BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.unisnu.ac.id/438/2/BAB I.pdf · hukum Islam yang...

13
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam secara umum dibedakan menjadi dua lapangan pokok, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara makhluk dengan khalik dan hukum yang mengatur hubungan antara sesama makhluk (muamalah). 1 Dan dalam lapangan hukum muamalah sendiri terdiri dari beberapa bidang kajian hukum yang salah satunya adalah hukum keluarga atau (al Akhwal as Syashsiyah). 2 Statemen ini dipertegas lagi oleh Mustthafa Ahmad Az-Zarqa sebagaimana dikutip oleh Ahmad Azhar Basyir 3 dalam bukunya asas-asas hukum muamalat bahwa al-Akhwal as-Asyahsiyah merupakan kajian dari hukum Islam yang secara spesifik membahas tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan ikatan kekeluargaan. Perkawinan merupakan bagian yang dikaji dalam proses kelangsungan ikatan kekeluargaan. Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah trangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.. 4 Dari penegasan Undang-undang tersebut diharapkan setiap pasangan suami isteri dapat 1 Ahmad Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1995, hal. 37. 2 Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: Al ma’arif, cet. Ke III, hal. 36. 3 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam, cet. Pertama, Yogyakarta: UII Press, 2000, hal. 7. 4 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-undang Perkawinan, Bandung: Nuansa Aulia, cet. Ke II. Hal. 2

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.unisnu.ac.id/438/2/BAB I.pdf · hukum Islam yang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam secara umum dibedakan menjadi dua lapangan pokok,

yaitu hukum yang mengatur hubungan antara makhluk dengan khalik dan

hukum yang mengatur hubungan antara sesama makhluk (muamalah).1 Dan

dalam lapangan hukum muamalah sendiri terdiri dari beberapa bidang kajian

hukum yang salah satunya adalah hukum keluarga atau (al Akhwal as

Syashsiyah).2 Statemen ini dipertegas lagi oleh Mustthafa Ahmad Az-Zarqa

sebagaimana dikutip oleh Ahmad Azhar Basyir3 dalam bukunya asas-asas

hukum muamalat bahwa al-Akhwal as-Asyahsiyah merupakan kajian dari

hukum Islam yang secara spesifik membahas tentang ketentuan-ketentuan yang

berkaitan dengan ikatan kekeluargaan. Perkawinan merupakan bagian yang

dikaji dalam proses kelangsungan ikatan kekeluargaan.

Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 disebutkan

bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah trangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa..4 Dari penegasan

Undang-undang tersebut diharapkan setiap pasangan suami isteri dapat

1 Ahmad Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1995,

hal. 37. 2 Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: Al ma’arif, cet. Ke III,

hal. 36. 3 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam, cet.

Pertama, Yogyakarta: UII Press, 2000, hal. 7. 4 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-undang

Perkawinan, Bandung: Nuansa Aulia, cet. Ke II. Hal. 2

2

mewujudkan rumah tangga yang dibinanya bisa langgeng dan harmonis selama

masa hidupnya. Sedangkan menurut Masdar Hilmi tujuan perkawinan menurut

hukum Islam selain untuk memenuhu kebutuhan jasmani dan rohani, juga

sekaligus untuk membentuk keluarga serta meneruskan dan memelihara

keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia, juga untuk mencegah

perzinahan, dan juga agar terciptanya ketenangan dan ketentraman jiwa bagi

yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat.5 Namun pada kenyataanya

mengarungi rumah tangga bukanlah hal yang mudah, banyak cobaan dan hal

tak didalamnya. Adanya perbedaan pendapat, faktor ekonomi, kejenuhan dan

kekurangan materi kadang menjadi duri-duri kecil yang memicu retaknya

hubungan rumah tangga, keluarga yang dulunya harmonis berubah menjdi

percekcokan dan perselisihan yang memaksa semua harus cepat diselesaikan.

bila kisruh rumah tangga yang dijalani sudah tak dapat lagi diatasi dan

didamaikan maka berpisah atau bercerai bisa dijadikan alternative terakhir.

Adapu dasar dari hukum dari perceraian adalah sebagaimana

disebutkan dalam firman Allah surat at-Thalaq ayat 1, surat Al-Baqarah, ayat

227 serta hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud

م كرب وٱتقواٱلل وأحصواٱلعدة لعد تهن ٱلن ساءفطل قوهن إذاطلقتم لنبي ا يأيها

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka

hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu dapat menghadapi

5 K.N. Sofyan Hasan Dan Warkom Somitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam Di

Indonesia, Bandung: Usaha Nasional, hal. 113.

3

iddahnya (yang wajar) dan hitungan waktu iddah itu serta bertawakalah

kepada Allah tuhanmu.6

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi

perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka”.7

الطالق هللاا من الحالل ابغض م ص هللاا رسول قال

Artinya: Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah

adalah talak (perceraian). (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-Hakim

dari Ibnu Umar).8

Dari beberapa ayat dan hadits di atas menunjukan bahwa talak atau

perceraian adalah pilihan terakhir apabila kehidupan rumah tangga sudah sulit

dipertahankan dan dikhawatirkan akan menimbulkan banyak kemadharatan

bila rumah tangga tersebut dilanjutkan.

Perceraian atau putusnya hubungan perkawinan dalam istilah ahli

fiqh (hukum Islam) adalah “talak” atau “furqah” lawan dari berkumpul.

Adapun definisi percaeraian menurut bahasa berarti “perpisahan” dan

“melepaskan”. Sedangkan menurut syara’ perceraian atau talak adalah

melepaskan ikatan ikatan suami isteri yang syah oleh pihak suami dengan lafal

tertentu atau kata-kata yang kedudukanya seketika itu atau masa mendatang.9

Sedangkan pengertian talak menurut Soemiati dalam bukunya Hukum

Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan ialah segala macam

6 Yayasan Penterjemah DEPAG R.I, Al-Qur’an dan terjemahnya, tt, hal. 945. 7 Ibid, hal, 675 8 Ahmad Rofik, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2000, hal. 268. 9 Ibrahim Muhammad, Fikih Muslimah, Alih bahasa Zaid Husain Alhamid, cet. Ke III.

Jakarta: Pustaka Amani, 1999, hal. 279

4

bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami atau dengan adanya

penetapan dari Pengadilan Agama maupun perceraian yang jatuh dengn

sendirinya karena meninggalnya salah satu dari suami atau isteri.10

Dalam hukum Islam, talak merupakan hak seorang suami yan telah

menikahi isterinya dan Allah menjadikan hak talak berada ditangan suami

dengan tidak menjatuhkan talak ditangan orang lain, baik orang lain itu isteri,

saksi atau pengadilan.11 Bahkan Azhar Basyir mengatakan apabila kata sharih

yang dipergunakan oleh suami untuk menjatuhkan talak terhadap isterinya

tanpa memperhatikan apakah waktu mengucapkan ikrar talak isterinya benar-

benar berniat mentalak isterinya atau tidak, talak tetap dipandang jatuh.12 Dan

salah satu persoalan yang timbul dari proses perceraian adalah adanya

ketentuan keharusan ikrar talak yang dilakukan di muka sidang pengadian,

sebagaimana ketentuan yang ditegaskan dalam Pasal 39 Ayat (1) Undang-

undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Bahwa “Perceraian hanya dapat

dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”13

Dari ketentuan pasal diatas menunjukan adanya keharusan Ikrar talak

dilakukan dimuka sidang pengadilan kecuali adanya dalil atau petunjuk lain.

Ketentuan tersebut dalam pelaksanaanya dijelaskan dalam Peratuaran

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 18 menyebutkan bahwa ” Perceraian ini

10 Soemiati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan,Yogyakarta:

Liberty, 1999, hal. 103. 11 Zakiyah Drajat, Ilmu Fikih, Jilid II, Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf, 1996, hal. 184. 12 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Pres, 2000, hal. 76 13 Muchsin

5

terhitung mulai pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang

pengadilan”.14

Dengan adaya ketentuan Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun

1974 Pasal 39 ayat (1) serta Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang

mengharuskan Ikrar talak dilakukan dimuka sidang pengadilan nampak jelas

ada perbedaan yang sangat mendasar dengan ketentuan hukum Islam tentang

perceraian (Ikrar talak) yang merupakan hak mutlak seorang suami yang bisa

dilakukan kapan saja dan dimana saja sesuai dengan kehendaknya.

Berangkat dari perbedaan itulah penulis bermaksud mengadakan

penelitian lebih lanjut guna melihat lebih jauh bagaimana pandangan hukum

Islam tentang keharusan ikrar talak yang harus dilakukan dimuka sidang

pengadilan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974 yang menganggap tidak syah atau belum terjadi adanya perceraian pada

perceraian yang dilakukan diluar pengadilan kedalam bentuk skripsi dengan

judul “Keharusan Ikrar talak dimuka sidang Pengadilan menurut Undang-

Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Perspektif Hukum Islam”.

B. Penegasan Istilah

Untuk lebih memperjelas permasalahan dan untuk menghindari agar

tidak terjadi kesalah pahaman mengenai judul yang penyusun tulis maka perlu

dijelaskan secara singkat istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan

judul skripsi ini.

14 Arso Sastroatmojo dan Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia cetakan kedua,

Jakarta: Bulan Bintang, 1978,hal. 122

6

Adapun istila-istilah tersebut adalah:

1. Ikrar talak

Ikrar adalah memberikan pengakuan atau memberikan suat

keterangan yang membenarkan suatu kenyataan baik untuk dirinya

sendiri atau untuk orang lain.15 Talak adalah perceraian yaitu lepasnya

ikatan perkawinan (nikah) atau bubarnya hubungan perkawinan.16

2. Di Muka Sidang Pengadilan

Di muka sidang adalah dihadapan sesuatu yang menjadi acuan

sebuah pokok permsalahan-permasalahan.17 Sidang pengadilan adalah

suatu pertemuan untuk membahas atau membicarakan suatu persoalan.18

Dengan demikian yang dimaksud disini adalah Ikrar talak yang dilakukan

dihadapan sidang pengadilan yang membahas tentang persoalan

perceraian. Adapun Pengadilan yang dimaksud disini adalah Pengadilan

Agama.

3. Hukum Islam

Kebanyakan di kalangan umat Islam memberikan arti syari’ah dan

fiqh dalam pengertian yang sama, padahal syari’ah adalah segala

ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan semua aspek kehidupan

15 Abdul mujib, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Rieneka Cipta, 1994, hal. 306. 16 Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, Jil. VIII, Cet. I, Bandung: Al Ma’arif, 1987, hal. 9. 17 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta:

Modern English pers, 1991, hal. 1420. 18 Ibid, hal. 1420.

7

manusia yang merupakan implementasi dari apa yang tercakup dalam ad-

Din (petunjuk Allah).19

Sedangkan fiqh adalah hukum tentang amal perbuatan manusia yang

diambil dari dalil-dalil yang terperinci.20 Sedangkan Hasbi Ash Shiddiqy

sebagaimana dikutip Abdul Halim Barkatullah Dalam bukunya Hukum Islam

Menjawab Tantangan Zaman, mendefinisikan sebagai suatu koleksi daya

upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at islam dengan kebutuhan

masyarakat.21

Kemudian yang dimaksud hukum Islam disini adalah suatu koleksi

dari hukum syari’at yang digali dari dalil-dalil yang terperinci didalam

ketentuan fiqh. Dan yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini adalah suatu

pembahasan teori atau studi kepustakaan yang berusaha melakukan penelitian

untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai ketentuan pasal 39

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang mengharuskan Ikrar talak

dimuka sidang pengadilan.

C. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah dan penegasan istilah tersebut,

agar pembahasan tidak terlalu melebar, penulis merumuskan permasalahan

sebagai batasan dalam pembahasan skripsi ini sebagai berikut:

19 Suparman Usman, Hukum Islam Asa-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam

Tatanan Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hal. 19. 20 Mukhtar Yahya, Fatchurahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islami,

Bandung: Al ma’arif, 1993, hal. 15. 21 Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan

Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 3.

8

1. Bagaimana konsep perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974 serta alasan-alasan yang menjadikan Ikrar talak harus dilakukan

di muka sidang pengadilan.

2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap adanya kemungkinan Ikrar

talak yang dilakukan tidak dimuka sidang pengadilan.

3. Bagaimana akibat hukum dari Ikrar talak yang dilakukan tidak dimuka

sidang pengadilan.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian:

1. Mengetahui alasan-alasan yang menjadikan pokok dasar ketentuan Ikrar

talak harus dilakukan dimuka sidang pengadilan ditinjau dari hukum Islam.

2. Mengetahui Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Ikrar talak yang

dilakukan tidak dimuka sidang pengadilan.

3. Mengetahui akibat hukum dari Ikrar talak yang dilakukan tidak dimuka

sidang pengadilan.

Manfaat penelitian:

1. Diharapkan dari penelitian ini dapat diketahui secara jelas tinjauan hukum

Islam mengenai alasan yang mengharuska Ikrar talak hanya dapat

dilakukan dimuka sidang pengadilan.

2. Dapat diketahui secara jelas pandangan hukum Islam mengenai Ikrar talak

yang dilakukan tidak dimuka sidang pengadilan.

9

3. Diharapkan dapat memperkaya pengetahuan penulis dan memberikan

kontribusi pemikiran dalam bidang hukum Islam khususnya mengenai Ikrar

talak.

E. Telaah Pustaka

Pembahasan maupun kajian terhadap masalah perkawinan dan

perceraian memang sudah banyak dilakukan baik oleh para ulama klasik

maupun dimasa sekarang. Qomarudin Hidayat dalam bukunya Pranata Sosial

di Indonesia Pergaulan social Politik Hukum mengatakan, bahwa perceraian

yang umum berlaku dalam sebuah ikatan perkawinan orang-orang islam di

Indonesia adalah melalui institusi talak yang dalam hal ini suami dapat

menceraikan isterinya sesudah usaha-usaha yang dilakukan Pengadilan Agama

tidak memenuhi hasil yang memuaskan.22

Pernyataan yang sama juga diatur dalam Pasal 39 Ayat (1) Undang-

Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bahwa. “Perceraian hanya dapat

dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.23

Adapun ketentuan tatacara perceraian menurut Undang-undang

Perkawinan N0. 1 Tahun 1974 menyatakan: Seoarang suami yang beragama

Islam yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam dan akan

menceraikan isterinya mengajukan surat ke pengadilan ditempat tinggalnya

22 Qomarudin Hidayat, Pranata social di Indonesia Pergaulan Sosial Politik Hukum,

Logos, Wacana Ilmu, hal.74 23 Undang-undang Perkawinan Di Indonesia, Surabaya: Arloka, 2002, hal.47

10

yang berisi pemberitahuan.24 Sedangakn Ahmad Rofik dalam bukunya

menjelaskan pada dasarnya tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban

dan tanggung jawab orang tuanya, baik orang tuanya masih hidup rukun

maupun sudah bercerai.25

Idris Ramulyo dalam bukunya juga menyatakan hal yang sama bahwa

suami yang menjatuhkan talak pada isterinya wajib membayar nafkah pada

anak-anaknya.26

Adapun mengenai akibat-akibat perceraian yang terjadi karena ikrar

talak tidak dilakukan di muka sidang pengadilan diantarany ditulis oleh Haifa

A. Jawad yang mana membahas tentang kasus perceraian yang diputuskan

menurut prosedur pengadilan, serta tanggung jawab terhadap mantan pasangan

baik yang berkaitan dengan pemeliharaan anak maupun upah yang harus

diberikan seorang ayah kepada sesorang yang memeliharanya.

Meskipun sudah banyak buku-buku yang membahas tentang

perceraian tetapi penulis bermaksud menambah wahana belajar dengan

mengkaji tentang perceraian yang mengharuskan dilakukannya Ikrar talak di

muka sidang pengadilan dan akibat hukum yang mungkin terjadi karena

terjadinya perceraian serta banyaknya penafsiran yang berbeda terhadap Pasal

39 undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

24 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

Adat Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal.170. 25 Ahmad Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 hal. 247. 26 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hal. 115.

11

Untuk itu, melalui skripsi ini penulis tertarik untuk ikut mengkaji

masalah perceraian yang pembahasanya terfokus pada keharusan Ikrar talak

dimuka sidang pengadilan ditinjau dari aspek hukum islam.

Dengan skripsi penulis berharap agar setiap perceraian yang dilakukan

, disamping mentaati ketentuan dari hukum Islam juga harus mengikuti

ketentuan dari perundang-undangan yang berlaku agar kepastian hukum dan

hak-hak keperdataan yang timbul akibat perkawinan tidak terabaikan.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini dalam kategori penelitian kepustakaan atau library

research bukan studi lapangan, yaitu menganalisis buku-buku dan

menghasilkan suatu kesimpulan. Maksudnya adalah menjadikan bahan

pustaka sebagai bahan kajian primer.

2. Metode Pengumpula Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunkan metode

dokumentasi yaitu: mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang

berupa catatan, transkip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,

agenda dan sebagainya.27 Metode ini digunakan dalam rangka untuk

melakukan pencatatan dokumen maupun data yang mempunyai nilai historis

yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan.

27 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet ke 11,

Jakarta: Rieneka Cipta, 1998, hal. 236.

12

3. Jenis-Jenis Data

a. Data Primer

Data primer dimaksud adalah sumber-sumber data yang dapat

memberikan data langsung dari sumber pertama. Hal ini bisa berupa

sumber asli baik berupa dokumen maupun peninggalan lainya.28

Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau

library research, maka yang menjadi yang termasuk sumber primer

adalah Al-Qur’an, Al-Hadits dan terjemahnya. Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Peratura Pemerintah No. 9 Tahun

1975.

b. Data Sekunder

Yang dimaksud dengan data sekunder yaitu sumber data yang

mengutip dari sumber lain.29 Dan yang termasuk data sekunder dalam

penulisan ini adalah buku-buku atau catatan-catatan yang dapat

mendukung terselesaikanya penulisan tersebut seperti makalah, diktat

dan sebagainya yang dapat dikategorikan se3bagai sumber referensi.

5. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif

yaitu satu sumber idea untuk diteliti yang merupakan bahan bacaan

28 Wisnu Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1994, hal. 134. 29 Ibid, hal. 135.

13

mengenai hasil penelitian-penelitian yang permah dilakukan dengan kajian

yang sama.30

6. Metode Analisa Data

Dalam menganalisa data-data yang telah terkumpul, penulis

menggunakan metode Analisis deskriptif yaitu usaha untuk menyusun data

yang diusahakan dengan adanya analisis dan interpretasi atau penafsiran

terhadap data-data tersebut.31 Jadi, secara garis besarnya kajian ini dimulai

dari telaah suatu ide atau gagasa para ahli hukum Islam tentang ikrar talak.

Selanjutnya konsep-konsep tersebut dideskripsikan dengan metode Conten

analisis yang selanjutnya diterjemahkan sebagai analisis atau kajian tentang

isi, sementara analisis atau kajian itu sendiri diartikan sebagai tekhnik. 32

Metode analisis isi untuk menganalisa data-data yang ada guna memperkuat

dan memberi pemahaman tentang pokok-pokok kajian serta pandangan

hukum Islam terhadap keharusan ikrar talak di muka sidang pengadilan

sebagai obyek hukumnya.

30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: U.I, Press, 1984, hal. 201. 31 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1994, hal. 139. 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hal. 22.