BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

22
18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Founding Fathers Indonesia telah mengamanatkan dengan tegas dan jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Hasil Amandemen ke-IV, selanjutnya disebut UUD 1945 tentang penggunaan semaksimal mungkin sumber daya hayati untuk kemakmuran rakyat dan agar dapat dirasakan oleh generaasi beriktunya. Amanat tersebut terdapat pada Pasal 28H ayat (1) yakni, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Amanat serupa juga terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yakni bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”. Amanat suci UUD 1945 tersebut telah diejawantahkan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disebut UUPPLH. Manusia dan lingkungan hidupnya bagaikan 2 (dua) sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Diantara keduanya terdapat hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan tempat hidupnya. Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya untuk kegiatan pembangunan dan sebaliknya manusia dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Jika lingkungannya rusak, maka kegiatan hidup

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Founding Fathers Indonesia telah mengamanatkan dengan tegas dan jelas

dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Hasil

Amandemen ke-IV, selanjutnya disebut UUD 1945 tentang penggunaan

semaksimal mungkin sumber daya hayati untuk kemakmuran rakyat dan agar

dapat dirasakan oleh generaasi beriktunya. Amanat tersebut terdapat pada Pasal

28H ayat (1) yakni, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta

berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Amanat serupa juga terdapat dalam

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yakni bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.”. Amanat suci UUD 1945 tersebut telah

diejawantahkan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disebut

UUPPLH.

Manusia dan lingkungan hidupnya bagaikan 2 (dua) sisi mata uang yang tak

dapat dipisahkan. Diantara keduanya terdapat hubungan timbal balik antara

manusia dan lingkungan tempat hidupnya. Manusia mempengaruhi lingkungan

hidupnya untuk kegiatan pembangunan dan sebaliknya manusia dipengaruhi

oleh lingkungan hidupnya. Jika lingkungannya rusak, maka kegiatan hidup

19

manusia akan terganggu dalam melakukan segala aktivitasnya, dan akan

menjadi beban sosial dimana masyarakat, dan pemerintah harus menanggung

biaya pemulihan1.

Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah pertumbuhan dalam bidang

perekonomian. Keberhasilan pembangunan dalam bidang ekonomi harus dapat

menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang sehat serta meningkatkan

kemampuan negara, masyarakat untuk memperluas tersedianya sarana bagi

kehidupan sosial budaya yang lebih baik, seperti kehidupan beragama, dan

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kebudayaan, pendidikan, ilmu

pengetahuan, kesehatan anak dan remaja, peranan generasi muda, peranan

wanita, lingkungan hidup, perumahan, permukiman, serta kelestarian

lingkungan alam.2

Sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi salah satu sumber

pembangunan ekonomi yang penting dan strategis karena kapasitas persediaan

sangat besar, sementara permintaan terus meningkat, pada umumnya output

dapat diekspor, sedangkan input berasal dari sumber daya lokal, dapat

membangkitkan industri hulu dan hilir yang besar sehingga menyerap tenaga

kerja cukup banyak, umumnya berlangsung di daerah dan industri perikanan,

1 Sastrawijaya, 2009, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.15. 2 Koesnadi Hardjasoemantri, Edisi VIII, 2000, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, hlm.40.

20

bioteknologi dan pariwisata bahari bersifat dapt diperbaharaui (renewable

resources), sehingga mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan3.

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kedaulatan dan yurisdiksi

atas wilayah perairan Indonesia yakni dengan luas perairan Indonesia mencapai,

5,8 juta kilometer persegi kaya akan berbagai jenis ikan. Terdapat lebih dari

8.000 (delapan ribu) jenis ikan laut di Tanah Air. Produk laut lainnya yang

jumlahnya lebih dari 500 (lima ratus) jenis. 37% (tiga puluh tujuh per seratus)

ikan di dunia hidup di perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka

menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan submber daya ikan, baik untuk

kegiatan penangkapan maupun pembubidaya ikan sekaligus meningkatkan

kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi

kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian

sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan

perikanan nasional.4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,

selanjutnya disebut UU Kelautan adalah payung hukum bagi penegakan hukum

di sektor kelautan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan

Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, selanjutnya

disebut UU Perikanan adalah payung hukum bagi penegakan hukum di sektor

perikanan. Peran Kementerian Kelautan dan Perikanan, selanjutnya disebut

Menteri KKP dalam upaya meningkatkan daya saing, dan harus mampu

3 Direktorat Kelautan dan Perikanan, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Hidup, Kajian Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan,

hlm.2. 4Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

21

merubah pola pikir, paradigma pembangunan untuk menghasilkan kinerja yang

berkualitas tinggi dan monumental, dan untuk menegakan hukum, serta

menjatuhkan sanksi tegas bagi setiap orang yang melangar.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Hukum Laut 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang

Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea 1982,

selanjutnya disebut UNCLOS 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik

Indonesia memiliki hak untuk memanfaatkan, konservasi, dan pengelolaan

sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang

dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Konvensi Hukum Laut 1982 memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia.

Salah satunya ialah definisi baru sebagaimana dalam Pasal 76 Konvensi. Pasal

76 Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur dan menetapkan suatu batas jarak

200 (dua ratus) mil dari garis pangkal, dalam hal tepi kontinen (continental

margin) tidak sampai jarak itu. Perihal kelanjutan alami (natural prolongation)

wilayah daratnya melebihi jarak 200 (dua ratus) mil maka batas luarnya adalah

hingga pinggiran laut tepian kontinen5. Selain itu, hak-hak yang diperoleh

dengan adanya perluasan wilayah tersebut, Pemerintah Republik Indonesia juga

harus memperhatikan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan

perlindungan lingkungan hidup di dalam wilalayah yang telah diperluas

tersebut.6

5 Koesnadi Hardjasoemantri, Op.Cit. hlm.86 6 Ibid, hlm.93.

22

Menteri KKP mengeluarkan pelbagai Peraturan Menteri guna memperbaiki

lingkungan hidup di sektor kelautan dan perikanan guna mendukung upaya

konservasi dan perlindungan lingkungan hidup, memulihkan sumber daya ikan

yang sudah terkuras, perbaikan lingkungan yang rusak, memantau kepatuhan

pelaku usaha penangkapan ikan, untuk meningkatkan kehidupan nelayan, dan

memberi kesempatan kepada pengusaha dengan kapal lokal untuk lebih banyak

mendapatkan manfaat7. Pada Penulisan ini, Penulis hanya memaparkan

Kebijakan KKP yang berhubungan dengan permasalahan yang Penulis angkat.

Pertama, Pada tahun 2014 Menteri KKP juga telah menerbitkan Peraturan

Menteri Kelautan dan Periknan Nomor 54 Tahun 2014 tentang Pelarangan

Bongkar Alih Muatan di Tengah Laut (Transhipment). Namun, Permen KKP

54/2014 memberikan kelonggaran salah satunya adalah kapal-kapal

pengangkut ikan harus memiliki awak pemantau/observer dalam setiap kali

beroperasi.

Kedua, Menteri KKP menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 56/Permen-

KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha

Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Peraturan

tersebut mengatur bahwa moratorium berlaku untuk kapal yang

pembangunannya dilakukan di luar negeri dengan kapasitas diatas 30 Gross Ton

(GT). Setelah diberlakukannya PerMen-KP 56/2014 tersebut, Menteri KKP

7Gentur Putro, dalam artikel tanggal 14 November 2014 berjudul “Sejak Moratorium,

1132 Kapal Tak Melaut”, diakses dari

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141114075318-92-11441/sejak-moratorium 1132-

kapal-tak-melaut/ tanggal 3 Agustus 2016.

23

akan menyiapkan aturan turunan dari PerMen tersebut, dimana salah satunya

adalah pembatasan maksimal penangkapan ikan atau kuota yang diberlakukan

dengan berbagai parameter, adapun alasan pembatasan tersebut dilakukan

untuk menjaga habitat ikan Indonesia8. Kebijakan moratorium terhadap

penangkapan ikan secara ilegal dan penenggalaman kapal asing pencuri ikan

memberikan dampak positif bahwa stok dan potensi sumber daya ikan

diprediksi naik menjadi 7,5juta ton. Menurut Peter Mous9, Direktur Perikanan

The Nature Conservancy sebagaimana dikutip oleh www.tempo.co, dampak

positif moratorium adalah “moratorium itu adalah untuk memperbaiki populasi

ikan, dan konservasi lingkungan hidup.”

Modus praktik pencurian ikan di Indonesia sangat beraneka macam, salah

satunya yakni dengan menggunakan bendera Indonesia namun kapal-kapal

tersebut membawa hasil tangkapanya ke luar negeri. Menurut Menteri KKP,

Susi Pudjiastuti sebagaimana dikutup oleh www.cnnindonesia.com11, “biasanya

kapal tersebut memiliki 1 (satu) hingga 3 (tiga) anak buah kapal (ABK)

berkewarganegaraan Indonesia yang ditugaskan sebagai tukang cuci, dan

8Diemas Kresna dalam artikel tanggal 12 November 2014 berjudul “Setelah Moratorium

Susi Batasi Tangkapan Ikan”, diakses dari

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141112085829-85-10937/setelah-moratorium-susi-

batasi-tangkapan-ikan/ tanggal 3 Agustus 2016 9Gabriel Wahyu dalam artikel tanggal 19 Maret 2015 berjudul “Moratorium Izin

Tangkap Bantu Perbaiki Pop9ulasi Ikan, diakses dari

https://m.tempo.co/read/news/2015/03/19/061651387/moratorium-izin-tangkap-bantu-

perbaiki-populasi-ikan pada tanggal 29 Juli 2016 10Elisa Valenta Sari, dalam artikel tanggal 14 Januari 2015 berjudul “Menteri Susi

Ungkap Modus Kapal Asing Curi Ikan Indonesia, diakses dari

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150114141825-92-24598/menteri-susi-ungkap-

modus-kapal-asing-curi-ikan-indonesia/ tanggal 30 Juli 2016. 11 Ibid.

24

penjaga radio kapal, begitu ada kapal patroli yang berkomunikasi dengan

mereka, bisa menjawab pakai Bahasa Indonesia.:

Pada Penulisan Hukum ini, Penulis mengambil contoh, dan menganalisis

kasus PT. Dwikarya Reksa Abadi, selanjutnya disebut Dwikarya. Kapal MV

HAI FA sering kali mengganti bendera berkebangsaan kapal, saat di tangkap

kapal Panam yang ditangkap di Pelabuhan Wanam, Kabupaten Merauke,

semula berbendera Tiongkok, lalu berlayar ke Perairan Indonesia menggunakan

bendera Indonesia. kemudian ketika sudah mengambil hasil tangkapan ikan di

laut di Indonesia, kapal tersebut mengganti benderanya menjadi bendera

Panama.12

PT. Dwikarya merupakan perusahaan penanaman modal asing asal

Tiongkok bernama Pingtan Marine Enterprise Ltd, selanjutnya disebut Pingtan

yang memiliki 135 kapal, namun akibat moratorium yang diberlakukan KKP,

kapal-kapal tersebut berhenti beroperasi. Oleh karena moratorium tersebut,

pendapatan Pingtan menurun pada paruh pertama 2015 menjadi 64,08 persen

menjadi US$ 44 juta, dari periode yang sama pada tahun 2014 senilai US $

122,5juta. Dwikarya bertindak sebagai agen perikanan perseroan yang bertugas

untuk mendaftarkan dan memperbaharui izin penangkapan izin di Indonesia.13

12 Ibid. 13 Giras Pasopati, dalam artikel di CNN Indonesia tanggal 12-08-2015, berjudul “Izin Kapal

yang Dicabut Susi Terkait dengan Perusahaan Cina” diakses dari

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150811192803-92-71498/izin-kapal-yang-dicabut-susi-

terkait-dengan-perusahaan-china/ tanggal 20 Oktober 2016

25

Pada akhir tahun 2015, PT. Dwi Karya Reksa Abadi melayangkan gugatan

surat gugatan nomor 2010/G/2015/PTUN-JKT atas pencabutan SIUP

perusahaan tersebut. Menurut Menteri KKP PT. Dwi Karya Reksa Abadi

mengajukan surat gugatan karena Menteri KKP mencabut Surat Izin Usaha

Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) karena telah melanggar

hukum, seperti penyelundupan barang ilegal, memalsukan dokumen, dan

melakukan penangkapan ikan tanpa izin.14

PT. Dwikarya Reksa Abadi mengklaim telah memiliki 117 unit kapal yang

berlisensi dan memiliki izin untuk beroperasi di Laut Arafura, Indonesia.

Namun Menteri KKP menyatakan PT. Dwikarya Reksa Abadi sebagai

perusahaan pemilik cold storage yang ada di dalam kapal MV Hai Fa. Kapal

berbobot 4.306 gross ton asal Tiongkok berbendera Panama tersebut ditangkap

karena terbukti melakukan illegal fishing. Kapal tersebut akhirnya dibawa

kembali oleh pemiliknya karena Pengadilan Negeri Perikanan Ambon hanya

menjatuhkan vonis denda Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) atau subsider

enam bulan penjara kepada nahkodanya. 15

14Editor Bataranews.com, artikel tanggal 12 November 2015 judul “Menteri Susi: Di

Negara Kita, Maling Saja Berani Menggugat Negara, diakses dari

http://bataranews.com/2015/11/12/menteri-susi-di-negara-kita-maling-saja-berani-menggugat-

negara/ tanggal 3 Agustus 2016. 15 Giras Pasopati, dalam artikel di CNN Indonesia tanggal 12-08-2015, berjudul “Izin Kapal

yang Dicabut Susi Terkait dengan Perusahaan Cina” diakses dari

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150811192803-92-71498/izin-kapal-yang-dicabut-susi-

terkait-dengan-perusahaan-china/ tanggal 20 Oktober 2016

26

Penulis tertarik mengangkat studi kasus PT. Dwikarya Reksa Abadi karena

PT. Dwikarya merupakan perusahaan besar dibidang penangkapan ikan di

daerah Laut Arafura, Papua yang memberikan pemasukan yang banyak bagi

negara namun juga memberikan kerugian bagi negara karena pelaporan

perusahaannya yang tidak benar sehingga PT. Dwikarya diberikan sanksi oleh

KKP. PT. Dwikarya melakukan praktik illegal, unreported and unregulated

(IUU) Fishing di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.

KKP telah berulang kali memberikan surat peringatan bagi PT. Dwikarya agar

tidak melakukan IUU karena merupakan perbuatan melawan hukum, namun

PT. Dwikarya tidak mentaati sehingga KKP mencabut Surat Izin Usaha

Perikanan Penanaman Modal (SIUP-PM) melalui Surat Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor: 38/KEPMEN-KP/2005 tanggal 3 Juli 2015. Langkah tegas

yang dikeluarkan oleh KKP seharusnya dapat lebih menguntungkan bagi

Negara jika PT. Dwikarya juga diberikan disinsentif berupa

kejahatan/pelanggara yang dilakukan.

Alasan ke-2 ketertarikan Penulis adalah berdasarkan penelusuran Penulis

terdapat 4 perusahaan yang izinnya (Surat Izin Usaha Perikanan, Surat Izin

Kapal Penangkap Ikan, Surat Izin Kapal Penangkut Ikan) dicabut oleh KKP,

yakni: (a). PT. Dwikarya Reksa Abadi di Wanam, Papua; (b). PT. Indojurong

Fihsing Industry di Penambulai (Maluku); (c). PT. Pusaka Benjina Resources

di Maluku; (d). PT. Mabiru Industry di Maluku16. Alasan Penulis memilih

16 Ramidi dalam artikel berjudul “ Susi Berangus Izin Kapal Tommy Winata” tanggal 22 Juni 2015

diakses dari http://www.gresnews.com/berita/ekonomi/210226-susi-berangus-izin-kapal-tommy-

winata/0/ diakses tanggal 20 Januari 2017

27

Dwikarya karena PT. Dwikarya banyak melakukan pelanggaran berat di sektor

kelautan dan perikanan, pelanggaran tersebut mengakibatkan kerugian yang

dialami Pemerintah Indonesia juga banyak baik kerugian ekonomi, kerugian

lingkungan hidup kelautan. PT. Dwikarya memiliki 7 kapal penangkapan ikan

eks asing berasal dari Tiongkok masing-masing bernama Dwikarya 38,

Dwikarya 39, Dwikara 50 dan memiliki pelabuhan pangkalan di Pangkalan

Wanam sedangkan, kapal Dwikarya 59, Dwikarya 60, Dwikarya 61, dan

Dwikarya 62 memiliki pelabuhan pangkalan di Avona, Papua17. Namun, jika

PT. Dwikarya diberikan sanksi menggunakan instrumen ekonomi lingkungan

hidup, maka kerugian negara yang hilang dapat diperoleh kembali, dan dapat

digunakan sebagai langkah untuk memulihkan lingkungn laut, serta

mengembalikan pertumbuhan ikan.

Penggunaan instrumen ekonomi lingkungan hidup ini telah diakomodir

dalam UUPPLH, dan UNCLOS 1982. Ketentuan-ketentuan yang mengatur

tentang perlindungan lingkungan laut terdapat dalam Bab XII (dua belas)

UNCLOS 1982, yang intinya mengatur tentang perlindungan, pelestarian

lingkungan laut, pencegahan, pengurangan, dan penguasaan pencemaran laut.

Berdasarkan Pasal 1 angka (33) UUPPLH 2009 memberikan definisi bahwa

“instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi

untuk mendorong Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang ke arah

17 Wij dalam artikel berjudul “ 2 Kapal Besar Pencuri Ikan Dimiliki Perusahaan yang Sama”,

tanggal 14 Januari 2015 diakses dari http://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/2802645/2-kapal-

besar-pencuri-ikan-dimiliki-perusahaan-yang-sama tanggal 20 Januari 2017.

28

pelestarian fungsi lingkungan hidup.” Pelaksanaan ketentuan mengenai

instrumen ekonomi lingkungan hidup, maka berdasarkan Pasal 43 ayat (4)

haruslah diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Penggunaan instrumen ekonomi berbasis insentif dan disinsentif dapat

menstimulus, mendorong investor untuk mendukung pengelolaan lingkungan

hidup, dan meringankan beban perusahaan jika akibat pengeksploitasian

sumber daya alam menimbulkan pencemaran. Hal tersebut juga akan dapat

meningkatkan kesadaran investor untuk menjaga lingkungan hidup.

Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang instrumen ekonomi berbasis insentif

dan disinsentif masih dipersiapkan, adapun materi muatan RPP tersebut adalah

salah satunya memperjelas pajak, dan retribusi untuk menstimulus perusahaan

agar tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Menurut Deputi Bidang Tata

Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bahwa:

“materi dan muatan RPP instrumen ekonomi lingkungan hidup

mempunyai sifat mengatur hal-hal yang baru; 1). mensinkronkan

antar aturan; mengkomplementer dengan aturan lain memperjelas

misalnya dalam hal ini tentang pajak – retribusi dan lain-lain,

mengukuhkan aturan lokal yang dianggap layak untuk

dinasionalkan; 2). mengarahkan/menertibkan aturan lokal yang

tidak layak; dan menyediakan struktur dan mekanisme penyelesaian

konflik.”18

Peraturan Pemerintah tersebut hingga Penulisan tesis ini disusun adalah

masih belum dikeluarkan oleh Pemerintah, namun berdasarkan penelusuran

18KemenLHK dalam artikel berjudul “Konsultasi Publik Penyelesaian Rancangan

Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan, tanggal 22 Januari 2015 diakses

dari http://www.menlh.go.id/konsultasi-publik-penyelesaian-rancangan-peraturan-pemerintah-

tentang-instrumen-ekonomi-lingkungan/ tanggal 21 Mei 2016

29

Penulis, Pemerintah telah mengupayakan agar Peraturan Pemerintah tersebut

rampung. Pada 22 Januari 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan mengadakan konsultasi publik mengenai penyelesaian Rancangan

Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan19. Jika

Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan

Hidup, maka PP tersebut dapat digunakan sebagai payung hukum dalam

memberikan instrumen ekonomi lingkungan hidup kepada perusahan yang

memanfaatkan sumber daya alam.

Instrumen ekonomi lingkungan hidup berupa insentf-disinsentif sangat

bermanfaat sebagai pengendalian pencemran dan mencegah kerusakan

lingkugan hidup. Jika perusahaan diberikan instrumen berupa insentif, maka

perusahaan tersebut memiliki citra yang baik dan taat hukum, sedangkan jika

perusahaan diberikan disinsentif, maka perushaan tersebut memiliki citra buruk

dan perusahaan yang melakukan usaha yang merusak lingkungan hidup. PT.

Dwikarya adalah perusahaan yang melakukan usaha penangkapan ikan dengan

jumlah besar, penangkapan ikan tersebut selain menambah pendapatan negara,

namun dapat juga sebagai pemanfaatan sumber daya ikan yang optimal.

Namun, KKP begitu saja mencabut izin PT. Dwikarya, jika KKP juga

memberikan instrumen ekonomi lingkungan hidup berupa insentif-disinetif,

dan pembekuan izin, maka kerugian negara yang hilang dapat diperoleh

19 Ibid.

30

kembali, dan biaya disinsentif yang dibebankan tersebut dapat digunakan untuk

pemulihan sumber daya ikan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, Penulis mengangkat penulisan hukum

berjudul “Implementasi Kebijakan Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup

Berbasis Sistem Insentif Dan Disinsentif Di Sektor Kelautan Dan Perikanan

(Studi Kasus: Perusahaan Penangkapan Ikan PT. Dwikarya Reksa Abadi)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang Penulis paparkan diatas, Penulis

mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

(1) Bagaimana dan apa saja bentuk kerugian ekonomi dan lingkungan hidup,

laut yang diakibatkan pelanggaran dan kejahatan di sektor kelautan dan

perikanan?

(2) Bagaimana penerapan atau implikasi pengaturan khususnya dalam

kebijakan instrumen ekonomi lingkungan hidup di sektor kelautan dan

perikanan?

(3) Bagaimana implementasi kebijakan instrumen ekonomi lingkungan hidup

berbasis sistem insentif dan disinsentif di sektor kelautan dan perikanan bagi

PT. Dwi Karya Reksa Abadi?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) adalah

31

1. Tujuan Obyektif:

a. Untuk mengetahui bagaimana dan apa saja kerugian ekonomi dan

lingkungan hidup yang diakibatkan pelanggaran dan kejahatan di sektor

kelautan dan perikanan

b. Untuk mengetahui, menganalisis, dan menyimpulkan

penerapan/implikasi pengaturan khusunya dalam kebijakan instrumen

ekonomi lingkungan hidup diterapkan di sektor kelautan dan perikanan

c. Untuk mengetahui, menganlisis, dan menyimpulkan implementasi

kebijakan instrumen ekonomi lingkungan hidup berbasis sistem insentif

dan disinsentif di sektor kelautan dan perikanan bagi PT. Dwi Karya

Reksa Abadi.

2. Tujuan Subyektif:

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh bahan dan data guna

penyusunan Penulisan hukum sebagai salah satu syarat yang harus

dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada.

D. Keaslian Penelitian

Dari penelusuran kepustakaan dan literatur yang Penulis lakukan, Penulis

menemukan beberapa penelitian/karya tulis ilmiah yang mirip, yakni:

(1) Tesis yang berjudul Aspek Legal Pengelolaan Sumber Daya Perikanan

untuk Pengembangan Investasi Kelautan di Provinsi Sulawesi Utara, oleh,

32

Siska Diane, Magister Hukum UGM, 2013. Rumusan masalah yang

diangkat ialah:

a) Bagaimankah potensi dan pengelolaan sektor perikanan kelautan di

Provinsi Sulawesi Utara?; b) Bagaimanakah instrumen hukum aspek legal

pengelolaan sumebr daya perikanan kelautan dan bagaimana

implementasinya di Provinsi Sulawesi Utara?; c) Apakah faktor-faktor

pendukung dan penghambat investasi sektor kelautan di Provinsi Sulawesi

Utara?

Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut ialah (a). Potensi sumber daya

kelautan dan perikanan Sulawesi Utara yang melimpah dan dapat

dikembangkan serta meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat,

pendapatan daerah; (b). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Kepala Daerah diberi

otoritas untuk mengelola daerahnya secara otonom. Pemerintah Provinsi

Sulawesi Utara dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 38

Tahun 2003 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu

Berbasis Masyarakat menerapkan sistem pengelolaan wilayah lautnya

berbasis masyarakat; (c). Faktor pendukungnya adalah insfrastruktur

memadai untuk memajukan kegiatan pengelolaan dan investasi, namun

faktor penghambatnya ialah kendala di bidang kebijakan moneter, fiskal,

dan investasi yang tidak berpihak pada sektor riil pada sektor perikanan dan

kelautan.

33

Adapun perbedaan dengan penelitian yang Penulis lakukan adalah (a).

Penulis membahas dan mengkritisi tentang instrumen ekonomi lingkungan

hidup di sektor kelautan dan perikanan; (b). Penulis membahas dan

mengkritisi pemberian sanksi kepada PT. Dwi Karya Reksa Abadi berbasis

sistem insentif dan disinsentif. (c). Penulis menggunakan peraturan

perundang-undangan yang berbeda, dan tidak hanya berpatok di wilayah

Provinsi Sulawesi Utara.

(2) Tesis oleh Sultan Nadjamdudin yang berjudul Valuasi Ekonomi

Ekosistem Terumbu Karang Di Kepualuan Togian ( Kasus di Kepulauan

Togian Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah), 2003, Pascasarjana

Program Studi Ilmu Lingkungan, UGM). Adapun rumusan masalah: (a).

Berapakah nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang di Kepualaun

Togian? (b). Berapakah nilai kelayakan ekonomi dari pengelolaan

ekosistem terumbu karang dan besar risiko ekonomi dari setiap bentuk

aktivitas yang merusak ekosistem terumbu karang pada kawasan tersebut?

(c). Bagaimanakah sikap masyarakat terhadap bentuk pemanfaatan

sumberdaya dan kosnervasi ekosistem terumbu karang di Kepualuan

Togian?

Adapun kesimpulan penelitian tersebut adalah: (a). Berdasarkan identifikasi

komponen nilai potensi sumberdaya perikanan, pariwisata, dan nilai

perlindungan pantai dari ekosistem terumbu karang di Kepulauan Togian

yang dapat dinilai secara moneter, maka diperoleh ekonomi total dari

ekosistem terumbu karang Kepulauan Togian sebesar Rp. 108.930.911.30

34

per tahun. Pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan

selama 10 tahun dengan tingkat bunga 12% per tahun, maka diperoleh nilai

NPV sebear Rp. 615.483.943.929. Nilai tersebut terdiri dari nilai potensi

sumber daya perikanan sebesar Rp. 594.962.333.889. Nilai potensi

pariwisata sebesar Rp. 18.826.543.131. Nilai perlindungan pantai sebesar

Rp.1.695.066.909. (b). Berdasarkan analisis biaya manfaat dengan masa

pengelolaan selama 10 tahun dan tingkat bunga 12 % per tahun, maka

diperoleh kelayakan ekonomi pengelolaan ekosistem terumbu karang

berdasarkan risiko dari ancaman kerusakan sebagai berikut:

1. Penangkapan ikan dengan bom pada ekosistem terumbu karang di

Kepulauan Togian memberi nilai NPV sebsar Rp. 1..128.236.534 yang

merupakan 1/517 kari dari nilai NPV perikanan lestari yakni

Rp.583.799.576.027. penangkapan ikan dengan bom tersebut dapat

menybebabkan hilangnya pendapatan nelayan secara berkelanjutan dari

perikanan lestari sebesar 1.117 kali lebih besar yakni

Rp.549.143.368.060 dari perolehan jangka pendek yang diterima nelayan

dari penangkapan ikan dengan bom (Rp. 491.580.010). Penangkapan

ikan dengan bom mengakibatkan kerugian bagi masyarakat sebesar Rp.

31.684.367.902. Nilai BCR penangkapan ikan dengan bom adalah

0,0009 (BCR < 1), sehingga penangkapan ikan dengan bom secara

ekonomis tidak layak untuk dilaksanakan. Kajian secara ekologis

menunjukan bahwa penggunaan bom mengakibatkan hancurnya habitat

35

dan kematian terumbu karang, sehingga mengancam kelestarian

ekosistem terumbu karang;

2. Penangkapan ikan dengan racun sianida memberikan nilai NVP sebesar

Rp. 421.436.010.132 yang merupakan 1/1, 4 kali lebih kecil dari nilai

produksi perikanan lestari sebesar Rp. 583.799.576.027. penangkapan

ikan dengan racun akan menyebabkan hilangnya keuntungan secara

berkelanjutan bagi nelayan dari perikanan lestari sebesar 1,7 kali lebih

besar (Rp.549.143.368.060) dari perolehan jangka pendek yang diterima

nelayan dari penangkapan ikan dengan bom (Rp.322.530.268.575).

Perikanan dengan menggunakan racun sianida akan mengakibatkan

kerugian bagi masyarakat sebesar Rp.31.684.367.902. Kerugian tersebut

merupakan pendapatan yang hilang dari sektor pariwisata, pengusaha

mutiara dari nilai perlindungan pantai. Nilai BCR dari penangkapan ikan

dengan racun adalah 0,56 (BCR <1) sehingga penangkapan ikan dengan

racun tidak layak untuk dilaksanakan. Penelitian menunjukan bahwa

secara ekologis penangkapan ikan dengan racun merugikan bagi

masyarakat karena menyebabkan tangkapan berlebih (overfishing) dan

kematian karang (coral bleaching).

3. Nilai pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di Kepulauan

Togian dengan penambangan karang adalah Rp. 13.115.749.711 dan

memberikan keuntungan bagi penambang sebesar Rp. 10.845.716.107.

Namun setiap keuntungan bagi penambang akan menyebabkan kerugian

bagi masyarakat sebesar Rp. 615.483.943.929. Kerugian tersebut adalah

36

biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat hilangnya potensi

penerimaan keuntungan dari sektor perikakan, pariwisata, perlindungan

pantai, dan pemeliharaan mutiara. Nilai BCR dari penambangan karang

adalah 0,018 (BCR <1), sehingga kegiatan penambangan karang secara

ekonomis tidak layak untuk dilaksanakan;

(c). Hasil penelitian terhadap sikap responden menunjukan bahwa

mayoritas responden (70%) memiliki sikap menolak bentuk pemanfaatan

sumberdaya ekosistem terumbu karang berdasarkan prinsip pengelolaan

yang berkelanjutan. Sisa 30%nya bersikap menerima bentuk pengelolaan

yang berkelanjutan.

Adapun perbedaan dengan Penulis ialah: (a). Penulis tidak membahas

tentang nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang di Togian. Penulis

membahas dan menganalisis instrumen ekonomi lingkungan hidup di sektor

kelautan dan perikanan;(b). Penulis menggunakan data sekunder untuk

menjabarkan kerugian ekonomi yang diderita di sektor kelautan dan

perikanan; (c). Penulis melakukan peneltiian dan wawancara di

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian Lingkungan Hiudp

dan Kehutanan

(3) Skripsi, yang berjudul Penerapan Pertanggungjawaban Kreditur Bank

(Lender Liability) Sebagai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, oleh

Randini Maharani Putri, 2011, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

37

Adapun rumusan masalah yang diambil oleh Randini adalah (1).

Bagaimanakah pengaturan mengenai pertanggungjawaban kreditur bank di

Indonesia yang terkait penegakan hukum lingkungan? (2). Bagaimanakah

pengaturan pertanggungjawaban atas pemulihan pencemaran lingkungan di

Amerika dan bagaimana pengaturan mengenai pertanggungjawaban

kreditur? (3). Apakah pertanggungjawaban kreditur bank (lender liability)

dapat diterapkan di Indonesia dan bagaimana implikasinya?

Adapun kesimpulan yang didapat oleh Randini adalah (1). Kebijakan

perkreditan yang berwawasan lingkungan baru dilaksanakan oleh bank

terbatas pada menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

(AMDAL) pada penilaian pemberian kredit. (2). Comprehensive

Environmental Response, Compensation, and Liability Act (CERCLA)

merupakan undang-undang yang memberikan kewenangan dan pendanaan

untuk pembersihan lahan yang tercemar bahan berbahaya, serta menerapkan

dasar dan lingkup pertanggungjawabannya; (3). Adanya instrumen ekonomi

lingkungan hidup dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hiudp adalah bertujuan untuk mendorong perbankan untuk

lebih berwawasan lingkungan merupakan celah bagi penerapan

pertanggungjawaban kreditur di Indonesia.

Adapun perbedaan dengan yang Penulis teliti adalah Penulis meneliti

tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup berbasis insentif dan

disinsentif, (2). Penulis mengambil permasalahan di sektor kelautan, dan

perikanan, serta menggunakan peraturan perundangan yang berbeda.

38

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) adalah:

a. Manfaat Teoretis:

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu

pengetahuan hukum, khususnya hukum lingkungan yang dapat

memberikan sumbangsih teori yang mendalam untuk mendukung

penerapan ataupun implementasi/kegunaan, dan pengembanganan

instrumen ekonomi lingkungan hidup khususnya di sektor kelautan dan

perikanan.

b. Manfaat Praktis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dan

sumbangan pemikiran bagi:

(1) Bagi kepentingan peneliti, yakni untuk mengembangkan pengetahuan

di bidang hukum lingkungan, khususnya hukum lingkungan, dan guna

memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Hukum di UGM;

(2) Bagi masyarakat, yakni untuk memberikan pandangan dan infromasi

tentang pemanfaatan sumber daya ikan, pengendalian penangkapan ikan

agar berkesinambungan kepada masyarakat pada umumnya, dan peneliti

berikutnya;

(3) Bagi Pemerintah, yakni untuk memberikan masukan, infromasi

penyusunan peraturan terkait instrumen ekonomi lingkungan hidup

39

kepada Badan Legislatif RI, Kementerian Lingkungan Hidup, dan

Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik

Indonesia