BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

34
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat. Komunikasi sebagai sebuah proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku. Jumlah simbol- simbol yang dipertukarkan tentu tak bisa dihitung dan dikelompokkan secara spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan non verbal. Memahami komunikasi pun seolah tidak ada habisnya, mengingat komunikasi sebagai suatu proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia, salah satunya mengenai komunikasi antar budaya. Manusia hidup dalam sebuah komunitas yang mempunyai kebijakan tentang sesuatu yang mereka miliki bersama, dan komunikasi merupakan satu-satunya jalan untuk membentuk kebersamaan itu. Komunikasi, seperti kata Robert E Park (1996) adalah menciptakan atau membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti. Sebuah pengertian bersama diantara individu - individu sebagai anggota kelompok sosial akan mudah menghasilkan tidak hanya unit-unit sosial, tetapi juga unit-unit kultural atau kebudayaan dalam masyarakat. Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Budaya itu sendiri adalah sesuatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang dari generasi ke

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat.

Komunikasi sebagai sebuah proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal

antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku. Jumlah simbol-

simbol yang dipertukarkan tentu tak bisa dihitung dan dikelompokkan secara

spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan non verbal. Memahami

komunikasi pun seolah tidak ada habisnya, mengingat komunikasi sebagai suatu

proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia, salah satunya mengenai

komunikasi antar budaya.

Manusia hidup dalam sebuah komunitas yang mempunyai kebijakan tentang

sesuatu yang mereka miliki bersama, dan komunikasi merupakan satu-satunya

jalan untuk membentuk kebersamaan itu. Komunikasi, seperti kata Robert E Park

(1996) adalah menciptakan atau membuat segala kebimbangan menjadi lebih

pasti. Sebuah pengertian bersama diantara individu - individu sebagai anggota

kelompok sosial akan mudah menghasilkan tidak hanya unit-unit sosial, tetapi

juga unit-unit kultural atau kebudayaan dalam masyarakat.

Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua konsep yang

tidak dapat dipisahkan. Budaya itu sendiri adalah sesuatu cara hidup yang

berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang dari generasi ke

2

generasi. Komunikasi antar budaya adalah setiap proses pembagian informasi,

gagasan, atau perasaan diantara mereka yang berbeda latar belakang budayanya.

Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui

bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atupun bantuan hal lain di sekitarnya

yang memperjelas pesan.

Kadangkala adanya perbedaan budaya mampu menimbulkan konflik antara

komunikator dengan komunikan karena makna (meaning) yang diperoleh

mengalami ketidakpastian. Seperti yang di ungkapkan oleh Gudykunst dan Kim

dalam Liliweri (2002:19) menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak saling

kenal selalu berusaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian melalui

peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Ketidakpastian tersebut bisa

dikurangi apabila komunikator dengan komunikan mampu melakukan proses

komunikasi yang efektif.

Selain itu, Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya pebedaan persepsi

dan kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Menurut Devito dalam

buku Mulyana (2001:168), persepsi adalah proses dimana kita menjadi sadar

akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita. Komunikasi apapun

bentuk dan konteksnya, selalu menampilkan perbedaan iklim antara komunikator

dengan komunikan. Karena ada perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada

umumnya komunikasi yang terjadi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang

menghubungkan individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda.

Dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi

3

antar budaya sering tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap norma-

norma budaya, pola-pola berpikir, struktur budaya, dan sistem budaya. Semakin

besar derajat pebedaan antar budaya, maka semakin besar kehilangan peluang

untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif.

Dalam sebuah pendekatan yang diperkenalkan oleh Ellingsworth dalam

Gundykuntst (1983), dia mengemukakan bahwa setiap individu dianugerahi

kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka setiap individu

memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus atau yang

tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai atau norma antarpribadi termasuk antar

budaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasikan

nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan antar pribadi, atau

nilai norma yang difungsional atau tidak mendukung hubungan antar pribadi.

Berbicara soal perbedaan budaya, Indonesia adalah salah satu negara

kepulauan, dimana dari setiap pulau mempunyai suatu kebudayaan yang menjadi

ciri khas dari pulau tersebut. Oleh karena itu, komunikasi antar budaya sering

terjadi pada masyarakat Indonesia. Terkait dengan Komunikasi antar budaya,

perkumpulan mahasiswa Sumbawa yang ada di malang adalah salah satu

organisasi yang dibuat untuk menjalin silaturahmi antara mahasiswa sumbawa

dengan mahasiswa sumbawa sendiri serta mahasiswa sumbawa dengan

mahasiswa dari daerah lain. Hal ini dilakukan karena mereka mempunyai latar

belakang kebudayaan yang berbeda-beda dan perbedaan tersebut sangat terlihat

4

jelas pada saat mahasiswa - mahasiswa tersebut saling berkomunikasi satu sama

lain.

Sebagai contoh mahasiswa Sumbawa dengan mahasiswa dari daerah lain.

Universitas Muhammadiyah Malang yang terletak di Jawa Timur mengakibatkan

sebagian besar mahasiswanya adalah berasal dari jawa, akan tetapi karena

kredibilitas UMM yang cukup bagus di seluruh Indonesia, maka mengakibatkan

banyak warga Sumbawa dan warga daerah lain ikut serta menuntut ilmu disana.

Karena setiap hari manusia tidak dapat untuk tidak berkomunikasi, sehingga

disini, sering terjadi komunikasi antara mahasiswa Sumbawa dengan mahasiswa

dari daerah lain, dan hal inilah yang membuat komunikasi antar budaya tidak

dapat dihindarkan oleh keduanya, dan tak jarang pula sering terjadi perbedaan

persepsi diantara mereka karena perbedaan budaya tersebut.

Dengan demikian maka sampailah pada dasar ilmu komunikasi, yaitu bahwa

apabila suatu message tidak mencapai efek yang diinginkan, maka yang bersalah

adalah pihak komunikator (Susanto, 1974 : 404). Berdasarkan hal-hal di atas,

penulis tertarik untuk mengkaji hal tersebut dengan penelitian. Bentuk penelitian

menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni perilaku komunikasi sangatlah

penting dalam menciptakan upaya adaptasi yang baik antara budaya-budaya yang

berbeda. Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengamati bagaimana proses

adaptasi budaya yang dilakukan oleh mahasiswa sumbawa terhadap budaya lain.

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat

dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana perilaku komunikasi antar budaya

mahasiswa sumbawa dalam upaya adaptasi budaya” ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perilaku komunikasi antar

budaya mahasiswa Sumbawa dalam upaya adaptasi budaya.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, dapat diungkapkan bahwa penelitian

ini memiliki kegunaan:

1. Manfaat Akademis

Memberikan konstribusi positif serta dapat menambah wawasan

pengetahuan dalam mengembangkan penelitian Ilmu Komunikasi,

khususnya dalam perilaku komunikasi dalam upaya adaptasi budaya

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang bermakna

dalam bentuk refrensi tentang perilaku komunikasi dalam adaptasi

budaya.

6

E. Kajian Pustaka

E.1 Komunikasi Antar Budaya

Budaya dan komunikasi mempunyai hubungan yang sangat erat. Orang

berkomunikasi sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Kapan, dengan siapa,

berapa banyak hal yang dikomunikasikan sangat bergantung pada budaya dari

orang-orang yang berinteraksi. Melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar

berkomunikasi. Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku

tersebut dipelajari dan diketahui; dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-

orang memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan

label-label yang dihasilkan budaya mereka (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 24).

Komunikasi antarbudaya tidak dapat terlepas dari faktor-faktor budaya yang

melekat pada diri individu. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya

bersifat kompleks, abstrak dan luas. Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta

buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti budi

atau akal. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan

dengan budi atau akal. Istilah “culture”berasal dari kata colere yang artinya

adalah mengolah atau mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian

mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata “colore”, kemudian berubah

menjadi culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk

mengolah dan mengubah alam (Soekamto, 1996: 188).

7

Komunikasi antar budaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri

antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar

belakang budaya (Liliweri, 2004: 9). Dalam rangka memahami kajian

komunikasi antar budaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu: Proses

komunikasi antar budaya sama seperti proses komunikasi lainnya, yakni suatu

proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis (Liliweri, 2004: 24).

Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan

berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula dapat dikatakan

bahwa interaksi antar budaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi

antar budaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antar

budaya akan tercapai bila bentuk-bentuk hubungan; 1. komunikasi antar budaya

dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara

komunikator dengan komunikan. 2. dalam komunikasi antar budaya terkandung

isi dan relasi antarpribadi 3. gaya personal mempengaruhi komunikasi

antarpribadi 4. Komunikasi antar budaya bertujuan mengurangi tingkat

ketidakpastian 5. komunikasi berpusat pada kebudayaan 6. efektivitas

antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antar budaya. Antarbudaya

menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk

memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan

memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat

kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi

dan mengurangi konflik.

8

Komunikasi antar budaya dalam konteks ini menunjuk kepada komunikasi

interpersonal, dengan sub-sub budayanya. Pihak-pihak yang terlibat dalam

komunikasi berasal dari kelompok-kelompok personal yang berbeda. Sub-sub

budaya ini menunjuk kepada kelompok masyarakat atau komunitas sosial, yang

menunjukkan pola-pola tingkah laku dengan ciri khas tertentu dan memadai

untuk dapat dibedakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang lain dalam

satu kesatuan budaya atau masyarakat.

Sebagai salah satu bidang studi dari ilmu komunikasi, komunikasi

antarbudaya mempunyai objek formal, yakni mempelajari komunikasi

antarpribadi yang dilakukan oleh seseorang komunikator sebagai produsen pesan

dari satu kebudayaan dengan konsumen pesan atau komunikan dari kebudayaan

lain. Komunikasi antarbudaya berkaitan dengan hubungan timbal balik antara

sifat-sifat yang terkandung dalam komunikasi, kebudayaan pada gilirannya

menghasilkan sifat-sifat komunikasi antarbudaya.

E.1.1 Model Komunikasi Antar Budaya

9

Model ini mengasumsikan dua orang yang sejajar dalam berkomunikasi,

masing-masing dari mereka sebagai pengirim sekaligus penerima, atau keduanya

sebagai penyandi (encoding) dan penyandi balik (decoding). Karena hal itulah,

kita dapat melihat bahwa pesan dari seseorang merupakan umpan balik untuk

yang lainnya. Pesan atau umpan balik diantara mereka diwakilkan oleh sebuah

garis dari sandi seseorang kepada sandi balik dari yang lainnya. Dua garis itu

menunjukan bahwa setiap orang dari kita itu berkomunikasi. Kita menyandi dan

menyandi balik pesan dalam satu waktu. Dengan kata lain, komunikasi bukanlah

hal yang statis, kita tidak akan menyandi sebuah pesan dan melakukan apapun

sampai kita mendapat umpan balik.

Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian dan penyandian balik terhadap

pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter‐filter

konseptual yang dikategorikan menjadi factor‐faktor kultur, sosiokultur dan

10

psikokultur yang nampak pada lingkaran dengan garis putus‐putus. Garis putus‐

putus itu sendiri menggambarkan bahwa ketiga factor ini saling berhubungan dan

mempengaruhi. Selain itu, kedua individu yang terlibat juga terletak dalam suatu

kotak dengan garis putus‐putus yang berarti mewakili pengaruh lingkaran. Hal

ini sekali lagi menggambarkan bahwa lingkaran tersebut bukanlah suatu sistem

tertutup. Pengaruh kultur dalam model ini meliputi penjelasan mengenai

kemiripan dan perbedaan budaya, misalnya pandangan dunia, bahasa, sikap kita

terhadap manusia (individualisme atau kolektivisme). Sebab ini

akanmempengaruhi perilaku komunikasi kita.

Model Gudykunst dan Kim sebenernya merupakan model komunikasi

antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya

berlainan, atau komunikasi dengan orang asing (stranger). Model komunikasi ini

pada dasarnya sesuai untuk komunikasi tatap muka, khususnya antara 2 orang.

Meskipun disebut model komunikasi antarbudaya atau model komunikasi dengan

orang asing, model komunikasi tersebut dapat merepresentasikan komunikasi

antara siapa saja, karena pada dasarnya tidak ada 2 orang yang mempunyai

budaya sosialbudaya dan psikobudaya yang persis sama.

E.2 Perilaku Komunikasi

Dalam proses komunikasi selalu ada yang namanya pengharapan

(expectation). Jika expectation menjadi lebih positif, maka ketidakpastian dan

11

kecemasan akan berkurang atau rendah (Gudykunst & Gueverro, 1990).

Pengharapan kita mempunyai konsekuensi yang sanagt besar dengan komunikasi

yang kita lakukan dengan orang lain

Misalkan saja, ketika kita sudah mengenal seseorang dengan baik maka kita

akan cenderung memiliki harapan dalam proses komunikasi kita. Semenjak

pertama kali bertemu dan berkenalan mungkin kita masih setengah ragu dengan

pengharapan kita, apakah akan sesuai dengan pengharapan kita atau tidak. Akan

tetapi setelah komunikasi antara kita dengan dia sudah berjalan lama dan kita

telah mengetahui karakternya, maka pengharapan kita terhadapnya akan

cenderung tinggi. Akan tetapi, jika dalam pertengahan jalan ternyata orang yang

kita kenal itu melakukan kesalahan pada diri kita dan menyebabkan kita sakit

hati, maka pengaharapan kita pada seseorang itu akan berkurang atau mungkin

bisa hilang dan tidak ada sama sekali.

Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain, perilaku

pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu.

Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar oleh yang bersangkutan.

Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar

tertentu berada dalam alam bawah sadar (Hersey& Blanch 2004), sedangkan

Rogers menyatakan bahwa perilaku komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari

individu atau kelompok di dalam menerima atau menyampaikan pesan yang

diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial,

12

kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan dengan media

massa, keaktifan mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal baru.

Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998), perilaku komunikasi

adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi

dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak

manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi

pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan

keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu.

Berdasarkan pada definisi perilaku yang telah diungkapkan sebelumnya,

perilaku komunikasi diartikan sebagai tindakan atau respon dalam lingkungan

dan situasi komunikasi yang ada, atau dengan kata lain perilaku komunikasi

adalah cara berfikir, berpengetahuan dan berwawasan, berperasaan dan bertindak

atau melakukan tindakan yang dianut seseorang, keluarga atau masyarakat dalam

mencari dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang ada di

dalam jaringan komunikasi masyarakat setempat (Hapsari 2007).

Berlo (1960) mendeskripsikan level komunikasi adalah mengukur derajat

kedalaman mencari dan menyampaikan informasi yang meliputi: (1) sekedar

bicara ringan, (2) saling ketergantungan (independen), (3) tenggang rasa

(empaty), (4) saling interaksi (interaktif). Berlo juga mengungkapkan bahwa

perilaku komunikasi seseorang dapat dilihat dari kebiasaan berkomunikasi.

Berdasarkan definisi perilaku komunikasi, maka hal-hal yang sebaiknya perlu

dipertimbangkan adalah bahwa seseorang akan melakukan komunikasi sesuai

13

dengan kebutuhannya. Halim (1992) mengungkapkan bahwa komunikasi,

kognisi, sikap, dan perilaku dapat dijelaskan secara lebih baik melalui

pendekatan situasional, khususnya mengenai kapan dan bagaimana orang

berkomunkasi tentang masalah tertentu.

E.3 Adaptasi

Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat

belajar. Apa yang kita pelajaripada umumnya dipengaruhi oleh kekuata –

kekuatan sosial budaya. Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi

merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita belajar banyak hal

lewat respon- respon komunikasi terhadap rangsangan lingkungan. Kita harus

menyandi dan menyandi balik pesan – pesan sehingga pesan – pesan tersebut

akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu – individu yang berinteraksi

dengan kita. Kegiatan – kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk

menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita (Mulyana dan Rakhmat, 2005:137).

Ellingsworth dalam dykunst (1983), mengemukakan bahwa setiap individu

dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka

setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang

harus atau yang tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai dan norma antarpribadi

termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk

mengadaptasikan nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan

14

antarpribadi. Atau nilai dan norma yang disfungsionalkan atau tidak mendukung

hubungan antarpribadi.

Dalam realitas komunikasi antarbudaya, pendekatan adaptasi selalu

digunakan dalam komunikasi antarbudaya di negara – negara berkembang.

Jawaban atas beberapa pertanyaaan yang menentukan proses adaptasi nilai dan

norma antarpribadi; (1) bagaimana individu mengadakan musyawarah untuk

menerima kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga; (2)

bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal maupun

nonverbal masyarakat tuan rumah?

Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep

mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu

kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing

dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun

diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya

kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 248). Di dalam ilmu

sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur

kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut

namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak.

Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi

terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat

pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-

pola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun memperoleh pola-

15

pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan mengatur dirinya

untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain dan itu

dilakukan lewat komunikasi. Proses selama akulturasi sering mengecewakan dan

menyakitkan. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda dengan

bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya meliputi

masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan dalam penggunaan

dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan

tubuh lainnya dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal. Oleh

karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan

berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang

imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru (Mulyana dan Rakhmat,

2005: 137-140).

Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat

dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi

terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam

perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika

seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha untuk dan mengharapkan

berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem komunikasi terbuka,

seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui tiga proses yang saling

berhubungan, yakni komunikasi persona, komunikasi sosial dan lingkungan

komunikasi.

16

1. komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada proses mental

yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan

dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara

melihat, mendengar, memahami dan merespons lingkungan. Salah satu

variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah

kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan

pribumi. Faktor yang erat berhubungan dengan kompleksitas kognitif

adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan sistem-sistem

komunikasi pribumi. Bukti empiris yang memadai menunjang fungsi

penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang bahasa

dalam memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Suatu variabel

persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image) imigran

yang berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya.

Selain itu, motivasi akulturasi seorang imigran juga dapat

memudahkan proses akulturasi. Motivasi akulturasi mengacu kepada

kemauan imigran untuk belajar tentang, berpartisipasi dalam dan

diarahkan menuju sistem sosio-budaya pribumi.

2. komunikasi sosial. Komunikasi sosial ditandai ketika individu-individu

mengatur perasaan, pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang

lainnya. Komunikasi sosial dilakukan melalui komunikasi

antarpersona. Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati

17

melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona

dengan anggota masyarakat pribumi.

3. lingkungan komunikasi. Komunikasi persona dan komunikasi sosial

seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat

sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan

komunikasi masyarakat pribumi. Suatu kondisi lingkungan yang

sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah

adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat pengaruh

komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat

kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk

memelihara budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya. Lembaga-

lembaga etnik yang ada dapat mengatasi tekanan-tekanan situasi

antarbudaya dan memudahkan akulturasi (Mulyana dan Rakhmat,

2005: 141-144).

E.4 Budaya

Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan,

penggambaran (image), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemprosesan informasi

dan pengalihan pola – pola konvensi pikiran, perkataan dan perbuata/tindakan

yang dibagiakn diantara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial

dalam suatu masyarakat.

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal

budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,

18

nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep

alam semesta, objek – objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar

orang lain dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.

Budaya menampakan diri dalam pola – pola bahasa dan dalam bentuk –

bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model – model dan tindakan

– tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang –

orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu

pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.

Berdasarkan pemikiran tersebut, komunikasi antarbudaya merupakan

komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang

berbeda, bahkan dalam suatu bangsa sekalipun.

Dari beberapa defenisi yang telah diuraikan maka langkah selanjutnya

merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu pemikiran rasional yang

bersifat kritis dalam memperkirakan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi,

1991:40). Maka komponen penelitian yang akan diteliti adalah:

1. Komunikasi Antarbudaya

a) Pertukaran pesan antarbudaya yang mungkin terjadi baik pesan

verbal maupun non verbal

b) Komponen dari komponen komunikasi

Motivasi : hasrat kita untuk berkomunikasi secara tepat

dan efektif dengan orang lain.

19

Pengetahuan : kesadaran kita atau pemahaman kita akan apa

yang kita butuhkan untuk dilakukan agar komunikasi berjalan

secara efektif dan tepat.

Kemampuan : kemampuan kita dalam mengolah perilaku

yang perlu dalam berkomunikasi secara tepat dan efektif

(Gudykunst dan Kim 2003: 275)

c) Masalah potensial dalam komunikasi antarbudaya:

Pencarian kesamaan usaha untuk mencari orang yang memiliki

kesamaan budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu

kelompok.

Kecemasan: perasaan psikologis yang secara tiba-tiba

menghasilkan sebuah situasi baru yang kurang aman/nyaman.

Pengurangan ketidakpastian: usaha untuk mengurangi

ketidakpastian atau dengan berusaha memprediksi perilaku apa

yang akan dilakukan lawan bicara saat berinteraksi.

Culture Shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan

kehilangan tanda keluarga dan simbol dari pergaulan sosial,

gegar budaya terjadi ketika kita memasuki lingkungan baru

yang berbeda budaya.

2. Adaptasi Budaya

20

a) Bagaimana individu mengadakan musyawarah untuk menerima

kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga

b) Bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal

maupun non verbal masyarakat tuan rumah.

E.5 Adaptasi Budaya

Ellingsworth dalam dykunst (1983), mengemukakan bahwa setiap individu

dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka

setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang

harus atau yang tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai dan norma antarpribadi

termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk

mengadaptasikan nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan

antarpribadi. Atau nilai dan norma yang disfungsionalkan atau tidak mendukung

hubungan antarpribadi.

Dalam realitas komunikasi antarbudaya, pendekatan adaptasi selalu

digunakan dalam komunikasi antarbudaya di negara – negara berkembang.

Jawaban atas beberapa pertanyaaan yang menentukan proses adaptasi nilai dan

norma antarpribadi; (1) bagaimana individu mengadakan musyawarah untuk

menerima kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga; (2)

bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal maupun

nonverbal masyarakat tuan rumah?

21

Adaptasi antarbudaya merupakan suatu proses panjang penyesuaian diri

untuk memperoleh „kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru.

Dalam “Intercultural Communication Theories”, Gudykunst (2002:183)

memaparkan bahwa teori adaptasi budaya termasuk ke dalam kelompok teori

akomodasi dan adaptasi. Salah satu teori yang dikemukakan dalam paparan itu

adalah teori adaptasi antarbudaya dari Ellingsworth.

Ellingsworth (1988: 271) mengemukakan, perilaku adaptasi dalam

interkultural diadik terkait antara lain dengan unsur adaptasi dalam gaya

komunikasi. Gaya adalah tingkah laku atau perilaku komunikasi. Menurut

Gudykunst dan Kim (1997:337), adaptasi dapat terjadi dalam dimensi kognitif.

Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian bahasa verbal dan nonverbal. Oleh

karena itu dapat dikatakan bahwa adaptasi dapat terjadi dalam dimensi

perseptual, kognitif, dan perilaku.

Teori yang berfokus pada akomodasi dan adaptasi lainnya dikemukakan

Gile. Teorinya disebut teori akomodasi komunikasi atau communication

accomodation theory (CAT). Teori ini bertolak dari teori akomodasi percakapan.

Menurut teori ini, pembicara menggunakan strategi linguistik untuk mencapai

persetujuan atau untuk menunjukkan perbedaan dalam interaksinya dengan orang

lain.

Adaptasi budaya merupakan sebuah proses yang berjalan secara alamiah dan

tidak dapat dihindari dimana seorang individu berusaha untuk mengetahui segala

sesuatu tentang budaya dan lingkungannya yang baru sekaligus memahaminya.

22

Le vine (1973) menyatakan bahwa budaya sebagai seperangkat aturan

terorganisasikan mengenai cara – cara yang dilakukan individu – individu dalam

masyarakat berkomunikasi satu sama lain dan cara mereka berfikir tentang diri

mereka dan lingkungan mereka.

Akulturasi merupakan sebuah proses yang dilakukan manusia untuk

menyesuaikan diri dan pada akhirnya akan mengarah kepada asimilasi. Asimilasi

merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi.

Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seseorang. Akulturasi terjadi

melalui identifikasi dan internalisasi lambang – lambang masyarakat yang

signifikan. Seseorng akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui

dalam berhubungan dengan orang lain. Dan itu dilakukan lewat komunikasi.

Proses trial and eror selama akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan.

Namun, proses ini tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan mulus, bahkan

dapat membuat individu merasa terganggu karenanya. Budaya yang baru

biasanya dapat menimbulkan tekanan, karena memahami dan menerima nilai –

nilai budaya tersebut sangat berbeda dengan nilai – nilai budaya yang kita miliki.

Biasanya seseorang akan melalui beberapa tahap sampai dia akhirnya bisa

bertahan dan menerima budaya dan lingkungannya yang baru.

E.6 Culture Shock

Culture shock diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1958 untuk

menggambarkan kecemasan yang dihasilkan ketika seseorang pindah ke

23

lingkungan yang sama sekali baru. Istilah ini mengungkapkan kurangnya arah

perasaan tidak tahu harus berbuat apa atau bagaimana melakukan hal-hal di

lingkungan baru, dan tidak tahu apa yang cocok atau tidak. Rasa kejutan budaya

umumnya merasuk setelah beberapa minggu pertama datang ke tempat baru.

Kita dapat menggambarkan culture shock sebagai ketidaknyamanan fisik

dan emosional satu menderita ketika datang untuk hidup di daerah lain atau

tempat yang berbeda dari tempat asal. Seringkali, cara kita hidup sebelum tidak

diterima sebagai atau dianggap seperti biasa di tempat baru. Semuanya berbeda,

misalnya, tidak berbicara bahasa.

Perbedaan antara budaya lama dan baru menjadi jelas dan dapat

menimbulkan kecemasan. Bahwa perasaan senang akhirnya akan memberi jalan

kepada perasaan yang baru dan tidak menyenangkan dari frustrasi dan

kemarahan. Anda terus mengalami pertemuan yang tidak menguntungkan yang

menyerang anda sebagai aneh, ofensif, dan tidak dapat diterima. Ini reaksi

biasanya berpusat pada kendala bahasa yang hebat serta perbedaan mencolok

dalam: kebersihan publik, keselamatan lalu lintas, jenis dan kualitas makanan. Ini

periode yang sangat sulit bagi orang-orang yang perlu menyesuaikan diri dengan

budaya baru, terutama bagi siswa yang belajar di daerah lain sendiri tanpa

keluarga. Pada periode ini, orang mungkin merasa bahwa gaya hidup mereka

benar-benar dipengaruhi. jam biologis mereka dalam kekacauan karena

perbedaan waktu, mereka tidak dapat bekerja dengan baik dan tidak bisa istirahat

dengan baik baik. Selain itu, mereka mungkin merasa sakit dan malas, mereka

24

mungkin mendapatkan apa-apa melakukan lelah tidak peduli betapa mudahnya.

Apa lagi, perubahan yang paling penting pada periode adalah komunikasi.

Orang-orang yang menyesuaikan suatu budaya baru akan merasa kesepian dan

rindu karena mereka harus terbiasa dengan lingkungan baru dan bertemu orang

dengan siapa mereka tidak terbiasa setiap hari. Mereka tidak pandai bahasa asing

sehingga sulit untuk terlibat dalam sebuah hubungan sosial yang baru. Mereka

harus berpikir masak-masak sebelum mereka berbicara untuk menghindari

kecerobohan linguistik, dan mereka juga harus mendengarkan dengan cermat

setiap kata yang dikatakan orang lain untuk memahami dengan benar. Oleh

karena itu, sebagian besar mahasiswa pendatang di jawa khususnya mahasiswa

sumbawa di UMM merasa cemas dan memiliki tekanan yang lebih tinggi dalam

mengatur budaya baru.

Konsep culture shock menurut Furinham dan bochuner adalah ketika

seseorang tidak mengenal kebiasaan – kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika

ia mengenalnya maka ia sudah dapat atau tidak bersedia menyampaikan perilaku

yang sesuai dengan aturan tersebut. Definisi ini menyebutkan bahwa culture

shock adalah gangguan yang sangat kuat rutinitas, ego, dan self image individu.

Dengan demikian terjadinya culture shock biasanya dipicu oleh salah satu

atau lebih dari tiga penyebab berikut:

1. Kehilangan cues atau tanda – tanda yang dikenal. Padahal cues adalah

bagian dari kehidupan sehari – hari seperti tanda – tanda, gerakan

bagian – bagian tubuh, ekspresi wajah ataupun kebiasaan – kebiasaan

25

yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya

bertindak dalam situasi tertentu.

2. Putusnya komunikasi antarpribadi baik pada tingkat yang disadari yang

mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah

penyebut jelas dari gangguan ini.

3. Krisis identitas, dengan pergi keluar negeri seseorang akan kembali

mengevaluasi gambaran tentang dirinya.

F. Metode Penelitian

F.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif,

yakni adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada

metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.

Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9, dalam Moleong

2002:3) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam

ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan

pada manusia dalam kawasannya sendiri berhubungan dengan orang – orang

tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.

F.2 Tipe dan Dasar Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang

menggunakan laporan yang berisi kutipan data untuk memberi gambaran

26

penyajian laporan. Data yang dikumpulkan adalah berupa kata – kata, gambaran.

Hal ini disebabkan dengan adanya penerapan metode kualitatif

(Moleong,1989:11)

Menurut bogdan dan Biklen (Emzir, 2010:31), dengan data yang mencakup

transkrip wawancara, catatan lapangan, fotografi, video tape, dokumen, memo,

dan rekaman. Dalam pencarian mereka untuk pemahaman, peneliti kualitatif

tidak mereduksi halaman demi halaman dari narasi dan data lain. Mencoba

menganalisis data dan sedekat mungkin dengan bentuk rekaman dan transkrip.

Dasar penelitian yang digunakan adalah dasar naturalistik, dimana penelitian

kualitatif memiliki latar aktual sebagai sumber langsung dan data peneliti

merupakan instrumen kunci. Peneliti masuk untuk mempelajari proses adaptasi

budaya yang terjadi pada mahasiswa di organisasi mahasiswa sumbawa yang

tergabung dalam SPMS-M. Selain naturalistik, juga menggunakan pendekatan

yang hanya lebih berurusan dengan proses. Jadi peneliti lebih berkonsentrasi

pada proses daripada hasil dikarenakan peranan proses yang sangat besar dalam

penelitian ini, membuat beberapa bagian yang diteliti menjadi jelas.

F.3 Fokus Penelitian

Spradley mengatakan bahwa fokus penelitian merupakan domain yang

terkait dari situasi sosial (Sugiyono 2010:208). Dalam sebuah penelitian

diperlukan adanya batasan masalah, yang kemudian disebut dengan fokus

27

penelitian. Fokus penelitian lebih didasarkan pada inti masalah yang akan

dipecahkan juga memperhatikan keterbatasan tenaga waktu dan dana.

Untuk menghindari penelitian yang terlalu luas maka penelitian ini di

fokuskan mengenai proses komunikasi mendasari proses akulturasi yang

dilakukan seorang imigran. Dalam hal ini mahasiswa sumbawa sebagai pelaku

komunikasi. Penelitian ini menganalisa bagaimana mahasiswa sumbawa

beradaptasi terhadap wilayah baru yang mereka tempati, serta sejauh mana

kesadaran dan pengetahuan mereka dalam melakukan komunikasi dengan orang

asing.

Sasaran dari penelitian ini adalah mahasiswa sumbawa yang tergabung

dalam organisasi yakni SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa Sumbawa-

Malang) dan aktif dalam organisasi kampus.

F.4 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian tersebut akan

dilaksanakan untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan berkaitan

dengan masalah yang akan diteliti. Dengan demikian maka dipilih asrama

mahasiswa sumbawa yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Mahasiswa

Sumbawa – Malang (SPMS-M) yang beralamat di Jl. Bareng Tenis 4a Malang

sebagai lokasi penelitian dikarenakan tempatnya strategis di tengah – tengah kota

malang. Serta lokasi tersebut dapat dijangkau oleh mahasiswa dari berbagai

perguruan tinggi yang ada di kota malang.

28

F.5 Subyek Penelitian

Penetapan subyek dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan

data primer yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan teknik purposive sampling yakni peneliti memiliki pertimbangan

khusus dalam menentukan subyek untuk di wawancarai. Menurut Sugiyono

(2008:219) bahwa purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel

sumber data dengan pertimbangan tertentu. Adapun karakteristik subyek dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Mahasiswa sumbawa yang lahir dan besar di Sumbawa

2) Mahasiswa asli Sumbawa yang sudah berdomisili di Malang selama 1

tahun terakhir dan berinteraksi dengan mahsiswa dari daerah lain

3) Aktif dalam organisasi kemahasiswaan

Dari karateristik yang telah ditentukan, peneliti menetapkan delapan orang

subyek penelitian yaitu ketua SPMS-M, wakil ketua, ketua bidang pendidikan

dan anggota.

Berkaitan dengan judul penelitian, maka peneliti menetapkan mahasiswa

daerah lain sebagai informan penelitian. Penetapan informan penelitian dalam

penelitian ini untuk mendapatkan data sekunder sebagai kroscek dari data yang

didapatkan.

F.6 Teknik Pengumpulan Data

29

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Wawancara

Merupakan bentuk komunikasi dua orang, melibatkan seseorang yang

ingin memperoleh informasi dari orang lain dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2008

:180). Teknik wawancara dipilih jika peneliti menginginkan data berupa

cerita rinci dan bahasa hasil konstruksi dari para responden, misalnya

tentang pengetahuan, pengalaman, pandapatan atau pandangan hidup.

Peneliti memilih wawancara tidak struktur yakni wawancara yang

bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang

telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.

Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar

permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono,2008). Metode ini

bertujuan untuk memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua

responden. Wawancara tak struktur bersifat luwes, dengan sususnan

pertanyaan dapat diubah sesuai dengan kebutuhan sesuai kondisi pada

saat wawancara.. Adapaun alasan peneliti menggunakan teknik

wawancara diantaranya yaitu :

Peneliti dapat bertemu dan berhadapan langsung (face to face) dengan

informan.

30

Data yang diperoleh adalah data primer karena diperoleh langsung dari

subyek dan informan

Data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif dan cenderung

subyektif

Informan tidak terpaku pada pilihan jawaban yang disediakan oleh

peneliti. Informan akan lebih bebas menjabarkan atau menjelaskan

jawabannya.

Berdasarkan subyek penelitian dan informan yang telah ditentukan, dalam

penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada:

1. Ketua oraganisasi SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa

Sumbawa-Malang)

2. Wakil ketua SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa Sumbawa-

Malang)

3. Ketua Bidang Pendidikan SPMS-M (Solidaritas Perjuangan mahasiswa

Sumbawa-malang)

4. Anggota SPMS-M (Solidaritas Perjuangan Mahasiswa Sumbawa-

Malang)

5. Mahasiswa dari daerah lain

2) Observasi

Cartwright dan Cartwright (dalam Herdiansyah, 2010:131)

mendefinisikan sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati

31

serta merekam perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Alasan

peneliti menggunakan metode observasi, yakni :

Peneliti datang dan melihat secara langsung sehingga peneliti dapat

mengetahui dan merasakan secara lansung.

Untuk memastikan hasil data yang didapat dari wawancara

Data yang didapat melengkapi data yang tidak didapat melalui metode

lain.

3) Dokumentasi

Menurut Patton (dalam Emzir, 2010:66) merupakan bahan dan dokumen

tulis lainnya dari memorandum organisasi, klinis, atau catatan program dan

coinformance, publikasi dan laporan resmi, catatan harian pribadi, surat-surat,

karya-karya artistik, foto serta memorabilia dan tanggapan tertulis untuk

survey terbuka. Terkadang dokumen ini digunakan untuk mendukung data

hasil wawancara dan observasi.

Adapun alasan peneliti menggunakan teknik dokumentasi diantaranya

yaitu:

1. menguatkan data yang didapatkan dari teknik yang lain

2. membuktikan data dari hasil wawancara.

32

F.7 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan

data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.

Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2011:246), mengemukakan bahwa

aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan

berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.

Aktifitas dalam analisis data , yaitu data reduction, data display, dan

conclusion drawing/verification :

a) Data Reduction (Reduksi Data)

Semakin lama peneliti berada di lapangan, maka semakin banyak pula

data yang diperoleh. Maka diperlukan adanya pencatatan dan diperlukan

segera adanya analisis data dengan reduksi data. Menurut Sugiyono

(2008:247) mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.Dalam

mereduksi, peneliti dapat dibantu dengan menggunakan peralatan elektronik

seperti computer dan dengan memberikan kode-kode pada aspek-aspek

tertentu.

b) Data Display (penyajian data)

Setelah peneliti mereduksi data, langkah selanjutnya yang ditempuh

adalah mendisplay data. Peneliti akan menyajikan data dengan uraian

singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Miles dan

Huberman, (dalam Sugiyono, 2008:249) menyatakan “the most frequent

33

form of display data for qualitative research data in the past has been

narrative text”. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif.

Dengan menggunakan data display maka diharapkan peneliti akan

diberi kemudahan untuk memahami apa yang terjadi, dan merencanakan

kerja selanjutnya dengan melihat apa yang telah dipahami sebelumnya.

c) Conclusion Drawing/verification

Langkah selanjutnya setelah mereduksi data dan penyajian data,

langkah yang ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Kesimpulan pada penelitian kualitatif diharapkan dapat menjawab yang ada

di rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal ditambah dengan

bukti-bukti atau data-data yang telah ada.

Skema teknik analisis data (interactive model ) :

Sugiyono (2008:247)

Data

colection Data

Display

Data

Reduction Conclusions

drawing / verifying

34

F.8 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Agar mendapatkan hasil penelitian yang optimal dan dapat

dipertanggungjawabkan keabsahannya, maka perlu dilakukan uji keabsahan data.

Untuk melakukan uji tersebut diperlukan cara untuk mengukur keabsahan data

yang biasa dikenal dengan teknik keabsahan data.

Merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi

yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua

pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Untuk hasil

penelitian yang dapat dipercaya, terdapat dua teknik pemeriksaan keabsahan data

yang diajukan adalah :

a) Meningkatkan ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih

cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian

data dan urutan peristiwa dapat direkam secara praktis dan sistematis.

b) Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber merupakan pengujian kredibilitas data yang

diperoleh melalui beberapa sumber