BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang violaceum Back.)...

33
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman selasih (Ocimum basilicum L. forma violaceum Back.) merupakan salah satu tanaman yang dapat tumbuh di daerah subtropis hingga tropis, termasuk Indonesia dengan iklim tropisnya. Selasih dapat ditemukan di tempat lembab dan teduh di dataran rendah sampai ketinggian 450 mdpl. (van Steenis dkk., 1975). Selasih tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia (terutama Sumbawa), bahkan di Asia, Eropa dan Amerika Selatan (Backer & van den Brink, 1965). Jenis tanaman ini telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Biji selasih dapat digunakan untuk pengobatan ambeien, radang lambung, perut nyeri, sariawan, malaria, dan kencing nanah. Daun selasih dapat digunakan untuk mengobati encok, demam, sakit kepala, peluruh haid, peluruh air susu ibu, obat nyeri lambung, obat gangguan pencernaan, dan obat reumatik (Wijayakusuma dkk., 1993). Selain itu, oleh masyarakat khususnya di Indonesia, bunga selasih seringkali digunakan sebagai bunga ziarah makam (Pitojo, 1996). Seluruh bagian tanaman yang berada di atas permukaan tanah mengandung minyak atsiri, flavonoid dan saponin (Wijayakusuma dkk., 1993). Penggunaan selasih sebagai tanaman obat semakin meningkat, tetapi selama ini tidak disertai dengan budidaya yang baik. Persebaran tanaman selasih yang luas menyebabkan variasi kandungan senyawa dalam tiap wilayah tergantung letak geografis dan iklim (Colegate & Molyneux, 1993). Budidaya tanaman

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang violaceum Back.)...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman selasih (Ocimum basilicum L. forma violaceum Back.) merupakan

salah satu tanaman yang dapat tumbuh di daerah subtropis hingga tropis, termasuk

Indonesia dengan iklim tropisnya. Selasih dapat ditemukan di tempat lembab dan

teduh di dataran rendah sampai ketinggian 450 mdpl. (van Steenis dkk., 1975).

Selasih tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia (terutama Sumbawa), bahkan

di Asia, Eropa dan Amerika Selatan (Backer & van den Brink, 1965).

Jenis tanaman ini telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Biji

selasih dapat digunakan untuk pengobatan ambeien, radang lambung, perut nyeri,

sariawan, malaria, dan kencing nanah. Daun selasih dapat digunakan untuk

mengobati encok, demam, sakit kepala, peluruh haid, peluruh air susu ibu, obat

nyeri lambung, obat gangguan pencernaan, dan obat reumatik (Wijayakusuma

dkk., 1993). Selain itu, oleh masyarakat khususnya di Indonesia, bunga selasih

seringkali digunakan sebagai bunga ziarah makam (Pitojo, 1996). Seluruh bagian

tanaman yang berada di atas permukaan tanah mengandung minyak atsiri,

flavonoid dan saponin (Wijayakusuma dkk., 1993).

Penggunaan selasih sebagai tanaman obat semakin meningkat, tetapi selama

ini tidak disertai dengan budidaya yang baik. Persebaran tanaman selasih yang

luas menyebabkan variasi kandungan senyawa dalam tiap wilayah tergantung

letak geografis dan iklim (Colegate & Molyneux, 1993). Budidaya tanaman

2

selasih secara konvensional dapat dilakukan dengan menanam biji, tetapi hal

tersebut memerlukan waktu yang cukup lama dan dapat menghasilkan metabolit

sekunder yang belum tentu seragam. Oleh karena itu perlu dilakukan teknik

budidaya in vitro dengan metode kultur jaringan tanaman (KJT). Dengan metode

tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk budidaya dapat dilakukan lebih singkat

dan pengaruh eksternal dari lingkungan seperti iklim, hama dan penyakit tanaman

terhadap metabolit sekunder dalam tanaman dapat diminimalisasi. Selain itu, hasil

metabolit tersebut dapat ditingkatkan dengan memanipulasi media yang

digunakan (Soeryowinoto, 1985).

Salah satu metode budidaya in vitro dengan KJT adalah melalui kultur

kalus. Kalus merupakan massa sel yang aktivitas pembelahannya tidak terkendali

dan belum terdiferensiasi sebagai akibat proses pelukaan. Dalam hal ini, tujuan

kultur kalus untuk menghasilkan metabolit sekunder yang diinginkan dalam

waktu singkat dan uji aktivitas senyawa bioaktifnya (Santoso & Nursandi, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2004) tentang kultur kalus daun kemangi

(Ocimum basilicum L.), Garluci (2010) dan Rahmawati (2010) tentang kultur

kalus daun Ocimum gratissimum forma caryophyllatum Back. menyebutkan

bahwa penggunaan zat pengatur tumbuh 2,4 D sebanyak 1 ppm dapat

menghasilkan kalus yang baik.

Keberhasilan kultur kalus dalam upaya peningkatan produksi metabolit

sekunder dapat ditunjang dengan penambahan elisitor. Metil jasmonat (MeJA) di

dalam sel tumbuhan merupakan salah satu senyawa yang berperan dalam

pembentukan metabolit sekunder. Penambahan MeJA dalam kultur kalus dapat

3

meningkatkan berbagai hasil metabolit, seperti terpenoid, flavonoid, alkaloid dan

fenilpropanoid serta berbagai metabolit sekunder yang lainnya (Zhao dkk., 2005).

Penggunaan MeJA di dalam penelitian Kim dkk. (2006), kadar eugenol dan

linalool pada daun Ocimum basilicum L dapat ditingkatkan sebesar 56 dan 43%

setelah disemprot MeJA sebanyak 0,5 mM, selain itu aktivitas antioksidan

senyawa fenolik total (asam rosmarinat, asam kafeat dan eugenol) meningkat

sebesar 2,3 kali dibandingkan dengan BHT sebagai kontrol setelah perlakuan

selama 4 hari dan. Mizukami dkk. (1993) telah melakukan studi tentang elisitasi

MeJA dengan hasil penambahan MeJA sebesar 100 µmol/L terhadap kultur

suspensi sel kalus Lithospermum erythrorhizon dapat meningkatkan kadar asam

rosmarinat sebesar 0,22% setelah inkubasi selama 48-72 jam (2-3 hari).

Menurut Arnida (2005), ekstrak etanol herba selasih dapat menghambat

pertumbuhan bakteri Escherichia Coli dan Staphylococcus aureus dengan KBM

berturut- turut 32% b/v dan 16% b/v. Salah satu metode untuk menguji aktivitas

antibakteri suatu senyawa dalam ekstrak dapat dilakukan dengan metode

bioautografi. Adanya aktivitas antibakteri ditunjukkan dengan daerah yang jernih

di sekitar bercak pada pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) sehingga dapat

diketahui secara kualitatif golongan senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri.

Berdasarkan metode ini, nantinya dapat dilakukan isolasi terhadap senyawa yang

memiliki aktivitas antibakteri (Pratiwi, 2008).

4

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan 3 masalah, yaitu:

1. Bagaimana pengaruh penambahan MeJA terhadap kalus daun selasih?

2. Bagaimana pengaruh penambahan MeJA terhadap profil KLT ekstrak etanol

kalus daun selasih?

3. Bagaimana aktivitas antibakteri ekstrak etanol kalus daun selasih yang

diinduksi dengan MeJA terhadap bakteri E. coli dan S. aureus dengan metode

bioautografi?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengetahui pengaruh penambahan MeJA terhadap kalus daun selasih.

2. Mengetahui pengaruh penambahan MeJA terhadap profil KLT ekstrak etanol

kalus daun selasih.

3. Mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol kalus daun selasih yang

diinduksi MeJA terhadap bakteri Eschericia coli dan Staphylococcus aureus

dengan metode bioautografi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk menghasilkan kalus daun selasih dan

diharapkan dapat menjadi salah satu upaya pembentukan metabolit sekundernya

dengan penambahan MeJA dalam kultur terkait aktivitas antibakteri dengan

5

metode bioautografi. Dalam jangka panjang diharapkan hasil penelitian ini dapat

dikembangkan untuk menghasilkan bibit unggul selasih.

E. Tinjauan Pustaka

1. Uraian tentang tanaman

a. Nama daerah

Sumatera: selaseh, selasi (Melayu); Jawa: solasih (Sunda), selasih, telasih

(Jawa); Sulawesi: amping, kukuru (Minahasa) (Syamsuhidayat & Hutapea,

1991; Anonim, 1986)

b. Kedudukan taksa selasih dalam sistematika tumbuhan:

divisi : Spermatophyta

anak divisi : Angiospermae

kelas : Dicotyledonae

bangsa : Solanales

suku : Lamiaceae

marga : Ocimum

jenis : Ocimum basilicum L. forma violaceum Back.

(Backer & van den Brink, 1965)

c. Deskripsi tanaman

Selasih merupakan jenis tanaman berbatang basah, tegak dan baunya

sangat harum, tinggi tanaman mencapai 0,6 m, batang seringkali berwarna

keunguan. Helaian daun tunggal letak berhadapan, bentuk helaian daun

bulat telur, bulat telur memanjang atau elips, pangkal runcing, tepi

Gambar 1. Tanaman selasih

6

bergerigi, ujung runcing, panjang daun 3,5-7,5 cm, lebar 1,5-2,5 cm,

tulang daun menyirip, helaian daun berbintik-bintik mirip dengan kelenjar

pada permukaan bawah, warna hijau tua dengan semburat ungu, panjang

tangkai daun 0,5-2 cm. Bunga majemuk vertisilaster (berkarang),

berbunga 6 yang tersusun dalam tandan, kelopak berbentuk tabung, ujung

tabung terbagi menjadi 5 lobus (gigi), sisi luar berambut, sisi dalam bagian

bawah berambut rapat, lebih kurang 0,5 cm panjangnya, gigi belakang

jorong sampai bulat telur terbalik, dengan tepi mengecil sepanjang tabung.

Tangkai bunga pendek, dasar bunga tegak kemudian tertekan sumbu

karangan bunga, ujung kelopak melingkar membentuk kait, posisi tabung

kelopak miring ke bawah, warna kelopak ungu. Mahkota bunga berwarna

putih, panjang 6-9 mm, berbentuk tabung. Buah sejati pecah, berbelah

empat (tetrachenium), biji banyak, keras, cokelat tua, gundul, bila

dimasukkan dalam air akan membengkak (Backer & van den Brink, 1965;

van Steenis dkk., 1975).

d. Kandungan kimia

Seluruh herba selasih, termasuk daun, mengandung minyak atsiri,

flavonoid dan saponin. Bau adas yang dihasilkan oleh selasih merupakan

minyak atsiri yang sebagian besar terdiri atas metil kavikol (Heyne, 1987).

Menurut Maryati dkk. (2007), tanaman jenis Ocimum basilicum L.

memiliki kandungan minyak atsiri yang terdiri atas hidrokarbon, alkohol,

ester, fenol (eugenol 1-19 %, iso-eugenol), eter fenolat (metil kavikol 3-

31%, metil eugenol 1-9%), oksida, dan keton. Wijayakusuma dkk. (1993)

7

juga menyebutkan kandungan minyak atsiri tanaman jenis Ocimum

basilicum L. terdiri atas osimen, α-pinen, 1,8-sineol, eukaliptol, linalool,

geraniol, limonen, metil kavikol, eugenol, metil eugenol, anetol, metil

sinamat, dan furfural.

e. Kegunaan tanaman

Secara empirik daun selasih digunakan untuk mengobati demam, sakit

kepala, nyeri lambung, gangguan pencernaan, diare, radang usus, haid

tidak teratur (peluruh haid), luka terpukul, dan reumatik. Biji selasih

digunakan untuk mengobati radang mata, bercak putih pada selaput bening

mata. Pemakaian luar biji selasih digunakan untuk gigitan ular dan

serangga dan koreng (Wijayakusuma, 1993). Selain itu, biji selasih

memiliki khasiat sebagai penyegar, mengobati kencing berdarah dan

bernanah (Heyne, 1987).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Istimuyasaroh dkk.

(2009), minyak hasil destilasi selasih dapat digunakan sebagai larvasida

terhadap larva nyamuk Anopheles aconitus yang menyebabkan mortalitas

dengan konsentrasi 5,01% v/v dan konsentrasi 0,9% v/v efektif menurunkan

pertumbuhan larva. Ekstrak kental hasil infundasi tanaman selasih dapat

menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa (ATCC

15692) dengan KHM sebesar 348 g/ml (Huerta dkk., 2008).

2. Kultur jaringan tanaman

Kultur jaringan tanaman (KJT) merupakan metode ilmiah yang

digunakan untuk menumbuhkan sel, jaringan atau organ tanaman asal dalam

8

media yang sesuai (George, 2008). Kultur jaringan atau budidaya in vitro

merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti

protoplasma, sel, jaringan atau organ yang berada dalam kondisi steril,

ditumbuhkan pada media pertumbuhan buatan yang steril, dalam botol kultur

yang steril dan dengan teknik penanaman aseptik.

Teori totipotensi sel menjadi dasar dalam pengembangan teknik kultur

jaringan tanaman, teori tersebut menyebutkan bahwa setiap sel maupun

jaringan dapat berkembang biak dan regenerasi menjadi tanaman lengkap

apabila dikulturkan pada media yang sesuai (George, 1993). Berdasarkan teori

tersebut, maka sel atau jaringan yang diinokulasikan dalam media akan

memiliki kemampuan untuk meregenerasi bagian- bagian tertentu hingga

dapat membentuk tumbuhan yang utuh (Wetherell, 1982).

Kultur jaringan tanaman dapat digunakan untuk menghasilkan tanaman

baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat (Hendaryono &

Wijayani, 1994). Selain sebagai upaya mikropropagasi, KJT juga bertujuan

untuk memperoleh metabolit sekunder dalam waktu relatif singkat atau untuk

uji aktivitas senyawa bioaktif (Santoso & Nursandi, 2002). Staba (1980)

menyebutkan bahwa dengan kultur jaringan tanaman, faktor lingkungan yang

mempengaruhi pertumbuhan tanaman dapat dikendalikan termasuk faktor

cahaya, suhu, pH dan nutrisi, organisme pengganggu seperti: jamur,

ganggang, bakteri dan serangga dapat dihindari bahkan dihilangkan

pengaruhnya, serta produksi metabolit sekunder dapat diatur dengan

memanipulasi gen atau perbaikan gen tanaman tersebut. Teknik KJT dibagi

9

menjadi lima kelas berdasarkan jenis bahan awal yang digunakan, yaitu:

kultur kalus, kultur sel, kultur organ, kultur meristem dan kultur protoplas

(Gamborg & Shyluk, 1981).

Kultur kalus merupakan salah satu metode dalam kultur jaringan

tanaman untuk menumbuhkan dan mengelola massa sel yang tidak beraturan.

Tumbuhnya massa sel tersebut akibat pertumbuhan jaringan tanaman yang

dilukai menjadi sel yang terus membelah dan membesar. Kalus dapat

diinduksi dengan pelukaan terhadap jaringan tanaman yang kemudian

diinokulasikan pada media pertumbuhan yang sesuai. Sel kemudian menjadi

aktif membelah dengan adanya rangsangan dari fitohormon maupun zat

pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media pertumbuhan. Diferensiasi

dan spesialisasi sel yang biasa terjadi dalam tumbuhan dapat terjadi kembali

dan eksplan dapat tumbuh menjadi suatu jaringan baru yang tersusun atas sel-

sel yang bersifat meristematik (selalu membelah) dan tidak terspesialisasi

(George, 2008).

Terbentuknya kalus dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Media

Media yang umum digunakan dalam kultur jaringa tanaman adalah

Media Murashige-Skoog (MS). Media MS mengandung persenyawaan

garam amonium dan nitrat dalam jumlah yang tinggi, keduanya

dibutuhkan dalam proses regenerasi. Selain itu, media MS juga banyak

mengandung unsur kalium (Dixon, 1985; George, 1993).

10

Menurut Dixon (1985), terdapat 6 kelompok komponen media yang

digunakan untuk kultur kalus, yaitu: unsur anorganik makro, unsur

anorganik mikro, sumber besi, suplemen organik (vitamin), sumber

karbon, dan zat pengatur tumbuh. Unsur anorganik makro merupakan

unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak, antara lain: N,

K, S yang merupakan anion dan P, Ca, Mg yang merupakan kation.

Sedangkan unsur anorganik mikro merupakan unsur yang dibutuhkan

dalam jumlah yang sedikit. Unsur anorganik mikro meliputi: Fe, Mn, Zn,

B, Cu dan Mo (Santosa & Nursandi, 2002).

Unsur mineral anorganik terutama unsur anorganik makro sangat

dibutuhkan oleh tanaman dengan masing- masing fungsinya untuk

kehidupan tanaman tersebut. Sebagai contoh Ca (kalsium) dibutuhkan

tanaman sebagai komponen pembentuk dinding sel, N (nitrogen)

merupakan komponen utama dari asam amino, protein, asam nukleat serta

vitamin dan magnesium sebagai bagian dari molekul klorofil (Chawla,

2002). Kalium (K) dibutuhkan tanaman dalam pengaturan potensial

osmotik, fosfor (P) berperan dalam proses transfer energi, penyusun asam

nukleat, berperan dalam proses respirasi dan fotosintesis. Sedangkan sulfur

merupakan komponen dari asam amino metionin dan sistein serta

beberapa kofaktor enzim (Slater dkk., 2008).

Sebagai unsur anorganik mikro, Fe (besi) diberikan dalam bentuk

sulfat. Bentuk sitrat dari besi juga dapat digunakan. Dalam besi sulfat

biasanya digunakan etilen diamin tetra asetat (EDTA) sebagai pembentuk

11

komplek. Terdapat agen pembentuk komplek selain EDTA, yaitu: EGTA

(etilen glikol-bis(2-amino etil eter) tetra asetat), EDDHA (etilen diamin-

di(o-hidroksi fenil) asetat, DTPA (dietilen triamin penta asetat) dan DHPT

(1,3-diamino-2-hidroksi propan tetra asetat) (George & de Klerk, 2008).

Pembentukan komplek bertujuan untuk pelepasan lambat dan

berkesinambungan dari unsur besi dalam media. Sumber besi yang tidak

dibuat dalam bentuk komplek akan megendap sebagai feri oksida (Slater

dkk. 2008). Sumber besi berperan untuk menjaga kestabilan pH dalam

media. Mn (Mangaan) merupakan metalloprotein yang berperan dalam

proses respirasi dan fotosintesis. Mn dibutuhkan dalam aktivitas berbagai

enzim seperti dekarboksilase, dehidrogenase, kinase dan oksigenase serta

superoksida dismutase. Mn dibutuhkan dalam pembentukan kloroplas dan

berperan penting dalam reaksi redoks. Akan tetapi Mn dalam jumlah yang

besar dapat menjadi toksik bagi tanaman (George & de Klerk, 2008).

Kekurangan seng (Zn) dalam tanaman menyebabkan penurunan

aktivitas enzim, terhambatnya pembentukan protein serta penurunan

sintesis asam nukleat dan klorofil. Pembentukan klorofil terhambat apabila

terjadi defisiensi Zn dan Mo (Molybdenum) sehingga hanya sedikit

klorofil yang disintesis. Cu (Copper) atau tembaga merupakan unsur

anorganik mikro yang terdapat dalam enzim, berperan dalam pengikatan

maupun reaksi dengan oksigen. Seperti dalam sistem enzim sitokrom

oksidase, Cu bertanggung jawab dalam respirasi oksidatif dan dismutase

superoksida. Cu juga berperan dalam pembentukan warna pada tanaman.

12

Komponen yang lainnya dari unsur anorganik mikro adalah Bo (Boron).

Boron terlibat dalam integritas membran yang berkaitan dengan keutuhan

dinding sel dan pembentukan protein membran (George & de Klerk,

2008).

Penggunaan tiamin sebagai sumber vitamin dan myo-inositol diketahui

dapat meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik. Asam amino seperti

glisin, arginin, asam aspartat, alanin, asam glutamat dan prolin merupakan

viatmin yang dapat digunakan selain tiamin (Slater dkk., 2008). Myo-

inositol yang digunakan bersamaan dengan auksin, kinetin dan vitamin

dapat mendorong pertumbuhan jaringan kalus (Hendaryono & Wijayani,

1994). Jenis vitamin lain yang dapat digunakan dalam media kultur antara

lain p-amino-benzeic acid, folat, choline, chloride, riboflavin dan asam

askorbat (Santosa & Nursandi, 2002).

Sumber karbon yang sering digunakan dalam media adalah sukrosa

atau glukosa. Fruktosa sebenarnya dapat digunakan akan tetapi

efektifitasnya dianggap kurang dibandingkan sukrosa atau glukosa.

Sukrosa atau glukosa yang digunakan umumnya sebanyak 2-3 %. Sumber

karbon yang lain yang pernah dicoba adalah laktosa, maltosa, pati dan

galaktosa. Akan tetapi hasilnya tetap dianggap tidak lebih baik daripada

sukrosa atau glukosa (Santoso & Nursandi, 2002).

Zat pengatur tumbuh yang digunakan umumnya merupakan hormon

tumbuhan atau bentuk sintetiknya. Zat pengatur tumbuh diperlukan dalam

proses pertumbuhan dan perkembangan sel tanaman dalam kultur jaringan

13

tanaman sebagai zat tambahan yang berperan sebagai hormon

pertumbuhan. Zat pengatur tumbuh dibagi menjadi lima, yaitu: auksin,

sitokinin, giberelin, asam absisat, dan etilen. Dalam pembuatan kalus

dapat digunakan zat pengatur tumbuh tunggal dengan auksin.

Auksin berperan dalam proses pmbelahan dan pertumbuhan sel. IAA

merupakan bentuk auksin alami tetapi sangat jarang digunakan pada media

kultur jaringan tanaman karena sifatnya yang sangat tidak stabil terhadap

cahaya dan suhu. Auksin sintetik yang sering digunakan dalam media

kultur jaringan tanaman adalah 2,4-D (asam diklorofenoksiasetat) (Slater

dkk., 2008). Penambahan 2,4-D dengan konsentrasi 0,2-2 mg/ L

merupakan konsentrasi yang paling efektif untuk menginduksi

pembelahan sel dan pembentukan kalus (Dodds & Roberts, 1982).

Media padat merupakan media cair yang ditambahakan bahan

pemadat. Bahan pemadat yang sering digunakan adalah Agar. Keuntungan

penggunaan Agar dalam pembuatan media padat antara lain:

1.) Agar dapat membentuk gel dengan air yang dapat mencair pada suhu ±

100oC dan memadat pada suhu ± 45oC.

2.) Stabil dalam penyimpanan.

3.) Agar tidak bereaksi kuat dengan komponen- komponen lain dalam

media.

4.) Gel yang terbentuk tidak dapat diuraikan oleh enzim dalam eksplan

yang ditanam.

14

Penambahan Agar dalam media secara umum dengan konsentrasi 0,5-

1,0 %. Kepadatan media yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH. Selain itu,

pH mempengaruhi kelarutan ketersediaan dari ion- ion mineral dan juga

mempengaruhi sifat gel (kemampuan membentuk gel) dari agar

(Wetherell, 1982). Sel- sel tanaman dalam budidaya kultur jaringan

tanaman membutuhkan pH yang cenderung asam dengan kisaran pH

optimumnya adalah 5,5-5,9 (Santoso & Nursandi, 2002).

b. Elisitor

Upaya peningkatan pembentukan senyawa metabolit dalam kultur

jaringan tanaman dapat dilakukan dengan berbagai cara. Herdaryono &

Wijayani (1994) menyebutkan terdapat 3 cara yang dapat dilakukan,

antara lain:

1. Menggunakan media lain yang sesuai,

2. Mengubah salah satu konsentrasi komponen penyusun media,

3. Penggunaan zat tambahan tertentu ke dalam media, misalnya dengan

menggunakan zat pengatur tumbuh auksin ataupun sitokinin.

Zat tambahan yang dapat digunakan selain zat pengatur tumbuh adalah

elisitor. Elisitor merupakan senyawa kimia atau biofaktor yang dapat

menginduksi perubahan fisiologis suatu organisme. Secara umum elisitor

merupakan senyawa yang dapat memicu respon fisiologis dan morfologis

pada tanaman dan peningkatan produksi fitoaleksin atau metabolit

sekunder (Zhao dkk., 2005).

15

Elisitor dibagi menjadi dua yaitu elisitor biotik dan elisitor abiotik.

Elisitor abiotik meliputi logam dan komponen anorganik. Sedangkan

elisitor biotik meliputi jamur, bakteri, virus atau herbivora, komponen

dinding sel tumbuhan, maupun senyawa yang dihasilkan tanaman akibat

adanya stress dari patogen atau herbivora (Zhao dkk., 2005). Elisitor

abiotik yang sering digunakan dalam kegiatan KJT antara lain: asam

salisilat, nitrat oksida, tembaga (II) sulfat, asam jasmonat dan metil

jasmonat (Zhao dkk., 2005; Abd El-Mawla, 2012). Elisitor abiotik yang

lainnya, yaitu vanadil sulfat, natrium ortovanadat, serta berbagai stress

lingkungan eksternal kultur seperti suhu, tekanan osmosis, radiasi UV, dan

pelukaan (Vasconsuelo & Boland, 2007). Berbagai contoh elisitor biotik,

antara lain: kitosan, alginat, pektin, kitin, elisitin, jamur homogenat, spora

jamur, dan ekstrak yeast (Vasconsuelo & Boland, 2007).

Metil asam jasmonat atau yang lebih sering disebut metil jasmonat

(MeJA) yang diberikan secara eksogen dalam kultur jaringan tanaman

merupakan salah satu contoh elisitor abiotik. Asam jasmonat maupun

MeJA merupakan senyawa endogen dalam tanaman yang banyak

diproduksi dalam kondisi stress. Adanya stress yang disebabkan oleh

lingkungan eksternal tanaman menyebabkan terjadinya mekanisme

pertahanan tanaman salah satunya dengan pembentukan metabolit

sekunder (Muryanti & Anggarwulan, 2005). Tanaman secara alami akan

memberikan respon terhadap patogen, serangga dan herbivora ataupun

cekaman biotik dan abiotik (stress) dengan mekanisme perlindungan

16

termasuk pembentukan metabolit sekunder seperti fitoaleksin, respon

hipersensitif dan pertahan struktural (Vasconsuelo & Boland, 2007).

Gambar 2. Strukur metil jasmonat (MeJA) (Abd El-Mawla, 2012)

MeJA merupakan derivat asam jasmonat yang terbentuk akibat adanya

proses metilasi asam jasmonat oleh enzim karboksil metil transferase

dalam jalur asam α-linolenat (Zhao dkk., 2005). Menurut Rudus dkk.

(2001), MeJA memiliki sifat yang mirip dengan asam absisat. Asam

absisat atau ABA diproduksi dalam jumlah banyak apabila tanaman

berada dalam keadaan stress seperti halnya MeJA. ABA termasuk dalam

hormon yang mekanisme kerjanya berlawanan dengan auksin, sitokinin

dan giberelin karena ABA tergolong dalam zat penghambat pertumbuhan

tanaman (Santoso & Nursandi, 2002). Menurut Mukkun (2002),

penggunaan MeJA juga dapat meningkatkan produksi etilen pada buah.

Pengaruh etilen terhadap kalus, morfogenesis dan pembentukan akar tidak

begitu spesifik. Etilen dapat bersifat mendorong pertumbuhan atau bahkan

menghambat tergantung dari jenis tanaman dan konsentrasi etilen (Santoso

& Nursandi, 2002). Berikut merupakan jalur pembentukan asam jasmonat

dan meti jasmonat terkait pembentukan metabolit sekunder pada tanaman.

17

Gambar 3. Jalur biosintesis asam jasmonat dan senyawa oksilipin lainnya sebagaielisitor transduksi sinyal dalam pembentukan metabolit sekunder (Zhao dkk., 2005)

Gambar tersebut menunjukkan adanya stress dari lingkungan luar

tanaman seperti pelukaan menimbulkan upaya pertahanan tanaman dengan

membentuk fitoaleksin atau metabolit sekunder. Hal tersebut memicu

sistemin dan prekursornya, prosistemin, untuk berikatan dengan protein

kinase pada membran sel tanaman kemudian menginisiasi jalur transduksi

sinyal oktadekanoid. Peristiwa pelukaan tersebut menyebabkan

peningkatan Ca2+ dalam sitosol, depolarisasi membran, penghambatan

proton ATPase pada membran plasma, dan aktivasi MAPK. Selanjutnya

peristiwa tersebut diikuti pelepasan asam linolenat dari membran

fosfolipid oleh fosfolipase. Asam linolenat tersebut kemudian dikonversi

menjadi asam 12-oksofitodienoat yang kemudian membentuk asam

jasmonat dan meti jasmonat (Kachroo & Kachroo, 2007).

Induksi pembentukan metabolit sekunder melalui jalur asam jasmonat

tidak spesifik pada metabolit tertentu saja, tetapi dapat meningkatkan

18

senyawa metabolit seperti terpenoid, flavonoid, alkaloid, dan

fenilpropanoid serta berbagai metabolit sekunder yang lainnya (Zhao dkk.,

2005).

c. Eksplan

Keberhasilan mikropropagasi dalam kultur jaringan tanaman

dipengaruhi oleh pemilihan eksplan yang tepat (George, 2008). Eksplan

yang digunakan dalam kultur kalus harus diperhatikan kemampuan

regenerasi, tingkat fisiologi dan kesehatan tanaman asal. Hal tersebut

berpengaruh pada proses pertumbuhan kultur kalus. Tanaman dengan

kemampuan regenerasi yang kuat, potongan tangkai, daun atau akarnya

dapat digunakan sebagai eksplan. Sedangkan tanaman yang memiliki

kemampuan regenerasi yang lemah atau tidak cukup kuat, dapat digunakan

bagian pucuk- pucuk tangkai utama atau cabang.

Eksplan yang digunakan dalam kultur sebaiknya tidak terlalu besar

karena eksplan yang ukurannya besar lebih berpotensi membawa

kontaminasi yang lebih banyak, sterilisasi juga akan lebih sulit dilakukan

pada eksplan yang besar serta membutuhkan media dan ruang yang lebih

besar. Meskipun demikian, eksplan yang berukuran terlalu kecil juga tidak

baik karena pertumbuhannya lebih lambat daripada eksplan yang lebih

besar (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Sterilisasi eksplan dapat dilakukan dengan berbagai bahan sterilan.

Menurut Santoso dan Nursandi (2002), bahan dan lamanya waktu yang

dapat digunakan untuk sterilisasi eksplan dapat dilihat pada tabel berikut:

19

Tabel I. Beberapa jenis senyawa untuk sterilisasi eksplanNama Senyawa Konsentrasi Waktu (menit)

AlkoholKalsium hipokloritNatrium hipokloritHidrogen peroksida

Merkuri kloridaFungisida

BakterisidaBetadineBayclin

70 %1-10 %1-2 %3-10%

0,1-0,2 %Catatan di bawahCatatan di bawahCatatan di bawah

1 -2%

½-15-307-155-1510-20

5-15Catatan: Konsentrasi fungisida dan bakterisida yang digunakan tergantung jenisnya dantanaman yang digunakan. Misalnya pada anggrek Vanda menggunakan fungisidaBenomyl (5-25 ppm), Quintozene (25-50 ppm), Amphoterisin B (1-10 ppm); sedangkanbila bakterisida Gentamicine (5-50 ppm), Penicillin (25-100 ppm), Vancomycine (5-50ppm). Betadine umumnya digunakan untuk bahan tanam dari botol kultur (sudah steril)pada kegiatan subkultur. Cukup digunakan 5-10 tetes dicampur dengan aquadest steril.

Penggunaan alkohol ditujukan untuk kontaminan berupa bakteri dan

jamur yang biasanya mati dalam etanol 70%. Etanol murni (95%) tidak

memiliki aktivitas antimikroba yang lebih baik daripada etanol 70%, oleh

karena itu dibutuhkan pengenceran hingga konsentrasi 70% karena air

diperlukan dalam proses denaturasi protein (Pratiwi, 2008).

Kalsium hipoklorit (Ca(ClO2)) masuk ke dalam jaringan tanaman

secara perlahan dibandingkan dengan natirum hipoklorit (Na(ClO2)).

Sehingga proses sterilisasi eksplan dengan kalsium hipoklorit (5-30 menit)

biasanya dapat dilakukan lebih lama daripada natrium hipoklorit (7-15

menit). Merkuri klorida (HgCl2) atau yang sering disebut sublimat

merupakan senyawa yang sangat toksik terhadap tanaman sehingga dalam

penggunaannya, serbuk sublimat harus benar- benar terlarut sempurna

dalam aquadest steril.

Pemilihan senyawa untuk sterilisasi eksplan, meliputi senyawa yang

digunakan, konsentrasi sterilan dan waktu sterilisasi, tergantung pada jenis

tanaman maupun bagian tanaman yang disterilkan. Hal tersebut berkaitan

20

dengan ketahanan bahan terhadap sterilan dan beratnya kontaminasi

bagian tanaman yang digunakan (Dixon, 1985). Proses sterilisasi yang

terlalu lama dapat berdampak pada rusaknya jaringan tanaman, selain

membunuh mikroorganisme yang terdapat pada eksplan. Menurut Santosa

& Nursandi (2002), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

kemampuan eksplan untuk membentuk kalus, yaitu:

1.) Umur fisiologi eksplan ketika diisolasi. Bahan tanaman yang juvenil

(remaja) lebih baik daripada umur yang mendekati mature (dewasa/

tua). Akan tetapi penggunaan bahan yang muda berkendala pada

ketahan terhadap sterilan. Musim isolasi mempengaruhi mudah

tidaknya eksplan menghasilkan kalus. Pengambilan pada musim

kemarau lebih sulit tumbuh tetapi risiko kontaminasi lebih kecil,

sebaliknya dengan saat musim penghujan.

2.) Jenis tanaman berkayu lebih sulit menghasilkan kalus daripada

herbaseus, monokotil lebih mudah daripada dikotil, tetapi faktor

tersebut juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi dan biokimiawi eksplan,

adanya kandungan tertentu dalam eksplan dapat menyebabkan inisiasi

kalus terhambat/ lama. Bagian tanaman yang meristematik lebih cepat

dalam pembentukan kalus dibandingkan bagian yang sedang tidak

tumbuh.

3.) Faktor luar seperti ketersediaan oksigen yang diperlukan dalam jumlah

lebih tinggi, akumulasi CO2, perlunya ketersediaan unsur hara yang

21

lebih banyak, zat pengatur tumbuh yang tepat, cahaya, suhu, dan lain

sebagainya.

3. Sterilisasi

Kondisi aseptik diperlukan dalam kegiatan kultur jaringan tanaman

maupun kegiatan mikrobiologi. Sterilisasi harus dilakukan agar tercapai

kondisi aseptik yang diinginkan, bebas dari bakteri, alga, jamur, dan

mikroorganisme kontaminan lainnya. Bila pertumbuhan mikroorganisme tidak

dicegah maka pertumbuhannya dapat melampaui pertumbuhan sel tanaman

dalam proses kultur jaringan tanaman. Kontaminasi tersebut dapat

menghambat pertumbuhan dan akan mengganggu sistem fisiologi dan

biokimia dari kultur tanaman yang kemungkinan disebabkan oleh metabolit

tertentu oleh mikroorganisme tersebut (Biondi & Thorpe, 1981).

Metode sterilisasi yang dapat dilakukan adalah pemanasan basah dan

pemanasan kering. Metode tersebut termasuk dalam metode sterilisasi secara

fisis (Schlegel, 1993). Pemanasan kering dapat dilakukan untuk sterilisasi alat-

alat gelas, logam dan alat- alat lain yang tahan terhadap pemanasan tinggi

dengan menggunakan oven. Pemanasan dilakukan dalam suhu 60o C sselama

4 jam. Sedangkan pemanasan basah dilakukan dengan menggunakan otoklaf.

Otoklaf bekerja dengan prinsip tekanan tinggi yaitu 15 psi/ 1 atm dengan suhu

121o C. Sterilisasi berlangsung selama 15-40 menit tergantung banyaknya

bahan atau alat yang disterilkan. Thorpe (1981) menyebutkan bahwa lamanya

waktu sterilisasi menggunakan otoklaf tergantung volume cairan yang

disterilisasi, sebagai berikut:

22

Tabel II. Lama waktu sterilisasi berdasarkan banyaknya bahan

Volume media (mL)Waktu yang diperlukan

(menit)20-50

75250-500

100015002000

152025303540

Dalam kultur jaringan tanaman, untuk bahan yang tidak tahan terhadap

pemanasan, proses sterilisasi dilakukan dengan cara ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi

dilakukan dengan alat penyaring bakteri berukuran tertentu pada suhu kamar

(Wetherell, 1982). Metode ultafiltrasi merupakan salah satu contoh metode

sterilisasi secara mekanis (Schlegel, 1993).

Selain metode sterilisasi dengan pemanasan basah dan pemanasan kering

serta ultrafiltrasi, sterilisasi lain yang dilakukan adalah sterilisasi secara kimia

(Schlegel, 1993). Metode sterilisasi ini digunakan untuk mensterilkan ruangan

kerja kultur, alat maupun eksplan. Dalam proses sterilisasi secara kimia,

digunakan bahan kimia seperti deterjen, alkohol dan formalin (dalam proses

kerja mikrobiologi) serta etanol 70% dan isopropanol 70% (dalam proses kerja

kultur jaringan tanaman). Bahan lain yang dapat digunakan untuk sterilisasi

eksplan dalam kegiatan kultur jaringan tanaman adalah sublimat dan hidrogen

peroksida (Wetherell, 1982).

4. Maserasi

Maserasi merupakan metode penyarian yang umum dilakukan pada

senyawa aktif suatu simplisia karena dianggap sebagai metode penyarian yang

paling mudah dilakukan. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk

simplisia ke dalam pelarut yang dapat melarutkan senyawa aktif. Prinsip dasar

23

dari penyarian adalah melarutkan zat yang dapat larut dalam pelarut dan

dipisahkan dari bahan yang tidak dapat larut. Serbuk simplisia direndam

dalam larutan penyari hingga meresap dan melunakkan sel sehingga senyawa

yang larut dapat mudah terlarut (Ansel, 1989). Cairan penyari akan menembus

dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang merupakan tempat

penyimpanan zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan

konsentrasi antara sel dan pelarut, maka larutan dalam sel yang lebih pekat

didesak keluar sel dan larut dalam pelarut (Anonim, 1986).

Proses maserasi perlu dilakukan pengadukan sesekali karena

kemungkinan terjadinya kejenuhan pelarut dapat terjadi sehingga gradien

konsentrasi pada pelarut dapat dihindari. Pada proses maserasi perlu dilakukan

remaserasi yaitu pengulangan proses maserasi setelah dilakukan penyaringan

maserat pertama dan seterusnya (Anonim, 2000). Maserasi merupakan cara

ekstraksi yang sederhana namun proses pengerjaannya membutuhkan waktu

yang lama dan penyarian simplisia kurang sempurna (Anonim, 1986).

5. Uraian tentang mikrobiologi

a. Bakteri

Bakteri merupakan sel prokariot uniseluler yang tidak memiliki

membran inti. Sel-selnya berbentuk bola, batang ataupun spiral. Bakteri

merupakan organisme yang memiliki ukuran kecil antara 0,5- 5 µm

dengan panjang 1,5- 2,5 µm (Pelczar & Chan, 1986). Di dunia terdapat 2

golongan bakteri, yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif. Perbedaan

keduanya terdapat dalam penyusun dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri

24

Gram positif mengandung banyak lapisan peptidoglikan yang membentuk

lapisan tebal dan kaku, serta asam teikoat yang mengandung alkohol dan

fosfat. Dinding sel bakteri Gram negatif hanya mengandung satu atau

beberapa lapisan peptidoglikan yang terikat pada lipoprotein membran luar

dan tidak memiliki asam teikoat sehingga dinding sel bakteri Gram negatif

lebih tahan terhadap kerusakan mekanis (Pratiwi, 2008). Sebagai contoh

bakteri Gram positif dan Gram negatif adalah Staphylococcus aureus dan

Escherichia coli.

1.) Staphylococcus aureus

Kedudukan taksa Staphylococcus aureus dalam sistematika bakteri

sebagai berikut:

divisi : Schizomycota

kelas : Schizomycetes

bangsa : Eubacteriales

suku : Micrococcaceae

marga : Staphylococcus

jenis : Staphylococcus aureus (Salle, 1961)

Staphylococcus berasal dari kata staphyle yang berarti kelompok

buah anggur dan coccus yang berarti benih bulat. Staphylococcus

aureus merupakan bakteri Gram positif, memiliki bentuk bola sampai

lonjong, diameter 0,5-1,5 µm, tunggal atau berpasangan dan membelah

diri pada lebih dari satu bidang, sehingga membentuk gerombol yang

tidak teratur. S. aureus merupakan bakteri patogen bagi manusia.

25

Infeksi yang ditimbulkan oleh S. aureus antara lain keracunan

makanan, infeksi kulit, hingga infeksi kulit yang tidak dapat

disembuhkan. S. aureus yang patogen dan invasif menghasilkan

koagulase dan cenderung menghasilkan pigmen kuning yang

kemudian menyebabkan hemolitik (Jawetz dkk., 2001). Dinding selnya

memiliki komponen utama peptidoglikan dan asam teikoat. S. aureus

merupakan bakteri anaerob fakultatif, tetapi tumbuh lebih cepat dan

lebih banyak dalam keadaan anaerobik (Pelczar & Chan, 1986).

2.) Escherichia coli

Kedudukan taksa Escherichia coli dalam sistematika bakteri sebagai

berikut:

divisi : Proteobacteria

kelas : Schizcomycetes

bangsa : Enterobacteriales

suku : Enterobacteriaceae

marga : Escherichia

jenis : Escherichia coli (Salle, 1961)

Escherichia coli berbentuk batang pendek kadang- kadang berderet

seperti rantai, berukuran 0,5-3 µm, tidak membentuk spora (Dzen dkk.,

2003), merupakan bakteri usus yang dahulu dianggap tidak patogen.

Bakteri ini merupakan salah satu contoh dari bakteri Gram negatif. E.

coli pada umumnya tidak berkapsul dan dapat bergerak aktif (Jawetz

dkk., 1986).

26

Infeksi oleh E. coli yang ditimbulkan di dalam tubuh tergantung

tempat infeksi E. coli tersebut. Walaupun di dalam tubuh E. coli

merupakan flora normal, akan tetapi apabila E. coli tersebut mencapai

jaringan di luar intestinal normal atau berada di tempat yang tidak

umum maka E. coli tersebut menjadi bersifat patogen. Kebanyakan

infeksi E. coli terjadi pada saluran air kemih. Jawezt dkk. (2001)

menyatakan bahwa penyebab diare secara umum adalah E. coli.

b. Media pertumbuhan bakteri

Pertumbuhan suatu mikroorganisme dalam suatu kutur dipengaruhi

dipengaruhi oleh faktor kimia, yaitu: nutrisi dan jenis media kultur

(Pratiwi, 2008). Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua

yakni makroelemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak (gram)

dan mikroelemen (trace element) yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit

(takaran mg hingga ppm).

Makroelemen meliputi karbon (C), oksigen (O), hidrogen (H), nitrogen

(N), sulfur (S), fosfor (P), kalium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca) dan

besi. Unsur CHONSP diperlukan untuk pembentukan karbohidrat, protein,

lemak dan asam nukleat, sehingga digunakan dalam jumlah besar (gram).

Sedangkan K, Ca, P dan Mg berperan dalam kation dalam sel, lebih sedikit

penggunaannya daripada CHONSP. Mikroelemen meliputi mangaan (Mn),

zinc (Zn), kobalt (Co), molibdenum (Mo), nikel (Ni) dan tembaga (Cu).

Mikroelemen kebanyakan merupakan bagian enzim atau kofaktor yang

membantu katalisis dan membentuk protein. Selain kedua elemen di atas,

27

terdapat pula growth factor yang dikenal sebagai accessory nutrient.

Meliputi vitamin, asam amino serta purin dan pirimidin.

Berdasarkan konsistensinya, seperti media pada kultur jaringan

tanaman, dibedakan menjadi dua, yaitu media cair dan media padat. Media

cair yang mengandung ekstrak kompleks maka disebut rich media atau

broth. Perbedaan keduanya ada pada bahan pembeku pada media padat,

dapat digunakan Agar.

Menurut kandungan nutrisinya, media kultur mikroorganisme dibagi

menjadi: 1.) Defined media (synthetic media) merupakan media yang

komponen penyusunnya sudah diketahui. Biasa digunakan dalam

penelitian; 2.) Media kompleks (complex media) merupakan media yang

tersusun dari komponen yang secara kimia tidak diketahui dengan pasti

kandungannya karena kebutuhan nutrisi mikroorganisme tertentu tidak

diketahui. Contoh: Nutrient Broth/ Agar, Tryptic Soya Broth (TSB)/

Tryptic Soya Agar (TSA), MacKoney Agar; 3.) Media umum (general

media) merupakan media pendukung untuk pertumbuhan banyak

mikroorganisme. Contoh: TSB, TSA; 4.) Media penyubur (enrichment

media) berguna untuk mempercepat pertumbuhan mikroorganisme

tertentu. Media ini menggunakan bahan atau zat yang serupa dengan

habitat tempat isolasi mikroorganisme tersebut; 5.) Media selektif

(selective media) merupakan media yang mendukung pertumbuhan

mikroorganisme tertentu saja dan menghambat pertumbuhan

mikroorganisme yang lain. Pada media ini ditambahkan bahan

28

penghambat pertumbuhan mikroorganisme lain yang tidak diinginkan; 6.)

Media diferensial (differential media) digunakan untuk membedakan

kelompok mikroorganisme tertentu bahkan dapat digunakan untuk

identifikasi. Contohnya adalah media Agar Darah yang dapat digunakan

untuk membedakan bakteri hemolitik dan nonhemolitik; 7.) Media khusus.

Salah satu contoh media khusus adalah media untuk bakteri anaerob,

biasanya dalam media tersebut ditambahkan bahan yang dapat mereduksi

O2 dengan cara pengikatan secara kimiawi. Contoh bahan tersebut adalah

natioglikolat, sistein dan asam askorbat (Pratiwi, 2008).

c. Antibakteri

Suatu senyawa dapat memiliki sifat antibiotik/ antibakteri dengan lima

macam mekanisme aksi, yaitu: penghambatan sintesis dinding sel,

perusakan membran plasma, penghambatan sintesis protein,

penghambatan sintesis asam nukleat dan penghambatan sintesis metabolit

esensial (Pratiwi, 2008).

Obat antibakteri sampai saat ini masih banyak digunakan dalam

pengobatan konvensional. Tidak jarang penggunaan obat antibakteri

tersebut menyebabkan resistensi terhadap bakteri akibat pemakaian yang

tidak teratur. Oleh karena itu, penemuan obat antibakteri dengan efek

samping yang lebih rendah perlu dilakukan salah satunya dengan

menggunakan pengobatan dengan bahan herbal.

29

d. Metode bioautografi

Uji aktivitas antibakteri suatu senyawa tertentu dalam ekstrak dapat

dilakukan dengan metode bioautografi. Metode bioautografi merupakan

metode spesifik untuk mendeteksi bercak kromatogram hasil KLT yang

memiliki aktivitas antibakteri, antifungi dan antivirus (Pratiwi, 2008).

Metode bioautografi merupakan metode yang efisien untuk mendeteksi

adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan

walaupun berada dalam campuran yang kompleks. Akan tetapi, metode

tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat

minimum) dan KBM (kadar bunuh minimum) (Pratiwi, 2008).

Terdapat 2 macam metode bioautografi menurut Pratiwi (2008), yaitu:

1. Bioautografi langsung

Metode ini dilakukan dengan menyemprotkan suspensi

mikroorganisme pada pelat KLT atau dengan menyentuhkan pelat

KLT pada permukaan media Agar yang telah disuspensi dengan

mikroorganisme. Media tersebut kemudian diinkubasi dalam waktu

tertentu, letak senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba dapat

terlihat sebagai area yang jernih.

2. Bioautografi overlay/ kontak (Djide, 2005)

Metode ini dilakukan dengan menuangkan media Agar yang telah

disuspensikan dengan mikroorganisme di atas permukaan pelat KLT,

media ditunggu hingga padat kemudian diinkubasi. Area hambatan

dapat dideteksi dengan menyemprotkan tetrazolium klorida. Senyawa

30

yang memiliki aktivitas antimikroba akan tampak sebagai area jernih

yang berlatar belakang warna ungu.

Sedangkan menurut Djide dkk. (2005), metode bioautografi dibagi

menjadi tiga kelompok, dua diantaranya sama dengan definisi yang

disebutkan Pratiwi (2008). Metode bioautografi yang lainnya adalah

metode bioautografi pencelupan. Metode ini dilakukan dengan

menuangkan media Agar yang telah disuspensikan dengan

mikroorganisme ke atas pelat KLT yang selanjutnya diinkubasi pada suhu

dan waktu tertentu.

6. Uraian tentang Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode pemisahan

fisikokimia dari senyawa campuran. Senyawa campuran yang akan dipisahkan

ditotolkan dalam bentuk totolan (bercak) maupun pita pada lapisan penjerap

(fase diam) yang telah diletakkan di atas pelat gelas, logam, atau lapisan yang

cocok. Larutan pengembang (fase gerak) dalam bejana dibiarkan hingga jenuh

dan fase diam yang telah ditotolkan dimasukkan hingga jarak elusi yang

diinginkan (Stahl, 1985). Deteksi senyawa yang dipisahkan dapat dilakukan

dengan 2 cara, yaitu:

a. Secara kimia

Dilakukan dengan penyemprotan pereaksi semprot penampak bercak.

Penyemprotan pereaksi semprot dilakukan di dalam lemari semprot atau

lemari asam dan harus dipastikan butiran-butiran penyemprotan

merupakan butiran yang halus. Pemanasan setelah disemprot seringkali

31

dilakukan untuk menampakkan bercak yang membutuhkan suhu dan

waktu tertentu.

b. Secara biologi

Digunakan untuk mendeteksi komponen yang memiliki aktivitas

fisiologi tertentu seperti haemolisis oleh senyawa golongan saponin.

Senyawa yang diduga mengandung saponin dapat dideteksi dengan

suspensi darah gelatin dan diamati area bening yang terjadi.

Penjerap yang sering digunakan sebagai fase diam adalah silika gel dan

aluminium oksida. Silika gel seringkali ditambahkan kalsium sulfat untuk

meningkatkan daya lekatnya. Silika gel dikenal sebagai fase diam yang

universal karena dapat digunakan untuk pemisahan senyawa asam, basa

maupun netral. Aluminium oksida memiliki kemampuan koordinasi sehingga

sering digunakan untuk pemisahan senyawa dengan gugus fungdi yang

berbeda. Selain silika gel dan aluminiun oksida, dapat digunakan penjerap lain

yang memiliki daya jerap yang kurang aktif yaitu kieselgur. Untuk pemisahan

tertentu dapat digunakan poliamida, selulosa, kalsium, dan magnesium silikat

(Roth & Blaschke, 1998). Sering kali fase diam dalam KLT juga mengandung

substansi yang dapat berpendar dalam sinar UV (Gandjar & Rohman, 2007).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan

dalam bentuk Rf (Retardation factor/ Retention facrtor). Harga Rf

didefinisikan sebagai berikut:

Hargaawaltitikdaripelarutditempuhyangjarak

awaltitikdarisenyawaolehditempuhyangjarakRf

32

Identifikasi senyawa tersebut dapat juga dilakukan dengan menghitung

harga hRf (hundred Retardation factor) yang merupakan 100 kali nilai Rf

sebagai pembulatan dua angka di belakang koma yang terdapat pada harga Rf.

Harga hRf dinyatakan dalam bentuk bulat bukan pecahan yang merupakan

bilangan utuh 1-99 (Roth & Blaschke, 1998).

Selain harga hRf, dapat pula diketahui pebandingan bercak senyawa

dengan bercak pembanding (Rst). Niali Rst tidak tergantung dari kondisi luar

pengembangan dan harganya dapat ≥ 1. Pengukurannya dinyatakan dalam

persamaan sebagai berikut:

Hargadiketahuiyangpembandingolehditempuhyangjarak

diketahuitidakyangsenyawaolehditempuhyangjarakRst

Gerakan bercak dalam KLT berkaitan dengan harga Rf bercak tersebut

yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Struktur kimia senyawa yang dipisahkan.

b. Sifat penjerap dan derajat aktivitasnya. Perbedaan penjerap walaupun

menggunakan fase gerak yang sama dapat menghasilkan harga Rf yang

berbeda.

c. Tebal dan kerataan lapisan penjerap. Lapisan penjerap yang tidak rata

dapat menyebabkan aliran fase gerak yang tidak merata.

d. Kemurnian fase gerak. Kemurnian fase gerak merupakan faktor yang

sangat penting karena dapat mempengaruhi pergerakan bercak dan apabila

fase gerak yang digunakan merupakan campuran harus benar-benar

diperhatikan pembuatan campurannya.

33

e. Derajad kejenuhan dari bejana pengembang. Bejana harus beradda dalam

keadaan yang terjenuhi oleh fase gerak agar pengembangan yang

dilakukan berjalan merata.

f. Metode pengembangan yang dilakukan harus diperhatikan.

g. Jumlah cuplikan dalam totolan yang terlalu banyak dapat menyebabkan

tendensi penyebaran bercak dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan

efek ketidakseimbangan lainnya yang mengakibatkan kesalahan dalam

pembacaan nilai Rf.

h. Pengembangan sebaiknya dilakukan pada suhu yang tetap untuk mencegah

terjadinya perubahan-perubahan komposisi fase gerak akibat penguapan

atau perubahan-perubahan fase.

i. Kesetimbangan bejana harus diperhatikan karena ketidaksetimbangan

dapat menyebabkan pengembangan yang melengkung (Sastrohamidjojo,

2005).

F. Keterangan Empirik yang Diharapkan

Penggunaan metil jasmonat (MeJA) pada kultur kalus daun selasih

berpengaruh dalam pembentukan metabolit kalus berdasarkan profil Kromatografi

Lapis Tipis (KLT) secara kualitatif dan meningkatkan aktivitas antibakteri

terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dengan metode uji

bioautografi.