BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · A. Latar Belakang Masalah Pariwisata yang berkembang...

31
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata yang berkembang saat ini sangatlah pesat, sebagai insan pariwisata tentu harus selalu up to date mengenai tren apa saja yang berkembang di dunia pariwisata. Berikut adalah tren industri perjalanan dunia yang diprediksikan akan berkembang di tahun-tahun mendatang antara lain : 1. Melakukan perjalanan ke seluruh seluruh penjuru dunia (travelling around the world); 2. Maraknya destinasi untuk sebuah perayaan (more destination celebrations), baik pernikahan, ulang tahun, dan sejenisnya; 3. Reservasi dan booking online; 4. Tumbuhnya perjalanan untuk menciptakan pengalaman (experiential travel); 5. Sosial media dan blogger menjadi sumber pengaruh utama bagi terbentuknya perilaku berwisata; 6. Wisatawan semakin menginginkan pengalaman berlibur pribadi (individual holiday experiences); 7. Menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman merupakan kegiatan yang paling populer selama berlibur (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, 2016 : 20). Pariwisata di Indonesia tentu akan berkembang maju apabila semua lapisan masyarakat sadar mengenai manfaat potensi pariwisata yang terbentuk. Terutama untuk pariwisata lokal daerah-daerah di Indonesia. Seperti halnya Kota Surakarta yang memiliki salah satu slogan yaitu Solo The Spirit of Javayang dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Kota Surakarta. Selain menarik minat wisatawan, slogan tersebut juga dapat diciptakan sebagai branding pariwisata lokal, karena kota ini terkenal akan sejarah dan budaya yang sangat melekat. Selain itu, Kota Surakarta juga memiliki semboyan seperti kota-kota lain di Indonesia. Semboyan itu adalah Berseri yang berarti “Bersih, Sehat, Rapi, Indah”. Dan tidak kalah dengan kota-kota lainnya, Kota Surakarta juga

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · A. Latar Belakang Masalah Pariwisata yang berkembang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pariwisata yang berkembang saat ini sangatlah pesat, sebagai insan pariwisata

tentu harus selalu up to date mengenai tren apa saja yang berkembang di dunia

pariwisata. Berikut adalah tren industri perjalanan dunia yang diprediksikan akan

berkembang di tahun-tahun mendatang antara lain :

1. Melakukan perjalanan ke seluruh seluruh penjuru dunia (travelling around

the world);

2. Maraknya destinasi untuk sebuah perayaan (more destination celebrations),

baik pernikahan, ulang tahun, dan sejenisnya;

3. Reservasi dan booking online;

4. Tumbuhnya perjalanan untuk menciptakan pengalaman (experiential travel);

5. Sosial media dan blogger menjadi sumber pengaruh utama bagi terbentuknya

perilaku berwisata;

6. Wisatawan semakin menginginkan pengalaman berlibur pribadi (individual

holiday experiences);

7. Menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman merupakan kegiatan yang

paling populer selama berlibur (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota

Surakarta, 2016 : 20).

Pariwisata di Indonesia tentu akan berkembang maju apabila semua lapisan

masyarakat sadar mengenai manfaat potensi pariwisata yang terbentuk. Terutama

untuk pariwisata lokal daerah-daerah di Indonesia. Seperti halnya Kota Surakarta

yang memiliki salah satu slogan yaitu “Solo The Spirit of Java” yang dapat

menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Kota Surakarta. Selain menarik

minat wisatawan, slogan tersebut juga dapat diciptakan sebagai branding

pariwisata lokal, karena kota ini terkenal akan sejarah dan budaya yang sangat

melekat. Selain itu, Kota Surakarta juga memiliki semboyan seperti kota-kota lain

di Indonesia. Semboyan itu adalah Berseri yang berarti “Bersih, Sehat, Rapi,

Indah”. Dan tidak kalah dengan kota-kota lainnya, Kota Surakarta juga

2

mendapatkan Adipura yang merupakan penghargaan untuk kota-kota yang bersih

dan indah seperti semboyan yang ada di Kota Surakarta ini.

Kota Surakarta yang juga lazim disebut dengan Kota Solo, terletak di

Provinsi Jawa Tengah memiliki luas wilayah kurang lebih 44.04 km², yang dihuni

lebih dari 560.000 jiwa atau sekitar 128 penduduk per hektar. Selain letaknya

yang berada pada jalur strategis yang mempertemukan jalur dari arah Jakarta ke

Surabaya atau Bali, dari arah Semarang dan dari arah Yogyakarta menuju

Surabaya dan Bali atau sebaliknya, kota ini juga disebut sebagai “Ibu Kota

Budaya Jawa Tengah” yaitu sebagai orientasi budaya Jawa yang berbasis keraton

(Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, 2013).

Kota Surakarta bermula saat Kerajaan (Keraton) Kartasura telah mengalami

kerusakan akibat perang antara Sunan Paku Buwana II dengan Sunan Kuning

(1742) atau sering disebut dengan Geger Pecinan. Walaupun Keraton Surakarta

berhasil direbut kembali dengan bantuan VOC dan dengan mengorbankan

beberapa wilayah warisan Mataram untuk diberikan pada VOC, namun Sunan

Paku Buwana II menghendaki adanya pusat pemerintahan baru. Desa Sala terpilih

dari dua desa lainnya, yaitu Desa Kadipala dan Desa Sana Sewu, sebagi pusat

Keraton Mataram yang baru yang kemudian oleh Sunan Paku Buwana II diberi

nama Surakarta Hadiningrat. Hari Rabu, tanggal 17 Syura 1670 atau 17 Februari

1745, hari dilaksanakan dengan kirab secara besar-besaran pindahnya Ibukota

Kerajaan Mataram pindah dari Kartasura ke Surakarta Hadiningrat menjadi cikal

bakal lahirnya Kota Solo (Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, 2013).

Adapun jika dilihat perkembangannya secara fisik, Kota Solo pada awal

mulanya berkembang dari kota yang berorientasi pada sungai menjadi kota

daratan. Pada tahun 1500 – 1750, Kota Solo merupakan kota Tepian Sungai

Bengawan Solo yang merupakan sungai terbesar di Pulau Jawa dan kemudian

mulai berubah menjadi kota campuran perairan dan daratan pada tahun 1750 –

1850. Pada masa inilah terjadi pencampuran antara konsep kolonial Belanda

dengan konsep kosmologi keraton dan organik masyarakat (Dinas Tata Ruang

Kota Surakarta, 2013).

Kota Surakarta tersusun oleh tiga konsep permukiman yang terdiri dari pola

permukiman masyarakat pribumi, kolonial, masyarakat Belanda dan konsep

3

kosmologi oleh masyarakat Keraton Jawa. Oleh karenanya, Kota Surakarta

memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah baik representasi

budaya Jawa maupun kolonial baik yang terpencar dan berserakan di berbagai

lokasi, ataupun yang terkumpul di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa

kawasan kota tua dengan latar belakang sosialnya masing-masing (Dinas Tata

Ruang Kota Surakarta, 2013). Berikut merupakan peta wilayah Kota Surakarta :

Gambar 1. Peta Wilayah Kota Surakarta

Sumber : www.surakarta.go.id

Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang memiliki banyak bangunan

cagar budaya dan kawasan heritage. Wilayah-wilayah yang ada di Kota Surakarta

sangatlah bagus dan menarik apabila dijadikan salah satu destinasi alternatif bagi

wisatawan, yaitu berwisata dengan sejarah dan budaya Kota Surakarta serta

mengenal Solo heritage melalui toponimi Kota Surakarta, khususnya di

Kecamatan Banjarsari dengan memanfaatkan daya tarik dan potensi apa saja yang

ada pada kawasan heritage yang memiliki potensi wisata tersebut.

Kota Surakarta merupakan kota tujuan penting di tingkat regional, nasional

hingga internasional dengan memiliki berbagai jenis obyek wisata dan daya tarik

wisata yang disajikan bagi wisatawan, antara lain : wisata sejarah bisa dilakukan

4

di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Istana Pura Mangkunegaran,

Museum Radya Pustaka, lalu wisata kuliner seperti jajanan khas Solo yang bisa di

dapat di penjuru kota seperti di Pasar Gede, ada juga wisata belanja di Pasar

Klewer, Pasar Antik Windujenar Triwindu dan wisata alam yang berada di Taman

Satwa Taru Jurug, Taman Balekambang, dan Taman Sriwedari (Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, 2016 : 10).

Berdasarkan data dari Badan Promosi Pariwisata Kota Surakarta, 2013,

fasilitas pendukung dalam pariwisata di Kota Surakarta tidak lepas dengan adanya

sarana dan prasarana bagi wisatawan, seperti hotel berbintang yang sudah ada 28

buah, hotel melati sebanyak 77 buah, sementara jumlah kamar keseluruhan

sebanyak 4.500 room (Badan Promosi Pariwisata Kota Surakarta, 2013).

Kemajuan pariwisata di Kota Surakarta juga meluas hingga ke tingkat

kelurahan. Setiap kelurahan memiliki Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang

berusaha melakukan sosialisasi dan mengembangkan kegiatan seni budaya yang

dapat mendukung kemajuan kegiatan pariwisata Kota Surakarta, seperti yang

tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kepariwisataan

Nomor 10 Tahun 2009, dalam Pasal 19 yang mengatakan :

(1) Setiap orang berhak :

a. Memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata;

b. Melakukan usaha pariwisata;

c. Menjadi pekerja / buruh pariwisata; dan / atau

d. Berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan.

(2) Setiap orang dan / atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi

pariwisata mempunyai hak prioritas :

a. Menjadi pekerja / buruh;

b. Konsinyasi; dan / atau

c. Pengelolaan.

Dan di dalam Pasal 24 yang mengatakan :

Setiap orang berkewajiban :

a. Menjaga dan melestarikan daya tarik wisata; dan

b. Membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih, berperilaku santun,

dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi pariwisata.

5

Hal tersebut dilakukan dalam upaya melestarikan keberadaan cagar budaya

yang ada di Kota Surakarta, khususnya di Kecamatan Banjarsari seperti yang

tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010

Tentang Cagar Budaya, “bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur,

situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan

meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan

memanfaatkan cagar budaya”.

Heritage tersebut antara lain bangunan-bangunan heritage yang merupakan

bangunan cagar budaya, yaitu : Stasiun Solo Balapan, Stasiun Radio Republik

Indonesia (RRI), Ponten, Villa Park Banjarsari, Monumen ‟45, Pasar Antik

Windujenar Triwindu, Istana Pura Mangkunegaran, Masjid Al-Wustho, Monumen

Pers, Taman Balekambang. Untuk mengembangkan obyek-obyek heritage

tersebut agar lebih dikenal masyarakat luas, maka perlu dibuat konsep yang

menarik minat wisatawan yang berkunjung dalam upaya melestarikan dan

mengembangkan bangunan cagar budaya yang ada di Kota Surakarta. Agar tidak

merasa jenuh dan bosan dengan bangunan-bangunan heritage tersebut, maka bisa

dibentuknya konsep „tempo dulu‟ di setiap obyek-obyek ini dengan cara saling

sambung-menyambung dari obyek satu ke obyek lainnya. Konsep „tempo dulu‟

ini mengacu dengan teknik perencanaan pengembangan destinasi wisata dalam

buku I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta dalam bukunya Pengantar Ilmu

Pariwisata, 2009.

Obyek-obyek heritage tersebut sudah ada sejak penjajah masuk ke kota ini,

maka otomatis bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan cagar budaya

yang dilindungi oleh pemerintah, tentu masyarakat yang ada di sekitar juga perlu

ikut melindungi dan melestarikan keberadaan tempat-tempat tersebut sebagai aset

sejarah. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Undang-Undang Cagar Budaya dalam Pasal 1

mengenai perlindungan dan pelestarian, serta pemanfaatan cagar budaya yang

tertera sebagai berikut.

1) Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda

Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs

Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan / atau di air yang

6

perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi

sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan / atau kebudayaan

melalui proses penetapan.

2) Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan / atau benda buatan

manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau

kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki

hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

3) Bagunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda

alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang

berdinding dan / atau tidak berdinding, dan beratap.

4) Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda

alam dan / atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang

kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk

menampung kebutuhan manusia.

5) Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan / atau di air

yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan /

atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti

kejadian pada masa lalu.

6) Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang meiliki dua

Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan / atau

memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

7) Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan,

dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan

perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya

kesejahteraan masyarakat.

8) Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan

Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan,

dan memanfaatkannya.

9) Perlindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari

kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan,

Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.

7

10) Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan / atau menanggulangi

Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.

11) Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari

ancaman dan / atau gangguan.

12) Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan

Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.

13) Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik

Cagar Budaya tetap lestari.

14) Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar

Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang

rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan / atau teknik

pengerjaan untuk memperpanjang usianya.

15) Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi

Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan

Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan

Pelestarian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat

dalam penelitian adalah :

1. Heritage tangible dan intangible apa saja yang ada di Kecamatan Banjarsari –

Surakarta?

2. Bagaimana pengembangan Kecamatan Banjarsari sebagai destinasi heritage

di Kota Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitan ini adalah :

1. Untuk mengetahui heritage tangible dan intangible yang ada di Kecamatan

Banjarsari Kota Surakarta.

2. Untuk mengetahui pengembangan Kecamatan Banjarsari sebagai destinasi

heritage di Kota Surakarta.

8

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

1. Menambah pengetahuan, wawasan, dan informasi mengenai potensi wisata

sejarah dan budaya yang masih dimiliki Kota Surakarta sebagai aset yang

harus dilestarikan keberadaannya bagi pembaca dan masyarakat yang ikut

andil;

2. Menciptakan inovasi baru untuk menghilangkan rasa kejenuhan destinasi

wisata bagi wisatawan yang berkunjung;

3. Menambah koleksi karya tulis di Diploma III Usaha Perjalanan Wisata

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta.

E. Kajian Pustaka

1. Pengertian Pariwisata

“Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai

fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah,

dan Pemerintah Daerah”, yang disebut dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Tentang Kepariwisataan Tahun 2009.

2. Destinasi Wisata

Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kepariwisataan Tahun 2009

menjelaskan destinasi wisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu

atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata,

fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling

terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.

I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta dalam bukunya Pengantar Ilmu

Pariwisata, 2009, isinya antara lain mendefinisikan mengenai destinasi merupakan

suatu tempat yang dikunjungi dengan waktu yang signifikan selama perjalanan

seseorang dibandingkan dengan tempat lain yang dilalui selama perjalanan

(misalnya daerah transit). Sedangkan destinasi wisata didefinisikan oleh

Ricardson dan Fluker sebagai berikut.

9

“A significant place visited on a trip, with some form of actual or perceived

boundary. The basic geographic unit for the production of tourism statistics”.

Destinasi dapat dibagi menjadi destination area yang oleh WTO didefinisikan

sebagai berikut.

“Part of destination. A homogeneous tourism region or a group of local

government administrative regions”.

Dalam mendiskusikan destinasi pariwisata, juga harus mempertimbangkan istilah

region yang didefinisikan sebagai berikut.

“(1) A grouping of countries, usually in a common geographic area, (2) An

area within a country, usually a tourism destination area”.

Menurut Kusudianto, destinasi wisata dapat digolongkan atau dikelompokkan

berdasarkan ciri-ciri destinasi tersebut, yaitu :

1. Destinasi sumber daya alam, seperti iklim, pantai, hutan.

2. Destinasi sumber daya budaya, seperti tempat bersejarah, museum, teater, dan

masyarakat lokal.

3. Fasilitas rekreasi, seperti taman hiburan.

4. Event seperti Pesta Kesenian Bali, Pesta Danau Toba, pasar malam.

5. Aktivitas spesifik, seperti kasino di Genting Hihgland Malaysia, Wisata

Belanja di Hongkong.

6. Daya tarik psikologis, seperti petualangan, perjalanan romantis,

keterpencilan.

3. Pengertian Heritage

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, dalam Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Tahun 2016-2026 Kota Surakarta, 2016, isinya

antara lain mengemukakan mengenai heritage yang ada di Kota Surakarta

termasuk dalam kategori aset budaya ragawi merupakan tinggalan fisik, berupa

bangunan maupun toponimi yang bersumber dari data arkeologi perkotaan. Secara

umum, aset budaya ragawi dapat diidentifikasikan melalui inventarisasi benda

cagar budaya. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor : 646/1-

2/1/2013 Tentang Perubahan Atas Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II

Surakarta Nomor : 646/116/1/1997 Tentang Penetapan Bangunan-Bangunan dan

10

Kawasan Kuno Bersejarah di Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta yang

dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Cagar Budaya di

tetapkan 69 bangunan cagar budaya yang ada di Kota Surakarta.

Peter Howard dalam bukunya Heritage : Management, Interpretation,

Identity, 2003, isinya mendefinisikan makna heritage sebagai segala sesuatu yang

ingin diselamatkan orang, termasuk budaya material maupun alam.

Sedangkan menurut Hall & McArthur dalam bukunya Heritage Management,

1996, isinya antara lain memberikan definisi heritage sebagai warisan budaya

dapat berupa kebendaan (tangible) seperti monumen, arsitektur bangunan, tempat

peribadatan, peralatan, kerajinan tangan dan warisan budaya yang tidak berwujud

kebendaan, sebaliknya (intangible) berupa berbagai atribut kelompok atau

masyarakat, seperti cara hidup, folklore, norma dan tata nilai.

(eprint.uny.ac.id/9366/3/bab%202%20-09514131007.pdf).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang

Undang-Undang Cagar Budaya menimbang “bahwa cagar budaya merupakan

kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan

manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu

pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya

perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan

kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Cagar Budaya memiliki asas, tujuan, dan lingkup dengan berdasarkan

landasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang

Undang-Undang Cagar Budaya, antara lain adalah :

a. Pasal 2

Pelestarian Cagar Budaya berasaskan :

1) Pancasila;

2) Bhinneka Tunggal Ika;

3) Kenusantaraan;

4) Keadilan;

5) Ketertiban dan kepastian hukum;

6) Kemanfaatan;

11

7) Keberlanjutan;

8) Partisipasi; dan

9) Transparansi dan akuntabilitas.

b. Pasal 3

Pelestarian Cagar Budaya bertujuan :

1) Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia;

2) Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya;

3) Memperkuat kepribadian bangsa;

4) Meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan

5) Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat

internasional.

c. Pasal 4

Lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Perlindungan, Pengembangan,

dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010

Tentang Undang-Undang Cagar Budaya yang tercantum dalam Pasal 5, Pasal 6,

Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11, dengan kriteria sebagai berikut.

a) Pasal 5

Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebgai Benda Cagar

Budaya atau Struktur Cagar Budaya, apabila memenuhi kriteria :

1. Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

2. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima pulih) tahun;

3. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

agama, dan / atau kebudayaan; dan

4. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

b) Pasal 6

Benda Cagar Budaya dapat :

1. Berupa benda alam dan / atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan

oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan

kegiatan manusia dan / atau dapat dihubungkan dengan sejarah

manusia;

2. Bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan

12

3. Merupakan kesatuan atau kelompok.

c) Pasal 7

Bangunan Cagar Budaya dapat :

1. Berunsur tunggal atau banyak; dan / atau

2. Berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.

d) Pasal 8

Struktur Cagar Budaya dapat :

1. Berunsur tunggal atau banyak; dan / atau

2. Sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi alam.

e) Pasal 9

Lokasi dapat ditetapkan sebgai Situs Cagar Budaya apabila :

1. Mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan / atau

Struktur Cagar Budaya; dan

2. Menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.

f) Pasal 10

Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya

apabila :

1. Mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letakya

berdekatan;

2. Berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit

50 (lima puluh) tahun;

3. Memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu

berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;

4. Memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan

ruang berskala luas;

5. Memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan

6. Memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan

manusia atau endapan fosil.

g) Pasal 11

Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang atas

dasar penelitian memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa

Indonesia, tetapi tidak memenuhi kriteria Cagar Budaya sebagaimana

13

dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 dapat diusulkan sebagai

Cagar Budaya.

4. Potensi Pariwisata

Menurut R.S. Damardjati dalam bukunya Istilah-istilah Dunia Pariwisata,

2001 isinya antara lain menjelaskan mengenai potensi pariwisata yaitu segala hal

dan keadaan baik yang tidak dapat diraba, yang digarap, diatur dan disediakan

sedemikian rupa, sehingga dapat bermanfaat atau dimanfaatkan atau diwujudkan

sebagai kemampuan, faktor dan unsur yang diperlukan atau menentukan bagi

usaha dan pengembangan kepariwisataan, baik itu berupa suasana, kejadian,

benda maupun layanan atau jasa.

Oka A Yoeti dalam bukunya Pengantar Ilmu Pariwisata, 1983, isinya antara

lain mengemukakan potensi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah

tujuan wisata, dan merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung

ke tempat tersebut.

5. Pengembangan Destinasi Pariwisata

I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri dalam bukunya Soisologi Pariwisata, 2005,

isinya antara lain mengkaji pariwisata dari aspek sosiologis, Erik Cohen

mengemukakan bahwa pariwisata dapat dipandang dari salah satu atau beberapa

pendekatan konseptual di bawah ini :

a. Tourism as a commercialised hospitality

Dalam pendekatan ini pariwisata adalah proses komersialisasi dari

hubungan tamu dengan tuan rumah. Tamu (orang asing) diberikan status dan

peranan sementara di masyarakat yang di kunjungi yang kemudian

diperhitungkan secara komersial. Pendekatan ini sesuai untuk menganalisis

perkembangan dan dinamika hubungan host-guest, termasuk berbagai konflik

yang muncul serta berbagai institusi yang menangani.

b. Tourism as a democratised travel

Dalam pendekatan ini, pariwisata dipandang sebagai perilaku perjalanan

wisata dengan berbagai karakteristiknya. Pariwisata dipandang sebagai

14

demokratisasi dari perjalanan, yang dulu hanya di monopoli oleh kaum

aristokrat, tetapi sekarang sudah dapat dilakukan oleh siapa saja.

c. Tourism as a modern leisure activity

Fokus utama yang menjadi perhatian adalah bahwa wisatawan adalah

orang yang santai, yang melakukan perjalanan, bebas dari berbagai

kewajiban. Seperti yang dikemukakan oleh MacCannell bahwa modernitas

ditandai oleh rasa alienasi, fragmentasi, dan superfisialitas. Untuk

„mengobati‟ penyakit ini, wisatawan mengunjungi daerah yang mampu

memberikan authenticity. Pariwisata dipandang sebagai suatu „institusi‟ yang

mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakat modern, yaitu mengembalikan

masyarakat kepada situasi harmoni dan keseimbangan.

d. Tourism as a modern variety of traditional pilgrimage

Pariwisata dipandang berasosiasi dengan ziarah keagamaan yang biasa

dilakukan masyarakat tradisional, atau merupakan bentuk lain dari sacred

journey. Pendekatan ini menganalisis makna struktural yang lebih dalam dari

perjalanan wisata. Dalam kaitan ini, Graburn memandang pariwisata identik

dengan ziarah (pilgrimage). Dengan cara pandang ini, Graburn melihat

pariwisata mempunyai fungsi memelihara atau meningkatkan kesadaran

kolektif dalam teori Durkheimian. Bahkan MacCannell lebih mempertegas

lagi bahwa „atraksi wisata yang dinikmati wisatawan sekarang adalah

persamaan dari simbol-simbol keagamaan pada masyarakat primitif‟. Lebih

jauh lagi, pariwisata bahkan dipandang sebagai „agama baru‟ bagi orang

modern.

“In the middle ages, people were tourists because of their religion;

whereas now they are tourists because tourism is their religion”.

e. Tourism as an expression of basic cultural themes

Pendekatan ini bersifat emic (sebagai lawan dari ethic), dengan melihat

pemaknaan perjalanan dari pihak pelaku perjalanan tersebut. Dengan

pendekatan ini akan dapat ditemukan berbagai klasifikasi perjalanan dari

pihak pelaku perjalanan yang sangat ditentukan oleh budaya pelakunya.

15

f. Tourism as an acculturation process

Pendekatan ini memfokuskan analisis pada proses akulturasi, sebagai

akibat dari interaksi host-guest yang mempunyai latar bealakang budaya yang

bebeda.

g. Tourism as a type of ethnic relations

Pendekatan ini menaruh perhatian pada hubungan antar etnis, atau pun

dampak-dampak yang timbul terkait dengan identitas etnis.

h. Tourism as form of neo-colonialism

Dependensi (ketergantungan) merupakan salah satu masalah yang menjadi

fokus pendekatan ini. Pariwisata dipandang sangat berperan di dalam

mempertajam hubungan metropolis-periferi, karena negara penghasil

wisatawan (tourist generating countries) akan menjadi dominan (metropolis),

sedangkan negara penerima (tourist-receiving countries) akan menjadi

satellite atau peripheral, dan hubungan ini merupakan pengulangan

kolonialisme atau imperalisme, yang pada muaranya akan menghasilkan

dominasi dan keterbelakangan struktural. Adanya kebocoran ekonomi yang

begitu besar ke negara-negara maju menyebabkan pariwisata sesungguhnya

merupakan wahana baru bagi munculnya neokolonialisme.

I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta dalam bukunya Pengantar Ilmu

Pariwisata, 2009, isinya antara lain menjelaskan mengenai pengembangan

destinasi pariwisata memerlukan teknik perencanaan yang baik dan tepat. Teknik

pengembangan itu harus menggabungkan beberapa aspek penunjang kesuksesan

pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah aspek aksesibilitas (transportasi dan

saluran pemasaran), karakteristik infrastruktur pariwisata, tingkat interaksi sosial,

keterkaitan / kompatibilitas dengan sektor lain, daya tahan akan dampak

pariwiata, tingkat resistensi komunikasi lokal, dan seterusnya. Teknik

pengembangan destinasi pariwisata yang sering digunakan, antara lain sebagai

berikut.

1. Carrying Capacity

16

Konsep daya dukung kawasan secara implisit mengandung makna batasan

(limit), batas atas (ceiling), atau tingkatan / level (threshold) yang tidak boleh

dilewati dalam pembangunan atau pengembangan destinasi pariwisata. Batasan

„daya dukung‟ dipengaruhi oleh dua grup faktor, yaitu:

a. Faktor dari grup pertama yang mempunyai implikasi pemasaran yang

melibatkan atau berkaitan dengan wisatawan. Hal ini menyangkut

karakteristik wisatawan, seperti usia, jenis kelamin, pendapatan; motivasi,

attitude, dan harapan; latar belakang ras dan etnik, serta pola perilaku. Faktor

lainnya berupa level pemakaian dari fasilitas, kepadatan wisatawan, lamanya

menginap wisatawan, tipe / jenis aktivitas wisatawan, dan level kepuasan

wisatawan.

b. Faktor dari grup kedua berkaitan dengan atribut destinasi, seperti kondisi

lingkungan dan alam, struktur ekonomi dan pembangunan, struktur sosial dan

organisasi, organisasi politik, dan level pengembangan pariwisata.

2. Recreational Carrying Capacity (RCC)

Dampak dari pembangunan dan pengembangan destinasi wisata (baik tipe,

lokasi, dan kualitasnya) pada lingkungan diteliti dan diidentifikasi tingkat

kritisnya. Contohnya tingkat kritis suatu destinasi wisata mengacu pada jumlah

orang yang mengunjungi kawasan tersebut per tahun atau per hari atau per sekali

kunjungan. Pada umunya nilai optimum kunjungan berkisar antara 10 sampai 20

persen di bawah jumlah maksimumnya. Perhitungan ini bisa dijadikan patokan

untuk menentukan RCC. Namun perlu dicatat bahwa penentuan RCC bersifat

subyektif sebab sebuah destinasi memiliki kapasitas potensial yang berbeda (fisik,

ekologi, sosial, psikologi, dan ekonomi).

3. Recreational Opportunity Spectrum (ROS)

ROS merupakan teknik identifikasi karakteristik dari suatu kawasan atau

destinasi setting yang berbeda dan memadukannya dengan peluang rekreasi untuk

keuntungan terbaik bagi pengguna kawasan / destinasi dan lingkungan. Yang

pertama harus dilakukan dalam ROS adalah menentukan karakteristik destinasi

atau wilayah yang akan dikembangkan sebagai daerah rekreasi / wisata. Daerah

tertentu mungkin saja sangat bervariasi dan mempunyai spectrum yang berbeda.

Misalnya, sebuah taman nasional mempunyai spectrum aksesibilitas mulai dari

17

level mudah dijangkau dan dnegan fasilitas yang memadai sampai dengan kondisi

yang terpencil, terisolasi, dan tanpa fasilitas penunjang. Lankford memberikan

contoh bagaimana ROS dibuat sebagai bahan inventori dan database, manajemen

dapat menganalisis dan mengevaluasi permintaan dan penawaran terhadap

kawasan yang dikembangkan. ROC dapat diaplikasikan dalam beberapa setting

wilayah yang berbeda sebagai berikut.

Tabel 1. Deskripsi Peluang Pengembangan Destinasi Sebagai Kawasan Rekreasi

No. Setting

Destinasi Deskripsi Peluang Pengembangan

1. Primitive Bagian terpencil dan terisolasi dari sebuah wilayah (misalnya

area konservasi). Daerah ini secara alami terbentuk oleh proses

ekologi, tanpa campur tangan manusia. Lingkungan dan

ekosistem alam mendominasi setting dan mengontrol

pengalaman rekreasi / wisata pengunjung. Cocok bagi

wisatwan yang menginginkan wisata alam, pemandangan

alami, isolasi, ketidakpastian, berisiko, dan petualangan.

Kemampuan hidup di hutan dan alam sangat penting untuk

keamanan dan kenyamanan berekreasi / berwisata.

2. Semi-

primitive

Terdapat jalan setapak dan jalan non-permanen yang tidak

mudah dilalui yang menembus kawasan terlarang bagi dan atau

tidak dapat diakses dengan kendaraan bermotor, tetapi kuda

dan sepeda dayung diperbolehkan. Tingkat risiko dan isolasi

cukup besar karena larangan penggunaan kendaraan bermotor.

Fasilitas penunjang tidak tersedia bagi kepuasan dan

kenyamanan pengunjung tetapi sangat tergantung pada

kemampuan individu untuk mencapainya.

3. Roaded

Natural

Sepanjang atau dekat kawasan pengembangan / konservasi

jalan dapat ditemukan. Umumnya dibuat dengan memodifikasi

sebagian kawasan untuk pembangunan fasilitas tersebut.

Pembangunan dibatasi hanya untuk jalan, rel kereta api, dan

beberapa rumah pengawas. Lingkungan alam masih

mendominasi, walaupun beberapa kegiatan, seperti pembibitan,

dan pengeloalaam kehidupan liar diizinkan. Regulasi dan

kontrak dengan dunia luar sudah ada. Keperluan sehari-hari

tidak tersedia sehingga orang harus memenuhi kebetuhannya

secara mandiri. Peluang pendakian, penjelajahan kawasan,

bersepeda, dan camping dapat dilakukan di bawah pengawasan.

Dibangun fasilitas wisata seperti campground, picnicground,

dan visitor information center, dan sebagainya dalam setting

18

ini.

4. Rural Setting ini berupa pertanian dengan peternakan, lahan terbuka,

komunitas kecil, fasilitas komersial, bahkan campground yang

luas. Mudah menemukan pengunjung lain dalam bagian lain

kawasan. Area ini menyediakan lokasi hiking yang nyaman,

camping dan cross country, dekat dengan toko yang menjual

keperluan sehari-hari, serta pompa bensin.

5. Urban Setting ini mungkin di mana kita hidup. Terdapat begitu

banyak bangunan, jalan telah diaspal atau dibeton, dan begitu

banyak orang di kawasan tersebut. Hiking dan jalur sepeda

yang melewati taman kota merupakan contoh peluang rekreasi /

wisata dalam setting urban ini.

Sumber : Pengantar Ilmu Pariwisata, 2009 : 89

Butler dan Waldbrook, mengemukakan bahwa kerangka ROS menampilkan

variasi kelas pengembangan, dari primitive sampai modern, dan identifikasi

karakteristik kawasan yang memengaruhi peluang untuk dikembangkan menjadi

kawasan rekreasi / wisata. Terdapat enam faktor yang bisa dipakai untuk

menentukan kondisi dan karakteristik suatu wilayah berdasarkan konsep ROS,

yaitu sebagai berikut.

a. Akses;

b. Penggunaan di luar kepentingan pengembangan untuk kawasan rekreasi;

c. Manajemen dan prasarana yang telah ada;

d. Interaksi sosial;

e. Level penerimaan akan dampak kunjungan;

f. Level penerimaan akan manajemen kontrol.

Tujuan dari ROS adalah membantu perencana (manajer) yang bertanggung

jawab dalam perlindungan dan pelestarian alam dan lingkungan sambil

memadukan penggunaan sebagian areanya untuk kepentingan rekreasi / wisata.

19

4. Limits of Acceptable Change (LAC)

Limit of Acceptable Change (LAC) menolak anggapan bahwa semakin besar

pemanfaatan suatu destinasi akan menyebabkan semakin besar dampak yang

ditimbulkannya. Pemikiran di balik hal ini adalah bahwa perubahan merupakan

suatu keniscayaan sebagai konsekuensi pemakaian sumber daya dan oleh

karenanya sebuah framework diperlukan untuk mengelola masalah yang terjadi

berdasarkan seberapa jauh perubahan tersebut dapat diterima. Ketika batas

perubahan yang dapat diterima sudah tercapai, berarti kapasitas sebuah destinasi

juga telah tercapai. Manajemen harus menerapkan tindakan strategis untuk

mempertahankan destinasi dari pemakaian lebih lanjut, misalnya dengan

pembatasan pemakaian.

Umumnya LAC menyangkut tiga isu pokok : kondisi sumber daya alam,

faktor kelembagaan, dan faktor sosial.

5. Visitor Impact Management Model (VIMM)

Menurut Loomis dan Graete VIMM didefinisikan sebagai berikut.

“A management system based on statements of objctives, research

and monitoring to determine environmental and social conditions. A

range of management strategies to deal with the impacts is then

generated”. (2004 : 310)

VIMM menyadari bahwa pengunjung / wisatawan bukan satu-satunya yang

menyebabkan dampak pada destinasi. Manajemen yang efektif harus berbuat lebih

dari sekedar RCC tetai melibatkan pertimbangan ilmiah dalam pengambilan

keputusan. VIMM mensyaratkan pernyataan eksplisit dari tujuan manajemen yang

akan dicapai, penelitian dan pengawasan untuk menentukan kondisi sosial dan

lingkungan, dan kemudian membuat strategi untuk mengantisipasi dampak yang

terjadi.

6. Visitor Experience and Resource Protection Model (VERP)

Titik awal VERP dimulai dengan menentukan cakupan pengalaman

wisatawan yang dapat ditawarkan dalam sebuah destinasi / kawasan, dan

menentukan tujuan yang ingin diwujudkan berkenaan dengan kondisi sumber

daya destinasi. VERP menggunakan zoning untuk menentukan penggunaan dan

20

menajemen strategi yang tepat untuk areal bebeda dalam kawasan / destinasi.

Menurut Richardson dan Fluker, VERP didefinisikan sebagi berikut.

“An expansion of the VIMM with the addition of zoning and legislative links

with region’s management plan”.

Proses VERP disusun berdasarkan pengalaman terhadap model lain, tetapi

menolak carrying capacity yang spesifik dan pembatasan jumlah kunjungan

sebagai penentu kondisi sosial dan ekologi. Dalam VERP terjadi peralihan filosofi

pengukuran, dari filosofi pengukuran yang maksimum ke filosofi pengukuran

kondisi yang optimum, sehingga VERP menolak konsep carrying capacity dan

limitasi.

7. Visitor Activity Management Program (VAMP)

VAMP merupakan sistem manajemen yang berusaha mengubah orientasi dari

produk – misalnya obyek dan pengunjung / wisatawan – kepada orientasi

pemasaran dengan penekanan pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan

konsumen. Untuk itu diperlukan perubahan budaya pada manajemen pengelolaan

destinasi. Visitor Activity Management Program (VAMP) didefinisikan sebagai

berikut.

“A management system with an emphasis on marketing, deciding what people

want in a park, then developing and marketing specific experience to match the

wants”.

VAMP pertama kali diperkenalkan di Kanada tahun 1990-an dengan

menekankan pada pengambilan keputusan tentang apa yang orang / wisatawan

inginkan di obyek / destinasi tertentu. Berdasarakan hal tersebut kemudian

disusun program pengembangan dan pemasaran untuk melink-an dengan apa yang

diinginkan. Prosesnya termasuk menyeting tujuan destinasi yang sesuai dengan

aktivitas wisatawan, menganalisis karakteristik pengunjung / wisatawan, dan

mengembangkan beragam pilihan aktivitas dan pelayanan untuk memenuhi

kebutuhan dan kepuasan konsumen. Menentukan tujuan manajemen kunjungan

yang jelas akan membantu menentukan tipe kelebihan, keuntungan, dan

pengalaman apa yang akan ditawarkan kepada wisatawan / pengunjung sehingga

mampu memuaskan konsumen. Inti dari VAMP dan sekaligus juga sebagai

21

masalah utama adalah bagaimana menggeser dari paradigma produk ke paradigma

pemasaran.

8. Tourism Opportunity Spectrum (TOS)

Secara detail, TOS menganut asumsi bahwa spectrum pengukuran dan

penilaian indikator perencanaan yang digunakan haruslah :

a. Dapat diamati dan diukur.

b. Secara langsung dapat dikendalikan di bawah manajemen kontrol.

c. Terkait langsung dengan preferensi wisatawan dan memengaruhi

keputusannya untuk melakukan wisata atau tidak ke tempat tersebut.

d. Mempunyai karakteristik dengan kondisi tertentu.

Elemen-elemen dalam konsep Tourism Opportunity Spectrum adalah sebagai

berikut.

1. Akssesibilitas

Dalam pengembangan pariwisata dalam sebuah sistem, faktor aksesibilitas,

baik berupa perencanaan perjalanan, penyediaan informasi mengenai rute dan

destinasi, ketersediaan sarana transportasi, akomodasi, ataupun kemudahan lain

untuk mencapai destinasi menjadi penentu berhasilnya peluang pengembangan

destinasi. Aksesibilitas juga menyangkut manajemen informasi kawasan

pengembangan bagi calon wisatawan mengungat keunikan destinasi. Akses

informasi bisa dari mulut ke mulut, dari keluarga dan teman. Buku-buku

pariwisata, brosur, tabloid, iklan, dan sejenisnya juga sangat penting. Dalam

Tourism Opportunity Spectrum, semakin mudah aksesibilitas ke destinasi

pariwisata maka semakin besar peluang keberhasilan pengembangannya, dan vice

versa.

2. Kompatibilitas dengan kegiatan lain

Keberhasilan pengembangan destinasi pariwisata sangat ditentukan oleh

kompatibilitasnya terhadap aktivitas lain di kawasan pengembangan. Sifat

interdependensi, baik sumber daya maupun dampak suatu kegiatan di suatu

kawasan terhadap kawasan lain, menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan

pengembangan destinasi pariwisata. Yang perlu diperhatikan adalah sampai level

mana sebuah pengembangan kawasan dapat memengaruhi kawasan lain dan

kondisi yang bagaimana yang paling optimal dan baik untuk menunjang kawasan

22

pengembangan. Beberapa aktivitas mempunyai dampak langsung, seperti

penebangan hutan, pembuangan limbah, penangkapan ikan dan pengambilan

terumbu karang, dan sebagainya. Jika aktivitas itu terus berlangsung maka akan

mengurangi kompatibilitas terhadap konsep pengembangan destinasi pariwisata.

Dalam Tourism Opportunity Spectrum disebutkan bahwa semakin tinggi derajat

kompatibilitas pengembangan destinasi pariwisata, maka semakin besar peluang

pengembangannya, dan vice versa.

3. Karakteristik sarana pariwisata

Penyediaan sarana pariwisata sangat menentukan peluang pengembangan

sebuah destinasi pariwisata. On-site management, penataan sarana pariwisata,

termasuk di dalamnya pengadaan fasilitas baru, penanaman atau introduksi

vegetasi, akomodasi, tempat perbelanjaan, fasilitas hiburan, serta penataan akses

lalu lintas ke kawasan, sangat menentukan keberhasilan pengembangan destinasi

pariwisata. Pembangunan sarana pariwisata ini memerlukan modifikasi kawasan

destinasi yang bisa saja berakibat sangat kompleks. Penyediaan sarana pariwisata

yang mempunyai karakteristik tidak sesuai dengan ekosistem dan sifat alamiah

destinasi mungkin akan memperkecil peluang keberhasilan pengembangan

destinasi pariwisata tersebut, dan vice versa.

4. Interaksi sosial

Kedatangan wisatawan pada suatu destinasi wisata, apalagi destinasi yang

mengandalkan sumber daya alam dan kehidupan ekosistem sebagai atraksi

utamanya, mempunyai potensi untuk merusak keseimbangan ekosistem tersebut.

Dalam derajat tertentu, ekosistem sosial dan ekosistem alamiah akan terpengaruhi.

Konsekuensinya, eksistensi kawasan tersebut akan selalu dalam ancaman

degradasi kualitas. Dalam sistem kepariwisataan, ada dua kondisi interaksi

manusia yang harus dipertimbangkan. Pertama, interaksi manusia dengan

lingkungan / ekosistem yang memengaruhi ekosistem alam. Kedua, interaksi

anatara wisatawan dengan komunitas lokal yang dapat memengaruhi ekosistem

sosial. Interaksi ini dapat berupa adaptasi atau peningkatan kadar gangguan yang

dirasakan oleh komunitas lokal seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan

yang melampaui ambang batas atau daya dukung sosial. Beberapa studi

23

menunjukkan adanya dampak positif dan dampak negatif pariwisata terhadap

komunitas lokal. Misalnya, bedasarkan studi Diarta yang berlokasi di Ubud, Bali

menyimpulkan keberadaan pariwisata dapat memperkuat solidaritas sosial

masyarakat adat (desa adat dan subak) dengan memanfaatkan outside challenge

dai pariwisata guna memperkuat inside self-defense. Di sisi lain, keberadaan

pariwisata menyebabkan ancaman degradasi lingkungan di subak dengan

pengambilalihan hamparan persawahan untuk fasilitas pariwisata. Dalam Tourism

Opportunity Spectrum, semakin besar dampak positif yang ditimbulkan pariwisata

terhadap kualitas interaksi sosial manusia dengan ekosistem sosial dan ekosistem

lingkungannya, maka peluang pengembangan destinasi pariwisata akan semakin

besar dan vice versa.

5. Tingkat akseptabilitas komunitas lokal terhadap keberadaan wisatawan.

Keberadaan orang baru di suatu wilayah akan mengakibatkan terjadinya

keseimbangan baru pada sistem sosial di wilayah tersebut untuk memastikan

sistem sosial tersebut tetap stabil. Keseimbangan baru tersebut dapat dicapai baik

melalui mekasnisme damai atau konflik terlebih dahulu. Tingkat penerimaan atau

aksepitabilitas komunitas lokal terhadap datangnya wisatawan di kawasan tersebut

akan menimbulkan reaksi dalam derajat tertentu. Tingkat dan sifat reaksi (damai /

konflik) sangat ditentukan oleh derajat akibat yang akan ditimbulkannya dan

kemampuan pengendalian (kontrol) oleh komunitas lokal. Akibat dan kontrol

keduanya harus dikelola sebaik mungkin. Semakin buruk sistem kendali terhadap

kedua faktor tersebut dalam konsep Tourism Opportunity Spectrum maka peluang

pengembangan destinasi pariwisata akan semakin kecil, dan vice versa.

6. Derajat manajemen kontrol

Derajat manajemen kontrol mencerminkan kelenturan pengelolaan destinasi

wisata. Kecenderungan wisata ke depan adalah penonjolan pengalaman pribadi

(personal experience) yang memerlukan kecermatan pengelolaan destinasi wisata

agar mampu memuaskan sifat petualangan dari wisatawan. Konsekuensinya,

pengelolaan destinasi pariwisata memerlukan paket wisata yang individualized

dan personal. Dalam Tourism Opportunity Spectrum, keberhasilan manajemen

kontrol dalam menyeimbangkan hasrat wisatawan yang menginginkan

pengalaman dan petualangan yang spesifik dengan penyediaan atraksi wisata yang

24

sesuai akan menentukan tingkat keberhasilan peluang pengembangan destinasi

pariwisata.

Kemudian, pengembangan tersebut diaplikasikan melalui analisis. Analisis

yang menjadi acuan strtegi dalam membentuk pengembangan destinasi wisata

heritage adalah berupa analisis SWOT (Srengths, Weakness, Opportunities,

Threats) serta analisis 4A (Atraksi, Aksesibilitas, Amenitas, dan Ancillary).

a. Analisis SWOT (Srengths, Weakness, Opportunities, dan Threats)

Merupakan identifikasi dalam berbagai faktor yang secara sistematis

untuk merumuskan ssuatu strategi perusahaan. Analisis SWOT didasarkan

pada suatu hubungan atau interaksi di antara unsur-unsur internal

(kekuatan dan kelemahan) serta unsur-unsur eksternal (kesempatan atau

peluang dan ancaman) (www.gurupendidikan.com/pengertian-dan-

strategi-analisis-swot-menurut-para-ahli/).

Tujuan dari analisis ini adalah untuk menggambarkan situasi yang

sedang dihadapi dan bukan sebuah alat analisa yang mampu memberikan

jalan keluar bagi permasalahan yang sedang dihadapi. Manfaat dari

analisis ini adalah untuk melihat suatu topik ataupun suatu permasalahan

dari empat sisi yang berbeda dan merupakan instrumen yang bermanfaat

dalam melakukan analisis strategi

(www.pengertianku.net/2015/03/pengertian-analisis-swot-dan-

manfaatnya.html).

Berikut merupakan bagan analisis SWOT (Srengths, Weakness,

Opportunities, Threats).

25

Gambar 2. Bagan Analisis SWOT (Srengths, Weakness, Opportunities, Threats)

Sumber : himansaclub.blogspot.com

1) Strengths (Kekuatan)

Strengths atau kekuatan merupakan segala sesuatu yang dimiliki dan

dapat memperlancar pendirian usaha tersebut atau pembuatan produk

atau pelaksanaan proyek (hd-style.blogspot.co.id/2011/09/analisis-

swot.html?m=1).

2) Weakness (Kelemahan)

Weakness atau kelemahan yaitu ketiadaan sumber yang diperlukan

sehingga dapat menghambat kelancaraan pendirian usaha atau

pelaksanaan proyek yang bersangkutan (hd-

style.blogspot.co.id/2011/09/analisis-swot.html?m=1).

3) Opportunities (Kesempatan atau Peluang)

26

Opportunities atau kesempatan / peluang adalah faktor luar yang dapat

memperluas kegiatan yang akan dilakukan (hd-

style.blogspot.co.id/2011/09/analisis-swot.html?m=1).

4) Threats (Ancaman)

Threats atau ancaman yakni faktor luar yang dapat mempersempit

kegiatan yang akan dilakukan (hd-style.blogspot.co.id/2011/09/analisis-

swot.html?m=1).

b. Analisis 4A 4A (Atraksi, Aksesibilitas, Amenitas, dan Ancillary)

1) Atraksi

Atraksi adalah produk utama sebuah destinasi. Atraksi berkaitan dengan

what to see (apa yang dilihat) dan what to do (apa yang dilakukan) oleh

wisatawan yang berada di destinasi tersebut. Atraksi bisa berupa

keindahan dan keunikan alam, budaya masyarakat setempat,

peninggalan bangunan bersejarah, serta atraksi buatan seperti sarana

permainan dan hiburan (www.jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-

ingeneral/213-4a-yang-wajib-dimiliki-oleh-sebuah-destinasi-

wisata.html).

2) Aksesibilitas

Aksesibilitas adalah sarana dan infrastruktur untuk menuju destinasi.

Akses jalan raya, ketersediaan sarana transportasi dan rambu-rambu

penunjuk jalan (www.jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-

ingeneral/213-4a-yang-wajib-dimiliki-oleh-sebuah-destinasi-

wisata.html).

3) Amenitas

Amenitas adalah segala fasilitas pendukung yang bisa memenuhi

kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi.

Amenitas berkaitan dengan ketersediaan sarana akomodasi untuk

menginap serta restoran untuk makan dan minum. Kebutuhan lain yang

mungkin juga diinginkan dan diperlukan oleh wisatawan, seperti toilet

umum, rest area, tempat parkir, klinik kesehatan, dan sarana ibadah

(www.jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-ingeneral/213-4a-yang-

wajib-dimiliki-oleh-sebuah-destinasi-wisata.html).

27

4) Ancillary

Ancillary berkaitan dengan ketersediaan sebuah organisasi atau orang-

orang yang mengurus destiasi tersebut (www.jejakwisata.com/tourism-

studies/tourism-ingeneral/213-4a-yang-wajib-dimiliki-oleh-sebuah-

destinasi-wisata.html).

Analisis 4A (Atraksi, Aksesibilitas, Amenitas, dan Ancillary) ini dapat

dijadikan pertimbangan dalam industri pariwisata untuk mengembangkan suatu

destinasi dengan potensi wisata (www.jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-

ingeneral/213-4a-yang-wajib-dimiliki-oleh-sebuah-destinasi-wisata.html).

Setelah menganalisis strategi-strategi tersebut melalui analisis SWOT

(Srengths, Weakness, Opportunities, Threats) dan analisis 4A (Atraksi,

Aksesibilitas, Amenitas, dan Ancillary), maka selanjutnya dibentuklah konsep

untuk membuat pengembangan destinasi wisata heritage dengan konsep „tempo

dulu‟ dengan mengacu pada teknik perencanaan yang dikemukakan oleh I Gde

Pitana dan I Ketut Surya Diarta dalam bukunya Pengantar Ilmu Pariwisata, 2009

yang menjelaskan teknik pengembangan destinasi pariwisata dengan baik dan

tepat.

Selain itu, Sumarsinasih dan Ambar Adrianto, dalam bukunya Dinamika

Kampung Kota Prawirotaman dalam Perspektif Sejarah dan Budaya, 2014, isinya

antara lain menjelaskan mengenai kampung kota merupakan permukiman pada

area kota yang dibentuk oleh konsep keruangan dalam kurun waktu sangat lama

dengan mayoritas masyarakat yang homogen. Hal tersebut juga dapat menjadi

landasan dalam terbentuknya konsep „tempo dulu‟ untuk pengembangan destinasi

wisata heritage di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dan

kuantitatif. Berdasarkan pengertian Endar Sugiarto dan Kusmayadi dalam bunya

Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan, 2000, isinya mendefinisikan

metode deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendiskripsikan atau

menggambarkan / melukiskan fenomena atau hubungan antar fenoma yang diteliti

dengan sistematis, faktual, dan akurat. Asep Saepul Hamdi dan E. Bahruddin

28

dalam bukunya Metode Penelitian Kuantitatif dalam Aplikasi Pendidikan, 2014,

isinya menjelaskan bahwa metode kualitatif adalah penelitian yang dapat

menjelaskan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap

kepercayaan, persepsi sesseorang atau kelompok terhadap sesuatu. Penelitian

kuantitatif menekankan fenomena-fenomena obyektif yang dikaji secara

kuantitatif. Maksimalisasikan obyektivitas desain penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan angka-angka, pengolahan statistik, struktur, dan percobaan

terkontrol.

Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data dari berbagai sumber

dengan berdasarkan data yang ditemukan dan dijabarkan sebagai berikut.

1. Lokasi Penelitian

Lokasi untuk melakukan pelitian ini membatasi pada wilayah administratif

Kota Surakarta, yaitu di kawasan Kecamatan Banjarsari yang memiliki obyek-

obyek wisata heritage di berbagai kelurahan, seperti : Kelurahan Kestalan,

Kelurahan Setabelan, Kelurahan Keprabon, Kelurahan Ketelan, Kelurahan

Timuran, dan Kelurahan Manahan.

2. Teknik Pengumpulan Data :

a. Observasi

Teknik pengumpulan data melalui observasi dapat dilakukan secara langsung

maupun tidak langsung. Observasi dilakukan pada bulan April dan Juni 2016 di

obyek-obyek heritage antara lain : Stasiun Solo Balapan, Stasiun Radio Republik

Indonesia (RRI), Ponten, Villa Park Banjarsari, Monumen ‟45, Pasar Antik

Windujenar Triwindu, Istana Pura Mangkunegaran, Masjid A-Wustho, Monumen

Pers, Taman Balekambang. Observasi secara langsung yaitu dengan cara

mengamati dan menencatat secara sistematik kejadian yang sedang berlangsung

pada tempat-tempat bersejarah tersebut. Pengamatan dimulai dari pagi sekitar

pukul 09.00 WIB sampai dengan siang hari pukul 14.00 WIB. Observasi yang

dilakukan adalah dengan menilai kelemahan, kekurangan, kesempatan atau

peluang, dan ancaman dari obyek-obyek tersebut.

b. Wawancara

Untuk memperoleh data berupa dokumen dilakukan wawancara dengan 8

(delapan) informan, diantaranya adalah : Kepala Seksi Promosi dan Informasi

29

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta (Ibu Tri Rusnita, SE.), Ketua

Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Kestalan (Bapak Mintorogo,

SE.), Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Setabelan (Bapak

Warsito), Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Keprabon

(Bapak Wagiman Harun Murtasid, SH.), Bendahara Kelompok Sadar Wisata

(Pokdarwis) Kelurahan Ketelan (Ibu Susi), Sekretaris Kelompok Sadar Wisata

(Pokdarwis) Kelurahan Timuran (Bapak Suparto), Ketua Kelompok Sadar Wisata

(Pokdarwis) Kelurahan Manahan (Bapak Poerbo Putranto), dan guide Istana Pura

Mangkunegaran (Ibu Susilaningsih). Informan tersebut dipilih karena merupakan

informan yang mengerti dan mengetahui data-data serta seluk beluk obyek-obyek

yang terkait. Sehingga data yang diperoleh dalam penelitian ini benar-benar

berasal dari sumber langsung yang berdasarkan informasi mengenai obyek-obyek

tersebut.

c. Studi Arsip / Dokumen

Dokumen yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berupa foto-foto obyek-

obyek heritage yang terkait dalam penelitian. Mulai dari foto yang sudah

menjadikan ciri obyek tersebut hingga foto cagar budaya dari masing-masing

obyek heritage. Hasil dari gambar-gambar yang diperoleh, selanjutnya

didokumentasikan melalui lampiran pada laporan tugas akhir ini.

d. Studi Pustaka

Metode pengumpulan data melalui buku-buku yang terkait dengan pokok

pembahasan yang terdapat pada laporan ini sebagai pedoman pembuatan

penelitian yang di teliti.

e. Kuesioner

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang sesuai dengan pandangan

masyarakat sekitar obyek heritage tersebut, maka diperlukan responden untuk

menjawab kuesioner sebagai data dan informasi penelitian. Responden tersebut

merupakan anggota dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dari Kelurahan

Kestalan, Kelurahan Setabelan, Kelurahan Keprabon, Kelurahan Ketelan,

Kelurahan Timuran, dan Kelurahan Manahan. Dimana merupakan tempat

berdirinya obyek-obyek heritage tersebut. Untuk mendapatkan responden,

dilakukan cara dengan mendatangi masing-masing Kelompok Sadar Wisata

30

(Pokdarwis) dari masing-masing kelurahan tersebut. Agar terpilih menjadi

responden, maka ditentukan dengan adanya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis)

dari masing-masing kelurahan, karena Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) inilah

yang mengerti akan seluk-beluk obyek heritage di sekitar lingkungan tempat

tinggal mereka, sehingga tanggapannya pun akan lebih realistis dibandingkan

dengan responden yang hanya sekedar mampir di obyek-obyek heritage tersebut.

Kuesioner tersebut diberikan kepada kurang lebih 20 (dua puluh) responden

dari gabungan jumlah kelurahan tersebut. Karena, masing-masing anggota

Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang satu dengan yang lainnya berbeda-

beda jumlah anggotanya, sehingga hanya dapat diperoleh 20 (dua puluh)

responden dalam kuesioner ini. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan

Kestalan terdapat 5 (lima) responden, karena anggota yang aktif dalam organisasi

ini tidak lebih dari 10 (sepuluh) orang. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis)

Kelurahan Setabelan didapati 2 (dua) responden, karena pada kelompok ini yang

aktif hanyalah ketua dan anggota yang tidak lebih dari dua orang. Kelompok

Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Keprabon hanya 1 (satu) responden yaitu

ketua dari kelompok tersebut, karena ketua tersebut sudah mewakili anggota yang

lainnya. Kelonpok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Ketelan memiliki 7

(tujuh) responden yang terdiri dari ketua, bendahara, dan anggota. Kelompok

Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Timuran terdapat 3 (tiga) responden yang

terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota. Untuk Kelompok Sadar Wisata

(Pokdarwis) Kelurahan Manahan didapati 3 (tiga) responden yaitu ketua, dan

anggota. Tujuan penyebaran kuesioner ini adalah untuk mengetahui seberapa

besar peran masyarakat sekitar terhadap obyek-obyek heritage yang berpotensi

sebagai pengembangan destinasi wisata di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis deskripsi kualitatif dan kuantitatif. Data

deskripsi kualitatif didapat dari penelitian ini menggunakan teknik analisis SWOT

(Strength, Weakness, Opportunity, dan Threats) dan analisis 4A (Atraksi,

aksesibilitas, Amenitas, dan Ancillary) serta wawancara dengan beberapa

informan yang terkait. Untuk data kuantitatif diperoleh melalui hasil kuesioner

yang diperuntukkan bagi responden yang terkait. Sehingga data yang dianalisis

31

berupa deskriptif dan tabel dengan meghasilkan data yang akurat dan faktual

yang berkaitan dengan judul penelitian yang dibahas. Tujuan dari analisis ini

untuk mengetahui bagaimana cara mengembangkan destinasi wisata heritage ini

agar dapat direalisasikan di kemudian hari dan untuk mengetahui masalah apa saja

yang akan terjadi bagaimana cara menanggulanginya serta mencari solusi yang

tepat untuk masalah tersebut.

G. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian ini merupakan garis besar dari masalah yang dibahas

lebih lanjut, kemudain disusun secara urut dan sederhana yang terbagi dalam

empat bab. Garis besar tersebut adalah :

Bab I merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode

penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II mendiskripsikan mengenai gambaran umum Kota Surakarta dan

potensi kawasan heritage di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta dengan

fasilitas-fasilitas pendukung di dalamnya.

Bab III menjelaskan mengenai pengembangan destinasi wisata kawasan

heritage di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta melalui analisis SWOT dan

analisis 4A.

Bab IV merupakan penutup yang memuat kesimpulan dan saran yang

berkaitan dengan pengembangan Kecamatan Banjarsari sebagai destinasi heritage

di Kota Surakarta.