks studi ini, merupakan konsep yang
digunakan untuk melihat kinerja media melalui berita yang dihasilkannya. Netralitas
27
sejatinya merupakan konsep yang sederhana, namun bersifat fleksibel sehingga
mungkin untuk diterapkan dalam segala bentuk objek.
Netralitas adalah seberapa netral berita disampaikan kepada pembaca.
Eriyanto (2011) mendefinisikan berita netral sebagai berita yang menyampaikan
peristiwa dan fakta apa adanya, tidak memihak kepada sisi-sisi peristiwa. Secara lebih
detail, berita yang netral dapat dikatakan sebagai berita yang tidak mengandung
evaluasi (penilaian/penghakiman), dan tidak mengandung dramatisasi atas fakta
(Eriyanto, 2011: 184).
McQuail (2010) juga mengajukan definisi soal berita yang netral.
Menurutnya, berita yang netral adalah berita yang memisahkan fakta dan opini,
menghindari pendapat yang sarat nilai, atau penggunaan bahasa dan gambar yang
sifatnya mengandung penilaian emosional (McQuail, 2010). Senada dengan hal ini,
telah ada bukti bahwa pemilihan kata-kata merefleksikan dan mengindikasikan
masuknya penilaian (atau perlakuan khusus) dalam pemberitaan.
Sebagaimana dikemukakan Eriyanto (2011), pengukuran netralitas melibatkan
dua indikator, yakni evaluatif/non-evaluatif, serta sensasional/non-sensasional.
Selanjutnya, Definisi McQuail (2010) menyebutkan bahwa berita yang netral
memisahkan fakta dan opini. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti membagi
indikator netralitas menjadi dua, yakni:
1. Evaluasi.
2. Sensasi.
Pertama, evaluatif/non-evaluatif merupakan ukuran yang mewakili netralitas
dari penggunaan kata-kata, kalimat, dan gambar. Secara sederhana, evaluatif/non-
evaluatif merupakan ada atau tidaknya penilaian yang masuk ke dalam sebuah berita.
Hal ini diwakili oleh kecenderungan pemilihan kata-kata atau kalimat di luar kutipan
yang digunakan, apakah mengandung konotasi mendukung atau memojokkan pihak
yang diberitakan.
28
Untuk secara lebih ketat mendefinisikan evaluasi, peneliti menggunakan
definisi Thomson (2008) tentang netralitas. Menurutnya, berita yang netral adalah
berita yang mengurangi opini kepengarangan (authorial opinion) dan sudut pandang
(point of view), dan menggambarkan fakta apa adanya. Penggunaan kata-kata
keterangan tanpa dasar dalam berita, merupakan contoh opini kepengarangan.
Untuk identifikasi atas ada atau tidaknya evaluasi, peneliti menggunakan teori
penilaian (appraisal theory). Identifikasi atas ada atau tidaknya sudut pandang
kepengarangan di sini didasarkan pada teori penilaian (appraisal theory). Teori
penilaian berisi tipologi reaksi berdasarkan sikap atas suatu peristiwa (lihat Martin
2000, White 2000a, dan Martin & White 2005 untuk contoh). Teori ini merupakan
teori yang dikembangkan untuk mengidentifikasi kata-kata seperti apa yang
memungkinkan untuk dimuati nilai, baik itu positif maupun negatif, dan oleh karena
itu, merupakan evaluasi (Thomson, 2008). Dalam pendefinisiannya, peneliti
menyesuaikan tipe reaksi dalam konteks analisis teks berita. Berikut tipe-tipe reaksi:
1. Afeksi (affection): reaksi atas sesuatu berdasarkan kondisi emosi tertentu,
dan dengan demikian, teks yang ditulis mengandung nilai emosional—
“marah”, “senang”, “sedih”, “takut”, dan sebagainya—tanpa adanya
pemaparan kutipan langsung, baik wawancara maupun kata-kata dari pihak
lain, yang menunjukkan atribusi pada pihak yang digambarkan;
2. Penghakiman (judgment): reaksi atas perilaku pihak yang diberitakan
berdasarkan penilaian normatif berdasarkan kerangka referensi atas norma-
norma yang berlaku—misalnya berupa etis/tidak etis, jujur/tidak jujur,
pemberani/penakut, mampu/tidak mampu, normal/abnormal, dan
sebagainya—tanpa adanya pemaparan kutipan langsung, baik wawancara
maupun kata-kata dari pihak lain, yang menunjukkan atribusi pada pihak yang
digambarkan.
3. Apresiasi (appreciation): masuknya nilai sosial pada artefak, teks, objek,
pernyataan, dan sebagainya, berdasarkan estetika dan penilaian lain sesuai
29
referensi wartawan—penggunaan kata keterangan “rapi”, “tampan”, “baik”,
penggunaan kata ganti “penyelamat”, dan sebagainya—tanpa adanya
pemaparan kutipan langsung, baik wawancara maupun kata-kata dari pihak
lain, yang menunjukkan atribusi pada pihak yang digambarkan.
Tiga reaksi atas sikap di atas, dapat dimuati nilai, entah dalam bentuknya yang
positif maupun negatif. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat pula bagaimana
nada yang ditunjukkan pada setiap evaluasi yang muncul. Adanya kecenderungan
nada pemberitaan tertentu pada evaluasi, akan menunjukkan arah ketidaknetralan
berita.
Ketiga jenis reaksi-atas-sikap di atas merupakan indikator peneliti untuk
melihat ada atau tidaknya evaluasi. Ketiga poin tersebut, dalam penelitian ini,
diperlakukan secara setara oleh peneliti semata-mata sebagai indikator. Tidak ada
ukuran soal mana yang lebih evaluatif, apakah afeksi, penghakiman, atau apresiasi.
Selama di antara ketiga reaksi tersebut pada berita, maka berita akan dilihat sebagai
evaluatif, dan dengan demikian, tidak netral.
Fungsi berita, pada dasarnya adalah menyampaikan rekaman wartawan atas
suatu peristiwa. Biasanya hal ini berbentuk kutipan-kutipan tidak langsung, kutipan
langsung, atau deskripsi wartawan atas peristiwa yang dilihat secara langsung. Akan
tetapi, kadang-kadang wartawan memasukkan nilai kepada kata-kata yang
digunakannya. Masuknya berapa reaksi tersebut pada berita akan digolongkan pula
oleh peneliti, namun semata-mata untuk tujuan deskriptif.
Pengukuran evaluasi akan dilakukan menurut bagian-bagian struktur berita.
Adanya evaluasi akan dilihat secara mendetail pada berita. Struktur berita terdiri dari
headline (judul), lead (awalan), body (tubuh), dan leg (penutup). Masing-masing
bagian struktur merupakan tempat-tempat yang cukup krusial bagi penempatan kata
atau kalimat-kalimat evaluatif dan sensasional. Melalui pengukuran pada masing-
masing bagian struktur, peneliti ingin melihat bagaimana kecenderungan awak media
30
dalam memberitakan peristiwa, apakah keseluruhan berita itu evaluatif dan/atau
sensasional, atau pada bagian-bagian tertentu saja.
Kedua, sensasional/non-sensasional. Secara esensial, sensasional/ non-
sensasional ditandai dengan personalisasi cerita, permainan emosi audiens, melalui
penggunaan bahasa yang dramatis, atau tidak pada tempatnya (Gunter, 1997). Sensasi
tampak pada, pertama, penggambaran peristiwa yang semula biasa saja, namun dibuat
menjadi penting, luar biasa, atau di luar kewajaran (dalam konteks jurnalistik).
Kedua, berita yang pada dasarnya mengandung keseriusan atau menyangkut topik-
topik serius, namun dikemas secara “bercanda” atau menjadi bahan hiburan. Ciri-ciri
seperti ini biasanya muncul pada berita yang mengusung nama infotainment. Namun
dalam hal ini peneliti menerapkan pengukuran pada berita jurnalistik.
E.5.2. Informasi Umum Berita
Informasi umum berita merupakan informasi terkait berita selain yang diambil
untuk pengukuran netralitas. Selain variabel-variabel yang diukur untuk
mengidentifikasi nertal atau tidaknya sebuah berita, ada konsep lain yang juga tidak
bisa lepas dari analisis. Untuk informasi umum berita, peneliti mengambil tiga
konsep, yakni nada berita, subjek pemberitaan, dan porsi pemberitaan.
F. Definisi Operasional
Agar bisa melakukan pengukuran dengan tepat, konsep-konsep yang sudah
dijelaskan di kerangka pemikiran perlu didefinisikan secara lebih sederhana. Pada
bagian ini, peneliti akan menjelaskan definisi serta pecahan masing-masing konsep
untuk operasionalisasi. Peneliti membagi data yang dikumpulkan menjadi dua bagian,
yakni netralitas dan informasi umum berita. Netralitas dalam hal ini termasuk aspek-
aspek untuk melihat netral atau tidaknya sebuah berita. Sedangkan informasi umum
berita merupakan pendukung analisis.
31
F.1. Netralitas
Setelah melihat beragam definisi netralitas (sebagaimana dijelaskan peneliti di
bagian kerangka pemikiran) peneliti menyimpulkan satu definisi netralitas untuk
penelitian ini, yakni: seberapa besar kesempatan diberikan oleh ruang-ruang redaksi
bagi masuknya unsur-unsur subjektif dalam berita. Semakin netral sebuah media,
maka ruang yang diberikan semakin kecil. Sebaliknya, semakin tidak netral sebuah
media, maka ruang bagi unsur-unsur subjektif semakin besar.
Lantas apa yang dimaksud dengan unsur subjektif? Peneliti mendefinisikan
unsur subjektif sebagai adanya kehendak yang diejewantahkan ke dalam perlakuan
tertentu terhadap fakta. Misalnya, jika awak redaksi berusaha sebisa mungkin untuk
memaparkan fakta apa adanya, maka berita tersebut semakin jauh dari “kehendak”
atas peristiwa, dan dengan demikian semakin netral. Netralitas, atau seberapa jauh
masuknya unsur subjektif/kehendak atas fakta, memiliki dua indikator: evaluasi dan
sensasi.
F.1.1. Indikator-Indikator
F.1.1.1. Evaluasi
Evaluasi merupakan seberapa besar porsi yang diberikan bagi masuknya
unsur-unsur subjektif pada berita. Secara operasional, evaluasi ditandai oleh ada atau
tidaknya penilaian dalam bentuk kata-kata atau kalimat tak berdasar yang masuk ke
dalam berita. Berita pada dasarnya merupakan salah satu piranti untuk
menggambarkan peristiwa. Adanya evaluasi merupakan adanya penilaian dari awak
redaksi yang tidak mengikuti alur pengutipan dan tidak memberi bukti kesaksian, dan
dengan demikian, tidak memiliki dasar.
Akan tetapi, tidak semua pernyataan tanpa dasar bisa disebut sebagai evaluasi.
Kadang-kadang ada pernyataan tanpa dasar, namun sebenarnya bukan merupakan
evaluasi, melainkan sekadar penggambaran/deskripsi wartawan atas apa yang dilihat
dan didengarnya lokasi. Yang terakhir ini sah dalam pemberitaan. Wartawan
memiliki hak untuk mendeskripsikan, misalnya, lokasi dan suasana, jika narasumber
32
yang dapat dijumpai minim. Adapun identifikasi atas ada atau tidaknya evaluasi akan
didasarkan pada tiga kategori berdasarkan teori penilaian (appraisal theory)
(Thomson, 2008). Tiga kategori tersebut adalah afeksi (affect), penghakiman
(judgment), dan apresiasi (appreciation). Berikut ini penjelasan masing-masing
kategori identifikasi:
Indikator
Netralitas Kategori Penjelasan Ciri-ciri
Evaluasi
Afeksi
Terdapat pemilihan
kata-kata
berdasarkan
kondisi emosi
tertentu, dan
dengan demikian,
teks yang ditulis
mengandung nilai
emosional; tanpa
adanya pemaparan
kutipan langsung,
baik wawancara
maupun kata-kata
dari pihak lain,
yang membuktikan
kebenaran atribusi
tersebut pada objek
yang digambarkan.
Penggunaan kata-
kata yang
menyangkut emosi,
seperti
“kemarahan”,
“senang”, “sedih”,
“takut”, dan
sebagainya.
Penghakiman Adanya kata-kata
yang merupakan
Penggunaan kata-
kata yang
33
atribut atas
perilaku pihak
yang diberitakan,
yang berdasarkan
penilaian normatif;
tanpa adanya
pemaparan kutipan
langsung, baik
wawancara
maupun kata-kata
dari pihak lain,
yang mengatakan
atribusi tersebut
pada pihak yang
digambarkan.
mengindikasikan
gagasan etis/tidak
etis, jujur/tidak
jujur,
pemberani/penakut,
mampu/tidak
mampu,
normal/abnormal,
dan sebagainya.
Apresiasi Masuknya nilai
sosial pada
artefak, teks,
objek,
pernyataan, dan
sebagainya,
berdasarkan
estetika dan
penilaian sosial
sesuai referensi
wartawan; tanpa
adanya pemaparan
kutipan langsung,
Penggunaan kata-
kata penilaian yang
mengandung
gagasan estetis atau
baik/buruk dalam
konteks sosial,
seperti keterangan
“rapi”, “tampan”,
“tersenyum
berwibawa”,
“tersenyum sinis”,
dan “pernyataan
optimis”,
34
baik wawancara
maupun kata-kata
dari pihak lain,
yang membuktikan
kebenaran atribusi
tersebut pada pihak
yang digambarkan.
sebagainya.
Tabel 1.2. Definisi operasional evaluasi dan ciri-cirinya.
Adapun identifikasi akan ada atau tidaknya penilaian pada sebuah keterangan dalam
berita, dapat dilihat contohnya pada tabel berikut:
Indikator Kategori Contoh
Evaluatif Afeksi Viva.co.id, Sabtu, 5 April
2014. (“Masa Orde Baru
Memang Ada
Kekurangannya, tapi…”)
“….muncul kerinduan
masyarakat pada situasi
seperti di masa Orde Baru. Di
masa itu, situasi aman dan
damai, kebutuhan pokok
terjangkau harganya,
swasembada pangan, dan
sebagainya.” � tidak ada
pengutipan sumber atau hal
lain di dalam berita yang
menjadi dasar pernyataan ini,
35
sehingga merupakan
pernyataan pribadi awak
redaksi.
Penghakiman Okezone.com, Sabtu, 5 April
2014 (“Terbukti Bersih,
Rakyat Sambut Hanura
dengan Tangan Terbuka”).
“Terbukti Bersih, Rakyat
Sambut Hanura dengan
Tangan Terbuka” � tidak ada
pengutipan sumber atau hal
lain di dalam berita yang
menjadi dasar pernyataan ini,
sehingga merupakan
pernyataan pribadi awak
redaksi.
Apresiasi Okezone.com, Sabtu, 5 April
2014 (“Kemenangan Hanura,
Kemenangan Hati dan Nurani
Rakyat”).
“Kemenangan Hanura,
Kemenangan Rakyat & Hati
Nurani ” � tidak ada
pengutipan sumber atau hal
lain di dalam berita yang
menjadi dasar pernyataan ini,
sehingga merupakan
pernyataan pribadi awak
36
redaksi.
Non-evaluatif Tempo.co, Kamis, 3 April
2014.
(1) “Prabowo: Saya Tidak
Malu Jadi Tukang Mimpi” �
ada penyebutan nama yang
menunjukkan bahwa
pernyataan tersebut dikutip
dari seseorang pada peristiwa
yang diliput. Selain itu,
diperjelas pula pada bagian
dalam berita bahwa si subjek
memang mengatakan hal
tersebut.
(2) “Prabowo menegaskan
bahwa mimpi yang ingin ia
capai adalah menjadikan
bangsa Indonesia kaya dan
makmur. ‘Saya bermimpi tak
ada lagi orang miskin di
Indonesia,’ kata Prabowo.” �
ada kata-kata penerang yang
jelas bahwa awak redaksi
mengutip ujaran subjek.
Dalam hal ini, si penulis dan
editor berita memperjelas
posisi mereka, bahwa mereka
benar-benar menggambarkan
37
apa yang ada di lapangan.
Tabel 1.3. Contoh evaluasi berdasarkan masing-masing indikator.
Setiap sudut berita merupakan “tempat” dimana awak media menempatkan
konten yang sifatnya evaluatif. Oleh karena itu, peneliti memecah struktur berita agar
pengukuran evaluasi mudah dilakukan. Dengan memecah struktur berita, peneliti
ingin melihat kecenderungan pemberitaan. Struktur berita terdiri dari headline
(judul), lead (awalan), body (tubuh) dan leg (penutup). Berikut ini tabel dan
penjelasan untuk masing-masing unit analisis:
Struktur Berita Penjelasan Contoh
Headline Merupakan judul berita,
biasanya dicantumkan
dengan cetak tebal dan
ukuran huruf paling besar.
“Kemenangan Hanura,
Kemenangan Rakyat &
Hati Nurani”
(okezone.com, Sabtu, 5
April 2014).
Lead Merupakan awalan berita.
Di berita online, biasanya
merupakan paragraf
pembuka dimana inti
berita disampaikan
(berdasarkan prinsip
“piramida terbalik”).
JAKARTA - Dalam 10
Tahun Indonesia maju,
Mungkinkah? Itulah yang
sedang dijelaskan dan
dijawab Partai Hanura
dalam orasi kampanye
akbar yang digelar secara
meriah di Stadion Utama
Gelora Bung Karno,
Jakarta, Sabtu (5/4/2014).
Body Merupakan bagian tengah
pada berita. Biasanya
Di hadapan ratusan ribu
simpatisan yang memadati
38
berisi penjelasan lanjutan
dari paragraf awal, yang
sifatnya lebih khusus,
menjelaskan detail
peristiwa.
gelora kebanggaan
Indonesia ini, Partai
Hanura tampil dengan
pasangan capres
cawapresnya, Wiranto-
Hary Tanoesoedibjo (Win-
HT).
"Hati nurani adalah
kompas yang
mengarahkan kita pada
kebenaran, karena itu,
Partai Hati Nurani tidak
hanya sekadar partai
politik, namun juga sebuah
gerakan moral yang
merindukan perubahan
Indonesia," ujar Wiranto
membuka orasi yang
langsung disambut tepuk
tangan gemuruh…dst.
(okezone.com, Sabtu, 5
April 2014).
Leg Merupakan bagian
penutup berita. Bagian ini
terletak pada paragraf
terakhir.
HT optimistis, Indonesia
bisa maju dalam waktu
tidak kurang 10 tahun,
untuk itu kata dia, Partai
Hanura dan WinHT
mengusung visi misi ini,
39
tujuannya lanjut HT agar
masyarakat bisa sejahtera
dan Indonesia menjadi
bangsa bermartabat yang
dihargai negara-negara
lain. (okezone.com, Sabtu,
5 April 2014)
Tabel 1.4. Struktur berita.
Berikut ini contoh berita evaluatif (bagian bergaris bawah merupakan bagian yang
mengandung evaluasi):
ARB dan Dua Putri Soeharto Kampanye Pamungkas di Surabaya
Tidak kurang dari 10 ribu orang, kader dan simpatisan berkumpul.
Sabtu, 5 April 2014, 16:37 Beno Junianto
VIVAnews - Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, berkampanye terakhir alias
pamungkas di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu, 5 April 2014. Kampanye yang dihadiri 10 ribu massa
simpatisan Partai Golkar itu dipusatkan di gedung Jatim Expo.
Dua putri mendiang mantan Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut Soeharto dan
Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, turut mendampingi ARB (panggilan akrab Aburizal
Bakrie). Keduanya kompak mengenakan busana serba warna kuning.
Tutut Soeharto mengawali orasinya denga menyapa massa simpatisan Golkar dengan dua bahasa
utama masyarakat di Jawa Timur, yakni bahasa Jawa dan Madura: "De remmah
kabere(bagaimana kabarnya)?" "Yo opo kabare Suroboyo (bagaimana kabar Surabaya??"
40
"Kita semua berada di sini karena kita sayang Golkar. Kita berjuang bersama Partai Golkar," kata
Tutut.
"Sayang sama Golkar, kan?" tanya Tutut kepada massa. Hadirin yang memenuhi gedung expo itu
pun kompak menjawab: "Sayang..." Tutut membalas dengan berujar: "Pak Harto (Soeharto) juga
sayang sama rakyat Indonesia.
Sedangkan Titiek Soeharto langsung mengutip ungkapan populer yang seolah diucapkan
Soeharto: "Enak zamanku, toh? (enak di zamanku, kan?)" Ia mengaku sudah berkeliling daerah di
seluruh penjuru Tanah Air. Masyarakat, katanya, memiliki keluhan yang sama, yaitu masa Orde
Baru lebih baik daripada masa sekarang.
"Keluhannya sama: penak zaman mbiyen (lebih enak zaman dulu di masa Orde Baru). Kita sudah
lelah melihat bangsa ini yang setiap hari ada korupsi," ujarnya.
ARB tak mau kalah. Ia pun memulai orasinya dengan menyapa warga Surabaya dengan berbahasa
Jawa. "Dulur-dulurku kabeh arek-arek Suroboyo (saudara-saudaraku warga Surabaya), warga
Jawa Timur yang ada di sini, yak opo kabare, rek (bagaimana kabarnya semua)?
Ia mengaku bangga sekaligus bahagia berada di tengah-tengah masyarakat Surabaya, warga Jawa
Timur, yang semangat kepahlawanannya tak pernah padam, tetap berkobar hingga saat ini.
"Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita, ketika Bung Tomo, Pahlawan Nasional, berpidato
dengan berapi-api memekikkan takbir Allahu Akbar, yang mampu membangkitkan semangat
arek-arek Suroboyo dalam mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia," katanya.
"Mari kita pekikkan bersama Takbir: Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…!"
Kuningkan Surabaya
Tidak kurang dari 10 ribu orang, kader dan simpatisan Partai Golkar siang ini menguningkan JX
41
Internasional di Jalan Ahmad Yani, Surabaya.
Priyo Ketua DPP Golkar Budi Santoso mengatakan, dengan kemenangan Partai Golkar, cita-cita
pendiri bangsa terwujud, menuju masyarakat adil dan makmur.
Ketua DPD PG Jatim, Zainuddin Amali juga sama, diawali dengan alunan ayat Al Qur'an, dia
mengingatkan agar 9 April 2014 nanti memilih Golkar untuk mewujudkan kesejahteraan.
Dengan telekonferensi itu, ARB dari Surabaya juga melakukan kontak bicara dengan Akbar
Tandjung, Luhut Panjaitan dan sejumlah petinggi Golkar Sumatera Utara. (adi)
Harapan Berantas Koruptor Ada di Pundak Win-HT
Sabtu, 5 April 2014 - 13:07 wib | Marieska Harya Virdhani – Okezone
JAKARTA - Ribuan kader Partai Hanura terus mengalir memenuhi Gelora Bung Karno
(GBK). Para kader di dalam GBK terlihat menyibukan diri untuk bersuka cita dengan
membunyikan alat musik dari galon air mineral.
Salah satu kader dari Pondok Rangon, Tommy, mengaku sudah datang sejak pukul 10.00
dengan naik bus.
Tommy meyakini bahwa Partai Hanura akan mengimplementasikan jargonnya yakni Bersih,
Peduli, Tegas. "Bagus, visi misinya lebih jelas daripada partai yang lain," katanya kepada
Okezone, Sabtu (05/04/2014).
Dia meyakini bahwa Win-HT sosok yang tepat untuk memimpin Indonesia. Salah satunya
dengan slogan bersih, Win-HT dapat memberantas korupsi. "Saya yakin Pak Win-HT bisa
berantas para koruptor, Sudah kebanyakan koruptornya," tukasnya.
Tabel 1.5. Contoh berita evaluatif.
42
F.1.1.2. Sensasi
Setelah evaluasi, ada satu indikator lagi bagi pengukuran netralitas, yakni
sensasi. Pada bagian kerangka pemikiran telah dijelaskan definisi sensasi (Gunter,
1997). Definisi sensasi, dalam konteks penelitian ini, dapat dilihat pada tabel berikut:
Indikator
Netralitas Penjelasan Contoh
Sensasi (1) Pemilihan sisi peristiwa
yang paling tidak relevan,
yang mengandung permainan
emosi. Menjadikan sisi-sisi dari
peristiwa yang sebetulnya tidak
bernilai berita sebagai berita.
Pada sebuah peristiwa, ada
beragam sisi yang bisa diliput.
Berita yang sensasional adalah
berita yang meliput bagian
paling tidak relevan dari
peristiwa. Misalnya, alih-alih
memberitakan pro-kontra dari
kedatangan seorang politikus
dalam rangka kampanye, awak
redaksi menyorot bagaimana
keluarga si politikus selalu
menemani, bagaimana mereka
bercengkrama dengan rukun,
dan sebagainya. Gunter (1997)
menyebut ini sebagai
(1) (okezone.com, Sabtu, 5 April
2014, “Tiba di GBK, Hary
Tanoesoedibjo Salami Penderita
Difabel”) “Dengan
menggunakan kursi roda, pria
yang terbilang berusia lanjut itu
mengejar mobil WIN-HT.
Hingga akhirnya, Hary
menghentikan laju kendaraannya
sejenak untuk menyalami pria
yang mengaku bernama
Darmawan Nasution. Dalam
percakapan keduanya, tampak
Darmawan menggagumi
pasangan WIN-HT.”
(2) (Viva.co.id, Sabtu, 5 April
2014: “Usai Kampanye
Terakhir, ARB dan Wartawan
Buat Kenangan;
Ia berterima kasih kepada
43
“permainan emosi”. Ini seperti
berita infotainment yang diberi
label berita politik.
(2) Penggunaan bahasa secara
tidak wajar. Ada penggunaan
perumpamaan atau label,
penggunaan bahasa yang tidak
pada tempatnya, atau bahasa
tidak baku, dalam rangka
membuat lebih menarik bagi
pembaca. Berita-berita yang
sebenarnya menampilkan
kontroversi serius diselubungi
dengan bahasa-bahasa candaan,
dan kesannya menjadi lebih
menarik sebagai hiburan.
(3) Judul tidak sesuai isi. Judul
merupakan bagian yang pertama
kali dilihat ketika membuka
berita portal, dan oleh karena itu,
segala macam praduga bisa
muncul seketika setelah melihat
judul. Akan tetapi, kadang-
kadang dalam rangka membuat
berita lebih menarik, judul
dibuat bombastis, namun isinya
sama sekali tidak
menggambarkan apa yang
wartawan yang meliputnya
selama kampanye”)
Usai kampanye terbuka pemilu
legisatif terakhir hari ini, 5 April
2014, Ketua Umum DPP Partai
Golkar Aburizal Bakrie (ARB)
melakukan kegiatan santai
bersama tim dan wartawan.
Berbagai kegiatan santai
dilakukan setelah melalui
kampanye yang melelahkan
siang harinya…Saat itu, tiba-tiba
Ketua DPP Partai Golkar Fuad
Hasan Masyhur melontarkan
sebuah pernyataan yang
membuat para wartawan
bersorak. ‘Kalau kita menang
nomor satu, semua wartawan
umroh,’ kata Fuad yang juga
pemilik biro haji dan umroh
Maktour ini.
‘Beneran ya Pak, catet ya,’ ujar
para wartawan.”
44
disebutkan pada judul.
Tabel 1.6. Definisi dan contoh sensasi
Berikut ini contoh berita sensasional:
Usai Kampanye Terakhir, ARB dan Wartawan Buat Kenangan
Ia berterima kasih kepada wartawan yang meliputnya selama kampanye.
Sabtu, 5 April 2014, 22:19 Maya Sofia
VIVAnews - Usai kampanye terbuka pemilu legisatif terakhir hari ini, 5 April 2014, Ketua
Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) melakukan kegiatan santai bersama tim
dan wartawan. Berbagai kegiatan santai dilakukan setelah melalui kampanye yang
melelahkan siang harinya.
ARB bersama pengurus partai, tim, dan para wartawan makan siang di sebuah hotel di dekat
lokasi kampanye. Musisi Maluku Zeth Lekatompessy tampak menghibur dengan beberapa
buah lagu diiringi piano.
Safar "KDI" yang selama ini jadi penyanyi di kampanye Golkar pun ikut unjuk kebolehan
menghibur dengan bermain piano. Maria, wartawan Metro TV tak mau kalah. Dia tampil
menghibur dengan bernyanyi diiringi piano Safar.
ARB dan rombongan tampak menikmati hiburan dari wartawan yang biasanya meliput dia.
Setelah Maria selesai bernyanyi dan rombongan akan kembali ke Jakarta, ARB dan wartawan
ingin membuat kenangan.
Kemudian ARB dan para wartawan yang selama ini meliput kampanye dan roadshow-nya
berfoto bersama. "Ayo kita berfoto untuk kenang-kenangan," kata ARB.
45
Selesai berfoto, ARB mengucapkan terima kasih pada wartawan yang selama ini ikut
berkeliling dan memberitakan kegiatanroadshow dan kampanyenya.
Saat itu, tiba-tiba Ketua DPP Partai Golkar Fuad Hasan Masyhur melontarkan sebuah
pernyataan yang membuat para wartawan bersorak. "Kalau kita menang nomor satu, semua
wartawan umroh," kata Fuad yang juga pemilik biro haji dan umroh Maktour ini.
"Beneran ya Pak, catet ya," ujar para wartawan.
Setelah itu, ARB dan para wartawan pun bergegas menuju Bandara Juanda untuk kembali ke
Jakarta.
Laporan: Dian Widiyanarko
Tiba di GBK, Hary Tanoesoedibjo Salami Penderita Difabel
Sabtu, 5 April 2014 - 14:25 wib | Arief Setyadi – Okezone
JAKARTA – Calon presiden dan calon wakil presiden dari Partai Hanura, Wiranto dan Hary
Tanoesoedibjo, akhirnya tiba di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Sabtu (5/4/2014),
untuk mengikuti Kenduri Partai Hanura yang bertajuk Gebyar Hanura Merakyat.
Saat tiba sekira pukul 14.00 WIB, pasangan dari partai bernomor urut 10 itu tampak kompak
berada dalam satu mobil Toyota Camry warna hitam bernomor polisi B 1251 SAH.
Dengan mengenakan kemeja putih berlogo Partai Hanura, keduanya sempat menebar senyum
ke sejumlah masyarakat yang telah menanti di GBK.
Di sela-sela kedatangannya, Hary sempat menyalami salah seorang warga penderita difabel.
Dengan menggunakan kursi roda, pria yang terbilang berusia lanjut itu mengejar mobil WIN-
HT.
46
Hingga akhirnya, Hary menghentikan laju kendaraannya sejenak untuk menyalami pria yang
mengaku bernama Darmawan Nasution. Dalam percakapan keduanya, tampak Darmawan
menggagumi pasangan WIN-HT.
"Doakan kami ya, Pak," ujar Hary kepada Darmawan.
Sementara itu, Darmawan mengaku sengaja datang ke acara Kenduri Hanura karena memang
mengagumi pasangan WIN-HT.
"Saya dari Jakarta Timur, mau ikut kampanye Hanura," pungkasnya.
Tabel 1.7. Contoh berita sensasional.
F.2. Informasi Umum Berita
Meskipun unit analisis serta tatacara pengukuran sudah ditetapkan pada
kerangka konsep, namun peneliti masih membutuhkan informasi di luar konsep untuk
menjadi acuan. Informasi ini berperan krusial bagi analisis, namun pada dasarnya
memang tidak memiliki fungsi pengukuran netralitas. Informasi umum ini antara lain
nada pemberitaan, subjek pemberitaan, dan porsi pemberitaan.
F.2.1. Nada Pemberitaan
Thomson (2008) mengemukakan bahwa masing-masing turunan dari
appraisal theory (afeksi, penghakiman, dan apresiasi) merupakan reaksi atas sikap
yang pasti dimuati nilai—yakni positif dan negatif. Nilai ini tentu saja juga akan
diperhitungkan dalam melihat netralitas. Sebetulnya, nilai ini melekat bersamaan
dengan identifikasi ada atau tidaknya evaluasi. Namun, untuk penelitian ini peneliti
menerapkan cara yang berbeda.
Ada satu hal yang didapati peneliti pada pengamatan awal. Muatan nilai, baik
positif maupun negatif, tidak selalu dikandung oleh berita yang mengandung evaluasi
47
dan sensasi. Pada berita yang netral pun bisa muncul muatan positif dan negatif. Dan
sebaliknya, meskipun berita memuat kata-kata evaluatif yang mengandung nilai
positif atau negatif, tidak selalu berpengaruh signifikan terhadap nada keseluruhan
berita. Selain itu, untuk melihat secara langsung kelekatan nilai pada kata-kata
evaluatif, akan melibatkan analisis yang sangat rumit.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati nada
pemberitaan secara terpisah, dengan melihat berita sebagai kesatuan unit, apakah
secara keseluruhan mendukung (positif) atau memojokkan (negatif) subjek yang
diberitakan. Dengan kata lain, yang diperhitungkan tidak hanya ada atau tidaknya
komentar tak berdasar awak redaksi yang sifatnya positif atau negatif, melainkan juga
berbagai pernyataan narasumber yang diikuti sebagai bagian dari penggambaran
fakta.
Berdasarkan alasan ini, untuk pengamatan atas nada atau muatan nilai pada
berita, berita yang netral pun tidak luput dari analisis. Adapun definisi operasional
nada pemberitaan bisa dilihat pada tabel berikut:
Unit Analisis Ukuran Penjelasan
Nada Pemberitaan. Positif Berita mengandung hal-hal positif
(bersifat mendukung/menguntungkan)
seperti sanjungan, pujian, dukungan, dan
lain-lain. Bisa berasal dari komentar
wartawan dan kutipan pernyataan
narasumber. Komentar dan pernyataan
tersebut akan dilihat secara keseluruhan
pada berita, apakah segala kata-kata yang
ada pada berita tersebut bisa membuat
kesan yang ditimbulkan positif.
Negatif Berita mengandung hal-hal negatif
48
(bersifat merugikan/memojokkan) seperti
hinaan, cercaan, tudingan, dan lain-lain.
Bisa berasal dari komentar wartawan dan
kutipan pernyataan narasumber.
Komentar dan pernyataan tersebut akan
dilihat secara keseluruhan pada berita,
apakah segala kata-kata yang ada pada
berita tersebut bisa membuat kesan yang
ditimbulkan positif.
Tabel 1.8. Definisi operasional nada berita.
Kemudian, penjelasan soal bagaimana nada pemberitaan dalam kaitannya dengan
berita yang netral (tidak mengandung evaluasi dan sensasi) maupun tidak netral
(mengandung evaluasi dan sensasi) bisa dilihat pada tabel berikut:
Netralitas Nada/Nilai/Sikap Penjelasan dan Contoh
Netral Positif/Negatif Berita tidak mengandung
evaluasi maupun sensasi.
Munculnya nilai positif atau
negatif pada berita disebabkan
semata-mata oleh komentar
narasumber. Jika komentar
narasumber yang dikutip
sifatnya positif bagi subjek yang
diberitakan, dan komentar
tersebut memenuhi berita, maka
berita menjadi positif. Contoh:
“….Prabowo menegaskan bahwa
49
mimpi yang ingin ia capai adalah
menjadikan bangsa Indonesia
kaya dan makmur. ‘Saya
bermimpi tak ada lagi orang
miskin di Indonesia,’ kata
Prabowo” (“Prabowo: Saya
Tidak Malu Jadi Tukang
Mimpi,” Tempo.co, Kamis, 3
April 2014). Sebagaimana
diamati peneliti, pada berita
tersebut awak redaksi hanya
semata-mata mengikuti apa yang
dikatakan narasumber. Pada
berita tersebut, Prabowo
tergambar positif. Dan karena
seluruh komentar positif tersebut
menjadi penentu alur berita,
maka dengan sendirinya berita
menjadi sepenuhnya positif,
meskipun tidak ada evaluasi dan
tidak sensasional. Hal yang sama
juga berlaku pada berita yang
mengandung nada negatif.
Tidak Netral Positif/Negatif Berita yang disusun sudah
mengandung komentar-komentar
tak berdasar (evaluatif) dan
pemilihan sisi peristiwa yang
bersifat “gosip” atau
50
mengandung dramatisasi
(sensasional). Keduanya
memang pada dasarnya
ditujukan untuk
menguntungkan/mendukung
(positif) maupun
merugikan/memojokkan
(negatif) subjek pemberitaan.
Contoh: “…Setelah itu, untuk
meningkatkan rasa solidaritas,
hadir di atas panggung enam
pemuka agama. Mereka
menyampaikan doa agar
Hanura meraih kemenangan
pada Pemilu 2014. Selain itu,
para kader dan simpatisan juga
terlihat ikut berdoa bersama
enam pemuka agama. Doa para
pemuka agama juga berisi agar
tak hanya menang dalam Pemilu
Legislatif, tetapi capres dan
cawapres Hanura yakni Win -
HT juga berhasil merebut kursi
RI 1 dan 2” (“WIN-HT Ajak
Simpatisan Doakan Para
Pahlawan”, di okezone.com,
Sabtu, 5 maret 2014). Pada
berita tersebut jelas terlihat
51
bahwa ada unsur evaluatif, yang
juga sensasional, dan
mengandung sikap mendukung
subjek yang diberitakan. Hal
yang sama juga berlaku pada
pemberitaan negatif.
Tabel 1.9. Nada pemberitaan pada berita yang netral dan tidak netral.
Berdasarkan penjelasan di atas, untuk mengidentifikasi muatan nilai pada
berita yang tidak netral, peneliti akan menyilangkan (crosstab) hasil identifikasi
netralitas dengan analisis nada pemberitaan. Dengan cara ini, peneliti bisa
menghasilkan dua keuntungan: pertama, melihat secara keseluruhan nada
pemberitaan masing-masing media terhadap partai politik, dan kedua, mengetahui
mana berita netral yang mengandung nilai positif/negatif dan mana berita tidak tidak
netral yang mengandung nilai positif/negatif. Melalui ukuran ini, peneliti berharap
analisis yang disajikan menjadi lebih menyeluruh.
F.2.2. Subjek Pemberitaan
Dalam penelitian ini, netralitas berita akan dikaitkan dengan siapa yang
diberitakan. Hal ini merupakan perwujudan dari niat awal peneliti, yakni melihat
apakah terdapat perbedaan perlakuan oleh media terhadap setiap partai. Niat peneliti
didasari oleh riset-riset sebelumnya yang menyebutkan bahwa kepemilikan media
berhubungan dengan performa pemberitaan. Penelitian ini bukan ditujukan untuk
melihat kembali hubungan tersebut, melainkan hanya mendeskripsikan, apakah bukti
yang diperoleh peneliti menunjukkan gejala yang sejalan.
Pihak yang diberitakan, dalam penelitian ini, didefinisikan sebagai partai
mana yang menjadi sasaran pemberitaan. Karena topik yang dipilih adalah
pemberitaan kampanye terbuka, maka peristiwa yang diberitakan bersumber dari
52
kampanye terbuka salah satu partai. Oleh sebab itu, peneliti merangkum semua pihak
dan peristiwa yang diliput terkait kampanye terbuka.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin melihat bagaimana
netralitas pemberitaan mengenai kampanye terbuka di media-media yang dipilih.
Oleh karena itu, peneliti membagi “siapa” yang diberitakan berdasarkan semua
peserta yang mengikuti Pemilu 2014, yakni: Partai Hanura, Partai Golkar, Partai
Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
F.2.3. Porsi Pemberitaan
Porsi pemberitaan dalam hal ini merupakan jumlah berita, dalam kategori
apapun. Peneliti akan mengawali analisis dari melihat jumlah berita kampanye
terbuka masing-masing portal, untuk kemudian memetakan kecenderungan masing-
masing portal. Porsi pemberitaan merupakan informasi yang sangat penting dalam
penelitian ini, sebagai salah satu patokan analisis.
F.3. Skor Netralitas
Meskipun sifatnya deskriptif, namun penelitian ini juga memiliki tujuan
pembandingan—yakni antara keluaran berita dari portal berita online milik politikus
dan non-politikus. Jika pembandingan yang dilakukan hanya tergantung pada netral
atau tidaknya berita, analisis menjadi kurang bermakna. Oleh karena itu, diperlukan
adanya ukuran lain yang mampu memperkaya gambaran perbedaan masing-masing
media. Untuk perbandingan tersebut, peneliti menetapkan satu instrumen, yakni skor
netralitas.
Untuk pengukuran skor netralitas bagi masing-masing media, peneliti
memadukan ada atau tidaknya evaluasi (yang diterapkan identifikasinya pada struktur
berita) dan sensasional atau tidaknya berita. Peneliti menetapkan skor dari 1 sampai
53
10, dengan melihat kemungkinan adanya evaluasi dan sensasi pada berita yang
dianalisis. Penjelasan soal pengukuran ini bisa dilihat pada tabel berikut:
Skor Ukuran Penjelasan
1
Tidak ada satupun evaluasi tampak
pada masing-masing bagian (atau
struktur) berita, dan berita tidak
sensasional.
Berita seperti ini sangat
netral, karena tidak
menampakkan evaluasi
maupun sensasi sama
sekali. Skor 1`adalah skor
terbaik bagi berita yang
dianalisis, atau dengan
kata lain, berita netral.
2
Ada evaluasi pada satu bagian berita
(headline, lead, body, atau leg) namun
berita tidak sensasional.
Berita ini dapat disebut
tidak netral, namun tidak
terlalu, mengingat
ketidaknetralan hanya
mengisi sebagian kecil
berita.
3 Ada evaluasi pada dua bagian berita,
namun berita tidak sensasional.
Berita mulai diisi
separuhnya oleh evaluasi,
namun masih tidak
sensasional. Oleh karena
itu, belum akut.
4 Ada evaluasi pada tiga bagian berita,
namun berita tidak sensasional.
Tiga perempat berita diisi
oleh evaluasi, namun
berita tidak sensasional.
Evaluasi dominan dalam
berita.
54
5
Ada evaluasi pada seluruh bagian
berita (headline, lead, body, dan leg),
namun berita tidak sensasional.
Berita sudah dipenuhi oleh
afeksi, penghakiman,
maupun apresiasi tanpa
dasar, namun masih
relevan dalam hal
pemilihan sisi peristiwa
(tidak sensasional).
6
Tidak ada evaluasi pada masing-
masing bagian berita, namun berita
sensasional.
Dalam penelitian ini,
adanya evaluasi pada
keseluruhan berita masih
lebih netral daripada jika
beritanya sensasional.
Alasannya, jika evaluasi
masih menyangkut cara
penyampaian, sensasi
sudah menyangkut
pemilihan peristiwa.
Dalam hal ini, kadang-
kadang dalam pemberitaan
awak redaksi sama sekali
tidak melibatkan opini
pribadi dalam peliputan
(komentarnya selalu
diikuti fakta), namun
peristiwa yang dipilihnya
itu sendiri yang
bermasalah.
7 Satu bagian dari berita evaluatif, dan Mulai ada evaluasi pada
55
berita sensasional. penulisan berita yang
sifatnya sensasional.
8 Dua bagian dari berita evaluatif, dan
berita sensasional.
Separuh berita sensasional
dirasuki oleh evaluasi.
9 Tiga bagian dari berita evaluatif, dan
berita sensasional.
Evaluasi dominan dalam
berita, dan sensasional.
10 Seluruh bagian dari berita evaluatif,
dan berita sensasional.
Berita tidak netral akut.
Berita seluruhnya
mengandung evaluasi, dan
mengandung dramatisasi
fakta, atau sensasional.
Berita dengan
kecenderungan seperti ini
adalah yang paling jauh
jaraknya dari netral.
Tabel 1.10. Skor beserta penjelasan untuk mengukur netralitas.
Berdasarkan pengukuran dengan aturan di atas, peneliti akan melihat
netralitas dari media yang menjadi objek analisis. Media yang netral
direpresentasikan oleh skor 1, dan ketika skor lebih dari satu, meskipun sedikit,
media sudah bisa disebut tidak netral. Skor yang dilihat peneliti adalah seberapa
banyak media menjauhi skor 1; semakin jauh, maka ketidaknetralan semakin akut.
Untuk melihat skor media yang dianalisis, peneliti akan menerapkan hasil rata-rata
(mean) keseluruhan berita, dengan pembagian berdasarkan portal berita yang
memuatnya.
56
G. Objek Penelitian: Pemberitaan Kampanye Terbuka di Portal Berita Online
Milik Kandidat pada 22 Maret sampai 5 April 2014
Sebagaimana dijelaskan di awal kerangka pemikiran, peneliti meletakkan
fokus pada interaksi antara media massa dan partai politik. Interaksi ini tampak pada
pseudo-event, terutama yang berhubungan dengan kampanye politik. Peneliti memilih
portal berita online sebagai objek, karena selain bentuknya yang baru sebagai media
jurnalistik, kini ia semakin mudah dijangkau—seiring berkembangnya jumlah
pengguna internet. Namun, disebabkan pandangan peneliti bahwa terdapat perbedaan
karakteristik antara portal berita online dengan jenis media massa lain, peneliti
membatasi populasi pada semua pemberitaan politik terkait Pemilu 2014 di portal
berita online saja. Peneliti berharap setidaknya penelitian ini dapat menjadi gambaran
kecenderungan sekaligus pendorong untuk penelitian jenis-jenis media lainnya. Objek
yang dipilih adalah pemberitaan kampanye terbuka di viva.co.id dan okezone.com
(milik Aburizal Bakrie dan Hary Tanoesoedibjo) serta tempo.co, dan kompas.com
(Yayasan Tempo dan Jakob Oetama). Karena keterbatasan kemampuan, peneliti
hanya memilih waktu 14 hari dari keseluruhan 21 hari jadwal kampanye terbuka,
yakni tanggal 23 Maret sampai 5 April 2014. Namun demikian, 14 hari tersebut
dirasa peneliti sudah cukup representatif.
H. Metode Penelitian
Riset ini memilih analisis isi kuantitatif sebagai metode utama. Adapun tujuan
pemilihan metode ini adalah untuk menjawab poin “what”, “to whom”, dan “how”
dari suatu proses komunikasi (Holsti, 1969, dalam Eriyanto, 2011). Secara khusus,
pemilihan metode ini sejalan dengan salah satu motif yang dikemukakan McQuail
(2010), yaitu “mendeskripsikan dan membandingkan keluaran (output) media
massa.” Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin membandingkan keluaran
media dalam bentuk berita, dengan dasar subjek yang diberitakan.
Ada beberapa definisi yang menjadi dasar pengertian analisis isi kuantitatif.
Menurut Krippendorff (2006), analisis isi merupakan teknik penelitian untuk
57
membuat inferensi-inferensi yang dapat direplikasi sehingga menghasilkan data yang
sahih. Sebagai sebuah metode, ia menambahkan, analisis isi mampu menambah
pemahaman peneliti mengenai fenomena serta tindakan-tindakan, dimana semuanya
termaktub dalam bentuk pesan. Definisi ini menjadi lambang atas perkembangan
objek kajian akademis, dimana kini suatu gejala tidak hanya dapat disimpulkan dari
analisis atas reaksi nyata, melainkan juga pada pesan-pesan buatan manusia. Dan
kini, seiring perkembangan media pesan (dalam bentuknya yang bermacam-macam),
tidak bisa dibantah lagi bahwa analisis isi menemukan relevansinya, atau dengan kata
lain, telah menjadi baku.
Meskipun memadai, peneliti membutuhkan definisi yang lebih praktis
daripada gagasan Krippendorff di atas. Selain itu, peneliti memandang bahwa definisi
tersebut belum sepenuhnya mewakili metode yang digunakan untuk penelitian ini,
yakni analisis isi kuantitatif. Untuk itu, peneliti mengutip satu definisi analisis isi
kuantitatif sebagaimana dirumuskan Neuendorf (2002). Analisis isi, menurut
Neuendorf, adalah metode yang sistematis dan objektif untuk melihat kuantitas
karakteristik pesan. Sistematis dan objektif adalah dua kata yang mewakili penjelasan
awal bagian metode ini. Dengan metode ini, peneliti memperlakukan fenomena
secara objektif, melalui kategorisasi berdasarkan variabel-variabel yang diturunkan
dari teori, untuk kemudian menyusunnya secara sistematis.
H.1. Unit Analisis
Unit analisis untuk penelitian ini mencakup tiga hal (Krippendorf, 2004).
Pertama adalah unit sampel, atau objek penelitian yang akan didalami. Unit sampel
merupakan hasil dari proses penjaringan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang
sifatnya objektif. Biasanya unit sampel dipilih dengan motif mewakili suatu lingkup,
populasi, atau topik. Kedua, unit pencatatan, yang merupakan aspek isi yang menjadi
dasar pengumpulan data dan analisis. Isi yang dimaksud di sini adalah elemen-
elemen, unsur-unsur, atau bagian-bagian yang beragam dari pesan-pesan yang
dijadikan objek. Karena keberagaman tersebut, harus ada pendefinisian unit
58
pencatatan terlebih dahulu (Eriyanto, 2010). Terakhir, unit konteks, merupakan usaha
peneliti untuk memberi konteks, yang mana memberi warna atau makna khusus,
terhadap hasil analisis. Konteks di sini bisa dalam rupa sosial, politik, psikologi-
sosial, atau konteks-konteks lain, sesuai dengan disiplin yang mendasari penelitian.
H.1.1. Unit Sampel
Sampel untuk penelitian ini ditetapkan secara purposif. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, peneliti menetapkan semua pemberitaan pseudo-event politik
di media massa milik politisi sebagai populasi. Dengan dasar ini, peneliti menjadikan
pemberitaan kampanye terbuka di okezone.com sebagai sampel. Okezone.com adalah
portal berita online di bawah naungan Global Mediacomm/MNC, milik Hary
Tanoesoedibjo—kini calon wakil presiden pasangan Wiranto dari Partai Hanura.
Waktu yang dipilih disesuaikan dengan masa pelaksanaan kampanye terbuka Pemilu
2014, yakni pada 16 Maret sampai 5 April 2014. Pemberitaan kampanye terbuka
sendiri, adalah semua semua berita pada media dan tanggal tersebut yang
mengandung kata “kampanye terbuka”.
H.1.2. Unit Pencatatan
Unit pencatatan mencakup bagian-bagian atau aspek-aspek sumber pesan.
Sumber pesan dalam penelitian ini adalah sebagaimana dijelaskan di unit sampel,
yakni artikel di portal berita okezone.com bertemakan “kampanye terbuka” pada
tanggal 16 Maret sampai 5 April 2014. Unit-unit pencatatan pesan terdiri dari aspek
fisik, aspek sintaktis, aspek kategorial, aspek proposisional, dan aspek tematik. Unit-
unit pencatatan untuk penelitian ini antara lain unit fisik, sintaktis dan unit kategorial.
Pertama, unit fisik. Unit fisik adalah perhitungan ukuran aitem, waktu, dan
ruang suatu konten. Dalam penelitian ini, unit fisik berguna ketika pengukuran
variabel keberimbangan, dan mungkin sebagian variabel nada pemberitaan. Pada
variabel keberimbangan unit fisik berlaku ketika menghitung jumlah narasumber.
(Riffe, Lacy, & Fico, 2005).
59
Kedua, unit sintaksis. Unit ini berkaitan dengan posisi sebuah kata, kalimat,
dan sebagainya berdasarkan maknanya (Eriyanto, 2011). Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, pada variabel nada pemberitaan yang dilihat adalah maknanya, apakah
positif atau negatif. Unit fisik berlaku dalam pengukuran variabel ini.
Ketiga, unit referensial. Unit referensial merupakan unit pencatatan dimana
penggunaan nama, benda, tempat, atau lain-lainnya digunakan untuk mewakili pihak
yang diberitakan (Riffe, Lacy, & Fico, 2005). Unit referensial akan berlaku ketika
mengidentifikasi siapa yang sedang diberitakan. Unit ini juga berlaku untuk
mengidentifikasi nada konotasi yang digunakan.
H.1.3. Unit Konteks
Sebagaimana dijelaskan Krippendorff, analisis isi perlu menjadikan konteks
analisis yang mereka pilih eksplisit. Dengan demikian hasil analisis mereka akan jelas
bagi orang-orang yang memerlukannya (Krippendorff, 2004: 34). Konteks adalah
“lingkungan konseptual bagi teks”, atau dalam hal ini, merupakan latar yang
menjelaskan apa yang dilakukan oleh peneliti menyangkut karya yang dikerjakan.
Konteks adalah penjelas hubungan antara bidang dimana teks bisa ditarik
hubungannya dengan pertanyaan penelitian (Krippendorff, 2004).
Konteks yang menurut peneliti berlaku di dalam penelitian ini adalah
komunikasi politik (political communication). Konteks tersebut menurut peneliti
merupakan “wadah” bagi saling-silang interaksi antara media massa dan partai
politik. Konteks tersebut ditarik peneliti dari pemilihan teori serta fenomena yang
dianalisis, dimana literatur-literatur yang menjadi rujukan berasal dari studi tersebut.
H.2. Uji Validitas dan Reliabilitas
Untuk menjamin keandalan alat ukur, perlu dilakukan uji validitas dan
reliabilitas. Berikut ini penjelasan masing-masing pengujian alat ukur penelitian ini.
60
H.2.1. Uji Validitas
Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas muka.
Sebagaimana dikemukakan Eriyanto (2011), validitas muka adalah validitas paling
sederhana. Intinya, sebagaimana dikemukakan Neuendorf (2002), “what you see is
what you get.” Peneliti mempelajari beberapa literatur, melihat contoh-contoh, dan
melihat penelitian yang mengukur hal serupa. Setelah itu, peneliti mengadopsinya
untuk penelitian ini.
H.2.2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas yang digunakan untuk penelitian ini adalah prosentase
persetujuan. Reliabilitas dihitung dengan membagikan jumlah persetujuan
(agreement) dengan jumlah sampel kasus yang dihitung. Rumus uji reliabilitas model
prosentase persetujuan adalah sebagai berikut:
Dimana A adalah jumlah persetujuan antara dua orang koder sampel kasus, dan N
adalah jumlah sampel kasus. Angka reliabilitas bergerak dari angka 0 sampai 1,
dimana 0 menunjukkan reliabilitas rendah, dan 1 menunjukkan reliabilitas tinggi.
H.3. Teknik Analisis
Analisis pada penelitian ini menggunakan SPSS (Statistical Package for
Social Sciences). Karena sifatnya deskriptif, peneliti hanya perlu menjabarkan temuan
berdasarkan statistik deskriptif. Untuk penyusunan statistik deskriptif tersebut,
peneliti menggunakan tabulasi silang (cross tabulation) sebagai piranti utama.