BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilepsi merupakan kekambuhan periodik yang ditandai adanya bangkitan, baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan berlebihan dari neuron kortikal dan ditandai oleh perubahan aktivitas listrik yang diukur oleh electro-encephalographi (EEG) (Wells dkk., 2008). Gangguan ini sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya, di samping itu juga dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik (WHO, 2001). Insiden epilepsi tertinggi terjadi pada kategori anak-anak dan merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut. Ditemukan bahwa prevalensi epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Secara statistik, jenis epilepsi pada masa anak-anak bervariasi, tetapi jenis epilepsi yang secara umum lebih sering terjadi adalah epilepsi umum (generalized epilepsy) (Pinzon, 2006). Pengobatan epilepsi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dengan manifestasi adanya penurunan atau pengendalian kejang, serta perbaikan dalam aspek psikis, kognitif, dan sosial (Heaney dkk., 2002). Terapi utama epilepsi yaitu pemberian obat anti epilepsi untuk mengontrol kejang pasien (Gidal dan Garnett, 2005). Terapi pasien pediatrik sebaiknya diawali dengan monoterapi.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Epilepsi merupakan kekambuhan periodik yang ditandai adanya bangkitan,

baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan

berlebihan dari neuron kortikal dan ditandai oleh perubahan aktivitas listrik yang

diukur oleh electro-encephalographi (EEG) (Wells dkk., 2008). Gangguan ini

sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi

psikososial yang berat bagi penderitanya, di samping itu juga dihubungkan dengan

angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk,

ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik (WHO, 2001).

Insiden epilepsi tertinggi terjadi pada kategori anak-anak dan merupakan penyakit

neurologis utama pada kelompok usia tersebut. Ditemukan bahwa prevalensi

epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Secara

statistik, jenis epilepsi pada masa anak-anak bervariasi, tetapi jenis epilepsi yang

secara umum lebih sering terjadi adalah epilepsi umum (generalized epilepsy)

(Pinzon, 2006).

Pengobatan epilepsi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita

dengan manifestasi adanya penurunan atau pengendalian kejang, serta perbaikan

dalam aspek psikis, kognitif, dan sosial (Heaney dkk., 2002). Terapi utama

epilepsi yaitu pemberian obat anti epilepsi untuk mengontrol kejang pasien (Gidal

dan Garnett, 2005). Terapi pasien pediatrik sebaiknya diawali dengan monoterapi.

Sekitar 50% pasien epilepsi dapat terkontrol frekuensi dan aktifitas kejang

dengan obat anti epilepsi, tetapi 30-40% pasien mengalami kesukaran dalam

mengontrol kejadian kejang setelah penggunaan obat anti epilepsi dan

berkembang menjadi epilepsi refractory (Gidal dan Garnett, 2005; Lawthom dan

Smith, 2001). Kesukaran ini antara lain dikarenakan oleh banyaknya jenis

serangan epilepsi yang memerlukan terapi obat anti epilepsi (OAE) tertentu,

pengobatan yang bersifat individual, prognosis pada sebagian kasus

mengecewakan, lamanya pengobatan, seringnya terapi lebih dari 1 obat, adanya

interaksi obat-obat, timbul efek samping, toksisitas yang menahun, berbagai

faktor yang dapat mempengaruhi pengobatan, dan lain-lain (Moe dkk., 2006).

Politerapi sering dipertimbangkan pada kelompok pasien ini (Lawthom dan

Smith, 2001; Gidal dan Garnett, 2005).

Efek terapi merupakan hasil yang diharapkan setelah pemberian terapi. Efek

terapi dapat diketahui dengan melihat pengurangan jumlah kejang, pengurangan

keparahan kejang, adverse reaction yang minimal dan perbaikan kualitas hidup

pasien (Gidal dan Garnett, 2005).

Kuesioner Hague Seizure Severity Scale (HASS) merupakan kuesioner

yang digunakan untuk mengevaluasi efek terapi pasien epilepsi pediatrik

berdasarkan keparahan kejang. Kuesioner tersebut merupakan pengembangan dari

kuesioner LSSS (Liverpool Seizure Severity Scale) yang digunakan untuk

mengevaluasi efek terapi pasien epilepsi dewasa. Alasan digunakan kuesioner

HASS pada penelitian ini karena HASS digunakan untuk mengevaluasi efek

terapi pada pasien epilepsi pediatrik (Carpay, 1996).

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sarjito. Hal ini

dikarenakan RSUP Dr. Sarjito merupakan pusat rujukan rumah sakit di DIY dan

Jawa Tengah bagian selatan. Menurut sistem rujukan di DIY dan Jawa Tengah

bagian selatan, rumah sakit ini berada di posisi tertinggi. Selain itu, RSUP Dr.

Sarjito termasuk dalam rumah sakit tipe A (Anonim, 2009). Sekitar 70% pasien

dari jumlah keseluruhan pasien pediatrik rawat jalan yang berobat di Instalasi

Kesehatan Anak merupakan pasien epilepsi.

Berdasarkan fenomena dan kaidah ilmiah yang dipaparkan, peneliti tertarik

melakukan penelitian untuk mengevaluasi obat anti epilepsi politerapi terkait

dengan efek terapinya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada

klinisi terkait pengobatan epilepsi sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan

atau acuan dalam penyusunan standar terapi pengobatan epilepsi pediatrik

khususnya di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang itu, disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pola pengobatan obat anti epilepsi politerapi pada pasien

epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr

Sardjito Yogyakarta?

2. Bagaimanakah efek terapi obat anti epilepsi politerapi pada pasien epilepsi

pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr Sardjito

Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk:

1. Mengetahui pola pengobatan obat anti epilepsi politerapi pada pasien

epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr

Sardjito Yogyakarta.

2. Mengevaluasi efek terapi obat anti epilepsi politerapi pada pasien epilepsi

pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr Sardjito

Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Bagi peneliti

Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

informasi terkait efek terapi obat anti epilepsi politerapi obat anti epilepsi

pada pasien pediatrik.

Bagi rumah sakit

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan masukan dalam hal

outcome atau luaran berupa efek terapi obat anti epilepsi politerapi pada

pasien epilepsi pediatrik.

2. Hasil peneltian ini diharapkan dapat memberikan umpan balik kepada

klinisi di rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lain terkait dengan

standar terapi pengobatan epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik.

E. Tinjauan Pustaka

1. Epilepsi

Secara etimologi epilepsi berasal dari bahasa Yunani “epilambanein”

yang kurang lebih berarti “sesuatu yang menimpa seseorang dari luar hingga

ia jatuh” (Mutiawati, 2008). Penyakit epilepsi pertama kali ditemukan

Hippocrates, seorang dokter dari Yunani pada tahun 400 SM. Masyarakat

Yunani percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya

bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hippocrates menolak

paradigma tersebut dan menyatakan bahwa epilepsi merupakan akibat dari

terjadinya kerusakan pada otak, yang diungkapkan dalam bukunya yang

berjudul “On the Sacred Disease”. Ia menyarankan untuk memberi terapi

fisik, bukan terapi spiritual. Ia menyatakan bahwa jika epilepsi menjadi

kronis, maka epilepsi tidak dapat disembuhkan (Hantoro, 2013). Tahun

1859-1906, ahli neurologi Inggris mendefinisikan epilepsi sebagai penyakit

karena ketidakstabilan dan kerusakan pada jaringan saraf di otak, sehingga

mempengaruhi kesadaran dan tingkah laku penderita (Indrayati, 2004).

a. Definisi

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang

dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat

spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai

modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal

dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah

epilepsi tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang terjadi selama

penyakit akut berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya

kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007).

Menurut World Health Organization (WHO), epilepsi merupakan

gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan berulang

akibat ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan

otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang

berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom

atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat (Wibowo dan Gofir, 2006).

b. Epidemiologi

Epilepsi dapat menyerang bayi, anak-anak, orang dewasa, maupun

lanjut usia. Di seluruh dunia, kasus baru diperkirakan terjadi sekitar 3,5

juta tiap tahun dengan proporsi 40% golongan anak, 40% golongan

dewasa dan 20% golongan lanjut usia (Harsono, 2001). Prevalensi di

negara berkembang 2-25 kali lebih tinggi daripada di negara maju yang

hanya 5-6/1000 penduduk (Radhakrishnan, 2000).

Diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi di Indonesia. Prevalensi

epilepsi di indonesia adalah 5-10 kasus per 1.000 orang dan insidensi

sebanyak 50 kasus per 100.000 orang per tahun (Harsono, 2007). Terdapat

pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan

40%-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011).

Penelitian Heaney dkk (2002) di Inggris dilakukan secara prospektif

terhadap 369.283 orang-tahun pengamatan. Selama dilakukan penelitian

tersebut, dijumpai sebanyak 190 kasus baru epilepsi. Pada 190 kasus baru

epilepsi tersebut, 65 pasien diantaranya (34, 2%) dimulai saat pada saat

pasien berumur di bawah 14 tahun (onset epilepsi di bawah 14 tahun).

c. Etiologi

Dasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron otak dan

transmisi pada sinaps. Setiap sel hidup, termasuk neuron otak memiliki

kegiatan listrik yang disebabkan adanya potensial membran sel. Potensial

membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron

yaitu perbedaan konsentrasi ion-ion seperti K, Na, Ca, Cl (Shih, 2007).

Menurut Kusumastuti dan Basuki (2014) etiologi epilepsi dapat

dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu:

1). Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit

neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan

umumnya berhubungan dengan usia.

2). Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum

diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West, Lennox-Gastaut,

dan epilepsi Juvenile mioklonik.

3). Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi

struktural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan

kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik

(alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.

Beberapa penyebab yang secara spesifik dapat menimbulkan

serangan epilepsi menurut Harsono (2005) adalah:

1). Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu,

seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak

janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cidera

(trauma) atau mendapat penyinaran (iradiasi).

2). Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen

yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan

(forsep), atau trauma lain pada otak bayi.

3). Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang

dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3

tahun kemudian. Bila serangan terjadi berulang pada saat yang

berlainan baru dinyatakan sebagai penyandang epilepsi.

4). Tumor otak, merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum,

terutama pada anak-anak.

5). Penyumbatan atau kelainan pembuluh darah otak.

6). Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang

otak dapat menyebabkan epilepsi.

7). Penyakit keturunan seperti fenilketonuria. Sklerosis tuberose dan

neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang berulang.

8). Kecenderungan timbul epilepsi yang disebabkan ambang rangsang

serangan lebih rendah dari normal yang diturunkan pada anak.

d. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik

yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan

merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan

listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan berkurangnya inhibisi oleh

neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA) atau meningkatnya

eksitasi sinaptik oleh transmitter asam glutamat dan aspratat melalui jalur

eksitasi yang berulang (Westbrook, 2000). Aktivitas neuron diatur oleh

konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan gerakan

keluar masuk ion-ion menembus membran neuron (Harsono, 2011).

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron

abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan

cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik

abnormal ini kemudian menstimulasi neuron-neuron sekitarnya atau

neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan

epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron

abnormal abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai

aktivitas listrik di dalam otak (Harsono, 2007).

e. Klasifikasi

Menurut Gidal dan Garnett (2005), berdasarkan tanda-tanda klinik

dan data EEG, epilepsi diklasifikasikan menjadi:

1). Kejang umum (generalized seizure)

Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisphere otak secara

bersama-sama. Kejang umum terbagi atas:

a). Absense (petit mal)

Jenis ini jarang dijumpai, umumnya hanya

terjadi pada anak-anak atau awal remaja. Kesadaran hilang

beberapa detik, ditandai dengan terhentinya percakapan

untuk sesaat. Penderita tiba-tiba melotot atau matanya

berkedip-kedip dengan kepala terkulai.

b). Tonik-klonik (grand mal)

Merupakan bentuk kejang yang paling banyak

terjadi, biasanya didahului oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba

jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar air liur.

Bisa terjadi juga sianosis, ngompol, atau menggigit lidah.

Serangan ini terjadi beberapa menit, lalu diikuti lemah,

kebingungan, sakit kepala atau tidur.

c). Mioklonik

Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah

bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba.

d). Atonik

Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-

tiba kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien

terjatuh, namun dapat segera pulih kembali.

2). Kejang parsial

Kejang parsial merupakan perubahan klinis dan elektro-

ensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang

berbatas di salah satu bagian otak. Kejang parsial dibagi menjadi:

a). Simple partial seizure

Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran.

Terjadi sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.

b). Complex partial seizure

Pasien mengalami penurunan kesadaran. Pada

penderita dengan penurunan kesadaran maka dapat terjadi

perubahan tingkah laku misalnya automatisme.

3). Kejang tak terklasifikasikan

Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak

didukung oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk

serangan epilepsi pada neonatus misalnya gerakan mata ritmis,

gerakan mengunyah serta berenang.

2. Diagnosa

Penegakan diagnosa untuk epilepsi terutama berdasar riwayat adanya

serangan berulang sedikitnya 2 kali dalam setahun. Bersifat stereotipik dari

suatu pengalaman atau perilaku bawah sadar (involunter) yang dilaporkan

oleh saksi. Pendekatan diagnosa lain yang banyak dimanfaatkan adalah

elektro ensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG penting kaitannya dengan

diagnosa kejang, penentuan penyebab kejang, dan klasifikasi kejang yang

sesuai (Harrison, 2000). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penegakkan

diagnosis epilepsi dalam praktik klinis adalah sebagai berikut:

a. Anamnesis

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

c. Pemeriksaan penunjang, seperti berikut:

1) Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)

2) Pemeriksaan pencitraan otak

Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography

(PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS).

3) Pemeriksaan laboratorium

a) Pemeriksaan hematologis

b) Pemeriksaan kadar OAE

(Kusumastuti dan Basuki, 2014)

3. Penatalaksanaan Terapi

a. Prinsip Terapi

Tujuan pengobatan epilepsi adalah membebaskan pasien dari

bangkitan tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat dan pasien epilepsi

tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara normal (Gidal dan

Garnett, 2005). Menurut Shorvon (2001), pertimbangan memulai

pemberian obat anti epilepsi memperhatikan faktor atau kondisi yang

mempengaruhi, yakni:

1). Diagnosa

2). Risiko bangkitan ulang setelah kejang pertama.

3). Elektro-ensefalografi (EEG)

4). Etiologi; epilepsi simtomatik, idiopatik atau kriptogenik.

5). Umur; risiko ulang lebih besar pada usia di bawah 16 tahun atau di

atas 60 tahun.

6). Tipe kejang

7). Jenis, waktu dan frekuensi bangkitan

8). Jenis epilepsi; beberapa sindroma epilepsi benigna mempunyai

prognosis yang baik tanpa terapi, dan tidak memerlukan terapi

jangka panjang.

9). Kepatuhan berobat; keputusan dalam memberikan pengobatan

perlu dipertimbangkan pada semua keadaan jika kepatuhan berobat

diragukan.

10). Bangkitan reflektoris dan bangkitan simtomatik akut; kadang-

kadang bangkitan timbul hanya pada keadaan spesifik atau oleh

adanya pemicu terrtentu (misal fotosensitif, kelelahan, alkohol).

11). Harapan penderita; perlu diterangkan keuntungan dan kerugian

relatif apabila menggunakan atau tanpa pengobatan

Menurut Shih (2007) dan Budikayanti (2014), ada beberapa prinsip

terapi epilepsi yang diterapkan, yaitu terapi dimulai dengan monoterapi

dosis terendah yang disesuaikan dengan jenis epilepsi dan sindrom

epilepsi. Dosis dinaikkan bertahap sampai pada dosis yang dapat

mengontrol kejang. Jika dosis OAE pertama sudah maksimal namun masih

belum mengontrol kejang, OAE kedua yang berbeda mekanisme aksinya

diberikan dengan penaikan dosis secara bertahap, sementara OAE pertama

diturunkan dosisnya. Jika muncul kejang lagi pada penurunan dosis OAE

pertama, maka kedua OAE tetap diberikan. Penambahan OAE ketiga

dilakukan jika kedua OAE masih belum dapat mengontrol kejang

walaupun dosis sudah maksimal. Pada interval waktu tertentu, perlu

dimonitor kemungkinan timbulnya ketoksikan. Terapi OAE dilanjutkan

pada pasien bebas kejang hingga minimal 2 tahun dan jangan memutus

OAE tanpa mengecek EEG pasien terlebih dahulu.

b. Pediatrik

Pediatrik bukan miniatur orang dewasa. Pediatrik masih mengalami

pertumbuhan dan perkembangan dalam profil farmakologinya yang

berbeda dengan populasi dewasa (US Department of Health and Human

Service, 2014). Menurut European Medicine Agency (2001), usia pediatrik

diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yaitu: neonatus (0-27 hari), bayi (28

hari-23 bulan), anak-anak (2 - 11 tahun) dan remaja (12-16/18 tahun).

c. Terapi Epilepsi Pada Pasien Pediatrik

Sebagian besar kasus epilepsi dimulai sejak bayi dan anak. Penderita

epilepsi anak, merupakan segmen pasien tertentu, yang dalam beberapa hal

berbeda dengan pasien dewasa. Diperlukan pengetahuan tentang kondisi,

perkembangan, status penyakit anak, dan pengetahuan farmakologi OAE;

sehingga terapi epilepsi anak memerlukan perhatian khusus. Berbagai hal

perlu dicermati, misalnya pertumbuhan organ pasien, metabolisme hepar,

eliminasi ginjal, profil farmakokinetik OAE, toleransi terhadap OAE, serta

ketaatan mengkonsumsi obat. Hal-hal tersebut, berpengaruh terhadap

penyesuaian dosis OAE yang akan diberikan (Wibowo dan Gofir, 2006).

Tabel I. Pilihan Terapi untuk Berbagai Tipe Bangkitan Epilepsi Anak

Tipe kejang First-line

drugs

Second-line

drugs

Alternatif/

tambahan

Obat yang dihindari

(dapat memperburuk

kejang)

Tonik-klonik

karbamazepin klobazam asetazolamid tiagabin

lamotrigin levetirasetam klonazepam vigabatrin

valproat okskarbazepin fenobarbital

topiramat fenitoin

primidon

Absence

etosuksimid klobazam

karbamazepin

lamotrigin klonazepam

gabapentin

valproat topiramat

okskarbazepin

tiagabin

vigabatrin

Mioklonik

valproat klobazam karbamazepin

topiramat klonazepam

gabapentin

lamotrigin

okskarbazepin

levetirasetam

tiagabin

pirasetam vigabatrin

Tonik

lamotrigin klobazam asetazolamid karbamazepin

valproat klonazepam fenobarbital okskarbazepin

levetirasetam fenitoin

topiramat primidon

Atonik

lamotrigin klobazam asetazolamid karbamazepin

valproat klonazepam fenobarbital okskarbazepin

levetirasetam primidon fenitoin

topiramat

Parsial

dengan atau

tanpa

secondary

generalized

karbamazepin klobazam asetazolamid

lamotrigin gabapentin klonazepam

okskarbazepin levetirasetam fenobarbital

valproat fenitoin primidon

topiramat tiagabin

Keterangan:

a. Enzim hati menginduksi OAE

b. Harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam keadaan seperti diuraikan dalam NICE

Technology Appraisal of Newer AEDs for Children

c. Jarang dan perlu inisiasi, jika barbiturat yang digunakan lebih disukai

(NICE Guideline, 2012)

Tabel II. Dosis Obat Antiepilepsi untuk Terapi pada Pediatrik

Obat Dosis awal

(mg/kg/hari)

Dosis

maintenance

(mg/kg/hari)

Frekuensi

pemberian

(kali/hari)

Fenitoin 5 5-15 1-2

Karbamazepin 5 10-25 2-4

Okskarbazepin 5 10-50 2-3

Lamotrigin 0,5 2-8 1-2

Zonisamid 2-4 4-8 2

Etosuksimid 10 15-30 1-2

Felbamat 15 30-45 3-4

Topiramat 0,5-1 5-9 2

Clobazam 0,25 0,5-1 1-2

Clonazepam 0,025 0,025-0,1 2-3

Fenobarbital 4 4-8 1-2

Pirimidon 10 20-30 1-2

Vigabatrin 40 50-150 1-2

Gabapentin 20 20-40 3

Valproat 10 15-40 2-3

Levetiracetam 10 20-60 2

Tiagabin Tidak disarankan untuk anak di bawah usia 12 tahun

(Brodie dkk., 2005)

Menurut Shih (2007), ada beberapa edukasi yang dapat diberikan

pada pasien epilepsi pediatrik, yaitu pemberian informasi mengengai

masalah dan terapi epilepsi pada pasien dan keluarga, penandaan botol

berisi obat epilepsi, tetap berusaha hidup senormal mungkin, tidur yang

cukup dan menghindari kekurangan tidur. Anak-anak juga diberitahu

untuk melakukan kegiatan fisik sesuai umur mereka.

d. Politerapi

Setelah pasien gagal diterapi dengan 1 regimen obat, maka diperlukan

tambahan OAE kedua. Terapi tambahan dipilih OAE diantara karbamazepin,

asam valproat, atau fenitoin (Carpay dkk., 1998). Menurut NICE (2012),

politerapi adalah terapi dengan menggunakan 2 obat atau lebih, dalam hal ini

adalah obat anti epilepsi. Pasien yang masih resisten dengan 2 obat anti

epilepsi (OAE) akan dipertimbangkan penambahan jenis OAE lain.

Pertimbangan inilah yang memulai politerapi obat pada pasien epilepsi

(Carpay, dkk., 1998; Lawthom dan Smith, 2001).

Politerapi telah digunakan sejak lama. Lawthom dan Smith (2001)

menyebutkan bahwa politerapi dimulai 150 tahun lalu dengan nervine, suatu

kombinasi bromide, arsenic dan pikrotoksin. Nervine mempengaruhi sistem

syaraf secara komplementer, sehingga merupakan contoh dini penggunaan

politerapi rasional. Pertengahan abad 20, kombinasi fenitoin dan fenobarbital

menjadi terapi umum bagi epilepsi. Tahun 1980an, monoterapi menggantikan

politerapi, namun politerapi tetap digunakan pada pasien epilepsi yang belum

terkontrol. Politerapi dikatakan rasional jika:

1). Memiliki aksi penurunan kejang yang berbeda sehingga tidak terjadi

interaksi farmakodinamik.

2). Tidak berinteraksi secara farmakokinetik yang kompleks.

3). Potensi reaksi yang tidak diinginkan terendah.

4). Diresepkan pada dosis yang paling rendah.

(Lawthom dan Smith, 2011)

Meningkatnya jumlah obat anti epilepsi, maka kemungkinan efek

samping meningkat. Semakin tinggi interaksi obat, dapat meningkatkan biaya

terapi, dan mengurangi compliance pasien. Tabel III merupakan saran

kombinasi OAE oleh Lawthom dan Smith (2001).

Tabel III. Terapi Kombinasi

No Kombinasi Alasan

1

Karbamazepin, lamotrigin, atau fenitoin

dengan

Gabapentin, levetirasetam, tiagabin atau

topiramat

Merupakan politerapi rasional

karena memiliki mekanisme aksi

yang berbeda. Karbamazepin,

lamotrigin, dan fenitoin berperan

dalam inaktivasi kanal Na,

sedangkan OAE gabapentin,

levetirasetam, tiagabin dan

topiramat meningkatan transmisi

inhibitori GABA.

2 Karbamazepin, lamotrigin atau fenitoin

Tidak disarankan kombinasi antara

OAE tersebut karena mekanisme

aksinya mirip, yaitu inaktivasi

kanal Na.

3 Tiagabin dan vigabatrin

Tidak disarankan kombinasi antara

OAE tersebut karena mekanisme

aksinya mirip, yaitu meningkatkan

transmisi inhibitori GABA.

4. Obat Anti Epilepsi

Wibowo dan Gofir (2006) membagi mekanisme kerja obat antiepilepsi

(OAE) menjadi 2 bagian besar, yakni: efek langsung pada membran yang

eksitabel dan efek melalui perubahan neurotransmitter. Berikut ini adalah

penggolongan OAE berdasarkan pada mekanisme tersebut:

a). Efek langsung pada membran yang eksitabel.

Perubahan permeabilitas membran merubah fase recovery serta

mencegah aliran frekuensi tinggi dan neuron pada keadaan lepas

muatan listrik epilepsi. Efek ini karena adanya perubahan mekanisme

pengaturan aliran ion Na+

dan ion Ca2+

(Wibowo dan Gofir, 2006).

Contoh OAE yang bekerja dengan mekanisme ini antara lain:

(1). Fenitoin: difenilhidantoin, Diphantoin®, Dilantin

®

Senyawa imidazolin ini tidak bersifat hipnotik seperti

senyawa barbital dan suksinimida. Fenitoin terutama efektif

pada grand mal dan serangan psikomotor, tetapi tidak boleh

diberikan pada petit mal, karena dapat memprovokasi absense

(Tan dan Rahardja, 2002).

Cara kerja utama fenitoin adalah memblokade pergerakan

ion melalui channel Na dengan menurunkan aliran ion Na yang

tersisa maupun aliran ion Na yang mengalir selama penyebaran

potensial aksi, memblokade dan mencegah potensial post

tetanik, membatasi perkembangan aktivitas serangan yang

maksimal dan mengurangi penyebaran serangan. Fenitoin

berefek stabilitas pada membran yang eksitabel (mudah terpacu)

maupun yang tidak eksitabel. Fenitoin juga dapat menghambat

efek channel Ca dan menunda aktifasi ion K keluar sehingga

menyebabkan kenaikan periode refractory dan menurunnya

cetusan ulangan (Wibowo dan Gofir, 2006).

Kadar terapeutik fenitoin untuk sebagian besar pasien

adalah antara 10-20 µg/mL. Dosis awal dapat diberikan secara

oral atau intravena. Merupakan pilihan untuk status epileptikus

konvulsif. Bila terapi oral dimulai, pada umumnya pemberian

dosis kepada orang dewasa mulai dari 300 mg/hari, tanpa

memandang berapa berat badannya (Katzung, 2002).

(2). Karbamazepin: Tegretol®

Derivat anti depresan trisiklik ini efektif untuk serangan

parsial dan tonik klonik, dapat diberikan tunggal atau politerapi.

Mekanisme kerja dengan memblokade channel Na selama

pelepasan dan mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta

mencegah potensial post tetanik (Wibowo dan Gofir, 2006).

Obat ini efektif untuk anak-anak. Dosis tepat adalah 15-25

mg/kg/hari (Katzung, 2002). Pemberian kronik karbamazepin

dapat menyebabkan stupor, koma dan depresi pernafasan,

bersamaan dengan rasa pusing vertigo, ataksia dan pandangan

kabur. Obat ini dapat merangsang lambung, mual dan muntah.

Anemia aplastik, agranulositosis dan trombositopenia terjadi

pada beberapa penderita. Obat ini mempunyai potensi untuk

menyebabkan toksisitas hati yang berat. Setiap penderita yang

mendapat pengobatan dengan karbamazpin harus mendapatkan

pemeriksaan fungsi hati yang berulang-ulang (Mycek, 2001).

(3). Etosuksimid

Mekanisme kerja obat ini menghambat channel Ca tipe T.

Etosuksimid mempunyai efek penting pada arus Ca2+,

menurunkan arus nilai ambang rendah (tipe T). Arus kalsium

tipe T diperkirakan merupakan arus yang menimbulkan pemacu

pada saraf talamus sehingga terjadi gelombang korteks yang

ritmis dari serangan absence. Penghambat arus tersebut

karenanya merupakan keja terapeutik dari etosuksimid

(Katzung, 2002). Etosuksimid sebagai obat pilihan untuk

serangan absence pada anak-anak yang tidak disertai serangan

tonik-klonik atau mioklonik (Wibowo dan Gofir, 2006).

Kadar terapeutik sebesar 60-100µg/mL dapat dicapai pada

orang dewasa dengan dosis 750-1500 mg/hari, meski kadang

dibutuhkan dosis yang lebih tinggi atau lebih rendah (Katzung,

2002). Efek samping berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk

dan termenung, sakit kepala, anoreksia, dan mual. Leukopenia

jarang terjadi, namun gambaran darah, juga fungsi hati dan urin,

perlu dikontrol secara teratur (Tan dan Rahardja, 2002).

(4). Asam valproat: asam dipropilasetat, Depakene®, Depakote

®,

Ikalep®

Memiliki mekanisme aksi yang multipel. Obat ini

menghambat channel Ca tipe T, meningkatkan fungsi GABA

(hanya terlihat pada konsentrasi tinggi), meningkatkan sintesa

GABA dengan menstimulasi Glutamic Acid Dekarboksilasi

(GAD), serta menghasilkan modulasi selektif pada arus Na

selama pelepasan muatan (Wibowo dan Gofir, 2006).

Asam valproat diindikasikan sebagai drug of choice untuk

epilepsi general idiopatik, epilepsi mioklonik juvenile, dapat

digunakan untuk serangan mioklonus tipe-tipe lain, epilepsi

fotosensitif dan sindrom lennox. Sebagai second-line pada terapi

spasme infantil. Sebagai first-line pada epilepsi fokal (Wibowo

dan Gofir, 2006).

Dosis sebesar 25-30 mg/kg/hari sesuai untuk sebagian

pasien, tetapi ada yang membutuhkan 60 mg/kg atau bahkan

lebih. Kadar terapeutik berkisar 50µg/mL sampai 100µg/mL.

Dalam uji efikasi, pemberian obat sebaiknya tidak dihentikan

hingga kadar puncak waktu pagi hari paling sedikit 80µg/mL

sudah dicapai; beberapa pasien dapat memerlukan dan

menoleransi kadar puncak yang lebih besar dari 100µg/m

(Katzung, 2002).

Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan saluran

cerna yang bersifat sementara, ada kalanya juga sedasi, ataksia,

udema pergelangan kaki, dan rambut rontok (reversibel). Efek

lainnya kenaikan berat badan terutama remaja putri (Tan dan

Rahardja, 2002).

(5). Okskarbazepin : Trileptal®

Okskarbazepin adalah 10-keto analog dari OAE

karbamazepin, dikembangkan dalam upaya untuk menghindari

oto-induksi dan potensi interaksi sebagaimana terdapat pada

karbamazepin. OAE ini telah memperoleh lisensi di seluruh

dunia, lebih dari 50 negara termasuk Inggris. Di beberapa

negara okskarbamazepin telah digunakan sebagai obat pilihan

pertama (Harsono, 2007).

Okskarbazepin digunakan sebagai monoterapi atau terapi

tambahan pada serangan parsial, baik dewasa dan anak-anak,

termasuk pasien yang baru terdiagnosa (Browne dan Holmes,

2000). Mekanisme aksi dengan memblokade kanal Na,

berdampak pada konduktansi kalium dan memodulasi tegangan

tinggi sehingga mengaktivasi kanal kalsium (Shorvon, 2000).

(6). Lamotrigin : Lamictal®

Lamotrigin diindikasikan sebagai terapi tambahan

pada pasien dewasa dengan serangan parsial yang tidak

terkontrol dengan obat-obat pilihan pertama seperti fenitoin dan

karbamazepin. Lamotrigin memiliki toksisitas tergantung dosis

yang minimal dan tidak memerlukan monitoring hasil

laboratorium. Penggunaan obat ini menimbulkan efek samping

yaitu rash yang dihubungkan dengan sindrom Steven-Johnson,

terutama jika digunakan pada anak-anak. Lamotrigin tidak bisa

diberikan sebagai loading dose. Pemberian secara parenteral

tidak dimungkinkan. Ditemukan beberapa interaksi pada

penggunaan obat ini (Browne dan Holmes, 2000).

b). Efek melalui perubahan neurotransmitter

(1). Blokade aksi glutamat

(a). Felbamat

Mekanisme kerja dengan memperkuat aktivitas

GABA yakni memblokade reseptor NMDA. Memblokade

channel Na voltage-dependent, tetapi tidak berefek pada

reseptor GABA (Wibowo dan Gofir, 2006). Felbamat

terbukti efektif pada monoterapi maupun politerapi pada

serangan parsial pada pasien dengan usia di atas atau saat

14 tahun. Obat ini bermanfaat untuk sindrom Lennox-

Gastaut yang tidak berespon pada terapi lain (Wibowo

dan Gofir, 2006).

Dosis lazim berkisar antara 2000-4000mg/hari

pada orang dewasa, dan rentang kadar plasma efektif

adalah 30µg/mL sampai 100µg/mL (Katzung, 2002).

Efek samping berupa mual, muntah, gangguan

penglihatan, pusing, dan reaksi alergi di kulit serta

anemia aplastik (Tan dan Rahardja, 2002).

(b). Topiramat: Topamax®

Obat ini memiliki mekanisme aksi yang

beragam, menghambat reseptor glutamat subtipe

Alpha-amino-3-hidroxy-5methylisoxazole-4propionicacid

(AMPA), menghambat karbonik anhidrase dengan lemah,

menghambat channel Na high-voltaged-activated,

memperpendek durasi ledakan spontan dan frekuensi

potensial aksi, dan menghambat GABA dengan

mekanisme yang tidak diketahui dengan pasti. Topiramat

sebagai terapi adjuvan pada epilepsi parsial dan general

tonik-klonik sekunder, epilepsi general tonik-klonik

primer dan sindrom Lennox-Gastaut.

Dosis obat ini biasanya berkisar dari 200mg/hari

sampai 600 mg/hari, dengan sedikit pasien menoleransi

dosis lebih besar dari 1000 mg/hari (Katzung, 2002). Efek

tidak diinginkan yang berhubungan dengan dosis paling

sering terjadi dalam 4 minggu pertama meliputi rasa

kantuk, kelelahan, pusing, lambat berpikir, parestesi,

kegelisahan, dan bingung (Katzung, 2002).

(2). Mendorong aksi inhibisi Gamma Amino Butyric Acid (GABA)

pada membran pasca-sinaptik dan neuron

(a). Klonazepam: Rivotril®

Sebagai agonis reseptor GABA, mempunyai

afinitas yang tinggi terhadap resepto GABA-A. Efektif

untuk serangan mioklonik dan subkortikal mioklonus.

Obat ini juga efektif pada serangan umum dan sedikit

berperan pada serangan parsial. Obat ini digunakan

sebagai terapi adjuvan untuk epilepsi refrakter.

Klonazepam juga digunakan sebagai terapi emergensi

pada status epileptikus seperti diazepam (Wibowo dan

Gofir, 2006).

Efek sedasi cukup men onjol terutama pada alwal

terapi, dosis awal seharusnya rendah. Dosis maksimal

yang dapat ditolerir berkisar antara 0,1-0,2 mg/kg, tetapi

untuk pasien tertentu diperlukan beberapa minggu untuk

mencapai dosis tersebut. Kadar terapeutik obat dalam

darah biasanya kurang dari 0,1 µg/mL (Katzung, 2002).

(b). Fenobarbital: fenobarbiton, Luminal®

Beraksi langsung pada reseptor GABA dengan

berikatan pada tempat ikatan barbiturat sehingga

memperpanjang durasi pembukaan channel Cl,

mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan

menurunkan eksitabilitas glutamat. Merupakan OAE

spektrum luas, digunakan pada terapi serangan parsial

dan serangan umum sekunder. Obat ini digunakan

sebagai second drug karena memberikan efek buruk

seperti sedasi dan penurunan daya kognitif. Namun pada

status epileptikus, obat ini masih digunakan sebagai first

drug (Wibowo dan Gofir, 2006).

Kadar terapeutik fenobarbital berkisar antara 10-

40µg/mL. Efektif untuk kejang demam. Kadar dibawah

15µg/mL tidak efektif untuk mencegah kambuhnya

kejang demam. Batas atas dari rentang terapeutik sulit

ditetapkan karena banyak pasien menoleransi kadar

kronis di atas 40 µg/mL (Katzung, 2002).

(c). Klobazam : Frisium®

Klobazam merupakan derivat 1,5-benzodazepin

yang dipasarkan sebagai transquilizer, tetapi memiliki

khasiat antikonvulsi yang sama kuatnya dengan

diazepam. Klobazam digunakan sebagai obat tambahan

pada absence yang resisten terhadap klonazepam.

Klobazam tidak dapat dikombinasikan dengan valproat

(Tjay dan Rahardja, 2010).

Klobazam merupakan terapi tambahan pada

serangan parsial dan umum, terapi intermittent, terapi

one-off profilaktik, dan non-konvulsif status epileptikus,

namun tidak tersedia di Amerika Serikat (Shorvon, 2000).

5. Efek Terapi

Efek terapi merupakan hasil yang diharapkan setelah pemberian terapi.

Salah satu cara untuk mengetahui efek terapi adalah pengurangan keparahan

kejang. Pengurangan keparahan kejang akan berdampak langsung pada fungsi

psikososial pasien (Sabaz dkk, 2001). Pengukuran outcome terapi epilepsi

yang lain dapat dinilai dari adverse reaction yang minimal dan perbaikan

kualitas hidup pasien (Gidal dan Garnett, 2005).

Penurunan jumlah kejang merupakan penilaian outcome yang paling

mudah dilakukan. Setiap kali pasien datang kontrol ke poliklinik, akan mudah

menanyakan jumlah kejang yang terjadi setelah kontrol sebelumnya, ataupun

jumlah kejang sesuai periode yang diinginkan, misalnya sebulan, seminggu,

ataupun sehari. Pasien dikatakan berespon terhadap pengobatan jika

pengurangan frekuensi kejang lebih dari 50% (Bachtera, 2007). Selain

penurunan jumlah kejang, pengukuran keparahan kejang juga merupakan

parameter efek terapi obat anti epilepsi (OAE).

Hague Seizure Severity Scale (HASS) merupakan bentuk kuesioner

yang dikembangkan oleh Carpay, dkk. (1996) untuk mengukur keparahan

kejadian kejang yang terjadi selama 3 bulan terakhir berdasarkan persepsi

orang tua. Nilai HASS berkisar antara 13 (kejang kurang parah) hingga 54

(kejang paling parah). Kuesioner HASS ditujukan untuk pasien epilepsi

pediatrik yang berumur 4-16 tahun (Carpay dkk., 1996).

F. Keterangan Empirik

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran efek terapi pasien

epilepsi pediatrik. Efek terapi pada penelitian ini dinilai dari 2 aspek, yaitu:

jumlah kejang dan keparahan kejang. Kedua aspek yang dialami pasien dinilai

dalam suatu kuesioner yang diberikan kepada subyek penelitian yang bersedia.