BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...

35
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bicara mengenai perfilman Indonesia, industri film di Indonesia selalu berkaitan dengan modal besar atau perusahaan yang dibangun untuk kepentingan bisnis layar lebar, bukan berangkat dari kepentingan komunitas. 1 Jalur utama ini sangat berkonotasi pada keuntungan dan dekat dengan penguasaan atau privatisasi media, 2 hingga akhirnya muncullah ‘pemberontakan’ melalui film-film independen yang diproduksi di luar jalur utama yang sudah ada dan memiliki perbedaan signifikan dengannya, baik teknik, narasi, cerita ataupun biaya produksi. Mengenai bentuknya terus mengalami perubahan seiring berkembangnya film di jalur utama dan perkembangan pemikiran individu-individu di dalamnya. Film independen ini umumnya diproduksi oleh komunitas film ataupun secara individual. Pasca Orde Baru, gerakan komunitas film ini semakin berkembang akibat regulasi penyiaran dan perfilman yang dahulu di bawah otoritas pemerintah Orde Baru mulai dinegosiasi ulang. Semangat reformasi masuk ke dalam dunia film Indonesia dan memberikan ruang untuk ekspresi serta kreativitas. Hal ini berujung pada munculnya berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam institusi, hingga hadirnya kelompok-kelompok anak muda pencinta film yang membentuk komunitas film. 1 Ismail Basbeth, 2011, Kiprah Fourcolours Films dalam Gerakan Film Independen di Yogyakarta, dalam Jurnal Komunikator Volume 3 Nomor 2 November 2011, hal 192. 2 Krishna Sen, 1994, Indonesian Cinema: Framing The New Order. London: Zed Books, hal 64.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bicara mengenai perfilman Indonesia, industri film di Indonesia selalu

berkaitan dengan modal besar atau perusahaan yang dibangun untuk kepentingan bisnis

layar lebar, bukan berangkat dari kepentingan komunitas.1 Jalur utama ini sangat

berkonotasi pada keuntungan dan dekat dengan penguasaan atau privatisasi media,2

hingga akhirnya muncullah ‘pemberontakan’ melalui film-film independen yang

diproduksi di luar jalur utama yang sudah ada dan memiliki perbedaan signifikan

dengannya, baik teknik, narasi, cerita ataupun biaya produksi. Mengenai bentuknya

terus mengalami perubahan seiring berkembangnya film di jalur utama dan

perkembangan pemikiran individu-individu di dalamnya.

Film independen ini umumnya diproduksi oleh komunitas film ataupun secara

individual. Pasca Orde Baru, gerakan komunitas film ini semakin berkembang akibat

regulasi penyiaran dan perfilman yang dahulu di bawah otoritas pemerintah Orde Baru

mulai dinegosiasi ulang. Semangat reformasi masuk ke dalam dunia film Indonesia dan

memberikan ruang untuk ekspresi serta kreativitas. Hal ini berujung pada munculnya

berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

institusi, hingga hadirnya kelompok-kelompok anak muda pencinta film yang

membentuk komunitas film.

1 Ismail Basbeth, 2011, Kiprah Fourcolours Films dalam Gerakan Film Independen di Yogyakarta,

dalam Jurnal Komunikator Volume 3 Nomor 2 November 2011, hal 192. 2 Krishna Sen, 1994, Indonesian Cinema: Framing The New Order. London: Zed Books, hal 64.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

2

Komunitas film merupakan entitas organisme film yang penting dalam konteks

perfilman Indonesia. Bahwasanya, budaya sinema di Indonesia banyak tersemai dalam

kegiatan-kegiatan komunitas dan terobosan-terobosan di akar rumput ini,3 bukan dari

jaringan film layar lebar. Komunitas film banyak bertumbuh di Indonesia, terutama

pada kota-kota yang cukup kuat dan kental perkembangan budaya serta pendidikannya,

seperti di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Malang, dan Denpasar.4 Komunitas-

komunitas film ini menjadi ruang alternatif dan dialog berbagai film sekaligus motor

penggerak utama perfilman pasca reformasi di kala lemahnya perfilman nasional.5

Ada berbagai macam komunitas film, mulai dari berbasis kampus atau

nonkampus, fokus pada produksi, distribusi, festival, hingga literasi.6 Komunitas yang

berfokus pada produksi bergerak pada pembuatan film, yang berfokus pada distribusi

bergerak pada penyebaran film-film kepada eksibitor, yang berfokus pada festival

bergerak pada pengelolaan festival film, dan yang berfokus pada literasi media

bergerak mengkaji, menganalisa, dan mengkritik film.

Di Yogyakarta, komunitas film disebut sebagai roh dari aktivitas perfilman di

kota ini.7 Menurut Yosep Anggi Noen dari Limaenam Films, perkembangan komunitas

film secara kuantitas dan kualitas di Yogyakarta cukup positif. Menurut Garin Nugroho

pada tahun 2013, jumlah komunitas film di Yogyakarta yang tercatat ada sekitar 60

komunitas film. Dan selain itu, ada beberapa karya anak Yogyakarta yang masuk dalam

festival film internasional seperti Berlinale dan Busan International Film Festival.8

3 Dikutip dari artikel karya Adrian Jonathan Pasaribu, Sejarah Perfilman Alternatif Indonesia, dilansir

dari laman Cinema Poetica http://cinemapoetica.com/ harian/esai/sejarah-alternatif-film-indonesia/,

diakses pada 19 Mei 2014, 4 Gotot Prakosa, 2006, Kamera Subjektif Rekaman Perjalanan: Dari Sinema Ngamen Ke Art Cinema,

Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Seni Visual Indonesia, hal 167. 5 Nugroho, Garin dan Dyna Herlina, 2013, Krisis dan Paradoks Film Indonesia, Jakarta: FFTV IKJ

Press, hal 361 dan 364. 6 Penggolongan ini dicetuskan dalam Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas tahun

2010 di Solo. 7 Pernyataan Garin Nugroho yang dikutip dalam artikel Yogya Membaca Asia, Kompas 1 Desember

2013. 8 Garin Nugroho, Yogya Membaca Asia, dilansir dari Harian Kompas 1 Desember 2013.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

3

Sineas film indie di sejumlah komunitas kampus dan non kampus di Yogya masih dapat

menunjukkan produktivitas dan kreativitas yang menjadi inspirasi bagi komunitas film

di kota lain.9 Riri Riza pun menyebutkan bahwa basis-basis perfilman komunitas yang

cukup kuat masih di seputar Jakarta dan Yogyakarta.10

Komunitas film yang berfokus pada produksi film adalah yang paling marak

dan masif ditemui di Yogyakarta. Menjamurnya komunitas produksi ini salah satu

penyebabnya ialah hadirnya teknologi ysang semakin mudah dan terjangkau pun

menggaungkan sebuah pergeseran wacana dari penonton menjadi pembuat.11

Teknologi sudah semakin maju memberikan kemudahan pengoperasian kamera dan

peralatan film lainnya, di sisi lain juga berlangsung revolusi harga peralatan film seperti

kamera video dan perangkat editing, dari yang semula sangat mahal menjadi relatif

murah.12 Selain itu, cost production dan cost operation di Yogyakarta lebih rendah

dibandingkan kota-kota besar lainnya.13

Hal-hal tersebut memicu aktivitas produksi yang meningkat drastis di tingkat

komunitas.14 Pertanyaan yang patut dilontarkan bagi para komunitas yang

memproduksi film ini adalah, akan dibawa ke manakah film ini setelah selesai

diproduksi? Distribusi menjadi pertanyaan menarik, karena pada tatanan industri atau

mainstream pun tidak ada badan yang berlaku mandiri sebagai distributor dan

terjadilah distribusi film yang dimonopoli pihak eksibitor.15 Hadirnya monopoli

9 2011, Yogya Barometer Film Indie di Indonesia, dilansir dari laman

http://www.avikomjogja.com/2011/08/yogya-barometer-film-indie-di-indonesia.html, diakses pada 17

Januari 2014. 10 Bambang Supriyanto, 2013, Industri Perfilman: Cerah Prospek Film Berbasis Komunitas, dilansir

dari laman berita http://m.bisnis.com/showbiz/read/20130330/254/5686/industri-perfilman-cerah-

prospek-film-berbasis-komunitas 11 Agus Mediarta, 2007, Konfiden and The Promotion of Indonesian Short Films, Routledge Journal of

Inter-Asia Cultural Studies, Volume 8 No 2 2007, hal 308. 12 Adrian Jonathan Pasaribu, Op Cit. 13 Ivan Octovian, 2004, Fasilitas Industri Film di Yogyakarta, Skripsi Universitas Kristen Duta

Wacana, tidak terpublikasikan. 14 Adrian Jonathan Pasaribu, Op Cit. 15 Eric Sasono, Imanjaya dkk., 2011, Menjegal Perfilman Indonesia , Jakarta: Rumah Sinema dan

TIFA, hal 191.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

4

bioskop tersebut memperparah keadaan karena berakibat pada bangkrutnya bioskop-

bioskop daerah, penjualan fisik VCD dan DVD pun kini sudah menurun.

Komunitas film di Yogyakarta pun tidak ada memposisikan diri sebagai

komunitas yang bergerak di bidang distribusi. Hal ini menyebabkan permasalahan yang

dihadapi komunitas film yang fokus pada produksi ini tidak lagi mengenai mengakali

anggaran produksi film yang minim, namun bagaimana film mereka bisa ditonton oleh

khalayak.16 Akses cukup menjadi hambatan bagi distribusi karya komunitas film ini.

Akses distribusi yang terbatas ini menjadikan film karya komunitas tersebut tidak bisa

tersosialisasikan kepada publik luas.

Minimnya eksibisi dan tidak ada lembaga yang melakukan distribusi,

menjadikan selama ini distribusi dilakukan oleh aksi-aksi individual para filmmaker

dari komunitas film.17 Bahkan, menurut Sasono dalam bukunya Menjegal Perfilman

Indonesia, filmmaker terpaksa menjadi ubercapitalist: harus berjuang sendirian demi

filmnya.18 Padahal, dalam tatanan perfilman yang ideal, tugas filmmaker hanya

membuat film. Distributor-lah yang memiliki peran memperbanyak film dan

melakukan advertising dan public relation kepada pihak eksibitor. Pada kenyataannya,

tidak ada regulasi pemerintah yang mengatur mengenai distribusi film sehingga

persoalan semacam ini terjadi.19

Pergulatan-pergulatan lokal ini belum terekam, padahal kontribusinya tidak

sedikit bagi perkembangan budaya sinema di Indonesia.20 Dalam setiap masanya, hadir

generasi muda perfilman yang memiliki pergulatan-pergulatannya sendiri. Menurut

Garin Nugroho dan Dyna Herlina, keindahan perfilman Indonesia terletak pada

16 Nugroho dan Herlina, Op. cit. 17 Meiske Taurisia, Box Office Vs Festival, http://filmindonesia.or.id/article/box-office-vs-

filmfestival#.U3Mbw4F_ti4, diakses pada 17 Mei 2014. 18 Eric Sasono, Imanjaya dkk, Op. cit. 19 Dara Bunga Rembulan, 2011, Kedudukan Ruang Bioskop sebagai Media Apresiasi Film, Jurnal Seni

Media Rekam Capture Volume 3 No. 1 Desember 2011, hal 28. 20 Adrian Jonathan Pasaribu, Op. cit.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

5

percepatan pertumbuhan generasi baru. Setiap generasi bertumbuh dengan cara sendiri

dengan perspektif yang berbeda, lalu menghidupi dirinya di luar dari sistem yang

diciptakan pemerintah.21

Pergulatan lokal yang dialami para komunitas film di Yogyakarta dalam ranah

distribusi berkutat pada tidak adanya lembaga distribusi independen, kurangnya akses

distribusi yang diketahui, ketidakpahaman dan ketidaksiapan komunitas akan

distribusi, serta distribusi secara individual yang memiliki banyak kelemahan.

Kerumitan distribusi film, baik di tingkat struktural maupun karena keterbatasan

sumber daya filmmaker itu sendiri juga dihadapi komunitas Pabrik Film yang berbasis

di Yogyakarta.

Komunitas film yang berdiri sejak Oktober 2011 ini dikelola sepuluh anak

muda, beberapa masih menjadi mahasiswa dan beberapa sudah lulus dari kampus-

kampus Yogyakarta seperti UPN, Atma Jaya, Akindo hingga ISI Yogyakarta. Anggota

komunitas Pabrik Film menyepakati pemahaman bahwa yang menjadi permasalahan

utama dari film komunitas merupakan distribusi kepada audiens, sehingga mereka

mendefinisikan diri sebagai komunitas yang bisa mandiri: berproduksi,

mendistribusikan filmnya sendiri, dan juga melakukan eksibisi. Kala itu, program

distribusi dan eksibisi swadaya mereka ini dinamakan Bioskop Mandiri. Namun, pada

kenyataannya program Bioskop Mandiri ini gagal, baik secara finansial hingga

mendapat kecaman. Kasus ini cukup menarik karena ruang gerak komunitas film yang

sudah sempit pun semakin diperkecil dengan norma-norma tidak tertulis yang

mengkotak-kotakkan komunitas.

Pabrik Film dipilih sebagai objek penelitian karena beberapa alasan. Pertama,

Pabrik Film merupakan sebuah komunitas film yang masih kokoh bertahan di kota

Yogyakarta dimana saat ini banyak komunitas film lain di Yogyakarta yang

21 Nugroho dan Herlina, Op. cit, hal 313.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

6

eksistensinya timbul dan tenggelam tanpa signifikansi yang jelas. Kedua, Pabrik Film

pernah melakukan suatu usaha distribusi film melalui program Bioskop Mandiri.

Ketiga, kasus distribusi Pabrik Film ini menarik, dan belum pernah dialami oleh

komunitas film lainnya di Yogyakarta.

Dalam penelitian ini, peneliti menilik bagaimana upaya distribusi film yang

selanjutnya dilakukan oleh komunitas Pabrik Film di Yogyakarta untuk menyebarkan

filmnya agar dapat ditonton oleh khalayak. Selain itu, peneliti juga bertujuan untuk

melihat alasan mengapa komunitas Pabrik Film mengambil cara tersebut untuk

mendistribusikan filmnya. Permasalahan-permasalahan yang timbul selama proses

pendistribusian film-film karya komunitas ini juga masuk dalam pengamatan peneliti

Tidak banyak penelitian yang mengkaji mengenai pergerakan komunitas film.

Dunia komunitas film di Indonesia belumlah jadi pusat perhatian, dan memang belum

dianggap memiliki arti yang besar dalam konteks pertumbuhan budaya film secara

nasional. Sesungguhnya ironis ketika pertumbuhan itu sendiri dipantau oleh lembaga-

lembaga yang lebih luas, seperti berbagai festival film, sinematek-sinematek, ataupun

sekolah dan kampus di luar negeri.22

Seni film, sama halnya dengan bentuk kesenian lainnya, memerlukan ruang

yang baik untuk diolah, dieksbisikan, dan dijadikan sebagai bagian dari dinamika

kebudayaan secara umum. Maka, seharusnya komunitas film mendapatkan

panggungnya yang tepat. Panggung ini digunakan untuk berkomunikasi multiarah yang

bermanfaat antara komunitas dengan lingkungannya. Sehingga, pada tatanan idealnya

nanti, komunitas film dan karya-karyanya akan terus tumbuh dan berkembang di

berbagai daerah di Indonesia dan mampu mendukung iklim yang lebih baik bagi

perfilman Indonesia.23

22 Prakosa,Gotot, 1997, Film Pinggiran, Jakarta: Penerbit FFTV-IKJ & YLP, hal 1-2. 23 Tomy Widiyanto Taslim, 2010, Komunitas dan Karya Film Pelajar di Indonesia, dilansir dari laman

http://www.thewindowofyogyakarta.com/mtjendela_dtl.php?par=MTE=&id=NjY=&orig=Y29udGVu

dC5waHA/a2F0PW10amUmcGFnZT0y, diakses pada 9 Januari 2014.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

7

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang diungkapkan pada latar belakang masalah, maka

rumusan masalah yang muncul dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu primer dan

sekunder.

Primer:

- Bagaimana strategi distribusi yang dilakukan komunitas Pabrik Film

terhadap film yang mereka produksi pada tahun 2012-2014?

Sekunder:

- Komponen kunci apa saja yang mempengaruhi komunitas Pabrik Film

dalam mengambil langkah distribusi?

- Kendala distribusi apa saja yang dihadapi oleh komunitas Pabrik Film?

- Bagaimana komunitas Pabrik Film menanggulangi berbagai permasalahan

distribusi yang dihadapi?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi cara-cara distribusi yang dilakukan komunitas Pabrik

Film terhadap film yang mereka produksi.

2. Mengetahui komponen-komponen kunci apa saja yang mempengaruhi

komunitas Pabrik Film di Yogyakarta ini dalam mengambil langkah

distribusi.

3. Memetakan studi mengenai kendala-kendala distribusi yang dihadapi oleh

komunitas Pabrik Film.

4. Mengetahui bagaimana komunitas Pabrik Film menanggulangi berbagai

permasalahan distribusi yang dihadapi tersebut.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

8

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk:

1. Sebagai penelitian tentang produsen film, penelitian ini dapat menambah

kajian mengenai komunitas di Yogyakarta, khususnya mengenai Pabrik

Film, dalam melakukan aktivitasnya. Bahwa masih banyak hal mengenai

penggiat film yang bisa diteliti dan didalami sebagai bahasan ilmu

komunikasi.

2. Sebagai penelitian ilmu komunikasi, penelitian mengenai komunitas film

ini dapat memperkaya tema penelitian tugas akhir skripsi mahasiswa

Jurusan Ilmu Komunikasi.

3. Bagi komunitas film, penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran

dalam mengembangkan komunitasnya.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

E.1. Film Sebagai Media Seni dan Komunikasi Massa

Film muncul dengan berbagai pengaruh dari seni peran seperti: teater,

sandiwara, ketoprak, dan lain sebagainya. Namun Gerald Mast dalam A Short History

of the Movies menyebutkan bahwa: “Some film historians trace the origin of movies to

cave paintings, to Balinese shadow puppets, or to Plato’s mythic Case of the Shadows

in Book VII of The Republic.” 24

24 Gerald Mast & Bruce F. Kawin, 1996, A Short History to The Movies, New York: MacMillan, hal 9.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

9

Dalam perkembangannya di era modern, lahir teori-teori modern yang

memandang film dari sudut praktik sosial dan komunikasi massa.25 Dalam praktik

sosial, film dipandang sebagai institusi sosial yang melibatkan interaksi antar

bagiannya yaitu: produksi, distribusi, dan eksibisi.26 Sedangkan pandangan film dalam

perspektif komunikasi massa sendiri sebenarnya berangkat dari bentuk film sebagai

mass entertainment, jauh sebelum film dikenal sebagai karya seni.27 Perspektif ini

kemudian memberi perhatian khusus pada film sebagai medium dalam proses

komunikasi (massa), yaitu bagaimana pesan-pesan yang ingin disampaikan filmmaker

melalui filmnya diterima oleh khalayak yang menjadi targetnya.

Film membentuk konstruksi masyarakat mengenai suatu hal, film juga

merupakan realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian

memproyeksikannya ke atas layar.28 Film telah berkembang menjadi sebuah bentuk

seni dan industri. Film adalah artefak budaya yang diciptakan budaya tertentu yang

mencerminkan budaya, yang pada gilirannya mempengaruhi mereka. Film dianggap

sebagai bentuk seni yang penting, menjadi sumber hiburan populer dan metode yang

kuat untuk mendidik atau mengindoktrinasi warga negara. Unsur-unsur visual dari film

memberikan gambar gerakan universal kekuatan komunikasi.

UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman memberikan definisi film dalam

konteks yang cukup menyeluruh. Disebutkan bahwa film sebagai karya seni budaya

memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan

kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena

itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman. Selain itu film sebagai media

komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan

potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta

25 Budi Irawanto, 1999, Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia,

Yogyakarta: Media Pressindo, hal 11. 26 Jill Nemes (editor), 1996, An Introduction to Film Studies, London: Routledge, hal 8-13. 27 Gerald Mast, Op. cit, hal 4. 28 Alex Sobur, 2009, Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia Bandung, hal 127.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

10

wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman

Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi. Film dalam era globalisasi dapat

menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang

tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia. Dan bahwa upaya

memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam UU yang sama pada Bab 2 Pasal 4, film sebagai media massa memiliki

berbagai fungsi, yaitu: penerangan, pendidikan, pengembangan budaya bangsa,

hiburan, dan ekonomi. Film sebagai media massa dilihat dari 4 elemen tersebut dengan

penjelasan bahwa sebagai penerangan, film merupakan media yang bisa

mempromosikan nilai-nilai keragaman budaya dan kepribadian bangsa kepada

masyarakat internasional. Dalam fungsi pendidikan, disebutkan bahwa film merupakan

media yang mampu menjadi sarana pendidikan bagi khalayak melalui pesan-pesan di

dalamnya. Film juga sebagai media yang mampu memantapkan dan mengembangkan

nilai-nilai budaya bangsa melalui gambar dan pesan yang terdapat dalam film, hal ini

merupakan fungsi pengembangan budaya bangsa. Untuk fungsi hiburan, film menjadi

media yang mampu memberikan hiburan bagi masyarakat secara umum. Dan pada

fungsi ekonomi, bahwa perkembangan film sebagai sebuah industri berdampak pada

strata ekonomi dan sosial dalam masyarakat.

Film berpindah menembus jarak, jaringan, struktur, dan arus. Film tidak

berhenti atau terpatri pada satu titik, melainkan bergerak masuk ke dalam ruang dan

panel tertentu dan kemudian berpindah ke ruang lainnya.29 Karena film memiliki sifat

yang dinamis, sejatinya film tidak bisa hanya didiamkan begitu saja setelah selesai

melalui tahap produksi. Film membutuhkan audiens dan apresiasi untuk dapat

mempunyai efek, untuk dapat menyampaikan pesan.

29 Janet Harbord, 2002, Film Cultures, London: SAGE Publications, hal 5.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

11

E.2. Film Independen

Film independen adalah salah satu hasil kreasi insan perfilman (sineas) dengan

menjunjung tinggi nilai apresiasi seni tanpa harus terjebak ke dalam suatu paradigma

sinema formal.30 Secara istilah, film independen baru muncul setelah reformasi, yang

mulai menjadi istilah marak setelah film Kuldesak (1998). Sebelumnya semangat

serupa sudah ada, namun dengan penamaan yang berbeda, yaitu film pendek atau film

mini.31 Kata 'indie'32 dalam proses produksi film bisa diartikulasikan dalam berbagai

konteks. Pertama, kata ini merujuk kepada proses produksi film yang didanai sendiri

tanpa ada bantuan dana dari pihak lain, sehingga dalam manajemen produksi terbebas

dari pengaruh pihak lain.

Kedua, kata ini merujuk kepada perlawanan terhadap label mayor, sebagaimana

yang sering dipahami dalam konteks musik indie di dunia Barat. Jika memang indie

merupakan oposisi biner, maka gagasan film indie adalah gagasan yang membela

kelompok subaltern dan subkultur yang selama ini terpinggirkan dari wacana dominan

dalam film-film mayor.33 Diperjelas lagi menurut Yannis Tzioumakis dalam bukunya,

American Independent Cinema, disebutkan bahwa:

“Independent filmmaking consists of low-budget projects made by (mostly)

young filmmakers with a strong personal vision away from the influence and

pressures of the few major conglomerates that control tightly the film industry.

As film critic Emmanuel Levy put it, ‘ideally, an indie is a fresh, low-budget

movie with a gritty style and offbeat subject matter that express the filmmaker’s

personal vision.’ An independent film is any film that has not been financed,

produced and/or distributed by a major entertainment conglomerate.”34

30 Ahmad M. Ramli dan Fathurahman, 2005, Film Independen (Dalam Perspektif Hukum Hak Cipta dan

Hukum Perfilman Indonesia), Bogor: Ghalia Indonesia, hal 4. 31 Gotot Prakosa, 2006, Op. cit, hal 45. 32 Istilah ‘indie’ merupakan kependekan dari istilah independen yang lazim digunakan di kalangan

sineas muda dan perkumpulan komunitas film. 33 Fajar Junaedi, 2009, Membaca Indonesia dari Film dan Sinema Indonesia, dalam buku Menelanjangi

Film Indonesia: Lingkar Media, hal 5. 34 Yanis Tzioumakis, 2005, American Independen Cinema: An Introduction, UK: Edinburgh

University Press, hal 1-2

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

12

Dari kedua penjelasan di atas, rangkuman antara keduanya dapat dilihat bahwa

konsep independen dalam film independen merupakan gerakan oposisi yang keras

untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor. Dalam sektor

teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm)

melawan profesional (35mm). Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi

atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang

terorganisir secara massal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi

orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual.

Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film

melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, independen bergerak dari

eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan

kecenderungan umum.35

Secara formal, di Indonesia film indie tidak pernah mendapatkan tempat baik

dalam regulasi yang dibuat pemerintah maupun dalam jalur distribusi yang normal.

Pada dasarnya film indie dibuat oleh para sineas muda yang kaya idealisme untuk

belajar memproduksi film tapi tidak didukung oleh kapital yang memadai apalagi

teknologi. Film-film yang dibuat secara independen ini dikelola secara mandiri dan

lepas dari konteks mainstream dari segala aspek seperti sisi produksi, kreativitas

konvensi, maupun distribusi. Sedang secara teknis, film independen asosiatif dengan

film pendek, sarat idealisme, nonkomersial, dan biasanya berupa film-video. Cerita

yang ditawarkan dan pola konsumsinya pun sangat berbeda dengan film-film arus

utama. Pembuat-pembuat film independen ini juga dimudahkan dengan hadirnya

kamera digital handy-cam yang harga dan biaya operasionalnya jauh lebih murah

ketimbang kamera layar lebar (16-35mm). Karya mereka menjadi terpinggir karena

35 Dikutip dari Kemajemukan Karya Sinema Indonesia: Sebuah Cita-cita? Ditulis ulang oleh Alex

Sihar, www.konfiden.or.id

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

13

film yang diakui di Indonesia hanyalah yang bersifat komersial. Jadilah film indie

sebagai film alternatif di luar konteks perfilman.36

Sikap independensi dari para sineas film indie ini tidak hadir dengan sendirinya,

melainkan hadir dari kejemuan akan stagnansi tema perfilman Indonesia, dominasi film

impor di layar lebar, serta ketatnya regulasi bagi dunia perfilman. Hal ini berujung pada

keberanian untuk mendobrak realitas yang ada menuju harapan pada dunia perfilman

sesungguhnya dengan norma-norma yang terdapat pada sinema formal.37 Film indie

karya komunitas tidak pernah mendapatkan tempat, baik dalam regulasi yang dibuat

pemerintah maupun dalam jalur distribusi yang normal. Tidaklah mengherankan jika

kemudian film-film indie ini dianggap sebagai film pinggiran yang berjuang mencari

identitas dalam komunitas film yang sudah mapan.38 Padahal, film-film yang dianggap

pinggiran ini kerap kali mengharumkan nama bangsa dalam kancah festival

internasional, namun naasnya, tidak dianggap di negara sendiri.

Seringkali film indie dikonotasikan dengan film amatir. Padahal, film

independen bukanlah semata-mata film amatir. Ada perbedaan mendasar antara film

independen dan film amatir, bahwa secara analogis, film amatir merupakan sebuah

jenjang anak tangga menuju ke tingkat profesional. Sementara independen bukanlah

sebuah jenjang dan tidak berkorelasi terhadap apapun kecuali sikap independensi.39

Film indie di Indonesia muncul sebagai alat komunikasi suatu komunitas atau individu

untuk berekspresi. Faktor-faktor yang mendorong gairah pembuatan film-film indie di

Indonesia, sama dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yaitu tidak

tersedianya media untuk berekspresi.40

36 Novi Kurnia, Posisi dan Resistensi: Ekonomi Politik Perfilman Indonesia, 2008, Yogyakarta:

Penerbit Fisipol UGM, hal 87. 37 Fajar Junaedi, Ibid. 38 Novi Kurnia, Ibid. 39 Ahmad M. Ramli dan Fathurahman, Op. cit, hal 55. 40 Garin Nugroho, Berpikir Merdeka dan Berkarya Mandiri, dilansir dari Harian Kompas, Minggu, 9

Juni 2002.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

14

E.3. Komunitas Film

Di dalam sosiologi, komunitas dapat diartikan sebagai kelompok orang yang

saling berinteraksi yang ada di lokasi tertentu. Namun, definisi ini terus berkembang

dan diperluas menjadi individu-individu yang memiliki kesamaan karakteristik tanpa

melihat lokasi atau tipe interaksinya.41 Konsep komunitas dipakai secara lebih luas

dimana untuk kesatuan hidup yang berada dalam satu wilayah tertentu disebut sebagai

‘community of places’, sedangkan hubungan yang diikat arena kesamaan kepentingan

namun tidak tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu (borderless) disebut dengan

‘community of interest’.

Komunitas dapat dibedakan atas berbagai pola, atas dasar ukuran (besar dan

kecil), atas dasar level (lokal, nasional, internasional), riil atau virtual, bersifat

kooperatif atau kompetitif, serta formal atau informal.42 Dalam kehidupan modern saat

ini, kelompok orang-orang yang memiliki kepentingan, membentuk suatu komunitas,

dan mengadakan aksi atau gerakan menuntut komunitas lain dalam memenuhi

keinginannya.

Faktor utama yang menyebabkan komunitas terbentuk yaitu karena adanya

interaksi yang lebih besar yang menyebabkan tumbuhnya rasa ketertarikan dan

keakraban yang menimbulkan kenyamanan bagi para anggotanya. Umumnya hal

tersebut tumbuh karena mereka memiliki kebiasaan-kebiasaan yang sama dan hal lain

yang serupa seperti hobi dan ketertarikan kepada sesuatu yang sama.

Komunitas pada hakikatnya merupakan pengalaman subjektif, yang tidak dapat

dilukiskan secara objektif.43 Komunitas juga sukar dipahami karena ia adalah kualitatif,

41 Jasmadi, 2008, Membangun Komunitas Online Praktis dan Gratis, Jakarta: Elex Media

Komputindo, hal 16. 42 Syahyuti, 2005, Pembangunan Pertanian dengan Pendekatan Komunitas : Kasus Rancangan

Program Prima Tani, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23 No. 2, Desember 2005 : 102 –

115, http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE23-2c.pdf, hal 103. 43 Jim Ife dan Frank Tesoriero, 2008, Community Development, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 198.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

15

dalam artian komunitas ini selalu berkembang dan selalu dalam keadaan ‘sedang

menjadi’ (becoming). Komunitas dirasakan dan dialami, ketimbang diukur dan

dibatasi. Setiap komunitas memiliki konteks mereka sendiri yang berbeda-beda dari

satu yang lainnya, baik secara struktur, kelembagaan, maupun interaksi di dalamnya.

Konsep komunitas digunakan juga dalam khazanah film, dalam bentukan

komunitas film. Komunitas film adalah kumpulan orang yang mempunyai visi dan misi

serupa yang tergabung atau terwadahi dalam suatu organisasi tertentu yang bergerak

dalam hal perfilman independen. Mereka mulai membuat sebuah karya film

independen, menjalin jaringan, melakukan peningkatan SDM dan kemudian

memformulasikan diri menurut tujuan dan cara mereka sendiri.44 Pemahaman yang

sedang berlaku di masyarakat belakangan ini, komunitas film lebih diarahkan untuk

kelompok-kelompok penggiat film, khususnya kelompok penggiat film independen di

luar jalur industri, sedangkan yang berada di jalur industri lebih dikenal berada dalam

wadah yang disebut organisasi, asosiasi, atau perusahaan.

Komunitas kecil pecinta-pecinta film bermunculan dengan cepat di kota-kota

Pulau Jawa setelah FFVII (Festival Film Video Independen Indonesia) pertama

berlangsung pada 1999.45 Semenjak booming, komunitas film tampaknya menjadi

entitas tersendiri dalam wacana perfilman Indonesia. Ia ada namun dianggap tak ada;

menjadi semacam bayang-bayang dalam situasi yang juga sama gelapnya di level lain

seperti industri perfilman Indonesia itu sendiri.46 Menurut Katinka Van Heeren,

komunitas film merupakan:

44 Rizki Pria Perdana, 2011, Unsur Intrinsik Dan Variasi Genredalam Film Independen (Studi Analisis Isi

Kualitatif Terhadap Genre, Tema Dan Alur Cerita Pada Komunitas Film Independen di Surabaya),

Skripsi Universitas Brawijaya Malang, tidak dipublikasikan, hal 62. 45 Agus Mediarta, Permasalahan Mendasar Perfilman dan Komunitas Film, dilansir dari laman

http://perfilman.pnri.go.id/kliping_artikel/detail/260, diakses pada 16 Januari 2014. 46 Dimas Jayasrana, Awas Bahaya Laten Komunitas, dilansir dari laman

http://masyarakatfilmindonesia.com/2007/04/27/awas-bahaya-laten-komunitas/, diakses pada 17

Januari 2014.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

16

“These communities consisted of amateur film-makers, the majority of them

students, who tried to produce films on a shoestring budget, borrowing money

and film equipment from friends and family. In these communities, there was

plenty of discussion about what independent film really meant.”47

Komunitas-komunitas film Indonesia yang tumbuh setelah Reformasi memiliki

kegiatan-kegiatan seperti menyelenggarakan festival film independen dengan diskusi,

lokakarya, dan buletin mereka sendiri. Ada pula diskusi mengenai film independen dan

makna dari film independen itu sendiri. Selain itu, hadir pula diskusi-diskusi lain yang

menekannya pentingnya menciptakan sistem distribusi dan eksibisi film yang kaya dan

kompetitif, yang bebas dari kepentingan bisnis dan kontrol pemerintah.48 Mayoritas

anggota komunitas film ini terdiri anak-anak muda di awal dua puluhan yang tidak

memiliki latar belakang yang nyata dalam pembuatan film. Film-film karya komunitas

ini umumnya sarat dengan isu kelokalan dan isu kehidupan sehari-hari. Karya mereka

dapat menangkap ketertarikan mereka akan suatu hal, rasa humor anak muda yang

menggelitik, bahkan mengungkapkan masalah kritik budaya, sosial, dan politik.

Komunitas-komunitas film ini pun kemudian mengkhususkan diri dalam fokus-

fokus tertentu. Ada yang berfokus pada produksi film independen, ada yang

mengkhususkan diri dalam eksibisi dan diskusi, bahkan ada yang berusaha

mengupayakan munculnya kegiatan distribusi. Hampir semua kegiatannya

berlangsung secara mandiri. Dalam Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis

Komunitas tahun 2010 yang diselenggarakan di Solo, komunitas film dipetakan

menjadi 5 fokus, antara lain komunitas film produksi, distribusi, eksibisi, literasi, dan

festival.49 Namun, hingga kini perbandingan antara komunitas yang berfokus satu dan

lainnya tidak pernah sebanding/seimbang.

47 Katinka Van Heeren, 2012, Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts From The

Past, Netherland: KITLV Press, hal 58. 48 Ibid, hal 55. 49 Dalam Notulensi Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas tahun 2010.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

17

Komunitas film yang tersebar di seluruh Indonesia, juga dibedakan menjadi

dua, yaitu yang terdaftar dalam suatu badan pendidikan (sekolah atau universitas, yang

kemudian disebut komunitas film kampus) dan yang berdiri sendiri (yang biasa disebut

komunitas film non kampus).50 Komunitas berbasis kampus dapat dikatakan sebagai

komunitas yang paling mampu bertahan sampai sekarang. Ada beberapa sebab yaitu,

setiap tahunnya mereka melakukan regenerasi dalam struktur organisasinya, visi-misi

lebih jelas dan tertata karena merupakan salah satu bentuk dari Unit Kegiatan

Mahasiswa (UKM). Meskipun demikian ada juga kelemahannya yaitu, justru karena

selalu melakukan regenerasi tiap tahunnya itulah perkembangan komunitas kampus

berjalan lebih lambat jika dibandingkan dengan komunitas non kampus, selalu ada

orang-orang baru yang memulai belajar film, dan setelah rentang waktu satu tahun

mereka harus meninggalkan komunitasnya.

Komunitas film non-kampus merupakan komunitas yang berdiri di luar institusi

pendidikan, berdirinyapun karena inisiatif masing-masing orang yang tergabung dalam

kelompok tersebut. Kemunculan mereka sering timbul tenggelam dan sedikit sekali

yang mampu bertahan. Salah satu penyebab pasang surutnya komunitas film non-

kampus tidak terlepas dari masalah daya tahan sebuah komunitas itu sendiri, beberapa

masalah internal yang sering muncul diantaranya pertama, karena tidak memiliki

“ideologi” yang cukup kuat sebagai sebuah komunitas. Kedua, ketidakjelasan visi-misi

dalam menjalankan kegiatan karena pada umumnya masih berpegang pada

aktivisme. Ketiga, tuntutan kebutuhan hidup yang terus menerus mengikis komitmen

mereka untuk berkomunitas.

50 Jurnal Clea Edisi 11, Juli 2008, Kepingan Dunia Film Yogya, Yogyakarta: Rumah Sinema.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

18

E.4. Distribusi Film

Secara umum, kata distribusi mengacu pada penyebaran materi atau informasi

di wilayah geografis atau periode temporal tertentu. Sebagai contoh, Oxford English

Dictionary mendefinisikan distribusi sebagai “action of dividing and dealing out or

bestowing in portions among a number of recipients”.51 Sebuah tindakan membagi,

menangani, atau melimpahkan sesuatu terhadap sejumlah penerima. Menurut David

Sin, distibusi film merupakan ‘missing link’ dalam kajian film.52

Lobato53 menggarisbawahi pentingnya distribusi film, bahwa ‘cinema matters

because it has social consequence’ dan untuk mencapai konsekuensi sosial tersebut,

film harus sampai kepada audiensnya –di sini lah pentingya distribusi film. Davin Sin

juga menyatakan hal serupa bahwa distribusi adalah ‘where completed films are

brought to life and connected with an audience’. Jaringan distribusi tidak hanya

mengantarkan konten kepada audiens, namun juga membentuk budaya film dengan

citra mereka sendiri melalui pengaturan akses penonton ke bioskop, menciptakan

permintaan produksi masa depan, dan menstrukturisasi kebiasaan serta selera

penonton.

Distribusi film adalah sebuah “seni yang tak tampak”.54 Disebut tidak tampak

karena kegiatan distribusi film ini seluruhnya berjalan di belakang layar, jauh dari hiruk

pikuk produksi dan sorotan publik di tahap eksibisi.55 Meskipun demikian, mekanisme

distribusi ini tetaplah merupakan salah satu unsur dari tiga unsur kegiatan ekonomi film

yang tak terpisahkan, yakni produksi-distribusi-konsumsi (eksibisi). Distribusi adalah

mengenai merilis dan mempertahankan film di pasar. Dalam praktek Hollywood dan

51 Oxford English Dictionary, 1989, online. 52 David Sin, Distribution: Introduction: What Is Distribution, dilansir dari laman

http://www.screenonline.org.uk/film/distribution/distribution1.html, diakses pada 17 Mei 2014. 53 Ramon Lobato, 2009, Subcinema: Mapping Informal Film Distribution, PhD Diss. University of

Melbourne: Melbourne, hal 3. 54 Eric Sasono, Op. cit, hal 191. 55 Ibid.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

19

industri sinema besar lain, fase produksi, distribusi, dan eksibisi beroperasi paling

efektif ketika 'terintegrasi secara vertikal', di mana tiga tahap tersebut dipandang

sebagai bagian dari proses besar yang sama, di bawah kendali satu perusahaan.56

Sebuah film diproses mulai dari proses produksi, dimana berbagai audio, video,

dan artefak digital dibuat dan dikombinasikan terhadap hasil akhir produk film.

Kemudian proses distribusi pun dilakukan, yang di dalamnya termasuk pengedaran

format fisik atau elektronik dari film tersebut kepada konsumen, kritikus, juri

penghargaan, dan lain-lain. Kegiatan pemasaran bisa saja terjadi di dalam proses

produksi ataupun distribusi.57 Distributor ‘mengeksploitasi’ film di berbagai pasar,

tergantung pada kesepakatan perusahaan produksi saat melakukan negosiasi,

distributor, atau agennya –yang disebut subdistributor.58

Bagan 1: Proses produksi dan distribusi pada sebagian besar studio di industri

perfilman besar59

56 David Sin, Distribution: Introduction: What Is Distribution, dilansir dari laman

http://www.screenonline.org.uk/film/distribution/distribution1.html, diakses pada 17 Mei 2014. 57 Simon Byers dkk, 2014, An Analysis of Security Vulnerabilities In The Movie Production and

Distribution Process, USA: El Sevier, hal 622. 58 Jehoshua Eliashberg, Weinberg dan Hui, 2008, Decision Models For The Movie Industry, Journal of

Springer Science and Bussines Media, hal 34. 59 Simon Byers dkk, Op. cit.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

20

Distributor film bukanlah hanya sekedar penengah antara filmmaker dan

eksibitor, terbatas hanya untuk membeli dan menjual produk. Pada dasarnya, film

distribusi adalah kegiatan pemasaran untuk film. Selain merumuskan dan menerapkan

strategi promosi dan iklan, distributor bekerjasama dengan media, menghasilkan semua

materi promosi yang diperlukan, memberikan saran pada semua aspek produksi

(meningkatkan daya jual film, casting, dll), dan menyediakan pembiayaan untuk

produksi melalui kemajuan dan membeli hak. Beberapa distributor bahkan ikut

terintegrasi ke dalam produksi untuk memastikan film tersebut memiliki nilai jual dan

kualitas.60

Distribusi memastikan mekanisme pasar berjalan, karena hanya lewat peran

distribusi lah terjadi arus barang dan jasa, dengan asumsi distribusi terjadi di sebuah

pasar terbuka.61 Pada tatanan perfilman yang ideal, distributor memiliki kewenangan

untuk menentukan jumlah kopi, pangsa pasar, lokasi penayangan, waktu rilis, hingga

analisa kekuatan produk/filmnya sendiri. Pihak distributor mengadakan kesepakatan

lagi dengan berbagai pihak di sisi hulu dan hilirnya untuk menentukan mekanisme

eksploitasi karya film sehingga hasilnya bisa menguntungkan semua pihak. Distributor

memiliki hak untuk mengelola eksploitasi film dengan metode yang disepakati.

Posisi distributor yang berkonsentrasi pada pengamatan pasar membuat mereka

memiliki daya tawar yang cukup kuat. Namun, biasanya diimbangi pula dengan

kesediaan pihak distributor mengambil risiko yang porsinya cukup besar pula atas

segala proses eksploitasi tersebut. Distributor menanggung semua biaya untuk

penggandaan kopi film, biaya promosi, dan juga harus mengatur jadwal rilis film. Demi

dapat menanggung seluruh resiko ini, kerapkali perusahaan distribusi merupakan

60 2013, Choosing A Good Channel for Film Industries in Indonesia, dilansir dari

http://www.123helpme.com/film-distrubution-channels-in-indonesia-view.asp?id=165023, diakses

pada 2 November 2014. 61 Eric Sasono dkk, Op. cit, 192.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

21

perusahaan-perusahaan besar yang mapan. Hal ini adalah distribusi yang terjadi pada

negara dengan ekosistem perfilman yang ideal, contohnya Hollywood.

E.5. Strategi Distribusi Film

Strategi umumnya didefinisikan sebagai kerangka kerja (frame work), teknik

dan rencana yang bersifat spesifik atau khusus.62 James Brian Quinn memaparkan

mengenai definisi strategi yaitu: “A strategy is the pattern or plan that integrates an

organization’s major goals, policies, and action sequences into a cohesive goal.”63

(Strategi ialah pola atau rencana yang terintegrasi dengan tujuan utama, kebijakan, dan

rangkaian tindakan sebuah organisasi ke dalam satu tujuan yang padu).

Strategi efektif yang biasa digunakan suatu organisasi terbagi menjadi 5 antara

lain: mengidentifikasi lingkungan yang akan dimasuki dan menentukan misi untuk

mencapai visi yang dicita-citakan dalam lingkungan tersebut; melakukan analisis

lingkungan internal dan eksternal untuk mengukur kekuatan dan kelemahan serta

peluang dan ancaman yang akan dihadapi.; merumuskan faktor-faktor ukuran

keberhasilan (key success factors) dan strategi yang dirancang; menentukan tujuan dan

target terukur, mengevaluasi alternatif strategi dengan mempertimbangkan

sumberdaya yang dimiliki dan kondisi eksternal yang dihadapi; dan memilih strategi

paling sesuai untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang.64

Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan satu

pengertian mengenai strategi. Secara keseluruhan, strategi dapat dilihat sebagai satu

proses perancangan yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan dan menjadi dasar

62 Rabin et al, 2000, Handbook Of Strategic Management, New York: Marcell Dekker, hal xv. 63 Hendry Mintzberg dan James Brian Quinn, 1991, The Strategy Process: Concept, Contest, Cases,

New Jersey: Prentice-Hall, hal 5. 64 Bambang Hariadi, 2005, Strategi Manajemen, Jakarta: Bayumedia Publishing, hal 34.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

22

pelaksanaan kebijakan dalam sebuah organisasi. Strategi mengacu kepada penyusunan

rencana untuk mencapai tujuan tertentu.

Sedangkan, distribusi menurut Ramon Lobato merupakan sebuah proses

mediasi di antara produksi dan resepsi film.65 Jadi, membahas mengenai strategi

distribusi dapat disimpulkan bahwa strategi distribusi merupakan strategi yang secara

khusus dipersiapkan dalam upaya penyebaran media yang digunakan untuk

mendukung tercapainya target sasaran. Adapun yang menjadi bagian dari strategi

distribusi media, yaitu distribusi media berdasarkan format, lokasi penyebaran,

promosi, dan evaluasi distribusi.

Pada strategi distribusi film independen di Indonesia, akan dibagi dalam empat

bagian menurut Eastman dan Ferguson66 yaitu pemilihan format distribusi,

penjadwalan (jalur distribusi), promosi pemutaran, dan evaluasi distribusi.

E.5.1. Pemilihan Format Distribusi

Menilik strategi distribusi film independen di Indonesia dalam pemilihan

format distribusinya dibedakan menjadi dua yaitu format fisik dan format digital. Pada

format fisik, distribusi film independen dilakukan menggunakan format kepingan VCD

atau DVD. Langkah distribusi yang dilakukan beberapa film karya komunitas yang

dicetak dalam format ini adalah kemudian dijual secara underground.67 Pendahulu

format VCD adalah kaset video dan laser disk (LD), dan kemudian diikuti oleh

kemunculan dan maraknya DVD.68

65 Ramon Lobato, Op. cit, hal 1. 66 Susan Tyler Eastman & Douglas A. Ferguson, 2009, Media Programming: Strategies and Practices

(8th edition), Boston: Thomson Wardsworth, hal 24. 67 Lulu Ratna, 2007, Indonesian Short Film After Reformation 1998, Journal of Routledge Inter-Asia

Cultural Studies Volume 8 No2, 2007, hal 305. 68 Katinka Van Heeren, Op. cit, hal 69.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

23

Sedangkan format kedua merupakan format digital. Format ini lebih fleksibel

untuk dapat didistribusikan. Format digital ini bisa berbentuk MP4 (Moving Picture

Expert Group Layer-4 Audio), AVI (Audio Video Interleave), MKV (Matroska

Container Video), dan sebagainya selama merupakan format yang dapat diputar oleh

komputer secara digital. Melalui format digital ini, film bisa didistribusikan melalui

pemutaran-pemutaran alternatif, diunggah ke website video, ataupun diputar dari

tangan ke tangan. Dalam hal ini, teknologi mempengaruhi distribusi film yang

dilakukan.

Dalam penelitian ini, peneliti telah menggali mengenai pilihan yang diputuskan

oleh komunitas Pabrik Film dalam menentukan format film mereka sebagai suatu

strategi distribusi. Mulai dari awal mengapa dipilih format tersebut, dan kemudian

bagaimana cara pendistribusiannya dengan format tersebut.

E.5.2.Pemilihan Jalur Distribusi

Komunitas-komunitas film independen umumnya mendistribusikan filmnya

menuju beberapa jalur antara lain: festival film, program sponsor, bioskop alternatif,

dan melalui internet. Setiap jalur distribusi film independen ini memiliki ciri dan tujuan

yang berbeda-beda pula sesuai pilihan jalur yang dipilih komunitas tersebut dalam

distribusi filmnya.

Jalur distribusi pertama, yaitu festival film. Festival film merupakan salah satu

titik temu yang penting untuk komunitas film dan para filmmaker independen di

Indonesia. Sebagian film-film yang diputar di festival-festival film ini sangat jarang

ditemukan, baik di Indonesia sendiri ataupun di luar negeri. Kebanyakan dari festival

ini memiliki basis dari komunitas-komunitas film juga.69 Festival dinilai positif sebagai

69 Lulu Ratna, Op. cit.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

24

sarana bertukar ide/gagasan, melakukan kerjasama antar individu atau komunitas

dalam menciptakan karya baru.70 Dalam festival-festival film di Indonesia, gagasan

antara distribusi dan konsumsi mainstream atau sidestream tidak banyak terlihat, di

mana sebagian besar festival film bisa dianggap sebagai saluran distribusi sidestream

karena mereka memiliki insiatif sendiri dan tidak didukung atau dijalankan oleh

pemerintah atau industri.71

Selanjutnya adalah program sponsor. Beberapa lembaga donor, LSM, atau

sponsor lokal seringkali mendukung dan menunjang distribusi dan eksibisi film-film

karya komunitas.72 Filmmaker bekerja sama dengan lembaga-lembaga donor ini untuk

membuat film yang sejalan dengan program lembaga tersebut dan kemudian akan

didistribusikan biasanya hingga ke kota-kota lain.

Kemudian, adapun jalur distribusi bioskop alternatif. Bioskop alternatif

merupakan ruang menonton yang diadakan oleh kelompok tertentu, sebagian besar

nonkomersial, dan hanya untuk penonton terbatas. Institusi yang menyelenggarakan

bioskop ini adalah sekolah atau universitas, kine klub, komunitas film, perkumpulan

pembuat film, lembaga kebudayaan, lembaga kajian film, dan sebagainya. Kegiatannya

tak hanya pemutaran film saja, bisa jadi sekaligus dengan workshop dan diskusi.

Komunitas-komunitas film pun semakin sadar akan fungsi bioskop alternatif ini dan

mulai menggeliatkan dalam mengapresiasi film.73

Di era digital kini, tentunya distribusi film online juga merupakan salah satu

lahan distribusi potensial. Dengan distribusi melalui internet, filmmaker dapat secara

langsung berinteraksi dengan target audiens film mereka.74 Terlebih lagi sudah banyak

70 Dara Bunga Rembulan, Op. cit, hal 42. 71 Katinka Van Heeren, Op. cit, hal 74. 72 Lulu Ratna, Op. cit, hal 306. 73 Dara Bunga Rembulan, Op. cit, hal 38. 74 Andrew Sparrow, 2007, Film and Television Distribution and the Internet: A Legal Guide for the

Media Industry, UK: Gower, hal 1.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

25

website berbasis video di internet, beberapa di antaranya adalah YouTube, Vimeo, dan

Vine. Dengan mendistribusikan filmnya secara online, meskipun pemasukan secara

finansial belum tentu terjamin, namun filmmaker komunitas ini bisa sekaligus

mempromosikan komunitas mereka dalam artian di satu sisi mereka menghantarkan

karya mereka kepada audiens, dan di saat yang bersamaan melakukan branding

komunitas.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti telah melihat bagaimana Pabrik Film

menentukan jalur distribusi untuk film yang diproduksinya. Peneliti menggali aspek-

aspek yang menjadi landasan Pabrik Film dalam pemilihan jalur distribusi tersebut dan

kendala apa saja yang dihadapi.

E.5.3 Promosi Pemutaran

Promosi pada hakekatnya adalah suatu komunikasi pemasaran, artinya aktivitas

pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi atau membujuk dan

mengingatkan pasar sasaran atau perusahaan dan produknya agar bersedia menerima,

membeli dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan.75

Dalam strategi pendistribusian film independen ini, tentu diperlukan strategi

promosi agar film komunitas tersebut dapat ditonton oleh audiens. Usaha

mempromosikan pemutaran bisa dilakukan dengan beragam media, mulai dari media

cetak, penyiaran, hingga media baru atau internet. Selain menilik dari media promosi

yang digunakan untuk menjaring audiens yang akan menonton film tersebut,

bagaimana cara promosinya juga merupakan hal penting yang menentukan audiens.

Namun, pada konteks komunitas film di Yogyakarta, komunitas film jarang melakukan

75 Fandy Tjiptono, 2001, Strategi Pemasaran, Edisi Pertama, Yogyakarta: Andi Ofset, hal 219.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

26

promosi terhadap film mereka yang diputar atau yang telah didistribusikan. Maka dari

itu, promosi dalam Pabrik Film telah peneliti lihat secara saksama.

Dalam penelitian ini, peneliti melihat apakah promosi dilakukan oleh

komunitas Pabrik Film dalam mendistribusikan filmnya, jika ada kemudian peneliti

menilik bagaimana promosi film dan pemutaran yang dilakukan. Peneliti juga melihat

mengenai intensitas promosinya, serta melakukan promosi di media mana saja.

E.5.4. Evaluasi Program Distribusi

Evaluasi program merupakan interpretasi secara terus-menerus dari informasi

kuantitatif dan pendapat-pendapat kualitatif yang menghasilkan perbaikan

penyeleksian program, perubahan jadwal program yang telah diseleksi, dan modifikasi

dalam promosi program.76 Dalam programming media, keberhasilan program secara

kuantitatif dan kualitatif.

Secara kuantitatif, biasanya dilakukan pengukuran dari jumlah penonton.

Kemudian, secara kualitatif, hal ini dapat diukur dengan masuknya kritik atau saran

bahkan apresiasi yang diberikan banyak pihak. Selain itu, feedback dari audiens dapat

disampaikan secara langsung ataupun melalui media sosial. Hasil-hasil kuantitatif dan

kualitatif ini nantinya digunakan sebagai bahan pertimbangan apakah program akan

tetap dipertahankan, diubah formatnya, atau bahkan dihentikan.

Dalam perjalanannya, tidak banyak komunitas film yang melakukan evaluasi

terhadap strategi distribusinya. Untuk itu, peneliti menilik dalam penelitian ini apakah

komunitas Pabrik Film melakukan evaluasi terhadap strategi distribusi yang telah

mereka lakukan, kemudian jika ternyata mereka pernah melakukan evaluasi,

76 Susan Tyler Eastman dan Douglas A. Ferguson, Op. cit, hal 52.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

27

bagaimana evaluasi program distribusi yang telah dilakukan. Selanjutnya adakah

masukan dari penonton, jika ada, bagaimana masukan-masukan tersebut digunakan

sebagai bahan perbaikan terhadap distribusi film selanjutnya.

Dari kerangka pemikiran yang telah dipaparkan di atas, maka fokus dan inti

penelitian dapat dijabarkan dalam diagram di bawah ini. Bahwa distribusi film yang

dilakukan oleh Pabrik Film dalam penelitian ini diuraikan menjadi beberapa

penjabaran yaitu strategi, komponen kunci, kendala, dan solusi. Untuk strategi, menjadi

hal yang menjadi fokus utama peneliti. Dalam menilik strategi distribusi yang

dilakukan komunitas Pabrik Film, peneliti menjabarkannya ke dalam empat tahap

strategi programming menurut Eastman dan Ferguson yaitu format, jalur distribusi,

promosi, dan evaluasi.

Bagan 2 : Konseptualisasi pemikiran

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

28

F. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma ini hampir

merupakan antitesis terhadap paham yang menempatkan pentingnya pengamatan dan

objektivitas dalam menemukan suatu realitas atas ilmu pengetahuan. Secara ontologis,

aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental

yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal, dan spesifik, serta tergantung

pada pihak yang melakukannya.77

Menurut Dedy N. Hidayat,78 konstruktivisme memandang ilmu sosial sebagai

sebuah analisis sistematis atas “socially meaningful action” melalui pengamatan

langsung terhadap aktor sosial dalam setting alamiah, agar dapat memahami dan

menafsirkan bagaimana aktor sosial menciptakan dan memelihara dunia sosial.

Pada penelitian ini, jika ditilik lebih lanjut terdapat ciri utama: 1) bagaimana

(how) komunitas Pabrik Film Yogyakarta menanggulangi dan mengupayakan

distribusi film karya komunitas tersebut; 2) Peneliti hanya memiliki sedikit peluang

dalam mengontrol fenomena yang akan diteliti, karena fenomena tersebut telah

berlangsung serta sepenuhnya merupakan kebijakan dari komunitas yang

bersangkutan, sehingga peneliti menempatkan diri sebagai pengamat fenomena.

Penelitian ini menyelidiki fenomena di dalam konteks komunitas film Yogyakarta

dalam kehidupan nyata dengan fokus utama bagaimana penanggulangan masalah

dalam komunitas film di Yogyakarta ini. Dari pemaparan di atas, metode yang paling

efektif untuk digunakan adalah studi kasus yang bersifat deskriptif.

77 Agus Salim, 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal 71.

78 Dedy Nur Hidayat, 1999, Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia Vol III: Paradigma dan

Perkembangan Penelitian Komunikasi, hal 39.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

29

Yin79 memberikan definisi tentang studi kasus, yaitu studi kasus sebagai suatu

inklusi empiris yang: menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata; bilamana

batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan dimana

multisumber bukti dapat dimanfaatkan. Kekuatan unik dari studi kasus adalah

kemampuannya untuk berhubungan sepenuhnya dengan berbagai jenis bukti seperti

dokumentasi, peralatan, wawancara, dan observasi.80 Dengan keunikan ini, maka

penelitian dengan studi kasus menjadikan penelitian semakin lengkap dan detail dalam

melihat fenomena. Metode studi kasus sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif,

dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme

(individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit.

Kekuatan unik dari studi kasus adalah kemampuannya untuk berhubungan sepenuhnya

dengan berbagai jenis bukti seperti dokumentasi, peralatan, wawancara, dan observasi.

Dengan keunikan ini, maka penelitian dengan studi kasus menjadi semakin lengkap

dan detail dalam melihat fenomena.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mendasarkan diri pada data yang

terhimpun dan disusun secara sistematik, faktual, dan cermat. Penelitian ini hanya

memaparkan situasi atau persitiwa berdasarkan data tersebut. Di sini peneliti tidak

mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis, atau membuat prediksi.81

Dengan demikian, pelaksanaan metode deskriptif ini tidak hanya sampai pada

pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang arti

data tersebut.

Metode penelitian studi kasus deskriptif dapat juga diuraikan sebagai prosedur

pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menuliskan keadaan

subjek atau objek penelitian suatu lembaga, masyarakat, dan lain-lain. Penelitian

79 Robert K. Yin, 2005, Studi Kasus Desain & Metode, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 18. 80 Ibid, hal 12. 81 Jalaludin Rakhmat, 1984, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal 37.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

30

deskriptif berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek.82 Studi kasus

deskriptif dipilih karena memberikan gambaran-gambaran detail dan menyeluruh

mengenai distribusi film yang dilakukan komunitas Pabrik Film.

Pabrik Film dipilih sebagai objek penelitian karena beberapa alasan. Alasan

pertama, Pabrik Film merupakan sebuah komunitas film yang masih kokoh bertahan

di kota Yogyakarta. Kedua, Pabrik Film pernah melakukan suatu usaha distribusi film

karya mereka yang cukup kreatif dan berani, yaitu melalui program Bioskop Mandiri.

Ketiga, kasus distribusi yang dialami Pabrik Film ini menarik, dan belum pernah

dialami oleh komunitas film lainnya di Yogyakarta.

F.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2014 hingga Desember 2014. Adapun

proses pengumpulan data wawancara dan observasi dilakukan di lokasi komunitas

Pabrik Film melakukan kegiatan. Lokasi wawancara dan observasi berpindah-pindah

sesuai dengan agenda Pabrik Film. Beberapa lokasinya antara lain di Bujang Café

Seturan, Art Film School Yogyakarta, Waroeng Kalkun, dan Semesta Coffee Kotabaru.

Wawancara mendalam dilakukan beberapa kali yaitu pada bulan Mei 2014, kemudian

di bulan September 2014, dan November 2014.

82 John W. Best, 1982, Metodologi Penelitian Pendidikan, disunting oleh Sanafiah Faisal dan Mulyadi

Guntur Waseso, Surabaya: Usaha Nasional, hal 119.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

31

F.2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua sumber yaitu sumber data primer dan

sekunder. Masing-masing sumber data tersebut digunakan sebagai hasil penelitian

yang dianalisis lebih lanjut menjadi kesimpulan dalam penelitian ini.

Data primer didapatkan dari kegiatan yang dijalankan oleh para anggota

komunitas film Pabrik Film di Yogyakarta. Data primer yang diperoleh penelitian ini

mencakup data-data tentang proses kreatif, perancangan dan sistem manajemen

distribusi film, dan strategi-strategi distribusi film. Data-data tersebut meliputi

transkrip wawancara, arsip foto, dan rekaman wawancara dengan informan. Data

diperoleh dengan cara wawancara mendalam dan observasi partisipatoris. Sedangkan,

data sekunder dalam penelitian ini meliputi teori-teori dan konsep yang diperoleh

melalui literatur-literatur seperti pemikiran beberapa ahli, pakar komunikasi, jurnal,

kajian ilmiah, artikel dan media, serta arsip-arsip yang berkaitan dengan penelitian.

Data sekunder ini mencakup bahan-bahan tentang distribusi film, perkembangan

distribusi film dari zaman ke zaman, dan lain-lain.

Dalam penelitian ini sebagian besar data penelitian difokuskan pada data

primer. Sedangkan data sekunder digunakan untuk memperkuat data-data yang

disajikan dalam data primer. Kemudian, untuk teknik pengumpulan datanya

menggunakan wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi.

Wawancara mendalam bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai

fakta-fakta dari informan dalam bentuk wawancara tidak terstruktur (percakapan).

Wawancara mendalam (in depth interview) merupakan proses perolehan keterangan

untuk tujuan penelitian dengan menggunakan cara tanya jawab dan bertatap muka

antara pewawancara dengan informan.83

83 H.B. Sutopo, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press, hal 72.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

32

Teknik pengumpulan data wawancara mendalam ini menjadi teknik

pengumpulan data primer dalam penelitian ini, dikarenakan distribusi film-film yang

sudah dilakukan terdahulu tidak dapat diobservasi secara langsung. Wawancara

mendalam ini dilakukan dengan informan primer (anggota komunitas film Pabrik

Film) dan informan sekunder (pengamat ahli di bidang komunitas film). Pertanyaan

yang dilontarkan dalam wawancara mendalam terhadap informan primer secara garis

besar yaitu mengenai langkah distribusi apa saja yang dilakukan Pabrik Film,

mengapa melakukan langkah-langkah tersebut, permasalahan apa saja yang muncul

dalam pendistribusian film, bagaimana penanggulangan permasalahan distribusi

tersebut. Dan untuk informan sekunder, peneliti menggali lebih banyak mengenai

realitas, alur, permasalahan, dan strategi distribusi yang terjadi di Indonesia pada

umumnya dan di Yogyakarta atau di daerah-daerah lain pada khususnya.

Mengenai observasi, observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara

sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala

dalam objek penelitian.84 Dalam penelitian ini, peneliti mengamati permasalahan,

strategi, dan upaya Pabrik Film dalam mendistribusikan filmnya. Peneliti telah terjun

langsung ke lapangan untuk merangkum strategi, mekanisme, dan apa saja yang

terjadi selama proses pendistribusian film komunitas Pabrik Film tersebut. Peneliti

juga telah banyak mengamati cara-cara Pabrik Film mengatasi berbagai problem yang

ada dalam upaya mendistribusikan filmnya.

Pada teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi, peneliti

berupaya untuk menjawab masalah penelitian dengan menggunakan dokumen yaitu

data tertulis yang telah diolah oleh orang lain atau suatu lembaga.85 Studi dokumentasi

merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam

84 Afifuddin dan Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hal 134.

85 Adi, R., 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum; Edisi-1, Jakarta: Granita, hal 61.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

33

penelitian kualitatif.86 Dokumen ini meliputi surat-surat yang mungkin dikirimkan

Pabrik Film kepada penyelenggara festival film ataupun sebaliknya, undangan,

laporan-laporan kegiatan Pabrik Film, notulensi rapat produksi maupun distribusi,

proposal, e-mail, dan lain-lain.

F.3. Informan Penelitian

Penelitian selalu memiliki objek dan subjek di dalamnya. Subjek penelitian

adalah orang yang memahami benar tentang objek penelitian sebagai pelaku maupun

orang lain yang memahami objek penelitian.87 Subjek penelitian dalam penelitian ini

adalah anggota-anggota dari komunitas Pabrik Film. Pabrik Film merupakan

komunitas film yang keanggotaannya bersifat cair, namun terdapat 3 orang anggota

inti. Tidak terdapat struktur secara hierarkis dalam komunitas ini. Pemilihan ini

dilakukan supaya subjek penelitian sudah mengerti benar mengenai topik objek yang

sibicarakan sehingga data lebih akurat dan mendalam. Berikut merupakan nama-nama

anggota inti yang berkecimpung dalam komunitas Pabrik Film.

NAMA PEKERJAAN

Pandhu Adjisurya Anggota Pabrik Film

Jatmiko Kresnatama Anggota Pabrik Film

Wildan Bagus Yudhanto Anggota Pabrik Film

Tabel 1: Informan primer penelitian

86 Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Bandung: Alfabeta, hal 83. 87 Burhan Bungin, 2010, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial

lainnya, Jakarta: Kencana Prenama Media Group, hal 76.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

34

Selain informan primer tersebut, peneliti juga memilih 3 orang yang berprofesi

sebagai pengamat dan praktisi yang sudah cukup lama berkecimpung di bidang

perfilman dan komunitas film di Yogyakarta sebagai informan sekunder.

NAMA PEKERJAAN

Adrian Jonathan Pasaribu Pengamat perfilman Indonesia. Kritikus film

di Cinema Poetica dan filmindonesia.or.id

Dyna Herlina Penggiat Rumah Sinema, pengkaji film dan

literasi media

Tabel 2: Informan sekunder penelitian

F.4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini meliputi pengujian data,

pengkategorian, dan tabulasi transcript wawancara, serta pengkombinasian bukti-bukti

yang merujuk pada proporsi awal penelitian. Karena, sejak awal data-data yang

diperoleh mulai dianalisis.

Bersifat deskriptif maka analisa data penelitian dilakukan secara pemaparan

dan kualitatif. Data-data yang diperoleh melalui penelitian, baik primer maupun

sekunder, kemudian dikumpulkan, diedit, dan dikategorikan, serta dicari kesesuaian

polanya, setelah itu baru dianalisa. Karena tujuan penelitian ini adalah untuk

mendapatkan suatu deskripsi, maka analisa dilakukan dengan cara mengkomparasikan

kategori dan data dengan teori-teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini. Data

yang diperoleh dalam keseluruhan proses penelitian ini kemudian disajikan dalam

bentuk uraian secara sistematis agar dapat dengan mudah dipahami.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82097/potongan/S1-2015... · berbagai genre film baru, konsep dan format baru, wacana-wacana baru, beragam

35

Peneliti pada akhirnya melakukan interpretasi setelah dilakukan analisis data.

Peneliti memaparkan interpretasinya melalui sebuah wawancara subjektif yang

disimpulkan sesudah mengumpulkan data yang kemudian dipahami serta

diklasifikasikan untuk dianalisis. Dalam penelitian terhadap permasalahan komunitas

film Yogyakarta ini, poin-poin yang dipakai dalam struktur deskripsi penelitian adalah

strategi distribusi melalui tahapan format distribusi, jalur distribusi, promosi, dan

evaluasi yang dilakukan komunitas. Setiap proses yang dilakukan dalam pelaksanaan

dan pengelolaan dibandingkan dengan teori komunikasi, khususnya yang berkaitan

langsung dengan proses tersebut. Hasil dari pembandingan ini disusun secara

kronologis, yang akan ditutup dengan kesimpulan dan temuan-temuan lain, terutama

kekurangan dan kelebihan dari proses tersebut.