FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI...
-
Upload
trinhkhanh -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI...
1
KONSEP AL-BIRR DALAM AL-QUR'AN SURAT
AL-BAQARAH AYAT 177 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 ( S1)
Dalam Ilmu Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
Oleh :
Disusun oleh : Ali Ihwan
NIM : 3101095
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2008
2
ABSTRAK
Ali Ihwan (NIM: 3101095). “Nilai-nilai Pendidikan keimanan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 177”. Skripsi. Semarang : Program strata I jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Walisongo 2008. Rumusan Masalah: 1) Bagaimana kandungan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 177. 2) Bagaimana nilai-nilai pendidikan keimanan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 177. Penelitian ini untuk mengetahui: 1) untuk mengetahui Kandungan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 177. 2) untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan keimanan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 177. Jenis penelitian ini adalah Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif degnan Fokus dan ruang lingkup penelitian kualitatif ini, yaitu tentang Nilai-nilai pendidikan Iman dalam QS Al-Baqarah ayat 177. Metode Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan library research, yaitu suatu riset kepustakaan, sedangkan metode pembahasan menggunakan 1) Metode Tahlily (analitis) yaitu suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam tafsir ini, 2) Metode Komparasi yaitu membandingkan pendapat para mufassir terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi landasan dan memiliki persamaan atau kemiripan redaksi. 3) Metode Kontekstual yaitu Metode keterhubungan antara yang sentral dan yang perifier, studi secara kontekstual adalah mendudukan nash al-Qur'an dan hadits sebagai sentral, dan terapan masa lampau, kini dan mendatang sebagai perifiernya. Yang sentral adalah studi tentang ayat-ayat Qur'aniyah, dan yang perifier adalah studi tentang ayat-ayat Kauniyah (bukti-bukti dalam kehidupan manusia dan alam). Sedangkan metode analisis yang dipakai adalah metode tafsir maudhu’i yaitu jalan yang menghimpun seluruh dan sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan yang lainnya. Sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al Qur’an, maksudnya, ayat-ayat dipandang memiliki keterkaitan dengan topik yang akan dibahas dikumpulkan terlebih dahulu, selanjutnya ayat-ayat tersebut disusun sebagai rupa sehingga dihasilkan kesatuan pandangan sesuai dengan topiknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Surat al-Baqarah ayat 177 ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bidang aspek sebagaimana yang sudah dibahas di atas diantaranya: aspek iman dan amal shaleh, yang kemudian dapat dijabarkan menjadi aspek aqidah, ibadah, akhlak, sosial bahkan aspek sosial politik. kendungan ayat ini menjadi tiga kelompok besar, yaitu: aspek keimanan meliputi beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, dengan meyakinan bahwa dia yang
3
memberi manfaat dan menimpakan mudharat kepada seseorang. Beriman kepada Hari Akhir yaitu hari pembalasan dan perhitungan segala isi, hari kesenangan atau kecelakaan abadi. Beriman kepada Malaikat yang masing-masing memiliki tugas dari Allah. Beriman kepada Nabi, tanpa membedakan diantara mereka. Beriman kepada kitab-kitab dengan meyakini semuanya, aspek amal perbuatan (ibadah) Yang meliputi mendirikan shalat sebaik mungkin dengan memperhatikan segala syarat dan rukunnya. Menunaikan zakat sebagai perintah membersihkan hartanya kepada yang berhak menerimannya. Memberikan harta yang dicintainya, maksudnya memberikan harta yang ia cintai dan memberikan harta karena cinta kepada Allah dan terakhir Aspek Akhlak meliputi aspek amanah dan sabar. 2) Nilai-nilai pendidikan iman yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 177 adalah bahwa nilai-nilai keimanan seseorang yang tersebut pertama kali dalam surat Al-Baqarah ayat 117 adalah merupakan tahap awal menuju tercapainya kualitas takwa seorang muslim. Dengan keimanan yang baik akan berimbas pada kualitas amal ibadah dan akhlakul karimah yang sesuai dengan ajaran Islam, enam rukun iman dapat memberikan kontribusi bagi terciptanya kondisi mental yang sehat. Mental sehat yang dimaksud bukan terbatas pada makna kesehatan mental yang bersifat psikologis, tetapi juga meliputi seluruh dimensi manusia baik fisik, psikis maupun spiritual.. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi para mahasiswa, para tenaga pengajar, para peneliti dan semua pihak yang membutuhkan.
4
MOTTO
ليس البر أن تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من آمن بالله كتاب والنبيني وآتى المال على حبه ذوي القربى واليوم الآخر والملائكة وال
واليتامى والمساكني وابن السبيل والسائلني وفي الرقاب وأقام الصلاة وآتى البأساء والضراء وحني الزكاة والموفون بعهدهم إذا عاهدوا والصابرين في
)177: البقر ة (البأس أولئك الذين صدقوا وأولئك هم المتقون ”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) hanba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imanya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al Baqarah: 177) 1
2
1 Soenarjo, dkk., al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1989),
hlm. 43 2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro,
2003)
5
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut
pandangan masyarakat, dan kedua dari segi pandangan individu. Dari segi
pandangan masyarakat pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi
tua ke generasi muda agar hidup masyarakat berkelanjutan. Atau dengan kata
lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari
generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.
Sedang bila dilihat dari kaca mata individu pendidikan berarti pengembangan
potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Individu itu laksana lautan
dalam yang penuh mutiara dan bermacam-macam ikan, tetapi tidak nampak.
Ia masih berada di dasar laut. Ia perlu dipancing dan digali supaya menjadi
makanan dan perhiasan bagi manusia.1
Manusia yang diciptakan sempurna dalam kehidupannya selalu
dihadapkan pada berbagai permasalahan. Dan tiada manusia yang hidup di
dunia ini yang lepas dari permasalahan tersebut. Manusia yang
memperhatikan hidup secara sungguh-sungguh akan menemukan bahwa
dirinya berhadapan dengan masalah yang sangat asasi, yaitu tentang dirinya,
tentang alam dan tentang Tuhan.2
Dalam undang-undang RI No 20 Tahun 2003 pasal 3 di sebutkan
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa,
1Hasan Langgulung, Asas – asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al – Husna, 1992),
hlm. 3. 2Paryana Suryadipura, Alam Pikiran, Cet. IV, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 276.
2
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.3
Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang
ini adalah keringnya aspek rohani. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
yang didominasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme, ternyata membawa
manusia kepada kehidupan modern yang bermental sekularis. Mereka menjadi
terasingkan dari aspek spiritual yang merupakan kebutuhan rohaninya. Oleh
karena itu keadaan kehidupan manusia modern tersebut,
Untuk itu perlu di tanamkan keimanan kepada seseorang upaya mereka
dapat menjalani kehidupan ini dengan baik, terutama bagi anak yang sedang
dalam proses pembelajaran perlu sekali di tanamkan nilai-nilai ketauhidan
agar mereka tetap berjalan dan menghadapi kehidupan ini sesuai dengan
tuntutan agama
Iman adalah prinsip dasar agama Islam yang tidak boleh dicampur
dengan keraguan. Iman merupakan landasan bagi pelaksanaan perbuatan
manusia yang baik. Perbuatan yang didasari oleh iman dan dijiwai oleh
syari’at Islam akan menimbulkan perbuatan yang terarah, terencana dan
terkendali, sehingga terjaga dari perbuatan yang merugikan dirinya sendiri
maupun orang lain. Firman Allah Swt. dalam surat As-Shaf ayat 2-3.
كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا .يا أيها الذين آمنوا لم تقولون ما لا تفعلون )3- 2: الصف (تفعلون
“Hai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”4
Ada beberapa hal yang dilakukan untuk membuktikan keimanan
seseorang:
1. Membenarkan yang ditetapkan dalam hati berdasarkan ilmu
3 Undang-undang RI No 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 2. 4 Soenarjo dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro,
2003), hlm. 928
3
2. Beramal di dalam hati dengan cara berdzikir dan bertafakur, terutama
memahami akan ayat-ayat kauniyah dan qur’aniyah yang mengandung
janji dan ancamannya.
3. Mengucapkan melalui lidah dengan cara banyak berdzikir, mengucapkan
kebenaran, berdakwah dijalan Allah memerintahkan kebaikan, melarang
kemungkaran belajar dan mengajar ilmu, berwasiat dengan kebenaran dan
sabar
4. Beramal melalui badan dengan cara melaksanakan rukun islam jihad
dijalan Allah melalui harta dan jiwa.5
Dari pengertian iman di atas, maka yang dimaksud pendidikan iman
ialah mengikat anak dengan dasar-dasar iman, membiasakannya sejak mulai
paham melaksanakan rukun Islam, dan mengajarinya sejak mumayyis dasar-
dasar syariat Islam yang agung.
Yang dimaksud dengan dasar-dasar iman ialah setiap hakikat
keimanan dan persoalan gaib yang secara mantap datang melalui berita yang
benar dan yang dimaksud dengan dasar-dasar iman ialah setiap hakikat
keimanan dan persoalannya gaib yang secara mantap datang melalui berita
yang benar dan yang dimaksud rukun Islam adalah setiap ibadah yang
berhubungan dengan sistem Rabbani dan ajaran-ajaran Islam.
Dengan demikian tugas dan kewajiban pendidik ialah
menumbuhbesarkan seorang anak sejak pertumbuhannya atas dasar konsep
pendidikan iman dan atas dasar-dasar ajaran Islam. Sehingga mereka terikat
oleh akidah dan ibadah Islam dan berkomunikasi dengan-Nya lewat sistem
dan peraturan Islam.6
Pada hakekatnya Unsur terpenting, yang membantu pertumbuhan
dan perkembangan kejiwaan manusia adalah iman yang direalisasikan
dalam bentuk ajaran agama. Maka dalam Islam, prinsip pokok yang
5 Abdullah Al-Wazaf, Ahmad Salamah, dkk, Pokok-pokok Keimanan, (Bandung: PT
Trigenda Karya, 1994), hlm.3 6 Abdullah Nasikhulwan, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, Terjemahan Khalilullah
Ahmas Masjkur Hakim, Judul Asli, Tarbiyatul-A’aafi’l Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996), hlm. 134.
4
menjadi sumbu kehidupan manusia adalah iman, karena iman itu yang
menjadi pengendali sikap, ucapan, tindakan dan perbuatan.7
Pembentukan kepribadian berkaitan erat dengan pembinaan iman.8
Betapapun kuat dan sehatnya tubuh manusia, disertai dengan akal dan
ilmu pengetahuan serta teknologi yang membawa perubahan hidup, namun
manusia tidak pernah puas, bahkan sulit merasakan kebahagiaan bila dimensi
iman tidak tumbuh dan berkembang di dalam kepribadiannya.
Tidak diragukan lagi bahwa Islam dan kitab sucinya al-Qur'an
di dalamnya terdapat pengajaran tentang memelihara nilai-nilai
keutamaan. Keutamaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, bukan
juga karena warna kulit, kecantikan, harta, pangkat, derajat, jenis profesi dan
kasta sosial atau ekonominya. Akan tetapi semata-mata karena iman,
taqwa, akhlak, ketinggian ilmu dan akalnya, juga karena kesediaan untuk
menimba ilmu pengetahuan yang beragam.9
Ayat-ayat yang berisi perintah untuk bertaqwa kepada Allah SWT
jumlahnya cukup banyak. Hal ini menunjukkan bahwa taqwa merupakan
unsur ajaran Islam yang paling asasi dan fundamental. Di antara firman Allah
yang berkenaan dengan taqwa ini adalah Surat al-Baqarah ayat 3 - 4 yang
berbunyi:
والذين يؤمنون بما .الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون )4- 3: البقرة . (أنزل إليك وما أنزل من قبلك وبالآخرة هم يوقنون
“Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab dalam (al-Qur'an) yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”. (QS. Al-Baqarah: 3-4). 10
7 Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), hlm. 11 8 Ibid, hlm 65 9 Oemar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, Falsafatul Tarbiyah Al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), hlm. 107. 10 Soenarjo, op. cit, hlm. 5
5
Dalam ayat yang lain al-Qur'an menjelaskan lebih lanjut ciri-ciri orang
yang bertaqwa, yaitu:
فقون في السني الذين اللهاس ون النع افنيالعظ ويالغ الكاظمنياء ورالضاء ور سننيحالم حبوا .يفرغتفاس وا اللهذكر مهفسوا أنظلم ة أولوا فاحشإذا فع الذينو
: البقرة . ( الله ولم يصروا على ما فعلوا وهم يعلمون لذنوبهم ومن يغفر الذنوب إلا134 -135(
“Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali Imran: 134-135). 11
Berdasarkan kedua Surat di atas, tampaklah bahwa ketaqwaan itu
merupakan keseluruhan sikap yang terdiri dari aspek keimanan yaitu beriman
kepada yang ghaib, kitab-kitab Allah dan hari akhirat. Aspek ritual, yaitu
shalat. Aspek sosial yaitu zakat dan infaq. Aspek emosional yaitu menahan
amarah dan memberi maaf, dan adanya sikap sadar akan dosa. Dengan
demikian taqwa merupakan akumulasi dari hubungan dengan Allah, sesama
manusia dan hubungan dengan diri sendiri. Dalam kerangka ini, fungsi iman
dan ketaqwaan perlu ditumbuhkan sejak kecil yang dimulai dari
pendidikan dalam keluarga, karena keluarga merupakan pendidikan pertama
bagi seorang anak dimana ia berinteraksi secara timbal balik antara orang
tua dan anak, yang nantinya diharapkan mampu berinteraksi dengan
orang lain dan hubungannya dengan Tuhan. Dengan demikian anak akan
menemukan unsur-unsur dan ciri-ciri dasar kepribadiannya dalam dirinya
(akhlak, nilai-nilai, kebiasaan dan emosi).12
11 Ibid, hlm. 165 12 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986), hlm. 348.
6
Pendidikan Islam merupakan suatu sarana dalam menanamkan nilai-
nilai keimanan kepada manusia. Kemudian dalam membentuk iman
seharusnya mulai ditanamkan sejak dalam kandungan sejalan dengan
pertumbuhan kepribadian, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap
kesehatan jiwa si janin di kemudian hari.13 Di samping itu pendidikan Islam
sebagai suatu aktivitas / usaha pendidik terhadap anak didik harus diarahkan
kepada terbentuknya kepribadian muslim yang beriman, bertaqwa
dan berakhlak mulia, yaitu dengan menanamkan nilai-nilai ketiga aspek
tersebut dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai suatu aktivitas atau kegiatan yang terencana, pendidikan Islam
memiliki kejelasan tujuan yang ingin dicapai. Demikian pentingnya tujuan
tersebut tidak mengherankan jika dijumpai kajian yang sungguh-sungguh
di kalangan para ahli mengenai tujuan tersebut. Berbagai buku yang
mengkaji masalah pendidikan Islam senantiasa merumuskan tujuan baik
secara umum maupun secara khusus. Hal ini bisa dimengerti karena tujuan
pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Sebagaimana diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam tidak terlepas
dari tujuan yang bersumber pada wahyu Allah SWT yang mengandung
prinsip-prinsip pendidikan dan petunjuk bagi manusia agar beriman, bertaqwa
dan berakhlak mulia. Kemudian dengan adanya nilai-nilai ketiga aspek
tersebut akan dapat meningkatkan ketaatan beribadah, moralitas yang tinggi,
dan kepedulian sosial yang tinggi. Di samping itu juga dapat
membimbing masyarakat menuju kebaikan dan kesempurnaan lahir batin,
dunia dan akhirat.
Berdasarkan atas pemikiran di atas tersebut, maka penulis bermaksud
menganalisis lebih mendalam mengenai kandungan surat Al-Baqarah ayat 177
untuk menemukan konsep al-Qur’an tentang nilai-nilai pendidikan iman.
13 Zakiah Darajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV. Ruhana,
1995), hlm. 55.
7
B. Penegasan Istilah
Dengan judul skripsi Nilai-nilai pendidikan keimanan dalam surat Al-
Baqarah ayat 177, maka perlu ditegaskan penggunaan istilah kata-kata
tersebut sebagai berikut:
1. Nilai-nilai
Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan
benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang
menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang
dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.14 2. Pendidikan Keimanan
Pendidikan berasal dari kata dasar didik yang artinya memelihara
dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran dan perbuatan.15
Sedangkan Iman (bahasa Arab) adalah bentuk masdar dari kata
kerja (fi’il) ) إيمان-أمن يؤمن ( Dalam bahasa Indonesia kata iman biasanya
diartikan dengan kepercayaan atau keyakinan. Sidi Ghazalba berpendapat
bahwa kata iman lebih tepat diartikan ke dalam bahasa Indonesia
dengan keyakinan.16
Jadi pendidikan Keimanan ialah mengikat anak dengan dasar-dasar
iman, membiasakannya sejak mulai paham melaksanakan rukun Islam, dan
mengajarinya sejak mumayyis dasar-dasar syariat Islam yang agung.
3. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 177
Al-Qur'an adalah kalam (diktum) Allah SWT yang diturunkan
oleh-Nya dengan perantaraan malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah
Muhammad bin Abdullah dengan lafadz bahasa Arab dengan makna yang
benar, agar menjadi hujjah dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga
14 Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: (Pustaka Pelajar, 1996),
hlm 61 15WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai Pustaka, 1991),
hlm. 40. 16 Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. (Jakarta: Raja Grafika Persada, 2002), hlm. 41
8
sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman umat manusia sebagai
amal ibadah bila dibacanya.17
Jika diamati, dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah ayat 177 ini
memberi rincian tentang nilai-nilai ketaqwaan yang sebenarnya, antara
lain; tingkat keimanan yang tinggi, ketaatan beribadah, moralitas yang
tinggi, dan kepedulian sosial yang tinggi.
Dengan demikian dari penjelasan judul “Nilai-nilai Pendidikan
keimanan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 177” maksudnya adalah
mengkaji dengan seksama untuk memahami dan mengerti akan kandungan
Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 177 tentang nilai-nilai pendidikan keimanan.
C. Rumusan Masalah
Agar pembahasan yang terdapat dalam skripsi tidak meluas pada
masalah lain, maka permasalahan penulis merumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kandungan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 177?
2. Bagaimana nilai-nilai pendidikan keimanan dalam Al-Qur'an surat Al-
Baqarah ayat 177 ?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Kandungan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat
177
2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan keimanan dalam Al-Qur'an surat
Al-Baqarah ayat 177.
E. Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil temuan yang
membahas permasalahan yang sama dari seseorang baik dalam bentuk buku
atau kitab dan dalam bentuk tulisan yang lainnya, maka penulis akan
memaparkan beberapa buku dan skripsi yang sudah ada. Hasil temuan tersebut
akan penulis jadikan sebagai sandaran teori dan bandingan dalam mengupas
permasalahan tersebut sehingga diharapkan akan muncul penemuan baru.
17Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta Rajawali Press, 1976),
hlm. 22.
9
Pertama, kajian tentang "Beberapa Perspektif Al-Qur'an tentang
Pembentukan Insan Taqwa (Suatu Studi Analisis)" ditulis oleh Zaenal
Muharram, NIM 4195033, lulus tahun 2000, membahas hal-hal sebagai
berikut. Pertama, ciri-ciri insan taqwa yang meliputi pengertian taqwa, pokok
kepribadian manusia taqwa, ayat-ayat taqwa dan terjemahnya, dan ciri-ciri
insan taqwa. Kedua, perspektif al-Qur'an dalam pembentukan insan taqwa
yang meliputi pendekatan dalam pembentukan insan taqwa dan prinsip-
prinsip taqwa. Ketiga, aplikasi pembentukan insan taqwa dalam pendidikan .
Dalam skripsi mi lebih difokuskan pada pembentukan insan taqwa.18
Kedua, ditulis oleh Fatihatun Ni'mah Hasan, NIM 3198125, lulusan
tahun 2002, skripsi yang berjudul "Kajian tentang Nilai-nilai Keimanan dalam
Surat Al-Mukminun Ayat 1-5 dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam" ini
menjelaskan tentang mengetahui nilai-nilai keimanan, gambaran umum
tentang pendidikan Islam, dan implikasi nilai-nilai keimanan dalam Surat al-
Mukminun ayat 1-5 terhadap pendidikan Islam yang meliputi pembinaan
nilai-nilai keimanan dalam pendidikan Islam, dan implikasi nilai-nilai
keimanan Surat al-Mukminun ayat 1-5 dalam pendidikan Islam di lingkungan
keluarga. Skripsi ini menitikberatkan tentang implikasi nilai-nilai taqwa pada
anak terhadap kehidupan sehari-hari.19
Ketiga, skripsi yang berjudul "Aktualisasi Nilai-nilai Taqwa dalam
Pendidikan Islam (Analisis Terhadap Surat Al-Baqarah Ayat 2-5)", ditulis
oleh Moh. Nur Wahidin, NIM 3197023, lulusan tahun 2002, menjelaskan
tentang gambaran umum pendidikan Islam, mengetahui tentang nilai-nilai
taqwa dalam Surat al-Baqarah ayat 2-5, dan aktualisasi nilai-nilai taqwa dalam
pendidikan Islam yang meliputi pembinaan ketaqwaan dalam pendidikan
Islam dan penerapan nilai-nilai taqwa Surat al-Baqarah ayat 2-5 dalam
pendidikan Islam di lingkungan sekolah. Skripsi ini memfokuskan pada
18 Zaenal Muharram, "Beberapa Perspektif Al-Qur'an tentang Pembentukan Insan Taqwa
(Suatu Studi Analisis)", Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Strata Satu IAIN Walisongo Semarang, 2000).
19 Fatihatun Ni'mah Hasan, "Kajian tentang Nilai-nilai Keimanan dalam Surat Al-Mukminun Ayat 1-5 dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam", Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Strata Satu IAIN Walisongo Semarang, 2002).
10
penerapan nilai-nilai taqwa bagi peserta didik dalam aktifitas sehari-hari baik di
lingkungan sekolah, maupun di masyarakat.20
Abdul Fatah Jalal dalam kitabnya Minal Ushulit Tarbawiyyah Fil Islam
menjelaskan bahwa pada setiap pekerjaan atau perkataan yang dilakukan
manusia dapat menjadi ibadah. Dengan demikian, seluruh perkara manusia
adalah ibadah. Menurut ajaran islam ibadah itu merupakan tujuan hidup
manusia di bumi. Ibadah dalam arti ini patut dijadikan tujuan pendidikan,
sehingga ia dapat memperbaiki dirinya, mempersiapkan dirinya untuk
beramal, mengendalikan kehidupannya ke arah kebajikan, memperbaikinya
bersama orang lain.. Ini semua dilaksanakan dalam rangka taqwa kepada
Allah SWT, dan memohon ridha-Nya.21
Zakiah Daradjat dalam bukunya Pendidikan Islam dalam Keluarga dan
Sekolah menjelaskan tentang prinsip-prinsip penting dalam pendidikan yang
memiliki kesamaan alur dengan Surat al-Baqarah ayat 177 ini, yaitu
pendidikan iman, akhlak dan sosial. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan dan
tidak dapat dipisahkan. Aspek tersebut dapat dijelaskan bahwa keimanan yang
diajarkan agama Islam sangat penting artinya bagi kesehatan mental dan
kebahagiaan hidup. Karena keimanan itu memupuk dan mengembangkan
fungsi-fungsi jiwa dan memelihara keseimbangannya serta menjamin
ketentraman batin. Kemudian keimanan yang dipegang tidak cukup sebagai
hafalan saja, akan tetapi perlu diamalkan dan diwujudkan dalam bentuk amal
saleh, yaitu aspek akhlak yang memiliki peran dan fungsi sebagai pengontrol
dari sifat-sifat yang buruk dan jahat. Dan aspek sosial-kemasyarakatan, yaitu
untuk membentuk manusia muslim yang bertumbuh secara sosial dan
menjadikan hamba yang saleh dengan menanamkan keutamaan sosial di
dalam dirinya dan melatihnya dalam pergaulan kemasyarakatan.22
20 Muh. Nur Wahidin, "Aktualisasi Nilai-nilai Taqwa dalam Pendidikan Islam (Analisis
Terhadap Surat Al-Baqarah Ayat 2-5)", Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Strata Satu LAIN Walisongo Semarang, 2002).
21 Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, Terj. Herry Noer Ali dari judul asal, Minal Ushulit Tarbawiyyah Fil Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), him. 139.
22 Zakiah Daradjat, op.cit., hlm.35
11
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif.
1. Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian
Fokus dan ruang lingkup penelitian kualitatif ini, yaitu tentang
Nilai-nilai pendidikan Iman dalam QS Al-Baqarah ayat 177
كن البر من آمن بالله ليس البر أن تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولواليوم الآخر والملائكة والكتاب والنبيني وآتى المال على حبه ذوي القربى
وآتى واليتامى والمساكني وابن السبيل والسائلني وفي الرقاب وأقام الصلاة حنياء ورالضاء وأسفي الب ابرينالصوا وداهإذا ع دهمهوفون بعالمكاة والز
)177: البقرة ( البأس أولئك الذين صدقوا وأولئك هم المتقون
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah kebaktian orang beriman kepada Allah, hari kemudian , malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang di cintainya kepada kerabatnya, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan)hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menempati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 177) 23
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan library research, yaitu suatu riset kepustakaan,24 atau
penelitian kepustakaan murni. Dalam hal ini penulis melakukan pengkajian
terhadap pokok permasalahan tentang nilai-nilai taqwa dalam Surat al-Baqarah
ayat 177 beserta tafsirnya sebagai sumber utama, serta kitab-kitab atau buku-
buku yang menunjang sebagai sumber tambahannya.
3. Metode Pembahasan
a. Metode Tahlily (analitis)
23 Soenarjo op., hlm 43 24 Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi UGM, 1990), him. 9
12
Metode tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam tafsir ini, menurut al-Farmawi adalah sebagai berikut: 1) Memperhatikan urutan-urutan ayat dalam mushaf 2) Menafsirkan kosa kata dari ayat-ayat yang hendak ditafsirkan 3) Menjelaskan asbab al-nuzul ayat 4) Menjelaskan munasabah ayat tersebut 5) Menjelaskan seluruh aspek dari semua penafsiran dan penjelasan
itu, dan kemudian memberikan penjelasan final mengenai isi dan
maksud ayat tersebut.25
b. Metode Komparasi
Metode komparasi yaitu membandingkan pendapat para
mufassir terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi landasan dan
memiliki persamaan atau kemiripan redaksi.26
c. Metode Kontekstual
Metode kontekstual adalah keterhubungan antara yang sentral dan
yang purifier, studi secara kontekstual adalah mendudukkan nash al-
Qur'an dan hadits sebagai sentral, dan terapan masa lampau, kini dan
mendatang sebagai perifiernya. Yang sentral adalah studi tentang
ayat-ayat Qur'aniyah, dan yang purifier adalah studi tentang ayat-ayat
Kauniyah (bukti-bukti dalam kehidupan manusia dan alam).27
4. Metode Analisa Data
Adapun metode dalam menganalisis pokok bahasan dengan
menggunakan tafsir maudhu’iy tematik. Sebagaimana dinyatakan oleh
Quraish Shihab bahwa metode tafsir maudhu’iy yaitu jalan yang
menghimpun seluruh dan sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang
berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan
25 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1989), him. 96. 26 Ibid, hlm. 118. 27 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1996), Cet.
VH, hlm. 178.
13
yang lainnnya. Sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh
tentang masalah tersebut menurut pandangan Al Qur’an.28
Maksudnya, ayat-ayat dipandang memiliki keterkaitan dengan topik
yang akan dibahas dikumpulkan terlebih dahulu, selanjutnya ayat-ayat
tersebut disusun sebagai rupa sehingga dihasilkan kesatuan pandangan
sesuai dengan topiknya.
28Quraish Shihab, op. cit, hlm. 144.
14
BAB II
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEIMANAN
A. NILAI
1. Pengertian Nilai
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat: aksiologi, cabang
filsafat yang mempelajarinya, muncul yang pertama kalinya pada paroh
kedua abad ke-19.1 Nilai adalah ukuran untuk menentukan makna
keutamaan “ harga” atau keabsaan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa
gagasan atau tindakan. Nilai menentukan bentuk, alat atau tindakan.2
Menurut Langeveld, dalam bahasa sehari-hari kata kita “barang
sesuatu mempunyai nilai”. Barang sesuatu yang dimaksudkan di sini dapat
disebut barang nilai. Dengan demikian, mempunyai nilai itu adalah soal
penghargaan, maka nilai adalah dihargai.3 Sejalan dengan itu, Juhaya
S.Praja dengan singkat mengatakan, nilai artinya harga. Sesuatu
mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya. Pada
umumnya orang mengatakan bahwa nilai sesuatu benda melekat dan
bukan di luar benda. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa nilai ada di
luar benda.4
Nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem
kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti
(yakni manusia yang meyakini). Sedangkan pengertian nilai menurut J.R.
Fraenkel sebagaimana dikutif Chabib Toha5 adalah a value is an idea a
concept about what some one thinks is important in life.
1 Riseri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, terj. Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 1. 2Jalaludin Rahmad, Membuka Tirai Kegaiban Renungan-Renungan Sufistik, (Bandung:
Mizan, 1997), hlm 99. 3 Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
hlm. 26 4 Juhaya S. Praja, Aliran–aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm.
59. 5 Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 60
15
Pengertian ini menunjukkan bahwa hubungan antara subjek dengan
objek memiliki arti penting dalam kehidupan objek. Sebagai contoh
segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di pedalaman dari
pada segenggam emas. Sebab garam lebih berarti untuk mempertahankan
kehidupan atau mati, sedangkan emas semata-mata untuk perhiasan.
Sedangkan bagi masyarakat kota, sekarung garam tidak berarti
dibandingkan dengan segenggam emas, sebab emas lebih penting bagi
orang kota.
Sidi Gazalba sebagaimana dikutip Chabib Toha, mengartikan nilai
sebagai berikut:
Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.6
Pengertian tersebut menunjukkan adanya hubungan antar subjek
penilaian dengan objek, sehingga adanya perbedaan nilai antara garam
dengan emas. Tuhan itu tidak bernilai bila tidak ada subjek yang memberi
nilai, Tuhan menjadi berarti setelah ada makhluk yang membutuhkan.
Ketika Tuhan sendirian, maka ia hanya berarti bagi diri-Nya sendiri.
Garam menjadi berarti seolah ada manusia yang membutuhkan rasa asin.
Emas menjadi berarti setelah ada manusia yang mencari perhiasan.
2. Macam-macam Nilai
Nilai-nilai tidak semata-mata terletak kepada subjek pemberi nilai,
tetapi di dalam sesuatu tersebut mengandung hal yang bersifat esensial
yang menjadikan sesuatu itu bernilai. Tuhan mengandung semata sifat
kesempurnaan yang tiada taranya dari segenap makhluk apapun di jagat
raya ini; garam mengandung zat asin yang dibutuhkan manusia; dan emas
mengandung sesuatu yang tidak akan berkarat. Apabila unsur yang bersifat
esensial ini tidak ada, maka manusia juga tidak akan memberikan harga
terhadap sesuatu tersebut.
6 Ibid., hlm. 61.
16
Menurut Louis O. Kattsof nilai diartikan sebagai berikut: a. Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan, tetapi
kita dapat mengalami dan memahami secara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak semata-mata subjektif, melainkan ada tolok ukur yang pasti yang terletak pada esensi objek itu.
b. Nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada dalam kenyataan maupun pikiran dapat memperoleh nilai jika suatu ketika berhubungan dengan subjek-subjek yang memiliki kepentingan. Pengertian ini hampir sama dengan pengertian antara garam dan emas tersebut di atas.
c. Sesuai dengan pendapat Dewey, nilai adalah sebagai hasil dari pemberian nilai, nilai itu diciptakan oleh situasi kehidupan.
d. Nilai sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai sudah ada sejak semula, terdapat dalam setiap kenyataan namun tidak bereksistensi, nilai itu bersifat objektif dan tetap.7
Dari pengertian tersebut, menurut Chabib Toha, nilai merupakan
esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan
manusia. Esensi belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi
tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan.
Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat sesuai
dengan peningkatan daya tangkap dan pemaknaan manusia sendiri.
Hakekat kehidupan sosial kemasyarakatan adalah untuk
perdamaian, perdamaian hidup merupakan esensi kehidupan manusia.
Esensi itu tidak hilang walaupun kenyataannya banyak bangsa yang
berperang. Nilai perdamaian semakin tinggi selama manusia mampu
memberikan makna terhadap perdamaian, dan nilai perdamaian juga
berkembang sesuai dengan daya tangkap manusia tentang hakekat
perdamaian.
Nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan, yang menyebabkan terdapat bermacam-macam nilai, antara lain: a. Dilihat dari segi kebutuhan hidup manusia, nilai menurut Abraham
Maslaw dapat dikelompokkan menjadi: 1) Nilai biologis, 2) Nilai keamanan. 3) Nilai cinta kasih
7 Louis Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1986), hlm.333.
17
4) Nilai harga diri 5) Nilai jati diri.8
Kelima nilai tersebut berkembang sesuai dengan tuntutan
kebutuhan. Dari kebutuhan yang paling sederhana, yakni kebutuhan
akan tuntutan fisik biologis, keamanan, cinta kasih, harga diri dan yang
terakhir kebutuhan jati diri.
Apabila kebutuhan dikaitkan dengan tata-nilai, akan
menimbulkan penafsiran yang keliru. Apakah untuk menemukan jati
diri sebagai orang muslim dan mukmin yang baik itu baru dapat
terwujud setelah kebutuhan yang lebih rendah tercukupi lebih dahulu?
Misalnya makan cukup, tidak ada yang merongrong dalam berusaha,
dicintai dan dihormati kemudian orang itu baru dapat beriman dengan
baik, tentunya tidak. Nilai keimanan dan ketaqwaan tidak tergantung
pada kondisi ekonomi maupun sosial budaya, tidak terpengaruh oleh
dimensi ruang dan waktu.
b. Dilihat dari Kemampuan jiwa manusia untuk menangkap dan
mengembangkan, nilai dapat dibedakan menjadi dua yakni:
1) Nilai yang statik, seperti kognisi, emosi, dan psikomotor.
2) Nilai yang bersifat dinamis, seperti motivasi berprestasi, motivasi
berafiliasi, motivasi berkuasa. 9
c. Pendekatan proses budaya sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah Sigit, nilai dapat dikelompokkan dalam tujuh jenis yakni: 1) Nilai ilmu pengetahuan 2) Nilai ekonomi 3) Nilai keindahan 4) Nilai politik 5) Nilai keadilan 6) Nilai kekeluargaan dan 7) Nilai kejasmanian.10
8 Chabib Toha, op. cit., hlm, 62-63. 9 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990),
hlm.133 10 Ibid.
18
Pembagian nilai-nilai ini dari segi ruang lingkup hidup manusia
sudah memadai sebab mencakup hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, karena itu nilai ini juga mencakup nilai-nilai ilahiyah
(ke-Tuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan).
d. Pembagian nilai didasarkan atas sifat nilai itu dapat dibagi ke dalam
(1) nilai-nilai subjektif, (2) nilai-nilai objektif rasional, dan (3) nilai-
nilai objektif metafisik11 Nilai subjektif adalah nilai yang merupakan
reaksi subjek terhadap objek, hal ini sangat tergantung kepada masing-
masing pengalaman subjek tersebut. Nilai subjektif rasional (logis)
yakni nilai-nilai yang merupakan esensi dari objek secara logis yang
dapat diketahui melalui akal sehat. Seperti nilai kemerdekaan, setiap
orang memiliki hak untuk merdeka, nilai kesehatan, nilai keselamatan
badan dan jiwa, nilai perdamaian dan sebagainya. Sedangkan nilai
yang bersifat objektif metafisik yakni nilai-nilai yang ternyata mampu
menyusun kenyataan objektif, seperti nilai-nilai .
e. Nilai bila dilihat dari sumbernya terdapat (1) nilai ilahiyah (ubudiyah
dan muamalah), (2) nilai insaniyah. Nilai ilahiyah adalah nilai yang
bersumber dari (wahyu Allah), sedangkan nilai insaniyah adalah nilai
yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan oleh
manusia pula.
f. Dilihat dari segi ruang lingkup dan keberlakuannya nilai dapat dibagi
menjadi (1) nilai-nilai universal dan (2) nilai-nilai lokal.12 Tidak tentu
semua nilai-nilai itu universal, demikian pula ada nilai-nilai insaniyah
yang bersifat universal. Dari segi keberlakuan masanya dapat dibagi
menjadi (1) nilai-nilai abadi, (2) nilai pasang surut dan (3) nilai
temporal. 13
11 Louis Kattsof, op.cit, hlm. 331. 12 Noeng Muhadjir, op. cit., hlm. 34 13 Ibid.
19
g. Ditinjau dari segi hakekatnya nilai dapat dibagi menjadi (1) nilai
hakiki (root values) dan (2) nilai instrumental.14 Nilai-nilai yang hakiki
itu bersifat universal dan abadi, sedangkan nilai-nilai instrumental
dapat bersifat lokal, pasang-surut, dan temporal.
B. PENDIDIKAN kEIMANAN
1. Pengertian Pendidikan Keimanan
Iman menurut bahasa berarti kepercayaan, keyakinan, ketetapan
hati atau keteguhan hati.15
Iman berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar amana-yu’minu-
imanan. Artinya beriman atau percaya. Percaya dalam bahasa Indonesia
artinya meyakini atau yakin bahwa sesuatu (yang dipercaya) itu, memang
benar atau nyata adanya.
Menurut Ibrahim keimanan ialah membenarkan secara sungguh-
sungguh segala sesuatu yang diketahui sebagai berita yang dibawa Nabi
Saw. Al-Qardhawi mengartikan istilah iman sebagai kepercayaan yang
meresap syak dan ragu serta memberi keyakinan bagi pandangan hidup,
tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.16
Ada yang menyamakan istilah iman dengan akidah, dan ada yang
membedakannya. Bagi yang membedakan, akidah hanyalah bagian dalam
(aspek hati) dari iman, sebab iman mencakup aspek dalam dan aspek
luar. Aspek dalam berupa keyakinan dan aspek luarnya berupa
pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal. Sumber akidah Islam adalah
al-Qur'an dan as-Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah
dalam al-Qur'an dan oleh Rasulullah dalam sunnahnya wajib diimani.17
Akidah Islam merupakan asas ajaran Islam. Ia menyangkut pokok-
pokok kepercayaan yang harus di imani oleh setiap muslim. Pokok-pokok
iman tersebut tercakup dalam rukun iman, yaitu:
14 Ibid. 15 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2000), hlm. 18. 16 Al-Qardhawi. Iman dan kehidupan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 3 17 Ilyas, Yunahar, Kuliah Akidah Islam. (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993), hlm. 4
20
a. Iman kepada Allah;
b. Iman kepada Malaikat;
c. Iman kepada Kitab-kitab suci/wahyu;
d. Iman kepada para Rasul;
e. Iman kepada akhirat; dan
f. Iman kepada takdir. 18
Rangkaian butir keimanan inilah baik secara legal formalistik
maupun (idealnya) secara filosofis yang mesti diupayakan dipakukan kuat-
kuat dalam jiwa setiap insan muslim, guna memperoleh rasa “aman”
dalam arti yang sesungguhnya. Dengan kata lain orang yang telah
dirasuki iman yang enam itu, seyogyanya secara optimis bersemi pula rasa
aman tentram dan optimis yang meluap-luap dalam dirinya. 19
Meski esensi iman itu tasdiq sebagimana tersebut diatas, namun
ternyata tidaklah cukup demikian, Iman menuntut lebih dari itu yaitu
pengucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati dan perilaku konkret
sebagai realisasi. Jadi Iman bisa dikatakan kesatuan dari tiga dimensi,
yakni pembenaran, pengucapan dan pengamalan. Ketiga unsur ini harus
berjalan serasi dan tidak boleh timpang antara satu dengan yang lainnya.
Apa yang dipercaya hendaknya secara nyata dibuktikan dengan ikrar lisan,
disesuaikan dengan perbuatan, bukan sebaliknya lain dimulut lain pula
di hati dan lain pula yang dilakukannya. Bila perbuatan tidak sesuai
dengan apa yang diucapkan, hal itu bukanlah perbuatan yang muncul dari
iman, karena iman seharusnya menampilkan hal-hal positif yang seirama
dengan detik hati dan ucapan lidah.
Sedangkan Pendidikan berasal dari kata “didik”. Dengan di beri
awalan “pen” dan akhirnya “kan” ia mengandung arti “ perbuatan, hal,
cara, dan sebagainya.”.
18 I.M, Thoyib dan Sugianto,. Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 42 19 Arsyad, Natsir, Seputar Rukun Islam Dan Rukun Iman, (Bandung: Al-Bayan,
1992), hlm.9
21
Dalam bahasa inggris dikenal dengan “education” yang berasal dari
bahasa latin “educare, educati”. Kata dalam bahasa inggris berarti proses
menghasilkan dan mengembangkan, mengacu kepada yang bersifat fisik
dan materiil.
Dalam Islam pada mulanya pendidikan di sebut dengan kata ta’dib.
Adapun kata ta’dib mengacu pada pengertian yang lebih tinggi dan
mencakup unsur – unsur pengetahuan (“ilm”), pengajaran (“ta’lim”), dan
pengasuhan yang baik (“tarbiyah”). Kata ta’dib untuk pengertian
pendidikan terus dipakai sepanjang masa semenjak zaman nabi sampai
masa kejayaan Islam , hingga semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan
manusia disebut “ta’dib”. Kemudian ketika para ulama’ menjurus kepada
bidang spesialisasi dalam ilmu pengetahuan, maka kata adab menyempit, ia
hanya dipakai untuk merujuk kepada kesusastraan dan etiket,
konsekuensinya “ta’dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari
peredaranya, dan tidak dikenal lagi, sehingga ketika para ahli didik Islam
bertemu dengan istilah “education” pada abad modern, mereka langsung
menterjemahkannya dengan “tarbiyah”. Dalam tarbiyah terdiri dari empat
unsur
Pertama : menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh
Kedua : mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-
macam
Ketiga : mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kepada
kebaikan dan kesempurnaan yang bermacam – macam
Keempat : proses ini dilakukan bertahap20
Sedangkan pengertian pendidikan yang dikemukakan tokoh – tokoh
pendidikan antara lain :
Prof. Dr. Hasan Lagulung
Dilihat dari kaca mata individu pendidikan adalah pengembangan
potensi – potensi yang terpendam21.
20Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj Drs.
Hery Noor Ali, (Bandung: CV, Diponegoro, 1992), hlm. 32.
22
Menurut Frederick Y. Mc. Donald dalam bukunya Educational
Psychology mengatakan: Education is a process or an activity which is
directed at producing desirable changes into the behavior of human beings.
Pendidikan adalah suatu proses atau aktifitas yang menunjukkan perubahan
yang layak pada tingkah laku manusia.22
Menurut Sholeh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Majid
pendidikan adalah:
دائما المعرفة وليست ,التلميذ فيحصلها المدرس يقدمها التى المعرفة فمحدود التعليم أما 23.وسلوكه فيحياته الفرد منها واستفاد فعال إستخدمت إذا قوة هي وإنما قوة
“Adapun pembelajaran itu terbatas pada pengetahuan dari seorang guru kepada murid. Pengetahuan itu yang tidak hanya terfokus pada pengetahuan normative saja namun pengetahuan yang memberi dampak pada sikap dan dapat membekali kehidupan dan akhlaknya”
Dari penjelasan diatas maka dapat peneliti ambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan pendidikan keimanan adalah mengikat anak dengan
dasar-dasar iman, membiasakannya sejak mulai paham melaksanakan
rukun Islam, dan mengajarinya sejak mumayyis dasar-dasar syariat Islam
yang agung. Jadi pendidikan keimanan banyak berhubungan dengan aspek
kejiwaan dan perasaan, nilai pembentukan yang diutamakan dalam
mengajarkan keimanan adalah keaktifan fungsi-fungsi jiwa. Anak diajarkan
supaya menjadi orang yang beriman. Hal ini sebagai dasar bagi
pengetahuan agamanya pada masa yang akan datang.
21Hasan Lagulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hlm. 3.
22Frederick Y. Mc. Donald, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication LTD, 1959), hlm. 4.
23 Sholeh Abdul Azis dan Abdul Azis Abdul Madjid, Al-Tarbiyah Waturuqu Al-Tadrisi, Juz.1., (Mesir: Darul Ma’arif, 1979), hlm. 61
23
2. Dasar Pendidikan Keimanan
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang pokok-pokok keimanan
seperti Allah SWT telah menjelaskan diantaranya dalam surat Al-
Baqarah ayat 3-4:
والذين . الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون : البقرة (يؤمنون بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك وبالآخرة هم يوقنون
3 -4( “Mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizqinya yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akherat.”
b. Al-Hadits
بينما حنن جلوس عند رسول اهللا صلى : عن عمر رضي اهللا عنه أيضاقال رجل شديد بياض الثياب شديد سوادااهللا عليه وسلم ذات يوم إذطلع علين
فر واليعرفه مناأحد حىت جلس إىل النيب صلى اهللا الشعر اليرى عليه أثر السبتيه ووضع كفيه على فخذيه وقال ياحممد عليه وسلم فأسند ركبتيه إىل رك
االسالم أن وسالماهللا عليه رسول اهللا صلى فقال. السالم ا عنأخربىنالزكاة قيم الصالة وتوتى اهللا وان حممدا رسول اهللا وتالإله إال تشهد أن
صدقت فعجبنا له :قال. ج البيت إن استطعت إليه سبيالوتصوم رمضان وحتان تؤمن باهللا ومألكته وكتبه : االميان قالربىن عنقال فأخ. يسأله ويصدقه
ورسله واليوم االخر وتؤمن بالقدر خريه وشره قال صدقت فاخربىن عن: قال. أن تعبداهللا كانك تراه فإن مل تكن تره فإنه يراك: قال . االحسان
االمة ربتها وأن ترى احلفاة العراة العالة أن تلد: قال. فاخربىن عن أمارا
24
ياعمر : ىلمث قال. الشاء يتطا ولون ىف البنيان مث انطلق فلبثت مليارعاءيل أتاكم يعلمكم فإنه جرب: قال.لت اهللا ورسوله أعلمأتدرى من السائل ؟ ق
)رواه مسلم(دينكم
Dari Umar ra berkata: Suatu ketika kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya, tidak melihat padanya tanda-tanda safar (bepergian) dan tidak satupun diantara kita mengenalnya. Kemudian d ia duduk di dekat Nabi saw, ia sandarkan lututnya pada lutut nabi, ia letakkan dua telapak tangannya pada paha Nabi seraya berkata: Hai Muhammad beritahu saya tentang Islam. Rasulullah menjawab: Islam adalah (hendaklah engkau) bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan Haji ke Baitullah jika mampu. Ia berkata: Engkau benar, Maka kami heran (karena) bertanya lantas membenarkannya. Kemudian ia berkata: beritahu saya tentang Iman. Rasulullah menjawab: (hendaklah engkau) beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari akhir serta beriman kepada Qadar baik dan buruk. Ia berkata: engkau benar … kemudian ia berkata: beritahu saya tentang ihsan. Rasul menjawab; (Hendaklah engkau) beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Allah melihat engkau … ia berkata: beritahu saya tentang sa’ah (hari kiamat). Rasulullah menjawab: orang yang ditanya tentang hal itu tidak lebih tahu dari orang-orang yang tanya … ia berkata: beritahu saya tentang tanda-tandanya, Rasulullah menjawab: Manakala hamba melahirkan tuannya dan ketika engkau melihat orang-orang papa, berbaju compang-camping dan miskin sebagai pengembala kambing bermegah-megahan bangunan . . . kemudian orang-orang yang tadi pergi dan aku diam sejenak, lantas Rasulullah bersabda: Hai Umar tahukah engkau siapa penanya (tadi) ? saya menjawab Allah dan rasulnya lebih tahu. Beliau bersabda: ia adalah Jibril, ia datang kepadamu untuk memberi pelajaran padamu tentang agamamu. (H.R. Muslim)24
3. Tujuan Pendidikan Keimanan
Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan keimanan
terlebih dahulu dijelaskan apa sebenarnya makna dari “tujuan” tersebut.
24 Imam Nawawi, Muhtashor Riyadussholihin, terj Abu Khodjijah Ibnu Abdurrahi, (Bandung: Irsyad Baitussalam, 2006), hlm. 29-30
25
secara etimologi tujuan adalah “ arah, maksud, atau haluan”. Dalam
bahasa Arab tujuan diistilahkan dengan “ghayat, ahdaf, atau muqoshid”.
Sementara dalam bahasa inggris di istilahkan dengan “goal, purpose,
obyektif, atau aim”. Secara terminologi tujuan adalah suatu yang
diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai.25
Suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan berarti apa-
apa. Ibarat seseorang yang bepergian tidak tentu arah. Pendidikan
merupakan usaha yang dilakukan secara sadar dan jelas memiliki tujuan.
Sehingga diharapkan dalam penerapannya ia tidak kehilangan arah dan
pijakan.
Dalam undang-undang RI No 20 tahun 2003 pasal 3 di sebutkan
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.26
Secara umum tujuan pendidikan ialah terjadinya perubahan tingkah
laku sikap, dan kepribadian peserta didik setelah mengalami proses
pendidikan dan pada akhirnya potensi dapat berkembang menuju manusia
dewasa, potensi disini ialah potensi fisik, emosi, sosial, moral,
pengetahuan, dan ketrampilan.
Sedangkan lebih spesifik lagi pendidikan keimanan tujuannya
bukanlah menghafal rukun iman dan mengaji yang wajib, yang mustahil
dan yang jaiz pada akal, melainkan untuk menimbulkan perasaan keimanan
25Arif Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,, 2002), hlm. 15.
26Undang-undang RI No 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm. 2.
26
kepada Allah dalam hati kanak-kanak, serta cinta kepadanya, sehingga ia
mempunyai iman yang teguh dan kepercayaan yang kokoh kepada Allah
dan mencintai-Nya lebih dari ibu-bapak dan guru. Sebab itu tujuan
pelajaran keimanan adalah sebagai berikut:
1. Supaya teguh keimanan kepada Allah, Rasul-Rasul, malaikat, hari
kemudian dan sebagainya.
2. Supaya keimanan itu berdasarkan kesadaran dan ilmu pengetahuan,
bukan taqlid buta semata-mata.
3. Supaya jangan mudah dirusakkan dan diragu-ragukan keimanan itu
oleh orang-orang yang tidak beriman.27
4. Unsur-unsur pendidikan keimanan
Unsur-unsur dalam pendidikan keimanan juga disebut sebagai
rukun Iman dan rukun Iman itu ada enam yaitu: Iman kepada Allah,
malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, hari kiamat
dan takdir baik buruk itu dari Allah.
a. Iman Kepada Allah
Yang dimaksud Iman kepada Allah SWT adalah membenarkan
adanya Allah SWT, dengan cara menyakini dan mengetahui bahwa
Allah SWT wajib adanya karena Zatnya sendiri (Wajib Al-wujud li
Dzathi), Tunggal dan Esa, Raja yang Maha kuasa, yang hidup dan
berdiri sendiri, yang Qodim dan Azali untuk selamanya. Dia Maha
Mengetahui dan Maha kuasa terhadap segala sesuatu, berbuat apa
yang Ia kehendaki, menentukan apa yang Ia inginkan, tiada sesuatupun
yang sama dengan-Nya, dan Dia Maha Mengetahui.28
Jadi Iman kepada Allah SWT adalah mempercayai adanya
Allah SWT beserta seluruh keAgungan Allah SWT dengan bukti-
27 Mahmud Yunus, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
1983), cet. 11, hlm. 23. 28 Habib Zain bin Ibrahim bin Sumarth, Hidayatuth Thalibin Fi Bayan Muhimmatid Din,
Terj. Afif Muhammad, Mengenal Mudah Rukun Islam, Rukun Iman, Rukun Ikhsan secara Terpadu, A. Bayan, 1998), hlm. 113.
27
bukti yang nyata kita lihat yaitu dengan diciptakannya dunia ini
beserta isinya.
b. Iman Kepada Para Malaikat
Iman kepada para malaikat adalah percaya bahwa malaikat itu
makhluk ciptaan Allah SWT yang tidak pernah membangkang perintah-
Nya, juga makhluk gaib yang menjadi perantara-perantara Allah
SWT dengan para Rasul.
Kita percaya bahwa malaikat merupakan makhluk pilihan
Allah, mereka tidak berbuat dosa, tidak melawan kepada-Nya,
pekerjaannya semata-mata menjunjung tinggi tugas yang diberikan
kepada mereka masing-masing.29
c. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah
Iman kepada kitab-kitab Allah SWT ialah meyakini bahwa
kitab-kitab tersebut datang dari sisi Allah SWT yang diturunkan kepada
sebagian Rasulnya. Dan bahwasanya kitab-kitab itu merupakan firman
Allah SWT yang Qadim, dan segala yang termuat didalamnya
merupakan kebenaran.30 Dan kita tahu kitab-kitab yang diturunkan
kepada Rasul itu ada empat yaitu kitab Taurat yang diturunkan pada
Nabi Musa, Injil kepada Nabi Isa, Zabur kepada Nabi Daud dan Al-
Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW.
d. Iman Kepada Para Rasul
Iman kepada Rasul adalah percaya dan yakin bahwa Allah SWT
telah mengutus para Rasul kepada manusia untuk memberi petunjuk
kepada manusia, dan Nabi yang wajib kita percayai itu ada 25 orang
yaitu: Adam, Idris, Nuh, Hud, Ibrahim, Shaleh, Luth, Ismail, Ishaq,
Ya’kub, Yusuf, Ayyub, Su’aib, Harun, Musa, Ilyassa, Dzulkifli
Daud, Sulaiman, Ishak, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, dan Muhammad
SAW sebagai Nabi terakhir.
e. Iman Kepada Hari Akhir
29 Kaelany HD, op.cit., hlm. 76. 30 Ibid., hlm. 82.
28
Hari akhir ialah Hari Kiamat, termasuk kebangkitan (al-ba’ts),
yaitu keluarnya manusia dari kubur mereka dalam keadaan hidup,
sesudah jazad mereka dikembalikan dengan seluruh bagiannya seperti
dulu kala ada di dunia.31
f. Iman Kepada Takdir (Qodha dan Qodhar)
Iman kepada Qodha dan Qodhar adalah percaya bahwa segala
hak, keputusan, perintah, ciptaan Allah SWT yang berlaku pada
makhluknya termasuk dari kita (manusia) tidaklah terlepas (selalu
berlandaskan pada) kadar, ukuran, aturan dan kekuasaan Allah SWT. 32
Sebagai manusia biasa yang lemah kita harus percaya bahwa
segala sesuatu yang terjadi pada diri kita atas izin Allah SWT jadi
berserah dirilah kepada Allah SWT, dengan cara berusaha, berdoa dan
berikhtiyar kepada Allah. Karena Allah SWT memberi cobaan itu
pasti sesuai dengan porsi kita masing-masing, tidak ada yang kurang
atau lebih. Artinya manusia hanya bisa berusaha dan sesungguhnya
Allah SWT yang akan menentukan.
Jadi dalam pendidikan keimanan harus dapt memberikan
pemahaman kepada peserta didik sebagai seorang mu’min kita wajib
percaya kepada rukun Iman yang akan menjadi benteng yang kokoh
dalam kehidupan kita di dunia. Dan kita memang harus yakin bahwa
Allah SWT lah Tuhan kita, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai
Rasul, al-Qur’an sebagai kitabullah dan petunjuk, serta kita berpegang
teguh kepada agama Islam, beriman kepada semua yang telah diciptakan
Allah SWT.
Selain itu dalam pendidikan keimanan peserta didik juga harus
diajarkan tentang mempercayai atau berikan kepada mahluk gaib lainnya
karena Selain Malaikat Allah juga menciptakan makhluk yang dinamakan
Iblis, Setan dan Jin. Mengenai materi penciptaan Malaikat dan Jin terdapat
31 Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, op. cit., hlm. 201. 32 Ibid, hlm. 203.
29
perbedaan: Allah menciptakan Malaikat dari Nur sedangkan Jin diciptakan
dari api yang panas, sebagaimana firman Allah:
)27: احلجر . (والجان خلقناه من قبل من نار السموم
“Dan kami telah menciptakan Jin (sebelum Adam) dari api yang sangat panas”. (QS. Al-Hijr:27) 33
5. Metode Pembelajaran Pendidikan Keimanan
Permasalahan yang sering dijumpai dalam pengajaran atau
pembelajaran adalah bagaimana cara menyajikan materi kepada siswa
secara baik sehingga diperoleh hasil yang efektif dan efisien. Disamping
masalah lainnya yang juga sering didapati adalah kurangnya perhatian guru
agama terhadap variasi penggunaan metode mengajar dan upaya
peningkatan mutu pengajaran secara baik.
Metode pembelajaran menurut Sudjana adalah cara yang
dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat
berlangsungnya pembelajaran. Oleh karena itu peranan metode
pembelajaran sebagai alat untuk menciptakan proses belajar-mengajar .
dengan metode in diharapkan tumbuh berbagai kegiatan belajar siswa
sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Dengan kata lain tercipta
interaksi edukatif.34
Metode pembelajaran juga dapat diartikan sebagai cara yang
dugunakan oleh guru untuk mengadakan hubungan dengan peserta didik
pada saat berlangsung pembelajaran, dan penyampaian itu berlangsung
dalam interaksi edukatif.35
Proses pembelajaran yang baik hendaknya mempergunakan
berbagai jenis metode mengajar secara bergantian atau saling bahu
membahu satu sama lain tidak terkecuali dalam pembelajaran pendidikan
keimanan .
33 Soenarjo, op.cit, hlm 435 34 Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, cet V,, 2000), hlm. 76. 35 Depad RI, metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: 2002), hlm. 88.
30
Pada dasarnya metode pendidikan keimanan tidak berbeda dengan
metode yang dikembangkan dalam pendidikan islam, karena pendidikan
keimanan adalah bagian dari pendidikan Islam Berikut beberapa variasi
metode yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar:
a. Metode ceramah, yaitu: guru memberikan penjelasan kepada sejumlah
murid pada waktu tertentu dan tempat tertentu pula.36
b. Metode tanya jawab, yaitu: penyampaian pelajaran dengan jalan guru
mengajukan pertanyaan dan murid menjawab.37
c. Metode diskusi, yaitu: suatu metode didalam mempelajari bahan atau
menyampaikan bahan dengan jalan mendiskusikannya.38
d. Metode demonstrasi, yaitu: metode yang mengajar yang menggunakan
peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk
memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada anak didik.39
e. Metode tugas belajar dan resitasi:, yaitu: suatu cara dalam proses
belajar mengajar dengan cara guru memberikan tugas tertentu kepada
murid.
f. Metode kerja kelompok, yaitu: suatu metode dengan cara guru
membagi-bagi anak didik dalam kelompok-kelompok untuk
memecahkan suatu masalah
g. Metode sosiodrama (role playing), yaitu: suatu metode dengan drama
atau sandiwara dilakukan oleh sekelompok orang untuk memainkan
suatu cerita yang telah disusun naskah ceritanya dan dipelajari
sebelum memainkan
h. Metode pemecahan masalah (problem solving), yaitu: suatu metode
mengajar dengan menggunakan metode berfikir, sebab dalam problem
solving murid dituntut memecahkan sebuah masalah
36 Zakiyah Darajat, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
1995), hlm. 227 37 M. Zein, Metodelogi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: AK Group dan Indra Buana,
1995) hlm. 178 38 Ibid, hlm. 175 39 Zakiyah Darajat, op, cit, hlm. 232-233
31
i. Metode sistem regu (team teaching), yaitu: metode mengajar dua
orang guru atau lebih bekerja sama mengajar sebuah kelompok siswa.
Jadi kelas dihadapi oleh beberapa guru
j. Metode karya wisata (field-trip), yaitu: kunjungan keluar kelas dalam
rangka mengajar
k. Metode manusia sumber (resource person), yaitu: orang luar (bukan
guru) atau orang-orang PPL memberikan pelajaran kepada siswa
l. Metode simulasi, yaitu: cara untuk menjelaskan suatu pelajaran
melalui perbuatan yang bersifat pura-pura
m. Metode latihan (drill), metode ini digunakan untuk memperoleh suatu
ketangkasan atau keterampilan dari apa yang telah dipelajari.
n. Metode latihan kepekaan (dinamika kelompok).40
Dari beberapa metode diatas, masing-masing metode mempunyai
kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri, kendatipun demikian, tugas guru
adalah memilih berbagai metode yang tepat untuk menciptakan proses
belajar mengajar, ketepatan penggunaan metode mengajar tersebut sangat
bergantung pada tujuan, isi, proses belajar mengajar, dan kegiatan belajar
mengajar.
Ditinjau dari segi peranannya metode-metode mengajar ada yang
tepat digunakan untuk peserta didik dalam jumlah besar dan ada yang tepat
digunakan untuk siswa dalam jumlah kecil. Ada juga yang tepat digunakan
di dalam kelas dan diluar kelas.
C. NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEIMANAN
Teologi-teologi Islam adalah membahas ajaran-ajaran dasar dalam
agama Islam. Oleh karena itu setiap orang Islam yang ingin mempelajari Islam
secara mendalam, supaya dapat memantapkan kepercayaan agama yang
dianutnya dengan menghilangkan keragu-raguan yang melekat di hatinya, atau
sengaja dilekatkan oleh orang-orang yang tidak senang terhadap agama yang
dipeluknya.
40 Nana Sudjana, op, cit, hlm. 81-90
32
Dengan adanya iman itu akan membentuk jiwa dan watak manusia
menjadi kuat dan positif, yang akan mengejawantahkan dan diwujudkan dalam
bentuk perbuatan dan tingkah laku akhlakrah manusia sehari-hari adalah
didasari, diwarnai oleh apa yang dipercayainya.41
Keimanan adalah kepercayaan, keyakinan, ketetapan hati dan
keteguhan hati. Inti dari keimanan adalah tauhid, yang secara harfiah berarti
mengesakan yaitu meyakini keesaan Allah SWT. Atas dasar tauhid ini
memancar semua prinsip dan doktrin Islam, ibadah maupun muamalah. Dan
ikrar formal tentang tauhid ini adalah Laailaaha illal Allah, yang kemudian
sebagai kelengkapan dan konsekuensi dari tauhid, adalah ikrar tentang
kenabian dan kerasulan Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Islam,
dengan ungkapan Muhammadur Rasulullah. Dalam syariat Islam, kedua ikrar
itu dinamakan syahadat, yang merupakan Arkanul Islam yang pertama.
Dengan demikian keimanan merupakan konsekuensi logis bagi
seseorang menjadi muslim sejati, dan dia akan mendapatkan ketenangan yang
berupa terbebas dari belenggu, ketakutan dan kesesatan. Karena pada
hakikatnya semua penderitaan manusia bersumber pada dua hal tersebut.
Seperti yang difirmankan Allah SWT, yang berbunyi :
و نآم نفم ذريننمو رينشبإلا م لنيسرسل المرا نمو فوفلا خ لحأص
)48: األنعام . (عليهم ولا هم يحزنون
“Dan tidaklah kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-An’am : 48)42
41 Bakir Yusuf Barmawi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teologi Islam, (Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1988), hlm 36. 42 Soenarjo, op.cit, hlm 621
33
Menurut Ibnu Taimiah keimanan itu ada tingkatannya. Tingkat
pertama: yaitu iman-imanan (asal beriman), kedua : iman ibadah, yaitu iman
yang diikuti dengan ibadah sholat, puasa, zakat, haji dan ucapan-ucapan atau
kalimat-kalimat keagamaan (dzikir), ketiga : iman Al-Birru atau taqwa, yaitu
iman yang diikuti dengan ibadat dan mencampurkan diri ke dalam masyarakat,
membantu karib kerabat, anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil dan lain-lain.
Ke-empat : iman Al-Ihsan yaitu iman yang diikuti dengan perasaan cinta yang
medalam kepada Allah SWT. Dimatanya Allah selalu terbayang-bayang,
dimana dia berada selalu mengingat Allah. Ataupun jika dia tidak mampu
melihatnya, dia merasa yakin bahwa Allah SWT melihatnya.43
Selain itu dalam menanamkan nilai-nilai Pendidikan keimanan atau
tauhid, bukan sekedar menghafalkan nama-nama Tuhan, malaikat, nabi atau
rasul, hari kiamat dan qodo’ qodar. Inti pendidikan keagamaan (keimanan)
ialah penyadaran diri tentang hidup dan kematian, bagi tumbuhnya kesadaran
ketuhanan. Dari kesadaran seperti ini bisa dibangun komitmen ritualitas,
ibadah, hubungan sosial berdasar harmonis dan ahklak sosial yang karimah.
Diantara nilai-nilai keimanan yang dapat ditanamkan dalam
pendidikan Islam adalah wujud kepercayaan dari rukun iman itu akan
nampak dalam tindakan. Hal ini merupakan realisasi iman dalam kehidupan,
bentuk nilai-nilai keimanan dalam pendidikan yaitu :
1. Nilai-nilai wujud iman kepada Allah
a. Orang yang beriman itu memiliki pandangan yang luas sebelum
bertindak dipertimbangkan terlebih dahulu manfaat dan madharatnya.
b. Melahirkan rasa bangga dan harga diri pada manusia, tidak
menghambakan diri pada sesama makhluk, mengemis dan tidak gentar
karena kecongkakan dan kebesaran seseorang.
c. Menumbuhkan rasa rendah hati pada diri manusia, mensyukuri nikmat
dan Allah juga kuasa mencabutnya lagi apabila ia menghendaki.
43 Halimuddin, Kembali kepada Aqidah Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 1. 1990), hlm.
86 – 87.
34
d. Mengetahui dengan penuh keyakinan, bahwa tidak ada jalan antara
mencapai keselamatan dan keberuntungan kecuali dengan kesucian jiwa
dan amal saleh.
e. Tidak mudah dihinggapi rasa putus asa dan hilang harapan dalam
keadaan bagaimanapun.
f. Mendidik manusia di atas suatu kekuatan yang besar dalam kebulatan
tekad, keberanian, kesabaran, ketabahan dan tawakal di kala
menghadapi masalah.
g. Mengangkat derajat manusia dan menumbuhkan pada dirinya sifat-sifat
yang menjauhkan dari segala perbuatan yang rendah.
h. Menjadi manusia terikat pada undang-undang Allah dan patuh kepada-
Nya.44
2. Nilai-nilai wujud iman kepada malaikat
Iman kepada malaikat mempunyai faedah atau nilai-nilai
diantaranya :
a. Membersihkan akidah tauhid dari noda-noda syirik, kotoran-kotoran
dan bahaya-bahayanya.45
b. Membentuk manusia yang jujur dan dapat dipercaya.
3. Wujud iman kepada kitab-kitab
Dengan meyakini kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah akan
menjadikan hidup lurus karena sesuai dengan tuntunan Allah.
4. Wujud iman kepada rasul
Rasul adalah manusia yang dipilih oleh Allah SWT dari keturunan
yang mulia yang diberi berbagai keistimewaan, baik akal pikiran maupun
kesucian rohani.46
Dalam diri nabi terdapat suri tauladan yang baik yang dapat
menjadi tuntunan untuk mencapai kebahagiaan dunia akherat.
44Abul A’la Al Maududi, Prinsip-prinsip Islam (Principles of Islam), Abdullah Suhalili,
(Bandung: Al-Ma'arif, 1975), hlm. 77-78. 45Ibid, hlm. 84. 46Atang Abd. Hakim, dan Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), hlm. 121.
35
5. Wujud iman kepada hari akhir
Manusia yang yakin kepada hari akhir akan bersungguh-sungguh
beramal soleh karena mempunyai harapan kebahagiaan di hari akhir.
Sedangkan manusia yang ingkar atau ragu-ragu mengerjakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya tidak ada gunanya.
6. Wujud iman kepada qadha’ dan qadar
Maksud beriman kepada qadha’ dan qadar ialah kita wajib
mempunyai i’tikad atau kepercayaan yang sebenar-benarnya juga yakin
yang semantap-mantapnya bahwa segala baik yang disengaja maupun
yang tidak disengaja seluruhnya terjadi atas kehendak Allah. Hal ini bukan
berarti apa yang terjadi diterima dengan pasrah.
Sebagai manusia biasa yang lemah kita harus percaya bahwa
segala sesuatu yang terjadi pada diri kita atas izin Allah SWT jadi
berserah dirilah kepada Allah SWT, dengan cara berusaha, berdoa dan
berikhtiyar kepada Allah. Karena Allah SWT memberi cobaan itu pasti
sesuai dengan porsi kita masing-masing, tidak ada yang kurang atau
lebih. Artinya manusia hanya bisa berusaha dan sesungguhnya Allah
SWT yang akan menentukan47
Nilai-nilai Pendidikan keimanan diatas bertujuan untuk mengarahkan
peserta didik dapat menjadi muslim sejati dan konsisten dengan tuntunan
tauhid yang berprinsip doktrin Islam, ibadah, dan muamalah, untuk diamalkan
dalam hidupnya dan dapat membina, mengembangkan serta mampu
merefleksasikan potensi ke-TuhanNya dalam kehidupan sehari-hari.
47 Abul A’la Al Maududi, op. cit, hlm. 94-95.
36
BAB III
TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 177
A. Teks Ayat dan Terjemahannya
ليس البر أن تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من آمن بالله آتو نيبيالناب والكتلائكة والمم الآخر وواليى وبه ذوي القربلى حال عى الم
واليتامى والمساكني وابن السبيل والسائلني وفي الرقاب وأقام الصلاة وآتى اء ورالضاء وأسفي الب ابرينالصوا وداهإذا ع دهمهوفون بعالمكاة والز حني
)177: البقر ة (البأس أولئك الذين صدقوا وأولئك هم المتقون Artinya: ”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) hanba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imanya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al Baqarah: 177)
B. Arti Kata-Kata (Mufradat)
Al-birr: secara bahasa berarti memperbanyak kebaikan. Asal katanya
asalah al-barr (daratan), dan lawan katanya adalah al barr (laut). Menurut
istilah syari’at adalah setiap sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk
taqarrub kepada Alla; yakni iman, amal saleh dan akhlak mulia.
ل المربقبغالمرق وش : mengarah kepada dua arah tersebut.
.memberikan harta benda : وآتى المال
اكنيسالم : tetap diam, sebab kebutuhan perjalanan jauh.
.orang yang sedang mengadakan perjalanan jauh : وابن السبيل
37
orang yang meminta-minta kepada orang lain : السائل
karena terdesakkebutuhan hidup.
قابالر : membebaskan budak (hamba sahaya).
mendirikan shalat sebaik mungkin : أقام الصلاة
دهالع : janji atau suatu ikatan yang dipegang teguh oleh
seseorang terhadap orang lain.
fakir atau sangat miskin : البأساء
setiap sesuatu yang membahayakan manusia : الضراء
benar-benar mengaku beriman : صدقوا
Mencegah agar jangan sampai Allah murka : التقوى
kepadanya dengan cara menjauhi perbuatan dosa
dan larangan-larangan-Nya.1
C. Pengertian Secara Umum
Secara umum dapat dijelaskan bahwa ketika Allah memerintahkan
untuk pindah kiblat dalam sembahyang dari Baitul-Maqdis di Palestina ke
ka’bah di Mekah Al Mukaromah, maka terjadilah pertengkaran dan
perdebatan terus menerus antara Ahli Kitab dan orang-orang Islam.
Pertengkaran itu semakin sengir dan memuncak, sampai-sampai oranh-orang
Ahli Kitab mengatakan bahwa orang yang sembahyang dengan tidak
menghadap ke baitul Maqdis tidak sah sembayangnya dan tidak akan diterima
Allah; dan orang itu tidak termasuk pengikut para Nabi-nabi. Sedang dari
1 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, تفسير المراغى, Juz I (Libanon-Bairut: Darul Fikri,t.th)., hlm. 98
38
pihak orang Islam mengatakan pula, bahwa sembahyang yang akan diterika
Allah ialah dengan menghadap ke Masjidil Haram, Kiblat Nabi Ibrahim as
bapak dari segala Nabi.
Maka ayat ini menegaskan bahwa yang pokok bukanlah
menghadapkan muka ke kiblat dan menghadap muka itu bukanlah suatu
kebaktian yang dimaksud dalam agama, akan tetapi yang terpenting adalah
mengabdikan diri kepada Allah SWT.2
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa menghadap wajah kearah barat
dan timur bukanlah sebenarnya, yang terpenting adalah ketaqwaaan,
kebajikan dan keimanan kepada Allah SWT.
D. Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 177
Asbabun Nuzul Surat al-Baqarah ayat 177 ini, menurut Ahmad
Musthafa al Maraghi ialah orang –orang Nasrani menghadap kea rah timur.
Masing-masing golongan mengatakan golongannyalah yang benar dan oleh
karenanya golongannyalah yang berbakti dan berbuat kebajikan. Sedangkan
golongan lain adalah salah dan tidak diangapnya berbakti atau berbuat
kebajikan, maka turunlah ayat ini untuk membantah pendapat mereka.3
Menurut riwayat ar-Robi dan Qatadah, sebab turunya ayat ini karena
terjadi percecokan antar orang Nasrani yang sembahyangnya menghadap ke
timur dan orang yahudi yang ke barat. Masing-masing mereka menganggap,
bahwa merekalah yang benar sedang yang lainnya salah dan ibadahnya tidak
diterima.4 Maka turunlah ayat ini untuk membantah pendapat dan persangkaan
mereka.
Diketengahkan pula oleh Ibnu Abi Hatim dari Abul Aliyah,
mengatakan bahwa kebajikan itu bukan hanya memalingkan muka ke arah
timur dan barat, tetapi berbakti pada kekatnya ialah beriman kepada Allah
dengan hati, dan membenarkan bahwa Allah SWT Maha Esa dan Maha Kuasa.
2 Ibid. 3 Ibid, hlm. 54 4 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain berikut
Asbabun Nuzul, Jilid I, Terj. Bahrun Abu bakar, (Bandung: Sinar Barual-Gensindo, 1997), hlm.193.
39
Konkrit ceritanya dapat dilihat padatafsir Ibnu Katsier misalnya, disitu dapat
diceritakan bahwa sesungguhnya Nabi saw ditanya, ”Apakah iman itu?” Maka
beliau membaca ayat ini, ”Kebajikan itu bukanlah dengan menghadap
wajahmu ke arah timur dan barat”. Kemudian Rasulullah ditanya lagi. Maka
beliau membaca ayat ini juga. Kemudian beliau ditanya lagi. Maka beliau
bersabda imana ialah jika kamu melakukan kebaikan yang disukai oleh hatimu
dan jika kamu melakukan keburukan yang dibenci oleh hatimu.5
Maksud ayat ini adalah setelah Allah menyuruh kaum mukmin
menghadap ke Baitul Maqdis, Allah mengalihkan kiblat mereka ke ka’bah,
maka hal itu membuat ragu segolongan ahli kitab, dan sebagian kaum muslim.
Lalu Allah menurunkan ayat yang menjelaskan tentang hikmah pengalihan itu.
Tujuan pengalihan itu ialah untuk melihat siapa yang taat kepada Allah,
menjalankan segala perintah-Nya, menghadap kemana pun mereka disuruh,
dan mengikuti apa yang disyariatkan-Nya. Hal ini merupakan kebajikan,
ketakwaan, dan keimanan yang sempurna.
Kemudian dilihat dari urutan rentetan ayat di dalam musaf yakni ayat-
ayat sebelumnya, lalu ayat-ayat 174, 175, dan 176, maka yang paling sesuai
ialah bahwa ayat ini diturunkan mula-mula terhadap Ahli Kitab (Yahudi dan
Nasrani), karena pembicaraan masih berkisar disekitar mencerca dan
membantah perbuatan dan tingkah laku yang tidak baik dan wajar.
E. Munasabah Surat Al-Baqarah Ayat 177
1. Munasabah Surat Al-Baqarah dengan surat Sebelum dan sesudahnya
a. Dengan surat sebelumnya (Surat Al-Fatihah)
Surat Al-Fatihah merupakan titik-titik pembahasan yang akan
diperinci dalam Surat al-Baqarah dan surat-surat yang sesudahnya. Dan
di bagian akhir Surat al-Fatihah disebutkan permohonan hamba, supaya
diberi petunjuk oleh Allah ke jalan yang lurus,sedang surat al-Baqarah
dimulai dengan ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur'an adalah kitab
yang menunjukkan jalan yang dimaksudkan itu.
5 Al-Imam al-Fida’i Ismail Ibnu Katsir ad-Damasqyy,تفسر ابن كتثري., (Beirut: darul Kutub,
tth), hlm. 275
40
Jadi, jelasnya dlihat dari isi dan kandungan kedua surat tersebut
memiliki korelasi yang erat dan jelas.
b. Dengan Surat sesudahnya (Surat Ali Imran)
Dalam Surat Al-Baqarah disebutkan nabi Adam as langsung
diciptakan Allah SWT, sedang dalam surat Ali Imran disebutkan tentang
kelahiran tentang Nabi Isa as yang kedua-duannya menyimpang dari
kebiasaan. Di samping itu di dalam surat Ali Imran menyebutkan
tentang orang-orang yang suka menakwilkan ayat-ayat yang
mutasyabihat dengan takwil yang salah untuk menfitnah orang-orang
mukmin.6 Jadi, jelaslah bahwa surat Al-Baqarah dengan surat Ali Imran
ada hubungan yang jelas.
Dari uraian di atas tampaklah ada munasabah antara surat
sebelumnya (Surat Al-Fatihah) dan sesudahnya (Surat Ali Imran) dengan
surat Al-Baqarah. Kalau surat Al-Fatihah menerangkan tentang agar
dberi petunjuk oleh Allah ke jalanyg lurus. Sedangkan dalam surat Ali
Imran menerangkan orang yang tidak mau mengikuti perintah Allah
kejalan yang lurus, malah menyimpang dari ajaran-Nya dan memusuhi
orang-orang mukmin. Dan surat Al-Baqarah memerintahkan untuk
menuju jelan yang lurus, yatu berpegang teguh pada Al-Qur'an. Dengan
demikian dapat dilihat antara kedua surat tersebut terdapat korelasi.
2. Munasabah Ayat Surat Al-Baqaraha Ayat 177
Al-Baqarah ayat 177mempunyai kesesuaian atau hubungan dengan
surat al-Baqarah ayat 189, keduanya menerangkan tentang kebajikan dan
ketaqwaan. Pada ayat 177 ini Allah menegaskan bahwa kebajikan bukanlah
pada persoalan menghadapkan wajah ke barat atau timur, melainkan
kebajikan itu pada ketaatan menjalankan perintah-Nya. Dan pada ayat 189
Allah menegaskan bahwa kebajikan itu bukanlah pada langkah masuk
rumah lewat pintu belakang,melainkanbahwakebajikan terwujud dalam
ketaqwaan.
6 M. Sonhaji, dkk, Al Qur'an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990),
hlm. 49
41
Dariuraiandi atas nampaklah bahwa kedua ayat tersebut memiliki
kaitan yang jelas, yaitu menerangkan kebajikan dengan taqwa.
F. Tafsir Surat al-Baqarah ayat 177
Dalam menafsirkan terhadap ayat di ats penulsi akan menggunakan
beberapa pendapat dari para musafir, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1. Hamka
Hamka dalam TafsirAl-Azhar7 menjelaskan bahwa keimanan atau
kepercaaan hati bukanlah semata-mata hafalan mulut tapi pendirian hati.
Dia membekas kepada perbuatan sehingga segala gerak langkah di dalam
hidup tidak lain, melainkan sebagai akibat atau dorongan dari iman
seumpama apabila kita merasai dan mengunyah-ngunyah semacam daun
kayu, kita mengenal rasanya dan mengetahui bahwa rasa yang ada pada
daun itu, rasanya yang demikian jugalah yang akan terdapat pada uratnya,
kulit batangnya, dahan rantingnya, apakah lagi pada buahnya, sebab dari
pada batang barang tidajklah akan hasil bauah delima, dan dari ilalang
tidaklah keluar padi .
Kemudian menurut Hamka, keimanan tersebut harus disertai dengan
amal perbuatan yang nyata dengan memberikan harta yang dicintai kepada
anak-anak yatim, orang usafir yang membutuhkan, orang-orang yang
terpaksa meminta-minta, dan memberikan harta untuk memerdekakan
hamba sahaya. Di samping itu sabar baik dalam taat kepada Allah dan
Rasul-Ny, maupun ketika dalam peperangan.
Dari tafsirnya ayat ini dapat penulis pahami bahwa kebajikan itu
bukanlah semata-mata telah mengerjakan shalat, zakat dan sebagainnya.
Tetapi kebajikan adalah apa yang telah berurat berakat di dalam hatimu,
dari rasa taat kepada Allah.
7 Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir al-Azhar, Juz II
(Jakarta: Panji Masyarakat, 1982), hlm. 97
42
2. Sayyid Qutb
Sayyid Qutb dalam tafsir fi Dzilalil Qur’an8 menjabarkan bahwa
kebajikan yang dimaksud dalam ayat ini pada hakekatnya adalah iman
yang diserai dengan amal shaleh. Menurutnya iman yang dimaksud adalah
tanda kebajikan yang mengyangkut dengan sikap batiniah, akan tetapi
kebajikan itu tidak hanya dengan sikap batin saja, melainkan harus
dilahirkan dengan tindakan nyata yang dapatdilihat yaitu dengan
memberikan bantuan harta yang dicinyai baik pada keluarga dan kerabat,
anak yatim, fakir miskin, paramusafir, dan memberikan harta untuk
memerdekakan hamba sahaya. Di samping itu perlu disempurnakan lagi
dengan amal shaleh, diantarannya adalah mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, menepati janji, dan sabar dalam penderitaan, kesulitan serta ketika
dimedan jihad.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwasannya kebajikan dalam
aqidah itu tidak cukup, akan tetapi harus diaplikasikan dalam kehidupan
serta perilaku sehari-hari.
3. Ahmad Mustafa al-Maraghi
Ahmad Mustafa Al Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi
mengungkapkan bahwa menghadap ke timut atau barat itu tidak
mengandung unsur kebajikan. Pekerjaan itu pada hakkekatnya tidak
merupakan suatu kebajikan. Tetapi yang dinamakan kebajikan yang
sesungguhnya adalah iman, yang dibuktikan dengan amal perbuatan dan
tingkah laku yang mencerminkan keimanan tersebut.
Amal perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah mengeluarkan
harta kepada orang-orang yang membutuhkan yaitu: sanak famili yang
membutuhkan, anak-anak yatim, kaum fakir, ibnu sabil, orang-orang yang
minta-minta, hamba sahaya, termasuk didalamnya menebus tawanan
perang, sehingga ia mendapatkan kemerdekaan dirinya.
8 Sayyi Qutb, تفسر ىف ظالل القرأن, (Beirut: Ihya’i At-Thiraan Al-Araby, 1391), hlm. 283-
287
43
4. Muhammad Al-Razi
Muhammad al-Razi dalam kitab Tafsir Al Kabir menyebutkan
beberapa hal tentang kebajikan yaitu:
a. Kebajikan itu bukanlah engkau menghadapkan wajahmu ke arah barat
atau timur, melainkan kebajikan itu adalah engkau mengumpulkan
segala aspek yang diuraikan dalam ayat ini.
b. Kesempurnaan kebajikan adengkau menggunakan pekerti yang terpuji,
salah satunya menghadap kiblat
c. Kebajikan itu buknalah menghadapkan wajahmu ke arah barat dan
timur, tetapi kebajkan itu adalah menghindari perbuatan dosa dam
perbuatan tercela.
d. Menghadap kiblat buknalah suatu kebajikan jikalau engkau tidak
mengenal Allah, namun kebajikan itu adalah iman kepada Allah.9
5. M. Quraish Shihab
M. Quraish shihab dalam tafsir al-misbah, menjelaskan bahwa ayat
ini bermaksud menegaskan bahwa menghadapkan wajah (shalat) kearah
timur dan barat itu bukanlah kebajikan yang sempurna, atau bukan satu-
satunya kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan sempurna itu adalah
orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dengan sebenar-
benarnya iaman sehingga meresap kedalam jiwa dan kmembuahkan anak
saleh, percaya juga kepada malaikat-malaikat, kitab-kita suc, para nabi
sebagai manusia pilihan tuhan, itulah sisi kebajikan keimanan yang
abstrak(tidak tampak), sedangkan contoh-contoh kebajikan dari sisi lahir
adalah kesediaan mengortbankan kepentingan pribadi demi orang lain,
memberikan harta secara tulus demi meraih cintanya, kepada kerabat, anak
yatim, orang meminta-minta, musyafir, orang miskin, hamba sahaya, salat,
9 Imam Fakhrudin Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali al-Tamimi al-
Bakri ar-Razi as-Syafi’i, تفسريالكبري, Jilid VII-VIII (Bairut-Libanon: Darul al-Kutub al-Alamiyah, 1990), hlm 98
44
zakat, dan orang yang menepati janji apabila berjanji, orang-orang yang
sabar dan benar imannya.10
6. M Nawawi Al-Jawi
املشرق واملغرب بل الربال حيصل االعند ان صفة الرب ال حتصل مبجر دا ستقبال جمموع أمور أحدهااال ميان با اهللا فأهل الكتاب أخلو ابذلك فان اليهودقلوا بالتجسم وو صفوااهللا تعاىل بالبخل وقالوا عزير ابن اهللا وان النصارى قال
املسيح ابن اهللا وصنيها االميان باليوم االخر فاليهود اخلوا ذا االميان حيث ولن متسنا النر االأيام معدودة والنصار أنكروا املعاد اجلسمان وثالثها االميان قال
باملال ئكة فاليهود اخلوا بذلك حيث أظهروا عداوة جربيل عليه السالم ورابعها االميان بكتب اهللا فاليهود والنصارى قد أخلوا بذلك حيث مل يقبلوا القران
لوا بذلك حيث قتلوا االنبياء وطعنوا ىف وخامسها االميان بالنبيني واليهود أخنبوة حممد صلى اهللا عليه وسلم وسادسها بذل االموال على وفق امر اهللا تعاىل
واليهود أخلوا بذلك ألم يلقون الشبهات لطلب املال القليل وسابعها اقامة الصلوات والزكوات فاليهود كانوا مينعون الناس منهما وثامنها الوفاء بالعهد
.واليهود نقضوا العهد “Perkataan ليس الرب adalah ini jamak (isim nama untuk mengumpulkan atau mengelompokkan segala kebaikan (keta’atan). Lalu perkataan ولكن الرب adalah isim fa’il (nama pelaku/subyek) dari asal hak برر dengan dibaca kasrah ra’ yang pertama ketika ra’ diidghamkan maka ba’nya dibaca kasroh menjadi بر menjadi masdar mengandung arti اسم العاعر (nama pelaku yang berarti dibaca juga dengan البار sebagai nama qiro’ah syadzah menjadi perdebatan para ahli tafsir siapa sebenarnya yang diajak bicara oleh Allah dengan ayat ini. Sebagian ulama mengetahui bahwa yang diajak bicara adalah kaum Yahudi berkaitan dengan pembangkangannya pun tetap
menghadap ke Baitul Maqdis (Palestina), kemudian Allah berfirman ليس Tidaklah yang disebut kebaikan itu“ الربهزه الطريعة ولكن الرب من امن باهللا
adalah jalan ini, tetapi kebaikan itu adalah beriman kepada Allah”.
10 M. Quraish Shihab, Tafasir Al-Misba, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,
(Yakarta: Lentera Hati, 2002), hlm, 390
45
Sebagian ulama mengadakan bahwa yang diajak bicara Allah itu adalah orang-orang mukmin karena mereka menyangka telah memperoleh tujuan ke arah ka’bah karena mereka mencintainya maka mereka menjawab dengan perkataan ini. Ka’bah ulama yang lain lagi mengatakan bahwa yang menjadi tujuan ayat ini adalah semuanya baik orang-orang Yahudi atau orang-orang beriman karena Allah. Beriman yang menjadi sifat kebaikan (الرب) tidak akan tercapai hanya karena menghadap ke timur atau ke barat, akan tetapi kebaikan itu tercapai adalah dengan cara mengumpulkan salah satu dari iman pada Allah, sedangkan Ahlul kitab menganggap itu tidak ada karena orang-orang Yahudi itu menganggap bahwa Allah itu memiliki wujud fisik bisa dilihat dengan mata kepala dhahir menyikapinya dengan sifat berakhlak dan menyatakan bahwa Uzain itu anak Allah dan orang-orang Nasrani mengklaim Isa a.s itu anak Allah. Kemudian yang kedua adalah iman kepada hari akhir, orang-orang Yahudi lebih mengakui ini, mereka mengatakan api itu tidak bisa menyentuh mereka kecuali pada akhir tertentu, orang-orang Nasrani mengingkari akan siksa mereka. Yang ketiga iman kepada malaikat, orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka tidak menerima al-Qur'an. Yang kelima iman kepada para nabi, orang-orang Yahudi mengingkari membunuh para Nabi dan mengklaim kenabiannya Muhammad saw. Keenam menyerahkan harta untuk memenuhi perintah Allah orang-orang Yahudi menolaknya.Yang ketujuh menjalankan shalat dan zakat orang-orang yahudi menolaknya Yang kedelapan menepati janji orang-orang Yahudi merusaknya.11
Dari penjelasan di atas penulis dapat memahami bahwa kebajikan
yang dimaksud adalah iman dan amal shaleh, yaiut mewujudkan iman dan
amal perbuatan yang sebenar-benarnya. Dengan kata lain, dapat
menerangkan segala aspek yang disebutkan dalam ayat ini baik dalam segi
aqidah, ibadah, sosial, maupun akhlak.12
Dari beberapa uraian tafsir di atas dapat dipahami bahwa antara tokoh
tafsir klasih dan tokoh tafsir modern tidak ada perbedaab yang lebih prinsip.
Artinya,banyak kesamaan pandangan dalam memahami surat al-Baqarah ayat
177 ini, yang berbeda hanyalah dalam segi redaksi dan segi klasifikasi atau
penggolongan aspek/bidang yang tertera dalam ayat ini.
11 Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, التفسري املنري ملعامل الترتيل, Juz I (Bairut-Libanon:
Darul Fikri, t.th), hlm. 45 12 Muhammad al-Rozi, Tafsir Al-Kabir, (Beirut: Darul Fikr, 445-406 H), hlm. 37
46
G. Pengolompokan isi Surat al-Baqarah ayat 177
Surat al-Baqarah ayat 177 ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa
bidang aspek sebagaimana yang sudah dibahas di atas diantaranya: aspek iman
dan amal shaleh, yang kemudian dapat dijabarkan menjadi aspek aqidah,
ibdah, akhlak, sosial bahkan aspek sosial politik.
Dari beberapa pembagian aspek tersebut di atas, Muhammad Husain
At-Thabataba’i13 dalam Tafsir Mizan didukungoleh Mahmud Syaltut
menyimpulkan kendungan ayat ini menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
a. Aspek Keimanan
Dalam surat al-baqarah ayat 177 ayat petikan surat yang berisi
tentang keimanan adalah
ائكة والكتاب والنبينيمن آمن بالله واليوم الآخر والمل
Aspek keimanan meliputi beriman kepada Allah dengan
sesungguhnya, dengan meyakinan bahwa dia yang memberi manfaat dan
menimpakan mudharat kepada seseorang. Beriman kepada Hari Akhir yaitu
hari pembalasan dan perhitungan segala isi, hari kesenangan atau
kecelakaan abadi. Beriman kepada Malaikat yang masing-masing memiliki
tugas dari Allah. Beriman kepada Nabi, tanpa membedakan diantara
mereka. Beriman kepada kitab-kitab dengan meyakini semuannya.
Iman itu cukup hanya di simpan dalam hati. Iman harus dilahirkan
atau diaktualisasikan dalam bentuk perbuatan yang nyata dan dalam
bentuk amal shaleh atau perilaku yang baik. Kalau sudah demikian,
barulah dikatakan iman itu sempurna.
Orang yang beriman berkisar sekitar empat hal, yaitu: (1) Iman
harus benar dan ikhlas, (2) Orang yang beriman harus menunjukkan
perbuatan baik dan kedermawanan kepada manusia, (3) orang yang
beriman harus menjadi warga masyarakat yang baik dan berpartisipasi
terhadap kegiatan lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan atau organisasi
13 Muhammad Husain al-Thabatha’i, ر القرأنالتفسي . Beirut: Muasanah Al- ‘Alami) , , فىن املزاlil Matbuah, 1369), hlm. 409
47
sosial, (4) dan harus tetap tabah dan tidak goyah dalam keadaan bagaimana
pun juga.14
Kekhasan kata al-birr yang lain adalah adanya koneksi (hubungan)
yang sangat eksplisit dengan kata taqwa. Dalam ayat 177 surat al-Baqarah
ini hubungan al-birr dan al-iman sangatlah jelas dan keduannya tidak dapat
dipisahkan karena jika dicermati al-birr merupakan wujud konkret iman.
Al-birr menjadi simbol orang-orang yang benar imannya.15
Beberapa buah dan pengaruh keimanan bagi kehidupan sehari-hari
bagi manusia diantaranya:
1) Menjadikan orang lebih percaya diri
2) Memberi ketenangan
3) Memberi rasa aman
4) Memberi kebahagiaan
5) Menjadikan orang beriman hidup optimis dan pasti
Selain itu menurut Daradjat seseorang yang keimanannya telah
menguasainya, walau apapun yang terjadi tidak akan mengganggu atau
mempengaruhinya.Ia yakin bahwa keimanannya itu akan membawanya
kepada ketentraman batin. Maka sesuatu yang diimani itu hendaknya
selalu ada dan terpelihara baik. Kemudian masih seseorang yang memiliki
keimanan dan ketakwaan yang tinggi, apabila ia menghadapi suatu
problemmatika hidup, ia akan menghadapinya dengan sabar dan tidak
mudah putus asa, karena sebenarnya dalam diri manusia yang beriman,
tidak terjadi putus asa atau “reaksi-reaksi putus asa” dan “mekanisme
pertahanan diri” yang sifatnya merugikan.16
Dalam kitab Ihya Ulumuddin17, Imam Al-Ghazali menganjurkan
tentang asas pendidikan keimanan ini agar diberikan kepada anak-anak
sejak dini. Menurutnya, Mendidik anak tentang keimanan pada awal
14 Thoyib I, M dan Sugiono, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 47 15 Ibid 16 Zakiyah Darajat, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
1995), hlm. 40-41 17 Al-Ghazali, Ihya’ Ulum A Din III, (Dar al Ihya’i Al-Kutubi Al-Arabiyah), hlm. 89.
48
pertumbuhannya merupakan keharusan, yang dimulai menghafal,
memahami, kemudian beri'tikad, mempercayai dan membenarkan. Jadi,
jelaslah bahwa asas pendidikan keimanan, terutama akidah atau iman
kepada Allah harus diutamakan, karena akan hadir secara sempurna dalam
jiwa anak perasaan keTuhanan yang berperan sebagai fundamen dalam
berbagai aspek kehidupannya”. Keimanan yang tertanam kokoh dalam
jiwa anak, maka ia akan mewarnai kehidupanya sehari-hari. Jadi,
penanaman akidah atau iman adalah masalah pendidikan perasaan dan
jiwa, bukan akal pikiran sedangkan jiwa telah ada dan melekat pada anak
sejak kelahirannya, maka sejak mula pertumbuhannya harus ditanamkan
rasa keimanan dan akidah tauhid sebaik-baiknya.
Al-Ghazali mengaturkan cara berangsur-angsur mulai membaca,
menghafal, memahami mempercayai dan membenarkan, kemudian
tertanam sangat kuatnya pada jiwanya setelah ia dewasa, sehingga akan
mempengaruhi segala perilakunya yang menyangkut pola pikir, pola sikap
dan pola tindak lahir dan pandangan hidupnya. 18
Kemudian, Al-Ghazali memandang pada keyakinan yang
berdasarkan taklid (ikut-ikutan dengan dasar pengetahuan atau bahkan
tidak sama sekali) semata-mata itu mengandung kelemahan, dalam artian
mungkin hilang apabila datang lawan (sesuatu yang menantang
keyakinannya). Oleh karena itu harus diteguhkan dalam jiwa anak-anak
dan orang awam, sehingga imannya kuat, kokoh dan tidak tergoyahkan
lagi .19
b. Aspek Amal Perbuatan (ibadah)
Dalam surat al-baqarah ayat 177 ayat petikan surat yang berisi
tentang amal perbuatan (ibadah) adalah
وآتى المال على حبه ذوي القربى واليتامى والمساكني وابن السبيل والسائلني وفي الرقاب وأقام الصلاة وآتى الزكاة
18 Ibid 19 Ibid, hlm. 90.
49
Yang meliputi mendirikan shalat sebaik mungkin dengan
memperhatikan segala syarat dan rukunnya. Menunaikan zakat sebagai
perintah membersihkan hartanya kepada yang berhak menerimannya.
Memberikan harta yang dicintainya,maksudnya memberikan harta yang ia
cintai dan memberikan harta karena cinta kepada Allah. Harta yang
dimaksudkan diberikan kepada karibkerabatnya yang masih dekat,anak-
anak yatim yang ditinggal mati ayahnya pada saat masih kecil, orang-orang
miskinyg tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, orang yang peminta-minta
yang tidak mampu lagi mencari kehidupan hidupnya dan sangat terpaksa,
ibnu sabil yang jauh dari keluarga dan harta yang meliputi penuntut ilmu,
penemu untuk kemanfaatan masyarakat, mubalig dan ahli silaturrahmi,
hamba sahaya yang tidak mampu membebaskan dirinya.
Menurut bahasa kata “ibadah” berarti patuh (al- tha’ah), tunduk
(al- khuduk) ubudiyah artinya tunduk (al-khuduk) dan merendahkan diri
(al- tazallu). Dalam pengertian khusus ibadah adalah perilaku manusia
yang dilakukan atas perintah Allah SWT seperti shalat, zakat, puasa dan
lain-lain.20
Dasar pelaksanaan ibadah bagi seseorang dalam agama Islam
merupakan cara untuk mensucikan diri bagi jiwa manusia atau pun
kehidupan sehari-hari.
Abdul Fatah Jalal engatakan bahwa beribadah itu tidak terbatas
hanya pada tata cara peribadatan yang telah ditentukan, melainkan
mempunyai makna yang lebih menyeluruh dan luas sekali, meliputi
seluruh aktivitas dan bidang kehidupan dan mencakup seluruh perbuatan,
karsa dan rasa. 21
Tujuan Ibadah dalam Islam bagi seseorang adalah:
1) Untuk memperkuat keyakinan dan pengabdian kepada Allah SWT.
20 Charles Schafer, Bagaimana Mempengaruhi Anak (Semarang: Dhahara Prize, 1994),
hlm. 16 21 Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, Terj. Herry Noer Ali, Minal Ushul
Tarbiyah Fil Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hlm. 139
50
2) Untuk memperkuat tali persaudaraan dan tali kasih sayang seorang
Muslim.
3) Disamping untuk latihan spiritual ibadah juga dapat merupakan latihan
moral.22
Dari ayat diatas yang berkaitan dengan amal perbuatan atau ibadah
pada dasarnya mengisayaratkan bahwa ibadah itu di bagi menjadi du
macam yaitu :
1) Ibadah Mahdhah
Yaitu hubungan langsung antara hamba dan Tuhannya,
yang cara, acara, dan upacaranya telah diatur secara terinci
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul.
Dalam fiqih Islam, pembahasan bagian ibadah ini
biasanya, meliputi: thaharah, shalat, zakat, shaum, dan hal-hal
yang secara langsung berhubungan dengan kelimanya.
2) Ibadah Ghairu Mahdah
Yaitu segala amal perbuatan yang titik tolaknya ikhlas,
tujuannya mencari ridha Allah dan garis amalnya amal shaleh.23
Menurut Jalaluddin Rakhmat, “ibadah yang pertama bersifat
ritual, sedang ibadah yang kedua bersifat sosial. Untuk tidak
mengacaukan orang awam (juga para ahli), para fuqaha menyebut
ibadah pertama adalah ibadah mahdhah dan ibadah kedua lazim
disebut mua’malah”.24
Keutamaan ibadah dalam Islam:
1) Bebas dari segala perantara
Islam telah melepaskan ibadah dari ikatan perantara yang
menghubungkan manusia dengan Sang Maha Pencipta. Para
ulama bukan perantara yang menghubungkan manusia dengan
22 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, Bulan Bintang,
1985), hal. 40 23 Endang Saifuddin Anshari, Kuliah al-Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 85-
86. 24Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 138.
51
Tuhan, atau mereka juga tidak memiliki hak untuk menerima
ataupun menolak peribadatan yang ditujukan kepada Tuhan. Di
dalam pandangan Islam, para ulama tersebut hanyalah manusia
yang memiliki fungsi tambahan untuk menuntun mereka yang
tidak berpengetahuan. Dalam Islam, kewajiban tersebut
merupakan kewajiban bagi mereka yang memiliki kelebihan
ilmu. Dengan kata lain Islam tidak membenarkan adanya
dominasi ulama terhadap kehidupan para pemeluknya.
2) Tidak ditujukan untuk wilayah tertentu
Islam tidak saja membebaskan peribadatan manusia dari
belenggu perantara, tetapi ia juga membebaskan dari keterikatan
terhadap tempat tertentu. Islam memandang seluruh tempat
bahkan di punggung hewan sekalipun, dan tentu saja masjid
yang sengaja dibangun untuk melaksanakan ibadah, merupakan
tempat yang layak untuk beribadah. Di mana saja seorang
manusia akan selalu dapat menghadapkan wajahnya kepada
Tuhannya.
3) Melingkupi segala
Ibadah dalam Islam tidak hanya terpaku pada bentuk-
bentuk doa atau pujian tertentu yang harus diucapkan atau
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu saja. Islam
berpandangan bahwa segala perbuatan baik yang dilaksanakan
dengan tulus serta kesadaran bahwa yang dilaksanakan karena
perintah Tuhan serta semata-mata untuk mencari keridhaan-Nya,
maka hal tersebut merupakan ibadah dan untuk itu ia akan
mendapatkan pahala dari-Nya.25
c. Aspek Akhlak
Dalam surat al-baqarah ayat 177 ayat petikan surat yang berisi
tentang amal akhlak adalah
25 Khurshid Ahmad, dkk., Prinsip-Prinsip Pokok Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1989),
hlm. 47-48.
52
حنياء ورالضاء وأسفي الب ابرينالصوا وداهإذا ع دهمهوفون بعالمو البأس
Dalam aspek ini Yang meliputi
1. Amanah
Dalam ayat diatas yang termasuk dalam amanh adalah menepati
janji apabila ada akad janji, baik janji kepada Allah maupun kepada
manusia dan sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan.
Bentuk perjanjian itu ada tiga
a. Janji Hamba dengan Khaliqnya
Manusia ketika masih di alam rahim (alam ruh) telah
mengadakan perjanjian dengan Tuhannya, perjanjian tentang
pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan yang harus disembah,
diibadahi, ditaati. Perjanjian ini jelas dalam QS. al-Qur'an surat al-
A’raf: 172
كبذ رإذ أخلى وع مهدهأشو مهتيذر ورهمظه من مني آدب من أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنا كنا
ذا غافلنيه ن172﴿ع﴾ “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman: Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, “betul” (Engkau Tuhan kami) Engkau menjadi saksi” (kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat) kamu tidak mengatakan sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lupa.”26
Kehidupan ini seluruhnya diikat dengan janji, mengakui
hamba Allah artinya menepati janji dengan Allah bersaksi bahwa
Muhammad utusan Allah, mematuhi perintah dan larangannya.27
26 Soenarjo, dkk., al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004),
hlm. 232 27 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz II, (Jakarta: Panji Masyarakat, 1982), hlm. 108
53
b. Janji Manusia dengan Manusia
Seluruh hidup kita sesama manusia adalah ikatan janji
belaka, mendirikan negara adalah suatu janji bersama akan hidup
dengan rukun, kepentingan pribadi dikesampingkan manakala telah
bergabung dengan kepentingan bersama. Akad nikah juga
merupakan ikat janji, khalifah dengan rakyat lebih dulu berjanji
dengan yang mengangkatnya, yaitu rakyat yang disebut dengan baiat.
Dalam dunia perdagangan, penjual dan pembeli terikat dengan janji,
peminjam dengan yang dipinjami terikat dengan janji akan
mengembalikan uangnya sehingga harus dicatat agar di kemudian
hari tidak terjadi pengingkaran. Firman Allah QS. Al-Baqarah: 282.
وهبى فاكتمسل من إلى أجيبد متنايدوا إذا تنآم ا الذينها أيي… ﴿282﴾
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”28
c. Janji Negara dengan Negara
Suatu negara tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya
pengakuan dari negara lain, kemerdekaan suatu bangsa sangat
bergantung dengan pengakuan suatu negara diwilayah itu, negara
merupakan alat untuk mempersatukan rakyat dan melindunginya
agar bisa berhubungan dengan negara-negara lain, meningkatkan
hubungan dalam rangka meningkatkan ekonomi, politik, sosial,
budaya dan etika-etika lain yang disepakati bersama. Hal ini bisa
dilihat dalam al-Qur'an surat al-Hujarat: 13.
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا ه أتقاكم إن الله عليم خبري وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الل
﴿13﴾
28 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 282
54
“Wahai manusia, sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya kamu saling kenal mengenal, sungguh yang paling mulai diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti.”29
Maka seluruh kehidupan di dunia ini adalah mata rantai
belaka dari ikatan janji, baik janji kepada Tuhan, janji dengan sesama
makhluk. Maka orang beriman belumlah mencapai kebaikan kalau
tidak teguh memegang janji itu. Orang yang mengingkari janji
dengan manusia sebenarnya berarti ingkar janji juga dengan
Tuhannya.30
Dari tiga kandungan dasar diatas akhir dari perjalanan itu adalah
terciptanya orang orang uyang taqwa yaitu orang-orang yang sesuai sikap,
perbuatannya, itulah orang-orang yang bertakwa.31
Mereka itulah orang-orang yang benar-benar imannya dan mereka
itulah orang-orang yang takwa demikian itulah penutup ”Al-Bir” mereka
itulah yang benar-benar imannya, benar mal perbuatannya benar dalam
moralnya, maka mereka yang benar mendapat gelar taqwa, yang taqwa
secara mutalak, yang bekerja untuk segala yang dapart membawa kebaikan
bagi diri sendiridan masnusia, serta menjauhkan diri dari yang membawa
madharat atas dirinya dan orang lain.32
2. Sabar
Dari sekian banyak keterangna tentang aspek akhlak, yang
menjadi kunci pokok dari kajian ini menurut peneliti adalah sabar,
karena degnan kesabaran akan menjadikan kita berhati hati dalam
menjalkani hidup dan mendekatkan diri degnan Allah.
Menurut kaca mata Islam orang yangperkasa bukanlah seorang
yang mempunyai fisik dan otot yang kuat, mampu menaklukkan dan
29 Ibid.,hlm. 745 30 Hamka, op. cit.,hlm. 109 31 Quraish Shihab, op. Cit, hlm 391 32 Mahmud Saltut, op. cit, hlm. 175-176.
55
mengaahkan lawan-lawannya,. Tetapi orang yang perkasa adalah yang
dapat bertindak penuh pertimbangan dan sabar, serta mampu
mengendalikan nafsunya ketika marah.33
Secara khusus, sabar juga mengandung arti sikap konsisten
untuk senantiasa menentukan pilihan maju (progression choise) dan
senantiasa menghindarkan diri dari pilihan-pilihan mundur (regression
choise)34
Secara umum sabar ditujukan kepada segenap makhluk jenis
manusia dan secara khusus sasarannya adalah orang-orang yang
beriman. Orang-orang yang beriman akan menghadapi tantangan,
gangguan ujian, cobaan, Yang menuntut pengorbanan harta benda
dan jiwa yang berharga bagi mereka.35
Telah menjadi sunnatullah, manusia selalu berhadapan dengan
lawan yang selalu melakukan tipu daya, merencanakan kejahatan
dan mencuri kesempatan untuk menimbulkan kerugian dan bencana.
Hal ini dapat dilihat secara historis perjalanan Nabi-Nabi utusan
Allah dalam menyampaikan ayat-ayat-Nya (kebenaran) di muka bumi
ini. Allah menciptakan Iblis bagi Nabi Adam, Raja Namruz bagi Nabi
Ibrahim, Fir’aun bagi Nabi Musa, Abu Jahal dan kawan-kawannya
bagi Nabi Muhammad SAW36. Sinyalemen ini dapat dilihat dalam
salah satu Firman Allah SWT,
ذلك جعلنا لكل نبي عدوا من المجرمني وكفى بربك هاديا وك ونصريا
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi musuh dari orang-orang yang berdosa.” (Q.S. Al Furqan: 31) 37
33 Muhammad Ali Hasyimi, Syahsiyah Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm.
53 34 Hasyim Muhammad , Dialog Tasawwuf dan Psikologi : Telaah Atas Pemikiran
Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Pustaka pelajar offset, Cet. I, 2002), hlm. 122
35 Yusuf Qordhowi, Al Qur’an Menyuruh Kita Sabar, Terj.H.A. Aziz Salaim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet.II, 2003), hlm. 20
36 Yusuf Qordhowi, op. cit, hlm 20 37 Soenarjo, dkk, op. Cit, hlm. 236
56
Dalam Hadit nabi bersabda :
روى الشيانخع ب انعى سالدي يرذخض راهللاي ع نن أهن ا ماسأل اننارص لأسوا رساهللالو ى اهللال صل عهيو لسأ فمطعاهثم ملأ سوأ فاهطعاهمح ىت فندا ع مندلالق فه هخم ينع فنل كقش بئي هديم كا يمن نخ عري ى دن ربصت ينم و اهللاهنغ ينغتس ينم و اهللاهفع يففعتس ينم ومكن عهرخد أنلفيبصراهللاه و ا أمطعاي حداءط عخ يرأا ووسمع نالص رب
Bukhari Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry bahwa sejumlah orang Anshar pernah meminta sesuatu kepada Rasulullah SAW lalu beliau memberinya. Mereka lalu meminta untuk kedua kalinya dan beliau pun memberinya, sehingga beliau tak lagi memiliki sesuatu yang beliau berikan. Saat memberikan yang beliau miliki itu, beliau bersabda: “Tidak ada sedikit hartapun yang kusimpan untuk tidak kuberikan kepada kalian. Barang siapa yang bertekad keras untuk menjaga kesucian diri, maka Allah akan menjaga kesuciannya, barang siapa yang merasa cukup, maka Allah akan memberinya kecukupan, barang siapa yang mau melatih diri untuk bersabar, maka Allah akan memberikan kemampuan untuk bersabar. Tiada karunia yang diberikan Allah kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.”38
Sehingga sabar bukanlah sekedar kebajikan tambahan atau
pelengkap tetapi sesuatu keharusan yang sangat dibutuhkan manusia
dalam meningkatkan aspek material maupun spiritulnya. Al Qur’ran
sendiri sangat memperhatikan sabar, karena ini merupakan sikap hidup
yang harus dimiliki bagi setiap mukmin untuk menunjukkan eksistensi
dan ketahanan diri dalam menghadapi cobaan. Bahkan Ibnul Jauzy
menganggap sabar sebagai sebuah kewajiban yang harus dimiliki setiap
muslim.39
38 Syaikh Yusuf An-Nabhani, Ringkasan Riyadhus Shalihin, Terj. Abu Khodijah Ibnu
Abdurrohim, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), hlm. 156 39 Ibnul Jauzy, Shaidul Khatir Bisikan Hati Inbul Jauzy, Terj. Ibnu Ibarahim, (Jakarta:
Pustaka Azam, 1998, hlm. 144
57
Sabar sering juga dipahami sebagai tetap dan teguhnya
dorongan. Dorongan keagamaan dalam menghadapi dorongan hawa
nafsu.40 keagamaan adalah sesuatu yang kepadanya manusia
ditunjukkan berupa ma’rifat (pengetahuan atau pengenalan) terhadap
Allah dan Rasul-Nya dan ma’rifat terhadap semua kemaslahatan yang
berkaitan dengan akibat yang baik (di akhirat nanti). Yakni suatu sifat
yang membedakan antara manusia dan binatang dalam mematahkan
syahwat-syahwatnya.
Maka barang siapa tetap teguh memegangi dorongan
keagamaan, sehingga dapat menguasainya dan terus menerus
memerangi dorongan-dorongan syahwatnya ia termasuk dalam
golongan orang-orang yang sabar. Sedangkan bila ia merasa kalah
dan lemah, sehingga tidak berdaya oleh syahwatnya, sementara ia
pun tidak sabar dan menolak mengusirnya, maka ia termasuk dalam
golongan pengikut syaitan.41
Menurut al Gazali sabar itu merupakan suatu maqam
(tingkat) dari tingkat-tingkat agama. Dari suatu kedudukan orang-
orang yang berjalan menuju kepada Allah SWT (orang-orang salihin).
ihwal dan amal perbuatan. Ma’rifat merupakan pokok atau dasar
yang akan mewariskan hal-ihwal. Dan hal-ihwal itu akan
membuahkan amal perbuatan.42
Ma’rifat itu ibarat pohon. Hal-ihwal itu adalah seperti rantingnya
dan amal perbuatan itu Dan ini terdapat pada semua kedudukan (tempat)
orang-seperti buahnya. orang yang berjalan kepada Allah. Maka
sabar pada hakekatnya adalah ibarat dari ma’rifat itu dan amal
perbuatan adalah seperti buah yang keluar dari ma’rifat. Bila dicermati
40 Syeikh Muhammad Djamaluddin Al Qasimy Ad Dimsyaqi, Bimbingan Orang-orang
Mukmin, Terj. Abu Ridha, (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993), hlm. 698 41 Ibid, 42 Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, Terj. Rof. Tk.H. Ismail Yakub SH, (Jakarta: CV. Faizan,
Jilid VI, Cet.II, 1982). hlm.273
58
dengan seksama, ternyata sabar hanyalah karakter yang hanya dimiliki
manusia.
Hewan atau binatang hanya dikuasai oleh dorongan-dorongan
nafsu birahi, sedangkan para malaikat tidaklah dikuasai oleh hawa nafsu.
Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri
keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan kearah derajat kedekatan
kepada-Nya. Mereka bertashbih mensucikan Allah SWT sepanjang
siang dan malam tiada henti. Pada diri mereka (malaikat) tidak ada
dorongan-dorongan nafsu yang mengarah pada kemaksiatan dan
pendurhakaan terhadap kehendak Tuhannya.43
Sementara pada diri manusia cenderung dikendalikan
oleh dua kekuatan (potensi) yang saling mempengaruhi (menyerang)
dan berebut untuk menguasainya. Yang pertama, adalah potensi yang
berasal dari Allah dan Malaikat-Nya yang berupa akal pikiran
berikut seluruh instrumennya. Yang kedua adalah potensi yang
mengarah pada pengingkaran serta kontra dengan potensi yang
pertama. Potensi ini merupakan pengaruh dari syetan yang berupa
hawa nafsu dan seluruh instrumennya.
Potensi ketuhanan yang berupa unsur pendorong agama dan
akal selalu memerangi pasukan syetan dengan berbagai daya
upaya menjerumuskan manusia ke lembah kemaksiatan dan
kehinaan. Jika dorongan agama lebih kuat dalam menghadapi
pendorong hawa nafsu hingga dapat mengalahkannya, maka berarti
telah mencapai tingkatan (maqam) sabar.
Dari tiga kandungan dasar diatas akhir dari perjalanan itu adalah
terciptanya orang orang yang taqwa yaitu orang-orang yang sesuai sikap,
perbuatannya, itulah orang-orang yang bertakwa.
أولئك الذين صدقوا وأولئك هم المتقون
43 Imam Al-Ghazali, Teosofia Al-Qur’an, (Surabaya: Risalah Gusti, 1988). hlm. 236
59
Mereka itulah orang-orang yang benar-benar imannya dan
mereka itulah orang-orang yang takwa demikian itulah penutup ”Al-Bir”
mereka itulah yang benar-benar imannya, benar mal perbuatannya benar
dalam moralnya, maka mereka yang benar mendapat gelar taqwa, yang
taqwa secara mutalak, yang bekerja untuk segala yang dapart membawa
kebaikan bagi diri sendiridan masnusia, serta menjauhkan diri dari yang
membawa madharat atas dirinya dan orang lain.44
H. Nilai-Nilai Keimanan Sebagai Manifestasi Ketakwaan Dalam Surat Al-
Baqarah Ayat 177
Dari akhir ayat ini menjelaskan tentang ketaqwaan yang menyeluruh.
Ketaqwaan itu bukan saja masalah keduniaan tetapi juga, masalah keahiratan.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa pengertian tentang essensi taqwa itu sendiri
dari para mufasir.
Di dalam Tafsir Al-Maraghi, Ahmad Musthafa Al-Maraghy
menjelaskan bahwa takwa adalah mencegah agar supaya Allah jangan sampai
murka terhadap-Nya dengan ejlan menjauhi pernuatan dosa dan larangan-
larangan-Nya.45
Di dalam Tafsir Mizan dijelaskan bahwa takwa adalah berbakti kepada
Allah dan takut akan siksaan-Nya, dengan cara meninggalkan segala larangan-
Nya dan menjauhkan diri dari segala perbuatan yang menimbulkan dosa
terhadap-Nya.46
Sedangkan menurut Tafsir Al Azhar dikemukakan bahwa takwa adalah
pemeliharaan. Orang yang bertakwa berarti orang yang selalu memlihara
hubungannya dengan Allah.47
Keimanan yang tersebut pertama kali dalam surat Al-Baqarah ayat 117
adalah merupakan tahap awal menuju tercapainya kualitas takwa seorang
44 Mahmud Saltut, hlm. 175-176. 45 Ahmad Mustafa al-Margay, op. cit., hlm. 107 46 Muh. Husain, At-Thabathaba’i, op.cit, hlm. 430 47 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz II, (Jakarta: PT.Pustaka Panjimas,1984), hlm. 78.
60
muslim. Degnan keimanan yang baik akan berimbas pada kualitas amal ibadah
dan akhlakul yangm sesuai dengan ajaran Islam.
Keimanan iman kepada Allah SWT. akan menimbulkan antara lain;
1. Iman kepada Allah membebaskan diri dari penguasaan orang lain,
membesarkan hati, menentramkan jiwa, menumbuhkan harapan dan
optimisme.
2. Iman kepada Malaikat akan membangkitkan semangat mukmin untuk
mengabdikan diri kepada Allah SWT, mensucikan hati dan membersihkan
diri kepada sifat-sifat yang tidak disukai Allah.
3. Iman kepada kitab-kitab Allah mengandung hikmah antara lain;
menumbuhkan gairah untuk membacanya, memberi inspirasi, memahami
isinya dengan kesiapan mental untuk menjalankan dan mengikuti serta
meninggalkan apa yang dilarangnya kemudian disampaikan kepada orang
lain.
4. Iman kepada para nabi/rasul akan menumbuhkan keyakinan akan
kesempurnaan Islam yang dibawa nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya meneladani jejaknya dengan mengamalkan sunnahnya baik
berupa ucapan, sikap, tingkah laku dan sebagainya.
5. Iman kepada hari akhir akan mendorong setiap mukmin memilih
perbuatan-perbuatan baik ketimbang perbuatan buruk yang tidak ada
nilainya di hadirat Tuhan, bahkan hanya mengurangi berat timbangan
amal baik di hari perhitungan kelak.
6. Iman kepada takdir akan menimbulkan keberanian, melahirkan
kepahlawanan dan menumbuhkan kesanggupan menghadapi berbagai
situasi. Apabila seseorang telah mengerti bahwa ia berada di pihak Tuhan,
ia akan mundur. 48
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa enam rukun iman dapat
memberikan kontribusi bagi terciptanya kondisi mental yang sehat. Mental
sehat yang dimaksud bukan terbatas pada makna kesehatan mental yang
48 Hawari, Dadang. Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.
(Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2002), hlm 429.
61
bersifat psikilogis, tetapi juga meliputi seluruh dimensi manusia baik fisik,
psikis maupun spiritual.
Islam membagi dua garis besar sebagai dasar wujud muslim sempurna,
bagian pertama adalah konsep atau teori atau yang lazim sekali disebut
sebagai Arkanul Iman (Rukun-rukun Iman), bagian yang kedua adalah praktek
sebagai suatu amalan-amalan ibadah yang mencakup segala apa yang harus
dikerjakan oleh seorang muslim, yang lazim sebagai Arkaanul Islam (Rukun
Islam) dan ditunjang dengan amalan-amalan ibadah sunah lainnya.
Iman dengan amal, bak mata uang atau bak dua sayap burung yang
tidak bisa dipisah-pisahkan, dimana amal merupakan manivestasi dari iman.
Dengan demikian amalpun harus berpedoman pada dasar-dasar hukum agama
Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Maka jelaslah pengertian dasar iman dalam Al-Qur’an yang memberi
pengertian iman dengan membenarkan (At-Tashdiiq) dan iman dengan
pengertian amal (Iltizaam). Amal yang dikehendaki adalah amal iman, yakni
segala perbuatan kebajikan yang tidak bertentangan dengan hukum yang telah
digariskan oleh syara’.49
Rasulullah SAW menegaskan bahwa semua amalan dalam Islam
sebagai iman, mulai dari syahadat sampai amal yang paling kecil yaitu
membuang duri (sesuatu yang membahayakan orang lain) di jalan, dan malu
adalah salah satu cabang iman.
Hubungan iman dengan amal adalah hubungan budi dengan perangai,
hubungan antara makhluk dengan kholiknya, artinya seseorang yang percaya
dan memantapkan di hatinya bahwa Allah ‘Azza wa Jalla adalah Tuhannya,
taat kepada Rasul-Nya maka akan terdorong untuk mengerjakan perbuatan-
perbuatan yang diridhoi Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan harapan kelak
mendapat ridho dan kepercayaan yang tiada keragu-raguan, bahwa kelak akan
berjumpa dengan Rabbnya.
49 Zakiah Daradjat, dkk, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Universitas Terbuka, 1995), hlm. 158.
60
BAB IV
IMPLEMENTASI KONSEP AL- BIRR DALAM SURAT AL-BAQARAH
AYAT 177 PADA PENDIDIKAN ISLAM
A. Konsep Al-Birr Dalam QS. Al-Baqarah 177
Sebagaimana telah penulis bahas pada bab sebelumnya, bahwa dalam
surat al Baqarah ayat 177 dapat dikelompokkan menjadi dalam beberapa
aspek yaitu:
a. Aspek Keimanan / Aqidah
Aspek keimanan meliputi imam kepada Allah, iman kepada Malaikat,
iman kepada Kitab-kitab, iman kepada Rasul-rasul, iman kepada Hari
Kiamat, dan iman kepada Takdir.
1. Iman Kepada Allah
Yang dimaksud Iman kepada Allah SWT adalah membenarkan
adanya Allah SWT, dengan cara menyakini dan mengetahui bahwa
Allah SWT wajib adanya karena Zatnya sendiri (Wajib Al-wujud li
Dzathi), Tunggal dan Esa, Raja yang Maha kuasa, yang hidup dan
berdiri sendiri, yang Qodim dan Azali untuk selamanya. Dia Maha
Mengetahui dan Maha kuasa terhadap segala sesuatu, berbuat apa
yang Ia kehendaki, menentukan apa yang Ia inginkan, tiada sesuatupun
yang sama dengan-Nya, dan Dia Maha Mengetahui.1
Jadi Iman kepada Allah SWT adalah mempercayai adanya
Allah SWT beserta seluruh keAgungan Allah SWT dengan bukti-
bukti yang nyata kita lihat yaitu dengan diciptakannya dunia ini
beserta isinya.
2. Iman Kepada Para Malaikat
Iman kepada para malaikat adalah percaya bahwa malaikat itu
makhluk ciptaan Allah SWT yang tidak pernah membangkang perintah-
1 Habib Zain bin Ibrahim bin Sumarth, Hidayatuth Thalibin Fi Bayan Muhimmatid Din, Terj. Afif Muhammad, Mengenal Mudah Rukun Islam, Rukun Iman, Rukun Ikhsan secara Terpadu, A. Bayan, 1998), hlm. 113.
63
Nya, juga makhluk gaib yang menjadi perantara-perantara Allah
SWT dengan para Rasul.
Kita percaya bahwa malaikat merupakan makhluk pilihan
Allah, mereka tidak berbuat dosa, tidak melawan kepada-Nya,
pekerjaannya semata-mata menjunjung tinggi tugas yang diberikan
kepada mereka masing-masing.2
3. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah
Iman kepada kitab-kitab Allah SWT ialah meyakini bahwa
kitab-kitab tersebut datang dari sisi Allah SWT yang diturunkan kepada
sebagian Rasulnya. Dan bahwasanya kitab-kitab itu merupakan firman
Allah SWT yang Qadim, dan segala yang termuat didalamnya
merupakan kebenaran.3 Dan kita tahu kitab-kitab yang diturunkan
kepada Rasul itu ada empat yaitu kitab Taurat yang diturunkan pada
Nabi Musa, Injil kepada Nabi Isa, Zabur kepada Nabi Daud dan Al-
Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW.
4. Iman Kepada Para Rasul
Iman kepada Rasul adalah percaya dan yakin bahwa Allah SWT
telah mengutus para Rasul kepada manusia untuk memberi petunjuk
kepada manusia, dan Nabi yang wajib kita percayai itu ada 25 orang
yaitu: Adam, Idris, Nuh, Hud, Ibrahim, Shaleh, Luth, Ismail, Ishaq,
Ya’kub, Yusuf, Ayyub, Su’aib, Harun, Musa, Ilyassa, Dzulkifli
Daud, Sulaiman, Ishak, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, dan Muhammad
SAW sebagai Nabi terakhir.
5. Iman Kepada Hari Akhir
Hari akhir ialah Hari Kiamat, termasuk kebangkitan (al-ba’ts),
yaitu keluarnya manusia dari kubur mereka dalam keadaan hidup,
sesudah jazad mereka dikembalikan dengan seluruh bagiannya seperti
dulu kala ada di dunia.4
6. Iman Kepada Takdir (Qodha dan Qodhar) 2 Kaelany HD, op.cit., hlm. 76. 3 Ibid., hlm. 82.
4 Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, op. cit., hlm. 201.
64
Iman kepada Qodha dan Qodhar adalah percaya bahwa segala
hak, keputusan, perintah, ciptaan Allah SWT yang berlaku pada
makhluknya termasuk dari kita (manusia) tidaklah terlepas (selalu
berlandaskan pada) kadar, ukuran, aturan dan kekuasaan Allah
SWT.5
Sebagai manusia biasa yang lemah kita harus percaya bahwa
segala sesuatu yang terjadi pada diri kita atas izin Allah SWT jadi
berserah dirilah kepada Allah SWT, dengan cara berusaha, berdoa dan
berikhtiyar kepada Allah. Karena Allah SWT memberi cobaan itu
pasti sesuai dengan porsi kita masing-masing, tidak ada yang kurang
atau lebih. Artinya manusia hanya bisa berusaha dan sesungguhnya
Allah SWT yang akan menentukan.
Jadi dalam pendidikan keimanan harus dapat memberikan
pemahaman kepada peserta didik sebagai seorang mu’min kita wajib
percaya kepada rukun Iman yang akan menjadi benteng yang kokoh
dalam kehidupan kita di dunia. Dan kita memang harus yakin bahwa
Allah SWT lah Tuhan kita, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai
Rasul, al-Qur’an sebagai kitabullah dan petunjuk, serta kita berpegang
teguh kepada agama Islam, beriman kepada semua yang telah
diciptakan Allah SWT.
Selain itu dalam pendidikan keimanan peserta didik juga harus
diajarkan tentang mempercayai atau berikan kepada mahluk gaib
lainnya karena Selain Malaikat Allah juga menciptakan makhluk yang
dinamakan Iblis, Setan dan Jin. Mengenai materi penciptaan Malaikat
dan Jin terdapat perbedaan: Allah menciptakan Malaikat dari Nur
sedangkan Jin diciptakan dari api yang panas, sebagaimana firman
Allah:
)27: احلجر . (والجان خلقناه من قبل من نار السموم
5 Ibid, hlm. 203.
65
“Dan kami telah menciptakan Jin (sebelum Adam) dari api yang sangat panas”. (QS. Al-Hijr:27) 6
b. Aspek Ibadah
Dalam surat al-baqarah ayat 177 ayat petikan surat yang berisi
tentang amal perbuatan (ibadah) adalah
وآتى المال على حبه ذوي القربى واليتامى والمساكني وابن السبيل لاة والص أقامقاب وفي الرو ائلنيالسكاةوى الزآت
Yang meliputi mendirikan shalat sebaik mungkin dengan
memperhatikan segala syarat dan rukunnya. Menunaikan zakat sebagai
perintah membersihkan hartanya kepada yang berhak menerimannya.
Memberikan harta yang dicintainya,maksudnya memberikan harta yang ia
cintai dan memberikan harta karena cinta kepada Allah. Harta yang
dimaksudkan diberikan kepada karibkerabatnya yang masih dekat,anak-
anak yatim yang ditinggal mati ayahnya pada saat masih kecil, orang-orang
miskinyg tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, orang yang peminta-minta
yang tidak mampu lagi mencari kehidupan hidupnya dan sangat terpaksa,
ibnu sabil yang jauh dari keluarga dan harta yang meliputi penuntut ilmu,
penemu untuk kemanfaatan masyarakat, mubalig dan ahli silaturrahmi,
hamba sahaya yang tidak mampu membebaskan dirinya.
Dasar pelaksanaan ibadah bagi seseorang dalam agama Islam
merupakan cara untuk mensucikan diri bagi jiwa manusia atau pun
kehidupan sehari-hari.
Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa beribadah itu tidak terbatas
hanya pada tata cara peribadatan yang telah ditentukan, melainkan
mempunyai makna yang lebih menyeluruh dan luas sekali, meliputi
6 Soenarjo, op.cit, hlm 435
66
seluruh aktivitas dan bidang kehidupan dan mencakup seluruh perbuatan,
karsa dan rasa. 7
Dari ayat diatas yang berkaitan dengan amal perbuatan atau ibadah
pada dasarnya mengisayaratkan bahwa ibadah itu di bagi menjadi du
macam yaitu :
1. Ibadah Mahdhah
Yaitu hubungan langsung antara hamba dan Tuhannya,
yang cara, acara, dan upacaranya telah diatur secara terinci dalam
al-Qur’an dan sunnah Rasul.
Dalam implementasinya pada pendidkan Islam ibadah
maghdah ini terangkum pada mata pelajaran Fiqih, pembahasan
bagian ibadah ini biasanya, meliputi: thaharah, shalat, zakat,
shaum, dan hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan
kelimanya.
2. Ibadah Ghairu Mahdah
Yaitu segala amal perbuatan yang titik tolaknya ikhlas,
tujuannya mencari ridha Allah dan garis amalnya amal shaleh.8
Hal ini dapat diimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan
ekstrakulikuler seperti Kepramukaan, Palang Merah Remaja
(PMR), Kegiatan Bakti Sosial dan sebagainya.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, “ibadah yang pertama
bersifat ritual, sedang ibadah yang kedua bersifat sosial. Untuk
tidak mengacaukan orang awam (juga para ahli), para fuqaha
menyebut ibadah pertama adalah ibadah mahdhah dan ibadah
kedua lazim disebut mua’malah”.9
c. Aspek Akhlak
Dalam surat al-baqarah ayat 177 ayat petikan surat yang berisi
tentang amal akhlak adalah
7 Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, Terj. Herry Noer Ali, Minal Ushul
Tarbiyah Fil Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hlm. 139 8 Endang Saifuddin Anshari, Kuliah al-Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 85-86. 9Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 138.
67
حنياء ورالضاء وأسفي الب ابرينالصوا وداهإذا ع دهمهوفون بعالمو البأس
Dalam aspek ini Yang meliputi
1. Amanah
Dalam ayat diatas yang termasuk dalam amanh adalah
menepati janji apabila ada akad janji, baik janji kepada Allah
maupun kepada manusia dan sabar dalam kesempitan, penderitaan
dan dalam peperangan.
Bentuk perjanjian itu ada tiga
a. Janji Hamba dengan Khaliqnya
Manusia ketika masih di alam rahim (alam ruh) telah
mengadakan perjanjian dengan Tuhannya, perjanjian tentang
pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan yang harus disembah,
diibadahi, ditaati. Perjanjian ini jelas dalam QS. al-Qur'an surat al-
A’raf: 172
خذ ربك من بني آدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على وإذ أأنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنا كنا
ذا غافلنيه ن172﴿ع﴾ “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman: Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, “betul” (Engkau Tuhan kami) Engkau menjadi saksi” (kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat) kamu tidak mengatakan sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lupa.”10
Kehidupan ini seluruhnya diikat dengan janji, mengakui
hamba Allah artinya menepati janji dengan Allah bersaksi bahwa
Muhammad utusan Allah, mematuhi perintah dan larangannya.11
10 Soenarjo, dkk., al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004),
hlm. 232 11 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz II, (Jakarta: Panji Masyarakat, 1982), hlm. 108
68
Dalam Pendidikan Islam implementasi bentuk perjanjian
hamba dengan Khaliknya dapat dilihat adanmya pelaksanaan
ibadah-ibadah wajib seperti Sholat, Zakat, Puasa, dan lain-lain.
b. Janji Manusia dengan Manusia
Seluruh hidup kita sesama manusia adalah ikatan janji
belaka, mendirikan negara adalah suatu janji bersama akan hidup
dengan rukun, kepentingan pribadi dikesampingkan manakala telah
bergabung dengan kepentingan bersama. Akad nikah juga
merupakan ikat janji, khalifah dengan rakyat lebih dulu berjanji
dengan yang mengangkatnya, yaitu rakyat yang disebut dengan baiat.
Dalam dunia perdagangan, penjual dan pembeli terikat dengan janji,
peminjam dengan yang dipinjami terikat dengan janji akan
mengembalikan uangnya sehingga harus dicatat agar di kemudian
hari tidak terjadi pengingkaran. Firman Allah QS. Al-Baqarah: 282.
وهبى فاكتمسل من إلى أجيبد متنايدوا إذا تنآم ا الذينها أيي… ﴿282﴾
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”12
Implementasi bentuk perjanjian ini dapat dilaksanakan melalui adanya ketaatan dan kepatuhan peserta didik pada peraturan dan tata tertib sekolah.
Maka seluruh kehidupan di dunia ini adalah mata rantai
belaka dari ikatan janji, baik janji kepada Tuhan, janji dengan
sesama makhluk. Maka orang beriman belumlah mencapai kebaikan
kalau tidak teguh memegang janji itu. Orang yang mengingkari janji
12 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 282
69
dengan manusia sebenarnya berarti ingkar janji juga dengan
Tuhannya.13
Dari dua kandungan dasar diatas akhirnya tercipta output yang
bertaqwa yaitu peserta didik yang sikap dan perbuatannya sesuai dengan
ilmu yang telah diperolah pada proses pembelajaran.14
Mereka itulah orang-orang yang benar-benar imannya dan
mereka itulah orang-orang yang takwa demikian itulah penutup ”Al-
Bir” mereka itulah yang benar-benar imannya, benar amal
perbuatannya benar dalam moralnya, maka mereka yang benar
mendapat gelar taqwa, yang taqwa secara mutlak, yang bekerja untuk
segala yang dapart membawa kebaikan bagi diri sendiridan masnusia,
serta menjauhkan diri dari yang membawa madharat atas dirinya dan
orang lain.15
2. Sabar
Dari sekian banyak keterangna tentang aspek akhlak, yang
menjadi kunci pokok dari kajian ini menurut peneliti adalah sabar,
karena degnan kesabaran akan menjadikan kita berhati hati dalam
menjalkani hidup dan mendekatkan diri degnan Allah.
Menurut kaca mata Islam orang yangperkasa bukanlah seorang
yang mempunyai fisik dan otot yang kuat, mampu menaklukkan dan
mengaahkan lawan-lawannya,. Tetapi orang yang perkasa adalah yang
dapat bertindak penuh pertimbangan dan sabar, serta mampu
mengendalikan nafsunya ketika marah.16
Secara khusus, sabar juga mengandung arti sikap konsisten
untuk senantiasa menentukan pilihan maju (progression choise) dan
13 Hamka, op. cit.,hlm. 109 14 Quraish Shihab, op. Cit, hlm 391 15 Mahmud Saltut, op. cit, hlm. 175-176. 16 Muhammad Ali Hasyimi, Syahsiyah Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm.
53
70
senantiasa menghindarkan diri dari pilihan-pilihan mundur (regression
choise)17
Secara umum sabar ditujukan kepada segenap makhluk jenis
manusia dan secara khusus sasarannya adalah orang-orang yang
beriman. Orang-orang yang beriman akan menghadapi tantangan,
gangguan ujian, cobaan, Yang menuntut pengorbanan harta benda
dan jiwa yang berharga bagi mereka.18
Telah menjadi sunnatullah, manusia selalu berhadapan dengan
lawan yang selalu melakukan tipu daya, merencanakan kejahatan
dan mencuri kesempatan untuk menimbulkan kerugian dan bencana.
Hal ini dapat dilihat secara historis perjalanan Nabi-Nabi utusan
Allah dalam menyampaikan ayat-ayat-Nya (kebenaran) di muka bumi
ini. Allah menciptakan Iblis bagi Nabi Adam, Raja Namruz bagi Nabi
Ibrahim, Fir’aun bagi Nabi Musa, Abu Jahal dan kawan-kawannya
bagi Nabi Muhammad SAW19. Sinyalemen ini dapat dilihat dalam
salah satu Firman Allah SWT,
وكذلك جعلنا لكل نبي عدوا من المجرمني وكفى بربك هاديا ونصريا
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi musuh dari orang-orang yang berdosa.” (Q.S. Al Furqan: 31) 20 Dalam Hadit nabi bersabda :
روى الشيخان عن ابى سعيد الخذري رضي اهللا عنه أن ناسا من األنصار لمسه وليلى اهللا عل اهللا صوسا رألوس ىتح مطاهفأع اهألوس ثم مطاهفأع
17 Hasyim Muhammad , Dialog Tasawwuf dan Psikologi : Telaah Atas Pemikiran
Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Pustaka pelajar offset, Cet. I, 2002), hlm. 122
18 Yusuf Qordhowi, Al Qur’an Menyuruh Kita Sabar, Terj.H.A. Aziz Salaim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet.II, 2003), hlm. 20
19 Yusuf Qordhowi, op. cit, hlm 20 20 Soenarjo, dkk, op. Cit, hlm. 236
71
نفد ما عنده فقال لهم خين عنفق كل شيئ بيده ما يكن من خير عندى نه اهللا وغن يغتسي نماهللا و عفهي ففعتسي نمو كمنع هخرأد فلن ربصتي نم
يصبره اهللا وما أعطي احد عطاء خيرا وأوسع من الصبر
Bukhari Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry bahwa sejumlah orang Anshar pernah meminta sesuatu kepada Rasulullah SAW lalu beliau memberinya. Mereka lalu meminta untuk kedua kalinya dan beliau pun memberinya, sehingga beliau tak lagi memiliki sesuatu yang beliau berikan. Saat memberikan yang beliau miliki itu, beliau bersabda: “Tidak ada sedikit hartapun yang kusimpan untuk tidak kuberikan kepada kalian. Barang siapa yang bertekad keras untuk menjaga kesucian diri, maka Allah akan menjaga kesuciannya, barang siapa yang merasa cukup, maka Allah akan memberinya kecukupan, barang siapa yang mau melatih diri untuk bersabar, maka Allah akan memberikan kemampuan untuk bersabar. Tiada karunia yang diberikan Allah kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.”21
Sehingga sabar bukanlah sekedar kebajikan tambahan atau
pelengkap tetapi sesuatu keharusan yang sangat dibutuhkan manusia
dalam meningkatkan aspek material maupun spiritulnya. Al Qur’ran
sendiri sangat memperhatikan sabar, karena ini merupakan sikap hidup
yang harus dimiliki bagi setiap mukmin untuk menunjukkan eksistensi
dan ketahanan diri dalam menghadapi cobaan. Bahkan Ibnul Jauzy
menganggap sabar sebagai sebuah kewajiban yang harus dimiliki setiap
muslim.22
Sabar sering juga dipahami sebagai tetap dan teguhnya
dorongan. Dorongan keagamaan dalam menghadapi dorongan hawa
nafsu.23 keagamaan adalah sesuatu yang kepadanya manusia
ditunjukkan berupa ma’rifat (pengetahuan atau pengenalan) terhadap
21 Syaikh Yusuf An-Nabhani, Ringkasan Riyadhus Shalihin, Terj. Abu Khodijah Ibnu Abdurrohim, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), hlm. 156
22 Ibnul Jauzy, Shaidul Khatir Bisikan Hati Inbul Jauzy, Terj. Ibnu Ibarahim, (Jakarta: Pustaka Azam, 1998, hlm. 144
23 Syeikh Muhammad Djamaluddin Al Qasimy Ad Dimsyaqi, Bimbingan Orang-orang Mukmin, Terj. Abu Ridha, (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993), hlm. 698
72
Allah dan Rasul-Nya dan ma’rifat terhadap semua kemaslahatan yang
berkaitan dengan akibat yang baik (di akhirat nanti). Yakni suatu sifat
yang membedakan antara manusia dan binatang dalam mematahkan
syahwat-syahwatnya.
Maka barang siapa tetap teguh memegangi dorongan
keagamaan, sehingga dapat menguasainya dan terus menerus
memerangi dorongan-dorongan syahwatnya ia termasuk dalam
golongan orang-orang yang sabar. Sedangkan bila ia merasa kalah
dan lemah, sehingga tidak berdaya oleh syahwatnya, sementara ia
pun tidak sabar dan menolak mengusirnya, maka ia termasuk dalam
golongan pengikut syaitan.24
Menurut al Gazali sabar itu merupakan suatu maqam
(tingkat) dari tingkat-tingkat agama. Dari suatu kedudukan orang-
orang yang berjalan menuju kepada Allah SWT (orang-orang salihin).
ihwal dan amal perbuatan. Ma’rifat merupakan pokok atau dasar
yang akan mewariskan hal-ihwal. Dan hal-ihwal itu akan
membuahkan amal perbuatan.25
Ma’rifat itu ibarat pohon. Hal-ihwal itu adalah seperti rantingnya
dan amal perbuatan itu Dan ini terdapat pada semua kedudukan (tempat)
orang-seperti buahnya. orang yang berjalan kepada Allah. Maka
sabar pada hakekatnya adalah ibarat dari ma’rifat itu dan amal
perbuatan adalah seperti buah yang keluar dari ma’rifat. Bila dicermati
dengan seksama, ternyata sabar hanyalah karakter yang hanya dimiliki
manusia.
Hewan atau binatang hanya dikuasai oleh dorongan-dorongan
nafsu birahi, sedangkan para malaikat tidaklah dikuasai oleh hawa nafsu.
Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri
keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan kearah derajat kedekatan
kepada-Nya. Mereka bertashbih mensucikan Allah SWT sepanjang
24 Ibid, 25 Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, Terj. Rof. Tk.H. Ismail Yakub SH, (Jakarta: CV. Faizan,
Jilid VI, Cet.II, 1982). hlm.273
73
siang dan malam tiada henti. Pada diri mereka (malaikat) tidak ada
dorongan-dorongan nafsu yang mengarah pada kemaksiatan dan
pendurhakaan terhadap kehendak Tuhannya.26
Sementara pada diri manusia cenderung dikendalikan
oleh dua kekuatan (potensi) yang saling mempengaruhi (menyerang)
dan berebut untuk menguasainya. Yang pertama, adalah potensi yang
berasal dari Allah dan Malaikat-Nya yang berupa akal pikiran
berikut seluruh instrumennya. Yang kedua adalah potensi yang
mengarah pada pengingkaran serta kontra dengan potensi yang
pertama. Potensi ini merupakan pengaruh dari syetan yang berupa
hawa nafsu dan seluruh instrumennya.
Potensi ketuhanan yang berupa unsur pendorong agama dan
akal selalu memerangi pasukan syetan dengan berbagai daya
upaya menjerumuskan manusia ke lembah kemaksiatan dan
kehinaan. Jika dorongan agama lebih kuat dalam menghadapi
pendorong hawa nafsu hingga dapat mengalahkannya, maka berarti
telah mencapai tingkatan (maqam) sabar. Dari tiga kandungan dasar diatas akhir dari perjalanan itu adalah
terciptanya orang orang yang taqwa yaitu orang-orang yang sesuai sikap,
perbuatannya, itulah orang-orang yang bertakwa.
أولئك الذين صدقوا وأولئك هم المتقون
Mereka itulah orang-orang yang benar-benar imannya dan
mereka itulah orang-orang yang takwa demikian itulah penutup ”Al-Bir”
mereka itulah yang benar-benar imannya, benar mal perbuatannya benar
dalam moralnya, maka mereka yang benar mendapat gelar taqwa, yang
taqwa secara mutalak, yang bekerja untuk segala yang dapart membawa
26 Imam Al-Ghazali, Teosofia Al-Qur’an, (Surabaya: Risalah Gusti, 1988). hlm. 236
74
kebaikan bagi diri sendiridan masnusia, serta menjauhkan diri dari yang
membawa madharat atas dirinya dan orang lain.27
B. Implementasi Konsep Al-Birr pada Pendidikan Islam.
Berbicara tentang kepribadian muslim sebetulnya mengacu kepada
kecenderungan tertentu memahami kepribadian manusia dari sudut pandangan
teori kepribadian Islami baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun
kelompok masyarakat (ummah). Pembicaraan ini tidak dapat terlepas dari Al-
Quran dan Hadis sebagai sumber pokok utama untuk menyusun sebuah konsep
kepribadian yang Islami tersebut.
Secara individu, seorang muslim mempunyai ciri khasnya masing-masing
meliputi sikap dan tingkah laku, serta kemampuan intelektual. Namun sebagai
Ummah kepribadian muslim merupakan kepribadian yang satu, tidak terpecah,
melainkan terintegrasi dalam satu pola kepribadian yang sama. Sebagaimana
Firman Allah SWT:
)92: األنبيأ (إن هذه أمتكم أمة واحدة وأنا ربكم فاعبدون
”Sesungguhnya Ummatmu ini adalah ummat yang satu, dan Akulah Tuhan kalian, Maka sembahlah Aku.” (Q.S. Al Anbiya’ : 92)28
Kepribadian merupakan organisasi dinamis dari peralatan fisik dan psikis
(jasmani dan rohani) dalam diri individu yang membentuk karakternya yang unik
dalam penyesuaiannya dengan lingkungannya.29 Kepribadian manusia satu dengan
lainnya berbeda-beda. Hal itu dikarenakan perbedaan faktor yang
mempengaruhinya. Sebagaimana bayi yang dilahirkan ke dunia bukan hanya
semisal kertas kosong, yang akan terbentuk kepribadiannya oleh gambar tulisan
dan percikan pengaruh yang digoreskan oleh lingkungannya.
27 Mahmud Saltut, hlm. 175-176. 28 Soenarjo, dkk., Al- Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1987),
hlm. 298. 29 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad Rofi’ Usmani,
(Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 240.
75
Manusia dalam Islam dilahirkan dalam keadaan fitrah (membawa potensi-
potensi bawaan), yang mana dalam kehidupan mendatang akan dikembangkan
melalui bimbingan dan latihan (pendidikan).
Sabda Rasulullah saw, sebagai berikut:
: قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم: عن ايب هريرة رضي اهللا عنه قالأوميجسانه . يولد على فطرة فابوه يهدينه اوينصرنهما من مولود اال
مث يقول , كما تنتج البهيمة يمة مجعاء هل حتسون فيها من جدعاءفطرة اهللا اليت فطر الناس عليها ال تبديل : (أبو هريرة رضي اهللا عنه 30)رواه البخارى). (خللق اهللا ذلك الدين القيم
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Rasululloh Saw. pernah
bersabda “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah ( keimanan terhadap tauhid [tidak mempersekutukan Allah] ) tetapi orang tuanyalah menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan yang sempurna. Apakah kau melihatnya buntung? “Kemudian Abu Hurairah membacakan ayat – ayat suci ini : ( Tetaplah atas ) fitrah manusia menurut fitrah itu. ( Hukum – hukum ) ciptaan Allah tidak dapat diubah. Itulah agama yang benar. Tetapi sebagian manusia tidak mengetahui.” (H.R. Bukhori )31
Kewajiban mengembangkan potensi itu merupakan beban dan tanggung
jawab manusia kepada Allah. Kemungkinan pengembangan-pengembangan
potensi itu mempunyai arti bahwa manusia mungkin dididik, sekaligus mungkin
pula suatu saat akan mendidik.3 Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dan secara kodrati manusia
merupakan makhluk pedagogik.
Manusia diciptakan Allah dalam struktur jasmani dan rohani yang mana
dalam struktur tersebut terdapat unsur ruh, akal dan badan yang membentuk
30 Zainuddin Ahmad bin Abdul Latif Azzubaidi, Mukhtashar Shakhikhul Bukhari,
(Beirut: Darul Kutb Al-Alamiyah, t.t.), hlm.154. 31Zainuddin Ahmad bin Abdul Latif Azzubaidi, Terj. Cecep Samsul Hari, Terjemah
Shoheh Al-Bukhari, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 272-273.
76
kepribadian seseorang. Untuk menjadikan pribadi yang berkepribadian muslim
diperlukan pendidikan Islam dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan tersebut
kepadanya. Nilai-nilai pendidikan tersebut merupakan landasan dan pedoman
dalam bertingkah laku, baik tingkah laku luar maupun dalam.32
Di antara nilai-nilai yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian
muslim terdapat dalam Surat Al-Baqarah Ayat 177 yaitu nilai-nilai keimanan
yang mengajak kepada manusia memperbanyak kebaikan. Dari nilai-nilai
keimanan itu efek yang mengikuti adalah aspek ibadah dan akhlakul karimah.
Kunci dari Surat Al-Baqarah Ayat 177 pada kata Al-birr yang secara
bahasa secara bahasa berarti memperbanyak kebaikan. Asal katanya asalah al-
barr (daratan), dan lawan katanya adalah al barr (laut). Menurut istilah syari’at
adalah setiap sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Alla;
yakni iman, amal saleh dan akhlak mulia, sehingga nantinya terbentuk insan yang
bertaqwa.
Dalam pandangan beberapa mufassir seperti HAMKA, Sayid Qutub
maupun Quraisy Shihab dalam ayat ini pada hakekatnya adalah iman yang diserai
dengan amal shaleh. Menurutnya iman yang dimaksud adalah tanda kebajikan
yang mengyangkut dengan sikap batiniah, akan tetapi kebajikan itu tidak hanya
dengan sikap batin saja, melainkan harus dilahirkan dengan tindakan nyata yang
dapatdilihat yaitu dengan memberikan bantuan harta yang dicintai baik pada
keluarga dan kerabat, anak yatim, fakir miskin, paramusafir, dan memberikan
harta untuk memerdekakan hamba sahaya. Di samping itu perlu disempurnakan
lagi dengan amal shaleh, diantarannya adalah mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, menepati janji, dan sabar dalam penderitaan, kesulitan serta ketika dimedan
jihad. Ini mengidentifikasikan bahwa untuk membentuk pribadi yang baik pada
anak didik maka diperlukan aktualisasi nilai-nilai keimanan yang terdiri dari tiga
aspek yaitu aspek iman, aspek ubudiyah dan aspek akhlak sehingga terealisasi
kehidupan yang seimbang antara iman dan amal.
1. Implementasi Aspek Keimanan Pada Pendidikan Islam
32 Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 17.
77
Keimanan yang tersebut pertama kali dalam surat Al-Baqarah ayat
117 adalah merupakan tahap awal menuju tercapainya kualitas takwa seorang
muslim. Dengan keimanan yang baik akan berimbas pada kualitas amal
ibadah dan akhlakul karimah yang sesuai dengan ajaran Islam.
Keimanan kepada Allah SWT. akan menimbulkan antara lain;
membebaskan diri dari penguasaan orang lain, membesarkan hati,
menentramkan jiwa, menumbuhkan harapan dan optimisme. Kedua, iman
kepada Malaikat akan membangkitkan semangat mukmin untuk
mengabdikan diri kepada Allah SWT, mensucikan hati dan membersihkan
diri kepada sifat-sifat yang tidak disukai Allah. Ketiga, iman kepada kitab-
kitab Allah mengandung hikmah antara lain; menumbuhkan gairah untuk
membacanya, memberi inspirasi, memahami isinya dengan kesiapan mental
untuk menjalankan dan mengikuti serta meninggalkan apa yang dilarangnya
kemudian disampaikan kepada orang lain. Keempat, iman kepada para
nabi/rasul akan menumbuhkan keyakinan akan kesempurnaan Islam
yang dibawa nabi Muhammad SAW. Selanjutnya meneladani
jejaknya dengan mengamalkan sunnahnya baik berupa ucapan, sikap,
tingkah laku dan sebagainya. Kelima, iman kepada hari akhir akan
mendorong setiap mukmin memilih perbuatan-perbuatan baik ketimbang
perbuatan buruk yang tidak ada nilainya di hadirat Tuhan, bahkan hanya
mengurangi berat timbangan amal baik di hari perhitungan kelak. Keenam,
iman kepada takdir akan menimbulkan keberanian, melahirkan
kepahlawanan dan menumbuhkan kesanggupan menghadapi berbagai situasi.
Apabila seseorang telah mengerti bahwa ia berada di pihak Tuhan, ia tidak
akan mundur dari problem yang dihadapinya. 33
2. Implementasi Aspek Ibadah Pada Pendidikan Islam
Ruhani merupakan non fisik yang mempunyai tiga daya yaitu daya
pikir yang disebut akal, daya rasa yang disebut qalbu, daya kemauan yang
disebut nafsu. Masing-masing daya mempunyai fungsi yaitu akal merupakan
33 Hawari, Dadang. Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.
(Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2002), hlm 429.
78
daya pikir atau potensi inteligensi, qalbu merupakan suara hati yang memberi
arah pada manusia untuk bertindak, sedangkan nafsu merupakan pemberi
instruksi pada jasmani untuk bertindak. Selain itu ruhani merupakan pusat
eksistensi manusia dan penuntun kepada kebenaran dengan kata lain
penghubung manusia dengan sang Khaliq, dan pusat kekuatan ruhaniah
terletak pada hati. Hati yang bersih akan membimbing dan mengarahkan jiwa
agar selalu ingat dan beribadah kepada Allah dengan ikhlas. Di sinilah peran
pendidikan ruhaniah untuk membimbing dan mengembangkan potensi-
potensi yang dimiliki oleh jiwa dan akal manusia.
Pada dasarnya seorang muslim yang baik adalah Seorang muslim
yang memiliki sifat-sifat tersebut di atas dan tertanam dalam jiwanya, maka
hidupnya akan selalu dalam perlindungan Allah SWT (diridhai oleh Allah
SWT) dan mempunyai kekuatan untuk menanamkan sahamnya dalam
membangun masyarakat yang sesuai dengan petunjuk Islam baik di
kehidupan dunia maupun di kehidupan akhirat. Mereka juga mendapatkan
ampunan dan kemuliaan di surga nanti.. Adapun Implikasi Surat Al-Baqarah
Ayat 177 bagi pembentukan kepribadian anak didik adalah timbulnya sifat
sebagai berikut:
1. Beriman dengan benar
Yang dimaksud dengan Iman adalah membenarkan semua apa-apa
yang datang dari Allah swt. Nabi Saw bersabda :
وسلم عليه اهللا صلى اهللا رسول قال : قال عنه اهللا رضى اخلطاب بن عمر عن وشره خريه بالقدر وتؤمن االخر واليوم ورسله وكتبه ومالئكته باهللا تؤمن ان: )مسلم رواه(
“Dari Umar bin Khothab R.A berkata : Rasulullah Saw bersabda: Iman yaitu percaya kepada Allah, malaikat-Nya, rasul-Nya, hari kemudian dan percaya kepada takdir baik dan buruk dari Allah SWT”. (H.R Muslim).34
34 Imam Nawawi al-Bantani, Arba,i Nawawi, (Makkah: tt, tt), hlm 3
79
Antara iman dan Islam ini saling memperkokoh antara satu dengan
yang lainnya, kalau Islam saja tanpa iman maka ia tidak akan
menghasilkan buah di akhirat nanti. Jadi antara iman dan Islam harus
berjalan seiring dan saling memperkokoh satu sama lain.
2. Mengamalkan Islam dengan kesungguhan
Islam merupakan menyerahkan diri dan menyucikan-Nya dengan
mengikuti dan patuh pada petunjuk-Nya (perintah-peritah-Nya). Nabi Saw
bersabda:
وسلم عليه اهللا صلى اهللا رسول قال : قال عنه اهللا رضى اخلطاب بن عمر عن وتؤيت الصالة وتقيم اهللا رسول احممد وأن االاهللا الالهن ا شهدأن ت ماالسال:
)مسلم رواه( سبيال اليه استطعت ان البيت وحتج رمضان وتصوم الزكاة Dari Umar bin Khottab R A. berkata: Rasulullah Saw bersabda: Islam yaitu mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah, mengerjakan sembahyang (sholat), mengeluarkan zakat, berpuasa dalam bulan Ramadhan dan mengerjakan haji ke-Baitullah jika mampu dijalannya. ( H.R. Muslim).35
Dari hadits di atas, menunjukkan bahwa seorang muslim adalah orang
yang pasrah dan mematuhi segala perintah Allah Swt dan Rasul-Nya.
3. Bershadaqah dengan Ikhlas
Shodaqah merupakan memberikan sesuatu pemberian kepada orang
yang berhajat dengan benar-benar menghadapi keridhaan semata-mata.
عليهم إن صلاتك سكن لهم خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل ليمع ميعس الله103:التوبة(و(
35 Imam Abi Zarkiya Yahya bin Syarif Annawawi, Riyadushshalihin, (Libanon: Beirut,
t.th), hlm. 26
80
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoa’kan untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Taubat: 103)
Dengan shodaqoh, harta yang telah dimiliki oleh Seorang
Muslim akan bersih dari kotoran (hak-haknya orang yang berhak
menerimanya), dan akan mensucikan jiwanya.
4. Menjalankan Puasa
Puasa merupakan menahan diri dari perbuatan, makan, minum,
ucapan dan kelakuan. Dengan puasa dapat menahan kadar sahwat yang ada
pada diri seseorang, jika mau membersihkan harta maka dengan zakat, kalau
membersihkan diri dari kotoran dengan puasa.
3. Implementasi Aspek Akhlak Pada Pendidikan Islam
Akhlak yang mulia mengandung konotasi pengaturan hubungan yang
baik antar hamba dengan Allah, dengan sesamanya dan dengan makhluk
lainnya.
Akan tetapi Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara
berangsur-angsur, bukan hal yang sekali jadi, melainkan sesuatu yang
berkembang. Oleh karena itu pembentukan kepribadian merupakan suatu
proses
Kepribadian terbentuk melalui semua pengalaman dan nilai-nilai
yang diserap oleh anak, terutama pada masa perkembangannya. Apabila
nilai-nilai agama banyak masuk ke dalam pembentukan kepribadian
seseorang, maka tingkah laku orang tersebut akan banyak diarahkan dan
dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Disinilah letak pentingnya pengalaman
81
dan pendidikan agama pada masa pertumbuhan dan perkembangan.36
Diantaranya menumbuhkan sikap-sikap sebagai berikut :
1. Sabar
Sabar merupakan sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan
terhadap sesuatu, baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk
suruhan dan larangan maupun penerimaan terhadap perlakuan orang lain,
serta sikap menghadapi suatu musibah.
)10:امل(واصبر على ما يقولون واهجرهم هجرا جميلا “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”. (Al-Muzamil:10)37 Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa seorang dianjurkan
untuk selalu sabar dalam menghadapi semua persoalan yang dihadapinya.
Hendaknya seorang muslim itu berlaku sabar dalam hal perintah Allah,
larangan Allah, perbuatan orang (musuh), dan menerima musibah.
Pada hakekatnya sabar adalah menahan nafsu yang ada pada
diri setiap orang. Nafsu yang terkendali akan melahirkan perilaku dan
sikap yang mantap, optimis dan patuh Dzat yang mencapai keridhaan
Allah.38
2. Ashshidqu (jujur)
Jujur adalah memberikan kabar yang hak pada kenyataannya, tidak
berbohong dan bersikap apadanya. Mengakui bersalah kalau bersalah
mempertahankan suatu pendirian yang dianggap benar. Walau pun
berbagai ragam hal yang akan diderita.
3. Menjaga kemaluan
Agama Islam tidak melarang umat manusia menikmati kesenangan
seksual, malahan Islam sangat mencela orang-orang tetap
36 Zakiah Daradjat, Op. Cit., hal. 62-63. 37 Seonarjo, Op.Cit., hlm. 989 38 Muslim Nurdin dkk., Op.Cit., hlm. 244
82
mempertahankan hidup membujang. Akan tetapi Islam memberi jalan
mulia untuk menuju kearah kesenangan ini yaitu dengan jalan menikah.39
Apabila sifat-sifat tersebut terkumpul dalam jiwa Seorang Muslim,
hal itu menunjukkan sikap kepribadian Islam, dan selanjutnya disebut
dengan kepribadian yang sempurna.
Dari tiga sifat diatas tertuang dalam surat al-baqarah ayat 177 dengan
tiga aspeknya. M. Ustman Najati, mengungkapkan seperangkat sifat-sifat
orang-orang yang beriman dalam sembilan bidang perilaku yang pokok, yaitu:
1. Sifat-sifat yang berkenaan dengan aqidah. 2. Sifat-sifat yang berkenaan dengan ibadah. 3. Sifat-sifat yang berkenaan dengan hubungan sosial. 4. Sifat-sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan. 5. Sifat-sifat moral. 6. Sifat-sifat emosional dan sensual. 7. Sifat-sifat intelektual dan kognitif. 8. Sifat-sifat yang berkenaan dengan kehidupan praktis dan profesional. 9. Sifat-sifat fisik.40
Tampak jelas bagaimana eratnya hubungan antara keimanan seseorang
dengan tekunnya beribadah dan ketinggian akhlaknya. Dalam memberikan
analisanya tentang akhlak yang berhubungan dengan pembentukan kepribadian,
DR. Ramayulis mengutip dari Dr. Mohd. Abdullah Darraz mengemukakan
bahwa “Pendidikan akhlak berfungsi sebagai pemberi nilai-nilai Islam.”41
Dengan adanya nilai-nilai Islam itu dalam diri seseorang atau ummah akan
terbentuk pulalah kepribadiannya sebagai kepribadian muslim.
Oleh karena Pendidikan Islam sebagai usaha membina dan
mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmaniah dan
bertujuan membentuk kepribadian yang bulat yaitu berakhlak mulia, serta
menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya dengan landasan yang
kuat menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi.
39 Mohammad Rifai, Pembinaan Pribadi Muslim, (Semarang: C V. Wijaksana, 1993),
hlm. 9 40 M. Ustman Najati, Op. Cit., Hlm. 258 41 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm.195
83
Pada hakekatnya tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukan
pribadi muslim. Isi pribadi muslim itu adalah pengamalan sepenuhnya ajaran
Allah dan Rasul-Nya. Tetapi pribadi muslim itu tidak akan tercapai atau terbina
kecuali dengan pengajaran dan pendidikan. Pendidikan tersebut merupakan
suatu cara untuk mengembangkan potensi pada diri anak dan hal itu tidak lepas
dari adanya nilai-nilai pendidikan sebagai landasan berpijak.
Tujuan pendidikan yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai yang
bersifat fundamental seperti : nilai-nilai sosial, nilai ilmiah, nilai moral dan nilai
agama. Di sini kiranya kurang berkeyakinan bahwa pendidikan menyimpan
kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan
hidup dan dapat memberikan informasi yang paling berharga mengenai
pegangan hidup masa depan di dunia, serta membantu anak didik dalam
mempersiapkan kebutuhan yang esensial untuk menghadapi perubahan.42
Telah diuraikan sebelumnya ada empat nilai-nilai pendidikan dalam
Surat Al-Baqarah Ayat 177 yang tidak dapat dipisahkan dalam diri seseorang
yang berkepribadian muslim. Dan hendaknya ketiga aspek tersebut diterapkan
dalam jiwa anak yang merupakan objek dari pendidikan.
Proses pembentukan kepribadian anak didik melalui pendidikan Islam
dapat dilakukan sebagai berikut: 43
1. Pranatal Education (Tarbiyah Qabl Al-Wiladah).
Proses pendidikan jenis ini dilakukan secara tidak langsung (in-direct).
Kemudian dilanjutkan dengan sikap dan perilaku orang tua yang Islami, disaat
bayi sedang berada dalam kandungan, ditambah lagi dengan pemberian
makanan dan minuman yang halal dan baik (thayyib), serta dilengkapi dengan
sikap penerimaan yang baik dari kedua orang tua atas kehadiran bayi tersebut.
2. Education by Another (Tarbiyah Ma’a ghairih)
Proses pendidikan jenis ini dilakukan secara langsung oleh orang lain
(orang tua di rumah tangga, guru di sekolah dan pemimpin di dalam
42Zuhairini, et.al. Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal. 160 43 Ibid, hlm. 195-199
84
masyarakat dan para ulama). Manusia sewaktu dilahirkan tidak mengetahui
sesuatu tentang apa yang ada dalam dirinya dan di luar dirinya.
Firman Allah SWT:
وألقوا إلى الله يومئذ السلم وضل عنهم ما كانوا يفترون
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui apapun dan ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati.” (QS. An-Nahl 78).44
Oleh karena itu diperlukan orang lain untuk mendidik manusia supaya dia
mengetahui tentang dirinya dan lingkungannya. Dan sekaligus bantuan orang
lain juga diperlukan agar ia dapat melakukan kegiatan belajar sendiri. Proses
ini dimulai semenjak anak dilahirkan sampai anak mencapai kedewasaan baik
jasmani maupun rohani.
3. Self Education (Tarbiyah al-Nafs)
Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang
lain seperti membaca buku-buku, majalah, koran dan sebagainya, atau melalui
penelitian untuk menemukan hakikat segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Self education timbul karena dorongan dari naluri kemanusiaan yang ingin
mengetahui (couriosity). Ia merupakan kecenderungan anugerah Tuhan.
Dalam ajaran Islam yang menyebabkan adanya dorongan tersebut adalah
hidayah Allah.
Firman Allah:
قال ربنا الذي أعطى كل شيء خلقه ثم هدى
“Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap makhluk bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk.” (Q.S. Thoha: 50).45
44 Soenarjo, dkk, Op. Cit., Hlm.413 45 Ibid., hlm. 481
85
Sedangkan pembentukan kepribadian muslim sebagai ummah dilakukan
secara bertahap sesuai dengan ruang lingkup yang menjadi lingkungan
masing-masing. Hal ini sebagaimana menurut Abdullah al-Darraz membagi
kegiatan pembentukan itu menjadi empat tahap, meliputi: (1) Pembentukan
nilai-nilai Islam dalam keluarga, (2) Pembentukan nilai-nilai Islam dalam
hubungan sosial, (3) Membina nilai-nilai Islam dalam hubungan dalam
kehidupan bernegara dan (4) Membina nilai-nilai Islam dalam hubungan
dengan Tuhan.46 Sehingga dapat dikatakan bahwa pembentukan kepribadian
muslim sebagai ummah dimulai dari keluarga, masyarakat dan negara. Dan
yang terpenting adalah dari individu itu sendiri.
Satu hal yang pasti bahwa pembentukan kepribadian muslim sebagai
individu, keluarga, masyarakat , maupun ummah pada hakikatnya berjalan
seiring dan menuju ke tujuan yang sama. Tujuan utamanya adalah guna
merealisasi diri, baik secara pribadi (individu) maupun secara komunitas
(ummah) untuk menjadi pengabdi Allah yang setia. Tunduk dan patuh
terhadap ketentuan-ketentuan yang diberlakukan Allah.
46 Ibid, hlm. 101-104
73
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah jelasakan pada bab selanjutnya, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Surat al-Baqarah ayat 177 ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa
bidang aspek sebagaimana yang sudah dibahas di atas diantaranya: aspek
iman dan amal shaleh, yang kemudian dapat dijabarkan menjadi aspek
aqidah, ibdah, akhlak, sosial bahkan aspek sosial politik. kendungan ayat ini
menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
a. Aspek Keimanan
Aspek keimanan meliputi beriman kepada Allah dengan
sesungguhnya, dengan meyakinan bahwa dia yang memberi manfaat
dan menimpakan mudharat kepada seseorang. Beriman kepada Hari
Akhir yaitu hari pembalasan dan perhitungan segala isi, hari kesenangan
atau kecelakaan abadi. Beriman kepada Malaikat yang masing-masing
memiliki tugas dari Allah. Beriman kepada Nabi, tanpa membedakan
diantara mereka. Beriman kepada kitab-kitab dengan meyakini
semuannya.
b. Aspek Amal Perbuatan (ibadah)
Yang meliputi mendirikan shalat sebaik mungkin dengan
memperhatikan segala syarat dan rukunnya. Menunaikan zakat sebagai
perintah membersihkan hartanya kepada yang berhak menerimannya.
Memberikan harta yang dicintainya,maksudnya memberikan harta
yang ia cintai dan memberikan harta karena cinta kepada Allah.
c. Aspek Akhlak
amal akhlak , Yang meliputi aspek
1) Amanah
2) Sabar
74
2. Nilai-nilai pendidikan iman yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 177
adalah bahwa nilai-nilai keimanan seseorang yang tersebut pertama kali
dalam surat Al-Baqarah ayat 117 adalah merupakan tahap awal menuju
tercapainya kualitas takwa seorang muslim. Degnan keimanan yang baik
akan berimbas pada kualitas amal ibadah dan akhlakul karimah yang sesuai
dengan ajaran Islam, enam rukun iman dapat memberikan kontribusi bagi
terciptanya kondisi mental yang sehat. Mental sehat yang dimaksud bukan
terbatas pada makna kesehatan mental yang bersifat psikilogis, tetapi
juga meliputi seluruh dimensi manusia baik fisik, psikis maupun spiritual.
B. Saran-saran
1. Bagi para pendidik (orang tua, guru dan masyarakat) hendaknya
memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik,
intelektual, maupun mental. Sehingga anak akan tumbuh dan
berkembang dengan sempurna, menjadi generasi yang kuat dan tangguh
serta mampu menghadapi problematika kehidupan yang semakin
kompleks dan jauh dari segala hal-hal yang bersifat negatif yang bisa
merugikan diri anak dan masyarakat luas.
Pendidik seharusnya selalu memberikan nilai-nilai pendidikan
keimanan kepada peserta didik sebagai fondasi kehidupannya karena
dengan keimanan yang kuat nantinya akan mejadikan mereka rajin ibadah
dan baik akhlaknya, sehingga terciptalah peserta didik yang bertaqwa.
2. Bagi anak hendaklah memperhatikan konsep dirinya sebagai individu yang
beriman, bertaqwa dan mempunyai kepribadian yang baik yang nantinya
dapat dijadikan sebagai pedoman hidup agar tidak cepat putus asa,
bersikap pesimis, tidak sombong, penuh percaya diri dan selalu
menghargai orang lain serta menerima kegagalan sebagai suatu pelajaran
yang akan membawa kesuksesan.
3. Kepada masyarakat pada umumnya hendaklah menanamkan etika atau
moral yang mulia kepada pribadi anak sedini mungkin. Dan apabila
75
menjumpai anak yang melakukan hal-hal yang bersifat negatif, maka harus
menegur dan mengarahkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.
C. Penutup
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena hanya limpahan rahmat dan
hidayah-Nya penulisan skripsi ini akhirnya terselesaikan. Namun penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, di
karenakan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu saran yang
bersifat konstruktif dari semua pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan
dan kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis mohon maaf atas segala khilaf dan semoga Allah
SWT meridloi penulisan ini sehingga membawa manfaat bagi pembaca pada
umumnya dan penulis khususnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Aziz, Syekh , Syekh Baiz Abdul Qadir Qhozawi, Jawahir Shahih Al-Bukhari, Sarah Imam Ibnu Hijr al-'Asqolani, Beirut: Daar Ihyaa' al'uluum, tt.
Abdul Azis, Sholeh dan Abdul Azis Abdul Madjid, Al-Tarbiyah Waturuqu Al-Tadrisi, Juz.1., Mesir: Darul Ma’arif, 1979.
Ad Dimsyaqi, Syeikh Muhammad Djamaluddin Al Qasimy, Bimbingan Orang-orang Mukmin, Terj. Abu Ridha, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993.
Ad-Damasqyy, Al-Imam al-Fida’i Ismail Ibnu Katsir,تفسر ابن آتثير., Beirut: darul Kutub, tth.
Affandy, Sayyid Husain, Al-Jisr At-Tathabilisy, Al-Lisanul Hamidiyah Lil Muhafadhah Al-Aqaid Al-Islamiyah, Terj. KH. Abdullah Zaki Al-Khaaf, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Ahmad, H.A. Malik, Akidah, Al-Hidayah, Jakarta, Pustaka Pelajar 1980.
Ahmad, Khurshid, dkk., Prinsip-Prinsip Pokok Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1989.
Ahmad, Zainuddin bin Abdul Latif Azzubaidi, Terj. Cecep Samsul Hari, Terjemah Shoheh Al-Bukhari, Bandung: Mizan, 2001.
Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, Terj. Rof. Tk.H. Ismail Yakub SH, Jakarta: CV. Faizan, Jilid VI, Cet.II, 1982.
Al Maududi, Abul A’la, Prinsip-prinsip Islam (Principles of Islam), Abdullah Suhalili, Bandung: Al-Ma'arif, 1975.
_______, Toward Understanding, Comiti Riyadh: Islamic Dakwah, 1985.
Al-Fannawy, Abd. Al-Hayy, Metode Tafsir Maudhui Suatu Pengantar, Terj. A. Jamrah, Al-BidayahfiAl-TafsirAl-Mauduiyah, Jakarta: PT. Raja Grafmdo Persada, 1996.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum A Din III, Dar al Ihya’i Al-Kutubi Al-Arabiyah.
_______, Imam, Teosofia Al-Qur’an, Surabaya: Risalah Gusti, 1988.
Al-Hasyimi, Muhammad Ali, Jati Diri Muslim, Terj. M. Abdul Ghoffar E.M. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Hijasi, Hasan bin Ali Hasan, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Al-Jaw, Syaikh Muhammad Nawawi , التفسير المنير لمعالم التنزيل, Juz I Bairut-Libanon: Darul Fikri, t.th.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, تفسير المراغى, Juz I Libanon-Bairut: Darul Fikri,t.th.
Al-Qardhawi. Iman dan kehidupan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Al-Rozi, Muhammad, Tafsir Al-Kabir, Beirut: Darul Fikr, 445-406 H.
Al-Syaibany, Oemar Muhammad Al-Toumy , Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, Falsafatul Tarbiyah Al-Islamiyah, Jakarta: Bulan Bintang, t.th.
Al-Thabatha’i, Muhammad Husain, المزان فى.التفسي القرأنر , Beirut: Muasanah Al- ‘Alami lil Matbuah, 1369.
Amrulla, Haji Abdul Malik Abdul Karim (Hamka), Tafsir al-Azhar, Juz III Jakarta: Panji Masyarakat, 1982.
An-Nabhani, Syaikh Yusuf, Ringkasan Riyadhus Shalihin, Terj. Abu Khodijah Ibnu Abdurrohim, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj Drs. Hery Noor Ali, Bandung: CV, Diponegoro, 1992.
Anshari, Endang Saifuddin, Kuliah al-Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Armai, Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press,, 2002.
Arsyad, Natsir, Seputar Rukun Islam Dan Rukun Iman, Bandung: Al-Bayan, 1992.
Asmaran, As,. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafika Persada, 2002.
Assukandari, Ibnu Athoillah, Pembersihan Jiwa, terj. Al-Haawaa Litahdziibin Nufus, Surabaya: Putra Pelajar, Cet.I,2001.
Asy-Syahwi, Majdi Muhammad, Pengobatan robbani: mengusir Gangguan Jin, Setan, dan Sihir, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
Azzubaidi, Zainuddin Ahmad bin Abdul Latif, Mukhtashar Shakhikhul Bukhari, Beirut: Darul Kutb Al-Alamiyah, t.t.
Barmawi, Bakir Yusuf, Konsep Iman dan Kufur dalam Teologi Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1988.
Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
_______, dkk, Dasar-dasar Agama Islam, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, 1995.
_______, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
_______, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1995.
Depad RI, metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: 2002.
Dewan Redaksi/Penyusun, Al Qur'an dan Tafsirnya, Jilid I, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur'an Depag RI, 1993/1994.
Frondizi, Riseri, Pengantar Filsafat Nilai, terj. Cuk Ananta Wijaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1990.
Hakim, Atang Abd., dan Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Halimuddin, Kembali kepada Aqidah Islam, Rineka Cipta, Jakarta, Cet. 1. 1990.
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz II, Jakarta: Panji Masyarakat, 1982.
Hasan, Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Hawari, Dadang. Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2002.
Ilyas, Asnelly, Mendambakan Anak Saleh, Bandung: Al Bayan, 1998.
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul, Jilid I, Terj. Bahrun Abu bakar, Bandung: Sinar Barual-Gensindo, 1997.
Imam Nawawi al-Bantani, Arba,i Nawawi, Makkah: tt, tt.
Jabir, Jabir Abdul Hamid, Ilmu Tafsirut Tarbawi, Mesir: Darul Nahdlatul Arabiyah, 1977.
Jalal, Abdul Fatah, Azas-azas Pendidikan Islam, Terj. Herry Noer Ali dari judul asal, Minal Ushulit Tarbawiyyah Fil Islam, Bandung: CV. Diponegoro, 1988.
Jauzy, Ibnul, Shaidul Khatir Bisikan Hati Inbul Jauzy, Terj. Ibnu Ibarahim, Jakarta: Pustaka Azam, 1998.
Kattsof, Louis, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986.
Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta Rajawali Press, 1976.
Lagulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992.
Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat, Jakarta: PT. Pembangunan, tth
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986.
Ludjito, H.A., Keimanan dan Ketaqwaan sebagai Landasan Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya, Laporan Penelitian Individual, IAIN Walisongo, 1995/1996.
M. Quraish Shihab, Tafasir Al-Misba, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Mahjudin, Pendidikan Hati: Kajian Tasawuf Amali, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Mc. Donald, Frederick Y., Educational Psychology, Tokyo: Overseas Publication LTD, 1959.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Surabaya: PSAPM, 2003.
Muhammad, Hasyim,. Dialog Tasawwuf dan Psikologi : Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Yogyakarta: Pustaka pelajar offset, Cet. I, 2002.
Muhammad, Imam Fakhrudin bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali al-Tamimi al-Bakri ar-Razi as-Syafi’i, تفسيرالكبير, Jilid VII-VIII Bairut-Libanon: Darul al-Kutub al-Alamiyah, 990.
Najati, Muhammad Usman, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad Rofi’ Usmani, Bandung: Pustaka, 1997.
Nasikhulwan, Abdullah, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, Terjemahan Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, Judul Asli, Tarbiyatul-A’aafi’l Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, Bulan Bintang, 1985.
Nurdin, Muslim dan Ishak Abdullah dkk., Moral dan Kongnisi Islam (Buku Teks Agama Islam untuk Perguruan Tinggi Umum), Bandung : C V. Al-Fabeta, 1993.
Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, 1991.
Praja, Juhaya S., Aliran–aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Qordhowi, Yusuf, Al Qur’an Menyuruh Kita Sabar, Terj.H.A. Aziz Salaim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, Cet.II, 2003.
Qutb, Sayyi, تفسر فى ظالل القرأن, Beirut: Ihya’i At-Thiraan Al-Araby, 1391.
Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986.
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
Rifai, Mohammad, Pembinaan Pribadi Muslim, Semarang: C V. Wijaksana, 1993.
Sauri, Sofyan, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian PAI, Bandung: Al-Fabeta, 2004.
Schafer, Charles, Bagaimana Mempengaruhi Anak, Semarang: Dhahara Prize, 1994.
Shihab, M. Qurais, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1989.
_______, Tafsir Al Amanah, Jakarta: Pustaka Kartini, 1992.
Soenarjo dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2003.
Soenarjo, dkk., al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.
Sudjana, Nana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, cet V, 2000.
Suryadipura, Paryana, Alam Pikiran, Cet. IV, Jakarta : Bumi Aksara, 1993.
Thoyib I, M dan Sugiono, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Toha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Undang-undang RI No 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Semarang: Aneka Ilmu, 1992.
Usman, Ali, Makhluk-Makhluk Halus Menurut Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Wahid, Abdurrahman, dkk, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta Selatan: Yayasam Wakaf Paramedia, 1995.
Yahya, Imam Abi Zarkiya bin Syarif Annawawi, Riyadushshalihin, Libanon: Beirut, t.th.
Yunus, Mahmud, Metode Khusus Pendidikan Agama, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1983), cet. 11.
Zain, Habib bin Ibrahim bin Sumarth, Hidayatuth Thalibin Fi Bayan Muhimmatid Din, Terj. Afif Muhammad, Mengenal Mudah Rukun Islam, Rukun Iman, Rukun Ikhsan secara Terpadu, A. Bayan, 1998.
Zaini, Syahminah, Mengapa Manusia harus beribadah, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th.
Zein, M., Metodelogi Pengajaran Agama, Yogyakarta: AK Group dan Indra Buana, 1995.
Zuhairini, et.al. Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.