BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG...

26
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Dalam persaingan bebas antar bangsa di era globalisasi ini, sumber daya manusia memegang peran utama dalam menentukan kedudukan suatu bangsa. Pendidikan , merupakan kata kunci dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak didik untuk dapat mengatasi masalah yang ditemukan saat ia dewasa. Pendidik harus memperkirakan kemampuan apa saja yang harus dikuasai dan diperlukan dimasa depan anak, paling tidak dalam 10 hingga 20 tahun kedepan. Pada saat ini, karena pesatnya kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, sulit bagi pendidik untuk meramalkan kebutuhan anak dimasa depan. Kompleksitas permasalahan dalam keterbukaan batas batas antar negara menyebabkan persaingan yang keras bagi generasi yang akan datang. Hal ini sejalan dengan pendapat Shahib ( 2005: 18) sebagai berikut : Terdapat beberapa hal yang harus dihadapi dimasa depan, yaitu heterogenitas karena mobilisasi manusia yang tinggi, kompleksitas dan komprehensivitas yang meningkat membutuhkan kemampuan memecahkan masalah dari berbagai sudut pandang dan komprehensif, dunia tanpa sekat (borderless) karena kebebasan arus informasi dan komunikasi, inovasi untuk menghasilkan produk yang bersaing, dan hubungan timbal balik antar negara meningkat. Dalam abad ke 21, yang diwarnai oleh paham post-modernisme, kreativitas merupakan hal yang amat penting, bahkan Craft lebih jauh menyatakan ”...

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Dalam persaingan bebas antar bangsa di era globalisasi ini, sumber daya

manusia memegang peran utama dalam menentukan kedudukan suatu bangsa.

Pendidikan , merupakan kata kunci dalam membangun sumber daya manusia yang

berkualitas.

Salah satu tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak didik untuk dapat

mengatasi masalah yang ditemukan saat ia dewasa. Pendidik harus

memperkirakan kemampuan apa saja yang harus dikuasai dan diperlukan dimasa

depan anak, paling tidak dalam 10 hingga 20 tahun kedepan. Pada saat ini, karena

pesatnya kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, sulit bagi pendidik

untuk meramalkan kebutuhan anak dimasa depan. Kompleksitas permasalahan

dalam keterbukaan batas batas antar negara menyebabkan persaingan yang keras

bagi generasi yang akan datang. Hal ini sejalan dengan pendapat Shahib ( 2005:

18) sebagai berikut :

Terdapat beberapa hal yang harus dihadapi dimasa depan, yaitu heterogenitas karena mobilisasi manusia yang tinggi, kompleksitas dan komprehensivitas yang meningkat membutuhkan kemampuan memecahkan masalah dari berbagai sudut pandang dan komprehensif, dunia tanpa sekat (borderless) karena kebebasan arus informasi dan komunikasi, inovasi untuk menghasilkan produk yang bersaing, dan hubungan timbal balik antar negara meningkat.

Dalam abad ke 21, yang diwarnai oleh paham post-modernisme, kreativitas

merupakan hal yang amat penting, bahkan Craft lebih jauh menyatakan ”...

2

Kreativitas adalah nilai utama dari postmodernisme ” (Craft, 2000:244).

Keterbatasan sumber daya alam yang tak terbaharui dapat menimbulkan masalah

bagi kelangsungan hidup manusia dan menuntut umat manusia untuk selalu

berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa sepenuhnya tergantung pada

sumber alam. Munandar (2004:7) beranggapan ”... berkurangnya persediaan

sumber alam, menuntut adaptasi secara kreatif dan pemecahan masalah yang

imajinatif.”

Kreativitas diperlukan untuk mengantisipasi berbagai hal yang bersifat

chaos, satu aksi dapat menimbulkan banyak reaksi, keadaan begitu cepat

berubah tanpa dapat diprediksi secara akurat. Gagne, bahkan menyebutkan bahwa

kemampuan memecahkan masalah adalah tujuan utama pendidikan ”... The

capability of problem solving is, naturally, a major aim of the educational

process.” (Gagne, 1992: 64) Kreativitas merupakan kemampuan fungsi luhur

(higher function) dari otak manusia yang membedakannya dengan binatang.

Manusia mampu menemukan alat dan perkakas dengan daya kreativitasnya untuk

mempermudahnya mengatasi permasalahan hidup. Kemampuan menemukan alat

ini dimiliki oleh setiap manusia bahkan sejak usia anak-anak. Anak berusia tiga

tahun telah memiliki kemampuan untuk menggunakan dan memanfaatkan alat

untuk mempermudah pekerjaannya.

Selain tuntutan globalisasi, Munandar beranggapan bahwa ”... kreativitas

penting dikembangkan, karena dengan berkreasi orang dapat mengaktualisasikan

dirinya yang merupakan puncak piramida kebutuhan diri dari Maslow.”

(Munandar,2004:18) Pada kenyataannya, saat ini pengembangan sikap kreatif

3

pada anak didik, masih kurang mendapat perhatian dalam pelaksanaan program

pendidikan. Pendidikan , bahkan lebih banyak menekankan pada kemampuan

berpikir logis, penalaran, ingatan, pengetahuan.

Setiap orang mampu menjadi kreatif, begitu pula kemampuan kreativitas

bangsa Indonesia seharusnya setara dengan bangsa lain. Tidak banyak data

penelitian yang menyebutkan atau menyimpulkan bagaimana tingkat kreativitas

bangsa Indonesia. Hal ini karena tidak banyak studi berbasis populasi yang

dilakukan di Indonesia dan beragamnya definisi, batasan serta cara pengukuran

kreativitas. Dilain pihak, untuk mengukur kreativitas masih terdapat beberapa

pandangan yang bersifat kontroversi. Bagi sebagian pakar, mengukur kreativitas

bagaikan sebuah paradoks, karena salah satu prinsip kreativitas adalah

kemampuan untuk berpikir divergen yang sulit diukur dengan suatu alat ukur

yang terstandarisasi.

Beberapa fenomena dapat dikatakan mengindikasikan rendahnya tingkat

kreativitas bangsa Indonesia, antara lain rendahnya penghargaan pada hak

kekayaan intelektual, kecenderungan untuk meniru dan mengikuti produk ciptaan

orang lain, maraknya pembajakan baik hasil karya seni maupun komersial.

Rendahnya tingkat kreativitas ini juga ditemukan pada dunia pendidikan di setiap

tingkatan. Kasus plagiarisme pada karya tulis ditemukan pada tingkat sarjana S-1

hingga tingkat S-3. Tidak banyak hasil penelitian ataupun penulisan karya ilmiah,

menggambarkan masih rendahnya tingkat kreativitas yang menyebabkan

perguruan tinggi di Indonesia tidak mendapat peringkat yang memadai bahkan

ditingkat Asia.

4

Bangsa Indonesia juga masih menjadi bangsa konsumen (consumptive

society), pengguna hasil produksi dari negara lain dan bukan bangsa produsen

(productive society). Hal ini diperberat dengan perasaan inferior dan anggapan

bahwa hasil karya bangsa lain terutama negara maju lebih baik dari karya sendiri.

Dalam bahasa yang senada, Shahib mengatakan ”... kemampuan inovasi bangsa

Indonesia masih rendah dan penting untuk menanamkan rasa bangga untuk

berkreasi dan malu jika meniru sejak awal pendidikan.” (Shahib,2005;81) Dalam

masyarakat yang bersifat konsumtif, ditengarai kemampuan kreativitas juga

rendah karena sifat konsumtif tidak memerlukan kemampuan menciptakan atau

menghasilkan suatu produksi baik barang maupun jasa. Sifat konsumtif ini

berlawanan dengan sifat produktif, yang biasanya ditunjukkan oleh suatu

masyarakat yang mau belajar dari kekurangan dan memiliki kemauan untuk

mencapai kemajuan dengan belajar. Masyarakat yang belajar (Learning society)

adalah masyarakat yang mampu mengenali kelemahan dan kekurangannya serta

berkehendak untuk memperbaiki keadaan tersebut. Sifat ini sesuai dengan sifat

kreatif yang pada dasarnya merupakan suatu sifat dan sikap untuk memecahkan

masalah yang dihadapi.

Pendidikan untuk menunjang kreativitas di Indonesia saat ini juga belum

merata dari segi kualitas dan kuantitas. Hal ini diakibatkan beberapa kendala,

antara lain letak dan keadaan geografis Indonesia. Keadaan tersebut

mengakibatkan kesulitan secara umum untuk meningkatkan mutu pendidikan

termasuk pendidikan kreativitas, seperti dinyatakan oleh Shahib :” ... Sumber daya

manusia Indonesia berada pada rangking yang cukup rendah diantara negara lain

5

bahkan ditingkat Asia Tenggara”. (Shahib,2005;89). Data dari UNDP tahun 2000

juga menilai bahwa SDM Indonesia tidak kreatif dan kompetitif.

(Shahib,2005;74). Dalam suatu penelitian menggunakan perangkat tes TCT-DP

dari Jellen dari Utah Amerika Serikat dan Urban dari Universitas Hannover

Jerman yang dilakukan di 8 negara termasuk 50 anak SD dari Jakarta Indonesia

(dilakukan oleh Utami Munandar, 1985), anak Indonesia mencapai skor

kreativitas paling rendah.

Beberapa penelitian mendukung pendapat bahwa anak-anak di Indonesia

cenderung pasif dan kurang inisiatif serta kreativitas. Beberapa penelitian dari

tingkat SD hingga mahasiswa menjelaskan belum memadainya tingkat kreativitas

pada anak didik. Tjahyo dalam observasinya pada 88 murid SD kelas VI (11-12

tahun) di Salatiga mendapatkan bahwa ”... kreativitas siswa kurang, dan tampak

hanya mengulang atau menyalin tugas, jarang bertanya dan berpendapat pada

suatu pernyataan, tidak memiliki suatu ide jawaban yang baru”. (Tjahyo ,1987)

Fibriyanti menemukan bahwa ”... tingkat kreativitas dan keberanian siswa kelas

VII dalam mengajukan gagasan atau tanggapan masih rendah baik dari segi

kuantitas maupun keaslian.”(Fibriyanti,2006) Solihah, menemukan bahwa :”...

rata-rata nilai kreativitas berpikir siswa , pada sebuah SMA di Bandung, pada tes

awal tergolong rendah.(Solihah ,2006). Kusmaedi, mendapatkan hasil tes

kreativitas pada peserta latih keolahragaan ”... secara umum belum sesuai dengan

yang diharapkan dan perlu membuat model model pelatihan untuk

mengembangkan kreativitas pelatih.” (Kusmaedi ,2006)

6

Rendahnya kreativitas Indonesia mungkin terjadi karena berbagai hal yang

berkaitan dengan sejarah perjalanan bangsa. Akibat penjajahan oleh bangsa lain,

bangsa Indonesia menjadi cenderung bergantung pada orang lain, bersifat pasif,

inferior dan banyak menunggu perintah dari orang lain. Suatu ide baru atau sifat

inisiatif dan terbuka dapat dianggap sebagai ancaman bagi bangsa penjajah. Hal

ini diperkuat dengan sifat dasar bangsa Indonesia yang patrialistik dan feodalistik,

sehingga apapun yang akan dilakukan selalu cenderung menunggu inisiatif dari

atas (Top-Down) . Hal ini juga sejalan dengan pandangan Sukmadinata yang

mengidentifikasi beberapa hal yang menghambat proses berpikir kreatif, yaitu ”...

hambatan dalam diri siswa, pembatasan karena aturan dan tuntutan, sikap pasif,

menerima, tidak mau bertanya, takut berbuat salah, mengabaikan intuisi, tidak ada

waktu mengembangkan hal baru”. (Sukmadinata,2004 :182)

Dalam berbagai hal kreativitas di Indonesia sebenarnya tetap hidup bahkan

sangat kuat. Menurut Tabrani terdapat perbedaan bangsa Timur dan Barat “...

bangsa Timur memiliki kelebihan dalam kreativitas karena kreativitas bekerja

dalam ambang antara sadar – tak sadar, bahasa rupa dan banyak menggunakan

tenaga atau energi dalam, yang merupakan keunggulan bangsa Timur”. (Tabrani

,2000:39) Demikian pula bangsa Indonesia yang tergolong bangsa Timur

seharusnya memiliki keunggulan tersebut. Dapat kita lihat berkembangnya

berbagai karya seni dan tradisi yang canggih yang merupakan suatu karya

penciptaan berdasarkan kreativitas. Dalam keadaan sebagai bangsa yang dijajah

oleh bangsa lain, kreativitas bangsa Indonesia disalurkan pada proses berkesenian,

karena hal ini tidak secara langsung bersentuhan dan memiliki akibat politis

7

praktis sehingga relatif luput dari pengawasan dari sistem pemerintahan yang

tidak memberi ruang bagi inisiatif dari bawah.

Pada keadaan darurat keterbatasan, atau genting sangat mungkin timbul

kreativitas manusia untuk mengatasi masalah. Hal ini memang sesuai dengan sifat

dasar kreativitas yang merupakan suatu sikap yang timbul akibat adanya masalah

dalam kehidupan dan upaya untuk mengatasinya (Problem Solving). Dalam

suasana persaingan global, sifat kreativitas yang muncul saat keadaan terpojok

dan terdesak tidak akan menguntungkan suatu bangsa. Bangsa Indonesia

diharapkan mampu mengembangkan kreativitas dalam setiap situasi. Harus

ditanamkan bahwa suasana persaingan dan kompetisi global ini merupakan suatu

ancaman yang akan berakibat serius dan menyebabkan bangsa Indonesia kembali

terjajah dalam bentuk lain jika tidak memiliki kemampuan kreativitas yang

menghasilkan suatu produk yang kompetitif dan inovatif.

Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah seorang kreatif

dilahirkan (nature) atau diciptakan (nurture). Cameron (Sukmadinata,1992:181)

berpendapat bahwa ‘ ... kreativitas adalah suatu keteraturan alamiah dari

kehidupan.’ Pada dasarnya, selain bakat, sifat kreatif dapat dikembangkan

melalui pembelajaran, dengan asumsi bahwa setiap manusia dikaruniai

kemampuan untuk memecahkan masalah kehidupan yang dialaminya. Pada saat

ini pandangan yang menyatakan bahwa kreativitas adalah anugrah yang hanya

diberikan pada orang-orang tertentu dan merupakan bakat yang diturunkan, sudah

tidak banyak dianut. Pada dasarnya setiap orang mempunyai sifat kreatif yang

merupakan karunia dasar bagi manusia untuk menjadi kalifah dimuka bumi ini.

8

Kreativitas merupakan hasil belajar dan dapat dipelajari serta dikembangkan oleh

pendidikan yang sesuai (Razik, T.A, 1973: 157, Sukmadinata,1992:181, Lee, K.H,

2005: 194-199, Prieto,M.D et al, 2006: 277-290).

Sistem pendidikan di Indonesia sendiri ternyata belum mendukung atau

belum memberikan iklim yang baik bagi perkembangan kreativitas. Kebanyakan

kurikulum disusun berdasarkan instruksi dari atas dan bersifat Top-Down . Selain

bersifat Top-Down, metode pembelajaran banyak yang masih berpusat pada guru

(Teacher Centered), seperti hasil pengamatan Wati pada siswa SMP kelas 1 ”...

pembelajaran menulis belum mengoptimalkan kemampuan siswa untuk menulis,

tetapi masih didominasi oleh guru dengan metode ceramah dan tanya jawab.”

(Wati, 2006). Syariful pada penelitiannya pada guru pendidikan Teknologi Dasar

pada jenjang pendidikan SLTP, menyimpulkan ”... akibat lebih menekankan

keterampilan tentang teknologi dasar , berdampak negatif pada perkembangan

pola fikir dan kreativitas anak dalam mengatasi masalah teknologi dasar.”

(Syariful, 2004) Sya’baniah, pada penelitian proses pembelajaran seni tari pada

sebuah SD di Bandung menemukan proses belajar yang belum mengarahkan

siswa menjadi aktif dan kreatif, sehingga dikatakan ”... pembelajaran kurang

berkesan dan tidak lebih sebagai banking concept of education.” (Sya’baniah

,2007).

Sistem kurikulum yang digunakan saat ini, yang memberikan kewenangan

kepada satuan pendidikan untuk menyusun sendiri kurikulumnya, sebenarnya

memberikan ruang bagi berkembangnya kreativitas, namun mengingat pada saat

ini kemampuan guru dalam pemahaman kreativitas yang belum memadai, maka

9

kemungkinan prinsip pembelajaran kreativitas tersebut diabaikan. Dengan waktu

persiapan yang minim, ada kecenderungan guru untuk membuat kurikulum sesuai

kurikulum sebelumnya atau bahkan mencontoh kurikulum dari sekolah lain yang

telah siap.

Pengembangan kemampuan kreativitas pada anak tentunya sangat

dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengembangkan suasana dan kondisi

yang optimal bagi terbentuknya kreativitas. Pembelajaran yang kreatif dari

seorang guru yang kreatif diyakini mampu pula meningkatkan kreativitas anak.

Kreatifitas guru dalam mengajar tentu bukan berarti dominasi guru terhadap

proses belajar dan mengajar. Dominasi guru di kelas, pada gilirannya akan

mematikan iklim dan suasana yang dapat membangun keikutsertaan dan

partisipasi aktif anak dalam proses pendidikan. Anak akan cenderung pasif , tidak

mau dan tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Nuraini mendapatkan dari

penelitiannya pada anak TK bahwa ”... sikap kreatif anak tidak muncul karena

dominasi guru yang kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk

melakukan eksplorasi hasil pengalamannya”. (Nuraini ,2000) Kreatifitas guru

tentunya dibutuhkan untuk mengembangkan sifat kreatif anak. Kemampuan guru

untuk mencari dan berinovasi dalam pelaksanaan pembelajaran, akan

meningkatkan rasa ingin tahu anak karena banyaknya unsur kejutan. Pada

kenyataannya, kreativitas guru dalam melaksanakan proses pembelajaran masih

rendah. Rampengan menemukan ”... kreativitas guru-guru IPA pada SMP negeri

sekotamadya Manado masih rendah, kurang kemandiriannya, sangat terikat pada

peraturan, kurang menunjukkan daya cipta dan inovasi”. (Rampengan ,1986).

10

Pendapat ini didukung hasil penelitian Supardan yang menyatakan bahwa ”...

secara umum kreativitas guru sejarah dalam pembelajarannya masih jauh dari

tingkatan yang diharapkan.” (Supardan, 2000)

Evaluasi mengenai bagaimana pembelajaran yang kondusif bagi

kreativitas sangat penting untuk dilakukan, namun bagaimana cara melakukan

sistem evaluasi yang tepat untuk menilai kreativitas anak, masih sulit ditentukan.

Kesulitan melakukan evaluasi, lebih karena definisi kreativitas yang beragam,

sehingga tolok ukur apakah seorang adalah kreatif menjadi sulit pula ditentukan.

Sistem evaluasi saat ini yang berupa ujian nasional sebagai tolok ukur kelulusan

siswa juga tidak sesuai dengan sistem pendidikan bagi kreativitas. Kreativitas

mensyaratkan kemampuan berpikir divergen yang tidak pernah secara langsung

menilai apakah suatu pendapat salah atau benar, karena pada hakikatnya kebaruan

dan originalitas jawabanlah yang diutamakan. Sementara sistem evaluasi dengan

pilihan ganda memaksa siswa untuk memilih hanya salah satu jawaban yang

benar. Bahkan sebagian pihak lebih mengutamakan untuk mencapai hasil ujian

sesuai target walaupun dengan cara cara yang tidak kreatif seperti perjokian,

pembocoran jawaban dan lainnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan sikap kreatif, antara

lain sifat individual siswa, pengaruh lingkungan, orang tua, guru, masyarakat,

metode pembelajaran, media pembelajaran. Secara umum, banyak hal yang

menunjang terbentuknya sikap kreatif belum mendapat perhatian dalam

pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Ruindungan mengatakan bahwa “...

perhatian formal dalam KBM di SMU cenderung memberi penekanan pada

11

pengembangan kemampuan berfikir konvergen dan kurang perhatian kepada

upaya mengembangkan kemampuan berfikir divergen, dan kreatif.” (Ruindungan

,1996). Rusdiana, pada penelitian pada kelompok bermain, mengidentifikasi

beberapa hal yang dapat menunjang kreativitas antara lain sikap guru atau tutor,

strategi mengajar, pengaturan fisik kelas, sarana pembelajaran, teman, orangtua,

namun tidak tersedia memadai untuk anak sehingga menghambat kreativitas

anak. Rusdiana juga mendapatkan bahwa “... pemahaman orangtua dan guru pada

konsep pendidikan kreativitas masih rendah” (Rusdiana,2005), sementara

penelitian Efendi mengatakan bahwa “... orang tua belum memiliki pengetahuan

tentang arti pentingnya alat permainan bagi pertumbuhan dan perkembangan

anak.” (Efendi ,2006)

Terdapat temuan menarik dari beberapa hasil penelitian yang sebaliknya

menunjukkan bahwa tingkat kreativitas pada anak TK relatif baik, Tabrani bahkan

mengatakan bahwa kreativitas berkembang pada kelompok manusia yang tidak

memiliki batas imajinasi. (Tabrani,2000:41) Secara lebih lugas Tabrani bahkan

mengatakan “... tingkat kreativitas amat tinggi pada anak usia dini, seniman, dan

orang tidak waras.” Pendapat Tabrani sesuai dengan Craft juga berpendapat

bahwa “... proses pendidikan justru dapat ”membunuh” kreativitas karena sistem

pendidikan yang penuh keteraturan, perlahan tapi pasti, menurunkan kemampuan

kreativitas sejalan dengan makin tingginya pendidikan.” (Craft,2004:8). Pada

dasarnya, kreativitas yang tinggi pada kelompok anak-anak dan orang tidak waras,

lebih merupakan bentuk kebebasan berekspresi tanpa takut akan adanya

kesalahan, karena nilai salah dan benar pada kelompok tersebut sangat samar atau

12

bahkan tidak dikenal. Anak berani mencoba, karena tidak takut melakukan

kesalahan, tidak menyadari adanya bahaya atau konsekuensi dari suatu tindakan

dan sikap. Pendidikan yang juga menanamkan nilai nilai kebenaran, pada

dasarnya bertentangan dengan kondisi tersebut, sehingga dikatakan dapat

menghambat atau bahkan mematikan kebebasan berekspresi dan mengemukakan

pendapat. Terdapat kontradiksi bahwa ada pendapat yang mengatakan kreativitas

dapat ditingkatkan melalui pendidikan, namun ada pula yang berpendapat bahwa

pendidikan justru mengerdilkan kreativitas. Gammage (Craft,2000:5) berpendapat

bahwa ‘... pendidikan ternyata lebih tertarik dan fokus dalam ”membuat jawaban”

dan bukan ”membuat pertanyaan” . Perlu suatu keseimbangan antara kebebasan

berekspresi dengan penanaman nilai nilai dan kesepakatan norma dan aturan

dalam hidup bermasyarakat.

Bagaimanakah sistem atau metode pendidikan yang diharapkan dapat

meningkatkan kemampuan kreativitas ? Secara umum dikatakan bahwa

pendidikan dengan pendekatan berpusat pada siswa (student/learner centered)

yang memberikan ruang bagi pengembangan pola berpikir divergen adalah yang

paling dapat diharapkan dapat meningkatkan kreativitas anak. Pengembangan

kreativitas bukan hanya membutuhkan suatu ruang fisik, namun juga

membutuhkan ”ruang” non-fisik , sehingga kreativitas seseorang dapat

berkembang . Syarat ”ruang” tersebut adalah membolehkan dan tidak menabukan

kesalahan, menganjurkan eksperimen, bersifat terbuka, dan berani mengambil

risiko, suasana yang menyenangkan. Peran pendidik, orangtua, lingkungan amat

penting artinya untuk menyediakan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan sifat

13

kreatif anak. Intervensi terlalu awal dari pendidik biasanya lebih banyak

mengecilkan hati daripada membesarkan hati anak didik. Hal ini sesuai pula

dengan pendapat Craft bahwa ” ... memberikan komentar pada hasil pekerjaan

anak, bahkan komentar positif sekalipun, lebih banyak berperan menghambat

kreativitas daripada membantu berkembangnya sikap kreatif.” (Craft, 2000 :219).

Banyak penelitian yang telah dilakukan membahas cara untuk

meningkatkan kreativitas. Lalemi, melakukan suatu metode pelatihan imajinasi

yang terdiri dari enam sesi pada anak kelas dua dan enam. Dari hasil

penelitiannya, didapatkan bahwa metode ini dapat meningkatkan kreativitas anak

yang dilihat dari hasil TTCT (Torrance Test of Creativity Thinking) (Lalemi

,1991). Norton, pada disertasinya, mengatakan bahwa ”... dengan melakukan

teknik pengajaran divergen pada mahasiswa, dapat meningkatkan kreativitas

yang diukur dengan TTCT.” (Norton ,2006). Longo, menyatakan bahwa ”...

Inquiry learning promotes creativity by increasing motivation, wonderment, and

curiosity” (Longo, 2010:57). Hubungan antara kecerdasan (IQ) dengan kreativitas

masih menjadi diskusi, seperti didapatkan oleh Olatoye (2007 : 179) dari

penelitiannya pada 460 siswa sekolah menengah di Nigeria, mendapatkan bahwa

”... tingkat IQ seorang anak berkorelasi dengan tingkat kreativitas”. Pendapat lain

justru mengatakan hal yang sebaliknya, bahwa tidak ada korelasi langsung antara

kreativitas dengan tingkat kecerdasan.

Dari studi literatur, didapatkan pula penelitian di Indonesia yang telah

dilakukan mengenai kreatifitas, antara lain adalah (1) Metode Pelatihan

Ketrampilan Kreatif dari Kurniati (Kurniati,2004) yang menguji pengaruh

14

pelatihan kreatif untuk meningkatkan kreativitas pada 21 orang mahasiswa tingkat

akhir dan freshgraduate. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ”... metode

pelatihan ketrampilan kreatif ini efektif dalam meningkatkan kreativitas subyek

penelitian” . dan (2) Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dari Fibriyanti, dalam

penelitian tindakan kelasnya pada 33 siswa kelas VII, menggunakan model siklus

belajar yang menyarankan agar ”... proses pembelajaran melibatkan siswa dalam

kegiatan belajar yang aktif melakukan asimilasi, akomodasi, dan organisasi ke

dalam struktur kognitif.” (Fibriyanti,2004)

Beberapa hal memegang peranan penting pada proses kreatif dan

kreativitas, yaitu daya cipta, imajinasi, dan kecerdasan. Kata kunci tersebut secara

spesifik berkaitan erat dengan fungsi otak yaitu kemampuan daya cipta dan

imajinasi yang merupakan fungsi otak kanan, sedangkan kecerdasan (inteligensia)

merupakan fungsi otak secara umum baik otak kanan maupun kiri.

Pada prinsipnya pembelajaran kreativitas tidak terlepas dari peranan kerja

fisiologis otak. Kreatif adalah proses kerja otak berdasarkan hasil belajar

sebelumnya. Kerja otak yang optimal membutuhkan “ruang” yang mendukung,

antara lain adalah suasana psikologis. Suasana emosi yang menyenangkan akan

mempermudah otak untuk belajar dan merekam dalam memori setiap pengalaman

yang dialaminya. Pengalaman yang telah didapat sebelumnya memperkaya

wawasan otak dan membuka kemungkinan lebih luas terjadinya proses kreatif.

Gribov, mengatakan bahwa ”... kemampuan kreativitas memiliki dasar

Neuropsikologis yang penting dan berkaitan dengan asimetri fungsional hemisfer

otak (Brain Hemispheric Functions Asymmetry).”

15

Otak bekerja secara paralel dalam arti bahwa berbagai stimulasi dapat

diterima dan diolah secara langsung bahkan dapat memperkuat fungsi sinaps

mendukung pentingnya stimulasi multipel dalam upaya meningkatkan hasil

pembelajaran. (Thomas, 2007 :5) Berbagai stimulasi sensorik yang diterima

secara paralel tersebut dapat memperkuat jika dilakukan dalam harmoni dan

bukan disharmoni yang saling melemahkan. Teori multiple intelligences dari

Gardner, mengenai beberapa jenis kecerdasan pada manusia turut mendukung

teori pembelajaran berbasis otak. (Miller, 2009 :658) . Berbagai pendapat tersebut

tentunya mendukung suatu asumsi bahwa pembelajaran berbasis otak yang

mengutamakan fungsi otak mempunyai peranan yang amat penting dalam

pengembangan kreativitas. (Gribov, 2001 : 70)

Selain aspek fisiologis kerja otak, kreativitas juga dipengaruhi oleh

banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Rhodes

(Munandar, 2004 : 20) secara spesifik menyebutkan empat faktor (4P kreativitas)

yang berperan dalam pengembangan kreativitas, yaitu ‘... (1) Person atau pribadi

kreatif, (2) Process, yaitu proses kreatif, (3) Press, dorongan faktor eksternal dari

lingkungan dan pribadi, serta (4) Product, yaitu kegiatan yang menghasilkan

produk yang kreatif .

Pendidikan, termasuk pendidikan kreativitas, merupakan suatu kebutuhan

yang harus dimulai sejak awal , bahkan beberapa pakar mengatakan sejak

dimulainya konsepsi, yang merupakan usia emas (Golden Age) dalam tahap

pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Mengabaikan perhatian pada

16

pendidikan anak usia dini dapat menyebabkan ketertinggalan dalam upaya

membangun sumber daya manusia yang berkualitas.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Nasional tahun 2006, jumlah

penduduk usia dini di Indonesia adalah sekitar 28 juta anak dan hanya sekitar 10,5

juta anak yang mengikuti atau tergabung dalam satuan atau lembaga PAUD yang

berjumlah 230.129 buah. Dari data tersebut diketahui hanya sekitar sepertiga anak

yang mengikuti satuan atau lembaga PAUD. Tujuan pembinaan anak usia dini ,

sesuai Sisdiknas, adalah membantu peningkatan pertumbuhan dan perkembangan

jasmani dan rohani anak . Diharapkan anak akan memiliki kesiapan yang lebih

baik dalam mengikuti tahapan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya

sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Terdapat banyak hambatan dalam pendidikan anak usia dini di Indonesia,

yaitu keadaan sosio-ekonomi yang lemah, kualitas asuhan rendah karena tingkat

pendidikan ibu rendah, kualitas PAUD rendah karena 99% adalah PAUD swasta

yang berbiaya tinggi sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat, program

intervensi orangtua rendah, kuantitas PAUD rendah, hanya mencakup 12,61 %

anak usia TK, dan kualitas guru PAUD yang masih rendah. (Suyanto , 2005:231)

Pemerintah Indonesia sendiri telah memberikan perhatian yang besar pada

pendidikan bagi anak usia dini. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai Pendidikan Anak

Usia Dini pada pasal 1 ayat 14 menyatakan :

Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan

17

dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Kreativitas harus dikembangkan sejak usia dini, karena pada saat inilah

secara naluriah, anak mempunyai keinginan kuat untuk selalu mencoba hal yang

baru. Pertumbuhan dan perkembangan anak termasuk sistem saraf amat pesat

pada usia dini. Program pendidikan serta lingkungan yang tidak mendukung, akan

menghambat bahkan menghentikan kemampuan kreativitas seorang anak.

Dibutuhkan suatu program pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas manusia

Indonesia yang harus dimulai sejak usia dini.

Pendidikan anak usia dini tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan

perkembangan kemampuan anak yang merupakan bagian penting dari kerja sistem

saraf terutama otak. Hingga saat ini banyak atau sebagian besar teori teori

pembelajaran lebih berkembang melalui disiplin ilmu Psikologi. Bagaimana anak

belajar dan memperoleh kepandaian banyak diterangkan oleh teori psikologi.

Bidang ilmu saraf (neuroscience) sendiri masih banyak tertinggal dalam

menyumbangkan hasil hasil penelitiannya untuk memajukan teori teroi

pembelajaran bahkan sebagian menganggap bahwa kesenjangan antara

neuroscience dan bidang pembelajaran praktis Upaya memahami bagaimana

fungsi otak bekerja untuk dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil

pembelajaran secara optimal mulai banyak dikembangkan. Istilah Brain-based

Learning mulai digunakan serta dipelajari secara lebih luas dan menjadi topik

utama dalam era baru saat ini. Banyak studi hasil penelitian dalam neuro-science

yang mulai dimanfaatkan untuk mengembangkan konsep konsep dalam bidang

18

pendidikan teoretis dan praktis. Telah lama diketahui bahwa usia terbaik untuk

belajar adalah saat awal masa kanak kanak, yang disebut neuroscientists sebagai

windows of opportunity. Kelompok usia dini merupakan usia emas bagi

perkembangan manusia, karena pada masa inilah terjadi suatu pengembangan,

pengayaan, penguatan jalur interaksi antar neuron yang amat pesat dibandingkan

dengan kelompok usia lainnya.

Menyadari masih kurangnya kemampuan kreativitas di Indonesia,

pentingnya pengembangan kreativitas sejak usia dini, dan keterkaitan yang erat

antara sistem kerja otak dengan pendidikan, maka dirasakan perlu untuk

mengembangkan suatu program pembelajaran berbasis otak yang dapat

meningkatkan kreativitas pada anak usia dini.

B. RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH PENELITIAN

1. Rumusan Masalah

Dikaitkan dengan kemampuan kreativitas manusia Indonesia yang diduga

masih rendah, dibutuhkan suatu upaya pembelajaran yang dapat meningkatkan

kreativitas tersebut. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya

kreativitas pada sistem pembelajaran. Sukmadinata, berpendapat bahwa dalam

proses pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas harus diperhatikan : individu

siswa, lingkungan, instrumen, dan proses pembelajaran sehingga dihasilkan suatu

keluaran yaitu kreativitas. Sukmadinata mengidentifikasi bahwa Raw Input

(siswa) dapat dikategorikan kedalam faktor fisik, termasuk faktor genetik, dan

psikis baik karakteristik permanen maupun temporer.(Sukmadinata,2004:183)

19

Secara lebih sistematis dan sederhana, pendapat Sukmadinata dapat dilihat dalam

gambar 1.1.

Gambar 1.1. Proses Pendidikan Untuk Meningkatkan Kreativitas (Sukmadinata, 2004)

Beberapa peneliti mengidentifikasi berbagai faktor lain yang berpengaruh

pada kreativitas. Penelitian banyak dilakukan melibatkan berbagai disiplin ilmu,

baik dari sudut pandang psikologis (perilaku manusia) juga dari sudut pandang

biologis (fisik manusia).

Secara umum dikatakan bahwa faktor yang berpengaruh adalah faktor

internal manusia dan faktor eksternal termasuk lingkungan. Menurut Tabrani

pada manusia terdapat suatu rangkaian proses belajar-berpikir-kreasi-imaginasi-

memori, yang secara serempak merupakan kerja sama semua indera secara

Raw Input (Siswa) a. Faktor Fisik :

- Genetik - Inteligensia - Kesehatan

b. Faktor Psikis

- Emosi - Mood - Minat

Instrumental Input : - Kebijakan - Guru - Sarana - Media

Output :

KREATIVITAS

Program / Proses Pembelajaran - Perencanaan - Pelaksanaan - Evaluasi

Environmental Input : - Teman sebaya - Orangtua - Masyarakat - Adat istiadat - Sosial budaya - Pemerintah

20

integral. Hasil proses integrasi ini adalah kreasi, suatu integrasi antara stimuli luar

dan dalam. (Tabrani, 2000:4)

Hal serupa dapat dipertimbangkan berdasarkan pendapat Rhodes

(Munandar,2004:20) , bahwa proses kreativitas dapat dijelaskan seperti pada

gambar 1.2.

Gambar 1.2. Faktor yang Mempengaruhi Kreativitas.

Csikszenmihalyi (Sanders, 2001, dan Alenizi, 2008 : 11), mengajukan suatu

pandangan mengenai sistem yang membentuk kreativitas (Gambar 1.3)

Gambar 1.3. Sistem kreativitas (Csikszenmihalyi)

PERSON : INTERNAL STIMULATION

PROCESS

PRESS : EXTERNAL STIMULATION

PRODUCT

21

2. Batasan Masalah

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi kreativitas anak, penelitian ini

akan memfokuskan diri pada faktor stimulasi eksternal yang dibutuhkan untuk

dapat meningkatkan sinaps antar sel otak (neuron), sehingga dimungkinkan suatu

peningkatan kreativitas pada anak usia dini.

Saat ini diketahui bahwa kurikulum pada sekolah sekolah bagi anak usia

dini, disadari atau tidak, telah mengadopsi sebagian teori mengenai pembelajaran

berbasis otak antara lain bahwa setiap anak memiliki suatu kekhususan dan

membutuhkan pendekatan pembelajaran yang berbeda-beda.

Program pembelajaran yang memperhatikan prinsip belajar otak

diharapkan dapat mengoptimalkan potensi perkembangan anak terutama dalam

hal kreativitas, namun hingga saat ini bentuk baku program pembelajaran

berbasis otak , khususnya di Indonesia, belum didapatkan. Dibutuhkan suatu

program pembelajaran berbasis otak yang dapat dikembangkan dan dapat

meningkatkan kreativitas anak yang optimal dengan melakukan suatu

pengukuran-pengukuran terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang

dipantau melalui parameter tumbuh-kembang anak.

22

C. PERTANYAAN PENELITIAN

Dari permasalahan yang diuraikan sebelumnya, diajukan suatu pertanyaan

utama yaitu : “ Program pembelajaran bagaimanakah yang dapat meningkatkan

kreativitas pada anak usia dini ? “

Pertanyaan dan masalah utama yang telah diidentifikasikan kemudian

dikembangkan dan selanjutnya dapat dijabarkan dalam beberapa pertanyaan

penelitian yang lebih spesifik, yaitu :

1. Bagaimanakah program pembelajaran yang dilaksanakan saat ini untuk

dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini sesuai potensinya ?

2. Bagaimanakah rancangan atau desain program pembelajaran berbasis otak

yang dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini sesuai potensinya ?

3. Bagaimanakah implementasi program pembelajaran berbasis otak yang

dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini sesuai potensinya ?

4. Bagaimanakah sistem evaluasi program pembelajaran berbasis otak pada

anak usia dini ?

5. Bagaimana hasil pengembangan, faktor pendukung dan penghambat

program pembelajaran berbasis otak pada perkembangan kreativitas anak

usia dini ?

23

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

� Tujuan Umum :

Menghasilkan suatu program pembelajaran yang dapat meningkatkan

kreativitas pada anak usia dini.

� Tujuan Khusus :

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya,

maka tujuan penelitian ini adalah :

- Mengkaji program pembelajaran yang sudah dilaksanakan untuk

meningkatkan kreativitas anak usia dini.

- Menghasilkan suatu rancangan atau desain program pembelajaran

berbasis otak yang dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini.

- Menemukan implementasi program pembelajaran berbasis otak yang

dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini.

- Menemukan evaluasi program pembelajaran berbasis otak pada anak

usia dini.

- Menemukan faktor pendukung dan penghambat pogram pembelajaran

berbasis otak pada kreativitas anak usia dini.

- Menemukan keunggulan dan kelemahan program pembelajaran berbasis

otak.

24

2. Manfaat Penelitian

� Manfaat Teoritis

Dari penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu prinsip prinsip bagi

pengembangan pembelajaran berbasis otak yang dapat memperkaya

khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kurikulum pendidikan

anak usia dini yang berkaitan erat dengan pengembangan ilmu saraf.

���� Manfaat Praktis

- Menghasilkan suatu program pembelajaran berbasis otak yang dapat

meningkatkan kreativitas anak usia dini.

- Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat umum

khususnya para orang-tua mengenai pendidikan pada anak usia dini.

- Menjadi masukan bagi orangtua untuk dapat ikut menciptakan suasana

dan lingkungan yang menyokong kreativitas anak.

- Menjadi masukan bagi guru untuk menyusun dan melaksanakan

pembelajaran bagi anak usia dini yang dapat meningkatkan kreativitas

anak melalui pendidikan berbasis otak.

- Menjadi masukan bagi penyelenggara pendidikan dan pemangku

kepentingan pendidikan anak usia dini untuk dapat meningkatkan

kreativitas.

25

E. DEFINISI OPERASIONAL

� Pembelajaran berbasis otak adalah pembelajaran dengan pendekatan

pembelajaran sesuai fungsi kerja otak dengan mengutamakan stimulasi

multisensorik, stimulasi hemisfer otak secara bilateral, suasana (emosi)

dan lingkungan pembelajaran.

� Anak Usia Dini adalah anak anak dengan usia antara 3 – 6 tahun. Pada

penelitian ini subyek penelitian adalah anak kelas TK A (usia 4-5 tahun)

yang terdapat pada taman kanak-kanak di kota Bandung.

� Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru,

sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat

diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk

melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada

sebelumnya.

� Indikator kreativitas adalah 10 sikap yang ditunjukkan oleh anak

berdasarkan ciri kreativitas menurut Renzuli (1971) yaitu rasa ingin tahu

yang luas dan mendalam, sering mengajukan pertanyaan yang baik,

banyak memberikan gagasan atau usul, bebas menyatakan pendapat,

memiliki rasa keindahan yang dalam, menonjol dalam salah satu bidang

seni, mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang, memiliki rasa

humor, memiliki daya imajinasi, dan orisinal dalam ungkapan, gagasan,

dan pemecahan masalah.

� Tes pengukuran untuk menilai kreativitas adalah adaptasi Skala Penilaian

Anak Berbakat dari Renzuli (1971), khusus subskala ciri kreativitas yang

26

disusun oleh Munandar ( Munandar, 2004:71).. Tes pengamatan dilakukan

oleh satu orang pengamat tanpa keterlibatan pengamat pada kegiatan

pembelajaran berbasis otak (Blind observer)

F. METODE PENELITIAN

Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metode Penelitian dan

Pengembangan (Research & Development) menurut Borg & Gall. Pengumpulan

data dilakukan dengan menggunakan angket, kuesioner, wawancara, observasi

non-partisipatif, dan alat tes kreativitas menurut Renzulli.

G. LOKASI DAN SUBYEK PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Taman Kanak Kanak di Kota Bandung.

2. Subyek Penelitian

Subyek Penelitian adalah murid Taman Kanak Kanak (TK A)..