BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai...

47
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Media massa elektronik dan media massa cetak sepertinya masih mempunyai pelanggan setianya bagi masyarakat di Indonesia. Televisi yang merupakan salah satu media massa elektronik dirasa sudah sangat dekat dengan masyarakat. Keberadaanya kini sudah menjamah ke berbagai lapisan masyarakat, dari yang hanya memiliki satu buah televisi, kini satu keluarga dalam segala tingkatan sosial mungkin bahkan memiliki televisi dua atau lebih. Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap televisi pun masih sangat tinggi keberadaannya. Menurut data Nielsen pada Mei 2014, televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul oleh Internet (33%), Radio (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan Majalah (5%). (Http://Www.Nielsen.Com/, diakses Pada Rabu, 29 Oktober 2014 Pukul 23.27 WIB). Menonton televisi pun kini bukan sekedar hanya menjadi aktivitas biasa, bahkan sepertinya sudah menjadi rutinitas sehari-hari masyarakat Indonesia. Saat-saat menonton televisi kemudian dikemas sebagai bagian koheren dari jadwal aktivitas sehari-hari, menjadi bagian dari agenda harian (Triwardani, 2011: 206). Program tayangan televisi memiliki audiens yang sangat beragam, sehingga para pekerja televisi pun berlomba-lomba untuk membuat dan 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Media massa elektronik dan media massa cetak sepertinya masih

mempunyai pelanggan setianya bagi masyarakat di Indonesia. Televisi yang

merupakan salah satu media massa elektronik dirasa sudah sangat dekat

dengan masyarakat. Keberadaanya kini sudah menjamah ke berbagai lapisan

masyarakat, dari yang hanya memiliki satu buah televisi, kini satu keluarga

dalam segala tingkatan sosial mungkin bahkan memiliki televisi dua atau

lebih.

Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap televisi pun masih sangat

tinggi keberadaannya. Menurut data Nielsen pada Mei 2014, televisi masih

menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul

oleh Internet (33%), Radio (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan

Majalah (5%). (Http://Www.Nielsen.Com/, diakses Pada Rabu, 29 Oktober

2014 Pukul 23.27 WIB). Menonton televisi pun kini bukan sekedar hanya

menjadi aktivitas biasa, bahkan sepertinya sudah menjadi rutinitas sehari-hari

masyarakat Indonesia. Saat-saat menonton televisi kemudian dikemas sebagai

bagian koheren dari jadwal aktivitas sehari-hari, menjadi bagian dari agenda

harian (Triwardani, 2011: 206).

Program tayangan televisi memiliki audiens yang sangat beragam,

sehingga para pekerja televisi pun berlomba-lomba untuk membuat dan

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

2

.menayangkan tayangan yang beragam pula. Efek yang ditimbulkan oleh

terpaan televisi pun sangat besar dan beragam apalagi untuk usia anak-anak

dan remaja, dari tindak kekerasan, pergaulan bebas, hingga kelonggaran nilai

dan norma. Problem ini tentu mengkhawatirkan karena secara sadar televisi

menjadikan anak- anak dan pelajar adalah salah satu sasaran pasar yang

produktif untuk menyajikan program siaran melalui tontonan yang saat ini

lebih besar kurang memperhatikan bagaimana cara membentuk sikap yang

sarat dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Unsur bisnis dan menjadi lebih

berkuasa ketimbang keprihatinan terhadap anak bangsa yang akan jadi korban.

Pangsa pasar produk anak-anak memang sangat besar, sehingga merupakan

potensi yang sangat menjanjikan bagi semua produsen barang atau jasa untuk

menanamkan citra di benak anak-anak ini (Suryadi, 2013: 980).

Empat fungsi yang dapat kita peroleh dari televisi, antara lain fungsi

informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan. Akan tetapi, dapat dilihat

bahwa televisi belum menerapkan empat fungsi tersebut secara proporsional,

masing-masing fungsi masih memiliki tarafnya masing-masing. Fungsi yang

semula diharapkan menjadi prioritas justru kurang mendapat perhatian.

Sebaliknya fungsi yang kurang penting dan tidak mendapat prioritas nampak

menonjol. Keadaan seperti ini terjadi pada media televisi yang lebih

menonjolkan fungsi hiburan (Mursito BM, 2006: 19).

Pertelevisian kita sedang dibanjiri dengan adanya tayangan hiburan

dengan berbagai format pengemasannya. Reality show, acara musik, pencarian

bakat, dan masih banyak yang lainnya, serta masing-masing stasiun televisi

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

3

memiliki format program yang berbeda. Menurut Nurudin (1997: 5),

masyarakat kita masih masih terpola dengan budaya hiburan (menonton).

Akibatnya, segala sesuatu yang berbau hiburan selalu disukai masyarakat. Hal

ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk

memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan “barang

hiburan” sebaik-baiknya dan sepuas-puasnya untuk dinikmati pemirsa.

Salah satu program hiburan yang memiliki banyak penggemar adalah

sinetron. Bahkan, sinetron semakin mendominasi hampir semua stasiun

televisi di Indonesia. Banyak penggemar sinetron dari berbagai kalangan usia,

anak-anak, remaja, maupun dewasa. Apalagi sinetron yang bertemakan remaja

seringkali menjadi tayangan yang memiliki banyak audiens, karena ceritanya

yang dianggap menceritakan seperti kehidupan para audiens dan pemainnya

yang tampan serta cantik. Menurut riset audiens terhadap penonton sinetron

remaja dalam artikel Jurnal Mimbar oleh Astuti (2010), remaja senang

menonton sinetron, dan tidak ada batasan sinetron macam apa yang ditonton.

Mereka senang menonton sinetron apa saja, termasuk sinetron dewasa dan

anak-anak, asal seru (Astuti, 2010: 28).

Menjamurnya paket sinetron di televisi, bukan hal luar biasa.

Kehadiran sinetron merupakan satu bentuk aktualitas komunikasi dan interaksi

manusia yang diolah berdasarkan alur cerita, untuk mengangkat permasalahan

hidup manusia sehari-hari (Kuswandi, 1996: 131). Dengan begitu sinetron

banyak disukai oleh audiens televisi dan dapat dikatakan sebagai komoditas

yang sangat menggiurkan bagi media televisi.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

4

Disukainya program sinetron di Indonesia membuat para stasiun

televisi berkejar-kejaran dalam menampilkan sinetron yang beragam alur

ceritanya. Sampai-sampai ideologi yang harus dimiliki oleh stasiun televisi

harus dikorbankan demi terciptanya rating yang tinggi dan pendapatan bagi

keberlangsungan perusahaannya. Banyak cerita-cerita sinetron yang tidak

logis dalam alur cerita maupun permasalahannya. Terjadinya pelecehan logika

dalam cerita sinetron, disebabkan unsur kepentingan pengiklanan yang masuk,

membiayai pembuatan paket sinetron tersebut (Kuswandi, 1996: 134).

Selain itu, menurut Eka Nada Shofa dalam Anomi Media Massa,

hampir semua sinetron-sinetron remaja yang ada sekarang mengekploitasi

kekerasan, seksualitas dan kadang mengabaikan moralitas. Ini dapat disinyalir

miskinnya kreativitas para pembuat sinetron menjadi penyebabnya. Terlepas

dari alasan mereka mencari rating yang ujung-ujungnya, lagi-lagi kepentingan

bisnis (Alkhajar, 2009: 19).

Dalam potret sinetron remaja di televisi, variasi isi tayangan sinetron

yang menonjol diantara isi yang lain yaitu adanya berbagai bentuk kekerasan

yang disajikan secara vulgar (Atmodjo dkk, 2009: 22). Kekerasan fisik,

kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan verbal (dengan kata-

kata) terkandung dalam tayangan sinetron.

Sinetron atau program sejenisnya merupakan elemen penting dalam

keseluruhan politik intern sebuah perusahaan televisi. Ia adalah sebuah

produk yang rentable, yang dapat membawa keuntungan besar. Pada saat

yang sama ia diminati banyak orang serta mampu mengikat perhatian pemirsa

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

5

untuk waktu yang relatif lama (Batmomolin, Lukas dan Hermawan, 2003:

89).

Para audiens sinetron di sisi lain yang dominan remaja, banyak yang

menganggap bahwa cerita yang terdapat di sinetron merupakan realitas yang

terdapat di kehidupan nyata. Cerita yang terjadi di sinetron dianggap memang

ada di luar sana. Sementara itu, diketahui bahwa realitas yang ada dalam

sinetron fiktif atau hanyalah diada-ada. Menurut Syahputra (2011: 30- 31)

dominan masyarakat masih bertindak sebagai penikmat (viewer), bukan

pengamat (watcher) tayangan televisi. Sebagai viewer, penonton bersifat pasif,

bersikap menerima saja isi tayangan televisi tanpa perspektif kritis. Akibatnya

masyarakat semakin sulit membedakan mana yang asli dan palsu dalam

televisi. Bahkan, dapat saja masyarakat sudah tidak perduli lagi apakah

tayangan televisi tersebut asli atau palsu, fakta atau dusta, ilusi atau fantasi.

Mirisnya berkenaan dengan realitas, riset terhadap remaja mendapati bahwa

pelajar yaitu SMP ternyata lebih meyakini bahwa sinetron lebih banyak

menjalankan fungsi sebagai a mirror of reality—cermin kehidupan nyata

(Astuti, 2010: 25). Padahal, cerita dalam sinetron belum tentu seperti dalam

kehidupan yang nyata (riil) dan itu hanya realitas semu (hyperreality) dan

remaja kita terjebak dalam situasi tersebut. Para remaja yang notabene berada

dalam situasi psikologis yang kritis dalam dirinya terkait pencarian jati diri

mendapatkan tayangan kehidupan remaja dalam sinetron. Hyperreality

menyebabkan remaja terperangkap dalam sesuatu yang tidak nyata (semu) dan

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

6

menganggap kondisi demikianlah yang sebenarnya ada dalam dunia remaja

(Alkhajar, 2007: 20).

Sinetron yang banyak dikagumi oleh para remaja salah satunya

Ganteng Ganteng Serigala. Cerita dari sinetron yang ditayangkan sejak 21

April 2014 ini ini notabene banyak dianggap sebagai saduran dari cerita film

Twilight yang sudah merambah Box Office Movie dunia. Cerita dari Sinetron

Ganteng- Ganteng Serigala ini pun semakin berkembang dengan menceritakan

tentang kehidupan remaja mulai dari kegiatan persekolahan, perkuliahan,

asmara, dan kehidupan-sehari-hari. Kisah dari sinetron GGS ini secara umum

adalah perebutan bangsa vampir dan bangsa serigala dalam memburu darah

suci yang terdapat pada diri salah satu manusia biasa. Maka, cerita dalam

sinetron ini pastinya dibumbui oleh kisah-kisah konflik yang timbul akibat

dari perburuan itu. Selain itu dari segi asmara atau kisah percintaan para

tokohnya menjadi suatu tambahan cerita yang menjadi pelengkap .

Sinetron Ganteng Ganteng Serigala ini ternyata menjadi polemik. Pada

Bulan Mei 2014, KPI mengeluarkan siaran pers mengenai 10 sinetron & FTV

bermasalah dan tidak layak ditonton karena pelanggaran terhadap UU

Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran

(P3SPS).

FTV dan sinetron yang bermasalah dan tidak layak tonton adalah

sebagai berikut :

Sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda (RCTI), Sinetron Pashmina Aisha (RCTI), Sinetron ABG Jadi Manten (SCTV), Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala (SCTV), Sinetron Diam-Diam Suka (SCTV), Sinema Indonesia (ANTV), Sinema Akhir Pekan (ANTV), Sinema

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

7

Pagi (Indosiar), Sinema Utama Keluarga (MNCTV), Bioskop Indonesia Premier (Trans TV) (http://www.kpi.go.id, diakses pada 1 September 2014, Pukul 21.00 WIB).

Selain menjadi salah satu sinetron yang bermasalah dan tidak layak

tonton versi KPI, sinetron GGS ini juga telah mendapatkan sanksi

administratif sebanyak 2 (dua) kali, yakni tertanggal pada 20 Mei 2014 dan

16 Juni 2014 lantaran adanya pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan

Standar Program Siaran (P3 & SPS). Selanjutnya, pada tayangan tanggal 16

Agustus 2014 masih ditemukan pelanggaran yang sama untuk kedua kalinya,

maka dari itu pelanggaran yang timbul selanjutnya mengakibatkan sinetron ini

harus dihentikan sementara oleh KPI selama 3 (tiga) hari berturut-turut yaitu

mulai tanggal 21,22, dan 23 Oktober 2014 (Http://www.kpi.go.id, diakses

pada Senin, 1 September 2014 Pkl 21.00 WIB).

KPI Pusat juga menilai bahwa inti cerita program sinetron GGS tidak

mengandung nilai-nilai pendidikan, ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Selain

itu tampilan yang muncul di sinetron ini tidak sesuai dengan perkembangan

psikologis remaja serta bertentangan dengan etika yang ada di lingkungan

pendidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal

37 ayat (1) dan (2) SPS (Http://www.kpi.go.id, diakses pada Senin, 1

September 2014 Pkl 21.00 WIB)

Pasal 6 terkandung dalam bab IV SPS tentang penghormatan terhadap

nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan dan ayat 2 huruf b

berbunyi seperti berikut: (2) Program siaran dilarang merendahkan dan/atau

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

8

melecehkan, (b). Individu atau kelompok karena perbedaan suku, agama, ras,

antargolongan, usia, budaya, dan/atau kehidupan sosial ekonomi.

Sedangkan pasal 37 SPS (Standar Program Siaran) merupakan salah

satu bab yang mengatur mengenai penggolongan program siaran yaitu

klasifikasi R: Siaran untuk Remaja, yakni khalayak berusia 13 – 17 tahun;.

Dimana isi dari pasal 37 ayat (1) dan (2) SPS itu sendiri berbunyi,

(1) Program siaran klasifikasi R mengandung muatan, gaya penceritaan, dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja.

(2) Program siaran klasifikasi R berisikan nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial dan budaya, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik, dan penumbuhan rasa ingin tahu remaja tentang lingkungan sekitar. (Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) tahun 2012).

Gambar 1.1 Adegan Pelukan Siswa dan Siswi Berseragam (Http://www.youtube.com. Diakses pada Hari Rabu, 19 November 2014, Pukul 13.19 WIB. )

Gambar 1.2 Adegan Perkelahian (Http://www.youtube.com. Diakses pada Hari Rabu, 19 November 2014, Pukul 13.19 WIB. )

Selain KPI, ternyata masyarakat juga menyayangkan dengan sinetron

Ganteng-Ganteng Serigala ini. Indriyanti dari Jawa Barat, menuliskan

keluhannya terhadap Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala di pojok aduan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

9

website KPI seperti berikut, “Sinetron GGS tidak mendidik, terlebih banyak

yang nonton anak-anak sekolah, terlalu banyak soal tentang cintanya dan

adegan-adegannya tidak baik buat perkembangan psikologi mereka, apalagi

ditayangkan di jam vital” (Http://www.kpi.go.id, diakses pada Pada Jumat, 5

September 2014 Pkl 21.45 Wib.

Ada pula yang menyoroti adegan dimana saat pemeran sinetron GGS

Sissy (diperankan oleh Prilly Latuconsina) putus dengan Digo (Aliando

Syarief), Sissy terlalu vulgar tidak mau putus dengan Diego. “Saya fikir ini

kan anak SMA, ini terlalu berlebihan. Dan adegan Sisi dan Diego episode

yang lalu juga sangat vulgar. Ini sinetron yang banyak ditonton anak muda

(SD-SMA). Dampaknya akan ditiru oleh mereka,” ungkap salah satu penulis

pojok aduan di Website KPI yang tidak menyebutkan namanya.

Dampak yang ditimbulkan dari menonton Sinetron Ganteng- Ganteng

Serigala ini ternyata didapati terjadi pada anak- anak di Desa Cangkir

Kecamatan Driyorejo, Gresik. Anak laki-laki memotong rambut agar terlihat

seperti Digo dan Tristan sedangkan anak perempuan memanjangkan rambut

agar terlihat seperti Prilly dan Nayla. Selain itu anak juga meminta kepada

orangtua kaos, jaket kacamata, sepatu dan jam tangan seperti yang dipakai

oleh idolanya. Memanggil orangtua dengan sebutan Papsky dan Mamsky.

(Adwiyanti dan Listyaningsih, 2015: 694).

Jika dilihat dari kasus yang terjadi di atas, kemampuan audiens televisi

dalam menyaring apa yang ditontonnya sangat kurang. Penonton sangat

mudah dalam menirukan dan menyerap pesan secara langsung dari apa yang

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

10

ditayangkan di televisi. Apalagi, ternyata penonton Sinetron Ganteng-

Ganteng Serigala masih anak-anak maupun remaja. Mereka senantiasa masih

belum dapat memilih dan memilah yang mana baik maupun buruk dari apa

yang mereka lihat.

Sehubungan dengan tayangan sinetron yang semakin merajalela dan

berdampak besar bagi remaja, kemampuan literasi media atau melek media

sangatlah penting dimiliki untuk menjembatani dampak langsung saat

menonton tayangan televisi. Pemilihan sinetron dalam penelitian ini

disebabkan karena makin beragamnya sinetron di Indonesia yang terdapat

adegan memperlihatkan tindak asusila, kekerasan, dan tindak negatif lainnya,

tetapi masih banyak disukai oleh audiens televisi.

Literasi media menurut Devito (2008:40) dalam Arifianto (2013: 3)

didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, mengakses

dan memproduksi pesan komunikasi massa. Literasi media merupakan bentuk

pemberdayaan (empowerment) agar konsumen bisa menggunakan media lebih

cerdas, sehat dan aman. Literasi media bagi remaja dalam mengonsumsi isi

media massa sangatlah penting untuk menjadi penonton remaja yang cerdas.

Penelitian mengenai literasi media yang dimiliki remaja menarik untuk diteliti

karena usia mereka yang masih rentan terpengaruh oleh terpaan media televisi

sedangkan mereka merupakan salah satu khalayak televisi yang diharuskan

mempunyai kemampuan untuk menentukan baik buruknya apa yang mereka

tonton. Secara eksternal literasi media membantu orang untuk

mengembangkan pengetahuan dan pemahamannya terhadap konten media,

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

11

sehingga ia dapat mengendalikan pengaruh media dalam kehidupannya

(Arifianto, 2013: 15).

Menilik pada uraian di atas, selanjutnya peneliti menarik untuk

meneliti remaja sebagai penonton Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala.

Pemilihan sinetron GGS dan remaja dalam penelitian ini, karena GGS

merupakan sinetron bertemakan remaja sehingga target audiens pun remaja

dan penggemar dari sinetron GGS ini mayoritasnya pun remaja. Peneliti ingin

melihat sejauh manakah daya kritis remaja menempatkan dirinya sebagai

penonton program televisi khususnya sinetron Sinetron Ganteng-Ganteng

Serigala (GGS). Menilik dari pertanyaan tersebut, peneliti memilih judul Studi

Deskriptif Kualitatif Literasi Media Dalam Menonton Tayangan Sinetron

Ganteng-Ganteng Serigala Di SCTV Oleh Remaja Heavy Viewer Di SMA

Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar untuk judul penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka

dikemukakan perumusan masalah yaitu, Bagaimana Literasi Media Dalam

Menonton Tayangan Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala Di SCTV Oleh

Remaja Heavy Viewer Di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini didasarkan pada rumusan masalah di atas yaitu,

untuk mengetahui bagaimana Bagaimana Literasi Media Dalam Menonton

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

12

Tayangan Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala Di SCTV Oleh Remaja Heavy

Viewer Di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi wahana memperluas

pengetahuan mengenai Literasi Media.

2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk

penelitian lebih lanjut mengenai Literasi Media

3. Bagi pemerintah maupun LSM, dapat dijadikan sebagai referensi yang

berkaitan dengan usaha peningkatan kegiatan pendidikan Literasi Media

E. Telaah Pustaka

1. Komunikasi Massa

Susanto (1974) dalam Wiryanto (2004: 69) menjelaskan,

komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa Inggris, mass

communication, sebagai kependekan dari mass media communication

(komunikasi media massa). Artinya, komunikasi yang menggunakan

media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass

communications atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu

media massa (mass media) sebagai kependekan dari media of mass

communication.

De Fleur dan Dennis McQuail menerangkan bahwa komunikasi

massa merupakan kegiatan komunikator menyebarkan pesan agar dapat

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

13

tersampaikan kepada komunikan atau khalayak. Komunikasi massa adalah

suatu proses dalam mana komunikator- komunikator menggunakan media

untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus

menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi

khalayak-khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai

cara (Defleur dan Dennis McQuail, 1985 dalam Riswandi: 2009:104).

Josep A. Devito mengutarakan komunikasi massa yakni,

“First, mass communication addressed to masses, to an extremely large science. This does not mean that the audience includes all people or everyone who reads or everyone who watches television; rather it means an audience that is large and generally rather poorly defined. Second, mass communication is communication mediated by audio and/or visual transmitter. Mass communication is perhaps most easily and most logically defined by its forms: television, radio, newspaper, magazines, films, books, and tapes.” (Nurudin, 2007: 11-12)

Penjelasan yang dikemukakan oleh Devito di atas setidaknya sama

dengan apa yang diutarakan oleh Widjaja (2008:19), komunikasi massa

merupakan komunikasi yang ditujukan kepada massa atau komunikasi

yang menggunakan media massa. Massa di sini adalah kumpulan orang-

orang yang hubungan antar sosialnya tidak jelas dan tidak mempunyai

struktur tertentu. Komunikasi sangat efisien karena dapat menjangkau

daerah yang luas dan pendengar yang praktis tak terbatas.

Komunikasi massa tak ubahnya adalah kegiatan dalam

mengomunikasikan pesan kepada khalayak. Komunikasi massa pun

memiliki fungsi, menurut Jay Black dan Frederick C. Whitney (1988)

dalam Nurudin (2007: 64) menjelaskan, fungsi komunikasi massa antara

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

14

lain: (1) to inform (menginformasikan), (2) to entertain (memberi

hiburan), (3) to persuade (membujuk), dan transmission of the culture

(transmisi budaya). Sementara itu fungsi komunikasi massa menurut John

Vivian dalam bukunya The Media of Mass Communication (1991)

disebutkan; (1) providing information, (2) providing entertainment, (3)

helping to persuade, dan (4) contributing to social cohesion (mendorong

kohesi sosial).

Konsep komunikasi massa tidak bisa terlepas dari penggunaan

media massa. Untuk mencapai efektivitas yang tinggi dalam melaksanakan

kegiatan yang menggunakan media massa, harus diketahui karakteristik

dari komunikasi massa tersebut, sebagai berikut:

1) Bersifat simultan, ialah bahwa walaupun komunikan berada pada jarak

satu sama lain terpisah, tetapi media massa mampu membina

keserempakan kontak dengan komunikan dalam penyampaian

pesannya. Audience dapat mendapatkan pesan yang sama, dan dengan

kontak dengan media massa secara bersamaan, walaupun berada di

tempat yang berbeda dan dengan waktu yang berbeda.

2) Bersifat umum, ialah pesan yang disampaikan melalui media massa

ditujukan kepada umum dan di samping itu juga mengenai

kepentingan umum. Segala sesuatunya pesan yang bersifat umum

adalah untuk semua orang dan terbuka.

3) Komunikannya heterogen, sebagai konsekuensi daripada penyebaran

yang teramat luas (jangkauan audiencenya), maka komunikan dari

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

15

komunikasi massa terdiri dari berbagai macam, inilah menjadikan

komunikannya heterogen. Komunikan heterogen adalah audience yang

berada di tempat tinggal yang berbeda, budaya yang beragam, dan

memiliki pekerjaan yang berbeda pula, bahkan juga berbeda

kepentingan.

4) Berlangsung satu arah, ialah bahwa feedback yang terjadi adalah

delayed feedback, berbeda dengan komunikasi tatap muka. Apabila

komunikasi tatap muka pesan yang disampaikan oleh komunikator

akan langsung diterima oleh komunikan dan mendapatkan feedback

secara langsung (Widjaja, 2008:25)

2. Media Massa

Masyarakat pasti mengetahui apa yang disebut sebagai media

massa. Televisi, koran, dan radio merupakan media massa secara umum

yang diketahui. Sedangkan media massa sendiri diartikan sebagai alat,

instrument komunikasi yang memungkinkan seseorang untuk merekam

serta mengirim informasi dan pengalaman-pengalaman dengan cepat

kepada khalayak yang luas, terpencar-pencar dan heterogen (Achmad,

1992: 10).

Lebih luas lagi, Rowland Lorimer dan Paddy mendefinisikan

media massa dikaitkan dengan fungsi dan peran media. Media massa

sebagai alat komunikasi massa, digambarkan oleh Lorimer dan Paddy

Scannel dengan elemen-elemen seperti dikemukakan oleh McQuail

sebagai berikut: (1) Media massa merupakan aktifitas komunikasi massa

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

16

yang berorientasi berdasarkan isi media; (2) Media massa menggunakan

konfigurasi teknologi (televisi, radio, videoteks, majalah dan buku); (3)

Sistem media massa, apakah formal atau non-formal (menyangkut sistem

media, kantor pusat, sistem publikasi dan sebagainya); (4) Dioperasikan

berdasarkan ketentuan hukum dan kesepakatan antara para professional

dan praktisi, khalayak dan kecenderungan sosial masyarakat; (5)

Diterbitkan oleh kelompok yang terdiri atas: Pemilik modal, redaktur,

distributor, periklanan dan pelanggan; (6) Menyampaikan informasi,

hiburan, pikiran-pikiran dan simbol-simbol; (7) Ditujukan kepada

audience yang banyak (Rowland, 1994: 25).

Jika Rowland Lorimer dan Paddy Scannel mendefinisikan media

massa dikaitkan dengan fungsi dan peran media. Dennis McQuail dalam

bukunya Teori Komunikasi Massa, menyebutkan peran media massa

secara umum yaitu:

1. Jendela pengalaman yang meluaskan pandangan kita dan

memungkinkan kita mampu memahami apa yamg terjadi di sekitar diri

kita, tanpa campur tangan pihak lain atau memihak.

2. Juru bicara yang menjelaskan dan memberi makna terhadap peristiwa

atau hal terpisah dan kurang jelas.

3. Pembawa atau pengantar informasi dan pendapat.

4. Jaringan interaktif yang menghubungkan pengirim dengan penerima

melalui berbagai macam umpan balik.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

17

5. Papan penunjuk jalan yang secara aktif menunjukan arah, memberikan

bimbingan atau instruksi.

6. Penyaring yang memilih bagian pengalaman yang perlu diberi

perhatian khusus dan menyisihkan aspek pengalaman lainnya, baik

secara sadar dan sistematis maupun tidak.

7. Cermin yang memantulkan citra masyarakat terhadap masyarakat itu

sendiri, biasanya pantulan citra itu mengalami perubahan (distorsi)

karena adanya penonjolan terhadap segi yang dilihat oleh para anggota

masyarakat, atau seringkali pula segi yang ingin mereka hakimi atau

cela.

8. Tirai atau penutup yang menutupi kebenaran demi mencapai tujuan

propaganda atau pelarian dari suatu kenyataan (escapism).

(McQuail,1996: 53).

Media massa dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak

memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik media massa menurut

Cangara (2005) antara lain:

1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari

banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan,pengelolaan sampai pada

penyajian informasi.

2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang

memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalau pun

terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

18

3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan

jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan,

dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat

yang sama.

4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat

kabar, dan semacamnya.

5. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan

dimana saja tanpa mengenal batas usia, jenis kelamin, dan suku bangsa

(Cangara, 2005:122)

Jika karakteristik media massa menurut Cangara di atas salah

satunya memakai peralatan teknis atau mekanis, sedangkan menurut

Kuswandi itu merupakan bagian dari media massa yang terbagi, yaitu: 1.

Media massa elektronik (televisi dan radio); 2. Media massa cetak (koran,

majalah dan sejenisnya). Masing-masing media massa mempunyai

kekuatan masing-masing. Tetapi pada prinsipnya media massa merupakan

satu institusi yang melembaga dan berfungsi bertujuan untuk

menyampaikan informasi kepada khalayak agar well informed (tahu

informasi). (Kuswandi, 1996: 98).

3. Televisi

Istilah televisi terdiri dari perkataan “tele” yang berarti jauh dan

“visi” (vision) yang berarti penglihatan. (Effendy, 1993: 22). Sedangkan

dalam Baksin (2006: 16) didefinisikan bahwa: “Televisi merupakan hasil

produk teknologi tinggi (hi-tech) yang menyampaikan isi pesan dalam

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

19

bentuk audiovisual gerak. Isi pesan audiovisual gerak memiliki kekuatan

yang sangat tinggi untuk mempengaruhi mental, pola pikir, dan tindak

individu”.

Menurut Skornis dalam Kuswandi (1996: 8), dibandingkan dengan

media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan sebagainya),

televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan

gabungan dari media dengar dan gambar yang bisa bersifat politis,

informative, hiburan dan pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga

unsur tersebut.

Fungsi televisi sama dengan fungsi media massa lainnya, yakni

memberi informasi, mendidik, menghibur dan membujuk. Namun fungsi

hiburan merupakan fungsi yang lebih dominan, karena pada umumnya

tujuan utama khalayak menonton televisi untuk memeperoleh hiburan, dan

selanjutnya untuk memperoleh informasi (Ardianto dan Erdinaya 2004:

128). Jenis televisi yang dimaksud adalah televisi siaran (television

broadcast) yang merupakan media dari jaringan komunikasi dengan

karakteristik yang dimiliki komunikasi massa. (Effendy, 1993: 21)

Menurut Robert K. Avery dan Sanford B. Wienberg dalam

Kuswandi (1996: 53), posisi dan peranan televisi di masyarakat terbagi

dalam tiga fungsi yaitu:

1. The surveillance of the environment, yang berarti bahwa media

televisi berperan sebagai pengamat lingkungan.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

20

2. The correlation of part of society in responding to the

environment, yaitu media televisi mengadakan korelasi antar

informasi data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak

sasaran karena komunikator lebih menekankan pada seleksi,

mengevaluasi dan interpretasi.

3. The transmission of the social heritage from one generation to

the next, yaitu media TV berperan menyalurkan nilai-nilai

budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Siaran Televisi di Indonesia

Kegiatan penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada tanggal 24

Agustus 1962, bertepatan dengan dilangsungkannya pembukaan pesta

olahraga se-Asia IV atau Asean Games di Senayan. Sejak itu pula Televisi

Republik Indoesia yang disingkat TVRI dipergunakan sebagai panggilan

stasiun (station call) sampai sekarang.Selama tahun 1962-1963 TVRI

berada di udara rata-rata satu jam sehari dengan segala kesederhanaannya.

(Ardianto & Lukiati, 2004:127)

Di Indonesia sendiri, dunia pertelevisian berkembang pesat,

terbukti dengan bermuncullannya televisi swasta dibarengi dengan

deregulasi pertelevisian Indonesia oleh pemerintah, sejak tanggal 24

Agustus 1990. (Kuswandi, 1996: 35). TVRI yang berada di bawah

Departemen Penerangan, kini siarannya sudah dapat menjangkau hampir

seluruh rakyat Indonesia. Sejak tahun 1989 TVRI mendapat saingan dari

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

21

stasiun TV lainnya, yakni (RCTI) Rajawali Citra Televisi Indonesia yang

bersifat komersial. Kemudian secara berturut-turut berdiri stasiun televisi

(SCTV) Surya Citra Televisi Indonesia, (TPI) Televisi Pendidikan

Indonesia dan (ANTEVE) Andalas Televisi. (Ardianto & Lukiati, 2004 :

127).

Pengaruh siaran televisi terhadap sistem komunikasi tidak pernah

terlepas dari pengaruh aspek-aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Hal

ini disebabkan oleh pengaruh psikologis dari televisi itu sendiri, di mana

televisi seakan-akan menghipnotis penonton, sehingga mereka terhanyut

dalam keterlibatan akan kisah atau peristiwa yang disajikan oleh televisi.

(Effendy, 2002: 122)

4. Sinetron di Indonesia

Siapa yang tidak kenal dengan sinetron. Masyarakat Indonesia pun

pasti sangat mengenal sekali dengan sinetron. Televisi swasta yang ada di

Indonesia saling berlomba dalam menampilkan program hiburan. Salah

satunya adalah sinetron yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia..

Menurut Veven Sp. Wardhana, sinetron merupakan penggabungan

dari kata “sinema” dan “elektronik”. Namun, elektronika disini tidak

mengacu pada pita kaset yang proses perekamannya tetap berdasarkan

kaidah-kaidah elektronis itu. Elektronis dalam sinetron mengacu pada

medium penyiarannya, yaitu televisi, atau televisual, yang memang

merupakan medium elektronik. (Wardhana, 1994: 27).

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

22

Sedangkan menurut Eduard Depari dalam Kuswandi (1996: 131),

sinetron adalah sinema elektronik yang berisikan alur cerita bersambung,

cerita pendek dan memiliki pesan yang menggambarkan kehidupan sosial

yang menyangkut aspek hubungan dan pergaulan sosial

Sinetron dalam perkembangannya terdapat suatu kategori yang bisa

membedakannya. Adapun macam-macam kategori suatu sinetron adalah:

1. Sinetron Lepas

Sinetron lepas merupakan sinetron yang langsung selesai saat

penayangan itu juga. Sinetron ini berisi satu episode saja. Sehingga cerita

yang disajikan akan berakhir saat jam tayang selesai. Karena jam tayang

yang pendek, sinetron jenis ini biasanya mengangkat tema-tema yang

ringan agar pesan yang disampaikan tertangkap oleh pemirsa yang

melihat. Pada sekarang ini, banyak paket jenis ini yang diterima oleh

televisi karena memang ceritanya tidak bertele-tele.

2. Sinetron Seri

Sinetron seri merupakan yang jumlah episodenya banyak. Kendati

jumlah episodenya banyak, masing-masing episode tersebut tidak

berkaitan dengan episode selanjutnya. Karena cerita yang disuguhkan akan

selesai pada waktu itu juga, kecuali karakter tokoh-tokoh yang akan tetap

seperti awal tayang. Karenanya menonton sinetron seri tidak harus

berurutan. Sinetron seri ini bisa berjenis drama atau komedi.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

23

3. Sinetron Serial

Sinetron serial merupakan sinetron yang masing-masing

episodenya bersambung. Jadi cerita yang disajikan adalah sinetron serial

ini belum selesai pada hari itu juga, akan tetapi ada kelanjutannya pada

hari selanjutnya. Cerita yang diambil dalam sinetron jenis ini biasanya

bercerita tentang kekomplekan masalah hidup. Pada perkembangannya

sekarang, banyak sinetron serial yang mengambil ide cerita pada cerita

bersambung dari buku atau koran. Akan tetapi ada juga yang berasal dari

ide murni seorang pembuat sinetron. Sekarang kalau dilihat dari asal usul

jenis serial ini dapat ditaksir bahwa masing-masing episode dalam sinetron

ini bersambung dan bersebab akibat. Karena itu untuk sinetron serial ada

kemungkinan untuk dipanjang-panjangkan atau sekuel dari sinetron

pertamanya. Meskipun episodenya banyak, akan tetapi sinetron serial ini

bisa diketahui kapan episode keseluruhan berakhir.

4. Sinetron Mini seri

Sinetron Mini seri adalah sinetron yang jumlah episodenya

biasanya dibawah sepuluh episode. Sinetron berjenis mini seri, tidak akan

dilanjutkan lagi jumlah episodenya. Lantaran sebagai miniseri dia adalah

sebuah karya yang utuh dan selesai. Miniseri bukanlah sinetron yang

panjang yang penyiarannya dipisahpisahkan dan dipilah-pilah karena jatah

tayang yang sedikit. Apabila terjadi pemanjangan episode karena banyak

peminatnya, mini seri tidak berubah, dia tetaplah mini seri. Sementara

episode selanjutnya disebut sebagai Pseudo-mini seri.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

24

5. Sinetron Maksi seri

Sinetron Maksi seri merupakan sinetron yang jumlah episodenya

dan kapan berakhirnya tidak diketahui. Sinetron maksi seri berasal dari

sinetron seri atau serial yang dipanjangkan karena banyaknya peminat atau

rating yang tinggi. (Wardhana, 1994: 294-296).

Beragam tema sinetron disuguhkan oleh stasiun televisi demi

kepuasan dan kesenangan para penonton. Walaupun sebenarnya tujuan

utama adalah keuntungan yang didapat dari rating semata. Lalu, mengapa

sinteron begitu banyak ditonton pemirsa? Ada beberapa faktor yang

membuat paket acara yang satu ini disukai pemirsa yaitu:

1. Isi pesannya sesuai dengan realitas sosial pemirsa

2. Isi pesannya mengandung cermin tradisi luhur budaya masyarakat

(pemirsa)

3. Isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan

yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (Kuswandi, 1996: 130).

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sinetron memang produk

televisi yang memiliki pendapatan paling banyak karena didukung adanya

penggemar sinetron yang merajalela. Kedekatan cerita dengan penonton

sangat beriringan dan dianggap sebagai cerminan dari kehidupan

penontonnya.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

25

5. Dampak Menonton Televisi

Tak ada satu pun dari kita yang mau mengakui bahwa televisi

benar-benar memengaruhi kita. Televisi terkesan sebagai medium dangkal

dengan cerita-cerita yang terlalu sederhana. Namun, televisi adalah media

massa yang paling kuat dan paling berpengaruh. Mengabaikan televisi

tidak akan membuat pengaruhnya sirna seketika. Mengabaikan akan

menjurus pada ketidakpedulian, dan ketidakpedulian itu selalu berbahaya.

(Bajari & Saragih, 2011:487)

Menurut Prof. Dr. R. Ma’rat dari Universitas Padjajaran (Unpad)

Bandung, acara televisi pada umumnya memang mempengaruhi sikap,

pandangan, persepsi dan perasaan para penonton; ini adalah hal yang

wajar. Jadi, bila ada hal-hal yang mengakibatkan penonton terharu,

terpesona atau latah, bukanlah sesuatu yang istimewa. Alasannya, salah

satu pengaruh psikologis dari televisi ialah seakan-menghipnotis penonton,

sehingga mereka seolah hanyut dalam keterlibatan pada kisah atau

peristiwa yang dihidangkan televisi (Effendy, 2004: 122).

Berbagai macam dampak yang ditimbulkan dari menonton televisi

sangat beragam, positif maupun negatif. Tidak hanya berpengaruh kepada

pola hidup, televisi juga berpengaruh terhadap perilaku pemirsanya.

Menurut Kuswandi Wawan (1996: 100), di dalam bukunya Komunikasi

Massa Sebuah Analisis Media Televisi mengatakan ada tiga dampak yang

ditimbulkan dari menonton televisi yaitu:

a. Dampak kognitif yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

26

televisi yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. Sebagai contoh adanya program acara talk show tentang penyakit diabetes.

b. Dampak peniruan yaitu pemirsa dihadapkan pada trendi aktual yang ditayangkan televisi. Misalnya saja gaya berpakaian, gaya rambut, bahkan gaya hidup dari apa yang ditampilkan di televisi.

c. Dampak perilaku yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi yang diterapkan dalam kehidupan pemirsa sehari-hari. Perilaku yang dilakukan oleh aktor atau aktris di televisi bisa saja menjadi sebuah panutan bagi para penonton yang mengidolakannya.

6. Remaja

Pada tahun 1974, WHO (World Health Organization) memberikan

definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi

tersebut dikemukakan tiga kriteria tentang perkembangan remaja, yaitu

biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Maka, secara lengkap definisi

tersebut berbunyi sebagai berikut.

Remaja adalah suatu masa ketika:

1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan

tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai

kematangan seksual;

2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola

identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa;

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang

penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. (Muangman,

1980: 9 dalam Sarwono, 2008: 10)

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

27

Sekiranya usia remaja ada di antara anak dan orang dewasa.

Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun

psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mereka masih termasuk golongan

kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempat dalam masyarakat.

Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah Menengah atau Perguruan

Tinggi (Monks, A.M.P Knoers, dan Rahayu, 1999: 259)

Monks & dkk, juga menambahkan batasan usia masa remaja

adalah masa di antara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa

remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa

remaja akhir. (Monks, dkk, 1999: 288). Sedangkan WHO membagi kurun

usia dalam dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir

15-20 tahun sebagai usia pemuda (youth). Di Indonesia, batasan remaja

yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24

tahun. Hal ini dikemukakan dalam sensus penduduk 1980. (Sarwono,

2008: 10)

Perkembangan dari masa kanak-kanak menuju dewasa beragam

mulai dari fisik maupun psikis. Dadang Sulaeman dalam bukunya

Psikologi Remaja Dimensi-dimensi Perkembangan menerangkan, masa

remaja awal ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:

1. Pertumbuhan physic berjalan secara cepat bila dibandingkan

dengan masa-masa sebelumnya, terutama pertumbuhan tinggi dan

berat badan serta perubahan-perubahan secara umum dalam

proporsi dari berbagai bagian tubuh.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

28

2. Pada periode ini para remaja mulai mengadakan penyesuaian

sosial. Mereka senang hidup berkelompok. Kesadaran kelamin

bertambah besar. Mulai timbul minta terhadap jenis kelamin,

sehingga memudahkan melakukan kegiatan-kegiatan sosial secara

kooperatif.

3. Mereka mulai mempertimbangkan nilai-nilai. Kepalsuan serta

kebohongan akan cepat diketahui mereka.

4. Di sekolah mereka banyak melakukan penyelidikan dalam

dunia musik, kesenian, kerajinan tangan, seni drama dan lain-lain.

Pada usia ini semakin berkembanglah kemampuan untuk belajar,

memahami hubungan-hubungan, mempelajari hal-hal yang lebih

kompleks, mampu untuk mengadakan generalisasi, mampu untuk

memikirkan hal-hal yang abstrak, minatnya terhadap diri sendiri

dan orang lain lebih besar. Mereka bersifat kritis, baik terhadap

dirinya maupun orang lain. (Sulaeman & Hamalik 1995: 3-4)

7. Literasi Media (Media Literacy)

‘Literasi media’ (sebagai terjemahan dari media literacy) adalah

istilah yang makin populer di Indonesia untuk menyebut berbagai aktivitas

yang terkait dengan sikap kritis terhadap media, sekali pun bila diteliti

lebih dalam maka akan ditemukan ragam pemaknaan yang sangat

bervariasi (http://indonesia-medialiteracy.net/. Diakses pada 10 Februari

2015, Pkl 20.44 WIB). Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi

mengenai Penanggulangan Dampak Negatif Media Massa, yaitu 21

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

29

Century Literacy Summit yang diselenggarakan di Jerman pada 7-8 Maret

2002, diperoleh gambaran kesepakatan yang disebut 21 Century in A

Convergen Media Word. Kesepakatan tersebut seperti disampaikan

Bertelsmann dan AOL Time Warner (2002), bahwa media literasi

mencakup:

1. Literasi teknologi; kemampuan memanfaatkan media baru

seperti internet agar bisa memiliki akses dan

mengkomunikasikan informasi secara efektif.

2. Literasi informasi; kemampuan mengumpulkan,

mengorganisasikan, menyaring, mengevaluasi dan membentuk

opini berdasarkan hal-hal tadi.

3. Kreativitas media; kemampuan yang terus meningkat pada

individu di manapun berada untuk membuat dan

mendistribusikan isi kepada khalayak berapapun ukuran

khalayak.

4. Tanggung jawab dan kompetensi sosial; kompetensi untuk

memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi publikasi secara

on-line dan bertanggung jawab atas publikasi tersebut,

khususnya pada anak-anak. (White Paper: 21st Century

Literacy In A Convergent Media World,

http://www.ictliteracy.info/, diakses pada Rabu, 16 Desember

2015, 18.10 WIB).

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

30

Berbagai macam definisi mengenai literasi media dari berbagai

sumber, Potter (2010: 675–696) tuangkan diantaranya,

a. Silverblatt dan Eliceiri (1997) dalam Dictionary of Media

Literacy mendefinisikan literasi media sebagai keterampilan berpikir kritis

yang memungkinkan khalayak media untuk menguraikan informasi yang

mereka terima melalui saluran komunikasi massa dan memberdayakan

mereka untuk mengembangkan penilaian independen tentang konten

media (hal. 48).

b. Alliance for a Media Literate America: membangun pertanyaan

kritis dan belajar tentang media disbanding dengan hanya menyalahkan

media (www.amlainfo.org).

c. National Leadership Conference on Media Literacy:

kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan

mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk (Aufderheide, 1993).

Menurut beberapa definisi dari berbagai sumber di atas dapat

disimpulkan bahwa literasi media sama seperti yang diungkapkan oleh

Devito (2008:4) dalam Rahardjo (2012: 6) yang memberikan batasan

literasi media sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan

memproduksi pesan-pesan komunikasi massa (televisi, fiim, musik, radio,

billboards, periklanan, public relations, surat kabar dan majalah, buku,

websites dan blogs, newsgroup dan chatrooms).

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

31

Literasi Media Televisi

Bertolak dari kecemasan akan dampak media sekaligus

pengharapan publik atas kualitas tayangan program serta semakin tak

terhindarkannya “serbuan” tayangan program televisi dalam kehidupan

masyarakat, perlu kiranya agenda media literacy disosialisasikan dan

direalisasikan secepatnya di Indonesia. Luis V. Teodoro dalam Rahayu

(2004: 177), seorang professor bidang jurnalistik dari University of the

Philippines, mengingatkan:

“The power of the media and their omnipresence require a public that can distinguish fact from fiction and propaganda from truth. The public must be media literate if it is not to be manipulated by the various interest, biases and failings that drive the media even in –some argue specially in- regimes of media freedom.” Pesan ini menekankan betapa pemberdayaan publik merupakan

kunci penting dalam menyikapi media. Diisyaratkan, seiring dengan

perkembangan teknologi informasi, perkembangan media dari waktu ke

waktu semakin dinamis dengan variasi dan desain isi (program) yang amat

beragam. Perisai pertahanan hanya dapat mengandalkan diri individu

sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, perlu pembekalan

pengetahuan tentang media melalui media literacy.

Penelitian ini akan menggunakan model konsep literasi media dari

National Leadership Conference on Media Education yang menyatakan

bahwa literasi media yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis,

mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuknya

(Hobbs, 1999 dalam Judhita, 2013: 52). Kategori akses menilai

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

32

pemahaman dasar dan serta kemampuan mengakses yang dilakuan remaja

terhadap media dan pesan media. Kategori analisa adalah remaja dapat

menilai pemahamannya terhadap tujuan pesan media dan apakah remaja

dapat mengidentifikasi pengirim pesan melalui media dan apa isi pesan

tersebut. Kategori evaluasi adalah bagaimana individu mampu menilai

pesan yang diterima kemudian dibandingkan dengan perspektif sendiri.

Dengan demikian, kategori ini akan mencakup penilaian subjektif seorang

individu atau reaksi sikap terhadap pesan serta implikasi lain dari pesan.

Sedangkan untuk kategori komunikasi bagaimana kemampuan individu/

remaja untuk mengkomunikasikan pesan yang diterima dari media dalam

bentuk apa saja baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

33

Tabel 1.1. Model Konsep Literasi Media

No.

Kategori Literasi Menurut National

Leadership Conference on Media

Education

Keterangan Indikator

1. Mengakses Pemahaman dan pengetahuan menggunakan dan Mengakses Media dan mampu memahami isi pesan

• Media yang digunakan • Frekuensi penggunaan • Tujuan penggunaan • Mengerti isi pesan

2. Menganalisa

Mampu memahami tujuan pesan media dan dapat mengidentifikasi pengirim pesan melalui media dan apa isi pesan tersebut.

• Kemampuan mengingat pesan yang diterima melalui media.

• Mampu menjelaskan maksud dari pesan.

• Mampu mengidentifikasi pengirim pesan.

• Mampu menilai pesan media yang dapat menarik perhatian

3. Mengevaluasi Mampu menilai pesan yang diterima kemudian dibandingkan dengan perspektif sendiri. Hal ini mencakup penilaian subjektif seorang individu atau reaksi sikap terhadap pesan serta implikasi lain dari pesan

• Sikap, perasaan atau reaksi yang dirasakan setelah menerima pesan dari media.

• Mengungkapkan informasi apa saja yang menyarankan atau memberikan informasi yang berguna bagi pengguna

4. Mengkomunikasikan Mampu mengkomunikasikan pesan yang diterima dari media dalam bentuk apa saja kepada orang lain

• Pesan yang diterima dikomunikasikan dalam bentuk apa

Sumber : National Leadership Conference on Media Education (Hobbs,1999)

dikutip dari Juditha (2013: 52).

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

34

8. Teori Kultivasi

Cultivation analysis pertama kali diperkenalkan oleh George

Gerbner pada 1968. Menurutnya ada dua tipe penonton TV, yaitu “Heavy-

viewers” (orang yang menghabiskan waktu cukup banyak untuk menonton

TV) dan “Light-viewers” (orang yang menghabiskan sedikit waktu untuk

menonton TV). Khalayak yang termasuk “Heavy-viewers” (penonton

berat) menurut Gerbner akan memandang dunia nyata ini sama dengan

gambaran yang ada di TV. Semakin sering dia menonton acara kekerasan

di TV, maka dia akan menganggap bahwa dunia ini penuh dengan

kekerasan. (Kriyantono, 2010: 285)

Teori kultivasi didasari pada penggunaan media televisi,

penggunaan media dalam efek kultivasi yaitu dari penggunaan media dari

jumlah waktu dalam menggunakan media, dan berbagai hubungan antara

individu konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan

media secara keseluruhan (Rakhmat, 1989:89)

Menurut West & Turner, terdapat tiga asumsi dasar dalam teori

kultivasi untuk mengedepankan gagasan bahwa realitas yang diperantai

oleh TV menyebabkan khalayak menciptakan realitas sosial mereka

sendiri yang berbeda dengan realitas sebenarnya. (Morrisan, 2010: 107).

Asumsi teori kultivasi menurut West & Turner,yaitu:

a. Asumsi yang pertama, TV adalah media yang sangat berbeda. Asumsi ini menekankan pada keunikan atau mungkin kekuatan dari televisi dibanding media lain. Televisi tidak membutuhkan kemampuan untuk membaca, sebagaimana dengan media cetak, untuk bisa mengonsumsi TV tidak seperti bioskop, tayangan TV umumnya dapat dinikmati tanpa perlu membayar.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

35

Tidak seperti radio, TV menggabungkan suara dan gambar. Tidak diperlukan mobilitas, sebagaimana pergi ke tempat bioskop atau teater.

b. Asumsi yang kedua adalah TV membentuk cara masyarakat berpikir dan berinteraksi. Analisis kultivasi tidak menyatakan mengenai apa yang akan lakukan sesorang berdasarkan menonton televisi yang penuh dengan kekerasan, melainkan teori ini mengasumsikan bahwa menonton televisi yang penuh dengan kekerasan akan membuat kita merasa takut karena televisi menanamkan di dalam diri kita gambaran dunia yang kejam dan berbahaya.

c. Asumsi ketiga menyatakan bahwa pengaruh televisi bersifat terbatas. Teori kultivasi tidak memandang TV sebagai media yang memiliki kekuatan besar (powerful), justru sebaliknya gagasan ini memiliki paradigma yang memandang TV sebagai media dengan pengaruh terbatas terhadap individu dan budaya. Hal ini mungkin terdengar aneh, mengingat akses dan ketersediaan TV di masyarakat yang begitu luas, namun berdasarkan observasi yang terukur dan independen menunjukkan bahwa kontribusi TV kepada budaya pada dasarnya memang relatif kecil. Gerbner menggunakan analogi zaman es untuk membedakan analisis kultivasi di satu pihak dan gagasan efek media terbatas. Analogi zaman es (ice age analogi) menyatakan bahwa, perubahan temperatur rata-rata sebanyak beberapa derajat celcius lebih rendah dapat membuat bumi kembali ke zaman es. Analogi penghitungan hasil pemilu juga dapat digunakan dalam hal ini karena pemenangnya dapat ditentukan dengan melihat sejak awal melalui perbedaan tipis margin suara, begitu pula pengaruh TV yang walaupun kecil, tetapi luas dan terus-menerus mampu membuat perbedaan penting pada masyarakat. (Morrisan, 2010: 107).

Secara ringkas Gerbner dalam Kriyantono (2010) memberikan

proposisi-proposisi tentang Teori Kultivasi sebagai berikut:

• Televisi merupakan suatu media yang unik yang memerlukan

pendekatan khusus untuk diteliti.

• Pesan-pesan televisi membentuk sebuah sistem yang koheren,

mainstream dari budaya kita.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

36

• Sistem-sistem isi pesan tersebut memberikan tanda-tanda untuk

kultivasi.

• Analisis kultivasi memfokuskan pada sumbangan televisi

terhadap waktu untuk berpikir dan bertindak dari golongan-

golongan sosial yang besar dan heterogen.

• Teknologi baru (seperti VCR) memperluas daripada

mengelakkan jangkauan pesan televisi.

• Analisis kultivasi memfokuskan pada penstabilan yang meluas

dan penyamaan akibat –akibat.

Pada intinya menurut teori kultivasi, televisi mampu menciptakan

“sindrom dunia makna”, artinya bagaimana sesorang memaknai dunia

dipengaruhi oleh pemaknaan televisi. (Kriyantono, 2010: 286)

Penelitian Terdahulu

Liliek Budiastuti Wiratmo dan Samudi (2009) melakukan

penelitian mengenai literasi media pada perempuan. Informan terdiri dari

beberapa orang perempuan Ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan di Kota

Semarang dari berbagai kalangan. Temuan penelitian di lapangan

memperkuat dugaan masih rendahnya tingkat literasi media perempuan

yang selama ini mengkhawatirkan. Televisi menjadi pilihan utama

informan ketika ditanya tentang media apa yang paling banyak diakses.

Dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa perempuan lebih menyukai

infotainment dan sinetron kian tak terbantahkan. Apa yang ada dalam

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

37

sinetron tersebut mereka serap dan gunakan dalam hubungan sosial.

Misalnya Seperti istilah “demek” digunakan anak-anak yang lebih tua

untuk memanggil adik bungsunya yang gemuk. Pemahaman mengenai

cara kerja dan produksi media masih kurang bahkan tidak tahu. Informan

mengatakan bahwa hal itu tidak penting yang terpenting bagi mereka

adalah mendapat hiburan yang dapat membuatnya rileks. Tak kalah

menarik untuk disimak adalah mencermati kemampuan perempuan dalam

mengakses media secara kritis. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan

perempuan yang menjadi tokoh di wilayahnya atau memiliki pendidikan

yang memadai mempunyai sikap kritis dalam mengakses media. Kondisi

sebaliknya muncul di kalangan ibu rumah tangga yang merasa kesulitan

mengendalikan ketergantungan anak-anak pada televisi. Namun, ada

kecenderungan orang tua merasa aman kalau anak-anak menonton kartun

atau sinetron anak-anak (karena tokoh utamanya anak-anak).

Siti Masitoh (2013) dalam penelitian tesisnya mengenai melek

media khalayak mengambil tayangan talkshow televisi yaitu Indonesia

Lawyers Club di TVOne sebagai subjek dalam penelitiannya. Penelitian

ini menggunakan metode studi kasus dan bertujuan untuk mengkaji media

literacy khalayak menonton tayangan talk show Indonesia Lawyers club

di televisi dalam hal untuk memahami “apakah tayangan tersebut dapat

memberikan pembelajaran hukum bagi pemirsanya.” Dalam penelitian ini

yang menjadi informan adalah 4 informan yang mempunyai latar belakang

hukum dan 1 mahasiswa jurusan sistem informatika, dan sering menonton

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

38

tayangan Indonesia Lawyers Club. Pengumpulan data mengenai media

literacy dilihat dari empat kemampuan berdasarkan James W. Potter, yaitu

analisis, evaluasi, grouping, dan abstraksi. Didapatkan data bahwa hampir

semua informan memiliki kemampuan itu semua terhadap tayangan

talkshow Indonesia Lawyers Club baik informan yang berlatar belakang

pendidikan sarjana hukum maupun bukan. Akan tetapi, yang menjadi

benang merah dalam penelitian ini adalah bahwa kemampuan media

literacy yang baik tidak mengubah perilaku menonton informan dalam

penelitian ini. Walaupun sebenarnya mereka memahami bahwa acara ini

banyak mengundang kontroversi dan ditemukan sikap-sikap yang tidak

baik menurut norma dan etika dari para pengacara, namun sampai

penelitian ini dilakukan mereka masih menonton tayangan talkshow

Indonesia Lawyers Club dengan berbagai alasan. Jika merujuk pada tujuan

dari media literacy adalah sebagai senjata pengontrol untuk dapat

menyeleksi tayangan televisi dan yang tidak baik, maka dalam penelitian

ini hal itu tidak terlihat.

Sabri Sidekli (2013) dengan artikel jurnal yang berjudul Media

Literacy: Experiences Of 6th 7th And 8th Graders meneliti sikap dan

kebiasaan, siswa kelas 6, 7, dan 8 terhadap media, dan tingkat literasi

media mereka menurut jenis kelamin, status pekerjaan ibu, dan tingkat

pendidikan orang tua. Penelitian media literacy ini mencakup pola siswa

dari menonton TV, membaca koran dan penggunaan internet. Dari analisis

hasil, telah diidentifikasi bahwa siswa menunjukkan sikap positif dengan

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

39

tingkat 86,6 % terhadap televisi , 77,2 % untuk internet dan 74,2 % untuk

surat kabar. Sikap siswa terhadap media telah dibandingkan sesuai dengan

tingkat pendidikan orang tua, status pekerjaan ibu dan jenis kelamin.

Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa ada perbedaan yang berarti

antara tingkat literasi media pada siswa menurut jenis kelamin. Terlihat

bahwa tingkat melek media siswa perempuan lebih tinggi dari siswa laki-

laki. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin rendah

kebiasaan media siswa terhadap televisi dan internet. Kebiasaan siswa

membaca koran paralel dengan tingkat pendidikan orang tua. Semakin

tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin tinggi kebiasaan membaca

surat kabar siswa. Di sisi lain bahwa status pekerjaan ibu mempengaruhi

tingkat media literacy dari siswa. Perbedaan yang berarti telah

diidentifikasi antara tingkat melek media siswa menurut tingkat

pendidikan ibu. Tingkat media literasi siswa yang ibunya adalah lulusan

berpendidikan tinggi, lebih bermakna dari tingkat melek media siswa yang

ibunya adalah lulusan SD. Akan tetapi, ketika tingkat melek media telah

dibandingkan dengan tingkat pendidikan ibu, telah diamati bahwa tinggi

tingkat pendidikan ibu, semakin tinggi pula tingkat melek media siswa.

Erica Scharrer (2009), dalam penelitiannya melibatkan 89 siswa

kelas enam dari lima kelas yang berbeda di tiga kota dalam radius 20 mil

dari satu sama lain , meliputi kota pedesaan, kota perguruan, dan kota

pasca-industri kecil di New England Amerika. Penelitian tersebut meneliti

efek dari program bersama antara literasi media dan resolusi konflik

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

40

dengan merancang sebuah program kurikulum. Literasi media dan

program revolusi konflik yang dilaksanakan dirancang untuk mendorong

pemikiran kritis, memfasilitasi literasi media, dan mendorong penyelesaian

konflik tanpa kekerasan. Kurikulum dirancang dimulai dengan pengenalan

materi dilanjutkan dengan diskusi terbuka dan diterapkan kegiatan kepada

siswa . Guru memperkenalkan pelajaran yang terdiri dari ringkasan dari

tema utama yaitu efek media dan penelitian komunikasi interpersonal

terkait kekerasan dan konflik. Kegiatan pelajaran yang terdiri dari diskusi

oleh siswa, kegiatan interaktif, latihan bermain peran, dan proyek produksi

media. Dalam artikel jurnal penelitian yang berjudul Measuring the Effects

of a Media Literacy Program on Conflict and Violence ini, pengumpulan

data terjadi dalam bentuk kuesioner pra-unit dikelola oleh peneliti sebelum

kurikulum dimulai dan kuesioner pasca-unit yang dikelola oleh guru kelas

sekitar satu minggu setelah kurikulum telah berakhir. Hasil yang muncul

dalam dua dari tiga skenario yang dibuat (mengungkap rahasia, mengejek

kamu, kamu tersandung dan tertawa), ada bukti perubahan dari respon

yang lebih agresif (menggunakan ancaman fisik atau tindakan atau, lebih

moderat, strategi tidak langsung atau secara lisan agresif), menuju mediasi

non-agresif konflik. Dengan demikian, ketika dihadapkan dengan konflik

yang mungkin realistis dalam kehidupan anak usia 12 tahun, ada beberapa

indikasi bahwa berpartisipasi dalam kurikulum dikaitkan dengan memilih

cara non-agresif untuk mengatasi situasi. Anak-anak melihat paparan

media kekerasan berpotensi untuk dua alasan, yang bisa menginspirasi

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

41

mereka untuk berpikir lebih kritis tentang kekerasan di media yang mereka

konsumsi dan akhirnya mencegah respon negatif dari mereka sendiri.

F. Kerangka Pemikiran

Sinetron merupakan salah satu program televisi yang seringkali

memiliki banyak penggemar dan penonton. Penayangan sinetron yang setiap

hari atau striiping bahkan bisa dibilang akan didapati perbedaan perlakuan

menonton dari program lainnya. Kegiatan menonton sinetron setiap hari

terkait dengan teori kultivasi bahwa akan membentuk cara berpikir dan

berinteraksi . Cara berpikir dan berinteraksi inilah bisa kita lihat dalam literasi

media. Dimana literasi media mencakup kegiatan mengakses, kemampuan

dalam menganalisis, kemampuan dalam mengevaluasi, dan kemampuan

mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk.

Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran

Kegiatan Menonton Sinetron Penonton

Heavy Viewer

Literasi Media

1. Kegiatan Mengakses

2. Kemampuan dalam Menganalisis

3. Kemampuan dalam Mengevaluasi

4. Kemampuan Mengkomunikasikan

Pesan

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

42

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Riset

kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-

dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak

mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau

samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam

dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari

sampling lainnya. Disini yang lebih ditekankan adalah persoalan

kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data. (Kriyantono,

2010: 56-57).

Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status

kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran,

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 2005: 54).

Menurut Lexy Moleong, metode kualitatif merupakan prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, gambar dan bukan

angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian ini akan berisi kutipan-

kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut.

(Moleong, 1996: 6)

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

43

2. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang langsung diperoleh secara langsung

dari informan melalui wawancara. Data primer diperoleh dari hasil

wawancara dengan objek penelitian yaitu Siswa-siswi SMA Negeri

Colomadu, Kabupaten Karanganyar khususnya yang merupakan

penonton Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala di SCTV dengan tipe

heavy viewer. Heavy viewer yaitu dimana informan yang melakukan

kegiatan menonton Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala setiap hari dan

informan dalam penelitian ini berjumlah 6 orang.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh untuk melengkapi

data primer yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder

diperoleh dari data internet, buku, dan sumber cetak lainnya.

3. Lokasi Penelitian

SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara atau interview merupakan alat pengumpulan data yang

sangat penting dalam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

44

manusia sebagai subyek (pelaku, actor) sehubungan dengan realitas

atau gejala yang dipilih untuk diteliti. (Pawito, 2007: 132)

Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah

manusia dalam kapasitas sebagai responden atau informan penelitian.

Untuk mendapatkan informasi dari sumber data ini diperlukan teknik

yang disebut wawancara. Wawancara dibedakan menjadi dua, yaitu

wawancara tak tersturktur dan wawancara terstruktur. Wawancara tak

terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam (indepth

interview), wawancara intensif, wawancara kualitatif, wawancara

terbuka dan wawancara etnografis. Sedangkan wawancara terstruktur

sering disebut wawancara baku (standardized interview), yang susunan

pertanyaannya sudah ditetapkan sebelumnya dan biasanya tertulis

disertai pilihan jawaban yang sudah disediakan (Mulyana, 2006: 180).

Penelitian ini menggunakan wawancara dengan menggunakan interview

guide sebagai alat bantu melakukan wawancara.

b. Dokumentasi

Yaitu mengumpulkan gambar yang diperoleh dari screenshoot

adegan- adegan yang ada di tayangan Sinetron Ganteng-Ganteng

Serigala. Gambar- gambar screenshot diperoleh dari video yang diakses

dan diperoleh dari situs Youtube.com.

c. Studi Pustaka

Data sekunder dari studi kepustakaan yaitu pengumpuan data yang

bersumber dari buku literatur, hasil penelitian terdahulu, dan berbagai

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

45

dokumen yang mendukung dan berhubungan dengan kajian dari

penelitian ini.

5. Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan

teknik purposive sampling. Pengambilan sampel secara purposive yaitu

dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informasi dan

masalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi

sumber data yang mantap (Sutopo, 2002: 56).

Dalam penelitian ini yang menjadi informan atau narasumber

adalah siswa-siswi SMA Negeri Colomadu Karanganyar yang khususnya

sebagai penonton Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala di SCTV dengan

tipe heavy viewer. Heavy viewer yaitu dimana informan yang melakukan

kegiatan menonton Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala setiap hari dan

terdapat 6 informan yang termasuk tipe tersebut di penelitian ini.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif biasanya memberikan

makna terhadap data, mengintepretasikan, dan mengubahnya ke dalam

bentuk narasi yang temuannya mengarah pada proposisi ilmiah yang

akhirnya sampai pada kesimpulan final. Pertanyaan utama yang harus

dijawab dalam penelitian kualitatif adalah how did researcher get to these

conclusion from these data? (Pawito, 2007: 101)

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

46

Penelitian kualitatif ini menggunakan analisis data versi Miles dan

Huberman yang dikenal dengan model interaktif. Model interaktif ini

terdiri dari tiga alur kegiatan yang secara bersamaan, yaitu reduksi data,

penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi,

1. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar”

yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data merupakan

suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,

mengategorisasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu,

dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data

yang terkumpul dapat diverifikasi.

2. Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun

yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan.

3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir

penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan

melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran

kesimpulan yang disepakati oleh subjek tempat penelitian itu

dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus diuji

kebenaran, kecocokan, dan kekokohannya.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan

47

Bagan 1.2. Model Interaktif Miles dan Huberman dalam

Usman & Akbar (2011: 88)

7. Validitas Data

Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam

kegiatan penelitian, harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh

karena itu dalam penelitian kualitatif diperlukan teknik pengembangan

validitas datanya. Validitas ini merupakan jaminan bagi kemantapan

simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian. Trianggulasi

merupakan cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas

dalam penelitian kualitatif (Sutopo, 2007: 78). Penelitian ini menggunakan

trianggulasi teori, dimana dalam membahas permasalahan yang dikaji

menggunakan teori yang berhubungan dengan permasalahan. Data

dikumpulkan berdasarkan teori- teori yang sudah dijelaskan pada telaah

pustaka yang dipergunakan sebagai referensi dan seperangkat alat

pertanyaan.

Pengumpulan

data Penyajian data

Reduksi data

Kesimpulan/

Verifikasi