BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari...

19
1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Criminal Justice System atau yang dikenal dengan sistem peradilan pidana adalah suatu istilah yang digunakan dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem. Rusli Muhammad menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan dalam peradilan yang mana antara bagian-bagian yang terdapat didalamnya saling bekerja sama secara terpadu guna mencapai tujuannya baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang 1 . Sehubungan dengan pendapat tersebut, M. Faal juga memberikan pendapat mengenai definisi dari sistem peradilan pidana, beliau menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu peradilan pidana, yang mana didalamnya terdapat komponen-komponen antara lain Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut umum, Pengadilan sebagai pihak yang mengadili, dan Lembaga Permasyarakatan yang berfungsi mendidik terpidana, yang mana semua komponen tersebut bekerja sama untuk menanggulangi kejahatan 2 . Selanjutnya Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan, bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu sistem yang digunakan untuk penanggulangan kejahatan yang 1 Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta. UII Press. Hlm.13 2 M.Faal, 2005. Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta. Pradnya Paramita. Hlm.24

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Criminal Justice System atau yang dikenal dengan sistem peradilan

pidana adalah suatu istilah yang digunakan dalam penanggulangan kejahatan

dengan menggunakan pendekatan sistem. Rusli Muhammad menyatakan

bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan dalam peradilan yang

mana antara bagian-bagian yang terdapat didalamnya saling bekerja sama

secara terpadu guna mencapai tujuannya baik dalam jangka pendek maupun

dalam jangka panjang1. Sehubungan dengan pendapat tersebut, M. Faal juga

memberikan pendapat mengenai definisi dari sistem peradilan pidana, beliau

menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu

peradilan pidana, yang mana didalamnya terdapat komponen-komponen antara

lain Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut

umum, Pengadilan sebagai pihak yang mengadili, dan Lembaga

Permasyarakatan yang berfungsi mendidik terpidana, yang mana semua

komponen tersebut bekerja sama untuk menanggulangi kejahatan2. Selanjutnya

Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan, bahwa sistem peradilan pidana

merupakan suatu sistem yang digunakan untuk penanggulangan kejahatan yang

1Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta. UII Press.

Hlm.13

2M.Faal, 2005. Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta.

Pradnya Paramita. Hlm.24

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

2

2

terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

Pemasyaratan terpidana3.

Sebagai kesatuan sistem, Sistem Peradilan Pidana niscaya memiliki

tujuan yang hendak dicapai. Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa tujuan

dari pembentukan Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu upaya untuk

penanggulangan dan pengendalian kejahatan yang terjadi di masyarakat.

“Mardjono Reksodiputro menjelaskan secara rinci terkait tujuan dari

Sistem Peradilan Pidana, yakni antara lain :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.”4

Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro,

Romli Atmasasmita memberi pendapatnya mengenai tujuan dari sistem

peradilan pidana, bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk

mencegah terjadinya kejahatan yang ada di masyarakat, menanggulangi

kejahatan yang terjadi dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa bahwa

keadilan itu ada, serta mengusahakan agar seseorang yang telah melakukan

kejahatan merasa jera sehingga tidak berniat mengulangi perbuatannya

kembali5. Sehingga Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan

bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem yang dibuat untuk

menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu

keamananan dan ketertiban masyarakat.

3 Mardjono Reksodiputro, 2009. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada

Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas –Batas Toleransi). Fakultas Hukum Unversitas

Indonesia. Hlm.1

4 Ibid., Hlm.3

5 Romli Atmasasmita, 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta. Kencana

Prenada Media Grup. Hlm. 3

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

3

3

Herbert Pecker yang merupakan seorang pakar dalam criminal justice

system membedakan pendekatan normatif dalam sistem peradilan pidana,

beliau membagi menjadi dua model yang berorientasi pada nilai-nilai praktis

dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana, dimana harapannya

agar kita dapat memahami suatu anatomi yang normatif dalam hukum pidana,

kedua model tersebut yaitu Crime Control Model (selanjutnya disebut CCM)

dan Due Process Model (selanjutnya disebut DPM). Kedua model tersebut

tidak menyebutkan mengenai apa kenyataannya dan apa yang seharusnya dan

bukanlah suatu polarisasi yang absolut, namun sebenarnya kedua model yang

diajukan oleh Packer itu sangat erat hubungannya satu sama lainnya karena

DPM itu sendiri pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap CCM dan

keduanya beroperasi dalam sistem peradilan pidana atau beroperasi didalam

adversary system (sistem perlawanan) yang berlaku di Amerika. Pada CCM

berlaku prinsip presumption of guilt (praduga bersalah) dan “sarana cepat”

dalam pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Sedangkan pada DPM berlaku

prinsip presumption of innocence (praduga tak bersalah).6

Sebagaimana penulis telah uraikan diatas bahwa Sistem Peradilan Pidana

merupakan satu kesatuan sistem yakni dari proses penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan hingga pelaksanaan putusan, maka

dalam pelaksanaannya mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait

hukum pidana itu sendiri, diantaranya adalah hukum pidana formil (acara

pidana) yang terkodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

6 Ibid., Romli Atmasasmita. Hlm.8

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

4

4

KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) dan peraturan perundang-

undangan terkait lainnya.

Salah satu prinsip dan asas yang dipakai dalam proses peradilan pidana

sebagaimana tersebut diatas adalah asas sederhana, cepat dan murah7.

Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara

dilakukan dengan cara efisien dan efektif, lebih lanjut dalam proses peradilan

yaitu konteks acara haruslah jelas dan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.

Asas cepat, yakni proses keseluruhan peradilan dari tahap awal sampai akhir

haruslah cepat dimana dapat dimaknai sebagai efisiensi8 dan efektivitas dalam

hal waktu dan tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Sedangkan

yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat

dijangkau oleh masyarakat9, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa

masyarakat yang dimaksud adalah seluruh masyarakat dari segala lapisan

sehingga hukum dan keadilan dapat dicapai oleh semua orang (equality before

the law). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 9 paragraf 3 UU No. 12

Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And

Political Rights10

yang menyatakan bahwa salah satu tujuan dari prinsip

peradilan yang cepat adalah untuk melindungi hak-hak terdakwa, yakni untuk

7 Lihat ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

8 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) efisiensi yaitu

ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga,

biaya); kedayagunaan; ketepatgunaan; kesangkilan; kemampuan menjalankan tugas dengan baik

dan tepat (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya)

9 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman

10 Lihat ketentuan Pasal 9 paragraf 3 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant On Civil And Political Rights

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

5

5

tidak ditahan terlalu lama serta memastikan adanya kepastian hukum bagi

terdakwa.

Namun, pada implementasinya terdapat banyak faktor yang

mempengaruhi pelaksanaan asas sederhana, cepat dan biaya ringan tersebut,

sehingga faktor-faktor tersebut secara tidak langsung berdampak pada

munculnya berbagai permasalahan dalam proses pelaksanaan peradilan pidana

di Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain lamanya proses

penyelesaian perkara pidana, tingginya biaya yang dikeluarkan dalam

penyelesaian perkara pidana, serta menumpuknya perkara pidana di pengadilan

yang tak kunjung usai. Permasalahan penumpukan perkara pada lingkup

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terlihat pada data yang penulis peroleh

dari Website atau laman resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia11

. Data

ini menunjukkan, bahwa di tahun 2013 sampai dengan 2014, terdapat perkara

yang harusnya diselesaikan pada tahun 2013, namun menjadi perkara yang

masih harus diselesaikan ditahun berikutnya yaitu tahun 2014. Adapun data

yang dipaparkan adalah sebagai berikut :

Tabel 1:

Presentase jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung (MA)

tahun 2013 sampai dengan tahun 2014

Jenis Perkara Sisa

2013

Masuk Jumlah

Beban

Putus Sisa %

Putus

Beban

% Sisa

Beban

Perdata 3.112 3.907 7.019 4.787 2.232 68,20% 31,80%

Perdata Khusus 234 904 1.138 864 274 75,92% 24,08%

Pidana 945 1.793 2.738 2.152 586 78,60% 21,40%

Pidana Khusus 1.265 2.763 4.028 3.184 844 79,05% 20,95%

Perdata Agama 195 820 1.015 997 18 98,23% 1,77%

Pidana Militer 48 370 418 380 38 90,91% 9,09%

11 Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2015. http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id.

Diakses pada tanggal 4 Maret 2017

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

6

6

Tata Usaha

Negara

616 1.954 2.570 2.137 433 83,15% 16,85%

Jumlah 2014 6.415 12.511 18.926 14.501 4.425 76,62% 23,38%

Jumlah 2013 10.112 12.337 22.449 16.034 6.415 71,42% 28,58%

Perbandingan 1,41 % -15,69 % -9,56 % -31,02 % 5,20 % -5,20%

Sumber : http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id

Berdasarkan tabel diatas, pada tahun 2013 menyisakan 945 perkara

pidana dan menyisahkan 1.265 perkara pidana khusus untuk dituntaskan

ditahun 2014, ditambah lagi perkara baru yang masuk pada tahun berjalan

tahun 2014 yaitu 1.793 perkara pidana dan 2.763 perkara pidana khusus.

Hingga akhir tahun 2014, masih terdapat perkara pidana dan pidana khusus

yang belum mampu tertuntaskan yaitu 586 perkara pidana dan 844 perkara

pidana khusus yang kembali harus dituntaskan ditahun selanjutnya yaitu tahun

2015. Sehingga dari data tersebut menandakan bahwa sistem peradilan di

Indonesia hingga hari ini belum efektif dan efisien12

, permasalahan tersebut

memang tidak serta merta disebabkan oleh rumitnya beracara di pengadilan

tetapi juga sumber daya manusia dalam penegakan hukum. Sehingga dianggap

perlu adanya sistem baru dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang

diyakini dapat membuat penanganan perkara lebih efisien, sekaligus sebagai

pemecah kebuntuan dan evaluasi terhadap sistem sebelumnya.

Sebagai suatu yang terus berkembang, hukum bukanlah skema final. Ia

adalah proyek raksasa yang harus terus diupayakan untuk menciptakan

keadilan.13

Sebagaimana penulis kemukakan sebelumnya, tulisan ini bermula

12 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) efisien yaitu tepat

atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga,

biaya); mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat; berdaya guna; bertepat guna;

13 Satjipto Rahardjo, 2008. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta.

Genta Publishing. Hlm.6

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

7

7

dari berbagai permasalahan yang diantaranya berada dalam wilayah

penuntutan, secara kelembagaan Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut

JPU) adalah pihak yang diberikan amanat oleh Undang-Undang untuk

melakukan tindakan penuntutan. Penerimaan berkas dari Penyidik,

pemeriksaan, penahanan, hingga pemeriksaan di Peradilan , merupakan tugas

yang diemban oleh Jaksa,14

sehingga tidak salah jika dalam menangani setiap

perkara, Jaksa selalu memakan waktu yang lama. Inilah yang kemudian

melatarbelakangi penulis untuk memfokuskan diri pada permasalahan di

lembaga JPU. Sehingga penulis berpandangan, bahwa pembaharuan dalam

sistem peradilan pidana, khususnya wilayah JPU tidak dapat dihindarkan.

Pembaharuan yang penulis maksud, diantaranya yakni dengan penerapan Plea

Bargaining System. Plea Bargaining System telah diterapkan di beberapa

negara Common Law salah satunya yaitu Amerika Serikat. Alschuler

mengemukakan, bahwa pada awalnya Plea Bargaining ini muncul pada

pertengahan abad ke-19, dan kemudian dikenal dalam bentuknya seperti

sekarang ini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sistem ini sangat

berperan dalam mengatasi kesulitan dalam menangani perkara pidana. Bahkan

pada sekitar tahun 1930, pengadilan di Amerika Serikat sangat bergantung

pada sistem ini.15

Amerika Serikat menerapkan Plea Bargaining System atas

dasar pemikiran untuk mengefektifkan kinerja hakim dan pengadilan dalam

menangani banyaknya perkara yang masuk, sehingga Sistem Peradilan Pidana

14 Lihat ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

8

8

di Amerika Serikat mampu mencegah keluarnya biaya yang tinggi dan waktu

yang panjang dalam proses peradilan pidananya.16

Black’s Law Dictionary menyatakan :

“Plea bargaining is the process whereby the accused and the prosecutor

in a criminal case work out a mutually satisfactory disposition of the

case subject to the court approach. It usually involves the defendant’s

pleading guilty to lesser offense or to only one or some of the counts of

multi counts indictment in return for a lighter sentence than that possible

for the graver charge”.17

(Terjemahan : Suatu kesepakatan perundingan antara penuntut umum dan

terdakwa dimana terdakwa mengaku bersalah atas tindak pidana tertentu

atau atas lebih dari satu tuntutan dengan imbalan dari penuntut umum,

untuk menuntut hukuman ringan atau membebaskan dari tuntutan atas

tindak pidana lainnya).

Sementara menurut John H. Langbein dalam Understanding The Short

History of Plea Bargaining yang penulis kutip dari M Lutfi Chakim

menyatakan, “Plea Bargaining mengandung perjanjian antara penuntut umum

dan terdakwa atau penasehat hukumnya yang berujung pada pengakuan

bersalah oleh terdakwa”. Jaksa penuntut umum setuju untuk memberikan

tuntutan yang lebih ringan dibanding dengan menempuh mekanisme

persidangan yang mungkin akan merugikan terdakwa karena kemungkinan

mendapatkan hukuman yang lebih berat.18

Dari beberapa definisi diatas dapat

disimpulkan bahwa Plea Bargaining Sytem merupakan suatu negosiasi antara

15 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm.119

16 Ibid.

17 Black’s Law Dictionary. 2010. 11 th Ed., West Publishing Company. page 1037.

18 M Lutfi Chakim, 2015. Plea Bargaining. http://www.lutfichakim.com. Diakses pada

tanggal 4 Maret 2017

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

9

9

penuntut umum dengan tertuduh19

atau pembelanya, dimana motivasi

utamanya adalah untuk mempercepat proses penyelesaian perkara pidana.

Terdapat hal menarik dalam pelaksanaan Plea Bargaining System, yakni jaksa

penuntut umum dan tertuduh akan melakukan negosiasi untuk mencari

kesepakatan yang paling menguntungkan baik bagi terdakwa ataupun

penasehat hukumnya. Namun mekanisme tersebut bukan dalam kerangka

tawar-menawar hukuman, akan tetapi lebih kepada tujuan untuk efesiensi dan

efektivitas dalam penegakan hukum sehingga proses penyelesaian perkara

pidana berjalan efektif dan efisien.

Pada praktik Plea Bargaining System di Amerika Serikat, jika melihat

statistik dari United States Departement of Justice pada tahun 2000, sebanyak

37,188 terdakwa melakukan mekanisme Plea Bargaining sebanyak 87,1%

sementara hanya 5,2% melanjutkan ke pengadilan.20

Supreme Court Amerika

Serikat telah menyatakan mekanisme Plea Bargaining adalah elemen esensial

dan diinginkan dalam Sistem Peradilan Pidananya.21

Sebanyak 95% dakwaan

di Amerika serikat diselesaikan dengan pengakuan bersalah dari terdakwa.22

Dari data tersebut dapat dilihat tingginya tingkat keberhasilan penerapan Plea

Bargaining System di Amerika Serikat dalam menangani perkara yang masuk

ke pengadilan, khususnya perkara pidana.

19 Dalam beberapa literatur yang ditemukan oleh penulis, penyebutan “terdakwa”

sebagaimana dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dalam pembahasan Sistem Peradilan

Pidana di common law disebut sebagai “tertuduh”.

20 Misha, 2005. Issues of Overcrowded Prisons and the Trade-Off “Plea Bargaining in the

Criminal Justice”. http://www .associatedcontent.com. Diakses pada tanggal 5 Maret 2017

21 Sidhartha Mohapatra & Hailshree Saksena, Santobello v New York, 404 US 257, 2009.

Plea Bargain: A Unique Remedy. http://indlaw.com. Diakses pada tanggal 5 Maret 2017.

22 Ibid.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

10

10

Plea Bargaining System yang berlaku di Amerika Serikat pada

hakekatnya merupakan suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan

tertuduh atau pembelanya. Di Amerika Serikat pengaturan mengenai Plea

Bargainning System diatur dalam Federal Rules of Criminal Procedure.

Selanjutnya tujuan utama dari negosiasi tersebut adalah untuk mempercepat

proses penanganan perkara pidana. Sifat negosiasi harus dilandaskan pada

kesukarelaan tertuduh untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan dari

penuntut umum untuk memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki oleh

tertuduh atau pembelanya. Sehingga hakim dalam sistem ini hanya

menjatuhkan pidana sebagaimana hasil perundingan yang telah disepakati oleh

penuntut umum dan terdakwa. Penuntut umum dalam proses Plea Bargaining

akan menawarkan terdakwa ancaman hukuman yang lebih ringan dibandingkan

dengan kemungkinan hukuman yang akan diterimanya apabila ia diadili di

muka persidangan. Apabila negosiasi berhasil, kesepakatan antara terdakwa

dan penuntut umum dituangkan dalam suatu perjanjian yang disebut Plea

Agreement untuk kemudian dibawa kemuka hakim. Selanjutnya hakim akan

mengajukan pertanyaan kepada terdakwa terkait perjanjian yang telah

dibuatnya, apakah terdakwa menyetujui hukuman yang terdapat dalam

perjanjian tersebut, dan apakah dalam pelaksanaan plea bargaining tersebut

dilakukan dengan paksaan atau benar-benar telah sesuai prosedur

pelaksanaannya.

Dalam proses penanganan perkara pidana di Amerika Serikat dengan

penerapan Plea Bargaining System terdapat beberapa tahapan yang dapat

dipilih oleh terdakwa, jadi dalam sistem ini akan menguntungkan baik bagi

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

11

11

terdakwa maupun penegak hukum yang menangani perkara apabila negosiasi

dapat tercapai. Sehingga pemberlakuan sistem tersebut dianggap cukup efektif

di Amerika Serikat hingga sekarang.

Berkaitan dengan fakta-fakta yang telah diuraikan diatas serta ke

efektifan penerapan Plea Bargaining System di Amerika Serikat, menurut

hemat penulis Plea Bergaining System sangat penting bagi pembaharuan

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, mengingat Sistem Peradilan Pidana di

Indonesia mengalami berbagai permasalahan. Sehingga penulis tertarik untuk

meneliti penerapan Plea Bargaining System dalam pembaharuan Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia dalam bentuk kajian ilmiah dengan judul

“URGENSI PLEA BARGAINING SYSTEM DALAM PEMBAHARUAN

SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA (Studi Perbandingan

Plea Bargaining System di Amerika Serikat).

B. Rumusan Permasalahan

Dalam suatu penelitian, perumusan masalah merupakan hal yang penting

agar dalam penelitian dapat lebih terarah dan terperinci sesuai dengan tujuan

yang dikehendaki. Berdasarkan pada uraian dari latar belakang di atas, adapun

perumusan permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep Plea Bargaining System dalam Sistem Peradilan

Pidana di Amerika Serikat?

2. Bagaimana urgensi Plea Bargaining System dalam pembaharuan Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia?

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

12

12

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan diatas, maka

tujuan dari penelitian hukum ini ialah:

1. Untuk memahami dan mengkaji konsep Plea Bargaining System dalam

Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat;

2. Untuk menganalisis urgensi Plea Bargaining System dalam pembaharuan

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia;

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian hukum ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Bagi Penulis

Penelitian ini selain dapat memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan

baru untuk penulis terkait Plea Bargaining System serta urgensi

penerapan Plea Bargaining System dalam pembaharuan Sistem Peradilan

Pidana di Indonesia. Di samping itu, manfaat penelitian secara subyektif

yaitu sebagai syarat untuk Penulisan Tugas Akhir dan menyelesaikan

studi Srata-1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

dengan gelar Sarjana Hukum.

b. Bagi Mahasiswa

Memberikan tambahan pengetahuan mengenai Plea Bargaining System

serta urgensi penerapan Plea Bargaining System dalam pembaharuan

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

c. Bagi Penegak Hukum

Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan

memberikan wacana baru terkait konsep Plea Bargaining System dalam

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

13

13

pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, sehingga nantinya

penanganan perkara akan menjadi lebih efisien.

d. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh

informasi yang utuh terkait dengan konsep Plea Bargaining System

dalam pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan

mengenai Plea Bargaining System serta urgensi penerapan Plea Bargaining

System dalam pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Disamping

itu untuk memahami kesesuaian sistem yang digunakan oleh Amerika Serikat

tersebut untuk pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, sehingga

penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan peradilan

di Indonesia. Serta menjadi sumbangsih pemikiran bagi kalangan praktisi

hukum maupun pelaku kekuasaan dalam menjalankan peradilan di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Penulisan karya ilmiah ini akan dibuat dalam bentuk penelitian yang juga

membutuhkan beberapa terapan ilmu demi memudahkan tercapainya penelitian

yang ilmiah dan dapat menjadi sumber data dan sumber ilmu yang akurat.

Penelitian dalam ilmu hukum adalah keseluruhan aktivitas berdasarkan disiplin

ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis dan

menginterpretasi fakta serta hubungan di lapangan hukum yang relevan bagi

kehidupan hukum, dan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dapat

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

14

14

dikebangkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan cara-cara ilmiah untuk

menanggapi berbagai fakta dan hubungan tesebut.23

1. Metode Pendekatan

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau

penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan

sehingga mencapai tujuan penelitian atau penulisan.24

Berdasarkan

ruang lingkup serta identifikasi masalah sebagaimana telah diuraikan,

untuk mengkaji secara komprehensif dan holistik pokok

permasalahan, akan ditelusuri dengan menggunakan tipe penelitian

yuridis normatif (normatif legal research) yaitu penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan perundang-undangan, dan

didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok permasalahan

yang dibahas.

Adapun metode pendekatan yang digunakan yakni pendekatan

konseptual (Conceptual Approach) dan pendekatan perbandingan

(Comparative Approach).

a. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan ini beranjak dari pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari hal-hal

tersebut peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum

23 Zainudin Ali, 2013. Metode Penelitian Hukum (cetakan keempat). Jakarta. Sinar Grafika.

Hlm.18

24 Abdulkadir Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung. Citra Aditya

Bakti. Hlm.112

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

15

15

relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan dasar bagi

peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam

memecahkan isu yang dihadapi.25

b. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

Alasan dipergunakannya pendekatan perbandingan dalam

penulisan hukum ini ialah untuk memahami penerapan Plea

Bargaining System dalam Sistem Peradilan Pidana di Amerika

Serikat. Demikian pula terkait dengan kemungkinan penerapan

Plea Bargaining System dalam pembaharuan Sistem Peradilan

Pidana di Indonesia. Pada intinya penggunaan pendekatan

perbandingan dalam penelitian ini untuk membandingkan tradisi

Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat yang menggunakan

konsep Plea Bargaining System yang nantinya dapat digunakan

sebagai sumber dalam penelitian konsep Plea Bargaining System

dalam rangka pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan

studi perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum merupakan

kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan

hukum negara lain. Perbandingan hukum dapat dilakukan tanpa

melihat sistem hukum maupun tingkat ekonomi, melainkan hanya

melihat substansinya yang merupakan kebutuhan secara

25 Peter Mahmud Marzuki, 2015. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta. Penerbit

Kencana, Hlm.177

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

16

16

universal.26

Dengan demikian, penelitian ini akan melakukan

perbandingan hukum dengan melakukan perbandingan The Federal

of Criminal Procedure mengenai Plea Bargaining System di

Amerika Serikat dengan KUHAP dalam rangka pembaharuan

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

2. Bahan Hukum

Dalam proses penyunan penelitian ini penulis menggunakan 3

(tiga) jenis bahan hukum27

yaitu :

a. Bahan Hukum Primer, menurut Mukti Fajar dan Yulianto

Achmad adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil dari tindakan atau

kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwewenang

untuk itu.28

Bahan-bahan hukum primer ini terdiri dari

perundang-undangan. Bahan hukum primer meliputi Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, The

Ferderal Of Criminal Procedure Amerika Serikat, Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan

peraturan perundang-undangan terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang

diperoleh dari buku/tekstual, artikel ilmiah internet, jurnal-

26 Ibid., Hlm 172

27 Dalam penelitian ini tidak digunakan istilah “data”, tapi istilah “bahan hukum”, karena

dalam penelitian normatif tidak memerlukan data, yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap

bahan hukum. Dalam Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, halaman 268-269.

28 Mukti Fajar dan Yulianto Achnmad, 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar. Hlm.157

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

17

17

jurnal, doktrin, atau sumber-sumber lain baik cetak maupun

online yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini seperti.

c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang dapat

memberikan penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum

primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier

berupa kamus dan ensiklopedia hukum dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah

model studi kepustakaan (library research). Yaitu pengkajian

informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber

dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian

hukum normatif,29

yakni penulisan yang didasari pada data-data yang

dijadi kan obyek penulisan kemudian dikaji dan disusun secara

komprehensif.

4. Teknik Analisa Bahan Hukum

Analisis bahan hukum di dalam penelitian ini dengan

menggunakan teknik analisis kualitatif isi (content analysis) yakni

dengan menelaah konsep dari Sistem Peradilan Pidana di Amerika

Serikat dengan membandingkan kelebihan dan kekurangannya yang

selanjutnya dianalisa untuk menemukan urgensi dari suatu konsep

tersebut, setelah urgensi dari konsep tersebut ditemukan, kemudian

disesuaikan dan dirumuskan dalam pembaharuan Sistem Peradilan

Pidana di Indonesia. Sehingga nantinya penulis akan menemukan

29 Jhony Ibrahim, 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang.

Bayumedia. Hlm.392

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

18

18

urgensi Plea Bargaining System dalam Pembaharuan Sistem Peradilan

Pidana di Indonesia. Bahan-bahan hukum yang dianalisis secara

kualitatif isi (content analysis) akan dikemukan dalam bentuk uraian

secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar bahan hukum

yang digunakan. Selanjutnya semua bahan hukum tersebut diseleksi

dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif untuk mencari

kesimpulan dengan mengidentifikasi karakteristik-karakteristik khusus

dari suatu konsep tersebut, sehingga nantinya dapat mencapai tujuan

dari pemecahan terhadap permasalahan yang dimaksud.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam 4 bab

dan masing-masing bab terdiri atas sub yang bertujuan agar mempermudah

pemahamannya. Adapaun sistematika penulisannya sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam penelitian ini Penulis membagi pendahuluan dalam beberapa sub

bab diantaranya terdiri dari latar belakang sebagai penjelasan dan pengantar

dalam permasalahan yang diangkat oleh Penulis. Rumusan masalah dibagi

menjadi dua permasalahan yang akan menjadi fokus permasalahan dalam

penulisan ini. Tujuan penulisan, merupakan penyampaian yang akan dilakukan

oleh Penulis dalam membuat penulisan hukum ini. Manfaat penulisan terdiri

dari aspek teoritis dan aspek praktis yang menjadi suatu penjelasan mengenai

siapa saja dan apa saja yang akan mendapatkan manfaat dari penulisan ini,

serta kegunaan penulisan bagi Penulis, masyarakat, kalangan praktisi hukum

dan akademisi. Metode Penulisan yang digunakan oleh Penulis ialah penelitian

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/BAB I.pdf · Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien

19

19

hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif. Rencana jadwal

penelitian dimaksudkan untuk merencanakan penelitian hukum yang akan

dilakukan Penulis. Sistematika penulisan dalam penelitian hukum ini terdiri

dari BAB I, BAB II, BAB III, dan BAB IV.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka merupakan penggunaan beberapa terminologi yang

akan digunakan Penulis guna memfokuskan permasalahan yang akan dibahas.

Dalam tinjauan pustaka, maka batasan yang dibuat oleh Penulis dengan

menggunakan beberapa terminologi, akan dijabarkan sesuai dengan kajian

pustaka yang ada berserta pendapat ahli yang akan didapatkan oleh Penulis

dalam penelitian kepustakaan.

BAB III : PEMBAHASAN

Bab ini adalah inti dari penulisan hukum yang dibuat oleh Penulis.

Dalam bab ini akan diuraikan tengtang gambaran mengenai pembahasan dari

rumusan masalah yang diangkat oleh Penulis sesuai dengan sumber yang

didapatkan oleh Penulis.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini dimana berisi

kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisikan saran penulis

dalam menanggapi permasalahan yang menjadi fokus kajian serta berisikan

saran dan rekomendasi penulis sehingga diharapkan menjadi masukan yang

bermanfaat bagi semua pihak.