BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembahasan ...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembahasan tentang Soekarno senantiasa menarik dan masih relevan sepanjang zaman, apalagi bila dikaitkan dengan sejarah Indonesia. Seperti diketahui telah cukup banyak orang berbicara dan menulis tentang Soekarno, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk artikel lepas. Banyaknya minat orang untuk menulis Soekarno karena ia merupakan tokoh dominan panggung sejarah awal Indonesia, lebih-lebih pada 10 tahun terakhir sebelum kekuasaannya berakhir. Akan tetapi jauh sebelumnya Soekarno sudah dikenal sebagai tokoh pemikir dan aktivis dalam pergerakan di Indonesia. Untuk dapat memahami pemikiran Soekarno secara utuh dan benar, perlu dilihat dari sejarah panjang perjuangan Soekarno bagi bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan gagasan-gagasan Soekarno lahir tidak begitu saja, ataupun lahir dari wacana akademik, melainkan lahir dari pergumulan dan pengamalan panjangnya, baik dari proses dinamika perjuangan maupun pertemuannya dengan tokoh-tokoh penting di masa itu. Sebagai seorang pemikir, Soekarno merupakan orang yang sangat konsisten. Gagasan-gagasan yang dikemukakan Soekarno memiliki pengaruh luas dibanding rekan-rekan seperjuangannya. Dalam hal itu ada beberapa tokoh yang dapat bersaing secara gagasan dengan Soekarno, seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembahasan ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pembahasan tentang Soekarno senantiasa menarik dan masih relevan

sepanjang zaman, apalagi bila dikaitkan dengan sejarah Indonesia. Seperti

diketahui telah cukup banyak orang berbicara dan menulis tentang Soekarno, baik

dalam bentuk buku maupun dalam bentuk artikel lepas. Banyaknya minat orang

untuk menulis Soekarno karena ia merupakan tokoh dominan panggung sejarah

awal Indonesia, lebih-lebih pada 10 tahun terakhir sebelum kekuasaannya

berakhir. Akan tetapi jauh sebelumnya Soekarno sudah dikenal sebagai tokoh

pemikir dan aktivis dalam pergerakan di Indonesia. Untuk dapat memahami

pemikiran Soekarno secara utuh dan benar, perlu dilihat dari sejarah panjang

perjuangan Soekarno bagi bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan gagasan-gagasan

Soekarno lahir tidak begitu saja, ataupun lahir dari wacana akademik, melainkan

lahir dari pergumulan dan pengamalan panjangnya, baik dari proses dinamika

perjuangan maupun pertemuannya dengan tokoh-tokoh penting di masa itu.

Sebagai seorang pemikir, Soekarno merupakan orang yang sangat

konsisten. Gagasan-gagasan yang dikemukakan Soekarno memiliki pengaruh luas

dibanding rekan-rekan seperjuangannya. Dalam hal itu ada beberapa tokoh yang

dapat bersaing secara gagasan dengan Soekarno, seperti Mohammad Hatta, Sutan

Sjahrir, dan Tan Malaka.

2

Sebagai seorang pejuang, Soekarno dikenal tegas dalam bersikap dan

pemersatu bangsa. Sejak muda Soekarno aktif berjuang melawan Belanda, akibat

dari itu, berulang kali Soekarno dibuang ke pengasingan. Puncaknya ketika pada

Desember 1929, Soekarno ditangkap Belanda, itulah penangkapan pertama yang

dialami Soekarno. Kemudian beliau disidangkan pada tanggal 18 Januari 1930 di

gedung Landraad Bandung. Pada saat itulah Soekarno membacakan dengan

semangat yang berapi-api pledoi yang sangat terkenal dengan judul “Indonesia

Menggugat” yang didalamnya Soekarno menuntut kemerdekaan.

Pledoi itu menjadi tonggak bagi perjuangan Soekarno, dan juga

perjuangan kaum nasionalis Indonesia. Gaung gugatan Soekarno lewat pledoi

tersebut menyebar ke seluruh Indonesia, Belanda, dan Eropa Barat. Soekarno

mulai dikenal di dunia internasional sebagai tokoh revolusioner, khususnya di

Asia. Pledoi “Indonesia Menggugat” menjadi salah satu inspirasi tokoh negara-

negara Asia untuk ikut menggelorakan semangat kemerdekaan di negara mereka.

Pemikiran besar Soekarno ternyata tidak berhenti saat itu, pledoi

“Indonesia Menggugat” yang demikian menggemparkan merupakan awal dari

gagasan-gagasan lain. Sampai akhir hayatnya, Soekarno tak henti-hentinya terus

menyampaikan pemikiran-pemikiran cemerlang yang berguna bagi Indonesia dan

bangsa-bangsa lain di dunia. Soekarno memang dikenal piawai memunculkan

gagasan dengan istilah-istilah baru, sebut saja Pancasila, Manipol (Manifestasi

Politik), USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,

Ekonomi Terpimpin), Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), Berdikari

3

(Berdiri di atas kaki sendiri), dan Trisakti. Hingga hari ini gagasan-gagasan

Soekarno masih menggaung dan menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia.

Salah satu yang paling mengemuka akhir-akhir ini adalah gagasan

Soekarno tentang Trisakti. Dalam catatan sejarah, istilah Trisakti kali pertama

dimunculkan Soekarno ketika pidato dengan judul “Tahun

Vivere Pericoloso” disingkat TAVIP, tanggal 17 Agustus 1964. Soekarno dalam

pidatonya menyampaikan bahwa telah memformulasikan 6 hukum revolusi dan

memformulasikan Trisakti sebagai jalan revolusi bangsa Indonesia. Trisakti yang

dimaksud dalam hal ini adalah berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi,

dan berkepribadian dalam kebudayaan. Mencermati hal ini bisa diketahui bahwa

tiga hal tersebut merupakan upaya Soekarno untuk memberikan platform strategi

pembangunan bagi bangsa Indonesia.

Sejarah menunjukkan bahwa Trisakti lahir dilatarbelakangi oleh semakin

gencarnya gelombang sistem kapitalisme liberal masuk ke dalam sistem

pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan. Seperti diketahui bahwa perjuangan

melelahkan yang dilakukan bangsa Indonesia pada akhirnya membuahkan

kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945. Segera setelah Indonesia merdeka,

Indonesia mencoba sistem demokrasi parlementer yang di kemudian hari memicu

perpecahan di dalam perpolitikan Indonesia. Bagi Soekarno, demokrasi

parlementer dianggap terlalu “Liberal”, karena terlalu kompromi dengan aturan

main yang dilakukan bangsa asing melalui perjanjian-perjanjian internasional.

Soekarno kemudian menjelang dekade 1950-an mengganti sistem politik dengan

4

nama demokrasi terpimpin, yang ternyata bukan saja dianggap tidak demokratis,

melainkan dinilai cenderung mengarah kepada sistem otoriter.

Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi

Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan negara, sehingga

dianggap menjauhkan Indonesia ke tujuan masyarakat yang adil dan makmur.

Menurut Soekarno, penerapan sistem demokrasi barat menyebabkan tidak

terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia.

Partai politik yang terlalu banyak dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih

parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang

menyebabkan tidak adanya satu kesatuan politik dalam membangun Indonesia,

sehingga program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan

secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat dan gerakan separatis

terjadi di mana-mana. Pada akhirnya partai-partai yang ada pada waktu itu

berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Di

samping itu, bagi Soekarno demokrasi liberal dinilai memiliki muatan nekolim

(neo-kolonialisme dan imperialisme) yang bisa menyebabkan terkikisnya rasa

nasionalisme dan jiwa revolusi. Untuk itulah, sebagai upaya menjaga ketahanan

negara, Soekarno kemudian hari merumuskan gagasan Trisakti yang merupakan

antitesa untuk membendung konsep demokrasi liberalisme.

Bila dipandang sebagai suatu gagasan, maka perlu adanya identifikasi

dan verifikasi atas pembenaran-pembenaran pengetahuan di dalam gagasan

Trisakti. Trisakti sendiri memiliki pengertian tiga prinsip kemandirian berbangsa

dan bernegara. Oleh Soekarno dalam pidato TAVIP (Tahun Vivere Piscolo),

5

Trisakti dijadikan sebagai garis besar haluan negara dan harus dipenuhi oleh

bangsa Indonesia bila ingin menjadi masyarakat adil dan makmur. Sebagai garis

besar haluan negara, tentunya di dalam Trisakti terdapat pengetahuan atau

konsepsi tentang bagaimana wujud dan rumusan tiga prinsip tersebut.

Prinsip pertama Trisakti adalah berdaulat dalam politik. Berdaulat politik

sendiri mempunyai pengertian pengakuan utuh atas kekuasaan tertinggi.

Kekuasaan ini memiliki kaitan dengan pengakuan kemerdekaan. Secara teoritis,

Kemerdekaan pada dasarnya memiliki dua macam definisi yaitu de jure dan de

facto. Kemerdekaan de jure, yaitu adanya pengakuan dunia internasional secara

hukum atas sebuah wilayah Indonesia. Sementara itu, kemerdekaan de facto, yaitu

Indonesia diakui mempunyai batas-batas wilayah yang terbentang dari sabang

sampai merauke sebagai tempat eksistensinya. Dengan pengakuan secara de facto

dan de jure maka negara berhak untuk mengatur dirinya sendiri.

Kemudian prinsip kedua adalah berdikari dalam bidang ekonomi.

Sebagai prinsip kedua Trisakti tidak dapat dipisahkan dengan konsep pertama

“Berdaulat di bidang Politik”. Artinya dengan adanya pengakuan atas kedaulatan

wilayah maka bangsa Indonesia memiliki hak pula untuk mengelola sumber daya

ekonomi yang ada tanpa ketergantungan pada bangsa lain. Soekarno pernah

mengatakan “untuk membangun satu negara yang demokratis, maka satu ekonomi

yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita

mencapai kemerdekaan” (Soekarno, dalam Iman (ed), 2001: 288). Berdikari

ekonomi sendiri secara teoritis dimaknai ekonomi yang dihasilkan kekuatan

sendiri, baik dari sumber bahan, tenaga, keahlian, hingga sampai pada persoalan

6

produksi, distribusi, dan pasar. Oleh karena itu berdikari ekonomi memiliki dasar

kerakyatan yakni percaya dengan kekuatan bangsa sendiri untuk mengelola

ekonomi.

Prinsip yang terakhir adalah kepribadian dalam bidang kebudayaan.

Kepribadian disini dimaknai sebagai suatu identitas berkenaan dengan individu

maupun kelompok, suku atau bangsa yang memiliki khas kebudayaan. Oleh

karena itu, konteks dari gagasan Trisakti disini adalah kepribadian bangsa yang

lahir dari akar kebudayaan sendiri, bukan dari kebudayaan bangsa lain.

Kepribadian tersebut kemudian mewujud menjadi mentalitas, pengetahuan-

pengetahuan, bahasa, tradisi, dan pola hidup yang membedakan identitas bangsa

Indonesia dengan lainnya. Prinsip ketiga ini dilakukan Soekarno sebagai upaya

membendung kebudayaan asing seperti liberalisme dan kapitalisme yang bisa

menciptakan kolonial baru, sekaligus digunakan Soekarno untuk mengubah

susunan masyarakat feodal yang telah bersemayam 350 tahun di Indonesia.

Dengan kata lain, Soekarno berusaha membentuk sebuah bangsa yang lahir dari

realitas akar kebudayaan, tidak masyarakat copy paste dari barat. Dalam pidato

TAVIP (Tahun Vivere Periscolo) Soekarno mengatakan, “janganlah kita mencari

kepeloporan mental pada orang lain, tetapi carilah kepeloporan mental itu pada

diri kita sendiri. Carilah sendiri konsepsi-konsepsimu sendiri” (Soekarno, 1965:

594).

Dari ketiga prinsip Trisakti itu, pada dasarnya dijiwai semangat yang

sama yakni kemerdekaan, yang kemudian semangat kemerdekaan tersebut

diwujudkan dalam bentuk kemandirian sikap. Dalam hal ini maksudnya percaya

7

pada kekuatan sendiri untuk mengatur negara dan bangsanya. Dengan demikian,

melalui gagasan Trisakti, Soekarno benar-benar ingin menunjukkan bentuk sikap

perlawanan terhadap kaum nekolim. Soekarno memang secara tegas menolak

jebakan kaum nekolim dengan mengatakan “go to hell with your aid”. Sikap yang

ditunjukkan Sekarno bukan serta merta tanpa alasan. Seperti yang disampaikan

Sritua Arief (2001) yang berpendapat bahwa Soekarno sangat menyadari

kebangkitan bangsa Indonesia sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa

yang telah hidup di alam feodalisme ratusan tahun lamanya, harus mengandung

dua sisi. Sisi yang pertama ialah revolusi nasional untuk mengenyahkan

kolonialisme dan imperialisme asing, sisi kedua adalah revolusi sosial untuk

mengoreksi struktur sosial-ekonomi yang ada di dalam masyarakat (Soekarno,

dalam Iman (ed), 2001: xxi). Soekarno dengan jeli melihat kepincangan yang

nyata dalam struktur sosial di mana massa rakyat hidup di dalam suatu stelsel

yang eksploitatif. Soekarno pernah berpendapat bahwa kemerdekaan bukan untuk

kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan merupakan syarat untuk

melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan

ekonomi di dalam masyarakat.

Satu hal lagi yang menarik terkait gagasan Trisakti, yaitu saat ini gagasan

Trisakti semakin ramai diperbincangkan, didiskusikan, hingga diseminarkan oleh

banyak kalangan akademisi, negarawan, ekonom, budayawan, dan politisi.

Gagasan ini dianggap masih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia hari ini,

sehingga seakan-akan menjadi jawaban ilmiah dan strategis dalam memecahkan

problematika bangsa Indonesia. Bagi kalangan pengagum Soekarno, ada rasa

8

kekecewaan karena para pengganti setelah Soekarno telah menghentikan semuah

jerih payah yang diperjuangkan dan dibangun oleh Soekarno. Para pengagum

Soekarno menganggap mereka telah meninggalkan ajaran Trisakti dan

menggantinya dengan liberalisme, sehingga bagi mereka, kekhawatiran Soekarno

akan nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme) pada masa lalu menjadi benar

adanya pada hari ini.

Soekarno sendiri bisa disebut juga tokoh strukturalis awal dalam jajaran

aliran strukturalis dunia, yang menghendaki restrukturisasi tata kebudayaan dan

hubungan struktur politik pada tataran nasional dan dunia. Soekarno juga

menghendaki restrukturisasi terhadap kekuasaan ekonomi dan penguasaan aset

ekonomi yang penuh ketimpangan struktural, antara si kaya dan si miskin, antara

si tuan dan si hamba. Kiranya alasan tersebutlah mengapa sosok Soekarno masih

pantas dipelajari dan gagasan Trisakti masih sesuai untuk diteliti, lebih-lebih

diterapkan guna menghadapi arus globalisasi yang masuk ke Indonesia.

Karena besarnya pengaruh Soekarno atas berdirinya negara Indonesia,

maka besar pula minat orang untuk menggali kehidupan, sepak terjang, dan

pemikirannya. Tak sedikit pula penelitian-penelitian yang menjadikan Soekarno

sebagai objek material. namun rata-rata berkutat pada tataran dimensi makna

gagasan dan kisah kehidupannya. Oleh karenanya masih sedikit, penelitian-

penelitian yang mengkaji Soekarno melalui perspektif epistemologi. Penelitian ini

mencoba melacak dan mengamati isi gagasan Soekarno dalam Trisakti serta

merumuskan struktur pengetahuan Trisakti dengan harapan melengkapi

9

penelitian-penelitian Soekarno yang sudah ada agar lebih utuh dalam

memahaminya.

B. Rumusan Masalah

a. Apa isi gagasan Soekarno dalam Trisakti menurut Kenneth Gallagher?

b. Apa struktur pengetahuan gagasan Trisakti menurut Kenneth Gallagher?

c. Apa relevansi gagasan Trisakti dengan kehidupan bernegara di Indonesia di

era globalisasi?

C. Keaslian Penelitian

Setelah melakukan penelusuran terhadap kepustakaan, penulis

menemukan beberapa hasil penelitian yang memiliki kesamaan dan perbedaan

dengan penelitian yang penulis lakukan, antara lain:

Bernhard Dahm (1969), dalam bukunya dengan judul Sukarno And The

Struggle for Indonesian Independence, menganalisis pemikiran Sukarno yang

dipengaruhi kebudayaan Jawa. Dahm berusaha menjelaskan bagaimana Sukarno

yang merupakan orang Jawa, secara pemikirannya pun dipengaruhi pula oleh

budaya Jawa. Menurut Dahm, Sukarno lebih banyak pemikirannya dipengaruhi

oleh kebudayaan Jawa daripada pemikiran Barat, hingga Dahm menyimpulkan

untuk mengenal Sukarno cukup mempelajari tokoh wayang Bima, karena bagi

Sukarno tokoh Bima merupakan tokoh yang dikaguminya.

Dadang Prabowo (1984), Judul skripsi Pembahasan Pemikiran Soekarno

Tentang Kemerdekaan, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

10

Dalam karya ilmiah ini lebih menekankan konsep kemerdekaan dalam pandangan

Soekarno.

Nazaruddin Sjamsuddin (1988), buku yang berjudul Soekarno; pemikiran

politik dan kenyataan praktek, membahas pemikiran politik Soekarno, dari

Nasionalisme, Internasional, Demokrasi, Ekonomi, dan Marhaenisme.

Sri Wahyuni (1988), Judul skripsi Konsep Nasionalisme Menurut IR.

Soekarno, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Di dalam karya

ilmiah tersebut membahas bagaimana nasionalisme menurut Soekarno.

Ellen Christian Nugroho (2002), dalam tesisnya yang berjudul

Sukarnoisme Dalam Tinjauan Filsafat Politik, memaparkan sistematis mengenai

asumsi dasar dari gagasan-gagasan sosial politik Soekarno, sehingga Soekarno

disini dilihat sebagai pelaku politik, bukan seorang pemikir.

Nurani Soyomukti (2008), dalam bukunya berjudul Bung Karno dan

Nasakom, lebih memfokuskan pada pemikiran politik Soekarno, yakni Nasakom.

Dengan cara menggali makna dan mengungkap alasan Soekarno menjadikan tiga

ideologi yang berbeda menjadi satu kesatuan.

Berdasarkan penelusuran peneliti, belum ada penelitian Pemikiran

Soekarno Tentang Trisakti; Perspektif Epistemologi Kenneth Gallagher. karena

itu penelitian ini dapat dikatakan baru pertama kali dilakukan serta dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya.

11

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah mengurai dan

menjelaskan gagasan Soekarno tentang Trisakti, menganalisis struktur gagasan

Trisakti dan menganalisis relevansi gagasan Trisakti dengan kehidupan bernegara

Indonesia saat ini.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain:

Bagi kajian filsafat, penelitian ini memperkaya kajian ilmu filsafat dalam

bidang epistemologi dan menjadi referensi untuk mengembangkan penelitian yang

terkait dengan tokoh Soekarno dengan meneliti aspek-aspek pemikiran lainnya. Di

samping itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai upaya menemukan pandangan

atau sikap bernegara bagi bangsa Indonesia.

F. Tinjauan Pustaka

Pemikiran Soekarno mengenai Trisakti, diterangkan oleh Dadang

Prabowo (1984) yang berjudul Pembahasan Pemikiran Soekarno Tentang

Kemerdekaan. Pada dasarnya Trisakti adalah kemerdekaan dalam pengertian

ontologi. Kemerdekaan adalah suatu keadaan atau suasana yang didalam orang

bebas, sedangkan kemandirian ialah hasil dari penjabaran kemerdekaan. Di

dalamnya diterangkan mengutip pendapat Louis O. Kattsoff, kebebasan

merupakan suatu keadaan bahwa orang dapat mengambil sikap atau melakukan

perbuatan yang didasarkan pada pertimbangan yang bersifat rasional, atau bisa

12

dikatakan orang dapat melakukan pilihan diantara sejumlah kemungkinan tanpa

ada paksaan (Dadang, 1984: 80). Dalam penjelasan Soekarno tercantum dalam

pidato kenegaraan 17 Agustus 1964 yang berjudul “Tahun Vivere Periscolo”,

dikatakan Trisakti oleh Soekarno dijadikan sebagai usaha-usaha untuk

menghilangkan segala bentuk penjajahan di segala bidang kehidupan manusia, di

bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Itu semua merupakan upaya

dalam rangka membangun Indonesia merdeka (Dadang, 1984: 79).

Konsistensi Soekarno dalam upaya menghilangkan penjajahan bukan

serta merta tanpa alasan. Soekarno memahami bahwa perjuangan harus terus

dilakukan meski bangsa Indonesia telah merdeka dari penjaahan fisik. Mengenai

sikap Soekarno terhadap penjajahan, Onghokham dalam bukunya berjudul

Manusia Dalam Kemelut Sejarah, menjelaskan bahwa Soekarno mengutamakan

nasionalisme demi kesatuan bangsa untuk melawan paham-paham elitisme,

imperialisme dan kolonialisme. Karena ketiga hal ini merupakan penyebab

daripada kesengsaraan masyarakat Indonesia. Gerak langkah Soekarno selalu

dilandasi oleh sikap anti terhadap ketiga paham tersebut (Onghokham, 1978: 23).

Perjuangan yang dilakukan oleh Soekarno sebagai bentuk mewujudkan

cita-cita revolusi bangsa Indonesia menuju sosialisme. Cita-cita soekarno

dijelaskan oleh Ellen Christian Nugroho dalam tesisnya yang berjudul

Soekarnoisme dalam tinjauan filsafat politik, yang menyebutkan bahwa cita-cita

revolusi adalah sosialisme. Sosialisme berisi ideal tentang masyarakat yang

berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial. Masyarakat Indonesia diidam-

idamkan yang memiliki tiga ciri, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di

13

bidang ekonomi, berkepribadian di bidang budaya. Tiga ciri ini harus diupayakan

oleh bangsa Indonesia karena sosialisme yang dicita-citakan bukan hanya berdiri

di atas dasar obyektif, yakni keharusan sosial-historis, melainkan juga di atas

kemauan subjektif (Ellen, 2002: 89).

Ignas Kleden dalam bukunya yang berjudul Menulis Politik: Indonesia

sebagai Utopia, menjelaskan bahwa Soekarno memberi fokus utama kebangsaan

dan bergulat sepanjang hayatnya dengan proyek nation building, sebagai sebuah

kerja raksasa yang telah diselesaikan dengan baik. Kleden lebih lanjut

menjelaskan bahwa bagi Soekarno kemerdekaan atau kedaulatan politik

merupakan syarat mutlak menuju masyarakat adil dan makmur, implikasinya

bahwa pembangunan ekonomi pun hanya dimungkinkan oleh kemerdekaan politik

(Kleden, 2001: 71). Meskipun Soekarno nasionalisme sejati, tetapi jalan

kebangsaannya lebih merupakan jalan menuju sosialime dan demokrasi (Kleden,

2001: 240). Namun Kleden juga mengkritik tentang pemikirannya Soekarno

tentang sosialisme. Bagi Kleden pemikiran sosialisme Soekarno tidak begitu jelas.

Marhaenisme sebagai versi Soekarno untuk sosialisme, sulit diterima secara

sosiologis, karena seorang marhaen memiliki alat-alat produksi secara pribadi,

maka dalam perspektif sosiologis, seorang marhaen sulit dinamakan sosialis, dan

lebih tepat dikelompokkan ke dalam borjuasi kecil (Kleden, 2001: 238).

Umar Hasibuan dalam bukunya yang berjudul Revolusi Politik Kaum

Muda, menjelaskan bahwa Soekarno berusaha membangun kedaulatan politik.

Dijelaskan bahwa kedaulatan memiliki pengertian suatu hak eksklusif untuk

menguasai, mengelola suatu wilayah pemerintahan atau masyarakat. Dalam ranah

14

politik kedaulatan menjadi sangat dekat dengan harga diri. Kedaulatan hal ini

sering disamakan dengan keutuhan bangsa. Berdaulat berarti kita dapat

mengontrol semua wilayah territorial dari campur tangan asing dan dari gerakan

separatisme di dalam negeri. Kedaulatan menjadi alat ampuh untuk mendorong

nasionalisme (Hasibuan, 2009: 297).

Floroberta Aning dalam pengantar buku berjudul Kumpulan Pernyataan

Bung Karno Tentang gerakan 30 September, menjelasan butir Trisakti yang kedua

yakni berdikari dalam ekonomi. Dikatakannya berdikari adalah istilah yang

dicetuskan Soekarno yang merupakan akronim dari berdiri di atas kaki sendiri.

Berdikari sama artinya dengan kemandirian atau tidak memiliki ketergantungan

dengan yang lain. Berdikari adalah prinsip di bidang ekonomi. Seperti yang

disampaikan Soekarno dalam sidang kabinet Dwikora 6 Oktober 1965, “terutama

prinsip berdikari di dalam ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian

bagaimanpun sulitnya saya minta jangan dilepaskan jiwa “self-reliance” ini, jiwa

percaya pada kekuatan sendiri, jiwa self-help, jiwa berdikari” (Aning, 2006: 48).

Ditegaskan pula secara khusus oleh Soekarno dalam buku kumpulan

pidato Soekarno berjudul “Bung Karno dan ekonomi Berdikari” editor Iman Toto

K. Rahardjo. Soekarno menerangkan bahwa, “berdikari dalam ekonomi berarti

kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan kita

dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya (Rahardjo edit, 2001: xiii).

Di dalam Trisakti pula dijelaskan prinsip kepribadian dalam

berkebudayaan. Prinsip ini merupakan wujud penolakan Soekarno terhadap

kebudayaan warisan kolonial. Di pidato Soekarno, 17 agustus tahun 1966 di ambil

15

dari buku “Revolusi belum Selesai” editor Budi Setiyono dan Bonnie Triyana,

Soekarno berkata bahwa “Indonesia yang kita cita-citakan tidak dapat dibangun

atas warisan atau sisa-sisa jiwa kolonialisme. Sisa-sisa kolonialisme ini harus kita

bongkar sama sekali” (Soekarno, Budi Setiyono sunt, 2014: 583). Soekarno

berusaha membangun bangsa dari kemerosotan zaman kolonial untuk dijadikan

bangsa yang berjiwa, yang dapat dan mampu menghadapi suatu tantangan.

Soekarno memandang bahwa membangun ekonomi, membangun teknik,

membangun pertahanan itu perlu tapi utamanya membangun jiwa bangsa.

Keahlian adalah perlu, tapi keahlian saja tanpa dilandasi pada jiwa yang benar,

tidak akan mungkin tercapai tujuan. Soekarno dengan jelas mengatakan “Saya

tidak mau build a nation, Indonesian nation yang cuma memikirkan isi perut

saja...saya tidak mau meninggalkan isi ideel, isi spiritueel, isi yang mengenai

kesenian dan kebudayaan” (Soekarno, dalam Budi Setiyono (ed), 2014: 536).

Untuk memahami pengertian kepribadian budaya, menarik bila

mencermati pengertian tersebut menurut Ayatrohaedi dalam bukunya yang

berjudul “Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius)”. Ayatrohaedi menjelaskan

bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian suatu masyarakat. Artinya

identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan

hidup serta sistem nilainya. Sebagai ekspresi diri serta perwujudan kepribadian

masyarakat, maka masing-masing kepribadian budaya bangsa atau local genius

yang menjadi ciri dan inti kehidupan budaya masyarakat.

Kedudukan kepribadian budaya bangsa ini sentral, karena merupakan

kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan

16

yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilangnya atau

musnahnya kepribadian budaya bangsa berarti pula memudarnya kepribadian

suatu masyarakat, sedangkan kuatnya kepribadian budaya bangsa untuk bertahan

dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat itu. Oleh karena itu

penting sekali adanya usaha pemupukan serta pengembangan kepribadian budaya

bangsa tersebut yang berfungsi dalam seluruh kehidupan masyarakat baik dalam

gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi maupun dalam

orientasi masyarakat (Ayatrohaedi, 1986: 33).

G. Landasan Teori

Epistemologi dalam hal ini menjadi objek formal untuk mendapatkan

gambaran utuh dan integral tentang hakikat dan struktur pengetahuan objek

material yang diteliti. Landasan teori ini berangkat dari pengertian epistemologi

sebagaimana dimaksud dalam definisi epistemologi berikut;

“Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang

mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,

pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas

pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki” (Gallagher, dalam

Hadi, 2001: 5).

Berdasarkan definisi dan persoalan pokok dalam epistemologi tersebut,

maka dapat dikatakan bahwa epistemologi mencoba menjelaskan tentang

bagaimana hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian dan dasar

pengetahuan, serta konsekuensi logis atas pernyataan tentang pengetahuan yang

dimiliki subjek. Epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan

pengetahuan, sebab ia merupakan salah satu tempat berpijak pengetahuan.

17

Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh.

Kekuatan bangunan rumah bisa diandalkan berdasarkan kekuatan fundamennya.

“Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-

masalah pokok epistemologi, karena itu epistemologi terkait dengan pekerjaan

pikiran manusia, yaitu berusaha mengungkap jalan pikiran manusia. Dari alasan

tersebut, epistemologi menjadi cabang dari filsafat, walaupun objeknya tidak

merupakan ilmu yang empirik, karena epistemologi menjadi ilmu dan filsafat

sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk

mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini

ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.

Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan

membuktikan kebenaran. Usaha Kajian epistemologi sangat perlu karena

pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup

manusia. Strategi berkenaan dengan bagaimana mengelola kekuasaan atau daya

kekuatan yang ada. Sehingga tujuan dapat tercapai. Pengetahuan pada dasarnya

adalah suatu kekuasaan atau daya. Sudah sejak Francis Bacon (1561-1626) orang

disadarkan akan kenyataan bahwa knowledge is power. Pengetahuan mempunyai

daya kekuatan untuk mengubah keadaan. Seperti yang dikatakan Pranarka yang

dikutip oleh Sudarminta: “Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah

dan akan terus membentuk kebudayaan, menggerakkan dan mengubah dunia,

sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahami apa itu pengetahuan, apa

sifat dan hakikatnya, apa daya dan keterbatasannnya, apa kemungkinan dan

18

permasalahannya”. Pertanyaan-pertanyaan asasi tentang pengetahuan seperti itu

dicoba untuk dijawab oleh epistemologi (Sudarminta, 2006: 26).

Adapun persoalan yang muncul dalam epistemologi, antara lain meliputi

beberapa persoalan pokok berikut;

a) Common sense (anggapan umum/akal sehat)

b) Aspek eksistensial

c) Analogi pengetahuan

d) Metode di dalam epistemologi (Gallagher, dalam Hardono Hadi,

2001: 13-27)

Berkaitan dengan persoalan pokok dalam epistemologi, salah satu

persoalan penting berkaitan dengan tema gagasan Trisakti yaitu persoalan yang

berkaitan dengan aspek eksistensial. Persoalan aspek eksistensial merupakan

persoalan “apa yang dapat saya ketahui?” yang merupakan sisi lain dari

pertanyaan “apa itu?”. Dari sini dapat bertanya “sejauhmana saya dapat melekat

kepada apa yang nyata”?, sehingga dapat diterangkan bahwa pengetahuan

manusia adalah upaya untuk menyatakan kepada dirinya sendiri keterlekatannya

pada “ada” (Gallagher, dalam Hardono Hadi, 2001: 21).

Selanjutnya ada persoalan common sense, di dalam aspek common sense

yang diamati adalah suatu kepercayaan universal terhadap penalaran pengalaman

yang mengendap di dalam pemahaman sederhana. Lebih jelasnya Gallagher

mencoba mengikuti pendapat Maritain, “common sense beliefs is a mixed one,

comprising on one level such primary insights as the principle of

19

noncontradiction, but reaching down through many more dubious social

convictions to a grab bag of intellectual remnants” (Gallagher, 1982: 7).

Pengetahuan common sense merupakan pengetahuan campuran, yaitu

pengetahuan menurut anggapan atau persepsi, sekaligus mempunyai pokok-pokok

pengetahuan yang dianggap sebagai tujuan akhir dari pikiran pemiliknya.

Kemudian persoalan yang penting lagi adalah analogi pengetahuan yang

merupakan salah satu persoalan yang berkaitan dengan “mengetahui caranya”.

Apa arti “mengetahui”? yang jelas tidak ada cara yang benar-benar netral untuk

menerangkan setiap kenyataan, maka dari itu harus tetap membuka pintu bagi

kemungkinan bahwa cara-cara mengetahui mungkin ada bermacam-macam dan

setiap cara mungkin secara shahih bisa disebut “pengetahuan”. Kenyataan yang

bermacam-macam makna pengetahuan ini pernah dijelaskan oleh para filsuf

Thomisme.

Penjelasan ini didasarkan dari ajaran Thomas mengenai analogi pengada

yang mempersiapkan dasar ontologisme bagi analogi pengetahuan. Di dalam

Thomisme “ada” adalah analogi pengetahuan. Analog menunjuk kepada

kenyataan arti yang tidak seluruhnya sama dari kata sama yang diterapkan pada

benda-benda yang berbeda. Kesamaan yang mengikat pengada-pengada dan

memungkinkan semuanya disebut dengan kata yang sama (“ada”) bukanlah

karena mempunyai sifat yang identik atau univok, tetapi karena suatu kemiripan.

Semua benda sama sejauh mereka ada, tetapi mereka berbeda juga berkat

keberadaan mereka, maka bila ada analogi dari ada, kita juga harus menemukan

suatu analogi pengetahuan. Apapun pengetahuan itu, dan bagaimana pun

20

didefinisikan, yang jelas ialah bahwa pengetahuan diarahkan kepada “ada”,

artinya pengetahuan adalah pernyataan diri dari ada (Gallagher, dalam Hardono

Hadi, 2001: 24-25).

Persoalan pokok epistemologi selanjutnya adalah metode di dalam

epistemologi. Anggapan umum untuk melihat pengkajian pengetahuan hanya di

dalam “penafsiran pernyataan” bisa kurang tepat. Kesesuaian antara pikiran dan

kenyataan merupakan dasar bagi konsepsi kebenaran umum saja. Jika apa yang

saya nyatakan ternyata baik, maka pertimbangan saya dikatakan sesuai dengan

kenyataan, maka benar. Sederhananya, pertimbangan yang menyatakan sesuatu

bisa benar atau salah, apabila pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak.

Memang benar bahwa pertimbangan mempunyai peranan yang sangat

menentukan di dalam pemahaman manusia. Tetapi masalah pengetahuan

seharusnya tidak disamakan dengan masalah benar tidaknya pertimbangan. Dari

sini dikatakan bahwa epistemologi bukan hanya berurusan dengan pernyataan

mengenai dasar dari pertimbangan. Nilai kebenaran pertimbangan harus

diputuskan berdasar evidensi (sesuatu yang jelas dari dirinya sendiri), dan

keterlibatan epistemologi yang sebenarnya adalah dengan persoalan evidensi

(Gallagher, dalam Hardono Hadi, 2001: 26).

H. Metode Penelitian

1. Bahan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian literal atau pustaka. Bahan dalam

penelitian ini terdiri atas bahan primer yang diambil dari buku-buku yang secara

21

langsung membahas tentang permasalahan yang akan diteliti. Selain bahan primer,

penelitian ini juga menggunakan bahan sekunder yaitu bahan kepustakaan yang

secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan diteliti, namun masih

relevan untuk dikutip sebagai pembanding.

Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas:

- Bahan Primer

a. Adam, Cindy, 2011, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yogyakarta:

Media Pressindo.

b. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I dan II, Jakarta: Panitia Penerbit.

c. Soemohadiwidjojo, Rhien, 2013, Bung Karno Sang Singa Podium,

Yogyakarta: Second Hope.

d. Naskah-naskah Pidato Soekarno yang berbicara Trisakti, antara lain berjudul

“Manipol USDEK” tahun 1959, “Tahun Vivere Priscolo” tahun 1964, judul

“Tahun Berdikari” tahun 1965, dan judul “Nawaksara” tahun 1966.

e. Kenneth T Gallagher, 1986, The Philosophy of Knowledge, Fordham

University Press.

- Bahan Sekunder

Data-data yang berkaitan dengan perihal Soekarno.

2. Jalan Penelitian

Penelitian ini diadakan dalam tiga tahap jalan penelitian literal:

Tahap pertama meliputi:

22

Pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder sesuai

lingkup penelitian. Pembuatan kategori dengan menyatukan dan mengumpulkan

dalam satu kesatuan tersistemisasi.

Tahap kedua meliputi:

Klasifikasi data selanjutnya dilakukan penjabaran dan penafsiran.

Analisis data sesuai dengan pemahaman peneliti tentang gejala hal yang

berhubungan dengan objek penelitian.

Tahap Ketiga meliputi:

Penyusunan draft hasil penelitian. Penyusunan laporan hasil penelitian

secara sistematis dan mengikuti format atau urutan baku dalam penelitian.

3. Analisis Hasil Penelitian

Untuk memperoleh hasil maksimal yang diharapkan dari penelitian ini

adalah menganalisis data secara ilmiah dalam sebuah penulisan karya ilmiah,

tentu saja di perlukan metode sebagai sarana untuk memperoleh akurasi data yang

dapat di pertanggungjawabkan secara akademis serta menghasilkan karya ilmiah

yang sistematis. Adapun metode analisis yang digunakan adalah

- Hermeneutika

Peneliti menggunakan konsep hermeneutika Wilhelm Dilthey untuk

menangkap kandungan makna esensial. Hermeneutika Dilthey bertitik tolak dari

filsafat hidup yang membutuhkan suatu pemahaman (Das Verstehen) dari

historisitas dan pengalaman manusia (Mustansyir, 2009: 42). Pemahaman tentang

manusia tidak terlepas dari makna historisitas, karena manusia memahami dirinya

23

melalui hidup, maka dibutuhkan interpretasi dalam suatu pemahaman

(Mustansyir, 2009: 45). Beberapa unsur metodis yang terdapat dalam

hermeneutika antara lain:

1) Deskripsi, mengungkapkan dan memaparkan fakta yang berhubungan

dengan objek material.

2) Verstehen, yaitu memahami makna dari fakta yang berhubungan

dengan objek material.

3) Interpretasi, yaitu menafsirkan data yang diperoleh.

4) Holistik, yaitu melihat data secara menyeluruh yang terkait dengan

objek penelitian yang dikaji untuk mendapatkan pemahaman seorang

lengkap dan tepat.

I. Sistematika Penulisan

Bab I merupakan bab pendahuluan. Terdiri atas latar belakang masalah

yang meliputi masalah penelitian, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat

penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,

analisis penelitian sistematika penulisan.

Bab II, berisi tentang epistemologi meliputi pengertian epistemologi,

aspek-aspek dalam epistemologi, dan kebenaran eksistensialis menurut Kennet T.

Gallagher.

Bab III, berisi biografi Soekarno meliputi jejak pemikiran Soekarno,

Riwayat Hidup dan masa perjuangan Soekarno.

24

Bab IV, berisi analisis gagasan Trisakti meliputi isi gagasan Trisakti dan

struktur pengetahuan gagasan Trisakti dan relevansi gagasan Trisakti dengan

kehidupan bernegara Indonesia di era globalisasi.

Bab V, berisi penutup, meliputi kesimpulan dan saran.