BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Blog UMY...

42
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. 1 Dalam kebudayaan lokal Jawa dapat dilihat dari hadirnya sastra yang menumbuhkan perasaan cinta ketuhanan. Selain itu, sastra Jawa juga mengandung ajaran-ajaran kearifan hidup dan moralitas seperti yang terefleksikan dalam bentuk tembang-tembang, serat dan cerita kentrung. A. Teew membagi kebudayaan Indonesia menjadi tiga kelompok. Pertama, kebudayaan masyarakat yang belum dipengaruhi agama Hindu dan Islam. Kedua, kebudayaan masyarakat yang kuat dipengaruhi kebudayaan Hindu dan tipis pengaruh Islamnya. Ketiga, kebudayaan masyarakat yang sangat dipengaruhi Islam. Dari ketiga corak kebudayaan itu yang harus dipandang paling khas dan istimewa, menurut Abdul hadi W.M. adalah kebudayaan Jawa yang terpaut Hinduisme. 2 Taufik Abdullah (1997) telah mengkritik pandangan yang meletakkan Islam sebagai outsider dalam perkembangan kebudayaan dan masyarakat Jawa. Pandangan demikian, menurut Taufik Abdullah, sebenarnya merupakan hasil 1 K. Setiono, Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002), hlm. 87 2 Ibid.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Blog UMY...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari

periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya

dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama.1 Dalam kebudayaan lokal

Jawa dapat dilihat dari hadirnya sastra yang menumbuhkan perasaan cinta

ketuhanan. Selain itu, sastra Jawa juga mengandung ajaran-ajaran kearifan hidup

dan moralitas seperti yang terefleksikan dalam bentuk tembang-tembang, serat

dan cerita kentrung.

A. Teew membagi kebudayaan Indonesia menjadi tiga kelompok. Pertama,

kebudayaan masyarakat yang belum dipengaruhi agama Hindu dan Islam.

Kedua, kebudayaan masyarakat yang kuat dipengaruhi kebudayaan Hindu dan

tipis pengaruh Islamnya. Ketiga, kebudayaan masyarakat yang sangat

dipengaruhi Islam. Dari ketiga corak kebudayaan itu yang harus dipandang

paling khas dan istimewa, menurut Abdul hadi W.M. adalah kebudayaan Jawa

yang terpaut Hinduisme.2

Taufik Abdullah (1997) telah mengkritik pandangan yang meletakkan

Islam sebagai outsider dalam perkembangan kebudayaan dan masyarakat Jawa.

Pandangan demikian, menurut Taufik Abdullah, sebenarnya merupakan hasil

                                                            1 K. Setiono, Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia, (Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta, 2002), hlm. 87 2 Ibid.

2

konstruksi pengetahuan yang dibuat oleh Belanda setelah berakhirnya Perang

Diponegoro (1825-1830). Sejak masa itu, ikhtiar untuk memisahkan Islam dari

kebudayaan Jawa dijalankan secara begitu sistematik, terutama melalui

penulisan buku sejarah, antropologi dan hasil penelitian fisiologi.

Kecenderungan mengesampingkan Islam dalam penelitian karya-karya mistikal

Jawa nampak pada banyak karya-karya tulis tokoh-tokoh barat.3

Syari’at Islam tidak pernah melarang pemeluknya mengikuti budaya yang

dianut masyarakat selama tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar

Islam seperti aqidah dan ketauhidan. Bahkan Islam sangat mengapresiasi

kebudayaan manusia yang merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia yang

berbudi. Wujud konkrit bahwa Islam cukup memperthitungkan kebudayaan

dalam menetapkan syari’at yaitu dengan adanya qaidah fiqhiyah “ دة محكمةعاال ”

yang artinya adat itu bisa dijadikan hukum. Ini membuktikan Islam tidak pernah

menafikan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sebaliknya, Islam sangat mendukung manusia sebagai khalifah di bumi untuk

terus berkarya dengan segala kompetensi yang merupakan anugerah dari Allah

SWT. Dalam al-Qur’an juga banyak ayat yang mendorong umat Islam untuk

menggunakan segala potensinya. Misalnya surat al-Baqarah ayat 219,

فكرتت لكملع اتالآي لكم الله نيبي كونكذل

Artinya : Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.4

                                                            3 Ibid. 4 Departement Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT.

Tanjung Mas Inti, 1992), hlm. 34

3

Ini menunjukan bahwa Syari’at Islam tidak pernah membatasi manusia

dalam berkarya dengan segala kompetensinya.

Manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT akan

mempertanggungjawabkan apa yang telah dikerjakannya selama hidup. Salah

satu esensi ajaran teologi Islam mendeskripsikan bahwa makhluk hidup

bukanlah satu-satunya yang mempunyai eksistensi, tetapi Allah lebih

mempunyai eksistensi. Dalam tradisi pemikiran ketuhanan, dikenal dua metode

yang paling mendasar. Pertama, refleksi manusia terhadap alam semesta melalui

hukum alam dan menjurus kepada teologi kealaman. Kedua, merupakan

penyingkapan Tuhan melalui turunnya wahyu. Idealnya antara kebudayaan dan

Agama Islam mempunyai korelasi inklusif. Tidak adanya perbedaan, antara

kebudayaan dan Agama Islam.

Ketika terjadi ketidaksingkronisan antara budaya dengan ajaran Islam,

maka sudah selayaknya Syari’at Islam yang selalu relefan dalam setiap zaman

lebih diutamakan dari semua aturan yang merupakan hasil kebudayaan manusia,

sekalipun kebudayaan tersebut telah diakui kebenarannya secara kolektif.

Namun, hal itu tetap tidak dapat mengubah syari’at Islam yang telah

disempurnakan oleh Allah.

Di Kota Yogyakarta sering kali masyarakat menjadikan alasan menjaga

kebudayaan lokal ketika melakukan ritual-ritual yang bersebrangan dengan nilai-

nilai Islam. Sekaten adalah salah satu budaya lokal yang masih tetap dilestarikan

oleh masyarakat Yogyakarta. Masyarakat tetap melestarikan tradisi sekaten

meskipun mereka tidak mengetahui asal usul sekaten dan maksud dari

4

diadakannya sekaten. Hal ini tentu menjadi fenomena yang penting untuk dikaji.

Risalah ini secara mendalam mengkaji budaya sekaten yang masih dilestarikan

oleh masyarakat Kota Yogyakarta dari sudut pandang Islam. Diharapkan

masyarakat Kota Yogyakarta tidak taqlid dengan melakukan ritual peribadatan

yang mereka tidak tahu pasti dari mana asal mula ibadah itu. Tanpa mereka

sadari, ritual-ritual yang mereka kerjakan adalah ritual sesembahan Agama

Hindu yang diambil oleh ulama’ terdahulu untuk memudahkan penyebaran

ajaran agama Islam.

Meskipun Islam tidak sepenuhnya menafikan tradisi kebudayaan leluhur

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, namun Islam juga memberi

batasan-batasan sejauh mana umatnya boleh melakukan ritual yang merupakan

peninggalan pendahulu masyarakat setempat sebagai usaha melestarikan

kebudayaan lokal.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan, permasalahan yang timbul

adalah:

1. Bagaimana seluk beluk budaya sekaten di Kraton Yogyakarta?

2. Bagaimana pandangan Islam mengenai tradisi sekaten sebagai kebudayaan

lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kota Yogyakarta?

3. Bagaimana seharusnya masyarakat Kota Yogyakarta menyikapi budaya

sekaten?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah

5

1. Mengkaji seluk beluk budaya sekaten di Kota Yogyakarta.

2. Menganalisis berdasarkan sudut pandang Islam mengenai tradisi sekaten

sebagai kebudayaan lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kota

Yogyakarta.

3. Supaya masyarakat Yogyakarta dapat menyikapi budaya sekaten dengan

benar sesuai syari’at Islam.

Adapun manfaat penelitian ini adalah secara teoritis, kajian ini diharapkan

dapat memberi masukan yang dapat berguna bagi perkembangan pemikiran

Islam dewasa ini. Sedangkan secara praktis, kajian ini diharapkan dapat

memberi penegasan bahwa syari’at Islam telah sempurna dan tidak dapat di ubah

sedemikian rupa untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, sekalipun dengan

alasan untuk melestarikan kebudayaan lokal. Diharapkan masyarakat dapat

menentukan sikap dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara dengan tidak

menafikan hukum-hukum Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Fungsi kajian pustaka adalah mengemukakan secara sistematis hasil

penelitian terdahulu yang relevan memberikan pemaparan tentang penelitian

yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Drs. Juz'an, M.Hum. berjudul “Nilai-Nilai

Pendidikan Islam Dalam Tradisi Garebeg Maulud Di Kraton Yogyakarta”.

Penelitian ini membahas tentang nilai-nilai pendidikan islam dalam tradisi

Garebeg Maulud di Kraton Yogyakarta. Fokus yang dikaji dalam penelitian ini

adalah Bagaimana sejarah tradisi gerebeg maulud di kraton Yogyakarta, ritual

6

apa saja yang terdapat dalam prosesi Garebeg Maulud di kraton Yogyakarta,

nilai-nilai pendidikan Islam apa saja yang terdapat dalam tradisi Garebeg

Maulud di kraton Yogyakarta.

Penelitian yang dilakukan oleh Muhtaram yang berjudul “Nilai-Nilai

Pendidikan Dalam Makna Simbol Perayaan Sekaten”. Penelitian ini bermaksud

mengungkap dan mengetahui secara detail tentang prosesi upacara sekaten

dengan semua simbol-simbol yang digunakannya serta makna dari simbol-

simbol yang digunakan dalam perayaan sekaten tersebut dan mengungkap nilai-

nilai atau pesan-pesan pendidikan terhadap umat adanya prosesi upacara sekaten

di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Penelitian yang diklakukan oleh Drs. Juz'an, M.Hum. dan Muhtaram

hanya membahas budaya sekaten dari sudut pandang yang memposisikan

budaya sekaten sebagai suatu kebudayaan yang harus dilestarikan. Penelitian

Drs. Juz'an, M.Hum. dan Muhtaram tidak menyentuh ranah nilai-nilai aqidah,

ketauhidan, dan semua ketentuan Islam yang mengatur kehidupan manusia,

termasuk dalam menyikapi hasil akal budi manusia. Sedangkan risalah ini

menggunakan sudut pandang Islam mengkaji budaya sekaten secara ditail dan

komprehensif. Capaian dalam risalah ini adalah masyarakat Kota Yogyakarta

dapat menentukan sikap dalam menyambut ritual tahunan yang diadakan di

Kraton Yogyakarta, sehingga tetap terjalin keselarasan antara nilai kebudayaan

dengan nilai-nilai Islam dalam budaya sekaten di Kota Yogyakarta.

7

E. Batasan Masalah

Risalah ini mengkaji budaya sekaten sebagai kebudayaan lokal yang

merupakan hasil dari budi daya manusia di Kota Yogyakarta mulai dari filosofi,

praktek dan kepercayaan masyarakat yang melekat dalam budaya sekaten.

Risalah berisi analisis budaya sekaten dari sudut pandang Islam yang bersumber

dari al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan menyertakan pendapat Muhammadiyah

dalam memandang budaya sekaten.

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan

pendekatan deskriptif analisis. Prosedur dari penelitian ini adalah untuk

menghasilkan data deskriptif yang berupa data tertulis setelah dilakukan analisis

pemikiran dari teks ataupun dari realitas masyarakat yang tengah berkembang.

Dalam pengumpulan data, risalah ini menggunakan sumber data primer

yaitu naskah keraton dan buku-buku tentang kebudayaan kejawen. Juga

menggunakan sumber data sekunder yang diambil dari buku, artikel, jurnal,

karya tulis lain yang mempunyai relevansi untuk memperkuat pendapat dan

melengkapi hasil risalah ini.

Proses analisis data dalam risalah ini menggunakan metode deskriptif yaitu

penelitian secara apa adanya berdasarkan data yang diperoleh sehingga diperoleh

gambaran sistematik dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Capaian dalam

analisis ini adalah menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan

lokal menurut perspektif Islam.

8

G. Sistematika Pembahasan

Penulisan risalah ini disusun secara sistematis untuk memudahkan

pengkajian dan pemahaman terhadap persoalan yang ada. Adapun sistematika

dalam risalah ini sebagai berikut:

Bab I pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta

sistematika pembahasan. Hal ini bertujuan agar risalah ini menjadi

karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bab II landasan teoritik untuk memperjelas makna judul risalah ini. Bab ini

berisi teori mengenai istilah Islam, kebudayaan dipandang dari segi

semantik dan istilah, serta gambaran umum Kota Yogyakarta untuk

mengetahui keadaan geografis maupun sosial masyarakat Yogyakarta.

Bab III berisi analisis hukum sekaten yang diadakan oleh masyarakat Kota

Yogyakarta dalam sudut pandang Islam dengan pengambilan hukum

yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis dalam menyikapinya.

Diharapkan pembaca mempunyai gambaran utuh untuk menyikapi

tradisi sekaten menurut sudut pandang Islam.

Bab IV berisi penutup yang mencakup kesimpulan, saran-saran serta kata

penutup, dan daftar pustaka. Bab ini sangat diperlukan karena inti dari

hasil risalah ini telah terangkum di dalamnya.

9

BAB II

LANDASAN TEORITIK

A. Pengertian Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah,

yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal

yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris disebut

culture, yang berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah atau

mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata

culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.5

Secara substansial, kebudayaan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam

suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan

dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat.6 Oleh karena itu, sangat

beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kebudayaan lokal merupakan entitas

yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal

itu berarti kebudayaan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan

kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang

menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.7

Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi

kebudayaan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam

                                                            5 Rizki Dian, “Tradisi sekatenan di Yogyakarta”, http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisi-

sekaten-di-yogyakarta/. html, akses 23 Desember 2011

6 Ibid. 7 Ibid.

10

masyarakat kita, kebudayaan lokal dapat ditemui dalam ritual, nyanyian,

pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam

perilaku sehari-hari. Kebudayaan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-

kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan

kebudayaan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok

masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat

tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat

diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.8

B. Gambaran Umum Kota Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat)

Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat berdiri sejak tahun 1756 M. Didirikan

oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono

I. Saat ini, Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Paduka Sultan Hamengku

Buwono X yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Puro

Pakualaman dipimpin oleh Sri Paduka Paku Alam IX sekaligus sebagai Wakil

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Keduanya memainkan peran yang

sangat menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jawa

dan merupakan pemersatu masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta yang sangat

heterogen.9

                                                            8 Ibid. 9 Kementrian Agama RI, “Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta,”

http://yogyakarta.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=8, html akses 1 januari 2012

11

Secara administratif, Kota Yogyakarta dengan luas 32,50 Km² adalah salah

satu kota bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jumlah penduduk

509.146 jiwa, dan jumlah desa 163.10

Secara fisiografis, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat

dikelompokkan menjadi empat satuan wilayah, yaitu satuan fisiografi Gunung

Merapi, satuan pegunungan selatan, satuan Pegunungan Kulonprogo, dan satuan

dataran rendah. Di satuan dataran rendah inilah terletak Ibukota Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta, yaitu Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat yang

merupakan sentral kegiatan dari segenap masyarakat dari berbagai penjuru tanah

air. Karena itu pula, maka kota ini dikenal luas sebagai kota pelajar, pendidikan,

perjuangan, serta kota budaya. Secara historis Yogyakarta merupakan kota tua

dari Kerajaan Mataram yang sampai sekarang ini masih berdiri.11

Ditinjau menurut pemeluk agama, komposisi penduduk Kota Yogyakarta

adalah pemeluk agama Islam 91,38 %, pemeluk agama Kristen 2,88 %, pemeluk

agama katolik 5,38 %, pemeluk agama Hindu 0,17 %, pemeluk Agama Budha

0,16 %, pemeluk agama lain 0,03 %.12

Kehidupan beragama di Kota Yogyakarta nampak berjalan secara

harmonis, serasi dan seimbang. Hal tersebut dapat dilihat dari kegairahan

masyarakat beragama untuk berperan aktif dalam menyukseskan program

pembangunan bidang agama khususnya, dan Program Pembangunan Nasional

                                                            10 Widjiono Wasis, Ensiklopedia Nusantara, cet. pertama (Jakarta: Mawar Gempita,

1989), hlm. 443 11 Ibid. 12 Ibid.

12

pada umumnya. Pendekatan para tokoh dan pemuka agama untuk memberikan

motivasi lewat jalur agama telah menunjukkan karya nyata serta

menumbuhkembangkan kehidupan beragama untuk mewujudkan nilai-nilai

religius dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.13

C. Pengertian Islam

Secara bahasa, Islam berasal dari bahasa arab aslama yang berarti tunduk,

patuh, menyerah, berdamai, bebas, lepas, dan selamat.14 Secara Istilah, Islam

adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang

ajarannya bersifat fleksibel dan universal, selamat, sentosa, dan sejahtera,

penyerahan diri kepada Allah tunduk dan patuh kepada-Nya. Orang yang

menganut agama Islam disebut muslim artinya pemeluk agama Islam atau orang

yang menyerahkan diri kepada Allah.15

Dalam Ensiklopedia, Islam diartikan sebagai agama samawi (langit) yang

diturunkan oleh Allah SWT melalui utusan-Nya, Muhammad SAW. Ajaran-

ajaran Islam terdapat dalam kitab suci al-Qur’an dan sunnah dalam bentuk

perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan

manusia, baik di dunia maupun di akhirat.16

Islam ialah agama yang diturunkan Allah kepada manusia dengan wahyu

melalui utusan-Nya, yang mengajarkan supaya umat manusia tunduk dan patuh                                                             13 Ibid. 14 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua, cet.

Keempat belas (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 654 15 Abu Muhammad, Kamus Istilah Agama Islam, cet. pertama (Tangerang: PT Albama,

2012), hlm. 117 16 Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Islam, jilid 2, cet. kesebelas (Jakarta:

PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 246

13

serta berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Sebagaimana telah disinggung di

atas bahwa Islam itu menuntut agar manusia setelah melakukan segala aktivitas

(yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam) hendaknya berserah diri pada

Allah.17 Ummat Islam telah sepantasnya berdo’a hanya kepada Allah,

bertawakkal dan berserah diri kepada-Nya.

D. Kebudayaan dalam Perspektif Islam

Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah sebagaimana

diterangkan dalam Qur’an surat al-Maidah ayat 3

كميند لكم لتأكم موالي

Artinya: Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu, agamamu... Ayat ini menunjukan Islam adalah agama yang telah sempurna dalam mengatur

segala aspek kehidupan manusia mulai dari urusan ibadah maupun mu’amalah.

Begitupula dalam perihal budaya yang merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa

manusia. Islam mempunyai beberapa peran penting dalam mengatur kebudayaan

masyarakat yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa peran

Islam dalam perkembangan budaya adalah

1. Melestarikan

Islam sangat mengapresiasi kebudayaan manusia yang merupakan

hasil dari rasa, cipta, dan karsa manusia. Allah melalui ayat-ayat al-Qur’an

banyak mendorong manusia untuk semaksimal mungkin menggunakan segala

                                                            17 Prof. Dr. H. Chatibul Umam, Aqidah Akhlak jilid 1, cet. pertama (Kudus: Menara

kudus, 2004), hlm. 17

14

kompetensi yang Allah berikan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-

Baqarah ayat 219,

آذلك يبين الله لكم الآيات لعلكم تتفكرونArtinya : Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.18 Islam tidak melarang umatnya untuk mengembangkan segala potensi yang

dimiliki, termasuk dalam berkebudayaan. Bentuk apresiasi Islam terhadap

kebudayaan adalah dengan tetap melestarikan kebudayaan yang sarat akan

nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta tidak bertentangan dengan

prinsip Islam sebagai agama rahmatan lil’alamiin. Contohnya adalah budaya

ziarah kubur. Meskipun Nabi Muhammad sempat melarang umat Islam untuk

ziarah kubur karena Nabi khawatir umatnya yang tatkala itu masih dekat

dengan budaya jahiliah akan melakukan perbuatan musyrik dengan berdo’a

kepada orang yang telah mati. Tetapi, pada akhirnya Nabi memerintahkan

umatnya untuk berziarah kubur karena dapat mengingatkan manusia akan

kematian sehingga manusia selalu memperbanyak amal kebaikan untuk bekal

di akhirat.

2. Merombak

Selain melestarikan kebudayaan yang telah ada, Islam juga merombak

beberapa kebudayaan yang kurang pas dengan nilai-nilai Islam. Contohnya

adalah budaya nikah pada waktu jahiliah yang salah satu prakteknya yaitu

dengan cara beberapa laki-laki menggauli satu wanita. Ketika wanita tersebut

                                                            18 Departement Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya

(Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), hlm. 548

15

hamil dan melahirkan, maka dipanggillah beberapa laki-laki yang dulu

menggaulinya, kemudian wanita tersebut memilih salah satu dari laki-laki

tersebut untuk menjadi ayah dari bayi yang dilahirkan. Laki-laki pilihannya

itulah yang akhirnya menjadi suaminya. Bentuk pernikahan seperti ini tentu

tak ubahnya seperti hewan, Maka Islam sebagai agama rahmatan lil’alamiin

pun mengubah budaya nikah pada masa jahiliyah itu dengan nikah yang telah

kita kenal sekarang ini. Yaitu dengan adanya mempelai putra dan putri, wali

nikah, mahar, sighat akad nikah dan saksi.

3. Membasmi

Meskipun Islam sangat mengapresiasi kebudayaan manusia, namun

Islam juga tidak sepenuhnya menerima semua kebudayaan meskipun

kebudayaan tersebut telah diakui kebenarannya secara kolektif di masyarakat

setempat. Islam juga Membasmi beberapa kebudayaan jahiliyah yang

bertentangan dengan prinsip ajaran agama Islam. Contohnya adalah budaya

mengubur anak perempuan hidup-hidup yang dulu sempat berkembang di

kalangan masyarakat jahiliyah. Islam sedikitpun tidak mentolerir kebudayaan

yang jelas melanggar hak manusia untuk hidup dan berkembang karena jelas

ini bertolak belakang dengan prinsip Islam sebagai agama rahmatan

lil’alamiin.

16

BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Sekaten

Sekaten diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad

SAW yang lahir pada tanggal 12 Maulud atau Mulud dalam bulan ketiga tahun

Jawa. Sekaten meliputi Sekaten Sepisan (Sekaten Pembuka) dan ditutup dengan

Garebeg di halaman Masjid Gedhe Yogyakarta atau sering disebut sebagai

Masjid Gedhe Kauman.19

Kata Sekaten diambil dari pengucapan kalimat Syahadat. Istilah Syahadat

yang diucapkan sebagai Syahadatain ini kemudian berangsur-angsur berubah

dalam pengucapannya, sehingga menjadi Syakatain dan pada akhirnya menjadi

istilah Sekaten hingga sekarang. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain

juga berasal dari beberapa kata yaitu:20

1. Sahutain yang berarti menghentikan atau menghindari dua perkara, yaitu sifat

lacur dan menyeleweng.

2. Sakhatain yang berarti menghilangkan dua perkara yaitu sifat hewan dan sifat

setan yang melambangkan kerusakan.

3. Sakhotain yang berarti menanamkan dua perkara, yaitu memelihara budi

luhur dan menyembah Tuhan.

                                                            19 Ibid. 20 Ibid.

17

4. Sekati yang berarti seimbang dalam menilai hal-hal yang baik dengan yang

buruk.

5. Sekat yang berati batas untuk tidak berbuat kejahatan, yaitu tahu dimana batas

kebaikan dengan kejahatan.

Sekaten dimulai dari zaman Kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam

pertama di Pulau Jawa yang berdiri setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada

tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Raja Demak yang pertama adalah Raden

Patah yang bergelar Sultan Bintara. Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu

berupaya untuk menyiarkan Agama Islam ke seluruh pelosok negeri. Namun,

masyarakat kebanyakan sudah melekat dengan ajaran Hindu sehingga Raden

Patah berupaya untuk mengajak masyarakat untuk masuk Islam dan meyakini

akan kebenaran Agama Islam. Kemudian Raden Patah pun mengadakan

pertemuan dengan para Wali Songo, diantaranya adalah Sunan Ampel, Sunan

Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga,

Sunan Drajat dan Sunan Gunung Jati. Pertemuan anatar Raden Patah dan Wali

Songo tersebut membahas tentang bagaimana menyebarkan ajaran Islam dimulai

dari tanah Jawa. Dari pertemuan tersebut Sunan Kalijaga memiliki usul tentang

cara penyebaran Agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu

sudah memeluk Agama Hindu. Sunan Kalijaga mengusulkan agar masyarakat

dibiarkan tetap melaksanakan adat atau Agama Hindu, namun dilakukan

18

beberapa perubahan agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam contohnya

seperti:21

1. Semedi

Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada

dewa. Karena Agama Islam tidak mengenal dewa, maka hal ini digantikan

dengan memuja Allah SWT dengan melakukan shalat yang merupakan

kewajiban bagi setiap muslim.

2. Sesaji

Sesaji menurut Agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan

kepada dewa dan jin. Agar sesuai dengan syari’at Islam yang sudah tertulis

dalam al-Quran, maka digantikan dengan zakat fitrah kepada fakir miskin.

3. Keramaian

Dalam agama Hindu keramain mempunyai maksud menghormati

kepada para dewa. Keramaian kemudian digantikan dengan menghormati hari

raya Islam. Karena orang Jawa menyukai seni musik, maka penghormatan

terhadap Hari Raya Islam diberikan unsur musik seperti menabuh gamelan.

Salah satunya yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Di dalam

masjid diadakan tabuh gamelan agar orang-orang tertarik. Jika sudah

berkumpul kemudian diberikan pelajaran tentang agama Islam. Dan untuk

                                                            21 Ibid.

19

keperluan itu, para Wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan

Kiai Sekati.22

Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh Wali Songo dan Raden

Patah, yaitu memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud

dengan unsur gamelan. Ternyata banyak masyarakat yang tertarik untuk datang

ke masjid dan melihat gamelan. Selain rakyat, para bupati juga datang ke

kerajaan untuk memberikan penghormatan kepada raja. Mereka datang beberapa

hari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah tenda di alun-alun untuk

bermalam. Bupati menghadap raja beserta para rakyatnya mengiring raja ke

masjid. Karena hal tersebut, maka muncul kata Garebeg yang berasal dari kata

Anggrubyung yang berarti menggiring atau berkerumun.23

Orang-orang yang datang ke halaman masjid pun diminta untuk

mendengarkan pidato tentang ajaran Islam. Pidato itu berisi tentang dasar ajaran

Islam seperti bunyi kalimat syahadat serta maksud dan tujuan kalimat tersebut.

Kalimat syahadat merupakan kalimat yang dibaca seseorang ketika masuk Islam

dan juga untuk mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad

adalah utusan Allah. Kalimat syahadat juga ditulis di pintu gerbang masjid.24

Tradisi ini terus dilestarikan oleh raja yang memerintah pada masa

berikutnya hingga masa Kerajaan Mataram. Pada zaman Kerajaan Mataram

                                                            22 Ibid. 23 Ibid. 24 Ibid.

20

hingga pindah ke Yogyakarta dan Surakarta, sekaten ini diadakan untuk

kepentingan politik dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar kesetiaan

para bupati yang ada di wilayah kerajaan. Saat perayaan sekaten bupati harus

datang dengan menyerahkan upeti dan memperlihatkan rasa hormatnya kepada

raja. Apabila bupati berhalangan hadir maka harus diwakilkan oleh pihak

kerajaan. Apabila bupati yang berhalangan hadir tidak diwakilkan maka hal

tersebut dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap raja.25

Pada masa Kerajaan Mataram, selain untuk tujuan memperingati kelahiran

Nabi Muhammad SAW dan kepentingan politik kerajaan, sekaten diadakan

untuk menunjukkan bahwa raja yang berkuasa masih memiliki hubungan dengan

Nabi Muhammad SAW. Selain itu, sekaten juga memiliki peran dalam ekonomi

karena dengan adanya perkembangan zaman, sekaten kemudian dimanfaatkan

dalam sektor perdagangan. Sekaten dijadikan sebagai lahan untuk berdagang

oleh masyarakat selain untuk mendengarkan gamelan.26

B. Praktek Pelaksanaan Sekaten

Berikut prosesi sekaten menurut selebaran yang dibuat oleh bagian humas

dan informasi Setda Kota Yogyakarta tahun 2009. Pada intinya, keramaian

sekaten dapat dipilahkan menjadi tiga keramaian, yaitu;

1. Keramaian Adat

                                                            25 Ibid. 26 Ibid.

21

Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud saat sore hari dengan

mengeluarkan gamelan Kenjeng Kiai Sekati dari tempat penyimpanannya.

Kanjeng Kiai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng

Kiai Guntur Madu ditempatkan di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi

dalem prajurit ditugaskan menjaga gamelan pusaka tersebut yaitu prajurit

Mantrirejo dan prajurit Ketanggung.

Setelah waktu Shalat Isya’, para abdi dalem yang bertugas di bangsal

memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah

mendapat perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka

dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kiai

Sekati.

Yang pertama dibunyikan adalah gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu

dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu.

Menyusul kemudian Kanjeng Kiai Nogowilogo dengan gendhing rachikan

pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Secara bergantian Kanjeng Kiai

Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Nogowilogo dibunyikan. Di tengah

gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai

Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelum itu Sri Sultan atau wakil

Sri Sultan menaburkan udhik-udhik (uang logam) di depan gerbang

Danapertapa, bangsal Srimanganti dan bangsal Trajumas.

Tepat pukul 24.00 WIB, gamelan sekaten dipindahkan ke halaman

Masjid Gedhe dan dikawal oleh kedua pasukan abdi dalem prajurit

22

Mantrirejo dan prajurit Ketanggung. Kanjeng Kiai Guntur Madu

ditempatkan di panggonan sebelah selatan gapura Masjid Gedhe dan

Kanjeng Kiai Nogowilogo ditempatkan di panggonan sebelah utara gapura

Masjid Gedhe. Di halaman masjid, Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu

dan Kanjeng Kiai Nogowilogo dibunyikan terus menerus siang dan malam

selama enam hari berturut -turut, kecuali pada malam Jum’at hingga selesai

shalat Jum’at siang harinya.

Pada tanggal 11 Maulud mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke

Masjid untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang

berupa pembacaan naskah riwayat Nabi Muhammad SAW yang dibacakan

oleh Kiai Pengulu. Upacara tersebut diakhiri pada pukul 24.00 WIB. Setelah

semua selesai, perangkat gamelan sekaten dibawa kembali dari halaman

Masjid Gedhe menuju Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa

Sekaten telah berakhir.

Acara puncak dalam Sekaten ini ditandai dengan Garebeg yang

diadakan tanggal 12 Maulud (menurut penanggalan Jawa) mulai jam 08.00

WIB. Garebeg dimulai dengan dikawal oleh sepuluh prajurit kraton yaitu

Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro,

Ketanggung, Mantrirejo, Surokarso dan Bugis. Garebeg menampilkan

Gunungan sebagai acara utamanya. Gunungan adalah sesaji yang dibentuk

kerucut. Terbuat dari beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan

makanan. Gunungan ini dibawa dari istana Kemandungan melewati

23

Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Setelah dido’akan

Gunungan yang melambangkan kesejahteraan ini dibagikan kepada

masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan

membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini

dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah / ladang agar sawah

mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan

malapetaka.

2. Keramaian Penunjang

Keramaian rakyat tradisional yang menyertai upacara sekaten.

Beberapa bentuk keramaian penunjang antara lain adalah para penjaja

makanan tradisional, penjaja mainan tradisional dan kesenian kesenian

rakyat tradisional.

3. Keramaian Pendukung

Keramaian pendukung diadakan dan dikelola oleh Pemerintah Kota

Yogyakarta dalam rangka memanfaatkan sekaten tentang upaya dan hasil

pembangunan nasional antara pemerintah dan masyarakat. Beberapa bentuk

keramaian pendukung antara lain, pameran pembangunan yang diadakan

oleh Pemerintah Daerah. Pameran dan promosi sebagai upaya

memasyarakatan produksi dalam negeri dan meningkatkan barang ekspor

non migas. Pameran kebudayaan seperti Pameran Kraton, Puro Pakualaman

24

dan lainnya. Keramaian pendukung lainnya seperti arena permainan anak-

anak, rumah makan, dan cindera mata.

C. Hukum Sekaten Menurut Muhammadiyah

Memperingati hari kelahiran seseorang termasuk kelahiran Nabi, tidak ada

tuntunannya, baik yang berupa perbuatan, maupun perintah untuk

mengadakannya. Namun, juga tidak ada nash yang melarangnya. Tidak adanya

nash yang menyuruh maupun melarang untuk merayakan kelahiran Nabi

Muhammad SAW, maka hal ini dapat dimasukan pada masalah ijtihadiyyah.27

Dalam suatu kitab yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari bahwa Syaikh

Yusuf bin Ismail an-Nabhani menyatakan bahwa Nabi dilahirkan di kota

Makkah di rumah Muhammad bin Yusuf, dan disusui oleh Tsuwaibah budak

Abu Lahab yang dimerdekakan oleh Abu Lahab ketika ia merasa senang atas

kelahiran Nabi itu. Kalau Abu lahab saja yang kafir mendapat kebaikan, karena

merasa senang di hari kelahiran Nabi, tentu orang Islam akan mendapat balasan

dari Allah kalau juga merasa senang di hari kelahiran Nabi itu.28

Tentu qiyas ini tidak dapat dijadikan pegangan karena riwayat itu bukan

dasar yang kuat untuk dijadikan asal pada qiyas. Jika tidak ada dasarnya

                                                            27 Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih “Tanya Jawab Agama”, Suara Muhammadiyah,

1998, hlm. 271. 28 Ibid.

25

dilakukan qiyas, maka dapat dilakukan ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad yang

didasarkan illah mashlahah.29

Ada beberapa hal yang perlu diingat pada penetapan hukum atas dasar

kemaslahatan ini. Kemashlahatan itu harus benar-benar yang dapat menjaga lima

hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Karena, ukuran

kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar pada illahnya, dan

ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat mendatangkan

kebaikan dan menghindari kerusakan.30

Prinsip ini pula yang diterapkan dalam menetapkan hukum sekaten.

Karena, memang tidak ada nash al-Qur’an maupun al-Hadis, maka sekaten yang

merupakan acara yang diadakan untuk memperingati kelahiran Nabi saw

tidaklah diharamkan, jikalau acara yang diselenggarakan itu tidak ada unsur-

unsur kesyirikan, tabdzir dan semua hal yang dilarang oleh syari’at Islam.

Sekaten tidak pernah diajarkan dalam Islam, namun kegiatan sekaten juga

tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kegiatan ini dapat bernilai positif

karena dapat memperluas syi’ar Islam.

D. Kepercayaan Masyarakat Tentang Sekaten

Beberapa kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat tentang

budaya sekaten:

                                                            29 Ibid 30 Ibid.

26

1. Masyarakat Yogyakarta meyakini bahwa dengan mengikuti sekaten maka

akan mendapat pahala dan dianugerahi awet muda.31

2. Pada hari pertama dalam sekaten, sebagai syarat, salah satu ritual yang

dilakukan masyarakat adalah mengunyah daun sirih di halaman Masjid

Gedhe. Oleh karena itu banyak masyarakat yang memanfaatkan hal ini

untuk berjualan daun sirih dan ramuan-ramuan lainnya di halaman Masjid

Gedhe.32

3. Untuk kalangan petani, sekaten dijadikan kesempatan untuk memohon agar

panennya berhasil.33

4. Acara Garebeg merupakan acara yang dianggap sakral bagi para warga.

Dengan dibawanya sebuah gunungan ke halaman Masjid Gedhe, banyak

warga yang berebut mengambil makanan dari gunungan tersebut karena

menganggap dapat membawa berkah.34

5. Gunungan pada acara Garebeg adalah sesaji yang dibentuk kerucut.

Terbuat dari beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan.

Gunungan ini dibawa dari Istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan

Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Gunungan makanan inilah yang

diperebutkan oleh para warga karena dipercaya dapat membawa berkah.

Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan

                                                            31 Ibid. 32 Ibid. 33Ibid. 34Ibid.

27

ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari

segala macam bencana dan malapetaka.35

6. Sebelum sekaten dilaksanakan, diadakan upacara dengan dua persiapan

yaitu fisik dan spiritual. Persiapan fisik yaitu berupa peralatan dan

perlengkapan upacara sekaten, seperti:36

a. Gamelan Sekaten yaitu benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kiai

Sekati yang memiliki dua perangkat. Pertama, Kanjeng Kiai

Nogowilogo. Kedua, Kanjeng Kiai Guntur Madu. Gamelan sekaten

tersebut di buat oleh Sunan Bonang yang memiliki keahlian di bidang

karawitan dan diyakini sebagai gamelan yang pertama kali dibuat. Alat

pemukul gamelan tersebut terbuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau.

b. Gendhing Sekaten yang merupakan serangakaian lagu gendhing,

diantaranya yaitu Rambut pathet lima, Rangkung pathet lima,

Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andhong-

andhong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung

pathet lima, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet nem, Muru

Putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet

lima, Supiatun pathet barang dan Srundeng Gosong pelog pathet

barang.

                                                            35 Ibid. 36 Ibid.

28

c. Selain Gamelan Sekaten dan Gendhing Sekaten, perlengkapan-

perlengkapan lainnya yaitu uang logam, Bunga Kanthil, busana seragam

sekaten dan naskah riwayat Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa saat sebelum

upacara sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat

di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk

mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas

memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan

siram jamas.37

E. Budaya Sekaten dalam Perspektif Islam

Sebagaimana pendapat Muhammadiyah dalam buku Tanya Jawab Agama,

bahwa sekaten yang merupakan acara peringatan hari kelahiran Nabi

Muhammad itu tidak ada tuntunannya, baik yang berupa perbuatan, maupun

perintah untuk mengadakannya.38 Sedangkan untuk dilakukan qiyas, tidak ada

riwayat yang kuat untuk dijadikan asal pada qiyas. Jika tidak ada dasar

dilakukan qiyas, maka dapat dilakukan ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad yang

didasarkan illah mashlahah.39

Ada beberapa hal yang perlu diingat pada penetapan hukum atas dasar

kemaslahatan ini. Kemashlahatan itu harus benar-benar dapat menjaga lima hal,                                                             37 Ibid. 38 Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih “Tanya Jawab Agama”, Suara Muhammadiyah,

1998, hlm. 271. 39 Ibid

29

yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Karena, ukuran

kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar pada illahnya, dan

ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat mendatangkan

kebaikan dan menghindari kerusakan.40

Prinsip ini pula yang diterapkan dalam menetapkan hukum sekaten.

Karena tidak ada nash al-Qur’an maupun al-Hadis sebagai dasar hukum

menyelenggarakan sekaten, maka sekaten yang merupakan acara untuk

memperingati kelahiran Nabi saw tidaklah diharamkan dengan syarat acara yang

diselenggarakan itu tidak ada unsur-unsur kesyirikan, tabdzir dan semua hal

yang dilarang oleh syari’at Islam.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa kemashlahatan itu harus

benar-benar yang dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan

dan keturunan. Namun, dalam prakteknya sekarang ini, sekaten sudah

mengandung banyak kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang banyak

menyalahi prinsip-prinsip Islam seperti aqidah dan ketauhidan.

Berikut analisis kepercayaan masyarakat seputar sekaten yang menyalahi

prinsip ajaran Islam:

1. Masyarakat Yogyakarta meyakini bahwa dengan mengikuti sekaten maka

akan mendapat pahala dan dianugerahi awet muda. Pada hari pertama acara

                                                            40 Ibid.

30

sekaten, sebagai syarat, salah satu ritual yang dilakukan masyarakat adalah

mengunyah daun sirih di halaman Masjid Gedhe.41

Kesyirikan yang termuat dalam kepercayaan ini adalah meyakini

bahwa ritual sekaten merupakan waktu sakral yang dapat mendatangkan

kemaslahatan bagi orang-orang yang mengikutinya, seperti dapat awet muda

dan mendapat pahala. Sedangkan Islam selalu mengajarkan pada umatnya

untuk menyandarkan segala urusannya kepada Allah dan tidak

mengkhususkan hari-hari tertentu yang tidak ada tuntunannya dalam al-

Qur’an ataupun al-Hadis. Hal ini bertentangan dengan surat Fatir ayat 2,

ب نم ل لهسرفلا م سكما يما وله سكمفلا م ةمحر ناس ملنل ح اللهفتا يم هدع يمكالح زيزالع وهو

Artinya :

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.42

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menganugrerahkan rahmat kepada siapa

saja yang dikehendaki-Nya, yaitu para hambanya yang beriman dan

bertaqwa. Bukan berarti orang-orang yang mengikuti acara sekaten itu pasti

mendapat rahmat Allah dengan dianugerahi awet muda. Karena merupakan

haq Allah untuk memberikan rahmat-Nya kepada siapa yang Ia kehendaki.

                                                            41 Ibid. 42 Ibid, hlm. 434

31

Ancaman Allah sangat keras bagi orang yang melakukan kesyirikan,

sebagaimana Allah berfirman dalam sura al-Ma’idah ayat 72

من يشرك بالله فقد حرم الله عليه الجنة ومأواه النار وما للظالمني من أنصار

Artinya:

Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada penolong sama sekali.43

2. Untuk kalangan petani, sekaten dijadikan kesempatan untuk memohon agar

panennya berhasil.

Allah adalah pencipta segala alam semesta sebagaimana firman-Nya

di dalam surat al-Baqarah ayat 21-22

يا أيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون الذي نم به جراء فأخاء ممالس نل مزأناء واء بنمالسا واشرف ضالأر ل لكمعج

قا لكمرز اترونالثملمعت متأنا واددأن لهلوا لعجفلا ت

Artinya:

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.44

                                                            43 Ibid., hlm. 106 44 Ibid., hlm. 4

32

Patutlah kita sebagai hamba hanya menyembah dan memohon

kepada Allah dimana pun dan kapan pun, karena Allah adalah Dzat yang

maha mengabulkan Do’a. Allah berfirman dalam surat al-Qasash ayat 68

ارتخياء وشا يم لقخي كبرو

Artinya:

Dan rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.45

Manusia tidak diperbolehkan mengkhususkan hari untuk berdo’a

karena dianggap hari yang mustajab untuk berdo’a. Kecuali ada ayat

ataupun hadis yang menjadi dasar untuk mengkhususkan waktu-waktu

tertentu karena dianggap waktu yang mustajab untuk berdo’a seperti waktu

antara adzan dan iqamah. Maka perbuatan menghususkan hari

diselenggarakannya sekaten untuk berdo’a agar panennya berhasil

merupakan perbuatan bid’ah karena tidak ada satupun ayat al-Qur’an

maupun al-Hadis yang menjelaskan bahwa hari kelahran Nabi merupakan

waktu mustajab untuk berdo’a.

3. Gamelan adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kiai Sekati

yang memiliki dua perangkat yaitu Kanjeng Kiai Nogowilogo dan Kanjeng

Kiai Guntur Madu. Selain itu, terdapat perlengkapan-perlengkapan lainnya

seperti uang logam, bunga kanthil, busana seragam sekaten yang diyakini

sebagai benda-benda sakral yang dapat memberikan berkah bagi

masyarakat.

                                                            45 Ibid., hlm. 393

33

Hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip ketauhidan karena

Allah melarang umat Islam mengharapkan berkah kepada pohon, batu,

patung, dan sejenisnya. Begitu juga percaya bahwa benda-benda tertentu

dapat memberi madharat (bahaya) pada manusia. Karena, hal ini termasuk

perbuatan menyekutukan Allah.

Selain itu, tidak ada satu pun riwayat yang dinukil dari para sahabat

bahwa mereka bertabarruk kepada orang selain Nabi, baik bertabarruk

dengan jasad maupun dengan bekas-bekas peninggalan mereka. Tidak

pernah sedikit pun Rasulullah mengajarkan hal tersebut. Para sahabat

setelah wafatnya Nabi tidak ada seorang pun yang melakukan perbuatan

tabarruk kepada orang setelah Nabi. Padahal sepeninggal beliau tidak ada

manusia yang lebih mulia dari Abu Bakar Ash Shiddiq karena beliaulah

pengganti Nabi. Namun para sahabat tidak pernah bertabarruk kepada Abu

Bakar. Tidak pernah pula bertabarruk kepada Umar bin Khattab, Utsman

bin Affan ataupun Ali bin Abi Thalib, padahal merekalah orang-orang yang

paling mulia dari seluruh ummat.46

4. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam

penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk

mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas

                                                            46 Syaikh Nashir bin Abdirrahman, “Dilarang Bertabarruk Kepada Selain Nabi”,

http://www.suaramedia.com/artikel/kumpulan-doa/38259-dilarang-tabarruk-pada-selain-nabi-sekalipun-generasi-terbaik. html akses 26 Juli 2012

34

memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan

siram jamas.47

Banyak masyarakat Yogyakarta menganggap acara sekaten adalah

ritual sakral yang tidak semua orang dapat mengemban tugas dalam

pelaksanaan sekaten. Orang yang bertugas dalam acara sekaten atau abdi

dalem juga harus melakukan serentetan ritual untuk mensucikan diri

sebelum mengemban tugasnya dalam acara sekaten. Salah satu syarat para

abdi dalem untuk mensucikan diri adalah dengan berpuasa.

Puasa adalah ibadah mahdloh (ibadah yang telah ditentukan rukun

dan syaratnya). Ini telah masuk dalam masalah ta’abbudi (ibadah khusus

atau lazim disebut ritual) tidak boleh mempergunakan ijtihad, tetapi harus

mengikuti nash al-Qur’an atau as-Sunnah makbulah.48 Karena ibadah puasa

dalam acara sekaten ini tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an maupun as-

Sunnah padahal puasa merupakan amalan ta’abbudi, maka puasa para abdi

dalem ini dapat dikategorikan sebagai bid’ah.

Dalam buku Tanya Jawab Agama disebutkan bahwa bid’ah adalah

setiap amal ibadah yang dibuat tanpa adanya dalil dalam syara’ atau contoh

dari Rasulullah yang membenarkannya.49

                                                            47 Ibid. 48 Ibid., hlm. 138 49 Ibid., hlm. 233

35

Berikut kriteria amalan yang termasuk bid’ah menurut

Muhammadiyah:50

a. Bid’ah adalah suatu cara mengamalkan agama yang tidak berdasarkan

tuntunan Rasul dan oleh pelakunya dianggap sebagai bagian dari

agama.

b. Bid’ah hanya ada sepanjang menyangkut hal-hal yang berkaitan

dengan agama (aqidah dan ibadah) dan tidak menyangkut urusan

duniawi.

c. Sebagai kebalikan dari sunnah, maka bid’ah harus ditinggalkan dan

seperti dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan dalam Sunan Ibnu

Majah berikut, bid’ah adalah sesat.

Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah itu sesat.

5. Gunungan sesaji berbentuk kerucut pada acara Garebeg yang Terbuat dari

beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan. Setelah dido’akan

Gunungan sesaji tersebut dibawa ke halaman Masjid Gedhe. Banyak warga

yang berebut mengambil makanan dari gunungan sesaji tersebut karena

dianggap dapat membawa berkah. Bagian gunungan sesaji yang dianggap

sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah/ladang agar

sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan

malapetaka.

                                                            50 Ibid., hlm. 234

36

Hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip ketauhidan karena

Allah melarang umat Islam mengharapkan berkah kepada pohon, batu,

patung, dan sejenisnya. Begitu juga percaya bahwa benda-benda tertentu

dapat memberi madharat (bahaya) pada manusia. Karena, hal ini termasuk

perbuatan menyekutukan Allah satu-satunya tempat bergantung. Nabi SAW

bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi

Allahu akbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku hanya berada di tangan-Nya, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa ‘buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan’. Musa menjawab: ‘Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti’. Pasti, kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu.

6. Pasar malam dalam perayaan sekaten banyak mengandung kemungkaran

seperti tari-tarian klosal, bercampur baurnya lelaki dan perempuan dan

banyak kedurhakaan kepada Allah di dalamnya. Sekaten bukan acara

kebaikan yang di ridlai oleh Allah, tapi kedurkaan yang di benci-Nya.51

Allah berfirman dalam surat at-Thalaq ayat 8

وكأين من قرية عتت عن أمر ربها ورسله فحاسبناها حسابا شديدا وعذبناها

عذابا نكرا

Artinya:

Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu                                                             51 Mahrus Ali, “Panitia Sekaten Nantang Allah, Patuh pada Iblis”, //panitia-perayaan-

sekaten-nantang-allah. html akses 1 januari 2012

37

dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan.52 Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa kemashlahatan itu harus

benar-benar yang dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan

dan keturunan. Namun dalam prakteknya sekarang ini, sekaten sudah

mengandung banyak kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang menyalahi

prinsip-prinsip Islam seperti aqidah dan ketauhidan.

Meskipun sekaten dapat dijadikan sarana untuk syi’ar Islam, tetapi dalam

prakteknya, sekaten juga banyak mengandung unsur kesyirikan yang menjadikan

sekaten sebagai satu kegiatan menyekutukan Allah. Penetapan hukum atas dasar

kemaslahatan ini tidak lagi dapat digunakan untuk membenarkan budaya sekaten

karena kegiatan ini jelas menyalahi prinsip ketauhidan dan aqidah.

Karena, ukuran kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar pada

illahnya, dan ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat

mendatangkan kebaikan dan menghindari kerusakan. Sedangkan kerusakan yang

timbul akibat diadakannya sekaten itu lebih besar karena dapat mendekatkan

masyarakat dengan kesyirikan dari pada manfaat yang didatangkannya seperti

untuk syi’ar Islam. Disebutkan dalam kaidah fiqhiyah

53درء املفاصد مقدم على جلب املصاحل

Menghilangkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik manfaat.

                                                            52 Ibid., hlm. 559 53 Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ul Awwaliyah, (Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Futra,

tt), hlm. 34

38

Kaidah fiqhiyah ini menunjukan bahwa jika ada kerusakan dan manfaat

berkumpul pada satu perkara, maka yang harus lebih diutamakan adalah

menghilangkan kerusakan. Begitu pula dalam kegiatan sekaten, meskipun

kegiatan ini dapat dijadikan sarana syi’ar Islam, kita harus tetap lebih

memperhatikan dan menghilangkan kerusakan yang dapat ditimbulkan dari

kegiatan sekaten.

Sekaten sebagai budaya lokal yang telah menjadi acara tahunan warga

Kota Yogyakarta tentu sangat disayangkan jika harus ditiadakan karena adanya

kepercayaan menyimpang masyarakat tentang sekaten. Budaya sekaten yang

awalnya diadakan oleh para wali untuk memudahkan da’wah Islam perlu

dimurnikan kembali sesuai niat awal para wali kita. Segala bentuk kesyirikan dan

kepercayaan dalam acara sekaten yang menyimpang dari prinsip Islam harus

dihilangkan dan diluruskan agar sekaten dapat berlangsung sesuai dengan syari’at

Islam. Ketika sekaten telah murni dari kepercayaan mistis masyarakat, maka

penetapan hukum berdasarkan illah maslahah dapat diterapkan lagi dalam

sekaten. Hal ini dapat dilakukan karena sekaten dapat menjaga kemaslahatan

seperti menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun hal ini

dapat dilakukan ketika sekaten benar-benar telah bersih dari kepercayaan-

kepercayaan mistis masyarakat maupun pihak kraton, tidak ada unsur tabdzir,

ikhtilat (percampuran) antara lelaki dan permpuan, praktek penipuan dalam pasar

malam sekaten, dan segala hal yang dilarang oleh syari’at Islam.

39

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kata Sekaten diambil dari pengucapan kalimat Syahadatain yang pada

akhirnya menjadi istilah Sekaten. Budaya sekaten dimulai dari zaman

Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah pada tahun 1400 Saka

atau 1478 Masehi. Raden Patah berupaya untuk mengajak masyarakat yang

sudah melekat dengan ajaran Hindu untuk masuk Islam. Kemudian Raden

Patah mengadakan pertemuan dengan para Wali Songo. Dari pertemuan

tersebut Sunan Kalijaga mengusulkan agar masyarakat dibiarkan tetap

melaksanakan adat agama Hindu, namun dilakukan beberapa perubahan

agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam. Dari sinilah awal mula

diadakannya acara sekaten yang merupakan peringatan hari kelahiran Nabi

Muhammad. Acara sekaten diadakan selama seminggu penuh dengan

membunyikan gamelan Kenjeng Kiai Sekati dan Kanjeng Kiai Nogowilogo.

Hal ini dilakukan untuk menarik masyarakat agar datang ke Masjid Gedhe

dan mendengarkan riwayat hidup Nabi Muhammad. Namun, sekarang ini

praktek sekaen sudah banyak melenceng dari niat awal para Walo Songo

mengadakan acara sekaten ini. Banyak kepercayaan mistis dari masyarakat

yang menjadikan sekaten menjadi sarana kemusyrikan dan kemaksiatan.

40

2. Islam tidak melarang umatnya untuk melestarikan kebudayaan selama

kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Begitu

pula dengan budaya sekaten. Tidak ada larangan maupun perintah dalam al-

Qur’an dan al-Hadis tentang budaya sekaten, maka dapat dilakukan ijtihad

istishlahi untuk menetapkan hukum sekaten, yaitu ijtihad yang didasarkan

illah mashlahah. Kemashlahatan itu harus benar-benar dapat menjaga lima

hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun prakteknya

sekarang ini, sekaten banyak mengandung unsur kemusyrikan yang

bertentangan dengan prinsip Islam seperti keyakinan masyarakat bahwa

dengan mengikuti sekaten maka akan dianugerahi awet muda, gunungan

sesaji dan gamelan dapat memberi berkah, puasa pensucian diri yang tidak

disyari’atkan Islam, pasar malam dalam perayaan sekaten banyak

mengandung kemungkaran seperti tari-tarian klosal, bercampur baurnya

lelaki dan perempuan dan banyak kedurhakaan kepada Allah di dalamnya.

Disebutkan dalam kaidah fiqhiyah

درء املفاصد مقدم على جلب املصاحل

Menghilangkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik manfaat.

Kaidah fiqhiyah ini dapat diterapkan dalam hukum sekaten, karena

meskipun kegiatan ini dapat dijadikan sarana syi’ar Islam, kita harus tetap

lebih memperhatikan dan menghilangkan kerusakan yang dapat ditimbulkan

dari kegiatan sekaten. Begitu banyak kesyirikan yang terkandung dalam

acara sekaten, sedangkan Allah sangat tidak mentolerir dosa syirik. Oleh

41

karena itu, budaya sekaten hukumnya haram dan harus ditiadakan untuk

menghentikan praktek kemusyrikan yang berkembang di masyarakat.

3. Masyarakat Yogyakarta yang mayoritas beragama Islam haruslah kembali

memurnikan aqidah dengan membuang kepercayaan dan perbuatan syirik

dalam acara sekaten. Sekaten sebagai budaya lokal yang telah menjadi acara

tahunan warga Kota Yogyakarta tentu sangat disayangkan jika harus

ditiadakan karena adanya kepercayaan menyimpang masyarakat tentang

sekaten. Budaya sekaten yang awalnya diadakan oleh para wali untuk

memudahkan da’wah Islam perlu dimurnikan kembali sesuai niat awal para

wali kita. Segala bentuk kesyirikan dan kepercayaan dalam acara sekaten

yang menyimpang dari prinsip Islam harus dihilangkan dan diluruskan agar

sekaten dapat berlangsung sesuai dengan syari’at Islam. Ketika sekaten telah

murni dari kepercayaan mistis masyarakat, maka penetapan hukum

berdasarkan illah maslahah dapat diterapkan lagi dalam sekaten. Hal ini

dapat dilakukan jika kegiatan sekaten telah benar-benar menjaga agama,

jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Hal ini dapat dilakukan ketika

sekaten benar-benar telah bersih dari kepercayaan-kepercayaan syirik

masyarakat maupun pihak kraton, tidak ada unsur tabdzir, ikhtilat

(percampuran) antara lelaki dan perempuan, praktek penipuan dalam pasar

malam sekaten, dan segala hal yang dilarang oleh syari’at Islam.

B. SARAN-SARAN

Penulis ingin menyampaikan saran kepada semua kaum muslimin

khususnya di Kota Yogyakarta untuk meninggalkan segala kepercayaan dan

42

perbuatan syirik. Tentu sangat disayangkan jika budaya sekaten yang telah

berabad-abad menjadi budaya tahunan di Kota Yogyakarta harus dihentikan

karena banyak kepercayaan dan perbuatan masyarakat yang menyimpang dari

Islam. Telah sepatutnya umat Islam mendahulukan syari’at Islam yang telah

sempurna dari pada segala hal yang merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa

manusia.

C. KATA PENUTUP

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. Dengan

kemurahan dan limpahan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan risalah ini

sesuai dengan ketentuan perguruan.

Bersama dengan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada

semua pihak yang banyak membantu baik secara moril maupun materiil, semoga

amal baiknya diterima oleh Allah swt.

Bila ada kebenaran itu datangnya hanya dari Allah dan jikalau ada suatu

kekurangan dan kesalahan itu adalah datang dari diri penulis sendiri. Oleh karena

itu dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca agar risalah ini dapat lebih sempurna.

Akhirnya hanya kepada Allah swt tempat memohon dan tempat

berlindung, semoga risalah ini dapat bermanfaat untuk penulis sendiri serta bagi

pembaca lainnya.