BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Media massa elektronik dan media massa cetak sepertinya masih
mempunyai pelanggan setianya bagi masyarakat di Indonesia. Televisi yang
merupakan salah satu media massa elektronik dirasa sudah sangat dekat
dengan masyarakat. Keberadaanya kini sudah menjamah ke berbagai lapisan
masyarakat, dari yang hanya memiliki satu buah televisi, kini satu keluarga
dalam segala tingkatan sosial mungkin bahkan memiliki televisi dua atau
lebih.
Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap televisi pun masih sangat
tinggi keberadaannya. Menurut data Nielsen pada Mei 2014, televisi masih
menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul
oleh Internet (33%), Radio (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan
Majalah (5%). (Http://Www.Nielsen.Com/, diakses Pada Rabu, 29 Oktober
2014 Pukul 23.27 WIB). Menonton televisi pun kini bukan sekedar hanya
menjadi aktivitas biasa, bahkan sepertinya sudah menjadi rutinitas sehari-hari
masyarakat Indonesia. Saat-saat menonton televisi kemudian dikemas sebagai
bagian koheren dari jadwal aktivitas sehari-hari, menjadi bagian dari agenda
harian (Triwardani, 2011: 206).
Program tayangan televisi memiliki audiens yang sangat beragam,
sehingga para pekerja televisi pun berlomba-lomba untuk membuat dan
1
2
.menayangkan tayangan yang beragam pula. Efek yang ditimbulkan oleh
terpaan televisi pun sangat besar dan beragam apalagi untuk usia anak-anak
dan remaja, dari tindak kekerasan, pergaulan bebas, hingga kelonggaran nilai
dan norma. Problem ini tentu mengkhawatirkan karena secara sadar televisi
menjadikan anak- anak dan pelajar adalah salah satu sasaran pasar yang
produktif untuk menyajikan program siaran melalui tontonan yang saat ini
lebih besar kurang memperhatikan bagaimana cara membentuk sikap yang
sarat dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Unsur bisnis dan menjadi lebih
berkuasa ketimbang keprihatinan terhadap anak bangsa yang akan jadi korban.
Pangsa pasar produk anak-anak memang sangat besar, sehingga merupakan
potensi yang sangat menjanjikan bagi semua produsen barang atau jasa untuk
menanamkan citra di benak anak-anak ini (Suryadi, 2013: 980).
Empat fungsi yang dapat kita peroleh dari televisi, antara lain fungsi
informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan. Akan tetapi, dapat dilihat
bahwa televisi belum menerapkan empat fungsi tersebut secara proporsional,
masing-masing fungsi masih memiliki tarafnya masing-masing. Fungsi yang
semula diharapkan menjadi prioritas justru kurang mendapat perhatian.
Sebaliknya fungsi yang kurang penting dan tidak mendapat prioritas nampak
menonjol. Keadaan seperti ini terjadi pada media televisi yang lebih
menonjolkan fungsi hiburan (Mursito BM, 2006: 19).
Pertelevisian kita sedang dibanjiri dengan adanya tayangan hiburan
dengan berbagai format pengemasannya. Reality show, acara musik, pencarian
bakat, dan masih banyak yang lainnya, serta masing-masing stasiun televisi
3
memiliki format program yang berbeda. Menurut Nurudin (1997: 5),
masyarakat kita masih masih terpola dengan budaya hiburan (menonton).
Akibatnya, segala sesuatu yang berbau hiburan selalu disukai masyarakat. Hal
ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk
memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan “barang
hiburan” sebaik-baiknya dan sepuas-puasnya untuk dinikmati pemirsa.
Salah satu program hiburan yang memiliki banyak penggemar adalah
sinetron. Bahkan, sinetron semakin mendominasi hampir semua stasiun
televisi di Indonesia. Banyak penggemar sinetron dari berbagai kalangan usia,
anak-anak, remaja, maupun dewasa. Apalagi sinetron yang bertemakan remaja
seringkali menjadi tayangan yang memiliki banyak audiens, karena ceritanya
yang dianggap menceritakan seperti kehidupan para audiens dan pemainnya
yang tampan serta cantik. Menurut riset audiens terhadap penonton sinetron
remaja dalam artikel Jurnal Mimbar oleh Astuti (2010), remaja senang
menonton sinetron, dan tidak ada batasan sinetron macam apa yang ditonton.
Mereka senang menonton sinetron apa saja, termasuk sinetron dewasa dan
anak-anak, asal seru (Astuti, 2010: 28).
Menjamurnya paket sinetron di televisi, bukan hal luar biasa.
Kehadiran sinetron merupakan satu bentuk aktualitas komunikasi dan interaksi
manusia yang diolah berdasarkan alur cerita, untuk mengangkat permasalahan
hidup manusia sehari-hari (Kuswandi, 1996: 131). Dengan begitu sinetron
banyak disukai oleh audiens televisi dan dapat dikatakan sebagai komoditas
yang sangat menggiurkan bagi media televisi.
4
Disukainya program sinetron di Indonesia membuat para stasiun
televisi berkejar-kejaran dalam menampilkan sinetron yang beragam alur
ceritanya. Sampai-sampai ideologi yang harus dimiliki oleh stasiun televisi
harus dikorbankan demi terciptanya rating yang tinggi dan pendapatan bagi
keberlangsungan perusahaannya. Banyak cerita-cerita sinetron yang tidak
logis dalam alur cerita maupun permasalahannya. Terjadinya pelecehan logika
dalam cerita sinetron, disebabkan unsur kepentingan pengiklanan yang masuk,
membiayai pembuatan paket sinetron tersebut (Kuswandi, 1996: 134).
Selain itu, menurut Eka Nada Shofa dalam Anomi Media Massa,
hampir semua sinetron-sinetron remaja yang ada sekarang mengekploitasi
kekerasan, seksualitas dan kadang mengabaikan moralitas. Ini dapat disinyalir
miskinnya kreativitas para pembuat sinetron menjadi penyebabnya. Terlepas
dari alasan mereka mencari rating yang ujung-ujungnya, lagi-lagi kepentingan
bisnis (Alkhajar, 2009: 19).
Dalam potret sinetron remaja di televisi, variasi isi tayangan sinetron
yang menonjol diantara isi yang lain yaitu adanya berbagai bentuk kekerasan
yang disajikan secara vulgar (Atmodjo dkk, 2009: 22). Kekerasan fisik,
kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan verbal (dengan kata-
kata) terkandung dalam tayangan sinetron.
Sinetron atau program sejenisnya merupakan elemen penting dalam
keseluruhan politik intern sebuah perusahaan televisi. Ia adalah sebuah
produk yang rentable, yang dapat membawa keuntungan besar. Pada saat
yang sama ia diminati banyak orang serta mampu mengikat perhatian pemirsa
5
untuk waktu yang relatif lama (Batmomolin, Lukas dan Hermawan, 2003:
89).
Para audiens sinetron di sisi lain yang dominan remaja, banyak yang
menganggap bahwa cerita yang terdapat di sinetron merupakan realitas yang
terdapat di kehidupan nyata. Cerita yang terjadi di sinetron dianggap memang
ada di luar sana. Sementara itu, diketahui bahwa realitas yang ada dalam
sinetron fiktif atau hanyalah diada-ada. Menurut Syahputra (2011: 30- 31)
dominan masyarakat masih bertindak sebagai penikmat (viewer), bukan
pengamat (watcher) tayangan televisi. Sebagai viewer, penonton bersifat pasif,
bersikap menerima saja isi tayangan televisi tanpa perspektif kritis. Akibatnya
masyarakat semakin sulit membedakan mana yang asli dan palsu dalam
televisi. Bahkan, dapat saja masyarakat sudah tidak perduli lagi apakah
tayangan televisi tersebut asli atau palsu, fakta atau dusta, ilusi atau fantasi.
Mirisnya berkenaan dengan realitas, riset terhadap remaja mendapati bahwa
pelajar yaitu SMP ternyata lebih meyakini bahwa sinetron lebih banyak
menjalankan fungsi sebagai a mirror of reality—cermin kehidupan nyata
(Astuti, 2010: 25). Padahal, cerita dalam sinetron belum tentu seperti dalam
kehidupan yang nyata (riil) dan itu hanya realitas semu (hyperreality) dan
remaja kita terjebak dalam situasi tersebut. Para remaja yang notabene berada
dalam situasi psikologis yang kritis dalam dirinya terkait pencarian jati diri
mendapatkan tayangan kehidupan remaja dalam sinetron. Hyperreality
menyebabkan remaja terperangkap dalam sesuatu yang tidak nyata (semu) dan
6
menganggap kondisi demikianlah yang sebenarnya ada dalam dunia remaja
(Alkhajar, 2007: 20).
Sinetron yang banyak dikagumi oleh para remaja salah satunya
Ganteng Ganteng Serigala. Cerita dari sinetron yang ditayangkan sejak 21
April 2014 ini ini notabene banyak dianggap sebagai saduran dari cerita film
Twilight yang sudah merambah Box Office Movie dunia. Cerita dari Sinetron
Ganteng- Ganteng Serigala ini pun semakin berkembang dengan menceritakan
tentang kehidupan remaja mulai dari kegiatan persekolahan, perkuliahan,
asmara, dan kehidupan-sehari-hari. Kisah dari sinetron GGS ini secara umum
adalah perebutan bangsa vampir dan bangsa serigala dalam memburu darah
suci yang terdapat pada diri salah satu manusia biasa. Maka, cerita dalam
sinetron ini pastinya dibumbui oleh kisah-kisah konflik yang timbul akibat
dari perburuan itu. Selain itu dari segi asmara atau kisah percintaan para
tokohnya menjadi suatu tambahan cerita yang menjadi pelengkap .
Sinetron Ganteng Ganteng Serigala ini ternyata menjadi polemik. Pada
Bulan Mei 2014, KPI mengeluarkan siaran pers mengenai 10 sinetron & FTV
bermasalah dan tidak layak ditonton karena pelanggaran terhadap UU
Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
(P3SPS).
FTV dan sinetron yang bermasalah dan tidak layak tonton adalah
sebagai berikut :
Sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda (RCTI), Sinetron Pashmina Aisha (RCTI), Sinetron ABG Jadi Manten (SCTV), Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala (SCTV), Sinetron Diam-Diam Suka (SCTV), Sinema Indonesia (ANTV), Sinema Akhir Pekan (ANTV), Sinema
7
Pagi (Indosiar), Sinema Utama Keluarga (MNCTV), Bioskop Indonesia Premier (Trans TV) (http://www.kpi.go.id, diakses pada 1 September 2014, Pukul 21.00 WIB).
Selain menjadi salah satu sinetron yang bermasalah dan tidak layak
tonton versi KPI, sinetron GGS ini juga telah mendapatkan sanksi
administratif sebanyak 2 (dua) kali, yakni tertanggal pada 20 Mei 2014 dan
16 Juni 2014 lantaran adanya pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran (P3 & SPS). Selanjutnya, pada tayangan tanggal 16
Agustus 2014 masih ditemukan pelanggaran yang sama untuk kedua kalinya,
maka dari itu pelanggaran yang timbul selanjutnya mengakibatkan sinetron ini
harus dihentikan sementara oleh KPI selama 3 (tiga) hari berturut-turut yaitu
mulai tanggal 21,22, dan 23 Oktober 2014 (Http://www.kpi.go.id, diakses
pada Senin, 1 September 2014 Pkl 21.00 WIB).
KPI Pusat juga menilai bahwa inti cerita program sinetron GGS tidak
mengandung nilai-nilai pendidikan, ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Selain
itu tampilan yang muncul di sinetron ini tidak sesuai dengan perkembangan
psikologis remaja serta bertentangan dengan etika yang ada di lingkungan
pendidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal
37 ayat (1) dan (2) SPS (Http://www.kpi.go.id, diakses pada Senin, 1
September 2014 Pkl 21.00 WIB)
Pasal 6 terkandung dalam bab IV SPS tentang penghormatan terhadap
nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan dan ayat 2 huruf b
berbunyi seperti berikut: (2) Program siaran dilarang merendahkan dan/atau
8
melecehkan, (b). Individu atau kelompok karena perbedaan suku, agama, ras,
antargolongan, usia, budaya, dan/atau kehidupan sosial ekonomi.
Sedangkan pasal 37 SPS (Standar Program Siaran) merupakan salah
satu bab yang mengatur mengenai penggolongan program siaran yaitu
klasifikasi R: Siaran untuk Remaja, yakni khalayak berusia 13 – 17 tahun;.
Dimana isi dari pasal 37 ayat (1) dan (2) SPS itu sendiri berbunyi,
(1) Program siaran klasifikasi R mengandung muatan, gaya penceritaan, dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja.
(2) Program siaran klasifikasi R berisikan nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial dan budaya, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik, dan penumbuhan rasa ingin tahu remaja tentang lingkungan sekitar. (Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) tahun 2012).
Gambar 1.1 Adegan Pelukan Siswa dan Siswi Berseragam (Http://www.youtube.com. Diakses pada Hari Rabu, 19 November 2014, Pukul 13.19 WIB. )
Gambar 1.2 Adegan Perkelahian (Http://www.youtube.com. Diakses pada Hari Rabu, 19 November 2014, Pukul 13.19 WIB. )
Selain KPI, ternyata masyarakat juga menyayangkan dengan sinetron
Ganteng-Ganteng Serigala ini. Indriyanti dari Jawa Barat, menuliskan
keluhannya terhadap Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala di pojok aduan
9
website KPI seperti berikut, “Sinetron GGS tidak mendidik, terlebih banyak
yang nonton anak-anak sekolah, terlalu banyak soal tentang cintanya dan
adegan-adegannya tidak baik buat perkembangan psikologi mereka, apalagi
ditayangkan di jam vital” (Http://www.kpi.go.id, diakses pada Pada Jumat, 5
September 2014 Pkl 21.45 Wib.
Ada pula yang menyoroti adegan dimana saat pemeran sinetron GGS
Sissy (diperankan oleh Prilly Latuconsina) putus dengan Digo (Aliando
Syarief), Sissy terlalu vulgar tidak mau putus dengan Diego. “Saya fikir ini
kan anak SMA, ini terlalu berlebihan. Dan adegan Sisi dan Diego episode
yang lalu juga sangat vulgar. Ini sinetron yang banyak ditonton anak muda
(SD-SMA). Dampaknya akan ditiru oleh mereka,” ungkap salah satu penulis
pojok aduan di Website KPI yang tidak menyebutkan namanya.
Dampak yang ditimbulkan dari menonton Sinetron Ganteng- Ganteng
Serigala ini ternyata didapati terjadi pada anak- anak di Desa Cangkir
Kecamatan Driyorejo, Gresik. Anak laki-laki memotong rambut agar terlihat
seperti Digo dan Tristan sedangkan anak perempuan memanjangkan rambut
agar terlihat seperti Prilly dan Nayla. Selain itu anak juga meminta kepada
orangtua kaos, jaket kacamata, sepatu dan jam tangan seperti yang dipakai
oleh idolanya. Memanggil orangtua dengan sebutan Papsky dan Mamsky.
(Adwiyanti dan Listyaningsih, 2015: 694).
Jika dilihat dari kasus yang terjadi di atas, kemampuan audiens televisi
dalam menyaring apa yang ditontonnya sangat kurang. Penonton sangat
mudah dalam menirukan dan menyerap pesan secara langsung dari apa yang
10
ditayangkan di televisi. Apalagi, ternyata penonton Sinetron Ganteng-
Ganteng Serigala masih anak-anak maupun remaja. Mereka senantiasa masih
belum dapat memilih dan memilah yang mana baik maupun buruk dari apa
yang mereka lihat.
Sehubungan dengan tayangan sinetron yang semakin merajalela dan
berdampak besar bagi remaja, kemampuan literasi media atau melek media
sangatlah penting dimiliki untuk menjembatani dampak langsung saat
menonton tayangan televisi. Pemilihan sinetron dalam penelitian ini
disebabkan karena makin beragamnya sinetron di Indonesia yang terdapat
adegan memperlihatkan tindak asusila, kekerasan, dan tindak negatif lainnya,
tetapi masih banyak disukai oleh audiens televisi.
Literasi media menurut Devito (2008:40) dalam Arifianto (2013: 3)
didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, mengakses
dan memproduksi pesan komunikasi massa. Literasi media merupakan bentuk
pemberdayaan (empowerment) agar konsumen bisa menggunakan media lebih
cerdas, sehat dan aman. Literasi media bagi remaja dalam mengonsumsi isi
media massa sangatlah penting untuk menjadi penonton remaja yang cerdas.
Penelitian mengenai literasi media yang dimiliki remaja menarik untuk diteliti
karena usia mereka yang masih rentan terpengaruh oleh terpaan media televisi
sedangkan mereka merupakan salah satu khalayak televisi yang diharuskan
mempunyai kemampuan untuk menentukan baik buruknya apa yang mereka
tonton. Secara eksternal literasi media membantu orang untuk
mengembangkan pengetahuan dan pemahamannya terhadap konten media,
11
sehingga ia dapat mengendalikan pengaruh media dalam kehidupannya
(Arifianto, 2013: 15).
Menilik pada uraian di atas, selanjutnya peneliti menarik untuk
meneliti remaja sebagai penonton Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala.
Pemilihan sinetron GGS dan remaja dalam penelitian ini, karena GGS
merupakan sinetron bertemakan remaja sehingga target audiens pun remaja
dan penggemar dari sinetron GGS ini mayoritasnya pun remaja. Peneliti ingin
melihat sejauh manakah daya kritis remaja menempatkan dirinya sebagai
penonton program televisi khususnya sinetron Sinetron Ganteng-Ganteng
Serigala (GGS). Menilik dari pertanyaan tersebut, peneliti memilih judul Studi
Deskriptif Kualitatif Literasi Media Dalam Menonton Tayangan Sinetron
Ganteng-Ganteng Serigala Di SCTV Oleh Remaja Heavy Viewer Di SMA
Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar untuk judul penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka
dikemukakan perumusan masalah yaitu, Bagaimana Literasi Media Dalam
Menonton Tayangan Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala Di SCTV Oleh
Remaja Heavy Viewer Di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini didasarkan pada rumusan masalah di atas yaitu,
untuk mengetahui bagaimana Bagaimana Literasi Media Dalam Menonton
12
Tayangan Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala Di SCTV Oleh Remaja Heavy
Viewer Di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi wahana memperluas
pengetahuan mengenai Literasi Media.
2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk
penelitian lebih lanjut mengenai Literasi Media
3. Bagi pemerintah maupun LSM, dapat dijadikan sebagai referensi yang
berkaitan dengan usaha peningkatan kegiatan pendidikan Literasi Media
E. Telaah Pustaka
1. Komunikasi Massa
Susanto (1974) dalam Wiryanto (2004: 69) menjelaskan,
komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa Inggris, mass
communication, sebagai kependekan dari mass media communication
(komunikasi media massa). Artinya, komunikasi yang menggunakan
media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass
communications atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu
media massa (mass media) sebagai kependekan dari media of mass
communication.
De Fleur dan Dennis McQuail menerangkan bahwa komunikasi
massa merupakan kegiatan komunikator menyebarkan pesan agar dapat
13
tersampaikan kepada komunikan atau khalayak. Komunikasi massa adalah
suatu proses dalam mana komunikator- komunikator menggunakan media
untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus
menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi
khalayak-khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai
cara (Defleur dan Dennis McQuail, 1985 dalam Riswandi: 2009:104).
Josep A. Devito mengutarakan komunikasi massa yakni,
“First, mass communication addressed to masses, to an extremely large science. This does not mean that the audience includes all people or everyone who reads or everyone who watches television; rather it means an audience that is large and generally rather poorly defined. Second, mass communication is communication mediated by audio and/or visual transmitter. Mass communication is perhaps most easily and most logically defined by its forms: television, radio, newspaper, magazines, films, books, and tapes.” (Nurudin, 2007: 11-12)
Penjelasan yang dikemukakan oleh Devito di atas setidaknya sama
dengan apa yang diutarakan oleh Widjaja (2008:19), komunikasi massa
merupakan komunikasi yang ditujukan kepada massa atau komunikasi
yang menggunakan media massa. Massa di sini adalah kumpulan orang-
orang yang hubungan antar sosialnya tidak jelas dan tidak mempunyai
struktur tertentu. Komunikasi sangat efisien karena dapat menjangkau
daerah yang luas dan pendengar yang praktis tak terbatas.
Komunikasi massa tak ubahnya adalah kegiatan dalam
mengomunikasikan pesan kepada khalayak. Komunikasi massa pun
memiliki fungsi, menurut Jay Black dan Frederick C. Whitney (1988)
dalam Nurudin (2007: 64) menjelaskan, fungsi komunikasi massa antara
14
lain: (1) to inform (menginformasikan), (2) to entertain (memberi
hiburan), (3) to persuade (membujuk), dan transmission of the culture
(transmisi budaya). Sementara itu fungsi komunikasi massa menurut John
Vivian dalam bukunya The Media of Mass Communication (1991)
disebutkan; (1) providing information, (2) providing entertainment, (3)
helping to persuade, dan (4) contributing to social cohesion (mendorong
kohesi sosial).
Konsep komunikasi massa tidak bisa terlepas dari penggunaan
media massa. Untuk mencapai efektivitas yang tinggi dalam melaksanakan
kegiatan yang menggunakan media massa, harus diketahui karakteristik
dari komunikasi massa tersebut, sebagai berikut:
1) Bersifat simultan, ialah bahwa walaupun komunikan berada pada jarak
satu sama lain terpisah, tetapi media massa mampu membina
keserempakan kontak dengan komunikan dalam penyampaian
pesannya. Audience dapat mendapatkan pesan yang sama, dan dengan
kontak dengan media massa secara bersamaan, walaupun berada di
tempat yang berbeda dan dengan waktu yang berbeda.
2) Bersifat umum, ialah pesan yang disampaikan melalui media massa
ditujukan kepada umum dan di samping itu juga mengenai
kepentingan umum. Segala sesuatunya pesan yang bersifat umum
adalah untuk semua orang dan terbuka.
3) Komunikannya heterogen, sebagai konsekuensi daripada penyebaran
yang teramat luas (jangkauan audiencenya), maka komunikan dari
15
komunikasi massa terdiri dari berbagai macam, inilah menjadikan
komunikannya heterogen. Komunikan heterogen adalah audience yang
berada di tempat tinggal yang berbeda, budaya yang beragam, dan
memiliki pekerjaan yang berbeda pula, bahkan juga berbeda
kepentingan.
4) Berlangsung satu arah, ialah bahwa feedback yang terjadi adalah
delayed feedback, berbeda dengan komunikasi tatap muka. Apabila
komunikasi tatap muka pesan yang disampaikan oleh komunikator
akan langsung diterima oleh komunikan dan mendapatkan feedback
secara langsung (Widjaja, 2008:25)
2. Media Massa
Masyarakat pasti mengetahui apa yang disebut sebagai media
massa. Televisi, koran, dan radio merupakan media massa secara umum
yang diketahui. Sedangkan media massa sendiri diartikan sebagai alat,
instrument komunikasi yang memungkinkan seseorang untuk merekam
serta mengirim informasi dan pengalaman-pengalaman dengan cepat
kepada khalayak yang luas, terpencar-pencar dan heterogen (Achmad,
1992: 10).
Lebih luas lagi, Rowland Lorimer dan Paddy mendefinisikan
media massa dikaitkan dengan fungsi dan peran media. Media massa
sebagai alat komunikasi massa, digambarkan oleh Lorimer dan Paddy
Scannel dengan elemen-elemen seperti dikemukakan oleh McQuail
sebagai berikut: (1) Media massa merupakan aktifitas komunikasi massa
16
yang berorientasi berdasarkan isi media; (2) Media massa menggunakan
konfigurasi teknologi (televisi, radio, videoteks, majalah dan buku); (3)
Sistem media massa, apakah formal atau non-formal (menyangkut sistem
media, kantor pusat, sistem publikasi dan sebagainya); (4) Dioperasikan
berdasarkan ketentuan hukum dan kesepakatan antara para professional
dan praktisi, khalayak dan kecenderungan sosial masyarakat; (5)
Diterbitkan oleh kelompok yang terdiri atas: Pemilik modal, redaktur,
distributor, periklanan dan pelanggan; (6) Menyampaikan informasi,
hiburan, pikiran-pikiran dan simbol-simbol; (7) Ditujukan kepada
audience yang banyak (Rowland, 1994: 25).
Jika Rowland Lorimer dan Paddy Scannel mendefinisikan media
massa dikaitkan dengan fungsi dan peran media. Dennis McQuail dalam
bukunya Teori Komunikasi Massa, menyebutkan peran media massa
secara umum yaitu:
1. Jendela pengalaman yang meluaskan pandangan kita dan
memungkinkan kita mampu memahami apa yamg terjadi di sekitar diri
kita, tanpa campur tangan pihak lain atau memihak.
2. Juru bicara yang menjelaskan dan memberi makna terhadap peristiwa
atau hal terpisah dan kurang jelas.
3. Pembawa atau pengantar informasi dan pendapat.
4. Jaringan interaktif yang menghubungkan pengirim dengan penerima
melalui berbagai macam umpan balik.
17
5. Papan penunjuk jalan yang secara aktif menunjukan arah, memberikan
bimbingan atau instruksi.
6. Penyaring yang memilih bagian pengalaman yang perlu diberi
perhatian khusus dan menyisihkan aspek pengalaman lainnya, baik
secara sadar dan sistematis maupun tidak.
7. Cermin yang memantulkan citra masyarakat terhadap masyarakat itu
sendiri, biasanya pantulan citra itu mengalami perubahan (distorsi)
karena adanya penonjolan terhadap segi yang dilihat oleh para anggota
masyarakat, atau seringkali pula segi yang ingin mereka hakimi atau
cela.
8. Tirai atau penutup yang menutupi kebenaran demi mencapai tujuan
propaganda atau pelarian dari suatu kenyataan (escapism).
(McQuail,1996: 53).
Media massa dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak
memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik media massa menurut
Cangara (2005) antara lain:
1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari
banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan,pengelolaan sampai pada
penyajian informasi.
2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang
memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalau pun
terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
18
3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan
jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan,
dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat
yang sama.
4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat
kabar, dan semacamnya.
5. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan
dimana saja tanpa mengenal batas usia, jenis kelamin, dan suku bangsa
(Cangara, 2005:122)
Jika karakteristik media massa menurut Cangara di atas salah
satunya memakai peralatan teknis atau mekanis, sedangkan menurut
Kuswandi itu merupakan bagian dari media massa yang terbagi, yaitu: 1.
Media massa elektronik (televisi dan radio); 2. Media massa cetak (koran,
majalah dan sejenisnya). Masing-masing media massa mempunyai
kekuatan masing-masing. Tetapi pada prinsipnya media massa merupakan
satu institusi yang melembaga dan berfungsi bertujuan untuk
menyampaikan informasi kepada khalayak agar well informed (tahu
informasi). (Kuswandi, 1996: 98).
3. Televisi
Istilah televisi terdiri dari perkataan “tele” yang berarti jauh dan
“visi” (vision) yang berarti penglihatan. (Effendy, 1993: 22). Sedangkan
dalam Baksin (2006: 16) didefinisikan bahwa: “Televisi merupakan hasil
produk teknologi tinggi (hi-tech) yang menyampaikan isi pesan dalam
19
bentuk audiovisual gerak. Isi pesan audiovisual gerak memiliki kekuatan
yang sangat tinggi untuk mempengaruhi mental, pola pikir, dan tindak
individu”.
Menurut Skornis dalam Kuswandi (1996: 8), dibandingkan dengan
media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan sebagainya),
televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan
gabungan dari media dengar dan gambar yang bisa bersifat politis,
informative, hiburan dan pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga
unsur tersebut.
Fungsi televisi sama dengan fungsi media massa lainnya, yakni
memberi informasi, mendidik, menghibur dan membujuk. Namun fungsi
hiburan merupakan fungsi yang lebih dominan, karena pada umumnya
tujuan utama khalayak menonton televisi untuk memeperoleh hiburan, dan
selanjutnya untuk memperoleh informasi (Ardianto dan Erdinaya 2004:
128). Jenis televisi yang dimaksud adalah televisi siaran (television
broadcast) yang merupakan media dari jaringan komunikasi dengan
karakteristik yang dimiliki komunikasi massa. (Effendy, 1993: 21)
Menurut Robert K. Avery dan Sanford B. Wienberg dalam
Kuswandi (1996: 53), posisi dan peranan televisi di masyarakat terbagi
dalam tiga fungsi yaitu:
1. The surveillance of the environment, yang berarti bahwa media
televisi berperan sebagai pengamat lingkungan.
20
2. The correlation of part of society in responding to the
environment, yaitu media televisi mengadakan korelasi antar
informasi data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak
sasaran karena komunikator lebih menekankan pada seleksi,
mengevaluasi dan interpretasi.
3. The transmission of the social heritage from one generation to
the next, yaitu media TV berperan menyalurkan nilai-nilai
budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Siaran Televisi di Indonesia
Kegiatan penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada tanggal 24
Agustus 1962, bertepatan dengan dilangsungkannya pembukaan pesta
olahraga se-Asia IV atau Asean Games di Senayan. Sejak itu pula Televisi
Republik Indoesia yang disingkat TVRI dipergunakan sebagai panggilan
stasiun (station call) sampai sekarang.Selama tahun 1962-1963 TVRI
berada di udara rata-rata satu jam sehari dengan segala kesederhanaannya.
(Ardianto & Lukiati, 2004:127)
Di Indonesia sendiri, dunia pertelevisian berkembang pesat,
terbukti dengan bermuncullannya televisi swasta dibarengi dengan
deregulasi pertelevisian Indonesia oleh pemerintah, sejak tanggal 24
Agustus 1990. (Kuswandi, 1996: 35). TVRI yang berada di bawah
Departemen Penerangan, kini siarannya sudah dapat menjangkau hampir
seluruh rakyat Indonesia. Sejak tahun 1989 TVRI mendapat saingan dari
21
stasiun TV lainnya, yakni (RCTI) Rajawali Citra Televisi Indonesia yang
bersifat komersial. Kemudian secara berturut-turut berdiri stasiun televisi
(SCTV) Surya Citra Televisi Indonesia, (TPI) Televisi Pendidikan
Indonesia dan (ANTEVE) Andalas Televisi. (Ardianto & Lukiati, 2004 :
127).
Pengaruh siaran televisi terhadap sistem komunikasi tidak pernah
terlepas dari pengaruh aspek-aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Hal
ini disebabkan oleh pengaruh psikologis dari televisi itu sendiri, di mana
televisi seakan-akan menghipnotis penonton, sehingga mereka terhanyut
dalam keterlibatan akan kisah atau peristiwa yang disajikan oleh televisi.
(Effendy, 2002: 122)
4. Sinetron di Indonesia
Siapa yang tidak kenal dengan sinetron. Masyarakat Indonesia pun
pasti sangat mengenal sekali dengan sinetron. Televisi swasta yang ada di
Indonesia saling berlomba dalam menampilkan program hiburan. Salah
satunya adalah sinetron yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia..
Menurut Veven Sp. Wardhana, sinetron merupakan penggabungan
dari kata “sinema” dan “elektronik”. Namun, elektronika disini tidak
mengacu pada pita kaset yang proses perekamannya tetap berdasarkan
kaidah-kaidah elektronis itu. Elektronis dalam sinetron mengacu pada
medium penyiarannya, yaitu televisi, atau televisual, yang memang
merupakan medium elektronik. (Wardhana, 1994: 27).
22
Sedangkan menurut Eduard Depari dalam Kuswandi (1996: 131),
sinetron adalah sinema elektronik yang berisikan alur cerita bersambung,
cerita pendek dan memiliki pesan yang menggambarkan kehidupan sosial
yang menyangkut aspek hubungan dan pergaulan sosial
Sinetron dalam perkembangannya terdapat suatu kategori yang bisa
membedakannya. Adapun macam-macam kategori suatu sinetron adalah:
1. Sinetron Lepas
Sinetron lepas merupakan sinetron yang langsung selesai saat
penayangan itu juga. Sinetron ini berisi satu episode saja. Sehingga cerita
yang disajikan akan berakhir saat jam tayang selesai. Karena jam tayang
yang pendek, sinetron jenis ini biasanya mengangkat tema-tema yang
ringan agar pesan yang disampaikan tertangkap oleh pemirsa yang
melihat. Pada sekarang ini, banyak paket jenis ini yang diterima oleh
televisi karena memang ceritanya tidak bertele-tele.
2. Sinetron Seri
Sinetron seri merupakan yang jumlah episodenya banyak. Kendati
jumlah episodenya banyak, masing-masing episode tersebut tidak
berkaitan dengan episode selanjutnya. Karena cerita yang disuguhkan akan
selesai pada waktu itu juga, kecuali karakter tokoh-tokoh yang akan tetap
seperti awal tayang. Karenanya menonton sinetron seri tidak harus
berurutan. Sinetron seri ini bisa berjenis drama atau komedi.
23
3. Sinetron Serial
Sinetron serial merupakan sinetron yang masing-masing
episodenya bersambung. Jadi cerita yang disajikan adalah sinetron serial
ini belum selesai pada hari itu juga, akan tetapi ada kelanjutannya pada
hari selanjutnya. Cerita yang diambil dalam sinetron jenis ini biasanya
bercerita tentang kekomplekan masalah hidup. Pada perkembangannya
sekarang, banyak sinetron serial yang mengambil ide cerita pada cerita
bersambung dari buku atau koran. Akan tetapi ada juga yang berasal dari
ide murni seorang pembuat sinetron. Sekarang kalau dilihat dari asal usul
jenis serial ini dapat ditaksir bahwa masing-masing episode dalam sinetron
ini bersambung dan bersebab akibat. Karena itu untuk sinetron serial ada
kemungkinan untuk dipanjang-panjangkan atau sekuel dari sinetron
pertamanya. Meskipun episodenya banyak, akan tetapi sinetron serial ini
bisa diketahui kapan episode keseluruhan berakhir.
4. Sinetron Mini seri
Sinetron Mini seri adalah sinetron yang jumlah episodenya
biasanya dibawah sepuluh episode. Sinetron berjenis mini seri, tidak akan
dilanjutkan lagi jumlah episodenya. Lantaran sebagai miniseri dia adalah
sebuah karya yang utuh dan selesai. Miniseri bukanlah sinetron yang
panjang yang penyiarannya dipisahpisahkan dan dipilah-pilah karena jatah
tayang yang sedikit. Apabila terjadi pemanjangan episode karena banyak
peminatnya, mini seri tidak berubah, dia tetaplah mini seri. Sementara
episode selanjutnya disebut sebagai Pseudo-mini seri.
24
5. Sinetron Maksi seri
Sinetron Maksi seri merupakan sinetron yang jumlah episodenya
dan kapan berakhirnya tidak diketahui. Sinetron maksi seri berasal dari
sinetron seri atau serial yang dipanjangkan karena banyaknya peminat atau
rating yang tinggi. (Wardhana, 1994: 294-296).
Beragam tema sinetron disuguhkan oleh stasiun televisi demi
kepuasan dan kesenangan para penonton. Walaupun sebenarnya tujuan
utama adalah keuntungan yang didapat dari rating semata. Lalu, mengapa
sinteron begitu banyak ditonton pemirsa? Ada beberapa faktor yang
membuat paket acara yang satu ini disukai pemirsa yaitu:
1. Isi pesannya sesuai dengan realitas sosial pemirsa
2. Isi pesannya mengandung cermin tradisi luhur budaya masyarakat
(pemirsa)
3. Isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (Kuswandi, 1996: 130).
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sinetron memang produk
televisi yang memiliki pendapatan paling banyak karena didukung adanya
penggemar sinetron yang merajalela. Kedekatan cerita dengan penonton
sangat beriringan dan dianggap sebagai cerminan dari kehidupan
penontonnya.
25
5. Dampak Menonton Televisi
Tak ada satu pun dari kita yang mau mengakui bahwa televisi
benar-benar memengaruhi kita. Televisi terkesan sebagai medium dangkal
dengan cerita-cerita yang terlalu sederhana. Namun, televisi adalah media
massa yang paling kuat dan paling berpengaruh. Mengabaikan televisi
tidak akan membuat pengaruhnya sirna seketika. Mengabaikan akan
menjurus pada ketidakpedulian, dan ketidakpedulian itu selalu berbahaya.
(Bajari & Saragih, 2011:487)
Menurut Prof. Dr. R. Ma’rat dari Universitas Padjajaran (Unpad)
Bandung, acara televisi pada umumnya memang mempengaruhi sikap,
pandangan, persepsi dan perasaan para penonton; ini adalah hal yang
wajar. Jadi, bila ada hal-hal yang mengakibatkan penonton terharu,
terpesona atau latah, bukanlah sesuatu yang istimewa. Alasannya, salah
satu pengaruh psikologis dari televisi ialah seakan-menghipnotis penonton,
sehingga mereka seolah hanyut dalam keterlibatan pada kisah atau
peristiwa yang dihidangkan televisi (Effendy, 2004: 122).
Berbagai macam dampak yang ditimbulkan dari menonton televisi
sangat beragam, positif maupun negatif. Tidak hanya berpengaruh kepada
pola hidup, televisi juga berpengaruh terhadap perilaku pemirsanya.
Menurut Kuswandi Wawan (1996: 100), di dalam bukunya Komunikasi
Massa Sebuah Analisis Media Televisi mengatakan ada tiga dampak yang
ditimbulkan dari menonton televisi yaitu:
a. Dampak kognitif yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan
26
televisi yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. Sebagai contoh adanya program acara talk show tentang penyakit diabetes.
b. Dampak peniruan yaitu pemirsa dihadapkan pada trendi aktual yang ditayangkan televisi. Misalnya saja gaya berpakaian, gaya rambut, bahkan gaya hidup dari apa yang ditampilkan di televisi.
c. Dampak perilaku yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi yang diterapkan dalam kehidupan pemirsa sehari-hari. Perilaku yang dilakukan oleh aktor atau aktris di televisi bisa saja menjadi sebuah panutan bagi para penonton yang mengidolakannya.
6. Remaja
Pada tahun 1974, WHO (World Health Organization) memberikan
definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi
tersebut dikemukakan tiga kriteria tentang perkembangan remaja, yaitu
biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Maka, secara lengkap definisi
tersebut berbunyi sebagai berikut.
Remaja adalah suatu masa ketika:
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai
kematangan seksual;
2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola
identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa;
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang
penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. (Muangman,
1980: 9 dalam Sarwono, 2008: 10)
27
Sekiranya usia remaja ada di antara anak dan orang dewasa.
Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun
psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mereka masih termasuk golongan
kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempat dalam masyarakat.
Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah Menengah atau Perguruan
Tinggi (Monks, A.M.P Knoers, dan Rahayu, 1999: 259)
Monks & dkk, juga menambahkan batasan usia masa remaja
adalah masa di antara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa
remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa
remaja akhir. (Monks, dkk, 1999: 288). Sedangkan WHO membagi kurun
usia dalam dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir
15-20 tahun sebagai usia pemuda (youth). Di Indonesia, batasan remaja
yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24
tahun. Hal ini dikemukakan dalam sensus penduduk 1980. (Sarwono,
2008: 10)
Perkembangan dari masa kanak-kanak menuju dewasa beragam
mulai dari fisik maupun psikis. Dadang Sulaeman dalam bukunya
Psikologi Remaja Dimensi-dimensi Perkembangan menerangkan, masa
remaja awal ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Pertumbuhan physic berjalan secara cepat bila dibandingkan
dengan masa-masa sebelumnya, terutama pertumbuhan tinggi dan
berat badan serta perubahan-perubahan secara umum dalam
proporsi dari berbagai bagian tubuh.
28
2. Pada periode ini para remaja mulai mengadakan penyesuaian
sosial. Mereka senang hidup berkelompok. Kesadaran kelamin
bertambah besar. Mulai timbul minta terhadap jenis kelamin,
sehingga memudahkan melakukan kegiatan-kegiatan sosial secara
kooperatif.
3. Mereka mulai mempertimbangkan nilai-nilai. Kepalsuan serta
kebohongan akan cepat diketahui mereka.
4. Di sekolah mereka banyak melakukan penyelidikan dalam
dunia musik, kesenian, kerajinan tangan, seni drama dan lain-lain.
Pada usia ini semakin berkembanglah kemampuan untuk belajar,
memahami hubungan-hubungan, mempelajari hal-hal yang lebih
kompleks, mampu untuk mengadakan generalisasi, mampu untuk
memikirkan hal-hal yang abstrak, minatnya terhadap diri sendiri
dan orang lain lebih besar. Mereka bersifat kritis, baik terhadap
dirinya maupun orang lain. (Sulaeman & Hamalik 1995: 3-4)
7. Literasi Media (Media Literacy)
‘Literasi media’ (sebagai terjemahan dari media literacy) adalah
istilah yang makin populer di Indonesia untuk menyebut berbagai aktivitas
yang terkait dengan sikap kritis terhadap media, sekali pun bila diteliti
lebih dalam maka akan ditemukan ragam pemaknaan yang sangat
bervariasi (http://indonesia-medialiteracy.net/. Diakses pada 10 Februari
2015, Pkl 20.44 WIB). Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi
mengenai Penanggulangan Dampak Negatif Media Massa, yaitu 21
29
Century Literacy Summit yang diselenggarakan di Jerman pada 7-8 Maret
2002, diperoleh gambaran kesepakatan yang disebut 21 Century in A
Convergen Media Word. Kesepakatan tersebut seperti disampaikan
Bertelsmann dan AOL Time Warner (2002), bahwa media literasi
mencakup:
1. Literasi teknologi; kemampuan memanfaatkan media baru
seperti internet agar bisa memiliki akses dan
mengkomunikasikan informasi secara efektif.
2. Literasi informasi; kemampuan mengumpulkan,
mengorganisasikan, menyaring, mengevaluasi dan membentuk
opini berdasarkan hal-hal tadi.
3. Kreativitas media; kemampuan yang terus meningkat pada
individu di manapun berada untuk membuat dan
mendistribusikan isi kepada khalayak berapapun ukuran
khalayak.
4. Tanggung jawab dan kompetensi sosial; kompetensi untuk
memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi publikasi secara
on-line dan bertanggung jawab atas publikasi tersebut,
khususnya pada anak-anak. (White Paper: 21st Century
Literacy In A Convergent Media World,
http://www.ictliteracy.info/, diakses pada Rabu, 16 Desember
2015, 18.10 WIB).
30
Berbagai macam definisi mengenai literasi media dari berbagai
sumber, Potter (2010: 675–696) tuangkan diantaranya,
a. Silverblatt dan Eliceiri (1997) dalam Dictionary of Media
Literacy mendefinisikan literasi media sebagai keterampilan berpikir kritis
yang memungkinkan khalayak media untuk menguraikan informasi yang
mereka terima melalui saluran komunikasi massa dan memberdayakan
mereka untuk mengembangkan penilaian independen tentang konten
media (hal. 48).
b. Alliance for a Media Literate America: membangun pertanyaan
kritis dan belajar tentang media disbanding dengan hanya menyalahkan
media (www.amlainfo.org).
c. National Leadership Conference on Media Literacy:
kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan
mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk (Aufderheide, 1993).
Menurut beberapa definisi dari berbagai sumber di atas dapat
disimpulkan bahwa literasi media sama seperti yang diungkapkan oleh
Devito (2008:4) dalam Rahardjo (2012: 6) yang memberikan batasan
literasi media sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan
memproduksi pesan-pesan komunikasi massa (televisi, fiim, musik, radio,
billboards, periklanan, public relations, surat kabar dan majalah, buku,
websites dan blogs, newsgroup dan chatrooms).
31
Literasi Media Televisi
Bertolak dari kecemasan akan dampak media sekaligus
pengharapan publik atas kualitas tayangan program serta semakin tak
terhindarkannya “serbuan” tayangan program televisi dalam kehidupan
masyarakat, perlu kiranya agenda media literacy disosialisasikan dan
direalisasikan secepatnya di Indonesia. Luis V. Teodoro dalam Rahayu
(2004: 177), seorang professor bidang jurnalistik dari University of the
Philippines, mengingatkan:
“The power of the media and their omnipresence require a public that can distinguish fact from fiction and propaganda from truth. The public must be media literate if it is not to be manipulated by the various interest, biases and failings that drive the media even in –some argue specially in- regimes of media freedom.” Pesan ini menekankan betapa pemberdayaan publik merupakan
kunci penting dalam menyikapi media. Diisyaratkan, seiring dengan
perkembangan teknologi informasi, perkembangan media dari waktu ke
waktu semakin dinamis dengan variasi dan desain isi (program) yang amat
beragam. Perisai pertahanan hanya dapat mengandalkan diri individu
sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, perlu pembekalan
pengetahuan tentang media melalui media literacy.
Penelitian ini akan menggunakan model konsep literasi media dari
National Leadership Conference on Media Education yang menyatakan
bahwa literasi media yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis,
mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuknya
(Hobbs, 1999 dalam Judhita, 2013: 52). Kategori akses menilai
32
pemahaman dasar dan serta kemampuan mengakses yang dilakuan remaja
terhadap media dan pesan media. Kategori analisa adalah remaja dapat
menilai pemahamannya terhadap tujuan pesan media dan apakah remaja
dapat mengidentifikasi pengirim pesan melalui media dan apa isi pesan
tersebut. Kategori evaluasi adalah bagaimana individu mampu menilai
pesan yang diterima kemudian dibandingkan dengan perspektif sendiri.
Dengan demikian, kategori ini akan mencakup penilaian subjektif seorang
individu atau reaksi sikap terhadap pesan serta implikasi lain dari pesan.
Sedangkan untuk kategori komunikasi bagaimana kemampuan individu/
remaja untuk mengkomunikasikan pesan yang diterima dari media dalam
bentuk apa saja baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.
33
Tabel 1.1. Model Konsep Literasi Media
No.
Kategori Literasi Menurut National
Leadership Conference on Media
Education
Keterangan Indikator
1. Mengakses Pemahaman dan pengetahuan menggunakan dan Mengakses Media dan mampu memahami isi pesan
• Media yang digunakan • Frekuensi penggunaan • Tujuan penggunaan • Mengerti isi pesan
2. Menganalisa
Mampu memahami tujuan pesan media dan dapat mengidentifikasi pengirim pesan melalui media dan apa isi pesan tersebut.
• Kemampuan mengingat pesan yang diterima melalui media.
• Mampu menjelaskan maksud dari pesan.
• Mampu mengidentifikasi pengirim pesan.
• Mampu menilai pesan media yang dapat menarik perhatian
3. Mengevaluasi Mampu menilai pesan yang diterima kemudian dibandingkan dengan perspektif sendiri. Hal ini mencakup penilaian subjektif seorang individu atau reaksi sikap terhadap pesan serta implikasi lain dari pesan
• Sikap, perasaan atau reaksi yang dirasakan setelah menerima pesan dari media.
• Mengungkapkan informasi apa saja yang menyarankan atau memberikan informasi yang berguna bagi pengguna
4. Mengkomunikasikan Mampu mengkomunikasikan pesan yang diterima dari media dalam bentuk apa saja kepada orang lain
• Pesan yang diterima dikomunikasikan dalam bentuk apa
Sumber : National Leadership Conference on Media Education (Hobbs,1999)
dikutip dari Juditha (2013: 52).
34
8. Teori Kultivasi
Cultivation analysis pertama kali diperkenalkan oleh George
Gerbner pada 1968. Menurutnya ada dua tipe penonton TV, yaitu “Heavy-
viewers” (orang yang menghabiskan waktu cukup banyak untuk menonton
TV) dan “Light-viewers” (orang yang menghabiskan sedikit waktu untuk
menonton TV). Khalayak yang termasuk “Heavy-viewers” (penonton
berat) menurut Gerbner akan memandang dunia nyata ini sama dengan
gambaran yang ada di TV. Semakin sering dia menonton acara kekerasan
di TV, maka dia akan menganggap bahwa dunia ini penuh dengan
kekerasan. (Kriyantono, 2010: 285)
Teori kultivasi didasari pada penggunaan media televisi,
penggunaan media dalam efek kultivasi yaitu dari penggunaan media dari
jumlah waktu dalam menggunakan media, dan berbagai hubungan antara
individu konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan
media secara keseluruhan (Rakhmat, 1989:89)
Menurut West & Turner, terdapat tiga asumsi dasar dalam teori
kultivasi untuk mengedepankan gagasan bahwa realitas yang diperantai
oleh TV menyebabkan khalayak menciptakan realitas sosial mereka
sendiri yang berbeda dengan realitas sebenarnya. (Morrisan, 2010: 107).
Asumsi teori kultivasi menurut West & Turner,yaitu:
a. Asumsi yang pertama, TV adalah media yang sangat berbeda. Asumsi ini menekankan pada keunikan atau mungkin kekuatan dari televisi dibanding media lain. Televisi tidak membutuhkan kemampuan untuk membaca, sebagaimana dengan media cetak, untuk bisa mengonsumsi TV tidak seperti bioskop, tayangan TV umumnya dapat dinikmati tanpa perlu membayar.
35
Tidak seperti radio, TV menggabungkan suara dan gambar. Tidak diperlukan mobilitas, sebagaimana pergi ke tempat bioskop atau teater.
b. Asumsi yang kedua adalah TV membentuk cara masyarakat berpikir dan berinteraksi. Analisis kultivasi tidak menyatakan mengenai apa yang akan lakukan sesorang berdasarkan menonton televisi yang penuh dengan kekerasan, melainkan teori ini mengasumsikan bahwa menonton televisi yang penuh dengan kekerasan akan membuat kita merasa takut karena televisi menanamkan di dalam diri kita gambaran dunia yang kejam dan berbahaya.
c. Asumsi ketiga menyatakan bahwa pengaruh televisi bersifat terbatas. Teori kultivasi tidak memandang TV sebagai media yang memiliki kekuatan besar (powerful), justru sebaliknya gagasan ini memiliki paradigma yang memandang TV sebagai media dengan pengaruh terbatas terhadap individu dan budaya. Hal ini mungkin terdengar aneh, mengingat akses dan ketersediaan TV di masyarakat yang begitu luas, namun berdasarkan observasi yang terukur dan independen menunjukkan bahwa kontribusi TV kepada budaya pada dasarnya memang relatif kecil. Gerbner menggunakan analogi zaman es untuk membedakan analisis kultivasi di satu pihak dan gagasan efek media terbatas. Analogi zaman es (ice age analogi) menyatakan bahwa, perubahan temperatur rata-rata sebanyak beberapa derajat celcius lebih rendah dapat membuat bumi kembali ke zaman es. Analogi penghitungan hasil pemilu juga dapat digunakan dalam hal ini karena pemenangnya dapat ditentukan dengan melihat sejak awal melalui perbedaan tipis margin suara, begitu pula pengaruh TV yang walaupun kecil, tetapi luas dan terus-menerus mampu membuat perbedaan penting pada masyarakat. (Morrisan, 2010: 107).
Secara ringkas Gerbner dalam Kriyantono (2010) memberikan
proposisi-proposisi tentang Teori Kultivasi sebagai berikut:
• Televisi merupakan suatu media yang unik yang memerlukan
pendekatan khusus untuk diteliti.
• Pesan-pesan televisi membentuk sebuah sistem yang koheren,
mainstream dari budaya kita.
36
• Sistem-sistem isi pesan tersebut memberikan tanda-tanda untuk
kultivasi.
• Analisis kultivasi memfokuskan pada sumbangan televisi
terhadap waktu untuk berpikir dan bertindak dari golongan-
golongan sosial yang besar dan heterogen.
• Teknologi baru (seperti VCR) memperluas daripada
mengelakkan jangkauan pesan televisi.
• Analisis kultivasi memfokuskan pada penstabilan yang meluas
dan penyamaan akibat –akibat.
Pada intinya menurut teori kultivasi, televisi mampu menciptakan
“sindrom dunia makna”, artinya bagaimana sesorang memaknai dunia
dipengaruhi oleh pemaknaan televisi. (Kriyantono, 2010: 286)
Penelitian Terdahulu
Liliek Budiastuti Wiratmo dan Samudi (2009) melakukan
penelitian mengenai literasi media pada perempuan. Informan terdiri dari
beberapa orang perempuan Ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan di Kota
Semarang dari berbagai kalangan. Temuan penelitian di lapangan
memperkuat dugaan masih rendahnya tingkat literasi media perempuan
yang selama ini mengkhawatirkan. Televisi menjadi pilihan utama
informan ketika ditanya tentang media apa yang paling banyak diakses.
Dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa perempuan lebih menyukai
infotainment dan sinetron kian tak terbantahkan. Apa yang ada dalam
37
sinetron tersebut mereka serap dan gunakan dalam hubungan sosial.
Misalnya Seperti istilah “demek” digunakan anak-anak yang lebih tua
untuk memanggil adik bungsunya yang gemuk. Pemahaman mengenai
cara kerja dan produksi media masih kurang bahkan tidak tahu. Informan
mengatakan bahwa hal itu tidak penting yang terpenting bagi mereka
adalah mendapat hiburan yang dapat membuatnya rileks. Tak kalah
menarik untuk disimak adalah mencermati kemampuan perempuan dalam
mengakses media secara kritis. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan
perempuan yang menjadi tokoh di wilayahnya atau memiliki pendidikan
yang memadai mempunyai sikap kritis dalam mengakses media. Kondisi
sebaliknya muncul di kalangan ibu rumah tangga yang merasa kesulitan
mengendalikan ketergantungan anak-anak pada televisi. Namun, ada
kecenderungan orang tua merasa aman kalau anak-anak menonton kartun
atau sinetron anak-anak (karena tokoh utamanya anak-anak).
Siti Masitoh (2013) dalam penelitian tesisnya mengenai melek
media khalayak mengambil tayangan talkshow televisi yaitu Indonesia
Lawyers Club di TVOne sebagai subjek dalam penelitiannya. Penelitian
ini menggunakan metode studi kasus dan bertujuan untuk mengkaji media
literacy khalayak menonton tayangan talk show Indonesia Lawyers club
di televisi dalam hal untuk memahami “apakah tayangan tersebut dapat
memberikan pembelajaran hukum bagi pemirsanya.” Dalam penelitian ini
yang menjadi informan adalah 4 informan yang mempunyai latar belakang
hukum dan 1 mahasiswa jurusan sistem informatika, dan sering menonton
38
tayangan Indonesia Lawyers Club. Pengumpulan data mengenai media
literacy dilihat dari empat kemampuan berdasarkan James W. Potter, yaitu
analisis, evaluasi, grouping, dan abstraksi. Didapatkan data bahwa hampir
semua informan memiliki kemampuan itu semua terhadap tayangan
talkshow Indonesia Lawyers Club baik informan yang berlatar belakang
pendidikan sarjana hukum maupun bukan. Akan tetapi, yang menjadi
benang merah dalam penelitian ini adalah bahwa kemampuan media
literacy yang baik tidak mengubah perilaku menonton informan dalam
penelitian ini. Walaupun sebenarnya mereka memahami bahwa acara ini
banyak mengundang kontroversi dan ditemukan sikap-sikap yang tidak
baik menurut norma dan etika dari para pengacara, namun sampai
penelitian ini dilakukan mereka masih menonton tayangan talkshow
Indonesia Lawyers Club dengan berbagai alasan. Jika merujuk pada tujuan
dari media literacy adalah sebagai senjata pengontrol untuk dapat
menyeleksi tayangan televisi dan yang tidak baik, maka dalam penelitian
ini hal itu tidak terlihat.
Sabri Sidekli (2013) dengan artikel jurnal yang berjudul Media
Literacy: Experiences Of 6th 7th And 8th Graders meneliti sikap dan
kebiasaan, siswa kelas 6, 7, dan 8 terhadap media, dan tingkat literasi
media mereka menurut jenis kelamin, status pekerjaan ibu, dan tingkat
pendidikan orang tua. Penelitian media literacy ini mencakup pola siswa
dari menonton TV, membaca koran dan penggunaan internet. Dari analisis
hasil, telah diidentifikasi bahwa siswa menunjukkan sikap positif dengan
39
tingkat 86,6 % terhadap televisi , 77,2 % untuk internet dan 74,2 % untuk
surat kabar. Sikap siswa terhadap media telah dibandingkan sesuai dengan
tingkat pendidikan orang tua, status pekerjaan ibu dan jenis kelamin.
Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa ada perbedaan yang berarti
antara tingkat literasi media pada siswa menurut jenis kelamin. Terlihat
bahwa tingkat melek media siswa perempuan lebih tinggi dari siswa laki-
laki. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin rendah
kebiasaan media siswa terhadap televisi dan internet. Kebiasaan siswa
membaca koran paralel dengan tingkat pendidikan orang tua. Semakin
tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin tinggi kebiasaan membaca
surat kabar siswa. Di sisi lain bahwa status pekerjaan ibu mempengaruhi
tingkat media literacy dari siswa. Perbedaan yang berarti telah
diidentifikasi antara tingkat melek media siswa menurut tingkat
pendidikan ibu. Tingkat media literasi siswa yang ibunya adalah lulusan
berpendidikan tinggi, lebih bermakna dari tingkat melek media siswa yang
ibunya adalah lulusan SD. Akan tetapi, ketika tingkat melek media telah
dibandingkan dengan tingkat pendidikan ibu, telah diamati bahwa tinggi
tingkat pendidikan ibu, semakin tinggi pula tingkat melek media siswa.
Erica Scharrer (2009), dalam penelitiannya melibatkan 89 siswa
kelas enam dari lima kelas yang berbeda di tiga kota dalam radius 20 mil
dari satu sama lain , meliputi kota pedesaan, kota perguruan, dan kota
pasca-industri kecil di New England Amerika. Penelitian tersebut meneliti
efek dari program bersama antara literasi media dan resolusi konflik
40
dengan merancang sebuah program kurikulum. Literasi media dan
program revolusi konflik yang dilaksanakan dirancang untuk mendorong
pemikiran kritis, memfasilitasi literasi media, dan mendorong penyelesaian
konflik tanpa kekerasan. Kurikulum dirancang dimulai dengan pengenalan
materi dilanjutkan dengan diskusi terbuka dan diterapkan kegiatan kepada
siswa . Guru memperkenalkan pelajaran yang terdiri dari ringkasan dari
tema utama yaitu efek media dan penelitian komunikasi interpersonal
terkait kekerasan dan konflik. Kegiatan pelajaran yang terdiri dari diskusi
oleh siswa, kegiatan interaktif, latihan bermain peran, dan proyek produksi
media. Dalam artikel jurnal penelitian yang berjudul Measuring the Effects
of a Media Literacy Program on Conflict and Violence ini, pengumpulan
data terjadi dalam bentuk kuesioner pra-unit dikelola oleh peneliti sebelum
kurikulum dimulai dan kuesioner pasca-unit yang dikelola oleh guru kelas
sekitar satu minggu setelah kurikulum telah berakhir. Hasil yang muncul
dalam dua dari tiga skenario yang dibuat (mengungkap rahasia, mengejek
kamu, kamu tersandung dan tertawa), ada bukti perubahan dari respon
yang lebih agresif (menggunakan ancaman fisik atau tindakan atau, lebih
moderat, strategi tidak langsung atau secara lisan agresif), menuju mediasi
non-agresif konflik. Dengan demikian, ketika dihadapkan dengan konflik
yang mungkin realistis dalam kehidupan anak usia 12 tahun, ada beberapa
indikasi bahwa berpartisipasi dalam kurikulum dikaitkan dengan memilih
cara non-agresif untuk mengatasi situasi. Anak-anak melihat paparan
media kekerasan berpotensi untuk dua alasan, yang bisa menginspirasi
41
mereka untuk berpikir lebih kritis tentang kekerasan di media yang mereka
konsumsi dan akhirnya mencegah respon negatif dari mereka sendiri.
F. Kerangka Pemikiran
Sinetron merupakan salah satu program televisi yang seringkali
memiliki banyak penggemar dan penonton. Penayangan sinetron yang setiap
hari atau striiping bahkan bisa dibilang akan didapati perbedaan perlakuan
menonton dari program lainnya. Kegiatan menonton sinetron setiap hari
terkait dengan teori kultivasi bahwa akan membentuk cara berpikir dan
berinteraksi . Cara berpikir dan berinteraksi inilah bisa kita lihat dalam literasi
media. Dimana literasi media mencakup kegiatan mengakses, kemampuan
dalam menganalisis, kemampuan dalam mengevaluasi, dan kemampuan
mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk.
Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran
Kegiatan Menonton Sinetron Penonton
Heavy Viewer
Literasi Media
1. Kegiatan Mengakses
2. Kemampuan dalam Menganalisis
3. Kemampuan dalam Mengevaluasi
4. Kemampuan Mengkomunikasikan
Pesan
42
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Riset
kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-
dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak
mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau
samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam
dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari
sampling lainnya. Disini yang lebih ditekankan adalah persoalan
kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data. (Kriyantono,
2010: 56-57).
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran,
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 2005: 54).
Menurut Lexy Moleong, metode kualitatif merupakan prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, gambar dan bukan
angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian ini akan berisi kutipan-
kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut.
(Moleong, 1996: 6)
43
2. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh secara langsung
dari informan melalui wawancara. Data primer diperoleh dari hasil
wawancara dengan objek penelitian yaitu Siswa-siswi SMA Negeri
Colomadu, Kabupaten Karanganyar khususnya yang merupakan
penonton Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala di SCTV dengan tipe
heavy viewer. Heavy viewer yaitu dimana informan yang melakukan
kegiatan menonton Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala setiap hari dan
informan dalam penelitian ini berjumlah 6 orang.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh untuk melengkapi
data primer yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder
diperoleh dari data internet, buku, dan sumber cetak lainnya.
3. Lokasi Penelitian
SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara atau interview merupakan alat pengumpulan data yang
sangat penting dalam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan
44
manusia sebagai subyek (pelaku, actor) sehubungan dengan realitas
atau gejala yang dipilih untuk diteliti. (Pawito, 2007: 132)
Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah
manusia dalam kapasitas sebagai responden atau informan penelitian.
Untuk mendapatkan informasi dari sumber data ini diperlukan teknik
yang disebut wawancara. Wawancara dibedakan menjadi dua, yaitu
wawancara tak tersturktur dan wawancara terstruktur. Wawancara tak
terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam (indepth
interview), wawancara intensif, wawancara kualitatif, wawancara
terbuka dan wawancara etnografis. Sedangkan wawancara terstruktur
sering disebut wawancara baku (standardized interview), yang susunan
pertanyaannya sudah ditetapkan sebelumnya dan biasanya tertulis
disertai pilihan jawaban yang sudah disediakan (Mulyana, 2006: 180).
Penelitian ini menggunakan wawancara dengan menggunakan interview
guide sebagai alat bantu melakukan wawancara.
b. Dokumentasi
Yaitu mengumpulkan gambar yang diperoleh dari screenshoot
adegan- adegan yang ada di tayangan Sinetron Ganteng-Ganteng
Serigala. Gambar- gambar screenshot diperoleh dari video yang diakses
dan diperoleh dari situs Youtube.com.
c. Studi Pustaka
Data sekunder dari studi kepustakaan yaitu pengumpuan data yang
bersumber dari buku literatur, hasil penelitian terdahulu, dan berbagai
45
dokumen yang mendukung dan berhubungan dengan kajian dari
penelitian ini.
5. Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
teknik purposive sampling. Pengambilan sampel secara purposive yaitu
dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informasi dan
masalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi
sumber data yang mantap (Sutopo, 2002: 56).
Dalam penelitian ini yang menjadi informan atau narasumber
adalah siswa-siswi SMA Negeri Colomadu Karanganyar yang khususnya
sebagai penonton Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala di SCTV dengan
tipe heavy viewer. Heavy viewer yaitu dimana informan yang melakukan
kegiatan menonton Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala setiap hari dan
terdapat 6 informan yang termasuk tipe tersebut di penelitian ini.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif biasanya memberikan
makna terhadap data, mengintepretasikan, dan mengubahnya ke dalam
bentuk narasi yang temuannya mengarah pada proposisi ilmiah yang
akhirnya sampai pada kesimpulan final. Pertanyaan utama yang harus
dijawab dalam penelitian kualitatif adalah how did researcher get to these
conclusion from these data? (Pawito, 2007: 101)
46
Penelitian kualitatif ini menggunakan analisis data versi Miles dan
Huberman yang dikenal dengan model interaktif. Model interaktif ini
terdiri dari tiga alur kegiatan yang secara bersamaan, yaitu reduksi data,
penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi,
1. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar”
yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data merupakan
suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengategorisasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu,
dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data
yang terkumpul dapat diverifikasi.
2. Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun
yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan.
3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir
penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan
melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran
kesimpulan yang disepakati oleh subjek tempat penelitian itu
dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus diuji
kebenaran, kecocokan, dan kekokohannya.
47
Bagan 1.2. Model Interaktif Miles dan Huberman dalam
Usman & Akbar (2011: 88)
7. Validitas Data
Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam
kegiatan penelitian, harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh
karena itu dalam penelitian kualitatif diperlukan teknik pengembangan
validitas datanya. Validitas ini merupakan jaminan bagi kemantapan
simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian. Trianggulasi
merupakan cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas
dalam penelitian kualitatif (Sutopo, 2007: 78). Penelitian ini menggunakan
trianggulasi teori, dimana dalam membahas permasalahan yang dikaji
menggunakan teori yang berhubungan dengan permasalahan. Data
dikumpulkan berdasarkan teori- teori yang sudah dijelaskan pada telaah
pustaka yang dipergunakan sebagai referensi dan seperangkat alat
pertanyaan.
Pengumpulan
data Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulan/
Verifikasi