BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan permasalahan klasik yang dihadapi oleh semua
negara di seluruh belahan dunia, baik negara kaya maupun negara miskin, baik
negara maju atau sedang berkembang; baik dalam kehidupan masyarakat di
pedesaan, maupun masyarakat di perkotaan. Kemiskinan merupakan
permasalahan yang kompleks dan melibatkan banyak dimensi, baik penyebab
maupun dampaknya. Dengan demikian kemiskinan merupakan persoalan yang
sangat kompleks1 dan bersifat multidemisional
2, sehingga membutuhkan
penanganan serius dan sungguh-sungguh oleh semua pihak.3 Jika tidak, maka
kemiskinan dapat menjadi pemicu timbulnya berbagai persoalan yang tidak
sederhana, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya “bencana sosial”,
seperti kelaparan dan gizi buruk. Menurut laporan bahwa kemiskinan dan gizi
buruk menjadi momok bagi penduduk dunia, karena setiap hari ada 24.000 orang
meninggal karena kemiskinan dan gizi buruk.4
Dari kondisi yang ada, kemiskinan dapat dibagi menjadi tiga kelompok
kemiskinan, yaitu:5 a). Kelompok Fakir Miskin (destitute). Mereka yang masuk
1 J.B Banawiratma, SJ & J. Muller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakarta, Kanisius, 1993, pp
124, 125; 2 Agus Pakpahan, Penanggulangan Kemiskinan, dalam buku Memahami dan Menanggulangi
Kemiskinan di Indonesia, M.T. Felix Sitorus (eds), Jakarta, Grasindo, 1996, pp 101, 102 3 Prof. DR. Hj Sutyastie Soemitro Remi & Prof. DR. Prijono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan
Ketidakmerataan di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, p 43 4 Rogate R. Mshana, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), Geneva,
WCC, 2005, pp 6, 12 5 Edi Suharto PhD, Membangun Masyarakat,....... pp 148, 149
©UKDW
2
dalam kategori kelompok ini adalah mereka yang secara absolut memiliki
pendapatan di bawah garis kemiskinan, bahkan sampai pada tidak memiliki
pendapatan sama sekali, serta mereka yang tidak memiliki akses terhadap
pelayanan sosial yang ada; b). Kelompok Miskin (poor). Pada umumnya mereka
yang masuk kelompok ini tidak buta huruf, memiliki pendidikan dasar dan sumber
finansial. Mereka memiliki pendapatan yang relatif di bawah garis kemiskinan,
namun masih memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar; c). Kelompok
Rentan (Vulnerable). Kelompok ini sering juga disebut dengan kelompok near
poor. Walaupun pendapatan mereka relatif berada sama atau lebih sedikit di atas
garis kemiskinan, namun mereka sangat rentan terhadap perubahan sosial yang
ada, sehingga dapat berpindah pada kelompok miskin maupun fakir miskin, bila
terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapatkan bantuan sosial.
Menurut E.G. Singgih, pada umumnya masalah kemiskinan juga menjadi
persoalan dan pergumulan gereja-gereja yang ada di Asia, termasuk Indonesia.
Bahkan, kemiskinan yang terjadi di Indonesia dapat dikategorikan sangat parah.
Selain kemiskinan yang sangat parah, gereja-gereja juga diperhadapkan dengan
kepelbagaian agama, penderitaan, dan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan
gender dan kerusakan ekologi.6 Bagi J.B. Banawiratma gereja harus mengambil
sikap dalam menghadapi kemiskinan yang terjadi. Sikap yang harus diambil
gereja adalah solidaritas terhadap kaum miskin dan tak berdaya. Bahkan ia juga
6 Pdt. E.G. Singgih, PhD, Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004, p 58
©UKDW
3
menandaskan, bahwa sikap tersebut merupakan wujud keikutsertaan gereja dalam
hidup dan tugas perutusan Yesus Kristus.7
Hal itu sejalan dengan keberadaan gereja, yaitu gereja sebagai persekutuan
teologis, sekaligus sosiologis. Secara teologis, gereja berhubungan dengan misteri
Kristus, sebagaimana diwujudkan dalam persekutuan orang percaya kepadaNya.
Sementara secara sosiologis, gereja sebagai sebuah kenyataan, di mana
sekelompok orang yang mengaku dirinya sebagai pengikut Kristus, yang berupaya
untuk respon dari panggilan tersebut.8 Pengakuan tersebut, ditengarai sebagai
upaya untuk menunjukkan identitas mereka di tengah lingkungan sosio-
religiusnya, dan sekaligus sebagai pembeda dengan kelompok-kelompok yang
lain pada zaman itu, seperti kelompok Yahudi dan Yunani-Romawi, dlsb.9
Perbedaan tersebut terletak pada keyakinan dan kepercayaan mereka, maupun
gaya hidup yang mencerminkan keteladan Kristus.10
Dalam hal ini, persekutuan
dan perutusan untuk menjadi saksi berlangsung secara bersamaan.11
Dengan
demikian, hal ini hendak menunjukkan bahwa keterlibatan sosial gereja, tidak
dapat dilepaskan dari pemahaman akan hakikat gereja. Hal ini berkaitan dengan
pengenalan dan pemahaman tentang konsep gereja dan makna kehadirannya
ditengah dunia, pada satu sisi. Bagaimana pengembangan gereja dilakukan dalam
menjawab berbagai pergumulan dan tantangan yang dihadapi, di sisi lain. Peran
utama gereja yang bersumber pada tugas rohani dapat menjadi kekuatan, energi
7 J.B. Banawiratma, Hidup Menggereja yang Terbuka, dalam Hidup Menggereja Kontekstual, J.B.
Banawiratma (ed), Yogyakarta, Kanisius, 2000, pp 181-186 8 Avery Dulles, SJ, Model-Model Gereja, Nusa Indah, Ende, 1990, p 114
9 C. Groenen, OFM, Perjanjian Baru dan Eklesiologi, dalam Orientasi Baru: Journal Filsafat dan
Teologi, No. 2, tahun 1988, p 18 10
John Ruck, Gereja Misioner, Jakarta, Bina Kasih, 2011, p 190 11
R. Hardawiryana, SJ, Gereja di Asia, Jakarta, KWI, 2000, pp 65 – 68
©UKDW
4
dan semangat bagi dunia dan mengarahkan manusia bagi tugas panggilannya, di
tengah kehidupan.12
Dengan kata lain, jika gereja tidak memiliki keterlibatan
sosial, maka dapat dikatakan bahwa gereja tidak menunaikan tugas perutusan
Yesus Kristus.13
Kehadiran gereja di tengah dunia, tidak boleh dilepas dari kehendak Allah.
Dan pengakuan ini banyak dipahami oleh gereja-gereja yang ada, tidak terkecuali
GKP.14
Untuk itu, gereja harus menyadari kehadirannya sebagai yang
mereprentasikan kehendak Allah ditengah dunia. Hal ini dapat juga dikatakan
bahwa gereja adalah utusan Allah, representasi kehadiran Allah di dunia.
Pemahaman ini sangat dekat dengan konsep penciptaan manusia oleh Allah.
Manusia diciptakan Allah segambar dengan diriNya (Kej 1:27). Kesegambaran itu
juga dimaksudkan, bagaimana kehadiran manusia di tengah dunia juga harus
merepresentasikan Allah. Manusia diberikan mandat dan dijadikan sebagai mitra
oleh Allah untuk menatalayani dunia ini (Kej 1:28;2:15). Dengan demikian, gereja
sebagai persekutuan umat Allah juga memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu
untuk menatalayani dunia ini, seturut dengan kehendak Allah.15
Namun pada kenyataannya, gereja-gereja di Indonesia belum dapat
sepenuhnya melakukan apa yang semestinya tersebut.16
Bahkan menurut Eka
Darmaputera, gereja-gereja di Indonesia mengalami krisis yang cukup serius,
12
Peter C. Aman, OFM, Gereja: Kekuatan Moral bagi Transformasi Sosial, dalam buku, Menerobos Pintu Sempit, Yogyakarta, Kanisius, 2009, pp 68 - 72 13
J.B. Banawiratma, Hidup Menggereja yang Terbuka, dalam Hidup Menggereja Kontekstual, J.B. Banawiratma (ed), Yogyakarta, Kanisius, 2000, pp 186-189 14
Tata Gereja/Peraturan Pelaksana Tata Gereja GKP tahun 2007, 15
J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, Yogyakarta, Kanisius, 2002, p 72 16
DR. I.P. Lambe, Gerakan Reformasi dan Demokrasi, dalam buku Perspektif dan Peran Umat Kristiani Mewujudkan Indonesia Baru, Robert P Borong (Eds), Jakarta, UPI, 2004, pp 74 - 81
©UKDW
5
yaitu gereja semakin terdesak, tercecer, dan terhempas dari dinamika sosial yang
menyikatarinya. Hal tersebut disebabkan karena kehadiran gereja di tengah
masyarakat tidak lagi dirasakan maknanya dan kegiatan pelayanan yang dilakukan
tidak berdampak apa-apa bagi warga jemaatnya. Kondisi gereja seperti itu adalah
gereja yang mengalami insignifikasi internal dan irelevansi eksternal dalam
menunaikan panggilannya.17
Gereja perlu melakukan pertobatan dan pembaruan terus-menerus, agar gereja
dapat melihat tanda-tanda zaman.18
Untuk itu, gereja tidak melulu hanya
memikirkan dan mempersiapkan warga jemaatnya pada surga (transedensi) dan
mengabaikan dunia (imanensi). Gereja perlu mempersiapkan dan mengasah setiap
warga jemaatnya agar memiliki sensibilitas terhadap mereka yang miskin, papa
dan menderita.19
Setelah kepekaan tersebut terasah dengan baik, maka gereja akan
dapat bersatu dengan kaum miskin, tertindas, terpinggirkan dan menderita. Hal ini
juga berlaku dalam pengembangan teologi yang dilakukan oleh gereja, bahwa
teologi tidak hanya terbatas pada intellectus fidei melainkan juga intellectus
amoris et compassionis. Hal ini yang akan membantu dan mendorong orang
percaya untuk mencintai dan berbelarasa kepada kaum miskin.20
Dengan
demikian, keberpihakan gereja terhadap mereka yang miskin, papa, tertindas, dan
17
Eka Darmaputera, PhD, Menyoal Tanggung Jawab dan Peran Sosial Gereja-gereja di Indonesia, dalam buku Perspektif dan Peran Umat Kristiani, Robert P Borong (Eds), Jakarta, UPI, 2004, pp 51 - 67 18
Yosef P. Widyaatmadja, Yesus & Wong Cilik, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2010, pp 194 - 200 19
E.G. Singgih, PhD, Reformasi.... pp 60, 61 20
J.B. Banawiratma, Hidup Menggereja yang Terbuka, dalam Hidup Menggereja Kontekstual, J.B. Banawiratma (ed), Yogyakarta, Kanisius, 2000, pp 186-189
©UKDW
6
terpinggirkan merupakan kewajiban teologis.21
Kewajiban teologis tersebut,
menurut Eka Darmaputera tak lain adalah tanggung jawab sosial gereja dalam
kehadirannya di tengah masyarakat.22
Apa yang diungkapkan oleh Eka Darmaputera memang cukup pedas dan
memekakkan telinga. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kuntadi “Mengkritik
memang mudah. Bukankah Eka sendiri pernah menjadi pimpinan sinode? Lalu
apa yang dapat membuat GKI lebih sehat dan tidak sakit seperti yang
dikatakan?”23
Demikian juga E.G. Singgih mencoba mengkritisi, adakah tendensi
dari ungkapan Eka Darmaputera tersebut, mengingat haluan teologi sosial yang
dikembangkan oleh Eka Darmaputera adalah teologi chaplaincy, yaitu
memandang para pemegang kekuasaan sebagai sasaran pelayanan pastoral.24
Di sisi lain, pada tahun 1990 dalam sebuah sidang para uskup Asia kelima
menggumuli tentang Gereja yang mengalami insignifikasi internal dan irelevansi
eksternal. Hal tersebut juga menjadi pergumulan dalam Sidang Agung Gereja
Katolik Indonesia pada tahun 2000. Melalui pergumulan tersebut, maka perlu
dilakukan upaya agar gereja semakin menjadi signifikan dan relevan. Hal itu
dimaksudkan, agar Gereja dapat terlibat dalam gerak bersama demi
pengembangan kehidupan yang lebih baik. Kemudian hal ini menjadi dasar bagi
21
Mgr, John Liku-Ada, Solidaritas Sosial dalam Masyarakat Majemuk: Tinjuan dari Perspektif Ajaran Sosial Gereja, dalam buku Menerobos Pintu Sempit, B. Agus Rukiyanto, SJ & T.A. Deshi Ramadhani, SJ (Eds), Yogyakarta, Kanisius, 2009, p 129-134 22
Eka Darmaputera, PhD, Menyoal Tanggung Jawab dan Peran Sosial Gereja-gereja di Indonesia, dalam buku Perspektif dan Peran Umat Kristiani, Robert P Borong (Eds), Jakarta, UPI, 2004, pp 60 - 63 23
Kuntadi Sumadikarya, Eka Darmaputera dan Pergulatan Kehadiran Gereja-gereja di Indonesia, dalam Jurnal Teologi “Penuntun”, Vol. 9, No 22, 2008, pp 1- 15 24
E,G. Singgih, Pasang Surut Teologi Pancasila Eka Darmaputera, dalam Jurnal Teologi “Penuntun”, Vol. 9, No 22, 2008, pp 41 - 48
©UKDW
7
gerakan pastoral gereja, yaitu pengembangan komunitas iman yang signifikan dan
relevan.25
Dalam mengembangan komunitas iman yang signifikan dan relevan tersebut,
gereja diperhadapkan dengan berbagai persoalan, pergumulan, tantangan, dan
ancaman. Untuk mengatasi hal tersebut, gereja harus mempergunakan sebaik-
baiknya seluruh karunia yang dimiliki, termasuk kemampuan dan kekuasaan yang
ada padanya, yaitu intelektual, ekonomi, politik, dlsb (bdk Efs 6:10-20). Selain
itu, gereja juga dituntut untuk tetap memperhatikan cara-cara yang sesuai dengan
kehendak Allah, sehingga gereja tidak “serupa dengan dunia”. Namun demikian,
gereja harus tetap memperhatikan konteks yang ada dalam menjawab berbagai
persoalan dan pergumulan yang dihadapi.26
Hal ini merupakan persoalan
sekaligus tantangan bagi gereja-gereja saat ini, dalam melakukan pengembangan
jemaat.27
B. Permasalahan
Topik tentang keterlibatan sosial gereja di tengah kehidupan masyarakat,
bukan hal baru dalam sejarah gereja. Sejak gereja perdana, yaitu pada zaman para
Rasul hingga sekarang ini, bentuk dan jenis keterlibatan sosial gereja terus
mengalami perkembangan. Hal itu disebabkan kehidupan sosial di tengah
masyarakat juga mengalami perkembangan. Gelombang perubahan sosial yang
25
M. Nur Widi, PR, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta, Kanisius, 2009, p 1 - 7 26
DR. Sutarno, Misi Kristiani dalam Konteks Dunia dan Masyarakat Indonesia Masa Kini, dalam buku Perspektif dan Peran Umat Kristiani Mewujudkan Indonesia Baru, Robert P Borong (Eds), Jakarta, UPI, 2004, pp 41, 42 27
Handi Hadiwitanto, Hidup Menggereja dari Bawah dan Konsep Percaya, dalam Gema Teologi UKDW, Yogyakarta, Vol 34. No. 1, April 2010, pp 41 - 48
©UKDW
8
cukup besar terjadi di Eropa pada abad 17, menuntut perubahan sikap dan posisi
gereja di tengah masyarakat.28
Menurut E.G. Singgih, pada masa reformasi telah terjadi perubahan sosial
yang tidak bersifat gradual, namun sebagai sebuah “loncatan jauh ke depan”, yaitu
perubahan yang bersifat akseleratif dan revolusioner. Dengan demikian, jika
gereja terlibat dalam transformasi sosial, maka hal ini tidak hanya terjadi pada
saat ini saja, namun sudah pernah dilakukan oleh gereja sebelumnya. Dan itu
merupakan jawaban iman terhadap perubahan yang terjadi.29
Demikian juga,
penderitaan yang diakibatkan oleh perang dunia I dan II, juga mendorong gereja
agar lebih banyak dan dalam lagi untuk keterlibatan sosial di tengah masyarakat.
Kemudian dibentuklah sebuah lembaga gereja untuk keterlibatan sosial tersebut,
yaitu Life and Work yang berada dibawah naungan World Churches Council
(WCC).30
Walaupun telah dibentuk Life and work, namun menurut Al Adang, gereja di
Indonesia masih dirasakan lamban dalam merespon persoalan sosial, khususnya
yang kaitannya dengan kemiskinan. Gereja lebih mengutamakan birokrasi dan
tidak memiliki keberpihakan kepada kaum miskin. Jika gereja hanya berorientasi
pada hubungan vertikal saja dan mengabaikan relasi horizontal dengan tindakan
praksisnya, maka gereja hanyalah menjadi langit-langit surga.31
Hal yang sama
juga diungkapkan oleh J.B. Banawiratma, bahwa kecenderungan gereja-gereja di
28
Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme, Bukan Sosialisme, Yogyakarta, Kanisius, 2003, pp 47 - 65 29
E.G. Singgih, PhD, Reformasi.... p 59 30
Christ Hartono, Gerakan Oikumene, Bahan Kuliah Oikumenika di Pascasarjana UKDW tahun ajaran 2011/2012 31
Al Andang, Agama yang Berpijak dan Berpihak, Yogyakarta, Kanisius, 1998, pp 70, 71
©UKDW
9
Indonesia masih menekankan pada aspek ritual.32
Gereja masih asyik dengan
dunianya sendiri, melalui kesibukannya dalam aktifitas ritualnya, termasuk
pembangunan fisik gedung gereja masing-masing, sehingga gereja tidak
melakukan antisipasi terhadap dampak perubahan yang terjadi akibat proses
modernisasi. Jika hal ini yang menjadi orientasi gereja dalam mengembangkan
pelayanannya, maka akan menjadikan gereja yang eksklusif, yaitu hanya
melakukan pelayanan secara internal saja. Dengan demikian gereja memiliki
kelemahan dalam membangun relasi atau kontak sosial dengan lingkungan
masyarakat yang ada.33
Hal ini juga menjadi kerisauan E.G. Singgih, jika gereja hanya menekankan
pada aspek ritual dan kelembagaan saja, maka gereja telah melupakan hakekatnya
sebagai sarana untuk menyatakan Kemuliaan Allah di dunia ini, yang biasa
disebut “Kerajaan Allah”. Padahal Gereja memiliki tiga aspek panggilan, yaitu
Persekutuan (Koinonia), Kesaksian (Marturia) dan Pelayanan (Diakonia). Masing-
masing aspek harus mendapat perhatian yang sama, jika digambarkan seperti
segitiga sama sisi.34
32
J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, Yogyakarta, Kanisius, 2002, p 46 33
Zakaria J. Ngelow, Mesianisme Kemanusiaan, dalam Jurnal STT Intim Makasar, edisi 6-Semseter Genap 2004, Makasar : STT INTIM, 2004, p 17 34
E.G. Singgih, PhD, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21, Yogyakarta, Kanisius, 1997, pp 24-28
Ritual
Kesaksian (Marturia)
Etikal
Pelayanan (Diakonia)
Persekutuan (Koinonia)
Institusional
©UKDW
10
Jika demikian, maka gereja harus mengubah strategi pelayanannya, dari
pelayanan seputar mimbar dan altar saja, menuju gereja yang harus terlibat aktif
dalam persoalan dan pergumulan dalam kehidupan. Salah satu pergumulan yang
cukup mendesak adalah persoalan kemiskinan. Dalam hal ini, gereja harus turun
secara langsung menolong mereka yang membutuhkan uluran tangan, yaitu
mereka yang miskin, papa, menderita dan termarjinalkan.35
Apakah gereja dapat
disebut gereja, jika tidak bersatu dengan kaum miskin, tertindas, terpinggirkan dan
menderita?36
Dalam hal ini, dipahami bahwa kehadiran gereja bukan demi dirinya
sendiri, melainkan perwujudan kehadiran Allah di tengah dunia dan melanjutkan
karyaNya dalam mewujudkan kerajaanNya.37
Pemahaman tersebut tidak dapat
dilepaskan dari eklesiologi yang dikembangkan oleh gereja, yaitu bagaimana
gereja dalam mewujudkan damai sejahtera Allah melalui kehadirannya. Untuk itu,
eklesiologi menjadi hal penting bagi gereja.
Eklesiologi dipahami sebagai sebuah upaya untuk memikirkan dan
membangun sebuah gambaran tentang gereja atau jemaat secara teologi-
sistematis, berdasarkan Alkitab. Dalam Alkitab, kita akan menemukan bentuk
atau model tentang eklesiologi yang tidak bersifat tunggal, melainkan bermacam-
macam bentuk atau model. Dalam hal ini, model atau gambaran menurut
Luzbetak38
: merupakan sistem konseptual-simbolik untuk memahami sekaligus
mengungkapkan realitas menyeluruh maupun sebagian. Adapun ciri-ciri model
35
Josef P. Widyaatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja, Yogyakarta, Kanisius, 2009, pp 52, 53 36
J.B. Banawiratma, Hidup Menggereja yang Terbuka, dalam Hidup Menggereja Kontekstual, J.B. Banawiratma (ed), Yogyakarta, Kanisius, 2000, pp 186-189 37
I.L. Madya Utama, SJ, Gereja Partisipatif, Seri Pastoral 422, Pusat Pastoral Yogyakarta, 2010 p 46 38
Lous J. Luzbetak, SVD, The Church and Cultures, New York, Orbis Book, 1993, cet-5, p 136
©UKDW
11
atau gambaran yang baik adalah a.Berdayaguna, yaitu dapat memberikan
informasi yang jelas berdasarkan data yang ada, dan mampu memberikan panduan
untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang ada, b. Terbuka, tidak bersifat
final dan mengakui keterbatasan yang ada, namun tertantang untuk terus
berkembang dalam mengungkapkan dan menafsirkan kebenaran. c. Relevan, tidak
hanya sesuai dengan konteks yang ada, namun harus pula sesuai dengan
identitasnya secara konsisten. d. Berdampak, mendorong dan berkontribusi dalam
peningkatan kapasitas untuk dapat memahami gambaran atas model yang ada.
Dengan demikian, model eklesiologi yang dibutuhkan oleh gereja dalam
keterlibatan sosial di tengah masyarakat adalah eklesiologi yang berdayaguna,
terbuka, relevan, dan berdampak. Dengan kata lain, eklesiologi tersebut harus
bersifat fungsional.
Eklesiologi kontekstual adalah eklesiologi yang menempatkan gereja tidak
hanya sebagai penonton saja, terhadap persoalan dan pergumulan sosial yang ada,
yaitu kemiskinan dan ketidakadilan. Melainkan gereja harus bertindak secara
nyata dan melakukan upaya untuk mengatasi kemisikinan dan ketidakadilan yang
terjadi. Dalam hal ini, gereja harus memaksimalkan Peran sosialnya di tengah
masyarakat. Guna melakukan hal tersebut, bukanlah persoalan yang mudah bagi
gereja. Hal ini disebabkan, setiap gereja telah memiliki model eklesiologi,
sehingga tidak mudah untuk mengubah model eklesiologi yang telah digunakan.
Selain itu, perubahan model eklesiologi akan berdampak pada pengelolaan dan
penatalayanan yang telah dilakukan.
©UKDW
12
Menurut penulis, persoalannya bukan pada mau atau tidak mau untuk diubah,
sulit atau mudah perubahan tersebut dilakukan, dan seberapa besar dampak
perubahan yang akan terjadi. Namun persoalannya adalah apakah kehadiran
gereja telah siginifikan dan relevan dalam kehidupan masyarakat? Hal inilah yang
digugat oleh Eka Darmaputera, bahwa gereja-gereja di Indonesia mengalami
insignifikasi internal dan irelevansi eksternal. Gugatan tersebut seharusnya
menjadi pendorong bagi setiap gereja untuk melakukan intropeksi atas
penatalayanan yang dilakukan.
Gereja sebagai salah satu entitas dalam kehidupan masyarakat memiliki
tanggung jawab sosial, sehingga gereja perlu melaksanakan peran sosialnya.
Selain sebagai tanggung jawab sosial, keterlibatan sosial gereja dalam kehidupan
masyarakat juga merupakan tanggung jawab teologis. Hal ini didasarkan pada
pemahaman, bahwa kehadiran gereja di tengah dunia adalah untuk menghadirkan
damai sejahtera Allah. Dan pertanyaannya adalah sudahkah gereja memerankan
peran sosialnya secara maksimal dalam penatalayanannya di tengah masyarakat?
Selanjutnya dalam mengembangkan penatalayanannya, gereja menggunakan
model eklesiologi tertentu. Pertanyaannya adalah apakah model eklesiologi yang
dikembangkan telah berdayaguna, terbuka, relevan, dan berdampak, dalam
mewujudkan damai sejahtera Allah?
Kedua persoalan tersebut, akan menjadi fokus dalam penyusunan tesis yang
akan dilakukan. Menurut penulis, persoalan tersebut merupakan persoalan yang
aktual, karena tengah dihadapi oleh gereja-gereja di Indonesia, termasuk GKP.
Sebagai bagian dari GKP, penulis merasa perlu untuk mengetahui lebih dekat lagi,
©UKDW
13
apakah GKP telah melaksanakan peran sosialnya dengan maksimal. Untuk itu,
penulis akan melakukan sebuah penelitian, guna memperoleh data yang akurat.
Dengan demikian, pertanyaan tersebut diharapkan dapat terjawab dari data yang
diperoleh dalam penelitian tersebut. Penelitian yang dilakukan juga akan melihat
dasar dan motivasi apa dibalik tindakan yang diakukan.
Dalam memerankan peran sosial tersebut, dapat dipastikan GKP memiliki
latar belakang teologi dan model eklesiologi yang mendasarinya. Hal ini, juga
akan menjadi perhatian dalam penelitian yang dilakukan. Apakah keterlibatan
sosial yang dilakukan oleh GKP didasarkan pada tanggung jawab sosial, atau
tanggung jawab teologis, atau kedua-duanya? Dalam hal ini, penulis akan
mencoba untuk menggali dokumen-dokumen dan strategi pengembangan
pelayanan yang telah dilakukan oleh GKP. Diharapakan melalui penggalian data
tersebut, dapat ditemukan model eklesiologi yang mendasari GKP dalam
mengembangkan penatalayanan yang dilakukan. Apakah eklesiologi yang dimiliki
oleh GKP memberi perhatian yang cukup pada keterlibatan sosial gereja atau
tidak? Lalu bagaimana eklesiologi tersebut harus dikembangkan?
Penulis akan melakukan penelitian di GKP jemaat Tamiyang yang berada di
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pemilihan tersebut berdasarkan pada
pertimbangan, bahwa kabupaten Indramayu merupakan daerah miskin. Menurut
data, pada tahun 2009 penduduk miskin terbesar di provinsi Jawa Barat adalah
kabupaten Cirebon, yaitu berjumlah 390.541 orang. Sementara untuk kabupaten
Indramayu, berada pada peringkat kedua dengan jumlah 319.630 orang (17,99%)
©UKDW
14
dari 1,7 juta penduduk yang ada.39
Kondisi kemisikinan di kabupaten Indramayu
yang mencapai 17,99% berada diatas rata-rata kemiskinan yang ada di indonesia,
yaitu 13,33%.
Selain itu, warga jemaat GKP Tamiyang juga ada dalam kemiskinan. Hal itu
terlihat dari rendahnya pendidikan mereka, yang mencapai 35% dari 259 warga
jemaat. Kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh tani yang berpenghasilan Rp.
50.000,- per hari dan jumlah mereka mencapai 80,23% (69 KK dari 86 KK yang
ada). Sebagai buruh tani, mereka tidak dapat bekerja sepanjang hari dalam satu
tahun. Hal itu disebabkan, karena sawah yang digarap adalah sawah tadah hujan
dan tenaga mereka tidak dibutuhkan dalam seluruh proses produksi. Kesempatan
kerja pun semakin menurun, jika pada saat panen tengkulak menggunakan “sistim
tebas”40
. Selain itu, tidak banyak jenis pekerjaan yang dapat dilakukan, selain
pekerjaan informal. Hal itu disebabkan, karena rendahnya pendidikan dan
lemahnya ketrampilan yang dimiliki.
Yang lebih ironisnya GKP jemaat Tamiyang merupakan jemaat tua yang pada
tahun 2012 genap berusia 100 tahun. Cikal bakal GKP jemaat Tamiyang berasal
dari orang-orang kristen yang ada di Jemaat Junti Kebon. Mereka adalah orang-
orang miskin yang kemudian menjadi kristen. Keputusan mereka untuk menjadi
kristen mendapat tantangan yang luar biasa dari masyarakat, bahkan mereka
sampai dikucilkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pihak zendeling
39
http://www.tempo.co/read/news/2011/04/13/090327294/ diakses pada tanggal 16 Jan 2012 40
Sistem tebas merupakan bagian dari sistem jual-beli dalam perdagangan padi. Petani sebagai pemilik padi akan menjual padi yang ada di sawah kepada pembeli. Transaksi yang dilakukan penuh dengan spekulasi, karena hasil padi yang akan dipanen belum diketahui dengan pasti. Setelah diperoleh kesepakatan harga, maka pembeli akan memanen padi tersebut. Kebanyakan buruh tani yang dipekerjakan, bukan berasal dari daerah setempat.
©UKDW
15
memindahkan mereka ke tempat yang baru, yaitu desa Rehoboth. Pembentukan
komunitas kristen yang baru tersebut diharapkan dapat mengatasi kemiskinan.
Namun setelah 100 tahun komunitas kristen tersebut terbentuk, kemiskinan belum
juga beranjak dari kehidupan mereka.
Kondisi sosial-ekonomi warga jemaat yang demikian, akan sangat
mempengaruhi penatalayanan yang dilakukan oleh Majelis Jemaat GKP
Tamiyang. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan jemaat dalam memberikan
dukungan kesejahteraan bagi pendeta jemaat yang melayani. Untuk itu, GKP
jemaat Tamiyang masih harus disubsidi oleh Majelis Sinode GKP untuk
mendukung kesejahteraan pendeta jemaat yang melayani. Dalam lingkup sinode
GKP, apa yang dialami oleh GKP jemaat Tamiyang juga dialami oleh beberapa
jemaat GKP lainnya, seperti GKP jemaat Kalaksanaan Palalangon, Sindang Jaya,
Cigugur, Junti Kebon dan pos kebaktian Teluk Lada. Dengan anggaran yang
minim tersebut, maka juga akan berdampak pada jenis dan bentuk pelayanan yang
dilakukan oleh Majelis Jemaat GKP Tamiyang.
C. Pertanyaan Tesis
Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan pertanyaan adalah sbb:
1. Apakah GKP Jemaat Tamiyang menjalankan (menghayati) peran sosialnya
dalam masyarakat? Mengapa GKP jemaat Tamiyang memerankan hal
tersebut?
2. Apakah eklesiologi GKP memberikan perhatian pada peran sosial jemaat?
Bagaimana seharusnya hal ini diperkembangkan?
©UKDW
16
D. Judul Tesis
Berdasarkan uraian tersebut, maka tesis ini diberi judul:
PEMBERDAYAAN PERAN SOSIAL JEMAAT GEREJA KRISTEN
PASUNDAN TAMIYANG DALAM MASYARAKAT
E. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis tesis ini adalah
1. Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pemikiran
bagi jemaat-jemaat GKP, khususnya di GKP jemaat Tamiyang dalam
mengupayakan pengembangan atau pembangunan jemaat yang
transformatif, melalui pemberdayaan peran sosial jemaat dalam
masyarakat. Dengan harapan, keterlibatan sosial gereja dapat dilaksanakan
2. Tema tentang Teologi Praktis dalam menjawab persoalan dan upaya
pengembangan jemaat sudah banyak dilakukan, namun dalam konteks
jemaat-jemaat GKP sepengetahuan penulis belum ada. Ada harapan tesis
ini dapat memperkaya wacana yang ada dan selanjutnya dapat menjadi
referensi bagi pengembangan atau pembangunan jemaat di GKP.
F. Hipotesa
1. Penulis menduga GKP jemaat Tamiyang telah melakukan peran sosialnya
dalam kehidupan di tengah masyarakat, namun masih harus ditingkatkan
baik kuantitas dan kualitasnya
2. Menurut penulis, pelaksanaan peran sosial warga jemaat GKP Tamiyang
berkaitan dengan pemahaman teologi yang dimiliki
©UKDW
17
3. Menurut pandangan penulis, GKP telah memiliki konsep eklesiologi yang
memberikan perhatian pada peran sosial bagi jemaat, namun dalam
mengimplementasi terdapat tantangan dan hambatan yang tidak mudah
4. Menurut penulis, eklesiologi seharusnya bersifat fungsional, sehingga
eklesiologi dapat mendukung pemberdayaan peran sosial jemaat dalam
masyarakat
G. Teori Peran Sosial
Menurut Sipiron, “social function refers to the way individuals or collectivies
(families, associations, communities, etc) behave in order to carry out their life
task and meet their needs.”41
Hal senada juga diungkapkan oleh Baker, Dubois
dan Miley bahwa peran sosial berkaitan dengan pemenuhan tanggungjawab
seseorang terhadap masyarakat secara umum, terhadap lingkungan terdekat dan
terhadap dirinya sendiri. Tanggungjawab tersebut meliputi pemenuhan kebutuhan
dasar dirinya, pemenuhan kebutuhan dasar anggota keluarga yang menjadi
tanggungannya, dan pemberian kontribusi positif terhadap masyarakat.42
Dalam hal ini, peran sosial merupakan sebuah konsep yang menunjuk pada
“kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam
menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan
nilai bahwa manusia adalah subyek dari segenap proses dan aktifitas
kehidupannya. Selain itu, bahwa manusia memiliki kemampuan dan potensi yang
dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; bahwa manusia memiliki dan/atau
41
Bambang Sugeng, Pengembangan Kapasitas dan Keberfungsian Sosial, dalam buku Pemberdayaan,
Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat, Adi Fahrudin, PhD (ed), Humaniora, Bandung p 156 42
Edi Suharto, Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial..... p 20-22
©UKDW
18
dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber
yang ada di sekitar dirinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peran sosial merupakan sebuah alat
untuk dapat melihat keberadaan seseorang dalam konteks sosialnya. Hal tersebut
dapat dilihat dalam beberapa hal, yaitu:43
a). Kemampuan melaksanakan peran
sosial, orang hidup dengan memiliki keluarga, kelompok, komunitas dan
masyarakat; b). Tuntutan dan Harapan, yang dimaksud dalam kategori ini adalah
bahwa harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Setiap orang akan memiliki
harapan untuk hidup layak tetapi jika kenyataan tidak sesuai maka akan
mengakibatkan frustasi, depresi, penyimpangan perilaku, kriminal dan patologi
sosial; c). Tingkah Laku, dalam hal ini berkaitan dengan peranan yang positif dan
negatif. Jika seseorang bersikap positif sesuai dengan tuntutan masyarakat
sekeliling maka orang tersebut akan menjadi panutan bagi masyarakat
disekitarnya tetapi jika bersikap negatif dianggap tidak sesuai dengan tuntutan
masyarakat sekitar maka orang tersebut akan dicemooh tetapi sikap dipengaruhi
oleh faktor keluarga dan lingkungan sosialnya. Distorsi perilaku ini akan
menimbulkan kemiskinan kebudayaan sebab bebudayaan sangat berkaitan dengan
nilai-nilai hidup. d). Situasional, situasi sosial akan memperngaruhi tingkah laku
manusia jadi orang miskin akan mudah melakukan tindakan-tindakan radikal jika
situasi sosial mereka tidak memberikan rasa aman bagi mereka.
43 http://tkskponorogo.blogspot.com/2010/03/kemiskinan-dan-keberfungsian-sosial.html diakses tgl
12/7/2012
©UKDW
19
Mengacu pada pendapat DuBois dan Milley, seperti dikutip oleh Edi
Suharto44
, bahwa peran sosial berhubungan dengan pemenuhan tanggungjawab
seseorang terhadap masyarakat secara umum, termasuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka, yaitu: kebutuhan fisik (pangan, sandang, papan), kebutuhan
personal (pendidikan, kesehatan, agama, nilai/norma), kebutuhan emosional
(kepedulian dan kepekaan, relasi dan persahabatan) dan konsep diri yang
memadai (percaya diri, identitas dan penghargaan).
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peran sosial dapat
dipandang dari beberapa segi, yaitu:45
a) Peran sosial dipandang sebagai
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dalam hal ini indikator yang dapat
ditunjukkan adalah bagaimana kemampuan atau kapasitas yang ada dapat
memenuhi kebutuhan ekonomi, kemampuan menjangkau pendidikan dan
perlindungan dasar; b) Peran sosial dipandang sebagai kemampuan melaksanakan
peranan sosial, yaitu kemampuan atau kapasitas dalam membangun relasi, dan
keterlibatannya pada kegiatan kemasyarakatan; c) Peran Sosial dipandang sebagai
kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan permasalahan sosial yang
dihadapi. Ada tiga cara atau metode yang dapat digunakan dalam mengatasi
guncangan dan tekanan tersebut, yaitu strategi aktif, pasif dan jaringan. Startegi
aktif merupakan kemampuan untuk dapat mengoptimalkan seluruh potensi
keluarga dalam mengatasi goncangan dan tekanan yang ada. Strategi pasif,
merupakan upaya menghadapi goncangan dan tekanan tersebut dengan cara
44
Edi Suharto, PhD (eds), Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Bandung, STKS Bandung Press, 2004, pp 20, 21 45
Bambang Sugeng, Pengembangan Kapasitas dan Fungsi Sosial, dalam buku Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat, Adi Fahrudin, PhD (ed), Bandung, Humaniora, tanpa tahun, p 156
©UKDW
20
mengontrol diri. Strategi jaraingan adalah menyelesaikan persoalan dengan
bantuan atau dukungan dari pihak lain.
H. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka dan
penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian pustaka
yang akan dilakukan adalah melakukan penggalian sumber-sumber pustaka
yang berkaiatan dengan tema tesis, termasuk dokumen-dokumen tentang
teologi sosial atau ajaran sosial gereja yang dimiliki oleh GKP, dan
bagaimana teologi sosial tersebut diimplemtasikan dalam kehidupan di GKP
Jemaat Tamiyang. Kemudian hal tersebut secara kritis digunakan dalam
upaya mencari dan menemukan solusi atas permasalahan yang ada.
1. Sumber Data
a. Sumber data primer, yang dimaksud sumber data primer adalah keluarga
miskin yang tinggal di kampung Rehoboth, desa Jayamulya, Kecamatan
Kroya, Kabupaten Indramayu
b. Sumber data sekunder. Guna mendukung dan melengkapi data primer,
maka perlu dilakukan penggalian data lain sebagai data sekunder, yaitu
berupa buku-buku yang sesuai dengan pokok pembahasan tesis.
©UKDW
21
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Wawancara terhadap beberapa orang yang dianggap sebagai infoman
kunci (Key Informan Interview). Wawancara ini terdiri dari serangkaian
pertanyaan terbuka yang dilakukan terhadap orang-orang tertentu, yang
dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai topik atau
keadaan di wilayahnya.
b. Focused Group Discussion (FGD), yaitu melakukan diskusi dalam
sebuah group yang terdiri dari beberapa orang, dengan pokok bahasan
yang telah ditentukan sebelumnya. Peserta diskusi diharapkan orang-
orang yang mengerti tentang persoalan yang ada, agar diskusi dapat
berkembang.
I. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini akan dipaparkan latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, hipotesa, landasan teori dan metode penelitian serta
sistimatika penulisan tesis yang akan disusun.
BAB II. GKP Jemaat Tamiyang dalam Konteks
Pada bab II ini akan dipaparkan tentang konteks jemaat GKP Tamiyang, yaitu
tentang sejarah dan konteks kehadirannya. Kemudian data penelitian yang telah
dilakukan, juga akan dideskripsikan dalam bab ini. Dengan demikian, gambaran
©UKDW
22
konteks GKP Tamiyang dan dinamika dalam kehidupan sosial dapat terlihat lebih
jelas.
BAB III. GKP Jemaat Tamiyang dilihat dari Teori Peran Sosial
Pada bab ini akan dilakukan analisis sosial terhadap dinamika yang terjadi dalam
kehidupan jemaat GKP Tamiyang. Dari analisa sosial tersebut, diharapkan dapat
mengetahui lebih dekat keterlibatan sosial gereja dalam menghadapi dinamika
yang terjadi.
BAB IV. Eklesiologi dan Pelaksanaan Peran Sosial Jemaat GKP Tamiyang
Kemudian hasil analisis sosial tersebut akan dikaji secara teologis, yaitu
melakukan evaluasi terhadap keterlibatan sosial yang telah dilakukan oleh GKP
Tamiyang. Demikian juga evaluasi akan dilakukan terhadap eklesiologi GKP.
Hasil evaluasi tersebut, diharapkan dapat menjadi rekomendasi dalam
mengembangkan pelaksanaan peran sosial GKP jemaat Tamiyang di tengah
masyarakat, pedukuhan Rehoboth.
BAB V. Kesimpulan
Bab ini merupakan akhir dari tesis yang ditulis. Pada bab ini akan disampaikan
kesimpulan dan saran dari tesis yang ada.
©UKDW