BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media massa ...
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengaruh Media ...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengaruh Media ...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengaruh Media Indonesia terutama headline berita tentang Presiden SBY,
oleh masyarakat ditanggapi beragam, khususnya pada masyarakat tradisional yang
daya analitiknya rendah. Sehingga apa yang disajikan media itulah yang diikuti.
Karena dalam memandang suatu peristiwa mempunyai peluang berbeda dalam
menafsirkannya. Bisa jadi satu peristiwa yang sama bisa berbeda dalam
penyajiannya, sesuai dengan sudut pandangnya. Atau sangat mungkin dirasuki
oleh ideologi dan kepentingan tertentu. Sehingga peristiwa satu bisa dianggap
penting oleh media yang satu, tapi tidak bagi yang lain. Tergantung pada siapa
dalam media itu.
Kehadiran headline pada surat kabar online Media Indonesia secara teknis
dituntut untuk mudah dimengerti pada saat dibaca, serta dapat berkomunikasi
secara cepat dengan ide yang tepat pula. Headline berita yang dipilih kemudian
ditampilkan dan terkesan bebas untuk ditafsirkan. Misalnya, headline surat kabar
Media Indonesia pada Rabu, 23 Maret 2011 yaitu “Presiden SBY Sebut
WikiLeaks Ancaman Teror Model Baru”. Bersandar pada bocoran info
WikiLeaks, The Age memberitakan bahwa presiden SBY telah melakukan yang
mereka sebut penyalahgunaan kekuasaan, akibatnya gelar SBY sebagai reformis
yang bersih seakan menjadi ternodai. Tentu seorang penulis banyak berperan akan
isi dan makna dari tulisan dalam surat kabar tersebut. Maka kondisi ideologi
seorang penulis akan berbanding lurus dengan tulisan yang analisisnya dibumbui
ideologi dengan latar belakang dan cita rasa yang bias.1
1 Dalam konteks ini, sangatlah wajar jika muncul pembacaan ulang, bahwa apa yang diberitakan The Age, Sydney Morning Herald (SMH), Times, The Wall Street Journal terkait juga dengan upaya menjadikan Indonesia dalam zona perang informasi. Pada 11 Maret 2011, The Age dan SMH yang sama-sama berada di dalam naungan grup Fairfax Media secara berbarengan memublikasikan informasi yang mendiskreditkan SBY. Judul besar The Age misalnya, Yudhoyono ‘Abused Power’, menjadi headline dan dibedah dengan bahasa yang provokatif yang bersumber dari bocoran WikiLeaks. Terlepas dari benar tidaknya substansi pemberitaan tersebut, ada garis merah penyetingan agenda terkait dengan momentum ledakan informasi tersebut.
10
Dalam pemberitaan, terutama pemilihan headline berita dituntut untuk
bersikap adil dan netral serta objektif. Namun pada kenyataan tidak. Sangat
banyak peristiwa yang sebenarnya sangat krusial namun media cenderung
mengabaikannya.2 Sebagai contoh kasus tertangkapnya terduga kasus korupsi
Wisma Atlet yang melibatkan Muhammad Nazaruddin, yang cenderung dibesar-
besarkan namun pada saat bersamaan terjadi kasus pembajakan kereta api
Gajayana di Stasiun Senen Jakarta. Kemudian peran media menentukan mana
yang lebih penting, apakah masih dengan headline kasus Wisma Atlet ataukah
pembajakan itu. Di sinilah nanti terlihat bagaimana media mengemas sebuah
peristiwa sehingga seolah-olah sangat penting walau pada hakikatnya biasa-biasa
saja. Karena mereka punya kepentingan. Pada dasarnya sangat sulit bersikap
netral karena mereka dihantui oleh berbagai kepentingan. Belum lagi aspek
ideologi. Berbagai kepentingan, baik bisnis maupun politik sangat berpengaruh
pada bagaimana menafsirkan peristiwa tertentu.
Selain permasalahan di atas, Media Indonesia online menempatkan kolom
politiknya pada posisi pertama pada deretan kolom lainnya. Media Indonesia
online atau mediaindonesia.com dengan kolom politiknya tersebut, maka dalam
mengkonstruksi beritapun Media Indonesia mengutamakan ada pada aktualitas
dan kontroversi peristiwa politik dengan melakukan dramatisasi yang panas,
ironis dan kontroversial daripada peristiwa-peristiwa lain. Pengambilan berita
tentang Presiden SBY sebagai headline-nya, maka keberadaan headline tidak lagi
sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan
menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas –realitas media–
yang akan muncul di benak khalayak. Terdapat berbagai cara Media Indonesia ini
mempengaruhi bahasa dan makna pada headline-nya yakni mengembangkan kata-
kata baru serta makna asosiatifnya; memperluas makna dari istilah-istilah yang
ada; mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru; memantapkan
konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa. Oleh karena persoalan
2 Dalam The Political Literacy Institute, menyatakan bahwa kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand reality atau realitas buatan sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan politik yang dikemas menjadi seolah-olah “kepribadian” masing-masing media. Fenomena inilah yang oleh C Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai penyajian dunia “pulasan”.
11
makna, maka penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas,
terlebih atas hasilnya adalah makna dan citra.
Dalam Hamad, sebuah peristiwa politik menjadi menarik perhatian media
massa sebagai bahan liputan, disebabkan dua faktor, pertama, saat ini media
berada di era mediasi (politics in the age of mediation), yakni media massa. Para
aktor politik senantiasa berusaha menarik perhatian wartawan agar aktivitas
politiknya memperoleh liputan dari media3. Kedua, peristiwa politik dalam bentuk
tingkah laku dan pernyataan para aktor politik lazimnya selalu mempunyai nilai
berita sekalipun peristiwa politik itu bersifat rutin belaka. Sebuah liputan politik
yang terbentuk menjadi sebuah berita memiliki dimensi opini publik, baik yang
diharapkan politisi maupun oleh para wartawan. Dalam politik, bagi Hamad citra
setara dengan opini publik. Sebuah peristiwa politik bisa menimbulkan opini
publik yang berbeda-beda sehingga bagi Hamad, realitas politik dalam media
massa bukan realitas yang sebenarnya4.
Lebih dari itu, penyampaian sebuah headline ternyata menyimpan
subjektivitas penulis. Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah headline akan
dinilai apa adanya. Headline kemudian akan dipandang sebagai barang suci yang
penuh dengan objektivitas. Namun, berbeda dengan kalangan tertentu yang
memahami betul gerak pers. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap headline
tersebut, yaitu dalam setiap penulisan headline selalu menyimpan ideologis atau
latar belakang seorang penulis. Seorang penulis pasti akan memasukkan ide-ide
mereka dalam analisis terhadap data-data yang diperoleh di lapangan.
Catatan lain yang layak dikemukakan adalah penjelasan mengenai
“kepentingan” di balik karakter tersebut. Pada beberapa headline Media Indonesia
lebih dipengaruhi oleh kepentingan ideologi dan politik. Hal ini sesuai dengan
ideologi nasionalisme/kebangsaan yang dianut Media Indonesia. Jika dikaitkan
dengan kecenderungan harian ini yang terkesan sering menulis headline tentang
Presiden SBY, maka apakah benar bila dikatakan bahwa kepentingan ideologi dan
3 Ibnu Hamad dalam tulisannya tentang Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi, Sebuah Telaah Ringkas, yang di dalamnya terdapat berbagai alur tentang pengertian-pengertian yang terkait dengan penelitian analisis wacana. 4 Ibid, Hamad, 2004: 3
12
politik yang dianut tidak sejalan dengan kepentingan lain yang dalam hal ini
adalah pemerintahan Presiden SBY.
Demikian halnya dengan aspek kepentingan ekonomi, apakah hanya
sebatas kepentingan pemeliharaan pasar (pembaca) Media Indonesia. Mungkin
karena ketidaknetralan yang dibangun Media Indonesia memungkinkan harian
online ini berani menuliskan headline yang lugas dan terus terang. Tetapi,
sebenarnya tidak mudah untuk menjelaskan korelasi antara kepentingan ekonomi
yang ada di balik kepentingan Media Indonesia. Bagaimanapun, menyangkut
aspek fungsinya sebagai informator, Media Indonesia kerap dituduh bias dalam
memilih informasi untuk dipublikasikan. Bias ini setidaknya dipengaruhi oleh tiga
hal, yakni kapasitas dan kualitas pengelola, kuatnya kepentingan yang bermain
dalam realitas sosial, dan taraf kekritisan masyarakat.
Pemilihan topik dan penempatan berita di sebuah halaman sebenarnya
menunjukkan subyektivitas media sehingga obyektivitas media sebenarnya adalah
obyektivitas yang subyektif. Jika demikian halnya, sasaran Media Indonesia
menuliskan headline tentang Presiden SBY itu bukan lagi sekedar menyampaikan
informasi untuk masyarakat, tetapi sudah menjadikan masyarakat sebagai sasaran
kelompok kepentingan kekuasaan tertentu melalui informasi tersebut. Inilah yang
semestinya dibongkar secara lebih tuntas.
Melalui analisis hermeneutika pada headline berita yang dikatakan realis,
bebas nilai, dan memisahkan subjek dan objek penelitian, hermeneutika akan
memberikan model penelitian yang khas ilmu komunikasi. Headline bukanlah
benda yang ketika diteliti hanya menyajikan efek yang sama, headline itu hidup
dan dapat mengonstruksi tanggapan tertentu ketika diteliti. Maka ke-objektifan tak
bisa ditemukan sebagaimana kita menemukannya ketika meneliti benda-benda.
Walaupun demikian, menurut hermeneutika, keobjektifan dapat ditemukan sejauh
hubungannya dengan teori yang dipergunakan dan tidak terlepas dari banyaknya
kelemahan.
Secara teoritik, studi analisis hermeneutika ini tidak menekankan pada satu
headline saja, tetapi akan diambil beberapa headline yang kemudian secara umum
13
akan diperoleh gambaran yang lugas tentang pesan headline pada sebuah media5.
Kecenderungan memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa
yang disajikan media massa. Pada akhirnya, membentuk tafsir dan citra
berdasarkan realitas kedua (second hand reality) yang ditampilkan oleh headline
berita pada media massa. Headline (berita utama) mencerminkan perhatian
terhadap peristiwa tertentu. Headline dalam sebuah surat kabar merupakan
representasi dari media itu sendiri dalam memandang penting tidaknya suatu
peristiwa. Pemilihan headline sangat berpengaruh pada khalayak pembacanya.
Terutama masyarakat yang daya kritis dan analitiknya kurang.
Untuk memudahkan jalannya teori tersebut, headline berita tentang
Presiden SBY pada Media Indonesia online kemudian dipilah menjadi empat
sentimen dasar pemilahan headline, yakni (1) headline dengan sentimen negatif;
(2) headline dengan sentimen positif; headline dengan sentimen positif-negatif;
dan (4) headline dengan sentimen netral. Bagaimana menentukan bentuk-bentuk
sentimen tersebut yakni dengan melihat latarbelakang konten beritanya juga
secara jelas pada teks headline-nya. Bentuk sentimen inilah yang dalam penelitian
ini didapati sebagai data utamanya. Sehingga jalannya kaidah teoritik tersebut
merupakan sebuah upaya rasional menafsirkan realitas headline (ontologis) untuk
mengungkapkan hakikat atau substansi yang sesungguhnya muncul dari segala
sesuatu yang ada (being) yang dalam bahasa teknis-ilmiah disebut sebagai “true
conditions”. Dengan kata yang sederhana dapat disebutkan bahwa sentimen-
sentimen headline pada teori tersebut ialah kegiatan awal dalam olah pikir yang
menafsirkan dan memahami makna suatu teks headline (realitas) secara rasional
untuk mencari/menemukan hakikatnya.
Secara konseptual sebagai jawaban atas rumusan masalah, maka tafsir
pesan yang ada di balik headline berita tentang Presiden SBY pada surat kabar
online Media Indonesia edisi Juli 2011 merupakan instrumen pokok yang
menceritakan realitas tetapi secara ideologi bukan sebuah hakikat kebenaran,
5 Dengan kata lain, kita saat ini cenderung mendefinisikan pengalaman dalam bentuk yang sepenuhnya berorientasi kea rah pengetahuan semata, tidak mengindahkan historisitas pengalaman dalam. Jika demikian halnya, kita secara tidak sadar memenuhi tujuan ilmu yakni “mengobjektifkan pengalaman yang meniadakan ragam peristiwa historis terhadapnya”, Dialektika Gadamer oleh Richard E. Palmer (2005: 231) dalam bukunya Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi.
14
karena pengaruh sentimen-sentimen yang membawanya. Seperti yang sudah
dijelaskan di awal, bahwa kondisi headline hampir tidak mungkin tanpa memuat
sebuah kepentingan. Melihat latar belakang Media Indonesia online yang syarat
akan kepentingan ideologi, politik, bahkan kepentingan ekonomi.
Tafsir tentang Presiden SBY merupakan respon dan reaksi dari sebuah
sentimen headline yang dalam kategorisasinya lebih menekankan sentimen
negatif, karena sentimen yang muncul dipengaruhi kuat oleh berbagai kepentingan
tersebut. Menguak hakikat tafsir yang sesungguhnya adalah tugas dari
hermeneutika Gadamer yang tertuang dalam penelitian ini. Tafsir pesan yang ada
di balik headline berita tentang Presiden SBY pada surat kabar online Media
Indonesia edisi Juli 2011 mengindikasikan adanya “Roh” yang dalam
hermeneutika Gadamer tidak bisa ditaruh keberadaan hakikat yang benar tanpa
melihat secara mendalam “Roh” itu sendiri. Dalam bahasa sederhana “Roh”
tersebut adalah surat kabar online Media Indonesia edisi Juli 2011.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah dari
penelitian ini yakni apa tafsir pesan dan makna yang ada di balik headline berita
tentang Presiden SBY pada surat kabar online Media Indonesia edisi Juli 2011.
C. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah headline berita tentang Presiden SBY pada surat
kabar online Media Indonesia edisi Juli 2011. Penentuan surat kabar ditetapkan
peneliti karena Media Indonesia adalah salah satu media online/digital yang
tergolong sebagai media nasional.
Muatan headline pada Media Indonesia online lebih menekankan pada
aspek politiknya, dan merupakan sajian utama dalam setiap pemberitaannya yang
kemudian melatarbelakangi dimuatnya headline dengan berani, lugas, dan tegas.
Kondisi-kondisi headline yang ada di Media Indonesia, dengan selalu memuat
SBY sebagai patokan pembuatan headline-nya maka untuk mengungkap tafsir
pesan di balik kehadiran headline diharapkan pembaca tidak terlalu subjektif,
15
sehingga maksud dari headline-headline itu sendiri tidak menjadi kabur.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang di paparkan, sangat menarik bila
headline pemberitaan Presiden SBY dijadikan sebagai bahan objek penelitian,
sebab headline yang diambil dari media online mediaindonesia.com ini sangat
kritis dalam mengkritik pemerintahan Presiden SBY.
D. Tujuan Penelitian
1. Secara Teroritis
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangsih teoritis bagi
pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bagi pengembangan penelitian yang
menitikberatkan pada kajian hermeneutika.
2. Secara Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana
Media Indonesia online mengambil sikap dalam penentuan headline dan sekaligus
memandang suatu peristiwa, tentunya dalam sebuah fakta kebenaran.
E. Tinjauan Pustaka
Inspirasi penelitian tesis ini berangkat dari buku karya Radford, G. P.
dalam Hermeneutics: An Intellectual Tradition for Communication Studies,
menjelaskan bahwa pendekatan hermeneutika menawarkan perspektif alternatif
reduksionis dari ilmu alam yang didasarkan pada epistemologi realis.
Hermeneutika juga memiliki potensi untuk memenuhi peran yang sama tersebut
sehubungan dengan pendekatan kontemporer dalam studi komunikasi di Amerika.
Dalam tradisi Amerika, studi komunikasi, seperti ilmu-ilmu sosial pada
umumnya, telah secara implisit mengadopsi epistemologi realis dalam penelitian
tentang "ilmu komunikasi" menggambarkan banyak yang menganggap penelitian
hermeneutika sebagai penelitian komunikasi dapat diterima, namun dalam
kenyataannya ini jelas terdapat dalam model ilmu komunikasi sendiri, yakni:
Communication science seeks to understand the production, processing, and effects of symbols and signal systems by developing testable theories, containing lawful generalizations,
16
that explain phenomena associated with production, processing, and effects (1991: 17).
Dalam penelitian thesis ini, kontruksi realitas media juga menjadi telaah
penting dalam rangka membongkar fakta yang ada dalam peran media. Dalam
proses pembentukan realitas, ada dua titik perhatian. Pertama, bahasa.
Bahasa, sebagaimana dipahami oleh kalangan strukturalis, merupakan berbeda
pada peristiwa yang sama. Makna yang berbeda dapat dilekatkan pada
peristiwa yang sama. Hal ini mengisyaratkan bahwa kajian media berita online
harus lebih masuk pada perubahan paradigmatik proses produksi berita pada sisi
lingkungan sosial dan material, pola temporer dalam produksi berita dan
penggunaan sumber-sumber informasi.
Kedua, politik penandaan, yakni bagaimana praktik sosial dalam
membentuk makna, mengontrol, dan menentukan makna. Titik perhatian di sini
adalah peran media dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan
tertentu, dan menunjukkan bagaimana kekuasaan ideologi di sini berperan.
Ideologi menjadi bidang di mana pertarungan dari kelompok yang ada dalam
masyarakat. Akan tetapi, posisi demikian juga menunjukkan bahwa ideologi
melekat dalam produksi sosial, produksi media, dan sistem budaya. Setiap
budaya memberikan bentuk episode pemikiran tertentu, dan menyediakan
anggota dari komunitas tersebut sebuah pemikiran atau gagasan tertentu sehingga
mereka tinggal menerima (taken for granted) dalam pengetahuan mereka.
Gambaran bagaimana sesuatu ditandakan untuk kita, tergantung pada proses
penandaan itu sendiri. Efek dari ideologi dalam media itu adalah menampilkan
pesan dan realitas hasil konstruksi tersebut tampak seperti nyata, natural, dan
benar. Pengertian tentang realitas itu tergantung pada bagaimana sesuatu
tersebut ditandakan dan dimaknai.
Literatur pembahasan khusus Hans Georg Gadamer dalam bentuk buku
mapun jurnal belum banyak ditemukan di Indonesia, kalaupun ada hanya sebagai
pengantar dalam menelusuri pokok- pokok pikirannya. Misalnya, Agus Darmaji
alumni Program Studi Filsafat Universitas Indonesia lulusan tahun 1999
mengangkat judul tesis Pergeseran Hermeneutik Ontologis Melalui Bahasa dalam
17
Pemikiran Hans Georg Gadamer. Dalam tesisnya itu, tidak ada satu sub
pembahasan pun yang membahas tentang hermeneutika yang khas ilmu
komunikasi.
Sehingga tesis ini meletakkan posisinya sebagai yang awal untuk
mengungkap sebuah fenomena yang ada dalam sebuah hermeneutika.
Hermeneutika di pahami sebagai suatu proses sending massage, tetapi lebih dari
itu. Secara sederhana proses hermeneutika sama seperti proses komunikasi pada
umumnya yakni dipahami sebagai proses penyampaian pesan dengan
menggunakan tanda-tanda atau makna dalam sebuah teks atau bahasa. Akan
tetapi persoalan hermeneutika tidak sederhana sebagai suatu pengiriman pesan
saja, namun hermeneutika juga merupakan produksi dan pertukaran makna-
makna.
F. Kerangka Teori
Teori hermeneutika berpusat pada kajian untuk memahami apa yang
dimaksud dengan konsep hermeneutika. Hermeneutika kritis mengkaji bagaimana
menerapkan konsep hermeneutika kedalam tindakan praktis. Hermeneutika
Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada
subyek yang menafsirkan. Gadamer menolak dengan keras metodologi yang
ditawarkan positivitik yaitu pendekatan ilmu alam yang membicarakan angka-
angka dan rumus-rumus yang tidak mungkin diterapkan dalam bidang humaniora.
Satu proposisi positivistik yang dipandang oleh Gadamer sebagai istilah “haram”
bagi hermeneutika, yaitu generalitas. Kebenaran adalah kontekstualisasi
(universalitas). Oleh karena itu, menurut Gadamer, metodologi yang digunakan
adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologis partisipan, yaitu memaknai
realitas sosial atau teks dengan memahami perilaku, pemahaman, sikap, dan
tindakan objek penelitian.
Gadamer memang mendapatkan banyak sekali inspirasi dari Heidegger.
Namun Gadamer kemudian mengembangkannya serta menerapkannya pada hal
yang lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur dan filsafat.
Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. Gadamer menunjuk metode interpretasi
18
pada hermeneutika intensionalisme, yaitu mencari makna yang diletakan atau
dimaksudkan pengarangnya. Sebab, arti sebuah teks tidak hanya terbatas pada
pengarangnya saja, akan tetapi terbuka bagi adanya penafsiran baru sesuai
kreativitas penafsir. Bahkan, baginya tidak ada jaminan bagi pengarang asli untuk
menjadi penafsir ideal atas karyanya. Pandangan ini mengindikasikan bahwa
sebuah teks yang sudah dituangkan dalam tulisan dan dilempar ke ruang publik
sepenuhnya menjadi milik pembaca.
Dengan demikian, kegiatan penafsiran, bukan hanya sebatas
mereproduksi makna, tetapi juga memproduksi makna. Untuk pemaknaan
intensionalisme dengan hermeneutika Gadamer, secara metodolgis dapat
dirumuskan dengan pertanyaan, kalau hermeneutika intensionalisme, menyatakan,
“Maksud apa yang diungkapkan dalam headline berita tentang Presiden SBY,
sementara hermeneutika Gadamer, “Apakah signifikasi headline berita tentang
Presiden SBY bagi sebagian masyarakat interpretatif tertentu.
Makna suatu fenomena, menurut Gadamer bukanlah sesuatu yang ada
pada fenomena itu sendiri. Tetapi, makna selalu bermakna bagi seseorang
sehingga bersifat relatif bagi penafsirnya. Untuk itu dalam teori ini tidak pernah
melibatkan satu unsur pun (agen dan niatnya), namun dua unsur yang harus di
interpretasikan dan interpreternya. Makna muncul dari hubungan antara suatu
fenomena dengan mereka yang berusaha memahami makna fenomena itu
merupakan produk interaksi antara dua subyek.
Contoh dari teori ini, misalnya pernyataan Presiden SBY tentang Dugaan
Kasus Korupsi Wisma Atlet, untuk memahami pernyataan itu, tidak cukup sang
penafsir hanya menginterpretasikan secara subyektif apa yang dinyatakan
Presiden SBY. Dalam perspektif Gadamerian hal tersebut masih dalam wilayah
hermeneutika intensionalisme. Padahal untuk mendapatkan “fusi horizon-horizon”
seperti yang dinyatakan Gadamer harus ada interaksi dua subyek. Untuk itu dalam
memaknai pernyataan Presiden SBY harus di interpretasi subyek lain yang
menanggapi pernyataan itu.
Prinsip dasar teori gadamer adalah bahwa seseorang selalu memahami
pengalaman dari perspektif prasangka dan asumsi. Tradisi kita memberi cara
19
untuk memahami sesuatu, dan kita tidak bis dipisahkan dari tradisi. Pengamatan,
alasan dan pemahaman tidak mungkin murni; sebelumnya dipengaruhi oleh
sejarah dan pengalaman kita dengan orang lain. Gadamer percaya bahwa
pengalaman bersifat linguistik. Kita tidak bisa dipisahkan dari bahasa. Perspektif-
perspektif tradisi, dimana kita selalu melihat dunia berbentuk kata-kata.
Teori ini seperti mirip dengan pendekatan interaksi simbolik yang
menyatakan bahasa dan makna diciptakan melalui interaksi. Maksud Gadamer
adalah bahwa bahasa itu sendiri mendasari semua pengalaman. Dunia dihadirkan
melalui bahasa. Dengan demikian dalam komunikasi, dua manusia tidak
menggunakan bahasa untuk saling berinteraksi, melainkan komunikasi
menggunakan tiga rangkaian, yaitu dua individu dan sebuah bahasa.
Kajian hermeneutika penelitian ini adalah studi relasi antara interpretator
dan teks headline. Interpretator didefinisikan sebagai aktor independen atas teks.
Pertama, tujuan aktor memaknai teks adalah membebaskan aktor dari dogmatisasi
teks dan bahkan membongkar kebohongan teks. Kedua, aktor memaknai teks
harus keluar dari metodologi yang dianggap membatasi pemaknaan aktor atas
teks. Yang dibutuhkan dalam hermeneutika bukan metodologi tapi ketepatan aktor
dalam memposisikan teks berdasarkan ruang dan waktu. Ketiga, adanya ruang
dialogisasi antara aktor dan teks dalam menentukan titik tengah kebenaran. Ruang
dialogisasi bertujuan untuk mengkomunikasikan isi teks dan perspektif aktor
terhadap teks itu. Keempat, pendekatan dalam mencari makna teks digunakan
pendekatan komprehensif tidak monoton pada satu aspek (pengarang atau penulis
saja) tapi melalui sejarah dan pengalaman hidup. Hal ini dilakukan untuk
menghindari pengaruh ”kebenaran” teks atas aktor. Kelima, aktor berhak merubah
kebenaran teks selama menemukan kejanggalan realitas melalui pendekatan
historikalitas dan kekinian.
Dalam pandangan Gadamer yang penting adalah bahwa setiap orang
memahami pengalamannya berdasarkan pra anggapan yang dibentuk oleh tradisi
yang bersifat historis. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, kita secara
simultan merupakan bagian dari masa lalu, masa kini, dan masa akan datang.
Perubahan dalam hal ini dipandang sebagai hasil dari jarak temporal yang
20
terbentuk melalui waktu yang mmpengaruhi kita cara mengantisipasi masa
mendatang. Dengan demikian, pemahaman kita terhadap peristiwa dan objek
sejarah diperkaya oleh jarak hisroris. Lebih jelasnya, pemaknaan teks, dalam
pandangan Gadamer, merupakan hasil dialog dari makna yang kita miliki saat ini
dan makna yang terdapat dalam teks secara historis. Proses interpretif tersebut
bersifat paradoks, sebab di samping kita membiarkan teks berbicara, kita tidak
dapat memahami teks terpisah dari prasangka dan praanggapan yang kita miliki.
Hasil analisa tersebut, oleh Gadamer disebut “prasangka legitimate”.
Berikut bagan yang dapat menjelaskan uraian tersebut: Bagan 1.1 Konsep Teoritik Hermeneutika
Sumber: Kesimpulan penjelasan Josef Bleicher tentang Hermeneutika Gadamer dalam bukunya yang berjudul Hermeneutika Kontemporer, Cetakan 2007.
Pada penelitian ini, bagan 1.1 di atas menjelaskan proses hermeneutika
Gadamer yang dapat disimpulkan bahwa terdapat enam elemen vital dalam
hermeneutika diantaranya sebagai berikut:
1. Interpretator. Adalah peneliti.
2. Teks Interpretatif. Adalah headline tentang Presiden SBY pada surat kabar
online Media Indonesia.
3. Historis teks. Adalah pendekatan metodologis hermeneutika.
4. Prasangka Interpretator. Adalah asumsi bebas peneliti terhadap headline.
5. Analisa data. Adalah proses reduksi antara headline dan historis headline.
Interpretator
Historis Teks
Teks Interpretatif
Analisis Hermene
utika
Prasangka Interpretator
Hasil Hermeneutik atas Teks/ Prasangka
Legitimate
21
6. Prasangka Ligitimate. Adalah prasangka yang sudah dibuktikan oleh
pembenaran historis atas headline.
Gadamer percaya bahwa pengalaman kita secara inheren terdapat dalam
bahasa. Sebab perspektif tradisi yang kita gunakan untuk memahami dunia
terdapat dalam kata-kata. Oleh karena itu, Gadamer berpendapat bahwa bahasalah
yang menyediakan cara kita memahami pengalaman kita. Dengan kata lain, dalam
komunikasi, hubungan terjadi bukan semata-mata interaksi antarpersonal,
melainkan hubungan triadik, yaitu hubungan interaksi antarpersonal dan bahasa.
Dengan cara ini, Gadamer menganggap bahwa fenomenologi dan hermeneutika
merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan.
Gadamer berpendapat bahwa sebuah komunikasi tidak hanya tergantung
pada bahasa saja, tetapi tergantung pada dua individu yang saling berinteraksi dan
juga bahasa yang digunakan. Gadamer membawa fenomenologi dan hermenetik
dalam satu proses fenomenologi atau pemahaman melalui pengalaman dan
hermentika atau interpretasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Gadamer
menghabiskan banyak waktu dalam membicarakan pertanyaan, metode apa yang
tepat untuk melakukan pemaknaan (penafsiran) terhadap teks, dan bagimana
menerapkan pemaknaan. Hal ini dapat dijumpai pada isi bukunya yang berjudul
Truth and Method..
Dapat disimpulkan, hermeneutika Gadamer berada pada dua wilayah
kajian yaitu filsafat dan praktis (ontologis) hermeneutika. Berikut ini diuraikan
bagan khusus tentang hermeneutika Gadamer yang peneliti gunakan sebagai
rujukan utama dalam kajian teoritiknya.
Konteksi Historikalitas/Prasangka
Penafsir Teks (headline) Maksud Pengarang Linguistikalitas Hermeneutik
Bagan 1.2 Bagan Hermeneutika
22
Merujuk pada Buku Gadamer yang berjudul Truth and Metodh,
hermeneutik Gadamer lebih bersifat ontologis ketimbangan epsitemologis.
Gadamer mengawali dengan analisa hermeneutis pengalaman estetis. Analisis
tersebut mendasari analisis hakikat pemahaman hermeneutik. Baginya,
pemahaman selalu terikat dengan aspek historisitasnya dan tidak melakukan usaha
pemahaman dari kesadaran kosong. Aspek kesejarahan dan unsur-unsur subjektik
penafsir menjadi prasyarat usaha pemahaman.
Dalam penjelasan makna hermeneutiknya berikut adalah proporsisi yang
peneliti gunakan dalam menguraikan makna yang terembunyi di balik headline
yakni sebagai berikut ini:
1. Makna Historikalitas.
Proposisi historikalitas adalah penyadaran bagi subjek (interpretator teks)
dalam melakukan analisis (penafsiran teks) diharuskan untuk tidak terlepas
dari kajian pengalaman- pengalaman (historis) yang berkatian dengan teks.
Pemahaman Gadamer tentang sejarah tidak seperti pemahaman orang pada
umunya, yang menganggap sejarah adalah bagian dari teks ”mati” (teks mati
adalah pemahan positivistik yang beranggapan sejarah itu mati dan tidak
berkontribusi bagi masa kini atau masa depan). Bagi Gadamer, sejarah adalah
objek dinamis yang perlu dikaji oleh subjek dalam menentukan objektivitas
teks (objek).
Proposisi ini berangkat dari pemikiran Heidegger yang beranggapan dalam
penafsiran sejarah, diusahakan subjek melakukan visualisasi dan imajinasi
pemikiran. Gadamer mendefinisikan penjelasan tersebut adalah kerja
prasangka subjek. Subjek dalam mengalisis pengalaman diberi kesempatan
untuk melakukan prasangka atas sejarah teks. Menurut Heidegger, dalam
penafsiran sejarah, subjek tidak berangkat dengan otak kosong, subjek harus
berangkat dari prasangka, ide dan gagasan. Tanpa hal tersebut subjek tidak
bisa menggiring sejarah pada posisi dinamisasi. Karena pada intinya, kerja
hermeneutika adalah kerja dialogisasi. Oleh karena itu, sejarah harus dibentuk
sebagai objek dinamisasi melalui prasangka subjek. Prasangka subjek adalah
23
pertanyaan awal atas objek. Ingat, pertanyaan atau prasangka hanyalah proses
bukan akhir.
2. Makna Dialogis Dialektis
Propoisi ini menjadi hal yang penting dalam hermeneutika Gadamer dengan
alasan, pertama, melalui dialogisasi subjek dan objek mampu menghindari
pemahaman dogmatisasi atas kebenaran (menurut Gadamer,d ogmatisasi
adalah istilah haram dimliki oleh hermeneutikasian), kedua, dialog adalah
prasyarat utama dalam membahasakan teks, ketiga, dialog adalah prasayat
utama dalam menemukan titik tengah atas multitafsiran teks.
3. Makna Linguistikalitas
Bagi Gadamer, dalam hermeneutika bahasa menjadi kata kunci utama setelah
dialogisasi. Bahasa dalam pandangan Gadamer tidak seperti yang dipahami
oleh orang pada umumnya. Menurut Gadamer, bahasa adalah individu dan
struktur sosial (tradisi, budaya, norma, dan nilai). Bahasa berperan penting
bagi pembentukan perilaku subjek maupun teks. Oleh karena itu memahami
bahasa adalah memahami teks.
4. Makna Kebenaran (true conditions)
Sub makna dan kebenaran ini adalah sub penting bagi kita dalam memahami
hermeunitika Gadamer. Bagi Gadamer manusia tidak akan bisa menemukan
kebenaran sejati (kebenaran aksiomatik), sekalipun menggunakan filsafat
hermeunitika seperti yang diuraikan sebelumnya. Inilah inti dari ajaran
hermeunitika Gadamer. Pertanyaanya, jika tidak dapat menemukan kebenaran
lalu apa tujuan hermeunitika? Kenapa Gadamer mengatakan tidak ada
kebenaran sejati. Berikut penjelasan Gadamer.
The furnising of assertions is not an appropriate way of saying what onen means, because the language event of understanding holds together what is said with an infinity of what unsaid in the unity of one meaning, and in this way gives it to be said’ are brought in to language. The words will thereby express a relation ship to the totality of being, and allow it to enter in to language. In contrast to that, anyone who only repeats what has been said will unavoidably and without exception change the sense of what has been said, because precisely in the repestition of the un spoken context of meaning the original utterence disappears.
24
Apa yang ada di dalam pernyataan bukanlah cara yang tepat untuk
mengatakan apa yang dimaksudkan seseorang karena peristiwa pemahaman
bahasa sekaligus memuat apa yang dikatakan ketidakterbatasan dari apa yang tak
terkatakan dalam satu kesatuan dengan ketidakterbatasan dari apa yang tak
terkatakan dalam satu kesatuan makna, sehingga dengan cara demikian
membuatnya dapat dimengerti. Tepatnya dengan cara ini apa yang tak terkatakan
dan apa yang akan dikatakan sama- sama terkandung dalam bahasa. Maka kata-
kata akan mengungkapkan suatu hubungan tertentu dengan totalitas ada dan
membiarkannya masuk ke dalam bahasa itu sendiri. Sebaliknya, setiap orang yang
hanya mengulangi apa yang sudah dikatakan tersebut karena didalam setiap
pengulangan, ungkapan asli mengenai konteks makna yang tidak dibicarakan
menghilang (Agus Darmaji, 1999).
Sudah jelas, bagi Gadamer esensi kebenaran adalah relatif, yaitu
tergantung bagaimana orang menafsirkannya, dan dalam konteks mana teks itu
muncul. Ingat, kebenaran teks adalah kebenaran kontekstualitas bukan
universalisisme seperti kaum positivistik memahaminya. Oleh karena itu,
Gadamer mewajibkan kepada siapun, jika ingin memahami teks maka pahamilah
sejarah munculnya teks itu. Inilah kunci utama Gadamer dalam ilmu
hermeunitika.
Selain itu, kenapa kebenaran sulit dijumpai, yang tidak kalah penting
adalah karena keterbatasan manusia dalam mengusai teks itu. Dalam hal ini bukan
karena si penafsir tidak berusaha untuk memahami teks, tetapi karena teksnya
yang tidak totalitas menyampaikan alasan- alasan atas pesan yang disampaikannya
itu. Di sisilain, menurt Gadamer sesungguhnya si penafsir dan teks dalam proses
dialogis dialektis ada pihak ketiga yang mengatur makna dan bahasa. Pihak ketiga
itu Gadamer menyebutnya ”Roh”. Roh berperan mengatur settingan pikiran
manusia sebagai penafsir dan pembuat teks (pengarang). Sayangnya, Gadamer
tidak menyebutkan secara spesifik, siapa roh itu, dan seberapa besar intervensi roh
terhadap teks dan si penafsir dalam proses dialogis dialektis. Apakah sebagai
pengarah agar berfikir dan berdialektika, atau totalitas dalam mengarahkan teks
dan penafsir. Dalam tulisan ini penulis tidak bisa menyampaikan jawaban atas
25
pertanyaan tersebut. Hemat penulis, roh yang dimaksud oleh Gadamer adalah
tangan yang tidak kelihatan
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, data utama diperoleh dari
peneliti sendiri yang secara langsung pada sebuah data dari objek penelitian.
Penelitian ini dilakukan secara intensif tiap hari dengan menganalisis headline
berita pada surat kabar online/digital Media Indonesia selama bulan Juli 2011.
Data utama penelitian ini adalah berita headline pada halaman surat kabar
online/digital Media Indonesia. Untuk menjaga kurangnya data, maka penentuan
sampel dilakukan dengan menggunakan total sampling. Hal ini dimaksudkan
untuk mentabulasi berita headline secara keseluruhan agar tidak ada berita yang
lepas.
2. Metode Penelitian
Hermeneutika sebagai sebuah kajian teoritisnya, yang pada penelitian ini
menggunakan hermeneutika Gadamer, maka pengaruh pemikiran fenomenologi
ini nantinya cukup kental dalam karya Gadamer yakni Wahrheit un Methode
(1960) atau Truth and Method dan atas “temuan”-nya ini Gadamer dipandang
sebagai tokoh filsafat hermenutika modern yang mengelaborasi penafsiran sebagai
usaha memahami realitas yang hakiki dalam konteks sejarah dan tradisi.6
Oleh karena Gadamer dianggap sebagai “bapak hermeneutika modern”
maka porsi pembahasannya cukup panjang lebar, terlebih lagi mengingat bahwa
hermeneutika Gadamer diadopsi para pakar untuk membangun teori komunikasi
(Deetz, 1976; Palmer, 1999). Dengan demikian, mengelaborasi bagaimana filsafat
hermeneutika berproses dan berdialektika menjadi teori komunikasi sangatlah
menarik dan sangat relevan dengan “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Sekaligus
6 Brice R Wachterhauser dalam Hermeneutic and Modern Philosophy disebutkan juga bahwa Gadamer menegaskan kalau kontemplasi metodikal berlawanan dengan pengalaman dan refleksi. Menurut Gadamer, manusia dapat meraih kebenaran hanya dengan mengerti atau bahkan menguasai pengalamannya. Oleh karena metode hermeneutika mengandalkan olah akal budi rasional dalam upaya memahami realitas/ontologi (menafsirkan teks) dan kontemplasi ini maka hermeneutika oleh Habermas disebut sebagai metode kritis (Wachterhauser, 1986: 243-276) dan oleh Ricoeur disebut sebagai “kritik atas ideologi” (Wachterhauser, 1986: 400).
26
melalui usaha elaborasi ini dipaparkan bagaimana proses terjadinya konsep dan
teori baru dalam ilmu komunikasi dalam hal ini hermeneutika dan bagaimana para
tokoh membangun teori ini secara induktif-logis.
Pengalaman, menurut Gadamer, tidaklah tetap, melainkan berubah-ubah;
dan pengalaman tersebut selalu menunjukkan perspektif waktu. Gadamer
menunjukkan pada kita bahwa kita tidak pernah dapat melangkah keluar dari
tradisi. Oleh karena itu, yang dapat kita lakukan adalah: berusaha atau mencoba
untuk memahami tradisi tadi. Konsep atau proposisi ini kemudian mengelaborasi
atau menguraikan gagasan tentang lingkaran hermeneutika. Bagi Gadamer,
sejarah bukanlah milik kita, tetapi kita adalah milik sejarah. Lama sebelum kita
bisa memahami diri kita (autos hepa), kita memahami siapa diri kita dalam cara
yang terbukti dengan sendirinya, yakni kita ada dalam keluarga, masyarakat,
negara, dan tempat tinggal kita (tradisi). Inilah yang disebut dengan “realitas
historis”. Konsep yang penting dalam pandangan Gadamer ialah bahwa Gadamer
melihat realitas sebagai sebuah teks.
Gadamer juga meyakini bahwa jika kita mengerti teks maka penasfiran
adalah metode atau jalan untuk mencapai pengertian yang ada di balik teks
tersebut. Dengan demikian, Filsafat Hermeneutik adalah kritis, bahkan cenderung
skeptis (salah satu sikap ilmuwan untuk tidak mudah percaya begitu saja). Ketika
kita menafsirkan teks, maka ada jarak waktu (dialektis). Teks mempengaruhi saya.
Terjadi proses dialektis antara teks dan saya, oleh karena itu, ada horizon. Teks
juga dimengerti dalam dialektis perpaduan horizon.
Jadi, tahap ini aktual tidak hanya pada zaman dulu. Di dalam upaya
memahami realitas sebagai teks: ada vorurteil (prejudice), praduga. Vorurteil ini
dipakai untuk membaca teks. Inilah syarat supaya pemahaman akan sebuah teks
terjadi.
Dengan demikian, menurut Gadamer, pengalaman individu selalu
hermeneutik, selalu berkembang dalam proses penafsiran. Karena itu, pengalaman
negatif dalam teks harus dipelajari dengan baik. Sejarah yang negatif, misalnya
Gerakan 30-S/PKI dan Tragedi Mei 1998, karena itu, menjadi penting. Mengapa?
Karena peristiwa tersebut merupakan “peristiwa sosial” yang dalam bahsa Ricour
27
disebut sebagai “symbol of evil” dan hanya dapat dipahami secara utuh-
menyeluruh dalam konteks sejarah. Sebagai contoh, teks) lagu “Genjer-Genjer”,
hanya dapat dimengerti secara purna apabila dikaitkan dengan peristiwa sosial
jelang G30S/PKI tahun 1965. Para saksi sejarah yang hari ini masih hidup lagu
tersebut adalah sebuah “teks” yang mengandung realitas ontologis yang apabila
ditafsirkan dalam konteks sejarah pada waktu itu akan menyingkap banyak hal.
Sebaliknya, bagi generasi sekarang lagu yang sama sebatas teks (tubuh) saja.
Demikian halnya dengan teks atau tulisan “Milik Pribumi” yang ditulis di
tembok, depan toko, ruko, atau barang-barang tertentu pada Kerusuhan Mei 1998.
Teks tersebut untuk saat ini “tidak berbunyi” apabila tidak dikaitkan dengan
sejarah atau peristiwa sosial pada saat itu. Amuk massa sebagai pelampiasan
kekecewaan dan dendam yang terpendam pada Pemerintahan Orde Baru
dilampiaskan pada kalangan nonpri, sehingga apa pun yang menyimbolkan nonpri
halal untuk dirusak dan dijarah; namun “milik pribumi” haram hukumnya untuk
diganggu, apalagi dirusak. Makna terdalam atau sensus plenior dari teks “Milik
Pribumi” hanya dapat dimengerti dalam konteks sejarah dan pengalaman kolektif
pada saat itu dan pendekatan hermeneutika dapat menjelaskan makna di balik
sebuah teks.
Dalam konteks itulah Gadamer berpandangan bahwa hermeneutika adalah
metode yang terus berproses dalam lingkaran historis sebagai usaha rasional untuk
memahami ontologis. Teks adalah realitas yang tampak, teks yang tampak
tersebut haruslah ditafsirkan dalam tiga dimensi:
1. psikologis,
2. struktur, dan
3. historis untuk menemukan kebenaran (realitas) yang sejati yang dalam
bahasa Thomas Aquinas disebut sebagai “anagogical level”, yaitu upaya
menemukan sensus plenior dari sesuatu.
Jadi, what is truth? Teks adalah petunjuk (clue) to something. Aletheia
(kebenaran) menampakkan diri dalam seluruh dialektis (interaksi antara aku-teks:
aku sebagai si penafsir dan teks sebagai objek yang ditafsir) dan agar sampai pada
pemahaman yang purna (sensus plenior) mengenai hakikat segala sesuatu yang
28
ada (being) maka interaksi aku-teks ini berlangsung dalam lingkaran
hermeneutika.
Bagan 1.3: Tampilan struktur spiral turun yang sama dengan tabel “siklus realistis hermeneutika”.
Sumber: http://www.friesian.com/hermenut.htm
Selain dengan kajian heremeneutika Gadamer, dalam thesis ini juga dilakukan
pendekatan dengan menggunakan analisis isi. Strategi yang lazim digunakan
adalah dengan membandingkan headline pada tiap kali muatannya pada surat
kabar online atau digital. Pada umumnya kajian ini membatasi cakupan pada teks
headline yang diteliti.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah analisis hermeneutika
Gadamer, yang terdiri dari beberapa tingkatan proporsi yakni historikalitas,
prasangka historikalitas, dialogisasi hermeneutika dan linguistikalitas
hermeneutik.
Berikut ini adalah tahapan analisis hermeneutika yang peneliti lakukan, antara
lain:
1. Mendefinikan objek analisis dan penelitian.
Objek analisis haruslah sesuatu yang memungkinkan kita untuk menguji
hipotesis sementara. Objek analisis untuk penelitian ini adalah pesan di
balik headline berita tentang Presiden SBY di surat kabar online/digital
Media Indonesia.
2. Mengumpulkan teks headline.
Hal ini dilakukan untuk mencari headline yang sesuai dengan objek analisis
yang terbit di media online/digital Media Indonesia selama bulan Juli 2011.
3. Mendeskripsikan teks headline.
29
Tahap awal dari analisis ini adalah menerangkan isi teks dengan cermat dan
sesuai proporsi analisis yang dipakai juga mendefinisikan semua unsur
yang terdapat pada teks headline tersebut.
4. Menafsirkan teks headline.
Melalui analisis hermeneutika Gadamer dan dengan beberapa proporsi
penafsirannya, maka akan diperoleh sebuah pesan dan mendiskusikan
makna yang masih diperoleh secara kolektif tersebut.
5. Membuat generalisasi.
Dari penafsiran yang membawa hasil makna dan pesan yang kolektif, maka
generalisasi adalah salah satu cara untuk memperoleh keseluruhan dari
pesan dan makna dari realitas yang diangkat dalam penelitian ini.
6. Membuat kesimpulan.
Melalui bagian ini akan dibandingkan temuan analisis dengan hipotesis
yang kita pakai diawal penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini tentunya
berpatokan pada kebutuhan analisa. Adapun metode pengumpulan data yang
dilakukan adalah:
2. Penelitian pustaka (library research) atau studi literatur. Dengan jalan
mempelajari dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan
permasalahan yang dikaji.
3. Pengamatan (observasi), dengan mengamati secara langsung kondisi yang
memiliki relevansi terhadap permasalahan yang dikaji.
4. Dokumentasi, pengumpulan data-data dari surat kabar online/digital
Media Indonesia.
Teknik pemilihan headline pada surat kabar online atau digital Media
Indonesia, peneliti cenderung memilih teknik cuplikan yang bersifat selektif,
menggunakan pertimbangan-pertimbangan terkait data penelitian berdasarkan
konsep teoritis yang digunakan, keinginatahuan peneliti, karakteristik empiris dan
lain-lainya.
30
Cuplikan ini dikenal dengan istilah internal sampling karena data yang
diambil mewakili dari informasinya dengan kelengkapan dan kedalamannya
(Sutopo, 2002: 55). Jadi sampel headline dipilih berdasarkan tujuan yang hendak
dicapai, dalam hal ini ketercukupan informasi terkait dengan ciri headline pada
media online pada berita.
5. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada headline
berita surat kabar online/digital Media Indonesia yang memuat berita tentang
Presiden SBY. Penggunaan analisis hermeneutika ini adalah berusaha bagaimana
membongkar ideologi atau pesan komunikasi di balik headline pemberitaan
Presiden SBY. Penelitian ini bisa juga disebut penelitian interpretatif. Karena data
hasil yang dikumpulkan merupakan interpretasi terhadap data dari objek
penelitian.
H. Manfaat Penelitian
Akhirnya harapan dari rencana penelitian ini secara deskriptif memberikan
beberapa poin penting dalam mengungkap sisi analisisnya terhadap methodologis
dan sosial, antara lain adalah sebagai berikut:
Teoritis/Akademis, dengan menggunakan analisis wacana kritis, terlebih
lagi dengan mengikuti paradigma kritikal seperti yang ada dalam rencana
penelitian ini, benar-benar ditemukan realitas yang tersembunyi atau realitas maya
(virtual reality) di balik (sebuah) teks (discourse) berupa “fakta sosial” pembuat
wacana berupa bermacam kepentingan ideologis (politis), ekonomis (pasar),
idealis, dan politik praktis. Hal ini mengajarkan bahwa teks adalah hasil bentukan
secara sadar atas pertimbangan-pertimbangan atau motif-motif ideologis,
ekonomis, idealisme dan politik praktis.
Secara teoritis hal ini memberi implikasi bahwa dalam memahami dan
mempelajari isi media dari aspek teknik belaka jelas tidak memadai lagi.
Penjelasan tentang isi media harus menyentuh “fakta-fakta sosial” yang potensial
masuk kedalam teks tersebut, baik itu aspek ideologis, politis, ataupun ekonomis.
Temuan ini juga memberi implikasi pada pendidikan dan pelatihan jurnalistik
31
khususnya dan wacana umumnya. Bahwasanya pembelajaran hermeneutika
(penafsiran) dengan penekanan pada aspek teknis saja sebagaimana telah lazim
dilakukan, sudah harus disempurnakan dengan strategi pengemasan pesan secara
komprehensif yang memperhitungkan sisi pembaca serta respon publik yang akan
muncul. Sehingga muncullah istilah “kesadaran berwacana” agar menyadari
dengan baik atas karya yang dihasilkannya.
Metodologis, untuk dapat mengungkapkan “fakta sosial” di balik teks
dengan mengikuti semangat paradigma hermeneutika, ternyata diperlukan
penggunaan methodologi yang berganda (multi-level analisis). Secara
methodologis, tahapan dalam penelitian ini bisa diterapkan untuk menemukan
fakta sosial di balik berbagai macam peristiwa seperti periklanan, hubungan
masyarakat, retorika, komunikasi kelompok maupun organisasi.
Sosial, hasil penelitian ini menandakan bahwa media massa kita belum
turut serta secara aktif membangun kualitas fakta kehidupan; tetapi masih lebih
suka menceritakan struktur luar (kulit ari) dari kejadian yang dilakukan oleh atau
yang menimpa pada sebuah media.
I. Limitasi Penelitian
Penelitian yang berjudul “Makna di Balik Headline Berita” ini merupakan
penelitian kualitatif eksploratif. Peneliti menggunakan metode analisis
Hermeunitika Gadamer. Kemudian peneliti akan mengekplorasi dan menganalisis
surat kabar online Media Indonesia yang didapati headline tentang Presiden SBY
pada kurun waktu 1 bulan yakni selama bulan Juli 2011.
Penelitian ini dibuat untuk memenuhi salah satu kebutuhan penelitian
hermeneutika pada bidang ilmu komunikasi. Apabila dalam proses pengkajiannya
didapati mendalami bidang kajian ilmu lain (non komunikasi) baik secara
metodologis dan teori yang dipakai, maka semuanya itu dikembalikan pada tujuan
dari interaksi sebuah ilmu. Sebagai penelitian kualitatif eksploratif, maka
penelitian tidak bisa menghindari perspektif dari beberapa ahli yang tertarik pada
kajian komunikasi yang lain, sehingga definisi dan pengertian komunikasi
menjadi semakin banyak dan beragam. Masing-masing mempunyai penekanan
32
arti, cakupan, konteks yang berbeda satu sama lain, tetapi pada dasarnya saling
melengkapi dan menyempurnakan makna komunikasi sejalan dengan
perkembangan ilmu komunikasi.
J. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, limitasi penelitian, serta
sistematika penulisan. Dalam bab ini peneliti berusaha merumuskan alasan
maupun tujuan dari fenomena yang ingin dibuktikan melalui penelitian ini.
Bab II Kaidah Redaksi Media Indonesia Online
Dalam bab ini dibahas mengenai gambaran umum sasaran penelitian,
yakni Media Indonesia online, yang meliputi sejarah media, idealism, praktik
pemberitaan sampai pada headline berita tentang Presiden SBY.
Bab III Relevansi Analisis Hermeneutika Gadamer
Dalam bab ini diuraikan teori dan analisis yang akan digunakan antara lain
tentang teori hermeneutika Gadamer, analisis dan kerangka piker hermeneutika,
serta relevansi heremneutika pada kajian teks, juga beberapa literatur teori
penelitian komunikasi lainnya yang nanti akan digunakan peneliti sebagai sebuah
konsep dan kerangka pemikiran.
Bab IV Analisa Dan Kajian Penelitian
Dalam bab ini akan menyajikan gambaran mengenai headline surat kabar
online Media Indonesia edisi bulan Juli 2011 yang meletakkan nama Presiden
SBY sebagai sumber headline-nya. Selanjutnya dalam bab ini terdapat analisa dan
kajian berdasarkan data-data dan temuan-temuan yang menunjang untuk
mencapai sasaran dan tujuan penelitian, berikut implikasinya. Kemudian akan
diuraikan makna di balik headline berita tentang Presiden SBY di surat kabar
online Media Indonesia.
Bab V Kesimpulan
33
Bab yang terakhir ini berisikan mengenai kesimpulan hasil pembahasan
dan saran-saran yang diberikan pada penelitian ini.
34