BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan permasalahan klasik yang dihadapi oleh semua negara di seluruh belahan dunia, baik negara kaya maupun negara miskin, baik negara maju atau sedang berkembang; baik dalam kehidupan masyarakat di pedesaan, maupun masyarakat di perkotaan. Kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan melibatkan banyak dimensi, baik penyebab maupun dampaknya. Dengan demikian kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks 1 dan bersifat multidemisional 2 , sehingga membutuhkan penanganan serius dan sungguh-sungguh oleh semua pihak. 3 Jika tidak, maka kemiskinan dapat menjadi pemicu timbulnya berbagai persoalan yang tidak sederhana, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya “bencana sosial”, seperti kelaparan dan gizi buruk. Menurut laporan bahwa kemiskinan dan gizi buruk menjadi momok bagi penduduk dunia, karena setiap hari ada 24.000 orang meninggal karena kemiskinan dan gizi buruk. 4 Dari kondisi yang ada, kemiskinan dapat dibagi menjadi tiga kelompok kemiskinan, yaitu: 5 a). Kelompok Fakir Miskin (destitute). Mereka yang masuk 1 J.B Banawiratma, SJ & J. Muller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakarta, Kanisius, 1993, pp 124, 125; 2 Agus Pakpahan, Penanggulangan Kemiskinan, dalam buku Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia, M.T. Felix Sitorus (eds), Jakarta, Grasindo, 1996, pp 101, 102 3 Prof. DR. Hj Sutyastie Soemitro Remi & Prof. DR. Prijono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, p 43 4 Rogate R. Mshana, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), Geneva, WCC, 2005, pp 6, 12 5 Edi Suharto PhD, Membangun Masyarakat,....... pp 148, 149 ©UKDW

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan permasalahan klasik yang dihadapi oleh semua

negara di seluruh belahan dunia, baik negara kaya maupun negara miskin, baik

negara maju atau sedang berkembang; baik dalam kehidupan masyarakat di

pedesaan, maupun masyarakat di perkotaan. Kemiskinan merupakan

permasalahan yang kompleks dan melibatkan banyak dimensi, baik penyebab

maupun dampaknya. Dengan demikian kemiskinan merupakan persoalan yang

sangat kompleks1 dan bersifat multidemisional

2, sehingga membutuhkan

penanganan serius dan sungguh-sungguh oleh semua pihak.3 Jika tidak, maka

kemiskinan dapat menjadi pemicu timbulnya berbagai persoalan yang tidak

sederhana, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya “bencana sosial”,

seperti kelaparan dan gizi buruk. Menurut laporan bahwa kemiskinan dan gizi

buruk menjadi momok bagi penduduk dunia, karena setiap hari ada 24.000 orang

meninggal karena kemiskinan dan gizi buruk.4

Dari kondisi yang ada, kemiskinan dapat dibagi menjadi tiga kelompok

kemiskinan, yaitu:5 a). Kelompok Fakir Miskin (destitute). Mereka yang masuk

1 J.B Banawiratma, SJ & J. Muller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakarta, Kanisius, 1993, pp

124, 125; 2 Agus Pakpahan, Penanggulangan Kemiskinan, dalam buku Memahami dan Menanggulangi

Kemiskinan di Indonesia, M.T. Felix Sitorus (eds), Jakarta, Grasindo, 1996, pp 101, 102 3 Prof. DR. Hj Sutyastie Soemitro Remi & Prof. DR. Prijono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan

Ketidakmerataan di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, p 43 4 Rogate R. Mshana, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), Geneva,

WCC, 2005, pp 6, 12 5 Edi Suharto PhD, Membangun Masyarakat,....... pp 148, 149

©UKDW

2

dalam kategori kelompok ini adalah mereka yang secara absolut memiliki

pendapatan di bawah garis kemiskinan, bahkan sampai pada tidak memiliki

pendapatan sama sekali, serta mereka yang tidak memiliki akses terhadap

pelayanan sosial yang ada; b). Kelompok Miskin (poor). Pada umumnya mereka

yang masuk kelompok ini tidak buta huruf, memiliki pendidikan dasar dan sumber

finansial. Mereka memiliki pendapatan yang relatif di bawah garis kemiskinan,

namun masih memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar; c). Kelompok

Rentan (Vulnerable). Kelompok ini sering juga disebut dengan kelompok near

poor. Walaupun pendapatan mereka relatif berada sama atau lebih sedikit di atas

garis kemiskinan, namun mereka sangat rentan terhadap perubahan sosial yang

ada, sehingga dapat berpindah pada kelompok miskin maupun fakir miskin, bila

terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapatkan bantuan sosial.

Menurut E.G. Singgih, pada umumnya masalah kemiskinan juga menjadi

persoalan dan pergumulan gereja-gereja yang ada di Asia, termasuk Indonesia.

Bahkan, kemiskinan yang terjadi di Indonesia dapat dikategorikan sangat parah.

Selain kemiskinan yang sangat parah, gereja-gereja juga diperhadapkan dengan

kepelbagaian agama, penderitaan, dan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan

gender dan kerusakan ekologi.6 Bagi J.B. Banawiratma gereja harus mengambil

sikap dalam menghadapi kemiskinan yang terjadi. Sikap yang harus diambil

gereja adalah solidaritas terhadap kaum miskin dan tak berdaya. Bahkan ia juga

6 Pdt. E.G. Singgih, PhD, Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004, p 58

©UKDW

3

menandaskan, bahwa sikap tersebut merupakan wujud keikutsertaan gereja dalam

hidup dan tugas perutusan Yesus Kristus.7

Hal itu sejalan dengan keberadaan gereja, yaitu gereja sebagai persekutuan

teologis, sekaligus sosiologis. Secara teologis, gereja berhubungan dengan misteri

Kristus, sebagaimana diwujudkan dalam persekutuan orang percaya kepadaNya.

Sementara secara sosiologis, gereja sebagai sebuah kenyataan, di mana

sekelompok orang yang mengaku dirinya sebagai pengikut Kristus, yang berupaya

untuk respon dari panggilan tersebut.8 Pengakuan tersebut, ditengarai sebagai

upaya untuk menunjukkan identitas mereka di tengah lingkungan sosio-

religiusnya, dan sekaligus sebagai pembeda dengan kelompok-kelompok yang

lain pada zaman itu, seperti kelompok Yahudi dan Yunani-Romawi, dlsb.9

Perbedaan tersebut terletak pada keyakinan dan kepercayaan mereka, maupun

gaya hidup yang mencerminkan keteladan Kristus.10

Dalam hal ini, persekutuan

dan perutusan untuk menjadi saksi berlangsung secara bersamaan.11

Dengan

demikian, hal ini hendak menunjukkan bahwa keterlibatan sosial gereja, tidak

dapat dilepaskan dari pemahaman akan hakikat gereja. Hal ini berkaitan dengan

pengenalan dan pemahaman tentang konsep gereja dan makna kehadirannya

ditengah dunia, pada satu sisi. Bagaimana pengembangan gereja dilakukan dalam

menjawab berbagai pergumulan dan tantangan yang dihadapi, di sisi lain. Peran

utama gereja yang bersumber pada tugas rohani dapat menjadi kekuatan, energi

7 J.B. Banawiratma, Hidup Menggereja yang Terbuka, dalam Hidup Menggereja Kontekstual, J.B.

Banawiratma (ed), Yogyakarta, Kanisius, 2000, pp 181-186 8 Avery Dulles, SJ, Model-Model Gereja, Nusa Indah, Ende, 1990, p 114

9 C. Groenen, OFM, Perjanjian Baru dan Eklesiologi, dalam Orientasi Baru: Journal Filsafat dan

Teologi, No. 2, tahun 1988, p 18 10

John Ruck, Gereja Misioner, Jakarta, Bina Kasih, 2011, p 190 11

R. Hardawiryana, SJ, Gereja di Asia, Jakarta, KWI, 2000, pp 65 – 68

©UKDW

4

dan semangat bagi dunia dan mengarahkan manusia bagi tugas panggilannya, di

tengah kehidupan.12

Dengan kata lain, jika gereja tidak memiliki keterlibatan

sosial, maka dapat dikatakan bahwa gereja tidak menunaikan tugas perutusan

Yesus Kristus.13

Kehadiran gereja di tengah dunia, tidak boleh dilepas dari kehendak Allah.

Dan pengakuan ini banyak dipahami oleh gereja-gereja yang ada, tidak terkecuali

GKP.14

Untuk itu, gereja harus menyadari kehadirannya sebagai yang

mereprentasikan kehendak Allah ditengah dunia. Hal ini dapat juga dikatakan

bahwa gereja adalah utusan Allah, representasi kehadiran Allah di dunia.

Pemahaman ini sangat dekat dengan konsep penciptaan manusia oleh Allah.

Manusia diciptakan Allah segambar dengan diriNya (Kej 1:27). Kesegambaran itu

juga dimaksudkan, bagaimana kehadiran manusia di tengah dunia juga harus

merepresentasikan Allah. Manusia diberikan mandat dan dijadikan sebagai mitra

oleh Allah untuk menatalayani dunia ini (Kej 1:28;2:15). Dengan demikian, gereja

sebagai persekutuan umat Allah juga memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu

untuk menatalayani dunia ini, seturut dengan kehendak Allah.15

Namun pada kenyataannya, gereja-gereja di Indonesia belum dapat

sepenuhnya melakukan apa yang semestinya tersebut.16

Bahkan menurut Eka

Darmaputera, gereja-gereja di Indonesia mengalami krisis yang cukup serius,

12

Peter C. Aman, OFM, Gereja: Kekuatan Moral bagi Transformasi Sosial, dalam buku, Menerobos Pintu Sempit, Yogyakarta, Kanisius, 2009, pp 68 - 72 13

J.B. Banawiratma, Hidup Menggereja yang Terbuka, dalam Hidup Menggereja Kontekstual, J.B. Banawiratma (ed), Yogyakarta, Kanisius, 2000, pp 186-189 14

Tata Gereja/Peraturan Pelaksana Tata Gereja GKP tahun 2007, 15

J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, Yogyakarta, Kanisius, 2002, p 72 16

DR. I.P. Lambe, Gerakan Reformasi dan Demokrasi, dalam buku Perspektif dan Peran Umat Kristiani Mewujudkan Indonesia Baru, Robert P Borong (Eds), Jakarta, UPI, 2004, pp 74 - 81

©UKDW

5

yaitu gereja semakin terdesak, tercecer, dan terhempas dari dinamika sosial yang

menyikatarinya. Hal tersebut disebabkan karena kehadiran gereja di tengah

masyarakat tidak lagi dirasakan maknanya dan kegiatan pelayanan yang dilakukan

tidak berdampak apa-apa bagi warga jemaatnya. Kondisi gereja seperti itu adalah

gereja yang mengalami insignifikasi internal dan irelevansi eksternal dalam

menunaikan panggilannya.17

Gereja perlu melakukan pertobatan dan pembaruan terus-menerus, agar gereja

dapat melihat tanda-tanda zaman.18

Untuk itu, gereja tidak melulu hanya

memikirkan dan mempersiapkan warga jemaatnya pada surga (transedensi) dan

mengabaikan dunia (imanensi). Gereja perlu mempersiapkan dan mengasah setiap

warga jemaatnya agar memiliki sensibilitas terhadap mereka yang miskin, papa

dan menderita.19

Setelah kepekaan tersebut terasah dengan baik, maka gereja akan

dapat bersatu dengan kaum miskin, tertindas, terpinggirkan dan menderita. Hal ini

juga berlaku dalam pengembangan teologi yang dilakukan oleh gereja, bahwa

teologi tidak hanya terbatas pada intellectus fidei melainkan juga intellectus

amoris et compassionis. Hal ini yang akan membantu dan mendorong orang

percaya untuk mencintai dan berbelarasa kepada kaum miskin.20

Dengan

demikian, keberpihakan gereja terhadap mereka yang miskin, papa, tertindas, dan

17

Eka Darmaputera, PhD, Menyoal Tanggung Jawab dan Peran Sosial Gereja-gereja di Indonesia, dalam buku Perspektif dan Peran Umat Kristiani, Robert P Borong (Eds), Jakarta, UPI, 2004, pp 51 - 67 18

Yosef P. Widyaatmadja, Yesus & Wong Cilik, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2010, pp 194 - 200 19

E.G. Singgih, PhD, Reformasi.... pp 60, 61 20

J.B. Banawiratma, Hidup Menggereja yang Terbuka, dalam Hidup Menggereja Kontekstual, J.B. Banawiratma (ed), Yogyakarta, Kanisius, 2000, pp 186-189

©UKDW

6

terpinggirkan merupakan kewajiban teologis.21

Kewajiban teologis tersebut,

menurut Eka Darmaputera tak lain adalah tanggung jawab sosial gereja dalam

kehadirannya di tengah masyarakat.22

Apa yang diungkapkan oleh Eka Darmaputera memang cukup pedas dan

memekakkan telinga. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kuntadi “Mengkritik

memang mudah. Bukankah Eka sendiri pernah menjadi pimpinan sinode? Lalu

apa yang dapat membuat GKI lebih sehat dan tidak sakit seperti yang

dikatakan?”23

Demikian juga E.G. Singgih mencoba mengkritisi, adakah tendensi

dari ungkapan Eka Darmaputera tersebut, mengingat haluan teologi sosial yang

dikembangkan oleh Eka Darmaputera adalah teologi chaplaincy, yaitu

memandang para pemegang kekuasaan sebagai sasaran pelayanan pastoral.24

Di sisi lain, pada tahun 1990 dalam sebuah sidang para uskup Asia kelima

menggumuli tentang Gereja yang mengalami insignifikasi internal dan irelevansi

eksternal. Hal tersebut juga menjadi pergumulan dalam Sidang Agung Gereja

Katolik Indonesia pada tahun 2000. Melalui pergumulan tersebut, maka perlu

dilakukan upaya agar gereja semakin menjadi signifikan dan relevan. Hal itu

dimaksudkan, agar Gereja dapat terlibat dalam gerak bersama demi

pengembangan kehidupan yang lebih baik. Kemudian hal ini menjadi dasar bagi

21

Mgr, John Liku-Ada, Solidaritas Sosial dalam Masyarakat Majemuk: Tinjuan dari Perspektif Ajaran Sosial Gereja, dalam buku Menerobos Pintu Sempit, B. Agus Rukiyanto, SJ & T.A. Deshi Ramadhani, SJ (Eds), Yogyakarta, Kanisius, 2009, p 129-134 22

Eka Darmaputera, PhD, Menyoal Tanggung Jawab dan Peran Sosial Gereja-gereja di Indonesia, dalam buku Perspektif dan Peran Umat Kristiani, Robert P Borong (Eds), Jakarta, UPI, 2004, pp 60 - 63 23

Kuntadi Sumadikarya, Eka Darmaputera dan Pergulatan Kehadiran Gereja-gereja di Indonesia, dalam Jurnal Teologi “Penuntun”, Vol. 9, No 22, 2008, pp 1- 15 24

E,G. Singgih, Pasang Surut Teologi Pancasila Eka Darmaputera, dalam Jurnal Teologi “Penuntun”, Vol. 9, No 22, 2008, pp 41 - 48

©UKDW

7

gerakan pastoral gereja, yaitu pengembangan komunitas iman yang signifikan dan

relevan.25

Dalam mengembangan komunitas iman yang signifikan dan relevan tersebut,

gereja diperhadapkan dengan berbagai persoalan, pergumulan, tantangan, dan

ancaman. Untuk mengatasi hal tersebut, gereja harus mempergunakan sebaik-

baiknya seluruh karunia yang dimiliki, termasuk kemampuan dan kekuasaan yang

ada padanya, yaitu intelektual, ekonomi, politik, dlsb (bdk Efs 6:10-20). Selain

itu, gereja juga dituntut untuk tetap memperhatikan cara-cara yang sesuai dengan

kehendak Allah, sehingga gereja tidak “serupa dengan dunia”. Namun demikian,

gereja harus tetap memperhatikan konteks yang ada dalam menjawab berbagai

persoalan dan pergumulan yang dihadapi.26

Hal ini merupakan persoalan

sekaligus tantangan bagi gereja-gereja saat ini, dalam melakukan pengembangan

jemaat.27

B. Permasalahan

Topik tentang keterlibatan sosial gereja di tengah kehidupan masyarakat,

bukan hal baru dalam sejarah gereja. Sejak gereja perdana, yaitu pada zaman para

Rasul hingga sekarang ini, bentuk dan jenis keterlibatan sosial gereja terus

mengalami perkembangan. Hal itu disebabkan kehidupan sosial di tengah

masyarakat juga mengalami perkembangan. Gelombang perubahan sosial yang

25

M. Nur Widi, PR, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta, Kanisius, 2009, p 1 - 7 26

DR. Sutarno, Misi Kristiani dalam Konteks Dunia dan Masyarakat Indonesia Masa Kini, dalam buku Perspektif dan Peran Umat Kristiani Mewujudkan Indonesia Baru, Robert P Borong (Eds), Jakarta, UPI, 2004, pp 41, 42 27

Handi Hadiwitanto, Hidup Menggereja dari Bawah dan Konsep Percaya, dalam Gema Teologi UKDW, Yogyakarta, Vol 34. No. 1, April 2010, pp 41 - 48

©UKDW

8

cukup besar terjadi di Eropa pada abad 17, menuntut perubahan sikap dan posisi

gereja di tengah masyarakat.28

Menurut E.G. Singgih, pada masa reformasi telah terjadi perubahan sosial

yang tidak bersifat gradual, namun sebagai sebuah “loncatan jauh ke depan”, yaitu

perubahan yang bersifat akseleratif dan revolusioner. Dengan demikian, jika

gereja terlibat dalam transformasi sosial, maka hal ini tidak hanya terjadi pada

saat ini saja, namun sudah pernah dilakukan oleh gereja sebelumnya. Dan itu

merupakan jawaban iman terhadap perubahan yang terjadi.29

Demikian juga,

penderitaan yang diakibatkan oleh perang dunia I dan II, juga mendorong gereja

agar lebih banyak dan dalam lagi untuk keterlibatan sosial di tengah masyarakat.

Kemudian dibentuklah sebuah lembaga gereja untuk keterlibatan sosial tersebut,

yaitu Life and Work yang berada dibawah naungan World Churches Council

(WCC).30

Walaupun telah dibentuk Life and work, namun menurut Al Adang, gereja di

Indonesia masih dirasakan lamban dalam merespon persoalan sosial, khususnya

yang kaitannya dengan kemiskinan. Gereja lebih mengutamakan birokrasi dan

tidak memiliki keberpihakan kepada kaum miskin. Jika gereja hanya berorientasi

pada hubungan vertikal saja dan mengabaikan relasi horizontal dengan tindakan

praksisnya, maka gereja hanyalah menjadi langit-langit surga.31

Hal yang sama

juga diungkapkan oleh J.B. Banawiratma, bahwa kecenderungan gereja-gereja di

28

Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme, Bukan Sosialisme, Yogyakarta, Kanisius, 2003, pp 47 - 65 29

E.G. Singgih, PhD, Reformasi.... p 59 30

Christ Hartono, Gerakan Oikumene, Bahan Kuliah Oikumenika di Pascasarjana UKDW tahun ajaran 2011/2012 31

Al Andang, Agama yang Berpijak dan Berpihak, Yogyakarta, Kanisius, 1998, pp 70, 71

©UKDW

9

Indonesia masih menekankan pada aspek ritual.32

Gereja masih asyik dengan

dunianya sendiri, melalui kesibukannya dalam aktifitas ritualnya, termasuk

pembangunan fisik gedung gereja masing-masing, sehingga gereja tidak

melakukan antisipasi terhadap dampak perubahan yang terjadi akibat proses

modernisasi. Jika hal ini yang menjadi orientasi gereja dalam mengembangkan

pelayanannya, maka akan menjadikan gereja yang eksklusif, yaitu hanya

melakukan pelayanan secara internal saja. Dengan demikian gereja memiliki

kelemahan dalam membangun relasi atau kontak sosial dengan lingkungan

masyarakat yang ada.33

Hal ini juga menjadi kerisauan E.G. Singgih, jika gereja hanya menekankan

pada aspek ritual dan kelembagaan saja, maka gereja telah melupakan hakekatnya

sebagai sarana untuk menyatakan Kemuliaan Allah di dunia ini, yang biasa

disebut “Kerajaan Allah”. Padahal Gereja memiliki tiga aspek panggilan, yaitu

Persekutuan (Koinonia), Kesaksian (Marturia) dan Pelayanan (Diakonia). Masing-

masing aspek harus mendapat perhatian yang sama, jika digambarkan seperti

segitiga sama sisi.34

32

J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, Yogyakarta, Kanisius, 2002, p 46 33

Zakaria J. Ngelow, Mesianisme Kemanusiaan, dalam Jurnal STT Intim Makasar, edisi 6-Semseter Genap 2004, Makasar : STT INTIM, 2004, p 17 34

E.G. Singgih, PhD, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21, Yogyakarta, Kanisius, 1997, pp 24-28

Ritual

Kesaksian (Marturia)

Etikal

Pelayanan (Diakonia)

Persekutuan (Koinonia)

Institusional

©UKDW

10

Jika demikian, maka gereja harus mengubah strategi pelayanannya, dari

pelayanan seputar mimbar dan altar saja, menuju gereja yang harus terlibat aktif

dalam persoalan dan pergumulan dalam kehidupan. Salah satu pergumulan yang

cukup mendesak adalah persoalan kemiskinan. Dalam hal ini, gereja harus turun

secara langsung menolong mereka yang membutuhkan uluran tangan, yaitu

mereka yang miskin, papa, menderita dan termarjinalkan.35

Apakah gereja dapat

disebut gereja, jika tidak bersatu dengan kaum miskin, tertindas, terpinggirkan dan

menderita?36

Dalam hal ini, dipahami bahwa kehadiran gereja bukan demi dirinya

sendiri, melainkan perwujudan kehadiran Allah di tengah dunia dan melanjutkan

karyaNya dalam mewujudkan kerajaanNya.37

Pemahaman tersebut tidak dapat

dilepaskan dari eklesiologi yang dikembangkan oleh gereja, yaitu bagaimana

gereja dalam mewujudkan damai sejahtera Allah melalui kehadirannya. Untuk itu,

eklesiologi menjadi hal penting bagi gereja.

Eklesiologi dipahami sebagai sebuah upaya untuk memikirkan dan

membangun sebuah gambaran tentang gereja atau jemaat secara teologi-

sistematis, berdasarkan Alkitab. Dalam Alkitab, kita akan menemukan bentuk

atau model tentang eklesiologi yang tidak bersifat tunggal, melainkan bermacam-

macam bentuk atau model. Dalam hal ini, model atau gambaran menurut

Luzbetak38

: merupakan sistem konseptual-simbolik untuk memahami sekaligus

mengungkapkan realitas menyeluruh maupun sebagian. Adapun ciri-ciri model

35

Josef P. Widyaatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja, Yogyakarta, Kanisius, 2009, pp 52, 53 36

J.B. Banawiratma, Hidup Menggereja yang Terbuka, dalam Hidup Menggereja Kontekstual, J.B. Banawiratma (ed), Yogyakarta, Kanisius, 2000, pp 186-189 37

I.L. Madya Utama, SJ, Gereja Partisipatif, Seri Pastoral 422, Pusat Pastoral Yogyakarta, 2010 p 46 38

Lous J. Luzbetak, SVD, The Church and Cultures, New York, Orbis Book, 1993, cet-5, p 136

©UKDW

11

atau gambaran yang baik adalah a.Berdayaguna, yaitu dapat memberikan

informasi yang jelas berdasarkan data yang ada, dan mampu memberikan panduan

untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang ada, b. Terbuka, tidak bersifat

final dan mengakui keterbatasan yang ada, namun tertantang untuk terus

berkembang dalam mengungkapkan dan menafsirkan kebenaran. c. Relevan, tidak

hanya sesuai dengan konteks yang ada, namun harus pula sesuai dengan

identitasnya secara konsisten. d. Berdampak, mendorong dan berkontribusi dalam

peningkatan kapasitas untuk dapat memahami gambaran atas model yang ada.

Dengan demikian, model eklesiologi yang dibutuhkan oleh gereja dalam

keterlibatan sosial di tengah masyarakat adalah eklesiologi yang berdayaguna,

terbuka, relevan, dan berdampak. Dengan kata lain, eklesiologi tersebut harus

bersifat fungsional.

Eklesiologi kontekstual adalah eklesiologi yang menempatkan gereja tidak

hanya sebagai penonton saja, terhadap persoalan dan pergumulan sosial yang ada,

yaitu kemiskinan dan ketidakadilan. Melainkan gereja harus bertindak secara

nyata dan melakukan upaya untuk mengatasi kemisikinan dan ketidakadilan yang

terjadi. Dalam hal ini, gereja harus memaksimalkan Peran sosialnya di tengah

masyarakat. Guna melakukan hal tersebut, bukanlah persoalan yang mudah bagi

gereja. Hal ini disebabkan, setiap gereja telah memiliki model eklesiologi,

sehingga tidak mudah untuk mengubah model eklesiologi yang telah digunakan.

Selain itu, perubahan model eklesiologi akan berdampak pada pengelolaan dan

penatalayanan yang telah dilakukan.

©UKDW

12

Menurut penulis, persoalannya bukan pada mau atau tidak mau untuk diubah,

sulit atau mudah perubahan tersebut dilakukan, dan seberapa besar dampak

perubahan yang akan terjadi. Namun persoalannya adalah apakah kehadiran

gereja telah siginifikan dan relevan dalam kehidupan masyarakat? Hal inilah yang

digugat oleh Eka Darmaputera, bahwa gereja-gereja di Indonesia mengalami

insignifikasi internal dan irelevansi eksternal. Gugatan tersebut seharusnya

menjadi pendorong bagi setiap gereja untuk melakukan intropeksi atas

penatalayanan yang dilakukan.

Gereja sebagai salah satu entitas dalam kehidupan masyarakat memiliki

tanggung jawab sosial, sehingga gereja perlu melaksanakan peran sosialnya.

Selain sebagai tanggung jawab sosial, keterlibatan sosial gereja dalam kehidupan

masyarakat juga merupakan tanggung jawab teologis. Hal ini didasarkan pada

pemahaman, bahwa kehadiran gereja di tengah dunia adalah untuk menghadirkan

damai sejahtera Allah. Dan pertanyaannya adalah sudahkah gereja memerankan

peran sosialnya secara maksimal dalam penatalayanannya di tengah masyarakat?

Selanjutnya dalam mengembangkan penatalayanannya, gereja menggunakan

model eklesiologi tertentu. Pertanyaannya adalah apakah model eklesiologi yang

dikembangkan telah berdayaguna, terbuka, relevan, dan berdampak, dalam

mewujudkan damai sejahtera Allah?

Kedua persoalan tersebut, akan menjadi fokus dalam penyusunan tesis yang

akan dilakukan. Menurut penulis, persoalan tersebut merupakan persoalan yang

aktual, karena tengah dihadapi oleh gereja-gereja di Indonesia, termasuk GKP.

Sebagai bagian dari GKP, penulis merasa perlu untuk mengetahui lebih dekat lagi,

©UKDW

13

apakah GKP telah melaksanakan peran sosialnya dengan maksimal. Untuk itu,

penulis akan melakukan sebuah penelitian, guna memperoleh data yang akurat.

Dengan demikian, pertanyaan tersebut diharapkan dapat terjawab dari data yang

diperoleh dalam penelitian tersebut. Penelitian yang dilakukan juga akan melihat

dasar dan motivasi apa dibalik tindakan yang diakukan.

Dalam memerankan peran sosial tersebut, dapat dipastikan GKP memiliki

latar belakang teologi dan model eklesiologi yang mendasarinya. Hal ini, juga

akan menjadi perhatian dalam penelitian yang dilakukan. Apakah keterlibatan

sosial yang dilakukan oleh GKP didasarkan pada tanggung jawab sosial, atau

tanggung jawab teologis, atau kedua-duanya? Dalam hal ini, penulis akan

mencoba untuk menggali dokumen-dokumen dan strategi pengembangan

pelayanan yang telah dilakukan oleh GKP. Diharapakan melalui penggalian data

tersebut, dapat ditemukan model eklesiologi yang mendasari GKP dalam

mengembangkan penatalayanan yang dilakukan. Apakah eklesiologi yang dimiliki

oleh GKP memberi perhatian yang cukup pada keterlibatan sosial gereja atau

tidak? Lalu bagaimana eklesiologi tersebut harus dikembangkan?

Penulis akan melakukan penelitian di GKP jemaat Tamiyang yang berada di

Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pemilihan tersebut berdasarkan pada

pertimbangan, bahwa kabupaten Indramayu merupakan daerah miskin. Menurut

data, pada tahun 2009 penduduk miskin terbesar di provinsi Jawa Barat adalah

kabupaten Cirebon, yaitu berjumlah 390.541 orang. Sementara untuk kabupaten

Indramayu, berada pada peringkat kedua dengan jumlah 319.630 orang (17,99%)

©UKDW

14

dari 1,7 juta penduduk yang ada.39

Kondisi kemisikinan di kabupaten Indramayu

yang mencapai 17,99% berada diatas rata-rata kemiskinan yang ada di indonesia,

yaitu 13,33%.

Selain itu, warga jemaat GKP Tamiyang juga ada dalam kemiskinan. Hal itu

terlihat dari rendahnya pendidikan mereka, yang mencapai 35% dari 259 warga

jemaat. Kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh tani yang berpenghasilan Rp.

50.000,- per hari dan jumlah mereka mencapai 80,23% (69 KK dari 86 KK yang

ada). Sebagai buruh tani, mereka tidak dapat bekerja sepanjang hari dalam satu

tahun. Hal itu disebabkan, karena sawah yang digarap adalah sawah tadah hujan

dan tenaga mereka tidak dibutuhkan dalam seluruh proses produksi. Kesempatan

kerja pun semakin menurun, jika pada saat panen tengkulak menggunakan “sistim

tebas”40

. Selain itu, tidak banyak jenis pekerjaan yang dapat dilakukan, selain

pekerjaan informal. Hal itu disebabkan, karena rendahnya pendidikan dan

lemahnya ketrampilan yang dimiliki.

Yang lebih ironisnya GKP jemaat Tamiyang merupakan jemaat tua yang pada

tahun 2012 genap berusia 100 tahun. Cikal bakal GKP jemaat Tamiyang berasal

dari orang-orang kristen yang ada di Jemaat Junti Kebon. Mereka adalah orang-

orang miskin yang kemudian menjadi kristen. Keputusan mereka untuk menjadi

kristen mendapat tantangan yang luar biasa dari masyarakat, bahkan mereka

sampai dikucilkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pihak zendeling

39

http://www.tempo.co/read/news/2011/04/13/090327294/ diakses pada tanggal 16 Jan 2012 40

Sistem tebas merupakan bagian dari sistem jual-beli dalam perdagangan padi. Petani sebagai pemilik padi akan menjual padi yang ada di sawah kepada pembeli. Transaksi yang dilakukan penuh dengan spekulasi, karena hasil padi yang akan dipanen belum diketahui dengan pasti. Setelah diperoleh kesepakatan harga, maka pembeli akan memanen padi tersebut. Kebanyakan buruh tani yang dipekerjakan, bukan berasal dari daerah setempat.

©UKDW

15

memindahkan mereka ke tempat yang baru, yaitu desa Rehoboth. Pembentukan

komunitas kristen yang baru tersebut diharapkan dapat mengatasi kemiskinan.

Namun setelah 100 tahun komunitas kristen tersebut terbentuk, kemiskinan belum

juga beranjak dari kehidupan mereka.

Kondisi sosial-ekonomi warga jemaat yang demikian, akan sangat

mempengaruhi penatalayanan yang dilakukan oleh Majelis Jemaat GKP

Tamiyang. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan jemaat dalam memberikan

dukungan kesejahteraan bagi pendeta jemaat yang melayani. Untuk itu, GKP

jemaat Tamiyang masih harus disubsidi oleh Majelis Sinode GKP untuk

mendukung kesejahteraan pendeta jemaat yang melayani. Dalam lingkup sinode

GKP, apa yang dialami oleh GKP jemaat Tamiyang juga dialami oleh beberapa

jemaat GKP lainnya, seperti GKP jemaat Kalaksanaan Palalangon, Sindang Jaya,

Cigugur, Junti Kebon dan pos kebaktian Teluk Lada. Dengan anggaran yang

minim tersebut, maka juga akan berdampak pada jenis dan bentuk pelayanan yang

dilakukan oleh Majelis Jemaat GKP Tamiyang.

C. Pertanyaan Tesis

Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan pertanyaan adalah sbb:

1. Apakah GKP Jemaat Tamiyang menjalankan (menghayati) peran sosialnya

dalam masyarakat? Mengapa GKP jemaat Tamiyang memerankan hal

tersebut?

2. Apakah eklesiologi GKP memberikan perhatian pada peran sosial jemaat?

Bagaimana seharusnya hal ini diperkembangkan?

©UKDW

16

D. Judul Tesis

Berdasarkan uraian tersebut, maka tesis ini diberi judul:

PEMBERDAYAAN PERAN SOSIAL JEMAAT GEREJA KRISTEN

PASUNDAN TAMIYANG DALAM MASYARAKAT

E. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulis tesis ini adalah

1. Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pemikiran

bagi jemaat-jemaat GKP, khususnya di GKP jemaat Tamiyang dalam

mengupayakan pengembangan atau pembangunan jemaat yang

transformatif, melalui pemberdayaan peran sosial jemaat dalam

masyarakat. Dengan harapan, keterlibatan sosial gereja dapat dilaksanakan

2. Tema tentang Teologi Praktis dalam menjawab persoalan dan upaya

pengembangan jemaat sudah banyak dilakukan, namun dalam konteks

jemaat-jemaat GKP sepengetahuan penulis belum ada. Ada harapan tesis

ini dapat memperkaya wacana yang ada dan selanjutnya dapat menjadi

referensi bagi pengembangan atau pembangunan jemaat di GKP.

F. Hipotesa

1. Penulis menduga GKP jemaat Tamiyang telah melakukan peran sosialnya

dalam kehidupan di tengah masyarakat, namun masih harus ditingkatkan

baik kuantitas dan kualitasnya

2. Menurut penulis, pelaksanaan peran sosial warga jemaat GKP Tamiyang

berkaitan dengan pemahaman teologi yang dimiliki

©UKDW

17

3. Menurut pandangan penulis, GKP telah memiliki konsep eklesiologi yang

memberikan perhatian pada peran sosial bagi jemaat, namun dalam

mengimplementasi terdapat tantangan dan hambatan yang tidak mudah

4. Menurut penulis, eklesiologi seharusnya bersifat fungsional, sehingga

eklesiologi dapat mendukung pemberdayaan peran sosial jemaat dalam

masyarakat

G. Teori Peran Sosial

Menurut Sipiron, “social function refers to the way individuals or collectivies

(families, associations, communities, etc) behave in order to carry out their life

task and meet their needs.”41

Hal senada juga diungkapkan oleh Baker, Dubois

dan Miley bahwa peran sosial berkaitan dengan pemenuhan tanggungjawab

seseorang terhadap masyarakat secara umum, terhadap lingkungan terdekat dan

terhadap dirinya sendiri. Tanggungjawab tersebut meliputi pemenuhan kebutuhan

dasar dirinya, pemenuhan kebutuhan dasar anggota keluarga yang menjadi

tanggungannya, dan pemberian kontribusi positif terhadap masyarakat.42

Dalam hal ini, peran sosial merupakan sebuah konsep yang menunjuk pada

“kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam

menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan

nilai bahwa manusia adalah subyek dari segenap proses dan aktifitas

kehidupannya. Selain itu, bahwa manusia memiliki kemampuan dan potensi yang

dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; bahwa manusia memiliki dan/atau

41

Bambang Sugeng, Pengembangan Kapasitas dan Keberfungsian Sosial, dalam buku Pemberdayaan,

Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat, Adi Fahrudin, PhD (ed), Humaniora, Bandung p 156 42

Edi Suharto, Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial..... p 20-22

©UKDW

18

dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber

yang ada di sekitar dirinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peran sosial merupakan sebuah alat

untuk dapat melihat keberadaan seseorang dalam konteks sosialnya. Hal tersebut

dapat dilihat dalam beberapa hal, yaitu:43

a). Kemampuan melaksanakan peran

sosial, orang hidup dengan memiliki keluarga, kelompok, komunitas dan

masyarakat; b). Tuntutan dan Harapan, yang dimaksud dalam kategori ini adalah

bahwa harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Setiap orang akan memiliki

harapan untuk hidup layak tetapi jika kenyataan tidak sesuai maka akan

mengakibatkan frustasi, depresi, penyimpangan perilaku, kriminal dan patologi

sosial; c). Tingkah Laku, dalam hal ini berkaitan dengan peranan yang positif dan

negatif. Jika seseorang bersikap positif sesuai dengan tuntutan masyarakat

sekeliling maka orang tersebut akan menjadi panutan bagi masyarakat

disekitarnya tetapi jika bersikap negatif dianggap tidak sesuai dengan tuntutan

masyarakat sekitar maka orang tersebut akan dicemooh tetapi sikap dipengaruhi

oleh faktor keluarga dan lingkungan sosialnya. Distorsi perilaku ini akan

menimbulkan kemiskinan kebudayaan sebab bebudayaan sangat berkaitan dengan

nilai-nilai hidup. d). Situasional, situasi sosial akan memperngaruhi tingkah laku

manusia jadi orang miskin akan mudah melakukan tindakan-tindakan radikal jika

situasi sosial mereka tidak memberikan rasa aman bagi mereka.

43 http://tkskponorogo.blogspot.com/2010/03/kemiskinan-dan-keberfungsian-sosial.html diakses tgl

12/7/2012

©UKDW

19

Mengacu pada pendapat DuBois dan Milley, seperti dikutip oleh Edi

Suharto44

, bahwa peran sosial berhubungan dengan pemenuhan tanggungjawab

seseorang terhadap masyarakat secara umum, termasuk memenuhi kebutuhan

dasar mereka, yaitu: kebutuhan fisik (pangan, sandang, papan), kebutuhan

personal (pendidikan, kesehatan, agama, nilai/norma), kebutuhan emosional

(kepedulian dan kepekaan, relasi dan persahabatan) dan konsep diri yang

memadai (percaya diri, identitas dan penghargaan).

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peran sosial dapat

dipandang dari beberapa segi, yaitu:45

a) Peran sosial dipandang sebagai

kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dalam hal ini indikator yang dapat

ditunjukkan adalah bagaimana kemampuan atau kapasitas yang ada dapat

memenuhi kebutuhan ekonomi, kemampuan menjangkau pendidikan dan

perlindungan dasar; b) Peran sosial dipandang sebagai kemampuan melaksanakan

peranan sosial, yaitu kemampuan atau kapasitas dalam membangun relasi, dan

keterlibatannya pada kegiatan kemasyarakatan; c) Peran Sosial dipandang sebagai

kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan permasalahan sosial yang

dihadapi. Ada tiga cara atau metode yang dapat digunakan dalam mengatasi

guncangan dan tekanan tersebut, yaitu strategi aktif, pasif dan jaringan. Startegi

aktif merupakan kemampuan untuk dapat mengoptimalkan seluruh potensi

keluarga dalam mengatasi goncangan dan tekanan yang ada. Strategi pasif,

merupakan upaya menghadapi goncangan dan tekanan tersebut dengan cara

44

Edi Suharto, PhD (eds), Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Bandung, STKS Bandung Press, 2004, pp 20, 21 45

Bambang Sugeng, Pengembangan Kapasitas dan Fungsi Sosial, dalam buku Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat, Adi Fahrudin, PhD (ed), Bandung, Humaniora, tanpa tahun, p 156

©UKDW

20

mengontrol diri. Strategi jaraingan adalah menyelesaikan persoalan dengan

bantuan atau dukungan dari pihak lain.

H. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka dan

penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian pustaka

yang akan dilakukan adalah melakukan penggalian sumber-sumber pustaka

yang berkaiatan dengan tema tesis, termasuk dokumen-dokumen tentang

teologi sosial atau ajaran sosial gereja yang dimiliki oleh GKP, dan

bagaimana teologi sosial tersebut diimplemtasikan dalam kehidupan di GKP

Jemaat Tamiyang. Kemudian hal tersebut secara kritis digunakan dalam

upaya mencari dan menemukan solusi atas permasalahan yang ada.

1. Sumber Data

a. Sumber data primer, yang dimaksud sumber data primer adalah keluarga

miskin yang tinggal di kampung Rehoboth, desa Jayamulya, Kecamatan

Kroya, Kabupaten Indramayu

b. Sumber data sekunder. Guna mendukung dan melengkapi data primer,

maka perlu dilakukan penggalian data lain sebagai data sekunder, yaitu

berupa buku-buku yang sesuai dengan pokok pembahasan tesis.

©UKDW

21

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui:

a. Wawancara terhadap beberapa orang yang dianggap sebagai infoman

kunci (Key Informan Interview). Wawancara ini terdiri dari serangkaian

pertanyaan terbuka yang dilakukan terhadap orang-orang tertentu, yang

dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai topik atau

keadaan di wilayahnya.

b. Focused Group Discussion (FGD), yaitu melakukan diskusi dalam

sebuah group yang terdiri dari beberapa orang, dengan pokok bahasan

yang telah ditentukan sebelumnya. Peserta diskusi diharapkan orang-

orang yang mengerti tentang persoalan yang ada, agar diskusi dapat

berkembang.

I. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini akan dipaparkan latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan

masalah, tujuan penulisan, hipotesa, landasan teori dan metode penelitian serta

sistimatika penulisan tesis yang akan disusun.

BAB II. GKP Jemaat Tamiyang dalam Konteks

Pada bab II ini akan dipaparkan tentang konteks jemaat GKP Tamiyang, yaitu

tentang sejarah dan konteks kehadirannya. Kemudian data penelitian yang telah

dilakukan, juga akan dideskripsikan dalam bab ini. Dengan demikian, gambaran

©UKDW

22

konteks GKP Tamiyang dan dinamika dalam kehidupan sosial dapat terlihat lebih

jelas.

BAB III. GKP Jemaat Tamiyang dilihat dari Teori Peran Sosial

Pada bab ini akan dilakukan analisis sosial terhadap dinamika yang terjadi dalam

kehidupan jemaat GKP Tamiyang. Dari analisa sosial tersebut, diharapkan dapat

mengetahui lebih dekat keterlibatan sosial gereja dalam menghadapi dinamika

yang terjadi.

BAB IV. Eklesiologi dan Pelaksanaan Peran Sosial Jemaat GKP Tamiyang

Kemudian hasil analisis sosial tersebut akan dikaji secara teologis, yaitu

melakukan evaluasi terhadap keterlibatan sosial yang telah dilakukan oleh GKP

Tamiyang. Demikian juga evaluasi akan dilakukan terhadap eklesiologi GKP.

Hasil evaluasi tersebut, diharapkan dapat menjadi rekomendasi dalam

mengembangkan pelaksanaan peran sosial GKP jemaat Tamiyang di tengah

masyarakat, pedukuhan Rehoboth.

BAB V. Kesimpulan

Bab ini merupakan akhir dari tesis yang ditulis. Pada bab ini akan disampaikan

kesimpulan dan saran dari tesis yang ada.

©UKDW