BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1....

25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Indonesia adalah negara kepualauan yang terdiri dari 34 provinsi dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa. Indonesia juga memiliki beribu pulau, bermacam- macam suku dan budaya. Budaya adalah satu hal yang sulit untuk dipisahkan dengan manusia, karena manusialah yang menciptakan kebudayaan. Manusia berinteraksi dengan sesama manusia, binatang dan segala sesuatu yang ada di alam semesta, selain itu juga manusia berpikir, berkreasi, dan hal itulah yang kemudian menjadi sebuah kebudayaan. Kebudayaan juga berciri “fungsional” yaitu untuk melangsungkan hidup, maka ukuran nilai sebuah kebudayaan bukan hanya fungsional dan efisien (misalkan rumah), tetapi juga pemerdekaan yaitu membuat orang lebih merasa menjadi orang, membuat orang menjadi lebih manusiawi. Dua dimensi dari kebudayaan adalah pemerdekaannya dan dimensi fungsionalnya. Berkesenian adalah kebudayaan, sama artinya seperti pakaian tidak hanya memiliki asas fungsional yaitu menutupi badan saja tetapi manusia juga melihat mode, mencocokkan warna yang lalu berkembang dalam “seni busana”. Berkesenian adalah salah satu ekspresi proses kebudayaan, maka berkesenian erat hubungannya dengan “pandangan jagat/dunia” orang-orang dari kebudayaan tersebut. Pandangan dunia tempat orang-orang mengartikan hidup, mengambil nilai dan mencari dasar untuk terus bisa hidup mencakup pula endapan-endapan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1....

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Indonesia adalah negara kepualauan yang terdiri dari 34 provinsi dengan

jumlah penduduk 250 juta jiwa. Indonesia juga memiliki beribu pulau, bermacam-

macam suku dan budaya. Budaya adalah satu hal yang sulit untuk dipisahkan

dengan manusia, karena manusialah yang menciptakan kebudayaan. Manusia

berinteraksi dengan sesama manusia, binatang dan segala sesuatu yang ada di

alam semesta, selain itu juga manusia berpikir, berkreasi, dan hal itulah yang

kemudian menjadi sebuah kebudayaan.

Kebudayaan juga berciri “fungsional” yaitu untuk melangsungkan hidup,

maka ukuran nilai sebuah kebudayaan bukan hanya fungsional dan efisien

(misalkan rumah), tetapi juga pemerdekaan yaitu membuat orang lebih merasa

menjadi orang, membuat orang menjadi lebih manusiawi. Dua dimensi dari

kebudayaan adalah pemerdekaannya dan dimensi fungsionalnya.

Berkesenian adalah kebudayaan, sama artinya seperti pakaian tidak hanya

memiliki asas fungsional yaitu menutupi badan saja tetapi manusia juga melihat

mode, mencocokkan warna yang lalu berkembang dalam “seni busana”.

Berkesenian adalah salah satu ekspresi proses kebudayaan, maka berkesenian erat

hubungannya dengan “pandangan jagat/dunia” orang-orang dari kebudayaan

tersebut. Pandangan dunia tempat orang-orang mengartikan hidup, mengambil

nilai dan mencari dasar untuk terus bisa hidup mencakup pula endapan-endapan

tentang yang indah, yang baik, dan yang benar. Endapan-endapan itu adalah nilai-

nilai (Sutrisno dan Verhaak, 1993: 6-7).

Pada tiap kebudayaan intuisi dan penangkapan bahkan pemahaman yang

telah menjadi kerangka pandangan tentang indah itu bisa dilihat dari hasil-hasil

kebudayaan yang mencerminkan dimensi estetisnya yaitu pandangan, rasa tenang

indah dan tidak indah, simbol estetika, dan lain sebagainya.

Terciptanya dan terwujudnya suatu kebudayaan merupakan hasil interaksi

antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia yang telah dilengkapi

Tuhan dengan akal dan pikirannya menjadikan mereka khalifah di muka bumi dan

diberikan kemampuan yang disebutkan oleh Supartono (dalam Rafael Raga

Maran, 1999: 36) sebagai daya manusia. Manusia memiliki kemampuan daya

antara lain akal, intelegensia, dan intuisi yaitu perasaan dan emosi, kemauan,

fantasi dan perilaku.

Kebudayaan bukanlah merupakan barang yang bersifat umum melainkan

spesifik hanya dalam khasanah eksistensi manusia, dan karena itu juga merupakan

bagian substansial dalam khasanah pengetahuan dan ilmu tentang manusia. Jika

kebudayaan itu bersifat universal, maka universalitasnya adalah sebatas eksistensi

manusia semata yang tidak boleh mengklaim diri sebagai realitas alam semesta

(Kusumohamidjojo, 2009: 24).

Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia.

Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggotanya

seperti kekuatan alam maupun kekuatan lain yang tidak selalu baik. Oleh karena

itu, manusia memerlukan kepuasan baik di bidang spiritual maupun material.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada

masyarakat itu sendiri.

Keanekaragaman budaya menunjukkan arti penting bahwa adat sebagai

perwujudan budaya lokal memiliki makna yang sangat luas, baik dari segi

penafsiran maupun manifestasi yang berlainan. Keanekaragaman adat merupakan

simbol perbedaan-perbedaan sebagai salah satu sumber identitas khas suatu adat

(Budiwati, 2000: 47).

Salah satu unsur kebudayaan daerah adalah pakaian adat tradisional. Unsur

kebudayaan pakaian adat tradisional ini dalam kehidupan memiliki berbagai

fungsi yang sesuai dengan pesan-pesan nilai budaya yang terkandung di

dalamnya, yang berkaitan pula dengan aspek-aspek lain dari kebudayaan seperti

ekonomi, sosial, politik, dan keagamaan. Berkenaan dengan pesan nilai budaya,

maka pemahaman dapat dilakukan melalui berbagai unsur-unsur dan simbol-

simbol dalam ragam hias pakaian adat tradisional tersebut.

Kebudayaan daerah merupakan unsur dari kebudayaan nasional Indonesia.

Kebudayaan-kebudayaan dari setiap daerah di Indonesia kemudian menjadi satu

yang yang dikenal dengan kebudayaan nasional. Batik misalnya merupakan

kebudayaan yang berasal dari daerah Jawa yang merupakan unsur kebudayaan

nasional dan dikenal sampai ke luar Indonesia sebagai kebudayaan Indonesia.

Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional dewasa ini memiliki

kesenjangan makna. Kebudayaan nasional seakan hanya “mencaplok”

kebudayaan daerah tanpa mengetahui makna yang ada di daerah asal kebudayaan

tersebut lebih dalam. Batik misalnya, terdapat beberapa motif atau corak batik

seperti motif batik parang yang hanya digunakan oleh keluarga keraton atau

acara-acara sakral, kemudian diadopsi oleh kebudayaan nasional yang selanjutnya

dimodifikasi sedemikian rupa, diproduksi sesuai dengan keinginan pasar,

digunakan oleh kalangan apa saja tanpa memahami makna dari motif tersebut,

sehingga makna kesakralan dari motif itu-pun lambat laun hilang. Makna motif

batik parang di daerah asalnya yaitu Jawa memiliki makna begitu sakral yang

hanya bisa digunakan oleh keluarga kraton, tetapi memiliki kesenjangan makna

dengan kebudayaan nasional di mana motif batik adalah sebuah kain sebagai hasil

dari kebudayaan.

Kebudayaan Indonesia akan bertahan apabila adanya perhatian dari

pemerintah dan masyarakat Indonesia. Kurangnya perhatian dari pemerintah

maupun masyarakat untuk melestarikan kebudayaan akan menyebabkan

kebudayaan tersebut lama kelamaan akan menghilang, selain itu ketidakpedulian

pemerintah dengan hak paten dari hasil budaya masyarakat Indonesia, khususnya

di daerah membuat hasil budaya Indonesia kemudian bisa dengan mudah diakui

oleh negara lain di luar Indonesia. Generasi muda adalah orang-orang yang juga

penting untuk melestarikan warisan budaya milik sendiri daripada mencintai

budaya barat dan budaya luar yang sekarang sedang menjadi tren di Indonesia.

Koentjaraningrat (1964: 79) berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan

sebagai cultural universal, yaitu: peralatan dan perlengkapan manusia (pakaian,

perumaham, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan lain

sebagainya), mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian,

peternakan, sistem produksi, sistem distribusi), sistem kemasyarakatan (sistem

kekrabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan), bahasa (lisan

atau tertulis), kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak), sistem pengetahuan dan

religi.

Salah satu wujud kebudayaan yang berasal dari daerah Palembang

(Sumatera Selatan) adalah kain songket. Kain songket adalah kain khas

masyarakat Palembang yang dalam sejarah dan kebudayaan Palembang

menunjukkan kejayaan masa lampau kerajaan Sriwijaya yang menguasai

perdagangan laut yang kemudian tercermin dalam unsur-unsur kebudayaan antara

lain dalam pakaian adat, rumah adat, bentuk ukiran, dan lain sebagainya. Emas

yang melimpah ruah pada masa itu, tercermin dari penggunaan emas dalam

tenunan kain songket dan rumah adat limasan (Kartiwa, 1986: 32-33).

Perjalanan sejarah perkembangan kain songket Palembang juga merupakan

hasil dari akulturasi kebudayaan-kebudayaan lain yang masuk ke Palembang.

Latar belakang sejarah kebudayaan dari masyarakat Sumatera pada umumnya,

mewarnai corak kebudayaan masyarakatnya. Di samping unsur-unsur asli yang

tumbuh dalam masyarakatnya juga mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan

yang datang dari luar yang ditandai sekitar abad 15. Sumatera di samping Malaka,

sebagai tempat persinggahan kapal-kapal dagang membawa barang-barang impor

seperti benang sutera, benang emas, dan benang perak serta kain patola yang

dibawa oleh pedagang Cina dan Arab pada waktu itu. Perngaruh-pengaruh

tersebut memperkaya kebudayaan yang sudah ada dikalangan masyarakatnya

(Kartiwa, 1987: 25-26).

Pada awalnya para penenun generasi terdahulu hanya mengenal benang

kapas sebagai bahan utama atau bahan baku dari tenunannya, namun setelah

adanya hubungan perdagangan dengan Cina, India, dan Eropa memengaruhi hasil

tenunan bangsa Indonesia. Hal tersebut dapat pula dilihat dari hasil-hasil tenunan

sebelumnya yang terkesan sangat sederhana, kemudian berkembang menjadi

tenunan yang kompleks, bervariasi, rumit, dan indah dengan kemilau benang emas

dan warna-warni yang diperoleh dari benang sutra. Hal ini seakan memberikan

warna baru baik dari segi teknik tenunan maupun warna dan ragam hiasnya.

Tenunan yang awalnya menggunakan benang kapas, berwarna suram berkembang

menjadi tenun yang berwarna, memiliki dinamika, dan agung (Effendi, 2010:

118).

Seiring dengan terjalinnya kontak, interaksi, dan komunikasi dengan

kebudayaan luar corak dan bagian dari kain songket Palembang pun mengalami

akulturasi. Akulturasi terjadi antara unsur-unsur hias kebudayaan asing dengan

unsur-unsur hias lama melalui proses yang panjang. Unsur-unsur asing yang

datang tidak menghilangkan unsur lama, tetapi semakin memperkaya corak,

ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan tersebut terpadu dan

terintegrasi dalam suatu konsep yang utuh yang tidak dapat dipisahkan dan

melahirkan corak baru yang unik dan khas (Kherustika, 1999: 4-5 dalam

Winarsih, 2013: 3).

Apabila dicermati setiap ragam hias yang ada pada sehelai kain tenun,

sebenarnya mengandung nilai-nilai yang bermakna luhur sebagai wujud dari

budaya masyarakat Indonesia pada masa lampau. Pembuatannya yang rumit, baik

teknik tenun, pewarnaan maupun ragam hias yang menggunakan peralatan dan

bahan khusus telah memberikan nilai tambah pada karya seni tenun tersebut

(Effendi, 2010: 118-119).

Kain songket Palembang adalah sebuah kebudayaan yang memiliki nilai-

nilai yang bermakna luhur. Warna merah dan warna terang sebagai motif menjadi

ciri khas songket (pada perkembangan awal) adalah dua warna utama tradisi Cina.

Dua warna ini jika ditinjau dari sudut pandang semiotik mengandung dua makna

yaitu merah bermakna berani sedangkan kuning (emas) bermakna kekayaan,

kejayaan, dan kemakmuran (Syarofie, 2009: 16).

Kajian tentang kain songket Palembang yang begitu luas memberikan ruang

kepada peneliti untuk mengkajinya secara mendalam. Melalui perspektif estetika

khususnya: pertama, nilai estetis yang di dalamnya membicarakan nilai intrinsik,

nilai ekstrinsik, nilai objektif dan nilai subjektif tentang keindahan; kedua, unsur-

unsur estetika yang di dalamnya membicarakan tentang unsur keseimbangan,

ketekunan, keharmonisan, titik, garis, bentuk, pola, warna, cahaya dan lain

sebagainya; ketiga, simbol estetika yang di dalamnya membicarakan tentang

sebuah karya seni sebagai sebuah simbol yang menurut Langer bahwa simbol

tidak mewakili objeknya melainkan wahana bagi konsep tentang objek, simbol

diskursif dan simbol presentatif.

Mengacu pada persoalan di atas, bahwa kain songket Palembang memiliki

nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya. Penelitian tentang “Dimensi

Estetis Pada Kain Songket Palembang dan Relevansinya Dengan Perkembangan

Kebudayaan di Indonesia” yang penulis sajikan dan dideskripsikan berdasarkan

beberapa persoalan yang berkaitan dengan estetika, kemudian merelevansikannya

dengan perkembangan kebudayaan di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa hal yang

membuat peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut. Kain songket

Palembang yang merupakan salah satu peninggalan budaya Indonesia, pasti

menimbulkan beberapa pertanyaan dan masalah yang membutuhkan penjelasan

konkret.

Peneliti memberikan batasan ruang lingkup penelitian karena luasnya kajian

yang akan diteliti, yaitu kain songket yang berada di Palembang Sumatera Selatan.

Penelitian ini sekalipun telah dispesifikasikan pada kain songket Palembang,

namun tidak menutup kemungkinan munculnya permasalahan yang banyak dan

bervariasi. Maka penelitian ini menggunakan suatu metode dan sudut pandang

dalam penelitian dengan menitikberatkan pada beberapa persoalan pokok.

Persoalan utama yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:

a. Apa makna kain songket Palembang?

b. Apa saja dimensi estetis yang terkandung dalam kain songket Palembang?

c. Bagaimana relevansi dimensi estetis kain songket Palembang dengan

perkembangan kebudayaan di Indonesia?

3. Keaslian Penelitian

Tesis yang berjudul Dimensi Estetis pada Kain Songket Palembang dan

Relevansinya dengan Perkembangan Kebudayaan di Indonesia ini akan mengkaji

nilai-nilai estetis yang terkandung dalam ragam hias kain songket. Penelitian akan

dikaitkan dengan permasalahan aktual di Indonesia yaitu tentang perkembangan

kebudayaan. Sejauh penelusuran kepustakaan, ditemukan beberapa tulisan yang

memiliki kedekatan tema dengan tulisan ini, tetapi peneliti tidak menemukan

tulisan yang sama sekali persis yaitu yang menggunakan objek material kain

songket Palembang dan objek formal estetika untuk membedah. Pustaka lain yang

memiliki kedekatan tema dengan tulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Kebijakan pemberdayaan usaha kecil menengah tenun songket di Kota

Palembang Propinsi Sumatera Selatan, penulis Adi Yulius, tesis UGM 2002

b. Perlindungan hukum bagi pengrajin songket Palembang terhadap

pendaftaran merek berdasarkan indikasi geografis, penulis Andriana

Desmilia Eka, Tesis UGM 2003.

c. Analisis Karakteristik dan Perilaku Konsumen tenun Songket Palembang,

penulis Maria Merry Marianti dan Istiharini, Lembaga Penelitian dan

Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Katolik Parahayangan 2013.

d. Kain Tapis Lampung Dalam Perspektif Estetika: Relevansinya dengan

Perkembangan Kebudayaan di Indonesia, penulis Winarsih, Tesis UGM

2013.

4. Manfaat Penelitian

Secara keseluruhan peneliti berharap bahwa penelitian ini dapat memberii

manfaat kepada beberapa pihak. Beberapa manfaat yang diharapkan tersebut

antara lain, yaitu

a. Bagi ilmu pengetahuan:

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang estetika dan

bidang ilmu lain, misalnya filsafat seni serta mengembangkan kemampuan secara

kritis dan sistematik atas persoalan filsafat terutama dalam bidang estetika.

b. Bagi filsafat

a) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan memperkaya

kepustakaan dalam bidang filsafat khususnya kajian tentang

permasalahan filsafat keindahan (estetika).

b) Penelitian ini diharapkan mampu menggali dan mengembangkan fisafat

seni kain songket, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi

terwujudnya nilai budaya dan kerpribadian luhur.

c) Penelitian ini merupakan sarana untuk mengaktualisasikan pemikiran

filsafat dalam mengkaji nilai-nilai filosofis yang terdapat dalam

kebudayaan di Indonesia.

c. Bagi bangsa Indonesia

Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan pengetahuan masyarakat

Indonesia tentang estetika dan kain songket khususnya di Palembang. Penelitian

ini dapat diharapkan memberikan pemahaman terhadap masyarakat Indonesia

bahwa Indonesia memiliki banyak kebudayaan yang memiliki banyak nilai-nilai

di dalamnya seperti halnya kain songket yang ada di Palembang. Penelitian ini

juga diharapkan dapat memperkaya kebudayaan nasional.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan kain songket khususnya yang ada di Palembang

2. Merumuskan pemahaman tentang estetika, khususnya unsur estetika, simbol

estetika dan fungsi estetika.

3. Menganalisis secara efektif tentang estetika kain songket Palembang

kemudian merelevansikannya bagi perkembangan kebudayaan Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka

Kain songket merupakan salah satu identitas etnis masyarakat Palembang

yang menghasilkanberbagaijenis tekstil. Sebelum menjadi songket, kain khas

Palembang disebut tenun. Tenun menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah

hasil kerajinan yang berupa bahan (kain) yang dibuat dari benang (kapas, sutra,

dsb) dengan cara memasuk-masukan pakan secara melintang pada lungsin. Pakan

adalah memasukan benang dengan posisi horizontal (melintang), sedangkan

lungsin adalah benang yang terbentang dengan posisi vertikal. Benang lungsin

langsung terbentang seukuran lebar kain, sedangkan benang pakan dimasukan

satu demi satu helai sehingga sampai sepanjang ukuran kain yang diinginkan.

Benang yang digunakan dewasa ini ada yang menggunakan benang sutra sebagai

daging kain dan benang emas sebagai pembentuk motif. Oleh karena adanya

pemakaian benang emas untuk motif maka kain tenun yang dihasilkan dinamakan

kain tenun songket. Arti songket secara resmi hingga saat ini masih belum ada,

namun beberapa sumber memberikan penjelasan yang mengarahkan kepada

pengertian ketatabahasa (Effendi, 2010: 121).

Songket menurut JL. Sevenhoven 1822 (dalam Yudhi Syarofie, 2009: 32)

berasal dari kata disongsong dan di- teket. Kata teket dalam bahasa Palembang

lama berarti sulam. Kata ini mengacu kepada proses penenunan yang pemasukan

benang dan peralatan pendukung lainnya ke dalam longsen/lungsin yang

dilakukan dengan cara disongsong atau diterima. Oleh karena itu, songket

diartikan sebagai kain yang (pembuatannya) disongsong atau disulam. Selain itu

ada juga yang berpendapat bahwa songket Palembang konon berasal dari kata

songko yaitu kain penutup kepala yang dihias dengan benang emas. Sumber lain

mengatakan bahwa kain songket itu sendiri berasal dari kata “tusuk” dan “cukit”

yang diakronimkan menjadi “sukit” dan kemudian menjadi “sungkit” selanjutnya

menjadi “songket”.

Istilah songket baru dikenal sejak awal abad ke-19, sedangkan dahulu

dikenal masyarakat dengan sebutan kain benang emas karena terbuat dari benang

emas, bukan kain songket. Awalnya kain tenun songket hanya berupa kain tenun

polos, tetapi dalam perkembangan selanjutnya terus disempurnakan sehingga

disertai dengan benang emas sebagai hiasannya. Penempatan benang emas

sebagai motif diatur sedemikian rupa sehingga menempati posisi tertentu seperti

pada pinggir kain, badan kain, dan kepala kain. Penempatan benang emas sebagai

pembentuk motif menjadikan kain tenun tampil lebih anggun dan menawan.

Pembuatan motif itu juga sejalan dengan proses menenun dasar kain. Kain tenun

yang diberi motif dari benang emas atau benang perak itulah yang secara umum

dikenal masyarakat dengan kain songket (Effendi, 2010: 122).

Kain tenun merupakan salah satu perlengkapan hidup manusia yang sudah

dikenal dari zaman prasejarah yang diperoleh dari perkembangan pakaian penutup

badan setelah rumput-rumputan dan kulit kayu. Kain tenun ikat yang merupakan

bentuk perkembangan dari bentuk kain tenun yang diberi ragam hias ikat,

diciptakan untuk melengkapi kebutuhan manusia seperti juga makanan, minuman,

dan tempat tinggal (Kartiwa, 1987: 15).

Selain sebagai salah satu perlengkapan manusia, kain tenun mempunyai

fungsi dalam beberpa aspek kehidupan masyarakat pembuatnya, baik aspek sosial,

ekonomi, religi, estetika, dan lain sebagainya. Kain tenun merupakan salah satu

kebutuhan masyarakat menyangkut segala keperluan sehari-hari, secara

keseluruhan.

Kain songket Palembang berbeda dengan di lain-lain daerah yang

menghasilkan tenun ikat lungsin, banyak kain tenunnya dianggap bertalian dengan

keagamaan tertentu. Fungsi kain tenun ikat dan songket ini mempunyai arti yang

khusus antara lain menyangkut gengsi bagi mereka yang memiliki sejumlah tenun

songket yang muncul di pertunjukan pada berbagai upacara dan acara di tengah-

tengah masyarakat. Pemakaian kain songket antara lain pada acara cukuran anak

atau bayi yang disebut dengan upacara marhaba, songket digunakan untuk

menggendong bayi yang berumur 40 hari untuk dimarhabakan atau dilakukan

pencukuran. Pada upacara sunatan kain songket Palembang digunakan sebagai

sarung dan pada saat itu juga bertepatan dengan upacara khataman Al-Quran.

Pada upacara perkawinan songket dipergunakan mulai dari upacara mutus kato

atau pertunangan, upacara menjelang hari perkawinan, upacara turun mandi,

sampai upacara perkawinananya/munggah (Kartiwa, 1987: 27-28).

Songket Palembang di dalam motifnya ada sebuah motif khas yaitu bentuk

lar atau sayap garuda yang tidak asing lagi motif ini dengan banyak variasinya

terdapat dalam batik. Ada motif ceplok bunga kecil-kecil seperti ragam hias

ceplok bunga dalam teknik songket. Kedua jenis motif ini biasanya mengisi

bagian tengah, ada juga jalur-jalur kecil yang diisi dengan motif ikat pakan dalam

bentuk belah ketupat dan macam-macam bentuk flora daun-daunan.

Warna yang dipergunakan untuk kombinasi songket ini berlatar warna

merah anggur atau hijau daun serta ada bagian-bagian yang diisi warna kuning

selain pada songketnya semua dari benang emas. Kombinasi songket ini

khususnya dibuat pada kain selendang atau sarung yang digunakan dalam upacara

adat dan perkawinan (Kartiwa, 1987: 27).

Dalam warna serta bentuk desain songket dapat mencerminkan status sosial

dari pemakainya. Kain songket dengan warna hijau, merah, dan kuning digunakan

oleh janda, sedangkan jika mereka menggunakan warna yang cerah berarti

melambangkan bahwa mereka ingin menikah lagi. Bagi wanita janda tidak

memakai desain ikat di bagian tengahnya (Akib dalam Kartiwa, 1986: 35). Nama-

nama songket yang dihubungkan dengan status wanita itu seperti antara lain

songket benang emas “jando beraes”, songket janda pengantin dan lain

sebagainya. Pada songket “jando beraes”, kedua ujung kainnya diberi desain

bunga tabur, sedangkan di bidang tengah warna polos.

Nama songket selain menunjukkan hal yang khusus, nama-nama kain

songket lebih banyak menunjukkan corak desain yang diterapkan. Untuk jenis

lepus setiap coraknya mempunyai namanya masing-masing, seperti songket lepus

berakam, lepus bintang, lepus naga bersaung, lepus bunga jatuh, lepus berantai,

lepus limar (Akib dalam Kartiwa, 1986: 35). Motif-motif yang menghias kain

songket ini diantaranya motif belah belimbing, bunga manggis, naga gendong

anak, dan lain sebagainya. Pada limar ada kombinasi songket dengan desain ikat

pakan, biasanya desain ikat pakan tersebut terletak pada bagian tengah bidang

kain yang dikelilingi maupun kedua ujung kainnya dihias dengan desain songket.

Bentuk motif ikatnya antara lain menyerupai sayap burung garuda atau lebih

dikenal dalam batik dinamakan motif lar. Kombinasi desain songket dan desain

ikat selain terdapat pada kain atau selendang, juga dibuat pada sebuah kain segi

empat untuk ikat kepala pada laki-laki atau di kenal dengan sebutan tanjak.

Di Palembang seperti juga halnya di Minangkabau, kain songket dibedakan

antara songket dengan desain benang emas yang penuh disebut songket lepus dan

songket dengan desain benang emas yang tersebar disebut dengan songket bukan

lepus atau tabur yang berarti bertabur. Perbedaan ini penting, di mana songket

yang melambangkan kebesaran dan keagungan adat Palembang dan salah satu

syarat yang harus ada dalam pemberian sebagai emas kawin adat Palembang.

Berbeda dengan adat dari daerah lain, kain tenun adat merupakan pemberian dari

pihak pengantin perempuan kepada pihak pengantin laki-laki, namun kain songket

dalam adat Palembang merupakan bagian dari emas kawin/mahar yang diberikan

oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Adat Palembang

mengharuskan seorang suami menyiapkan pakaian adat untuk istri yang akan

digunakann untuk menghadiri pertemuan keluarga, upacara adat, atau upacara

resmi lainnya (Kartiwa, 1986: 34).

D. Landasan Teori

Estetika merupakan suatu telaah yang berkaitan dengan penciptaan,

apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengan

kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (Sachari, 2002: 3)

Estetika dirumuskan sebagai cabang filsafat yang behubungan dengan

keindahan. Salah satu alasan pokok dalam keindahan adalah tentang sifat dasar

dari keindahan: apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda indah

ataukah hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda

tersebut? Penjelasan terhadap problem ini menimbulkan dua kelompok yang

terkenal sebagai teori objektif dan teori subjektif tentang keindahan (The Liang

Gie, 1996: 49).

Kelompok teori objektif dianut oleh Plato, Hegel, dan Bernard Basanquet.

Kelompok objektif ini berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang

menciptakan nilai estetis adalah sifat yang memang telah melekat pada benda

indah bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan

seseorang hanya menangkap sifat-sifat yang sudah ada pada suatu benda.

Teori subjektif dianut oleh Henry Home, Earl of Shaftesbury (Lord Ashley),

dan Edmund Burke yang menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan

pada suatu benda tidak ada. Hal yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri

seseorang yang mengamati suatu benda. Adanya keindahan semata-mata

tergantung pada pencerapan dari pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa suatu

benda mempunyai nilai estetis, maka hal itu diartikan bahwa seorang pengamat

memperoleh suatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda tersebut

(The Liang Gie, 1996: 49-50).

Kusmiati (2004: 5) mengatakan bahwa estetika adalah suatu kondisi yang

berkaitan dengan sensasi keindahan yang dirasakan seseorang, tetapi rasa

keindahan tersebut baru akan dirasakana apabila terjalin perpaduan yang harmonis

dari elemen-elemen keindahan yang terkandung dari pada suatu objek.

Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas tertentu yang terdapat

pada suatu hal, yaitu: kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan

(symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan (contrast). Patut diikuti

penjelasan dari teori empati (teori Einfuhlung) yang menyatakan bahwa benda

estetis yang memenuhi asas-asas pertimbangan (balance) dan ketesangkupan

(symmetry) umumnya disukai orang kakrena dianggap indah. Filsuf lain

menyatakan bahwa keindahan tersusun dari pelbagai keselarasan (harmony) dan

perlawanan (contrast) dari garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata (Pasha, 2000:

74).

Baumgarten (dalam Kusmiati, 2004: 1) mengatakan bahwa unsur-unsur

keindahan tersusun secara teratur dalam kesatuan (beauty is the world order).

Dimensi keindahan dalam arsitektur dan desain tersusun dari unsur-unsur titik,

garis, bidang, massa, komposisi, warna, dan lain sebagainya.

Keindahan suatu bentuk pada dasarnya adalah alamiah yang berarti wajar,

tidak berlebihan, dan didukung oleh susunan besar seperti titik, garis, bidang, dan

seterusnya sehingga mampu mendatangkan rasa senang bagi mereka yang

menatapnya, bahkan membangkitkan rasa puas secara emosional ataupun

spiritual. Persepsi manusia tentang keindahan tidaklah sama karena tergantung

pada kedalaman rasa, pengalaman pendidikan, dan kebudayaan masing-masing.

Keindahan tidak terikat ruang dan waktu, melainkan menjelajah keseluruh segi

kehidupan sebagai sumbangan manusia terhadap kebudayaan.

Pembicaraan penting estetika dalam dunia kesenirupaan dan budaya adalah

mengupas tentang simbol-simbol. Manusia bukan hanya sebagai makhluk

pembuat alat, melainkan juga sebagai makhluk pembuat simbol melalui bahasa-

bahasa visual (Sachari, 2002: 14).

Langer mendefinisikan bahwa manusia sebagai “makhluk simbolik”,

membuat perbedaan antara simbol diskursif atau makna perkamusan dan simbol

presentasional atau simbol tidak utuh dari seni (Bagus, 2000: 1008).

Cassirer (1987: 41-48) mengatakan bahwa pemikir simbolis dan tingkah

laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh

kemajuan kebudayaan menusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu,

tidaklah dapat ditolak dan simbol adalah designator. Pada tingkah laku binatang

sistem yang digunakan adalah tanda, yaitu fakta yang kurang lebih sudah bisa

dipastikan, bagian dari dunia fisik, dan merupakan operator. Hal inilah yang

membedakan manusia dengan binatang.

Teori estetika selalu bertolak pada asumsi, bahwa manusia pada hakikatnya

akan selalu tanggap terhadap bentuk luar suatu objek yang bisa menghasilkan

sensasi yang menyenangkan. Perasaan atas hubungan yang menyenangkan itu

adalah rasa indah. Dengan kata lain, rasa keindahan merupakan jalinan elemen

bentuk yang tersusun secara sempurna, sehingga bisa menyentuh kesadaran

persepsi setiap orang. Berbicara tentang teori seni akan selalu dikaitkan dengan

unsur estetika yang menjangkau seluruh ekspresi manusia yang hidup pada zaman

apapun dan di manapun. Karya seni pada zaman primitif ataupun zaman modern

akan sama dalam daya tarik, karena kelahirannya sama-sama didasarkan pada

nilai kemanusiaan yang berlaku pada zamannya.

Benda budaya termasuk di dalamnya benda-benda seni masa lampau

diproduksi masyarakatnya karena mempunyai fungsi dalam kehidupan mereka.

Fungsi seni bagi mereka mungkin sama sekali berbeda dengan seni untuk

kehidupan kita di masa sekarang. Karena itu, manusia harus memahami benda

yang disebut “seni” itu bagi masyarakat-masyarakat masa lampau. Fungsi seni itu

masih kita dapatkan hidup di tengah-tengah kita sekarang ini, karena masyarakat

pendukungnya masi ada. Apa yang kita sebut dengan “seni tradisional” itu masih

difungsikan sebagai bagian dari upacara dan kadang seni itu merupakan upacara

itu sendiri, karena fungisnya ritual maka simbol-simbol seni yang ada di dalamnya

tentu berhubungan dengan sistem religi atau kepercayaan mereka (Sumardjo,

2000: 2-3).

E. Metode Penelitian

1. Bahan dan Materi Penelitian

Metode penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif bidang filsafat

yang bersumber dari penelitian lapangan dan data pustaka. Bahan dan materi

penelitian ini diperoleh melalui observasi, pengamatan langsung, wawancara, dan

penelusuran pustaka yaitu buku-buku, artikel, arsip, dan bahan lainnya yang

berkaitan dengan kain songket Palembang dan estetika. Setelah diperoleh data

pustaka, kemudian pustaka terbagi menjadi dua yaitu pustaka primer dan pustaka

sekunder.

Kepustakaan primer merupakan sumber utama dari bahan dan objek

material penelitian. Pustaka primer yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Observasi dan pengamatan secara langsung ke pembuat kain songket di

Palembang.

b. Wawancara dengan beberapa tokoh budaya Palembang dan atau pembuat

kain songket di Palembang.

c. Buku Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi, karya

Yudhi Syahrofie, 2009, Penerbit Depdiknas, Kegiatan Pengelolaan

Kelestarian dan Pembinaan Nilai Budaya Sumatera Selatan.

d. Buku Kain Songket Indonensia, karya Dra. Suwarti Kartiwa, M.Sc, 1986,

Penerbit Djambatan.

e. Buku Tenun Ikat, karya Dra. Suwarti, M.Sc, 1987, Penerbit Djambatan.

f. Buku Pakaian Adat Tradisional Daerah Sumatera Selatan, karya Dra.

Tatiek Kartikasari, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

g. Buku Bunga Rampai Budaya: Rumah Tradisional, Sistem Pewarisan,

Songket Palembang dan Adat Minangkabau, karya Nursyirwan Effendi,

2010, Penerbit BPSNT Padangpress.

Pustaka sekunder berupa buku-buku, jurnal, artikel, dan bahan-bahan

lainnya yang berhubungan dengan tema yang diangkat oleh penulis. Pustaka

sekunder yang digunakan a antara lain:

a. Buku Pengantar Estetika, karya Dharsono Sony Kartika dan Nanang ganda

Perwira, 2004, Penerbit Rekayasa Sains.

b. Buku Dimensi Estetika Pada Karya Arsitektur dan Desain, karya Dra.

Artini Kusmiati, 2004, Penerbit Djambatan.

c. Buku Filsafat Keindahan, karya The Liang Gie, 1996, Pusat Belajar Ilmu

Berguna.

d. Buku Pengantar Estetika dalam Seni Rupa, karya Ganda Prawira Dharsono,

2003, Penerbit Depdiknas, Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan

Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

e. Buku Estetika Seni Rupa Nusantara, karya Dharsono (Sony Kartika) dan

Sunarmi, 2007, Penerbit ISI Press Solo.

f. Buku Filsafat Seni, karya Jakob Sumardjo, 2000, Penerbit ITB.

g. Buku FIlsafat Keindahan, karya Mudji Sutrisno dan Chirst Verhaak, 1993,

Penerbit Kanisius.

2. Jalannya Penelitian

Penulis dalam penelitian ini mencoba untuk memahami objek materi baik

secara tekstual maupun konseptual, kemudian penulis akan menganalisanya

menggunakan objek formal dan menyampaikannya kembali. Langkah yang

diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi tahap yaitu sebagai

berikut:

a. Tahap persiapan, diawali dengan mengumpulkan data yang berhubungan

dengan kajian penelitian, data yang telah berhasil dikumpulkan kemudian

dipisahkan dan diklasifikasi berdasarkan kesesuaian dengan objek material

dan objek formal.

b. Tahap pembahasan, mencakup penguraian masalah sesuai dengan objek

material dan objek formal kemudian dideskripsikan.

c. Tahap akhir, merupakan penelitian yang dilakukan secara sistematis dan

koreksi penelitian.

3. Analisis Data

Penelitian ini meneliti pandangan hidup yang kebanyakkan masih bersifat

implisit, sehingga penelitian ini menggunakan metode hermeneutika (Bakker dan

Zubair, 1990: 93-94) dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut:

a. Deskripsi

Penulis mencoba menjelaskan data yang sudah terkumpul, kemudian data

tersebut dipahami secara lengkap dan utuh. Metode ini digunakan untuk

memahami dimensi estetis dalam kain songket Palembang menurut berbagai

sumber.

b. Analisis

Metode analisis yaitu penangkapan tentang suatu hal dengan jalan memilah-

milah antara pengertian yang satu yaitu hal-hal yang berhubungan dengan kain

songket sebagai bahan yang ditelaah, dengan pengertian yang lain yaitu dimensi

estetis sebagai “pisau analisis” untuk menelaah, sehingga nantinya penulis akan

memperoleh suatu kejelasan tentang hal yang dimaksud dan pemahaman yang

mendalam.

c. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran berguna bagi penulis untuk memahami nilai-

nilai yang terkandung dalam kain songket Palembang yang kemudian ditelaah dari

sudut pandang filsafat keindahan (estetika), sehingga dapat menjawab

permasalahan yang ada dalam penelitian ini dan menemukan dimensi estetis pada

kain songket Palembang.

d. Refleksi

Penelitian ini menghasilkan pemahaman atau konsepsi baru yang lebih

lengkap dari sebelumnya. Dalam tahap refleksi ini, penulis mencoba menganalisis

kain songket menggunakan filsafat keindahan (estetika) kemudian dihubungkan

dengan makna nilai yang terkandung dalam kain songket, menemukan dimensi

estetisnya dan merelevansikannya dengan perkembangan kebudayaan di Indonesia

dan kehidupan manusia di masa sekarang.

e. Heuristika

Proses selanjutnya adalah analisis heuristika untuk menemukan makna

esensial dengan melakukan penafsiran terhadap dimesi estetis kain songket

Palembang sehingga esensi di dalamnya dapat dipahami sesuai dengan waktu dan

konteks keadaan sekarang.

F. Hasil Yang Dicapai

Hasil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan pemahaman secara deskriptif tentang kain songket

Palembang.

2. Mendapatkan penjelasan analisis tentang dimensi estetis, khususnya unsur

estetis, simbol estetis, dan fungsi estetis.

3. Mendapatkan penjelasan tantang kain songket Palembang dan estetika, serta

merelevansikannya dengan perkembangan kebudayaan di Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Agar dapat suatu pemahaman yang mudah, runtut, dan integrasi pada

penelitian yang berjudul “Dimensi Estetis pada Kain Songket Palembang dan

Relevansinya dengan Perkembangan Kebudayaan di Indonesia”, maka peneliti

membagi dalam enam bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang dari penelitian ini,

rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian , tujuan penelitian ,

tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang ingin dicapai, dan

sistematika penelitian .

Bab II merupakan uraian tentang ruang lingkup estetika yang berisi a)

pengertian nilai b) nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik, c) nilai objektif dan nilai

subjektif, d) pengertian estetika, unsur-unsur estetika, e) pengertian simbol, fungsi

simbol, simbol diskursif dan simbol presentasional.

Bab III merupakan pemahaman dasar tentang kain songket Palembang

antara lain, a) sejarah dan perkembangan kain songket, b) bahan dasar dan

peralatan pembuatan kain songket, d) proses dan teknik pembuatan songket

Palembang, e) jenis songket Palembang menurut asal dan pemakaiannya, f) fungsi

songket Palembang.

Bab IV merupakan uraian dimensi estetis kain songket Palembang yang

meliputi a) nilai estetis pada kain songket Palembang, , b) unsur-unsur estetis

dalam kain songket Palembang, c) simbol estetis yang terkandung dalam kain

songket Palembang, d) keindahan yang terkandung dalam kain songket

Palembang, e) evaluasi kritis.

Bab V merupakan uraian tentang relevansi dimensi estetis kain songket

Palembang dengan perkembangan kebudayaan di Indonesia yang meliputi, a) arti

dan makna kebudayaan nasional, b) Arti istilah Pancasila, asal mula, dan makna

nilai dalam Pancasila, c) Pancasila sebagai sistem nilai dalam kehidupan budaya,

d) problem-problem kebudayaan di Indonesia, e) peran nilai estetis kain songket

Palembang dalam kebudayaan Indonesia, f) nilai estetis kain songket Palembang

dan akulturasi budaya di Indonesia.

Bab VI berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban analisis atas

konsep dimensi estetika pada kain songket Palembang yang mengacu pada

rumusan masalah dan tujuan penelitian, sehingga sedapat mungkin akan

ditemukan kesesuaian antara rumusan masalah, tujuan, analisis, pembahasan dan

hasilnya serta saran.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN