BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembahasan ...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembahasan ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pembahasan tentang Soekarno senantiasa menarik dan masih relevan
sepanjang zaman, apalagi bila dikaitkan dengan sejarah Indonesia. Seperti
diketahui telah cukup banyak orang berbicara dan menulis tentang Soekarno, baik
dalam bentuk buku maupun dalam bentuk artikel lepas. Banyaknya minat orang
untuk menulis Soekarno karena ia merupakan tokoh dominan panggung sejarah
awal Indonesia, lebih-lebih pada 10 tahun terakhir sebelum kekuasaannya
berakhir. Akan tetapi jauh sebelumnya Soekarno sudah dikenal sebagai tokoh
pemikir dan aktivis dalam pergerakan di Indonesia. Untuk dapat memahami
pemikiran Soekarno secara utuh dan benar, perlu dilihat dari sejarah panjang
perjuangan Soekarno bagi bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan gagasan-gagasan
Soekarno lahir tidak begitu saja, ataupun lahir dari wacana akademik, melainkan
lahir dari pergumulan dan pengamalan panjangnya, baik dari proses dinamika
perjuangan maupun pertemuannya dengan tokoh-tokoh penting di masa itu.
Sebagai seorang pemikir, Soekarno merupakan orang yang sangat
konsisten. Gagasan-gagasan yang dikemukakan Soekarno memiliki pengaruh luas
dibanding rekan-rekan seperjuangannya. Dalam hal itu ada beberapa tokoh yang
dapat bersaing secara gagasan dengan Soekarno, seperti Mohammad Hatta, Sutan
Sjahrir, dan Tan Malaka.
2
Sebagai seorang pejuang, Soekarno dikenal tegas dalam bersikap dan
pemersatu bangsa. Sejak muda Soekarno aktif berjuang melawan Belanda, akibat
dari itu, berulang kali Soekarno dibuang ke pengasingan. Puncaknya ketika pada
Desember 1929, Soekarno ditangkap Belanda, itulah penangkapan pertama yang
dialami Soekarno. Kemudian beliau disidangkan pada tanggal 18 Januari 1930 di
gedung Landraad Bandung. Pada saat itulah Soekarno membacakan dengan
semangat yang berapi-api pledoi yang sangat terkenal dengan judul “Indonesia
Menggugat” yang didalamnya Soekarno menuntut kemerdekaan.
Pledoi itu menjadi tonggak bagi perjuangan Soekarno, dan juga
perjuangan kaum nasionalis Indonesia. Gaung gugatan Soekarno lewat pledoi
tersebut menyebar ke seluruh Indonesia, Belanda, dan Eropa Barat. Soekarno
mulai dikenal di dunia internasional sebagai tokoh revolusioner, khususnya di
Asia. Pledoi “Indonesia Menggugat” menjadi salah satu inspirasi tokoh negara-
negara Asia untuk ikut menggelorakan semangat kemerdekaan di negara mereka.
Pemikiran besar Soekarno ternyata tidak berhenti saat itu, pledoi
“Indonesia Menggugat” yang demikian menggemparkan merupakan awal dari
gagasan-gagasan lain. Sampai akhir hayatnya, Soekarno tak henti-hentinya terus
menyampaikan pemikiran-pemikiran cemerlang yang berguna bagi Indonesia dan
bangsa-bangsa lain di dunia. Soekarno memang dikenal piawai memunculkan
gagasan dengan istilah-istilah baru, sebut saja Pancasila, Manipol (Manifestasi
Politik), USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin), Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), Berdikari
3
(Berdiri di atas kaki sendiri), dan Trisakti. Hingga hari ini gagasan-gagasan
Soekarno masih menggaung dan menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia.
Salah satu yang paling mengemuka akhir-akhir ini adalah gagasan
Soekarno tentang Trisakti. Dalam catatan sejarah, istilah Trisakti kali pertama
dimunculkan Soekarno ketika pidato dengan judul “Tahun
Vivere Pericoloso” disingkat TAVIP, tanggal 17 Agustus 1964. Soekarno dalam
pidatonya menyampaikan bahwa telah memformulasikan 6 hukum revolusi dan
memformulasikan Trisakti sebagai jalan revolusi bangsa Indonesia. Trisakti yang
dimaksud dalam hal ini adalah berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi,
dan berkepribadian dalam kebudayaan. Mencermati hal ini bisa diketahui bahwa
tiga hal tersebut merupakan upaya Soekarno untuk memberikan platform strategi
pembangunan bagi bangsa Indonesia.
Sejarah menunjukkan bahwa Trisakti lahir dilatarbelakangi oleh semakin
gencarnya gelombang sistem kapitalisme liberal masuk ke dalam sistem
pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan. Seperti diketahui bahwa perjuangan
melelahkan yang dilakukan bangsa Indonesia pada akhirnya membuahkan
kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945. Segera setelah Indonesia merdeka,
Indonesia mencoba sistem demokrasi parlementer yang di kemudian hari memicu
perpecahan di dalam perpolitikan Indonesia. Bagi Soekarno, demokrasi
parlementer dianggap terlalu “Liberal”, karena terlalu kompromi dengan aturan
main yang dilakukan bangsa asing melalui perjanjian-perjanjian internasional.
Soekarno kemudian menjelang dekade 1950-an mengganti sistem politik dengan
4
nama demokrasi terpimpin, yang ternyata bukan saja dianggap tidak demokratis,
melainkan dinilai cenderung mengarah kepada sistem otoriter.
Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi
Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan negara, sehingga
dianggap menjauhkan Indonesia ke tujuan masyarakat yang adil dan makmur.
Menurut Soekarno, penerapan sistem demokrasi barat menyebabkan tidak
terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia.
Partai politik yang terlalu banyak dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih
parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang
menyebabkan tidak adanya satu kesatuan politik dalam membangun Indonesia,
sehingga program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan
secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat dan gerakan separatis
terjadi di mana-mana. Pada akhirnya partai-partai yang ada pada waktu itu
berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Di
samping itu, bagi Soekarno demokrasi liberal dinilai memiliki muatan nekolim
(neo-kolonialisme dan imperialisme) yang bisa menyebabkan terkikisnya rasa
nasionalisme dan jiwa revolusi. Untuk itulah, sebagai upaya menjaga ketahanan
negara, Soekarno kemudian hari merumuskan gagasan Trisakti yang merupakan
antitesa untuk membendung konsep demokrasi liberalisme.
Bila dipandang sebagai suatu gagasan, maka perlu adanya identifikasi
dan verifikasi atas pembenaran-pembenaran pengetahuan di dalam gagasan
Trisakti. Trisakti sendiri memiliki pengertian tiga prinsip kemandirian berbangsa
dan bernegara. Oleh Soekarno dalam pidato TAVIP (Tahun Vivere Piscolo),
5
Trisakti dijadikan sebagai garis besar haluan negara dan harus dipenuhi oleh
bangsa Indonesia bila ingin menjadi masyarakat adil dan makmur. Sebagai garis
besar haluan negara, tentunya di dalam Trisakti terdapat pengetahuan atau
konsepsi tentang bagaimana wujud dan rumusan tiga prinsip tersebut.
Prinsip pertama Trisakti adalah berdaulat dalam politik. Berdaulat politik
sendiri mempunyai pengertian pengakuan utuh atas kekuasaan tertinggi.
Kekuasaan ini memiliki kaitan dengan pengakuan kemerdekaan. Secara teoritis,
Kemerdekaan pada dasarnya memiliki dua macam definisi yaitu de jure dan de
facto. Kemerdekaan de jure, yaitu adanya pengakuan dunia internasional secara
hukum atas sebuah wilayah Indonesia. Sementara itu, kemerdekaan de facto, yaitu
Indonesia diakui mempunyai batas-batas wilayah yang terbentang dari sabang
sampai merauke sebagai tempat eksistensinya. Dengan pengakuan secara de facto
dan de jure maka negara berhak untuk mengatur dirinya sendiri.
Kemudian prinsip kedua adalah berdikari dalam bidang ekonomi.
Sebagai prinsip kedua Trisakti tidak dapat dipisahkan dengan konsep pertama
“Berdaulat di bidang Politik”. Artinya dengan adanya pengakuan atas kedaulatan
wilayah maka bangsa Indonesia memiliki hak pula untuk mengelola sumber daya
ekonomi yang ada tanpa ketergantungan pada bangsa lain. Soekarno pernah
mengatakan “untuk membangun satu negara yang demokratis, maka satu ekonomi
yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita
mencapai kemerdekaan” (Soekarno, dalam Iman (ed), 2001: 288). Berdikari
ekonomi sendiri secara teoritis dimaknai ekonomi yang dihasilkan kekuatan
sendiri, baik dari sumber bahan, tenaga, keahlian, hingga sampai pada persoalan
6
produksi, distribusi, dan pasar. Oleh karena itu berdikari ekonomi memiliki dasar
kerakyatan yakni percaya dengan kekuatan bangsa sendiri untuk mengelola
ekonomi.
Prinsip yang terakhir adalah kepribadian dalam bidang kebudayaan.
Kepribadian disini dimaknai sebagai suatu identitas berkenaan dengan individu
maupun kelompok, suku atau bangsa yang memiliki khas kebudayaan. Oleh
karena itu, konteks dari gagasan Trisakti disini adalah kepribadian bangsa yang
lahir dari akar kebudayaan sendiri, bukan dari kebudayaan bangsa lain.
Kepribadian tersebut kemudian mewujud menjadi mentalitas, pengetahuan-
pengetahuan, bahasa, tradisi, dan pola hidup yang membedakan identitas bangsa
Indonesia dengan lainnya. Prinsip ketiga ini dilakukan Soekarno sebagai upaya
membendung kebudayaan asing seperti liberalisme dan kapitalisme yang bisa
menciptakan kolonial baru, sekaligus digunakan Soekarno untuk mengubah
susunan masyarakat feodal yang telah bersemayam 350 tahun di Indonesia.
Dengan kata lain, Soekarno berusaha membentuk sebuah bangsa yang lahir dari
realitas akar kebudayaan, tidak masyarakat copy paste dari barat. Dalam pidato
TAVIP (Tahun Vivere Periscolo) Soekarno mengatakan, “janganlah kita mencari
kepeloporan mental pada orang lain, tetapi carilah kepeloporan mental itu pada
diri kita sendiri. Carilah sendiri konsepsi-konsepsimu sendiri” (Soekarno, 1965:
594).
Dari ketiga prinsip Trisakti itu, pada dasarnya dijiwai semangat yang
sama yakni kemerdekaan, yang kemudian semangat kemerdekaan tersebut
diwujudkan dalam bentuk kemandirian sikap. Dalam hal ini maksudnya percaya
7
pada kekuatan sendiri untuk mengatur negara dan bangsanya. Dengan demikian,
melalui gagasan Trisakti, Soekarno benar-benar ingin menunjukkan bentuk sikap
perlawanan terhadap kaum nekolim. Soekarno memang secara tegas menolak
jebakan kaum nekolim dengan mengatakan “go to hell with your aid”. Sikap yang
ditunjukkan Sekarno bukan serta merta tanpa alasan. Seperti yang disampaikan
Sritua Arief (2001) yang berpendapat bahwa Soekarno sangat menyadari
kebangkitan bangsa Indonesia sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa
yang telah hidup di alam feodalisme ratusan tahun lamanya, harus mengandung
dua sisi. Sisi yang pertama ialah revolusi nasional untuk mengenyahkan
kolonialisme dan imperialisme asing, sisi kedua adalah revolusi sosial untuk
mengoreksi struktur sosial-ekonomi yang ada di dalam masyarakat (Soekarno,
dalam Iman (ed), 2001: xxi). Soekarno dengan jeli melihat kepincangan yang
nyata dalam struktur sosial di mana massa rakyat hidup di dalam suatu stelsel
yang eksploitatif. Soekarno pernah berpendapat bahwa kemerdekaan bukan untuk
kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan merupakan syarat untuk
melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan
ekonomi di dalam masyarakat.
Satu hal lagi yang menarik terkait gagasan Trisakti, yaitu saat ini gagasan
Trisakti semakin ramai diperbincangkan, didiskusikan, hingga diseminarkan oleh
banyak kalangan akademisi, negarawan, ekonom, budayawan, dan politisi.
Gagasan ini dianggap masih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia hari ini,
sehingga seakan-akan menjadi jawaban ilmiah dan strategis dalam memecahkan
problematika bangsa Indonesia. Bagi kalangan pengagum Soekarno, ada rasa
8
kekecewaan karena para pengganti setelah Soekarno telah menghentikan semuah
jerih payah yang diperjuangkan dan dibangun oleh Soekarno. Para pengagum
Soekarno menganggap mereka telah meninggalkan ajaran Trisakti dan
menggantinya dengan liberalisme, sehingga bagi mereka, kekhawatiran Soekarno
akan nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme) pada masa lalu menjadi benar
adanya pada hari ini.
Soekarno sendiri bisa disebut juga tokoh strukturalis awal dalam jajaran
aliran strukturalis dunia, yang menghendaki restrukturisasi tata kebudayaan dan
hubungan struktur politik pada tataran nasional dan dunia. Soekarno juga
menghendaki restrukturisasi terhadap kekuasaan ekonomi dan penguasaan aset
ekonomi yang penuh ketimpangan struktural, antara si kaya dan si miskin, antara
si tuan dan si hamba. Kiranya alasan tersebutlah mengapa sosok Soekarno masih
pantas dipelajari dan gagasan Trisakti masih sesuai untuk diteliti, lebih-lebih
diterapkan guna menghadapi arus globalisasi yang masuk ke Indonesia.
Karena besarnya pengaruh Soekarno atas berdirinya negara Indonesia,
maka besar pula minat orang untuk menggali kehidupan, sepak terjang, dan
pemikirannya. Tak sedikit pula penelitian-penelitian yang menjadikan Soekarno
sebagai objek material. namun rata-rata berkutat pada tataran dimensi makna
gagasan dan kisah kehidupannya. Oleh karenanya masih sedikit, penelitian-
penelitian yang mengkaji Soekarno melalui perspektif epistemologi. Penelitian ini
mencoba melacak dan mengamati isi gagasan Soekarno dalam Trisakti serta
merumuskan struktur pengetahuan Trisakti dengan harapan melengkapi
9
penelitian-penelitian Soekarno yang sudah ada agar lebih utuh dalam
memahaminya.
B. Rumusan Masalah
a. Apa isi gagasan Soekarno dalam Trisakti menurut Kenneth Gallagher?
b. Apa struktur pengetahuan gagasan Trisakti menurut Kenneth Gallagher?
c. Apa relevansi gagasan Trisakti dengan kehidupan bernegara di Indonesia di
era globalisasi?
C. Keaslian Penelitian
Setelah melakukan penelusuran terhadap kepustakaan, penulis
menemukan beberapa hasil penelitian yang memiliki kesamaan dan perbedaan
dengan penelitian yang penulis lakukan, antara lain:
Bernhard Dahm (1969), dalam bukunya dengan judul Sukarno And The
Struggle for Indonesian Independence, menganalisis pemikiran Sukarno yang
dipengaruhi kebudayaan Jawa. Dahm berusaha menjelaskan bagaimana Sukarno
yang merupakan orang Jawa, secara pemikirannya pun dipengaruhi pula oleh
budaya Jawa. Menurut Dahm, Sukarno lebih banyak pemikirannya dipengaruhi
oleh kebudayaan Jawa daripada pemikiran Barat, hingga Dahm menyimpulkan
untuk mengenal Sukarno cukup mempelajari tokoh wayang Bima, karena bagi
Sukarno tokoh Bima merupakan tokoh yang dikaguminya.
Dadang Prabowo (1984), Judul skripsi Pembahasan Pemikiran Soekarno
Tentang Kemerdekaan, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
10
Dalam karya ilmiah ini lebih menekankan konsep kemerdekaan dalam pandangan
Soekarno.
Nazaruddin Sjamsuddin (1988), buku yang berjudul Soekarno; pemikiran
politik dan kenyataan praktek, membahas pemikiran politik Soekarno, dari
Nasionalisme, Internasional, Demokrasi, Ekonomi, dan Marhaenisme.
Sri Wahyuni (1988), Judul skripsi Konsep Nasionalisme Menurut IR.
Soekarno, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Di dalam karya
ilmiah tersebut membahas bagaimana nasionalisme menurut Soekarno.
Ellen Christian Nugroho (2002), dalam tesisnya yang berjudul
Sukarnoisme Dalam Tinjauan Filsafat Politik, memaparkan sistematis mengenai
asumsi dasar dari gagasan-gagasan sosial politik Soekarno, sehingga Soekarno
disini dilihat sebagai pelaku politik, bukan seorang pemikir.
Nurani Soyomukti (2008), dalam bukunya berjudul Bung Karno dan
Nasakom, lebih memfokuskan pada pemikiran politik Soekarno, yakni Nasakom.
Dengan cara menggali makna dan mengungkap alasan Soekarno menjadikan tiga
ideologi yang berbeda menjadi satu kesatuan.
Berdasarkan penelusuran peneliti, belum ada penelitian Pemikiran
Soekarno Tentang Trisakti; Perspektif Epistemologi Kenneth Gallagher. karena
itu penelitian ini dapat dikatakan baru pertama kali dilakukan serta dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya.
11
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah mengurai dan
menjelaskan gagasan Soekarno tentang Trisakti, menganalisis struktur gagasan
Trisakti dan menganalisis relevansi gagasan Trisakti dengan kehidupan bernegara
Indonesia saat ini.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain:
Bagi kajian filsafat, penelitian ini memperkaya kajian ilmu filsafat dalam
bidang epistemologi dan menjadi referensi untuk mengembangkan penelitian yang
terkait dengan tokoh Soekarno dengan meneliti aspek-aspek pemikiran lainnya. Di
samping itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai upaya menemukan pandangan
atau sikap bernegara bagi bangsa Indonesia.
F. Tinjauan Pustaka
Pemikiran Soekarno mengenai Trisakti, diterangkan oleh Dadang
Prabowo (1984) yang berjudul Pembahasan Pemikiran Soekarno Tentang
Kemerdekaan. Pada dasarnya Trisakti adalah kemerdekaan dalam pengertian
ontologi. Kemerdekaan adalah suatu keadaan atau suasana yang didalam orang
bebas, sedangkan kemandirian ialah hasil dari penjabaran kemerdekaan. Di
dalamnya diterangkan mengutip pendapat Louis O. Kattsoff, kebebasan
merupakan suatu keadaan bahwa orang dapat mengambil sikap atau melakukan
perbuatan yang didasarkan pada pertimbangan yang bersifat rasional, atau bisa
12
dikatakan orang dapat melakukan pilihan diantara sejumlah kemungkinan tanpa
ada paksaan (Dadang, 1984: 80). Dalam penjelasan Soekarno tercantum dalam
pidato kenegaraan 17 Agustus 1964 yang berjudul “Tahun Vivere Periscolo”,
dikatakan Trisakti oleh Soekarno dijadikan sebagai usaha-usaha untuk
menghilangkan segala bentuk penjajahan di segala bidang kehidupan manusia, di
bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Itu semua merupakan upaya
dalam rangka membangun Indonesia merdeka (Dadang, 1984: 79).
Konsistensi Soekarno dalam upaya menghilangkan penjajahan bukan
serta merta tanpa alasan. Soekarno memahami bahwa perjuangan harus terus
dilakukan meski bangsa Indonesia telah merdeka dari penjaahan fisik. Mengenai
sikap Soekarno terhadap penjajahan, Onghokham dalam bukunya berjudul
Manusia Dalam Kemelut Sejarah, menjelaskan bahwa Soekarno mengutamakan
nasionalisme demi kesatuan bangsa untuk melawan paham-paham elitisme,
imperialisme dan kolonialisme. Karena ketiga hal ini merupakan penyebab
daripada kesengsaraan masyarakat Indonesia. Gerak langkah Soekarno selalu
dilandasi oleh sikap anti terhadap ketiga paham tersebut (Onghokham, 1978: 23).
Perjuangan yang dilakukan oleh Soekarno sebagai bentuk mewujudkan
cita-cita revolusi bangsa Indonesia menuju sosialisme. Cita-cita soekarno
dijelaskan oleh Ellen Christian Nugroho dalam tesisnya yang berjudul
Soekarnoisme dalam tinjauan filsafat politik, yang menyebutkan bahwa cita-cita
revolusi adalah sosialisme. Sosialisme berisi ideal tentang masyarakat yang
berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial. Masyarakat Indonesia diidam-
idamkan yang memiliki tiga ciri, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di
13
bidang ekonomi, berkepribadian di bidang budaya. Tiga ciri ini harus diupayakan
oleh bangsa Indonesia karena sosialisme yang dicita-citakan bukan hanya berdiri
di atas dasar obyektif, yakni keharusan sosial-historis, melainkan juga di atas
kemauan subjektif (Ellen, 2002: 89).
Ignas Kleden dalam bukunya yang berjudul Menulis Politik: Indonesia
sebagai Utopia, menjelaskan bahwa Soekarno memberi fokus utama kebangsaan
dan bergulat sepanjang hayatnya dengan proyek nation building, sebagai sebuah
kerja raksasa yang telah diselesaikan dengan baik. Kleden lebih lanjut
menjelaskan bahwa bagi Soekarno kemerdekaan atau kedaulatan politik
merupakan syarat mutlak menuju masyarakat adil dan makmur, implikasinya
bahwa pembangunan ekonomi pun hanya dimungkinkan oleh kemerdekaan politik
(Kleden, 2001: 71). Meskipun Soekarno nasionalisme sejati, tetapi jalan
kebangsaannya lebih merupakan jalan menuju sosialime dan demokrasi (Kleden,
2001: 240). Namun Kleden juga mengkritik tentang pemikirannya Soekarno
tentang sosialisme. Bagi Kleden pemikiran sosialisme Soekarno tidak begitu jelas.
Marhaenisme sebagai versi Soekarno untuk sosialisme, sulit diterima secara
sosiologis, karena seorang marhaen memiliki alat-alat produksi secara pribadi,
maka dalam perspektif sosiologis, seorang marhaen sulit dinamakan sosialis, dan
lebih tepat dikelompokkan ke dalam borjuasi kecil (Kleden, 2001: 238).
Umar Hasibuan dalam bukunya yang berjudul Revolusi Politik Kaum
Muda, menjelaskan bahwa Soekarno berusaha membangun kedaulatan politik.
Dijelaskan bahwa kedaulatan memiliki pengertian suatu hak eksklusif untuk
menguasai, mengelola suatu wilayah pemerintahan atau masyarakat. Dalam ranah
14
politik kedaulatan menjadi sangat dekat dengan harga diri. Kedaulatan hal ini
sering disamakan dengan keutuhan bangsa. Berdaulat berarti kita dapat
mengontrol semua wilayah territorial dari campur tangan asing dan dari gerakan
separatisme di dalam negeri. Kedaulatan menjadi alat ampuh untuk mendorong
nasionalisme (Hasibuan, 2009: 297).
Floroberta Aning dalam pengantar buku berjudul Kumpulan Pernyataan
Bung Karno Tentang gerakan 30 September, menjelasan butir Trisakti yang kedua
yakni berdikari dalam ekonomi. Dikatakannya berdikari adalah istilah yang
dicetuskan Soekarno yang merupakan akronim dari berdiri di atas kaki sendiri.
Berdikari sama artinya dengan kemandirian atau tidak memiliki ketergantungan
dengan yang lain. Berdikari adalah prinsip di bidang ekonomi. Seperti yang
disampaikan Soekarno dalam sidang kabinet Dwikora 6 Oktober 1965, “terutama
prinsip berdikari di dalam ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian
bagaimanpun sulitnya saya minta jangan dilepaskan jiwa “self-reliance” ini, jiwa
percaya pada kekuatan sendiri, jiwa self-help, jiwa berdikari” (Aning, 2006: 48).
Ditegaskan pula secara khusus oleh Soekarno dalam buku kumpulan
pidato Soekarno berjudul “Bung Karno dan ekonomi Berdikari” editor Iman Toto
K. Rahardjo. Soekarno menerangkan bahwa, “berdikari dalam ekonomi berarti
kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan kita
dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya (Rahardjo edit, 2001: xiii).
Di dalam Trisakti pula dijelaskan prinsip kepribadian dalam
berkebudayaan. Prinsip ini merupakan wujud penolakan Soekarno terhadap
kebudayaan warisan kolonial. Di pidato Soekarno, 17 agustus tahun 1966 di ambil
15
dari buku “Revolusi belum Selesai” editor Budi Setiyono dan Bonnie Triyana,
Soekarno berkata bahwa “Indonesia yang kita cita-citakan tidak dapat dibangun
atas warisan atau sisa-sisa jiwa kolonialisme. Sisa-sisa kolonialisme ini harus kita
bongkar sama sekali” (Soekarno, Budi Setiyono sunt, 2014: 583). Soekarno
berusaha membangun bangsa dari kemerosotan zaman kolonial untuk dijadikan
bangsa yang berjiwa, yang dapat dan mampu menghadapi suatu tantangan.
Soekarno memandang bahwa membangun ekonomi, membangun teknik,
membangun pertahanan itu perlu tapi utamanya membangun jiwa bangsa.
Keahlian adalah perlu, tapi keahlian saja tanpa dilandasi pada jiwa yang benar,
tidak akan mungkin tercapai tujuan. Soekarno dengan jelas mengatakan “Saya
tidak mau build a nation, Indonesian nation yang cuma memikirkan isi perut
saja...saya tidak mau meninggalkan isi ideel, isi spiritueel, isi yang mengenai
kesenian dan kebudayaan” (Soekarno, dalam Budi Setiyono (ed), 2014: 536).
Untuk memahami pengertian kepribadian budaya, menarik bila
mencermati pengertian tersebut menurut Ayatrohaedi dalam bukunya yang
berjudul “Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius)”. Ayatrohaedi menjelaskan
bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian suatu masyarakat. Artinya
identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan
hidup serta sistem nilainya. Sebagai ekspresi diri serta perwujudan kepribadian
masyarakat, maka masing-masing kepribadian budaya bangsa atau local genius
yang menjadi ciri dan inti kehidupan budaya masyarakat.
Kedudukan kepribadian budaya bangsa ini sentral, karena merupakan
kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan
16
yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilangnya atau
musnahnya kepribadian budaya bangsa berarti pula memudarnya kepribadian
suatu masyarakat, sedangkan kuatnya kepribadian budaya bangsa untuk bertahan
dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat itu. Oleh karena itu
penting sekali adanya usaha pemupukan serta pengembangan kepribadian budaya
bangsa tersebut yang berfungsi dalam seluruh kehidupan masyarakat baik dalam
gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi maupun dalam
orientasi masyarakat (Ayatrohaedi, 1986: 33).
G. Landasan Teori
Epistemologi dalam hal ini menjadi objek formal untuk mendapatkan
gambaran utuh dan integral tentang hakikat dan struktur pengetahuan objek
material yang diteliti. Landasan teori ini berangkat dari pengertian epistemologi
sebagaimana dimaksud dalam definisi epistemologi berikut;
“Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki” (Gallagher, dalam
Hadi, 2001: 5).
Berdasarkan definisi dan persoalan pokok dalam epistemologi tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa epistemologi mencoba menjelaskan tentang
bagaimana hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian dan dasar
pengetahuan, serta konsekuensi logis atas pernyataan tentang pengetahuan yang
dimiliki subjek. Epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan
pengetahuan, sebab ia merupakan salah satu tempat berpijak pengetahuan.
17
Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh.
Kekuatan bangunan rumah bisa diandalkan berdasarkan kekuatan fundamennya.
“Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-
masalah pokok epistemologi, karena itu epistemologi terkait dengan pekerjaan
pikiran manusia, yaitu berusaha mengungkap jalan pikiran manusia. Dari alasan
tersebut, epistemologi menjadi cabang dari filsafat, walaupun objeknya tidak
merupakan ilmu yang empirik, karena epistemologi menjadi ilmu dan filsafat
sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk
mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini
ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.
Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan
membuktikan kebenaran. Usaha Kajian epistemologi sangat perlu karena
pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup
manusia. Strategi berkenaan dengan bagaimana mengelola kekuasaan atau daya
kekuatan yang ada. Sehingga tujuan dapat tercapai. Pengetahuan pada dasarnya
adalah suatu kekuasaan atau daya. Sudah sejak Francis Bacon (1561-1626) orang
disadarkan akan kenyataan bahwa knowledge is power. Pengetahuan mempunyai
daya kekuatan untuk mengubah keadaan. Seperti yang dikatakan Pranarka yang
dikutip oleh Sudarminta: “Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah
dan akan terus membentuk kebudayaan, menggerakkan dan mengubah dunia,
sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahami apa itu pengetahuan, apa
sifat dan hakikatnya, apa daya dan keterbatasannnya, apa kemungkinan dan
18
permasalahannya”. Pertanyaan-pertanyaan asasi tentang pengetahuan seperti itu
dicoba untuk dijawab oleh epistemologi (Sudarminta, 2006: 26).
Adapun persoalan yang muncul dalam epistemologi, antara lain meliputi
beberapa persoalan pokok berikut;
a) Common sense (anggapan umum/akal sehat)
b) Aspek eksistensial
c) Analogi pengetahuan
d) Metode di dalam epistemologi (Gallagher, dalam Hardono Hadi,
2001: 13-27)
Berkaitan dengan persoalan pokok dalam epistemologi, salah satu
persoalan penting berkaitan dengan tema gagasan Trisakti yaitu persoalan yang
berkaitan dengan aspek eksistensial. Persoalan aspek eksistensial merupakan
persoalan “apa yang dapat saya ketahui?” yang merupakan sisi lain dari
pertanyaan “apa itu?”. Dari sini dapat bertanya “sejauhmana saya dapat melekat
kepada apa yang nyata”?, sehingga dapat diterangkan bahwa pengetahuan
manusia adalah upaya untuk menyatakan kepada dirinya sendiri keterlekatannya
pada “ada” (Gallagher, dalam Hardono Hadi, 2001: 21).
Selanjutnya ada persoalan common sense, di dalam aspek common sense
yang diamati adalah suatu kepercayaan universal terhadap penalaran pengalaman
yang mengendap di dalam pemahaman sederhana. Lebih jelasnya Gallagher
mencoba mengikuti pendapat Maritain, “common sense beliefs is a mixed one,
comprising on one level such primary insights as the principle of
19
noncontradiction, but reaching down through many more dubious social
convictions to a grab bag of intellectual remnants” (Gallagher, 1982: 7).
Pengetahuan common sense merupakan pengetahuan campuran, yaitu
pengetahuan menurut anggapan atau persepsi, sekaligus mempunyai pokok-pokok
pengetahuan yang dianggap sebagai tujuan akhir dari pikiran pemiliknya.
Kemudian persoalan yang penting lagi adalah analogi pengetahuan yang
merupakan salah satu persoalan yang berkaitan dengan “mengetahui caranya”.
Apa arti “mengetahui”? yang jelas tidak ada cara yang benar-benar netral untuk
menerangkan setiap kenyataan, maka dari itu harus tetap membuka pintu bagi
kemungkinan bahwa cara-cara mengetahui mungkin ada bermacam-macam dan
setiap cara mungkin secara shahih bisa disebut “pengetahuan”. Kenyataan yang
bermacam-macam makna pengetahuan ini pernah dijelaskan oleh para filsuf
Thomisme.
Penjelasan ini didasarkan dari ajaran Thomas mengenai analogi pengada
yang mempersiapkan dasar ontologisme bagi analogi pengetahuan. Di dalam
Thomisme “ada” adalah analogi pengetahuan. Analog menunjuk kepada
kenyataan arti yang tidak seluruhnya sama dari kata sama yang diterapkan pada
benda-benda yang berbeda. Kesamaan yang mengikat pengada-pengada dan
memungkinkan semuanya disebut dengan kata yang sama (“ada”) bukanlah
karena mempunyai sifat yang identik atau univok, tetapi karena suatu kemiripan.
Semua benda sama sejauh mereka ada, tetapi mereka berbeda juga berkat
keberadaan mereka, maka bila ada analogi dari ada, kita juga harus menemukan
suatu analogi pengetahuan. Apapun pengetahuan itu, dan bagaimana pun
20
didefinisikan, yang jelas ialah bahwa pengetahuan diarahkan kepada “ada”,
artinya pengetahuan adalah pernyataan diri dari ada (Gallagher, dalam Hardono
Hadi, 2001: 24-25).
Persoalan pokok epistemologi selanjutnya adalah metode di dalam
epistemologi. Anggapan umum untuk melihat pengkajian pengetahuan hanya di
dalam “penafsiran pernyataan” bisa kurang tepat. Kesesuaian antara pikiran dan
kenyataan merupakan dasar bagi konsepsi kebenaran umum saja. Jika apa yang
saya nyatakan ternyata baik, maka pertimbangan saya dikatakan sesuai dengan
kenyataan, maka benar. Sederhananya, pertimbangan yang menyatakan sesuatu
bisa benar atau salah, apabila pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak.
Memang benar bahwa pertimbangan mempunyai peranan yang sangat
menentukan di dalam pemahaman manusia. Tetapi masalah pengetahuan
seharusnya tidak disamakan dengan masalah benar tidaknya pertimbangan. Dari
sini dikatakan bahwa epistemologi bukan hanya berurusan dengan pernyataan
mengenai dasar dari pertimbangan. Nilai kebenaran pertimbangan harus
diputuskan berdasar evidensi (sesuatu yang jelas dari dirinya sendiri), dan
keterlibatan epistemologi yang sebenarnya adalah dengan persoalan evidensi
(Gallagher, dalam Hardono Hadi, 2001: 26).
H. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian literal atau pustaka. Bahan dalam
penelitian ini terdiri atas bahan primer yang diambil dari buku-buku yang secara
21
langsung membahas tentang permasalahan yang akan diteliti. Selain bahan primer,
penelitian ini juga menggunakan bahan sekunder yaitu bahan kepustakaan yang
secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan diteliti, namun masih
relevan untuk dikutip sebagai pembanding.
Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas:
- Bahan Primer
a. Adam, Cindy, 2011, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yogyakarta:
Media Pressindo.
b. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I dan II, Jakarta: Panitia Penerbit.
c. Soemohadiwidjojo, Rhien, 2013, Bung Karno Sang Singa Podium,
Yogyakarta: Second Hope.
d. Naskah-naskah Pidato Soekarno yang berbicara Trisakti, antara lain berjudul
“Manipol USDEK” tahun 1959, “Tahun Vivere Priscolo” tahun 1964, judul
“Tahun Berdikari” tahun 1965, dan judul “Nawaksara” tahun 1966.
e. Kenneth T Gallagher, 1986, The Philosophy of Knowledge, Fordham
University Press.
- Bahan Sekunder
Data-data yang berkaitan dengan perihal Soekarno.
2. Jalan Penelitian
Penelitian ini diadakan dalam tiga tahap jalan penelitian literal:
Tahap pertama meliputi:
22
Pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder sesuai
lingkup penelitian. Pembuatan kategori dengan menyatukan dan mengumpulkan
dalam satu kesatuan tersistemisasi.
Tahap kedua meliputi:
Klasifikasi data selanjutnya dilakukan penjabaran dan penafsiran.
Analisis data sesuai dengan pemahaman peneliti tentang gejala hal yang
berhubungan dengan objek penelitian.
Tahap Ketiga meliputi:
Penyusunan draft hasil penelitian. Penyusunan laporan hasil penelitian
secara sistematis dan mengikuti format atau urutan baku dalam penelitian.
3. Analisis Hasil Penelitian
Untuk memperoleh hasil maksimal yang diharapkan dari penelitian ini
adalah menganalisis data secara ilmiah dalam sebuah penulisan karya ilmiah,
tentu saja di perlukan metode sebagai sarana untuk memperoleh akurasi data yang
dapat di pertanggungjawabkan secara akademis serta menghasilkan karya ilmiah
yang sistematis. Adapun metode analisis yang digunakan adalah
- Hermeneutika
Peneliti menggunakan konsep hermeneutika Wilhelm Dilthey untuk
menangkap kandungan makna esensial. Hermeneutika Dilthey bertitik tolak dari
filsafat hidup yang membutuhkan suatu pemahaman (Das Verstehen) dari
historisitas dan pengalaman manusia (Mustansyir, 2009: 42). Pemahaman tentang
manusia tidak terlepas dari makna historisitas, karena manusia memahami dirinya
23
melalui hidup, maka dibutuhkan interpretasi dalam suatu pemahaman
(Mustansyir, 2009: 45). Beberapa unsur metodis yang terdapat dalam
hermeneutika antara lain:
1) Deskripsi, mengungkapkan dan memaparkan fakta yang berhubungan
dengan objek material.
2) Verstehen, yaitu memahami makna dari fakta yang berhubungan
dengan objek material.
3) Interpretasi, yaitu menafsirkan data yang diperoleh.
4) Holistik, yaitu melihat data secara menyeluruh yang terkait dengan
objek penelitian yang dikaji untuk mendapatkan pemahaman seorang
lengkap dan tepat.
I. Sistematika Penulisan
Bab I merupakan bab pendahuluan. Terdiri atas latar belakang masalah
yang meliputi masalah penelitian, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat
penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
analisis penelitian sistematika penulisan.
Bab II, berisi tentang epistemologi meliputi pengertian epistemologi,
aspek-aspek dalam epistemologi, dan kebenaran eksistensialis menurut Kennet T.
Gallagher.
Bab III, berisi biografi Soekarno meliputi jejak pemikiran Soekarno,
Riwayat Hidup dan masa perjuangan Soekarno.