BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bicara mengenai perfilman Indonesia, industri film di Indonesia selalu
berkaitan dengan modal besar atau perusahaan yang dibangun untuk kepentingan bisnis
layar lebar, bukan berangkat dari kepentingan komunitas.1 Jalur utama ini sangat
berkonotasi pada keuntungan dan dekat dengan penguasaan atau privatisasi media,2
hingga akhirnya muncullah ‘pemberontakan’ melalui film-film independen yang
diproduksi di luar jalur utama yang sudah ada dan memiliki perbedaan signifikan
dengannya, baik teknik, narasi, cerita ataupun biaya produksi. Mengenai bentuknya
terus mengalami perubahan seiring berkembangnya film di jalur utama dan
perkembangan pemikiran individu-individu di dalamnya.
Film independen ini umumnya diproduksi oleh komunitas film ataupun secara
individual. Pasca Orde Baru, gerakan komunitas film ini semakin berkembang akibat
regulasi penyiaran dan perfilman yang dahulu di bawah otoritas pemerintah Orde Baru
mulai dinegosiasi ulang. Semangat reformasi masuk ke dalam dunia film Indonesia dan
memberikan ruang untuk ekspresi serta kreativitas. Hal ini berujung pada munculnya
berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam
institusi, hingga hadirnya kelompok-kelompok anak muda pencinta film yang
membentuk komunitas film.
1 Ismail Basbeth, 2011, Kiprah Fourcolours Films dalam Gerakan Film Independen di Yogyakarta,
dalam Jurnal Komunikator Volume 3 Nomor 2 November 2011, hal 192. 2 Krishna Sen, 1994, Indonesian Cinema: Framing The New Order. London: Zed Books, hal 64.
2
Komunitas film merupakan entitas organisme film yang penting dalam konteks
perfilman Indonesia. Bahwasanya, budaya sinema di Indonesia banyak tersemai dalam
kegiatan-kegiatan komunitas dan terobosan-terobosan di akar rumput ini,3 bukan dari
jaringan film layar lebar. Komunitas film banyak bertumbuh di Indonesia, terutama
pada kota-kota yang cukup kuat dan kental perkembangan budaya serta pendidikannya,
seperti di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Malang, dan Denpasar.4 Komunitas-
komunitas film ini menjadi ruang alternatif dan dialog berbagai film sekaligus motor
penggerak utama perfilman pasca reformasi di kala lemahnya perfilman nasional.5
Ada berbagai macam komunitas film, mulai dari berbasis kampus atau
nonkampus, fokus pada produksi, distribusi, festival, hingga literasi.6 Komunitas yang
berfokus pada produksi bergerak pada pembuatan film, yang berfokus pada distribusi
bergerak pada penyebaran film-film kepada eksibitor, yang berfokus pada festival
bergerak pada pengelolaan festival film, dan yang berfokus pada literasi media
bergerak mengkaji, menganalisa, dan mengkritik film.
Di Yogyakarta, komunitas film disebut sebagai roh dari aktivitas perfilman di
kota ini.7 Menurut Yosep Anggi Noen dari Limaenam Films, perkembangan komunitas
film secara kuantitas dan kualitas di Yogyakarta cukup positif. Menurut Garin Nugroho
pada tahun 2013, jumlah komunitas film di Yogyakarta yang tercatat ada sekitar 60
komunitas film. Dan selain itu, ada beberapa karya anak Yogyakarta yang masuk dalam
festival film internasional seperti Berlinale dan Busan International Film Festival.8
3 Dikutip dari artikel karya Adrian Jonathan Pasaribu, Sejarah Perfilman Alternatif Indonesia, dilansir
dari laman Cinema Poetica http://cinemapoetica.com/ harian/esai/sejarah-alternatif-film-indonesia/,
diakses pada 19 Mei 2014, 4 Gotot Prakosa, 2006, Kamera Subjektif Rekaman Perjalanan: Dari Sinema Ngamen Ke Art Cinema,
Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Seni Visual Indonesia, hal 167. 5 Nugroho, Garin dan Dyna Herlina, 2013, Krisis dan Paradoks Film Indonesia, Jakarta: FFTV IKJ
Press, hal 361 dan 364. 6 Penggolongan ini dicetuskan dalam Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas tahun
2010 di Solo. 7 Pernyataan Garin Nugroho yang dikutip dalam artikel Yogya Membaca Asia, Kompas 1 Desember
2013. 8 Garin Nugroho, Yogya Membaca Asia, dilansir dari Harian Kompas 1 Desember 2013.
3
Sineas film indie di sejumlah komunitas kampus dan non kampus di Yogya masih dapat
menunjukkan produktivitas dan kreativitas yang menjadi inspirasi bagi komunitas film
di kota lain.9 Riri Riza pun menyebutkan bahwa basis-basis perfilman komunitas yang
cukup kuat masih di seputar Jakarta dan Yogyakarta.10
Komunitas film yang berfokus pada produksi film adalah yang paling marak
dan masif ditemui di Yogyakarta. Menjamurnya komunitas produksi ini salah satu
penyebabnya ialah hadirnya teknologi ysang semakin mudah dan terjangkau pun
menggaungkan sebuah pergeseran wacana dari penonton menjadi pembuat.11
Teknologi sudah semakin maju memberikan kemudahan pengoperasian kamera dan
peralatan film lainnya, di sisi lain juga berlangsung revolusi harga peralatan film seperti
kamera video dan perangkat editing, dari yang semula sangat mahal menjadi relatif
murah.12 Selain itu, cost production dan cost operation di Yogyakarta lebih rendah
dibandingkan kota-kota besar lainnya.13
Hal-hal tersebut memicu aktivitas produksi yang meningkat drastis di tingkat
komunitas.14 Pertanyaan yang patut dilontarkan bagi para komunitas yang
memproduksi film ini adalah, akan dibawa ke manakah film ini setelah selesai
diproduksi? Distribusi menjadi pertanyaan menarik, karena pada tatanan industri atau
mainstream pun tidak ada badan yang berlaku mandiri sebagai distributor dan
terjadilah distribusi film yang dimonopoli pihak eksibitor.15 Hadirnya monopoli
9 2011, Yogya Barometer Film Indie di Indonesia, dilansir dari laman
http://www.avikomjogja.com/2011/08/yogya-barometer-film-indie-di-indonesia.html, diakses pada 17
Januari 2014. 10 Bambang Supriyanto, 2013, Industri Perfilman: Cerah Prospek Film Berbasis Komunitas, dilansir
dari laman berita http://m.bisnis.com/showbiz/read/20130330/254/5686/industri-perfilman-cerah-
prospek-film-berbasis-komunitas 11 Agus Mediarta, 2007, Konfiden and The Promotion of Indonesian Short Films, Routledge Journal of
Inter-Asia Cultural Studies, Volume 8 No 2 2007, hal 308. 12 Adrian Jonathan Pasaribu, Op Cit. 13 Ivan Octovian, 2004, Fasilitas Industri Film di Yogyakarta, Skripsi Universitas Kristen Duta
Wacana, tidak terpublikasikan. 14 Adrian Jonathan Pasaribu, Op Cit. 15 Eric Sasono, Imanjaya dkk., 2011, Menjegal Perfilman Indonesia , Jakarta: Rumah Sinema dan
TIFA, hal 191.
4
bioskop tersebut memperparah keadaan karena berakibat pada bangkrutnya bioskop-
bioskop daerah, penjualan fisik VCD dan DVD pun kini sudah menurun.
Komunitas film di Yogyakarta pun tidak ada memposisikan diri sebagai
komunitas yang bergerak di bidang distribusi. Hal ini menyebabkan permasalahan yang
dihadapi komunitas film yang fokus pada produksi ini tidak lagi mengenai mengakali
anggaran produksi film yang minim, namun bagaimana film mereka bisa ditonton oleh
khalayak.16 Akses cukup menjadi hambatan bagi distribusi karya komunitas film ini.
Akses distribusi yang terbatas ini menjadikan film karya komunitas tersebut tidak bisa
tersosialisasikan kepada publik luas.
Minimnya eksibisi dan tidak ada lembaga yang melakukan distribusi,
menjadikan selama ini distribusi dilakukan oleh aksi-aksi individual para filmmaker
dari komunitas film.17 Bahkan, menurut Sasono dalam bukunya Menjegal Perfilman
Indonesia, filmmaker terpaksa menjadi ubercapitalist: harus berjuang sendirian demi
filmnya.18 Padahal, dalam tatanan perfilman yang ideal, tugas filmmaker hanya
membuat film. Distributor-lah yang memiliki peran memperbanyak film dan
melakukan advertising dan public relation kepada pihak eksibitor. Pada kenyataannya,
tidak ada regulasi pemerintah yang mengatur mengenai distribusi film sehingga
persoalan semacam ini terjadi.19
Pergulatan-pergulatan lokal ini belum terekam, padahal kontribusinya tidak
sedikit bagi perkembangan budaya sinema di Indonesia.20 Dalam setiap masanya, hadir
generasi muda perfilman yang memiliki pergulatan-pergulatannya sendiri. Menurut
Garin Nugroho dan Dyna Herlina, keindahan perfilman Indonesia terletak pada
16 Nugroho dan Herlina, Op. cit. 17 Meiske Taurisia, Box Office Vs Festival, http://filmindonesia.or.id/article/box-office-vs-
filmfestival#.U3Mbw4F_ti4, diakses pada 17 Mei 2014. 18 Eric Sasono, Imanjaya dkk, Op. cit. 19 Dara Bunga Rembulan, 2011, Kedudukan Ruang Bioskop sebagai Media Apresiasi Film, Jurnal Seni
Media Rekam Capture Volume 3 No. 1 Desember 2011, hal 28. 20 Adrian Jonathan Pasaribu, Op. cit.
5
percepatan pertumbuhan generasi baru. Setiap generasi bertumbuh dengan cara sendiri
dengan perspektif yang berbeda, lalu menghidupi dirinya di luar dari sistem yang
diciptakan pemerintah.21
Pergulatan lokal yang dialami para komunitas film di Yogyakarta dalam ranah
distribusi berkutat pada tidak adanya lembaga distribusi independen, kurangnya akses
distribusi yang diketahui, ketidakpahaman dan ketidaksiapan komunitas akan
distribusi, serta distribusi secara individual yang memiliki banyak kelemahan.
Kerumitan distribusi film, baik di tingkat struktural maupun karena keterbatasan
sumber daya filmmaker itu sendiri juga dihadapi komunitas Pabrik Film yang berbasis
di Yogyakarta.
Komunitas film yang berdiri sejak Oktober 2011 ini dikelola sepuluh anak
muda, beberapa masih menjadi mahasiswa dan beberapa sudah lulus dari kampus-
kampus Yogyakarta seperti UPN, Atma Jaya, Akindo hingga ISI Yogyakarta. Anggota
komunitas Pabrik Film menyepakati pemahaman bahwa yang menjadi permasalahan
utama dari film komunitas merupakan distribusi kepada audiens, sehingga mereka
mendefinisikan diri sebagai komunitas yang bisa mandiri: berproduksi,
mendistribusikan filmnya sendiri, dan juga melakukan eksibisi. Kala itu, program
distribusi dan eksibisi swadaya mereka ini dinamakan Bioskop Mandiri. Namun, pada
kenyataannya program Bioskop Mandiri ini gagal, baik secara finansial hingga
mendapat kecaman. Kasus ini cukup menarik karena ruang gerak komunitas film yang
sudah sempit pun semakin diperkecil dengan norma-norma tidak tertulis yang
mengkotak-kotakkan komunitas.
Pabrik Film dipilih sebagai objek penelitian karena beberapa alasan. Pertama,
Pabrik Film merupakan sebuah komunitas film yang masih kokoh bertahan di kota
Yogyakarta dimana saat ini banyak komunitas film lain di Yogyakarta yang
21 Nugroho dan Herlina, Op. cit, hal 313.
6
eksistensinya timbul dan tenggelam tanpa signifikansi yang jelas. Kedua, Pabrik Film
pernah melakukan suatu usaha distribusi film melalui program Bioskop Mandiri.
Ketiga, kasus distribusi Pabrik Film ini menarik, dan belum pernah dialami oleh
komunitas film lainnya di Yogyakarta.
Dalam penelitian ini, peneliti menilik bagaimana upaya distribusi film yang
selanjutnya dilakukan oleh komunitas Pabrik Film di Yogyakarta untuk menyebarkan
filmnya agar dapat ditonton oleh khalayak. Selain itu, peneliti juga bertujuan untuk
melihat alasan mengapa komunitas Pabrik Film mengambil cara tersebut untuk
mendistribusikan filmnya. Permasalahan-permasalahan yang timbul selama proses
pendistribusian film-film karya komunitas ini juga masuk dalam pengamatan peneliti
Tidak banyak penelitian yang mengkaji mengenai pergerakan komunitas film.
Dunia komunitas film di Indonesia belumlah jadi pusat perhatian, dan memang belum
dianggap memiliki arti yang besar dalam konteks pertumbuhan budaya film secara
nasional. Sesungguhnya ironis ketika pertumbuhan itu sendiri dipantau oleh lembaga-
lembaga yang lebih luas, seperti berbagai festival film, sinematek-sinematek, ataupun
sekolah dan kampus di luar negeri.22
Seni film, sama halnya dengan bentuk kesenian lainnya, memerlukan ruang
yang baik untuk diolah, dieksbisikan, dan dijadikan sebagai bagian dari dinamika
kebudayaan secara umum. Maka, seharusnya komunitas film mendapatkan
panggungnya yang tepat. Panggung ini digunakan untuk berkomunikasi multiarah yang
bermanfaat antara komunitas dengan lingkungannya. Sehingga, pada tatanan idealnya
nanti, komunitas film dan karya-karyanya akan terus tumbuh dan berkembang di
berbagai daerah di Indonesia dan mampu mendukung iklim yang lebih baik bagi
perfilman Indonesia.23
22 Prakosa,Gotot, 1997, Film Pinggiran, Jakarta: Penerbit FFTV-IKJ & YLP, hal 1-2. 23 Tomy Widiyanto Taslim, 2010, Komunitas dan Karya Film Pelajar di Indonesia, dilansir dari laman
http://www.thewindowofyogyakarta.com/mtjendela_dtl.php?par=MTE=&id=NjY=&orig=Y29udGVu
dC5waHA/a2F0PW10amUmcGFnZT0y, diakses pada 9 Januari 2014.
7
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang diungkapkan pada latar belakang masalah, maka
rumusan masalah yang muncul dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu primer dan
sekunder.
Primer:
- Bagaimana strategi distribusi yang dilakukan komunitas Pabrik Film
terhadap film yang mereka produksi pada tahun 2012-2014?
Sekunder:
- Komponen kunci apa saja yang mempengaruhi komunitas Pabrik Film
dalam mengambil langkah distribusi?
- Kendala distribusi apa saja yang dihadapi oleh komunitas Pabrik Film?
- Bagaimana komunitas Pabrik Film menanggulangi berbagai permasalahan
distribusi yang dihadapi?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi cara-cara distribusi yang dilakukan komunitas Pabrik
Film terhadap film yang mereka produksi.
2. Mengetahui komponen-komponen kunci apa saja yang mempengaruhi
komunitas Pabrik Film di Yogyakarta ini dalam mengambil langkah
distribusi.
3. Memetakan studi mengenai kendala-kendala distribusi yang dihadapi oleh
komunitas Pabrik Film.
4. Mengetahui bagaimana komunitas Pabrik Film menanggulangi berbagai
permasalahan distribusi yang dihadapi tersebut.
8
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk:
1. Sebagai penelitian tentang produsen film, penelitian ini dapat menambah
kajian mengenai komunitas di Yogyakarta, khususnya mengenai Pabrik
Film, dalam melakukan aktivitasnya. Bahwa masih banyak hal mengenai
penggiat film yang bisa diteliti dan didalami sebagai bahasan ilmu
komunikasi.
2. Sebagai penelitian ilmu komunikasi, penelitian mengenai komunitas film
ini dapat memperkaya tema penelitian tugas akhir skripsi mahasiswa
Jurusan Ilmu Komunikasi.
3. Bagi komunitas film, penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran
dalam mengembangkan komunitasnya.
E. KERANGKA PEMIKIRAN
E.1. Film Sebagai Media Seni dan Komunikasi Massa
Film muncul dengan berbagai pengaruh dari seni peran seperti: teater,
sandiwara, ketoprak, dan lain sebagainya. Namun Gerald Mast dalam A Short History
of the Movies menyebutkan bahwa: “Some film historians trace the origin of movies to
cave paintings, to Balinese shadow puppets, or to Plato’s mythic Case of the Shadows
in Book VII of The Republic.” 24
24 Gerald Mast & Bruce F. Kawin, 1996, A Short History to The Movies, New York: MacMillan, hal 9.
9
Dalam perkembangannya di era modern, lahir teori-teori modern yang
memandang film dari sudut praktik sosial dan komunikasi massa.25 Dalam praktik
sosial, film dipandang sebagai institusi sosial yang melibatkan interaksi antar
bagiannya yaitu: produksi, distribusi, dan eksibisi.26 Sedangkan pandangan film dalam
perspektif komunikasi massa sendiri sebenarnya berangkat dari bentuk film sebagai
mass entertainment, jauh sebelum film dikenal sebagai karya seni.27 Perspektif ini
kemudian memberi perhatian khusus pada film sebagai medium dalam proses
komunikasi (massa), yaitu bagaimana pesan-pesan yang ingin disampaikan filmmaker
melalui filmnya diterima oleh khalayak yang menjadi targetnya.
Film membentuk konstruksi masyarakat mengenai suatu hal, film juga
merupakan realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian
memproyeksikannya ke atas layar.28 Film telah berkembang menjadi sebuah bentuk
seni dan industri. Film adalah artefak budaya yang diciptakan budaya tertentu yang
mencerminkan budaya, yang pada gilirannya mempengaruhi mereka. Film dianggap
sebagai bentuk seni yang penting, menjadi sumber hiburan populer dan metode yang
kuat untuk mendidik atau mengindoktrinasi warga negara. Unsur-unsur visual dari film
memberikan gambar gerakan universal kekuatan komunikasi.
UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman memberikan definisi film dalam
konteks yang cukup menyeluruh. Disebutkan bahwa film sebagai karya seni budaya
memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan
kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena
itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman. Selain itu film sebagai media
komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan
potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta
25 Budi Irawanto, 1999, Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia,
Yogyakarta: Media Pressindo, hal 11. 26 Jill Nemes (editor), 1996, An Introduction to Film Studies, London: Routledge, hal 8-13. 27 Gerald Mast, Op. cit, hal 4. 28 Alex Sobur, 2009, Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia Bandung, hal 127.
10
wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman
Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi. Film dalam era globalisasi dapat
menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang
tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia. Dan bahwa upaya
memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam UU yang sama pada Bab 2 Pasal 4, film sebagai media massa memiliki
berbagai fungsi, yaitu: penerangan, pendidikan, pengembangan budaya bangsa,
hiburan, dan ekonomi. Film sebagai media massa dilihat dari 4 elemen tersebut dengan
penjelasan bahwa sebagai penerangan, film merupakan media yang bisa
mempromosikan nilai-nilai keragaman budaya dan kepribadian bangsa kepada
masyarakat internasional. Dalam fungsi pendidikan, disebutkan bahwa film merupakan
media yang mampu menjadi sarana pendidikan bagi khalayak melalui pesan-pesan di
dalamnya. Film juga sebagai media yang mampu memantapkan dan mengembangkan
nilai-nilai budaya bangsa melalui gambar dan pesan yang terdapat dalam film, hal ini
merupakan fungsi pengembangan budaya bangsa. Untuk fungsi hiburan, film menjadi
media yang mampu memberikan hiburan bagi masyarakat secara umum. Dan pada
fungsi ekonomi, bahwa perkembangan film sebagai sebuah industri berdampak pada
strata ekonomi dan sosial dalam masyarakat.
Film berpindah menembus jarak, jaringan, struktur, dan arus. Film tidak
berhenti atau terpatri pada satu titik, melainkan bergerak masuk ke dalam ruang dan
panel tertentu dan kemudian berpindah ke ruang lainnya.29 Karena film memiliki sifat
yang dinamis, sejatinya film tidak bisa hanya didiamkan begitu saja setelah selesai
melalui tahap produksi. Film membutuhkan audiens dan apresiasi untuk dapat
mempunyai efek, untuk dapat menyampaikan pesan.
29 Janet Harbord, 2002, Film Cultures, London: SAGE Publications, hal 5.
11
E.2. Film Independen
Film independen adalah salah satu hasil kreasi insan perfilman (sineas) dengan
menjunjung tinggi nilai apresiasi seni tanpa harus terjebak ke dalam suatu paradigma
sinema formal.30 Secara istilah, film independen baru muncul setelah reformasi, yang
mulai menjadi istilah marak setelah film Kuldesak (1998). Sebelumnya semangat
serupa sudah ada, namun dengan penamaan yang berbeda, yaitu film pendek atau film
mini.31 Kata 'indie'32 dalam proses produksi film bisa diartikulasikan dalam berbagai
konteks. Pertama, kata ini merujuk kepada proses produksi film yang didanai sendiri
tanpa ada bantuan dana dari pihak lain, sehingga dalam manajemen produksi terbebas
dari pengaruh pihak lain.
Kedua, kata ini merujuk kepada perlawanan terhadap label mayor, sebagaimana
yang sering dipahami dalam konteks musik indie di dunia Barat. Jika memang indie
merupakan oposisi biner, maka gagasan film indie adalah gagasan yang membela
kelompok subaltern dan subkultur yang selama ini terpinggirkan dari wacana dominan
dalam film-film mayor.33 Diperjelas lagi menurut Yannis Tzioumakis dalam bukunya,
American Independent Cinema, disebutkan bahwa:
“Independent filmmaking consists of low-budget projects made by (mostly)
young filmmakers with a strong personal vision away from the influence and
pressures of the few major conglomerates that control tightly the film industry.
As film critic Emmanuel Levy put it, ‘ideally, an indie is a fresh, low-budget
movie with a gritty style and offbeat subject matter that express the filmmaker’s
personal vision.’ An independent film is any film that has not been financed,
produced and/or distributed by a major entertainment conglomerate.”34
30 Ahmad M. Ramli dan Fathurahman, 2005, Film Independen (Dalam Perspektif Hukum Hak Cipta dan
Hukum Perfilman Indonesia), Bogor: Ghalia Indonesia, hal 4. 31 Gotot Prakosa, 2006, Op. cit, hal 45. 32 Istilah ‘indie’ merupakan kependekan dari istilah independen yang lazim digunakan di kalangan
sineas muda dan perkumpulan komunitas film. 33 Fajar Junaedi, 2009, Membaca Indonesia dari Film dan Sinema Indonesia, dalam buku Menelanjangi
Film Indonesia: Lingkar Media, hal 5. 34 Yanis Tzioumakis, 2005, American Independen Cinema: An Introduction, UK: Edinburgh
University Press, hal 1-2
12
Dari kedua penjelasan di atas, rangkuman antara keduanya dapat dilihat bahwa
konsep independen dalam film independen merupakan gerakan oposisi yang keras
untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor. Dalam sektor
teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm)
melawan profesional (35mm). Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi
atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang
terorganisir secara massal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi
orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual.
Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film
melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, independen bergerak dari
eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan
kecenderungan umum.35
Secara formal, di Indonesia film indie tidak pernah mendapatkan tempat baik
dalam regulasi yang dibuat pemerintah maupun dalam jalur distribusi yang normal.
Pada dasarnya film indie dibuat oleh para sineas muda yang kaya idealisme untuk
belajar memproduksi film tapi tidak didukung oleh kapital yang memadai apalagi
teknologi. Film-film yang dibuat secara independen ini dikelola secara mandiri dan
lepas dari konteks mainstream dari segala aspek seperti sisi produksi, kreativitas
konvensi, maupun distribusi. Sedang secara teknis, film independen asosiatif dengan
film pendek, sarat idealisme, nonkomersial, dan biasanya berupa film-video. Cerita
yang ditawarkan dan pola konsumsinya pun sangat berbeda dengan film-film arus
utama. Pembuat-pembuat film independen ini juga dimudahkan dengan hadirnya
kamera digital handy-cam yang harga dan biaya operasionalnya jauh lebih murah
ketimbang kamera layar lebar (16-35mm). Karya mereka menjadi terpinggir karena
35 Dikutip dari Kemajemukan Karya Sinema Indonesia: Sebuah Cita-cita? Ditulis ulang oleh Alex
Sihar, www.konfiden.or.id
13
film yang diakui di Indonesia hanyalah yang bersifat komersial. Jadilah film indie
sebagai film alternatif di luar konteks perfilman.36
Sikap independensi dari para sineas film indie ini tidak hadir dengan sendirinya,
melainkan hadir dari kejemuan akan stagnansi tema perfilman Indonesia, dominasi film
impor di layar lebar, serta ketatnya regulasi bagi dunia perfilman. Hal ini berujung pada
keberanian untuk mendobrak realitas yang ada menuju harapan pada dunia perfilman
sesungguhnya dengan norma-norma yang terdapat pada sinema formal.37 Film indie
karya komunitas tidak pernah mendapatkan tempat, baik dalam regulasi yang dibuat
pemerintah maupun dalam jalur distribusi yang normal. Tidaklah mengherankan jika
kemudian film-film indie ini dianggap sebagai film pinggiran yang berjuang mencari
identitas dalam komunitas film yang sudah mapan.38 Padahal, film-film yang dianggap
pinggiran ini kerap kali mengharumkan nama bangsa dalam kancah festival
internasional, namun naasnya, tidak dianggap di negara sendiri.
Seringkali film indie dikonotasikan dengan film amatir. Padahal, film
independen bukanlah semata-mata film amatir. Ada perbedaan mendasar antara film
independen dan film amatir, bahwa secara analogis, film amatir merupakan sebuah
jenjang anak tangga menuju ke tingkat profesional. Sementara independen bukanlah
sebuah jenjang dan tidak berkorelasi terhadap apapun kecuali sikap independensi.39
Film indie di Indonesia muncul sebagai alat komunikasi suatu komunitas atau individu
untuk berekspresi. Faktor-faktor yang mendorong gairah pembuatan film-film indie di
Indonesia, sama dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yaitu tidak
tersedianya media untuk berekspresi.40
36 Novi Kurnia, Posisi dan Resistensi: Ekonomi Politik Perfilman Indonesia, 2008, Yogyakarta:
Penerbit Fisipol UGM, hal 87. 37 Fajar Junaedi, Ibid. 38 Novi Kurnia, Ibid. 39 Ahmad M. Ramli dan Fathurahman, Op. cit, hal 55. 40 Garin Nugroho, Berpikir Merdeka dan Berkarya Mandiri, dilansir dari Harian Kompas, Minggu, 9
Juni 2002.
14
E.3. Komunitas Film
Di dalam sosiologi, komunitas dapat diartikan sebagai kelompok orang yang
saling berinteraksi yang ada di lokasi tertentu. Namun, definisi ini terus berkembang
dan diperluas menjadi individu-individu yang memiliki kesamaan karakteristik tanpa
melihat lokasi atau tipe interaksinya.41 Konsep komunitas dipakai secara lebih luas
dimana untuk kesatuan hidup yang berada dalam satu wilayah tertentu disebut sebagai
‘community of places’, sedangkan hubungan yang diikat arena kesamaan kepentingan
namun tidak tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu (borderless) disebut dengan
‘community of interest’.
Komunitas dapat dibedakan atas berbagai pola, atas dasar ukuran (besar dan
kecil), atas dasar level (lokal, nasional, internasional), riil atau virtual, bersifat
kooperatif atau kompetitif, serta formal atau informal.42 Dalam kehidupan modern saat
ini, kelompok orang-orang yang memiliki kepentingan, membentuk suatu komunitas,
dan mengadakan aksi atau gerakan menuntut komunitas lain dalam memenuhi
keinginannya.
Faktor utama yang menyebabkan komunitas terbentuk yaitu karena adanya
interaksi yang lebih besar yang menyebabkan tumbuhnya rasa ketertarikan dan
keakraban yang menimbulkan kenyamanan bagi para anggotanya. Umumnya hal
tersebut tumbuh karena mereka memiliki kebiasaan-kebiasaan yang sama dan hal lain
yang serupa seperti hobi dan ketertarikan kepada sesuatu yang sama.
Komunitas pada hakikatnya merupakan pengalaman subjektif, yang tidak dapat
dilukiskan secara objektif.43 Komunitas juga sukar dipahami karena ia adalah kualitatif,
41 Jasmadi, 2008, Membangun Komunitas Online Praktis dan Gratis, Jakarta: Elex Media
Komputindo, hal 16. 42 Syahyuti, 2005, Pembangunan Pertanian dengan Pendekatan Komunitas : Kasus Rancangan
Program Prima Tani, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23 No. 2, Desember 2005 : 102 –
115, http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE23-2c.pdf, hal 103. 43 Jim Ife dan Frank Tesoriero, 2008, Community Development, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 198.
15
dalam artian komunitas ini selalu berkembang dan selalu dalam keadaan ‘sedang
menjadi’ (becoming). Komunitas dirasakan dan dialami, ketimbang diukur dan
dibatasi. Setiap komunitas memiliki konteks mereka sendiri yang berbeda-beda dari
satu yang lainnya, baik secara struktur, kelembagaan, maupun interaksi di dalamnya.
Konsep komunitas digunakan juga dalam khazanah film, dalam bentukan
komunitas film. Komunitas film adalah kumpulan orang yang mempunyai visi dan misi
serupa yang tergabung atau terwadahi dalam suatu organisasi tertentu yang bergerak
dalam hal perfilman independen. Mereka mulai membuat sebuah karya film
independen, menjalin jaringan, melakukan peningkatan SDM dan kemudian
memformulasikan diri menurut tujuan dan cara mereka sendiri.44 Pemahaman yang
sedang berlaku di masyarakat belakangan ini, komunitas film lebih diarahkan untuk
kelompok-kelompok penggiat film, khususnya kelompok penggiat film independen di
luar jalur industri, sedangkan yang berada di jalur industri lebih dikenal berada dalam
wadah yang disebut organisasi, asosiasi, atau perusahaan.
Komunitas kecil pecinta-pecinta film bermunculan dengan cepat di kota-kota
Pulau Jawa setelah FFVII (Festival Film Video Independen Indonesia) pertama
berlangsung pada 1999.45 Semenjak booming, komunitas film tampaknya menjadi
entitas tersendiri dalam wacana perfilman Indonesia. Ia ada namun dianggap tak ada;
menjadi semacam bayang-bayang dalam situasi yang juga sama gelapnya di level lain
seperti industri perfilman Indonesia itu sendiri.46 Menurut Katinka Van Heeren,
komunitas film merupakan:
44 Rizki Pria Perdana, 2011, Unsur Intrinsik Dan Variasi Genredalam Film Independen (Studi Analisis Isi
Kualitatif Terhadap Genre, Tema Dan Alur Cerita Pada Komunitas Film Independen di Surabaya),
Skripsi Universitas Brawijaya Malang, tidak dipublikasikan, hal 62. 45 Agus Mediarta, Permasalahan Mendasar Perfilman dan Komunitas Film, dilansir dari laman
http://perfilman.pnri.go.id/kliping_artikel/detail/260, diakses pada 16 Januari 2014. 46 Dimas Jayasrana, Awas Bahaya Laten Komunitas, dilansir dari laman
http://masyarakatfilmindonesia.com/2007/04/27/awas-bahaya-laten-komunitas/, diakses pada 17
Januari 2014.
16
“These communities consisted of amateur film-makers, the majority of them
students, who tried to produce films on a shoestring budget, borrowing money
and film equipment from friends and family. In these communities, there was
plenty of discussion about what independent film really meant.”47
Komunitas-komunitas film Indonesia yang tumbuh setelah Reformasi memiliki
kegiatan-kegiatan seperti menyelenggarakan festival film independen dengan diskusi,
lokakarya, dan buletin mereka sendiri. Ada pula diskusi mengenai film independen dan
makna dari film independen itu sendiri. Selain itu, hadir pula diskusi-diskusi lain yang
menekannya pentingnya menciptakan sistem distribusi dan eksibisi film yang kaya dan
kompetitif, yang bebas dari kepentingan bisnis dan kontrol pemerintah.48 Mayoritas
anggota komunitas film ini terdiri anak-anak muda di awal dua puluhan yang tidak
memiliki latar belakang yang nyata dalam pembuatan film. Film-film karya komunitas
ini umumnya sarat dengan isu kelokalan dan isu kehidupan sehari-hari. Karya mereka
dapat menangkap ketertarikan mereka akan suatu hal, rasa humor anak muda yang
menggelitik, bahkan mengungkapkan masalah kritik budaya, sosial, dan politik.
Komunitas-komunitas film ini pun kemudian mengkhususkan diri dalam fokus-
fokus tertentu. Ada yang berfokus pada produksi film independen, ada yang
mengkhususkan diri dalam eksibisi dan diskusi, bahkan ada yang berusaha
mengupayakan munculnya kegiatan distribusi. Hampir semua kegiatannya
berlangsung secara mandiri. Dalam Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis
Komunitas tahun 2010 yang diselenggarakan di Solo, komunitas film dipetakan
menjadi 5 fokus, antara lain komunitas film produksi, distribusi, eksibisi, literasi, dan
festival.49 Namun, hingga kini perbandingan antara komunitas yang berfokus satu dan
lainnya tidak pernah sebanding/seimbang.
47 Katinka Van Heeren, 2012, Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts From The
Past, Netherland: KITLV Press, hal 58. 48 Ibid, hal 55. 49 Dalam Notulensi Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas tahun 2010.
17
Komunitas film yang tersebar di seluruh Indonesia, juga dibedakan menjadi
dua, yaitu yang terdaftar dalam suatu badan pendidikan (sekolah atau universitas, yang
kemudian disebut komunitas film kampus) dan yang berdiri sendiri (yang biasa disebut
komunitas film non kampus).50 Komunitas berbasis kampus dapat dikatakan sebagai
komunitas yang paling mampu bertahan sampai sekarang. Ada beberapa sebab yaitu,
setiap tahunnya mereka melakukan regenerasi dalam struktur organisasinya, visi-misi
lebih jelas dan tertata karena merupakan salah satu bentuk dari Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM). Meskipun demikian ada juga kelemahannya yaitu, justru karena
selalu melakukan regenerasi tiap tahunnya itulah perkembangan komunitas kampus
berjalan lebih lambat jika dibandingkan dengan komunitas non kampus, selalu ada
orang-orang baru yang memulai belajar film, dan setelah rentang waktu satu tahun
mereka harus meninggalkan komunitasnya.
Komunitas film non-kampus merupakan komunitas yang berdiri di luar institusi
pendidikan, berdirinyapun karena inisiatif masing-masing orang yang tergabung dalam
kelompok tersebut. Kemunculan mereka sering timbul tenggelam dan sedikit sekali
yang mampu bertahan. Salah satu penyebab pasang surutnya komunitas film non-
kampus tidak terlepas dari masalah daya tahan sebuah komunitas itu sendiri, beberapa
masalah internal yang sering muncul diantaranya pertama, karena tidak memiliki
“ideologi” yang cukup kuat sebagai sebuah komunitas. Kedua, ketidakjelasan visi-misi
dalam menjalankan kegiatan karena pada umumnya masih berpegang pada
aktivisme. Ketiga, tuntutan kebutuhan hidup yang terus menerus mengikis komitmen
mereka untuk berkomunitas.
50 Jurnal Clea Edisi 11, Juli 2008, Kepingan Dunia Film Yogya, Yogyakarta: Rumah Sinema.
18
E.4. Distribusi Film
Secara umum, kata distribusi mengacu pada penyebaran materi atau informasi
di wilayah geografis atau periode temporal tertentu. Sebagai contoh, Oxford English
Dictionary mendefinisikan distribusi sebagai “action of dividing and dealing out or
bestowing in portions among a number of recipients”.51 Sebuah tindakan membagi,
menangani, atau melimpahkan sesuatu terhadap sejumlah penerima. Menurut David
Sin, distibusi film merupakan ‘missing link’ dalam kajian film.52
Lobato53 menggarisbawahi pentingnya distribusi film, bahwa ‘cinema matters
because it has social consequence’ dan untuk mencapai konsekuensi sosial tersebut,
film harus sampai kepada audiensnya –di sini lah pentingya distribusi film. Davin Sin
juga menyatakan hal serupa bahwa distribusi adalah ‘where completed films are
brought to life and connected with an audience’. Jaringan distribusi tidak hanya
mengantarkan konten kepada audiens, namun juga membentuk budaya film dengan
citra mereka sendiri melalui pengaturan akses penonton ke bioskop, menciptakan
permintaan produksi masa depan, dan menstrukturisasi kebiasaan serta selera
penonton.
Distribusi film adalah sebuah “seni yang tak tampak”.54 Disebut tidak tampak
karena kegiatan distribusi film ini seluruhnya berjalan di belakang layar, jauh dari hiruk
pikuk produksi dan sorotan publik di tahap eksibisi.55 Meskipun demikian, mekanisme
distribusi ini tetaplah merupakan salah satu unsur dari tiga unsur kegiatan ekonomi film
yang tak terpisahkan, yakni produksi-distribusi-konsumsi (eksibisi). Distribusi adalah
mengenai merilis dan mempertahankan film di pasar. Dalam praktek Hollywood dan
51 Oxford English Dictionary, 1989, online. 52 David Sin, Distribution: Introduction: What Is Distribution, dilansir dari laman
http://www.screenonline.org.uk/film/distribution/distribution1.html, diakses pada 17 Mei 2014. 53 Ramon Lobato, 2009, Subcinema: Mapping Informal Film Distribution, PhD Diss. University of
Melbourne: Melbourne, hal 3. 54 Eric Sasono, Op. cit, hal 191. 55 Ibid.
19
industri sinema besar lain, fase produksi, distribusi, dan eksibisi beroperasi paling
efektif ketika 'terintegrasi secara vertikal', di mana tiga tahap tersebut dipandang
sebagai bagian dari proses besar yang sama, di bawah kendali satu perusahaan.56
Sebuah film diproses mulai dari proses produksi, dimana berbagai audio, video,
dan artefak digital dibuat dan dikombinasikan terhadap hasil akhir produk film.
Kemudian proses distribusi pun dilakukan, yang di dalamnya termasuk pengedaran
format fisik atau elektronik dari film tersebut kepada konsumen, kritikus, juri
penghargaan, dan lain-lain. Kegiatan pemasaran bisa saja terjadi di dalam proses
produksi ataupun distribusi.57 Distributor ‘mengeksploitasi’ film di berbagai pasar,
tergantung pada kesepakatan perusahaan produksi saat melakukan negosiasi,
distributor, atau agennya –yang disebut subdistributor.58
Bagan 1: Proses produksi dan distribusi pada sebagian besar studio di industri
perfilman besar59
56 David Sin, Distribution: Introduction: What Is Distribution, dilansir dari laman
http://www.screenonline.org.uk/film/distribution/distribution1.html, diakses pada 17 Mei 2014. 57 Simon Byers dkk, 2014, An Analysis of Security Vulnerabilities In The Movie Production and
Distribution Process, USA: El Sevier, hal 622. 58 Jehoshua Eliashberg, Weinberg dan Hui, 2008, Decision Models For The Movie Industry, Journal of
Springer Science and Bussines Media, hal 34. 59 Simon Byers dkk, Op. cit.
20
Distributor film bukanlah hanya sekedar penengah antara filmmaker dan
eksibitor, terbatas hanya untuk membeli dan menjual produk. Pada dasarnya, film
distribusi adalah kegiatan pemasaran untuk film. Selain merumuskan dan menerapkan
strategi promosi dan iklan, distributor bekerjasama dengan media, menghasilkan semua
materi promosi yang diperlukan, memberikan saran pada semua aspek produksi
(meningkatkan daya jual film, casting, dll), dan menyediakan pembiayaan untuk
produksi melalui kemajuan dan membeli hak. Beberapa distributor bahkan ikut
terintegrasi ke dalam produksi untuk memastikan film tersebut memiliki nilai jual dan
kualitas.60
Distribusi memastikan mekanisme pasar berjalan, karena hanya lewat peran
distribusi lah terjadi arus barang dan jasa, dengan asumsi distribusi terjadi di sebuah
pasar terbuka.61 Pada tatanan perfilman yang ideal, distributor memiliki kewenangan
untuk menentukan jumlah kopi, pangsa pasar, lokasi penayangan, waktu rilis, hingga
analisa kekuatan produk/filmnya sendiri. Pihak distributor mengadakan kesepakatan
lagi dengan berbagai pihak di sisi hulu dan hilirnya untuk menentukan mekanisme
eksploitasi karya film sehingga hasilnya bisa menguntungkan semua pihak. Distributor
memiliki hak untuk mengelola eksploitasi film dengan metode yang disepakati.
Posisi distributor yang berkonsentrasi pada pengamatan pasar membuat mereka
memiliki daya tawar yang cukup kuat. Namun, biasanya diimbangi pula dengan
kesediaan pihak distributor mengambil risiko yang porsinya cukup besar pula atas
segala proses eksploitasi tersebut. Distributor menanggung semua biaya untuk
penggandaan kopi film, biaya promosi, dan juga harus mengatur jadwal rilis film. Demi
dapat menanggung seluruh resiko ini, kerapkali perusahaan distribusi merupakan
60 2013, Choosing A Good Channel for Film Industries in Indonesia, dilansir dari
http://www.123helpme.com/film-distrubution-channels-in-indonesia-view.asp?id=165023, diakses
pada 2 November 2014. 61 Eric Sasono dkk, Op. cit, 192.
21
perusahaan-perusahaan besar yang mapan. Hal ini adalah distribusi yang terjadi pada
negara dengan ekosistem perfilman yang ideal, contohnya Hollywood.
E.5. Strategi Distribusi Film
Strategi umumnya didefinisikan sebagai kerangka kerja (frame work), teknik
dan rencana yang bersifat spesifik atau khusus.62 James Brian Quinn memaparkan
mengenai definisi strategi yaitu: “A strategy is the pattern or plan that integrates an
organization’s major goals, policies, and action sequences into a cohesive goal.”63
(Strategi ialah pola atau rencana yang terintegrasi dengan tujuan utama, kebijakan, dan
rangkaian tindakan sebuah organisasi ke dalam satu tujuan yang padu).
Strategi efektif yang biasa digunakan suatu organisasi terbagi menjadi 5 antara
lain: mengidentifikasi lingkungan yang akan dimasuki dan menentukan misi untuk
mencapai visi yang dicita-citakan dalam lingkungan tersebut; melakukan analisis
lingkungan internal dan eksternal untuk mengukur kekuatan dan kelemahan serta
peluang dan ancaman yang akan dihadapi.; merumuskan faktor-faktor ukuran
keberhasilan (key success factors) dan strategi yang dirancang; menentukan tujuan dan
target terukur, mengevaluasi alternatif strategi dengan mempertimbangkan
sumberdaya yang dimiliki dan kondisi eksternal yang dihadapi; dan memilih strategi
paling sesuai untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang.64
Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan satu
pengertian mengenai strategi. Secara keseluruhan, strategi dapat dilihat sebagai satu
proses perancangan yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan dan menjadi dasar
62 Rabin et al, 2000, Handbook Of Strategic Management, New York: Marcell Dekker, hal xv. 63 Hendry Mintzberg dan James Brian Quinn, 1991, The Strategy Process: Concept, Contest, Cases,
New Jersey: Prentice-Hall, hal 5. 64 Bambang Hariadi, 2005, Strategi Manajemen, Jakarta: Bayumedia Publishing, hal 34.
22
pelaksanaan kebijakan dalam sebuah organisasi. Strategi mengacu kepada penyusunan
rencana untuk mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan, distribusi menurut Ramon Lobato merupakan sebuah proses
mediasi di antara produksi dan resepsi film.65 Jadi, membahas mengenai strategi
distribusi dapat disimpulkan bahwa strategi distribusi merupakan strategi yang secara
khusus dipersiapkan dalam upaya penyebaran media yang digunakan untuk
mendukung tercapainya target sasaran. Adapun yang menjadi bagian dari strategi
distribusi media, yaitu distribusi media berdasarkan format, lokasi penyebaran,
promosi, dan evaluasi distribusi.
Pada strategi distribusi film independen di Indonesia, akan dibagi dalam empat
bagian menurut Eastman dan Ferguson66 yaitu pemilihan format distribusi,
penjadwalan (jalur distribusi), promosi pemutaran, dan evaluasi distribusi.
E.5.1. Pemilihan Format Distribusi
Menilik strategi distribusi film independen di Indonesia dalam pemilihan
format distribusinya dibedakan menjadi dua yaitu format fisik dan format digital. Pada
format fisik, distribusi film independen dilakukan menggunakan format kepingan VCD
atau DVD. Langkah distribusi yang dilakukan beberapa film karya komunitas yang
dicetak dalam format ini adalah kemudian dijual secara underground.67 Pendahulu
format VCD adalah kaset video dan laser disk (LD), dan kemudian diikuti oleh
kemunculan dan maraknya DVD.68
65 Ramon Lobato, Op. cit, hal 1. 66 Susan Tyler Eastman & Douglas A. Ferguson, 2009, Media Programming: Strategies and Practices
(8th edition), Boston: Thomson Wardsworth, hal 24. 67 Lulu Ratna, 2007, Indonesian Short Film After Reformation 1998, Journal of Routledge Inter-Asia
Cultural Studies Volume 8 No2, 2007, hal 305. 68 Katinka Van Heeren, Op. cit, hal 69.
23
Sedangkan format kedua merupakan format digital. Format ini lebih fleksibel
untuk dapat didistribusikan. Format digital ini bisa berbentuk MP4 (Moving Picture
Expert Group Layer-4 Audio), AVI (Audio Video Interleave), MKV (Matroska
Container Video), dan sebagainya selama merupakan format yang dapat diputar oleh
komputer secara digital. Melalui format digital ini, film bisa didistribusikan melalui
pemutaran-pemutaran alternatif, diunggah ke website video, ataupun diputar dari
tangan ke tangan. Dalam hal ini, teknologi mempengaruhi distribusi film yang
dilakukan.
Dalam penelitian ini, peneliti telah menggali mengenai pilihan yang diputuskan
oleh komunitas Pabrik Film dalam menentukan format film mereka sebagai suatu
strategi distribusi. Mulai dari awal mengapa dipilih format tersebut, dan kemudian
bagaimana cara pendistribusiannya dengan format tersebut.
E.5.2.Pemilihan Jalur Distribusi
Komunitas-komunitas film independen umumnya mendistribusikan filmnya
menuju beberapa jalur antara lain: festival film, program sponsor, bioskop alternatif,
dan melalui internet. Setiap jalur distribusi film independen ini memiliki ciri dan tujuan
yang berbeda-beda pula sesuai pilihan jalur yang dipilih komunitas tersebut dalam
distribusi filmnya.
Jalur distribusi pertama, yaitu festival film. Festival film merupakan salah satu
titik temu yang penting untuk komunitas film dan para filmmaker independen di
Indonesia. Sebagian film-film yang diputar di festival-festival film ini sangat jarang
ditemukan, baik di Indonesia sendiri ataupun di luar negeri. Kebanyakan dari festival
ini memiliki basis dari komunitas-komunitas film juga.69 Festival dinilai positif sebagai
69 Lulu Ratna, Op. cit.
24
sarana bertukar ide/gagasan, melakukan kerjasama antar individu atau komunitas
dalam menciptakan karya baru.70 Dalam festival-festival film di Indonesia, gagasan
antara distribusi dan konsumsi mainstream atau sidestream tidak banyak terlihat, di
mana sebagian besar festival film bisa dianggap sebagai saluran distribusi sidestream
karena mereka memiliki insiatif sendiri dan tidak didukung atau dijalankan oleh
pemerintah atau industri.71
Selanjutnya adalah program sponsor. Beberapa lembaga donor, LSM, atau
sponsor lokal seringkali mendukung dan menunjang distribusi dan eksibisi film-film
karya komunitas.72 Filmmaker bekerja sama dengan lembaga-lembaga donor ini untuk
membuat film yang sejalan dengan program lembaga tersebut dan kemudian akan
didistribusikan biasanya hingga ke kota-kota lain.
Kemudian, adapun jalur distribusi bioskop alternatif. Bioskop alternatif
merupakan ruang menonton yang diadakan oleh kelompok tertentu, sebagian besar
nonkomersial, dan hanya untuk penonton terbatas. Institusi yang menyelenggarakan
bioskop ini adalah sekolah atau universitas, kine klub, komunitas film, perkumpulan
pembuat film, lembaga kebudayaan, lembaga kajian film, dan sebagainya. Kegiatannya
tak hanya pemutaran film saja, bisa jadi sekaligus dengan workshop dan diskusi.
Komunitas-komunitas film pun semakin sadar akan fungsi bioskop alternatif ini dan
mulai menggeliatkan dalam mengapresiasi film.73
Di era digital kini, tentunya distribusi film online juga merupakan salah satu
lahan distribusi potensial. Dengan distribusi melalui internet, filmmaker dapat secara
langsung berinteraksi dengan target audiens film mereka.74 Terlebih lagi sudah banyak
70 Dara Bunga Rembulan, Op. cit, hal 42. 71 Katinka Van Heeren, Op. cit, hal 74. 72 Lulu Ratna, Op. cit, hal 306. 73 Dara Bunga Rembulan, Op. cit, hal 38. 74 Andrew Sparrow, 2007, Film and Television Distribution and the Internet: A Legal Guide for the
Media Industry, UK: Gower, hal 1.
25
website berbasis video di internet, beberapa di antaranya adalah YouTube, Vimeo, dan
Vine. Dengan mendistribusikan filmnya secara online, meskipun pemasukan secara
finansial belum tentu terjamin, namun filmmaker komunitas ini bisa sekaligus
mempromosikan komunitas mereka dalam artian di satu sisi mereka menghantarkan
karya mereka kepada audiens, dan di saat yang bersamaan melakukan branding
komunitas.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti telah melihat bagaimana Pabrik Film
menentukan jalur distribusi untuk film yang diproduksinya. Peneliti menggali aspek-
aspek yang menjadi landasan Pabrik Film dalam pemilihan jalur distribusi tersebut dan
kendala apa saja yang dihadapi.
E.5.3 Promosi Pemutaran
Promosi pada hakekatnya adalah suatu komunikasi pemasaran, artinya aktivitas
pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi atau membujuk dan
mengingatkan pasar sasaran atau perusahaan dan produknya agar bersedia menerima,
membeli dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan.75
Dalam strategi pendistribusian film independen ini, tentu diperlukan strategi
promosi agar film komunitas tersebut dapat ditonton oleh audiens. Usaha
mempromosikan pemutaran bisa dilakukan dengan beragam media, mulai dari media
cetak, penyiaran, hingga media baru atau internet. Selain menilik dari media promosi
yang digunakan untuk menjaring audiens yang akan menonton film tersebut,
bagaimana cara promosinya juga merupakan hal penting yang menentukan audiens.
Namun, pada konteks komunitas film di Yogyakarta, komunitas film jarang melakukan
75 Fandy Tjiptono, 2001, Strategi Pemasaran, Edisi Pertama, Yogyakarta: Andi Ofset, hal 219.
26
promosi terhadap film mereka yang diputar atau yang telah didistribusikan. Maka dari
itu, promosi dalam Pabrik Film telah peneliti lihat secara saksama.
Dalam penelitian ini, peneliti melihat apakah promosi dilakukan oleh
komunitas Pabrik Film dalam mendistribusikan filmnya, jika ada kemudian peneliti
menilik bagaimana promosi film dan pemutaran yang dilakukan. Peneliti juga melihat
mengenai intensitas promosinya, serta melakukan promosi di media mana saja.
E.5.4. Evaluasi Program Distribusi
Evaluasi program merupakan interpretasi secara terus-menerus dari informasi
kuantitatif dan pendapat-pendapat kualitatif yang menghasilkan perbaikan
penyeleksian program, perubahan jadwal program yang telah diseleksi, dan modifikasi
dalam promosi program.76 Dalam programming media, keberhasilan program secara
kuantitatif dan kualitatif.
Secara kuantitatif, biasanya dilakukan pengukuran dari jumlah penonton.
Kemudian, secara kualitatif, hal ini dapat diukur dengan masuknya kritik atau saran
bahkan apresiasi yang diberikan banyak pihak. Selain itu, feedback dari audiens dapat
disampaikan secara langsung ataupun melalui media sosial. Hasil-hasil kuantitatif dan
kualitatif ini nantinya digunakan sebagai bahan pertimbangan apakah program akan
tetap dipertahankan, diubah formatnya, atau bahkan dihentikan.
Dalam perjalanannya, tidak banyak komunitas film yang melakukan evaluasi
terhadap strategi distribusinya. Untuk itu, peneliti menilik dalam penelitian ini apakah
komunitas Pabrik Film melakukan evaluasi terhadap strategi distribusi yang telah
mereka lakukan, kemudian jika ternyata mereka pernah melakukan evaluasi,
76 Susan Tyler Eastman dan Douglas A. Ferguson, Op. cit, hal 52.
27
bagaimana evaluasi program distribusi yang telah dilakukan. Selanjutnya adakah
masukan dari penonton, jika ada, bagaimana masukan-masukan tersebut digunakan
sebagai bahan perbaikan terhadap distribusi film selanjutnya.
Dari kerangka pemikiran yang telah dipaparkan di atas, maka fokus dan inti
penelitian dapat dijabarkan dalam diagram di bawah ini. Bahwa distribusi film yang
dilakukan oleh Pabrik Film dalam penelitian ini diuraikan menjadi beberapa
penjabaran yaitu strategi, komponen kunci, kendala, dan solusi. Untuk strategi, menjadi
hal yang menjadi fokus utama peneliti. Dalam menilik strategi distribusi yang
dilakukan komunitas Pabrik Film, peneliti menjabarkannya ke dalam empat tahap
strategi programming menurut Eastman dan Ferguson yaitu format, jalur distribusi,
promosi, dan evaluasi.
Bagan 2 : Konseptualisasi pemikiran
28
F. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma ini hampir
merupakan antitesis terhadap paham yang menempatkan pentingnya pengamatan dan
objektivitas dalam menemukan suatu realitas atas ilmu pengetahuan. Secara ontologis,
aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental
yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal, dan spesifik, serta tergantung
pada pihak yang melakukannya.77
Menurut Dedy N. Hidayat,78 konstruktivisme memandang ilmu sosial sebagai
sebuah analisis sistematis atas “socially meaningful action” melalui pengamatan
langsung terhadap aktor sosial dalam setting alamiah, agar dapat memahami dan
menafsirkan bagaimana aktor sosial menciptakan dan memelihara dunia sosial.
Pada penelitian ini, jika ditilik lebih lanjut terdapat ciri utama: 1) bagaimana
(how) komunitas Pabrik Film Yogyakarta menanggulangi dan mengupayakan
distribusi film karya komunitas tersebut; 2) Peneliti hanya memiliki sedikit peluang
dalam mengontrol fenomena yang akan diteliti, karena fenomena tersebut telah
berlangsung serta sepenuhnya merupakan kebijakan dari komunitas yang
bersangkutan, sehingga peneliti menempatkan diri sebagai pengamat fenomena.
Penelitian ini menyelidiki fenomena di dalam konteks komunitas film Yogyakarta
dalam kehidupan nyata dengan fokus utama bagaimana penanggulangan masalah
dalam komunitas film di Yogyakarta ini. Dari pemaparan di atas, metode yang paling
efektif untuk digunakan adalah studi kasus yang bersifat deskriptif.
77 Agus Salim, 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal 71.
78 Dedy Nur Hidayat, 1999, Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia Vol III: Paradigma dan
Perkembangan Penelitian Komunikasi, hal 39.
29
Yin79 memberikan definisi tentang studi kasus, yaitu studi kasus sebagai suatu
inklusi empiris yang: menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata; bilamana
batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan dimana
multisumber bukti dapat dimanfaatkan. Kekuatan unik dari studi kasus adalah
kemampuannya untuk berhubungan sepenuhnya dengan berbagai jenis bukti seperti
dokumentasi, peralatan, wawancara, dan observasi.80 Dengan keunikan ini, maka
penelitian dengan studi kasus menjadikan penelitian semakin lengkap dan detail dalam
melihat fenomena. Metode studi kasus sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif,
dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme
(individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit.
Kekuatan unik dari studi kasus adalah kemampuannya untuk berhubungan sepenuhnya
dengan berbagai jenis bukti seperti dokumentasi, peralatan, wawancara, dan observasi.
Dengan keunikan ini, maka penelitian dengan studi kasus menjadi semakin lengkap
dan detail dalam melihat fenomena.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mendasarkan diri pada data yang
terhimpun dan disusun secara sistematik, faktual, dan cermat. Penelitian ini hanya
memaparkan situasi atau persitiwa berdasarkan data tersebut. Di sini peneliti tidak
mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis, atau membuat prediksi.81
Dengan demikian, pelaksanaan metode deskriptif ini tidak hanya sampai pada
pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang arti
data tersebut.
Metode penelitian studi kasus deskriptif dapat juga diuraikan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menuliskan keadaan
subjek atau objek penelitian suatu lembaga, masyarakat, dan lain-lain. Penelitian
79 Robert K. Yin, 2005, Studi Kasus Desain & Metode, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 18. 80 Ibid, hal 12. 81 Jalaludin Rakhmat, 1984, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal 37.
30
deskriptif berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek.82 Studi kasus
deskriptif dipilih karena memberikan gambaran-gambaran detail dan menyeluruh
mengenai distribusi film yang dilakukan komunitas Pabrik Film.
Pabrik Film dipilih sebagai objek penelitian karena beberapa alasan. Alasan
pertama, Pabrik Film merupakan sebuah komunitas film yang masih kokoh bertahan
di kota Yogyakarta. Kedua, Pabrik Film pernah melakukan suatu usaha distribusi film
karya mereka yang cukup kreatif dan berani, yaitu melalui program Bioskop Mandiri.
Ketiga, kasus distribusi yang dialami Pabrik Film ini menarik, dan belum pernah
dialami oleh komunitas film lainnya di Yogyakarta.
F.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2014 hingga Desember 2014. Adapun
proses pengumpulan data wawancara dan observasi dilakukan di lokasi komunitas
Pabrik Film melakukan kegiatan. Lokasi wawancara dan observasi berpindah-pindah
sesuai dengan agenda Pabrik Film. Beberapa lokasinya antara lain di Bujang Café
Seturan, Art Film School Yogyakarta, Waroeng Kalkun, dan Semesta Coffee Kotabaru.
Wawancara mendalam dilakukan beberapa kali yaitu pada bulan Mei 2014, kemudian
di bulan September 2014, dan November 2014.
82 John W. Best, 1982, Metodologi Penelitian Pendidikan, disunting oleh Sanafiah Faisal dan Mulyadi
Guntur Waseso, Surabaya: Usaha Nasional, hal 119.
31
F.2. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber yaitu sumber data primer dan
sekunder. Masing-masing sumber data tersebut digunakan sebagai hasil penelitian
yang dianalisis lebih lanjut menjadi kesimpulan dalam penelitian ini.
Data primer didapatkan dari kegiatan yang dijalankan oleh para anggota
komunitas film Pabrik Film di Yogyakarta. Data primer yang diperoleh penelitian ini
mencakup data-data tentang proses kreatif, perancangan dan sistem manajemen
distribusi film, dan strategi-strategi distribusi film. Data-data tersebut meliputi
transkrip wawancara, arsip foto, dan rekaman wawancara dengan informan. Data
diperoleh dengan cara wawancara mendalam dan observasi partisipatoris. Sedangkan,
data sekunder dalam penelitian ini meliputi teori-teori dan konsep yang diperoleh
melalui literatur-literatur seperti pemikiran beberapa ahli, pakar komunikasi, jurnal,
kajian ilmiah, artikel dan media, serta arsip-arsip yang berkaitan dengan penelitian.
Data sekunder ini mencakup bahan-bahan tentang distribusi film, perkembangan
distribusi film dari zaman ke zaman, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini sebagian besar data penelitian difokuskan pada data
primer. Sedangkan data sekunder digunakan untuk memperkuat data-data yang
disajikan dalam data primer. Kemudian, untuk teknik pengumpulan datanya
menggunakan wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi.
Wawancara mendalam bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai
fakta-fakta dari informan dalam bentuk wawancara tidak terstruktur (percakapan).
Wawancara mendalam (in depth interview) merupakan proses perolehan keterangan
untuk tujuan penelitian dengan menggunakan cara tanya jawab dan bertatap muka
antara pewawancara dengan informan.83
83 H.B. Sutopo, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press, hal 72.
32
Teknik pengumpulan data wawancara mendalam ini menjadi teknik
pengumpulan data primer dalam penelitian ini, dikarenakan distribusi film-film yang
sudah dilakukan terdahulu tidak dapat diobservasi secara langsung. Wawancara
mendalam ini dilakukan dengan informan primer (anggota komunitas film Pabrik
Film) dan informan sekunder (pengamat ahli di bidang komunitas film). Pertanyaan
yang dilontarkan dalam wawancara mendalam terhadap informan primer secara garis
besar yaitu mengenai langkah distribusi apa saja yang dilakukan Pabrik Film,
mengapa melakukan langkah-langkah tersebut, permasalahan apa saja yang muncul
dalam pendistribusian film, bagaimana penanggulangan permasalahan distribusi
tersebut. Dan untuk informan sekunder, peneliti menggali lebih banyak mengenai
realitas, alur, permasalahan, dan strategi distribusi yang terjadi di Indonesia pada
umumnya dan di Yogyakarta atau di daerah-daerah lain pada khususnya.
Mengenai observasi, observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala
dalam objek penelitian.84 Dalam penelitian ini, peneliti mengamati permasalahan,
strategi, dan upaya Pabrik Film dalam mendistribusikan filmnya. Peneliti telah terjun
langsung ke lapangan untuk merangkum strategi, mekanisme, dan apa saja yang
terjadi selama proses pendistribusian film komunitas Pabrik Film tersebut. Peneliti
juga telah banyak mengamati cara-cara Pabrik Film mengatasi berbagai problem yang
ada dalam upaya mendistribusikan filmnya.
Pada teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi, peneliti
berupaya untuk menjawab masalah penelitian dengan menggunakan dokumen yaitu
data tertulis yang telah diolah oleh orang lain atau suatu lembaga.85 Studi dokumentasi
merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam
84 Afifuddin dan Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hal 134.
85 Adi, R., 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum; Edisi-1, Jakarta: Granita, hal 61.
33
penelitian kualitatif.86 Dokumen ini meliputi surat-surat yang mungkin dikirimkan
Pabrik Film kepada penyelenggara festival film ataupun sebaliknya, undangan,
laporan-laporan kegiatan Pabrik Film, notulensi rapat produksi maupun distribusi,
proposal, e-mail, dan lain-lain.
F.3. Informan Penelitian
Penelitian selalu memiliki objek dan subjek di dalamnya. Subjek penelitian
adalah orang yang memahami benar tentang objek penelitian sebagai pelaku maupun
orang lain yang memahami objek penelitian.87 Subjek penelitian dalam penelitian ini
adalah anggota-anggota dari komunitas Pabrik Film. Pabrik Film merupakan
komunitas film yang keanggotaannya bersifat cair, namun terdapat 3 orang anggota
inti. Tidak terdapat struktur secara hierarkis dalam komunitas ini. Pemilihan ini
dilakukan supaya subjek penelitian sudah mengerti benar mengenai topik objek yang
sibicarakan sehingga data lebih akurat dan mendalam. Berikut merupakan nama-nama
anggota inti yang berkecimpung dalam komunitas Pabrik Film.
NAMA PEKERJAAN
Pandhu Adjisurya Anggota Pabrik Film
Jatmiko Kresnatama Anggota Pabrik Film
Wildan Bagus Yudhanto Anggota Pabrik Film
Tabel 1: Informan primer penelitian
86 Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Bandung: Alfabeta, hal 83. 87 Burhan Bungin, 2010, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial
lainnya, Jakarta: Kencana Prenama Media Group, hal 76.
34
Selain informan primer tersebut, peneliti juga memilih 3 orang yang berprofesi
sebagai pengamat dan praktisi yang sudah cukup lama berkecimpung di bidang
perfilman dan komunitas film di Yogyakarta sebagai informan sekunder.
NAMA PEKERJAAN
Adrian Jonathan Pasaribu Pengamat perfilman Indonesia. Kritikus film
di Cinema Poetica dan filmindonesia.or.id
Dyna Herlina Penggiat Rumah Sinema, pengkaji film dan
literasi media
Tabel 2: Informan sekunder penelitian
F.4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini meliputi pengujian data,
pengkategorian, dan tabulasi transcript wawancara, serta pengkombinasian bukti-bukti
yang merujuk pada proporsi awal penelitian. Karena, sejak awal data-data yang
diperoleh mulai dianalisis.
Bersifat deskriptif maka analisa data penelitian dilakukan secara pemaparan
dan kualitatif. Data-data yang diperoleh melalui penelitian, baik primer maupun
sekunder, kemudian dikumpulkan, diedit, dan dikategorikan, serta dicari kesesuaian
polanya, setelah itu baru dianalisa. Karena tujuan penelitian ini adalah untuk
mendapatkan suatu deskripsi, maka analisa dilakukan dengan cara mengkomparasikan
kategori dan data dengan teori-teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini. Data
yang diperoleh dalam keseluruhan proses penelitian ini kemudian disajikan dalam
bentuk uraian secara sistematis agar dapat dengan mudah dipahami.
35
Peneliti pada akhirnya melakukan interpretasi setelah dilakukan analisis data.
Peneliti memaparkan interpretasinya melalui sebuah wawancara subjektif yang
disimpulkan sesudah mengumpulkan data yang kemudian dipahami serta
diklasifikasikan untuk dianalisis. Dalam penelitian terhadap permasalahan komunitas
film Yogyakarta ini, poin-poin yang dipakai dalam struktur deskripsi penelitian adalah
strategi distribusi melalui tahapan format distribusi, jalur distribusi, promosi, dan
evaluasi yang dilakukan komunitas. Setiap proses yang dilakukan dalam pelaksanaan
dan pengelolaan dibandingkan dengan teori komunikasi, khususnya yang berkaitan
langsung dengan proses tersebut. Hasil dari pembandingan ini disusun secara
kronologis, yang akan ditutup dengan kesimpulan dan temuan-temuan lain, terutama
kekurangan dan kelebihan dari proses tersebut.