BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/3109/2/2. BAB 1 PENDAHULUAN.pdfini...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut dan menjaga kelangsungan Pembangunan Nasional Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam suasana aman, tenteram, tertib, dan dinamis baik dalam lingkungan nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pengendalian terhadap hal- hal yang dapat mengganggu kestabilan nasional antara lain terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan” Pada dasarnya narkotika ditujukan untuk kepentingan manusia, khususnya untuk pengobatan (kesehatan) dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk melakukan pencegahan dan penyediaan narkotika demi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/3109/2/2. BAB 1 PENDAHULUAN.pdfini...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah

melindungi segenap bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut dan

menjaga kelangsungan Pembangunan Nasional Indonesia berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dalam suasana aman, tenteram, tertib, dan dinamis baik dalam lingkungan

nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pengendalian terhadap hal-

hal yang dapat mengganggu kestabilan nasional antara lain terhadap

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Menurut Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan”

Pada dasarnya narkotika ditujukan untuk kepentingan manusia,

khususnya untuk pengobatan (kesehatan) dan untuk pengembangan ilmu

pengetahuan. Untuk melakukan pencegahan dan penyediaan narkotika demi

2

kepentingan pengobatan dan pelayanan kesehatan, maka salah satu upaya

pemerintah ialah dengan melakukan pengaturan secara hukum tentang

pengedaran, impor, ekspor, menanam, penggunaan narkotika secara

terkendali dan dilakukan pengawasan yang ketat.1 Penggunaan narkotika

dengan dosis yang diatur oleh dokter untuk kepentingan pengobatan tidak

membawa akibat pada tubuh manusia. Sebaliknya apabila penggunaan

narkotika tanpa pengawasan dokter dan apoteker akan mengakibatkan

kecanduan dan hidupnya tergantung pada zat-zat narkotika. Apabila keadaan

ini tidak dicegah maka jenis narkotika yang digunakan akan semakin kuat dan

semakin besar pengaruhnya. 2 Penggunaan narkotika di luar indikasi medik,

tanpa petunjuk/resep dokter, yang digunakan secara teratur atau berkala

sekurang‐kurangnya selama 1 (satu) bulan itulah yang dapat dikatakan

sebagai penyalahgunaan narkotika,3 dampak yang dapat ditimbulkan dari

penyalahgunaan narkotika ini meliputi dampak fisik, psikologis, sosial dan

ekonomi. Dampak fisik misalnya gangguan pada sistem saraf (neurologis),

kejang-kejang, halusinasi, dan gangguan kesadaran. Dampak psikologis

berupa tidak normalnya kemampuan berpikir, berperasaan cemas,

ketergantungan atau selalu membutuhkan obat. Dampak sosial ekonomi dapat

dilihat dari kerugian sosial dan biaya ekonomi dari penyalahgunaan

narkotika, pada tahun 2004 diketahui tingkat kerugian sebesar Rp.23,6

1Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, Jakarta : Rineka Cipta, 2012,

hlm.1. 2 Soedjono Dirdjosisworo, Narkotika dan Remaja, Bandung : Alumni, 1985, hlm.2. 3 Badan Narkotika Nasional, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Remaja, Jakarta :

Direktorat Diseminasi Informasi Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional Republik

Indonesia, 2012, hlm. 10.

3

trilyun, tahun 2008 sebesar Rp.32,4 trilyun dan tahun 2011 estimasi kerugian

sebesar Rp.48,2 trilyun.4

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan masalah yang

sangat mengkhawatirkan. Terutama dikalangan remaja, yang saat ini makin

dekat dengan narkotika. Posisi Indonesia yang berada pada posisi silang

antara Benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Hindia,

juga sebagai negara yang memiliki sejumlah pulau besar dan garis pantai

yang panjang menyebabkan Indonesia menjadi sasaran dari peredaran

narkotika. Kondisi ini ditambah dengan jumlah penduduk yang besar,

mencapai kurang lebih 237 juta jiwa dengan 40% diantaranya adalah

generasi muda yang merupakan kelompok rentan bagi penyalahgunaan

narkotika. Berdasarkan Survei Nasional Prevalensi Penyalahguna Narkoba

Tahun Anggaran 2014 oleh BNN dapat diketahui bahwa jumlah penyalah

guna narkotika di Indonesia terus mengalami peningkatan yakni pada tahun

2008 tercatat sebanyak 3.362.527 penyalah guna, pada tahun 2011 tercatat

sebanyak 3.826.974 penyalah guna, dan pada tahun 2014 tercatat sebanyak

4.022.702 penyalah guna. Dari jumlah tersebut sebanyak 22% penyalah guna

narkotika di Indonesia berasal dari kalangan pelajar atau remaja. Hasil

Penelitian Badan Narkotika Nasional tahun 2009 diperoleh data bahwa rata-

rata usia pertama kali menyalahgunakan narkotika adalah pada usia yang

4Laporan BNN Tahun 2014

http://103.3.70.3/portal/_uploads/post/2015/03/11/Laporan_BNN_2014_Upload_Humas_FIX.pdf,

diakses tanggal 21 April 2015

4

sangat muda yaitu 12 - 15 tahun.5 Berdasarkan data BNN juga diketahui

tersangka penyalah guna narkoba yang coba pakai pada tahun 2014,

berjumlah 1.624.026, meningkat 12% dari tahun 2011 sebesar 1.159.649,

yang dimana penyalah guna coba pakai ini terdiri dari remaja atau golongan

pelajar.6

Jumlah penyalah guna dari kelompok remaja tersebut menempati

urutan kedua terbanyak setelah pekerja yang menggunakan narkotika.

Kontribusi jumlah penyalah guna narkotika terbesar yang berasal dari

kelompok pekerja ini dapat dikarenakan mereka memiliki kemampuan secara

finansial dan tekanan kerja yang tinggi sehingga cenderung menggunakan

jenis narkotika yang mampu mendorong stamina agar tetap bugar. Hal yang

perlu mendapat perhatian khusus adalah kelompok pelajar atau remaja yang

menempati urutan kedua terbanyak sebagai penyalah guna narkotika,

dikelompok pelajar/ mahasiwa dalam fase tingkat keingintahuan dan

keegoannya sangat tinggi serta tekanan dalam group/ kelompok yang kuat

sehingga bagi bandar/ pengedar narkotika mereka merupakan pasar yang

amat potensial.7

Memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang

sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan

negara, maka undang-undang yang semula mengatur tentang Narkotika yaitu

5 Badan Narkotika Nasional, Mahasiswa & Bahaya Narkoba, Jakarta : Direktorat Desiminasi

Informasi Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2012, hlm.2. 6 Efrar khalid Hanas, peranan sekolah dalam pencegahan narkoba,

http://indonesiabergegas.bnn.go.id/index.php/en/component/k2/item805-peranan-sekolah-dalam-

pencegahan-narkoba. diakses tanggal 7 Desember 2015 7 BNN & Puslitkes UI, Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun

Anggaran 2014, Depok : Puslitkes UI, 2015, hlm.33.

5

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 jo Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 diperlukan perubahan. Bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat

transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang

tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan

sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda

bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan

negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang

berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.8

Maka dibentuklah undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang di dalamnya juga mengatur mengenai

pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta

mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial.

Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika,

diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan

Narkotika Nasional (BNN). Hal ini di tegaskan dalam Pasal 64 angka 1

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan

dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika dan prekursor narkotika, dengan Undang-Undang ini

dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.

Pembentukan BNN sendiri berdasarkan atas landasan hukum yang telah

ditetapkan, yang tercantum dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia

8 Menimbang huruf e dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

6

Nomor 17 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden

Nomor 83 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika

Nasional.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini,

BNN ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah NonKementerian (LPNK)

dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan

penyidikan. Berdasarkan pasal 67 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang narkotika ini, ayat (1) menerangkan bahwa BNN dipimpin oleh

seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa

deputi, ayat (2) menerangkan Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

membidangi urusan:

a.bidang pencegahan;

b.bidang pemberantasan;

c.bidang rehabilitasi;

d.bidang hukum dan kerja sama; dan

e.bidang pemberdayaan masyarakat

Tugas dari BNN yang diatur dalam Undang-Undang ini termuat pada

Pasal 70, yakni yang menjadi tugas BNN adalah :

a) menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan

dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

7

b) mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c) berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

d) meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah

maupun masyarakat;

e) memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

f) memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam

pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

g) melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun

internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

h) mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;

i) melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

dan

j) membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada

Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah Provinsi dan

Kabupaten/Kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN Provinsi dan BNN

8

Kabupaten/Kota.9 Badan Narkotika Nasional Provinsi yang selanjutnya

disebut BNNP adalah instansi vertikal BNN yang melaksanakan tugas,

fungsi, dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi. BNNP berkedudukan di

ibukota Provinsi, berada dan bertanggung jawab kepada Kepala BNN.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Badan

Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat adalah instansi vertikal

BNN yang berkedudukan di ibukota Provinsi Sumatera Barat yang

bertanggung jawab kepada Kepala BNN mempunyai tugas melaksanakan

tugas, fungsi, dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.

Sedangkan fungsi dari BNNP itu sendiri berdasarkan Pasal 3

Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 3 tahun 2015 Tentang

Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan

Narkotika Nasional Kabupaten/Kota. BNNP menyelenggarakan fungsi:

a) pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan rencana kerja

tahunan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif

lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang

selanjutnya disebut P4GN dalam wilayah Provinsi;

b) pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pencegahan, pemberdayaan

masyarakat, rehabilitasi, dan pemberantasan dalam wilayah Provinsi;

c) pelaksanaan pembinaan teknis dan supervisi P4GN kepada BNNK/Kota

dalam wilayah Provinsi;

9Siswanto, 2012, Op.cit.,hlm.2.

9

d) pelaksanaan layanan hukum dan kerja sama dalam wilayah Provinsi;

e) pelaksanaan koordinasi dan kerja sama P4GN dengan instansi pemerintah

terkait dan komponen masyarakat dalam wilayah Provinsi;

f) pelayanan administrasi BNNP; dan

g) pelaksanaan evaluasi dan pelaporan BNNP.

BNN sebagai pusat pengendali berperan sangat penting dalam

menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan

penyalahgunaan narkotika, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 70.

Untuk memaksimalkan usaha pencegahan penyalahgunaan narkotika ini maka

lahirlah Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan

Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN) Tahun 2011-2015. Instruksi ini

dibuat dalam upaya untuk memfokuskan pencapaian “Indonesia Negeri Bebas

Narkoba Tahun 2015”, dalam rangka pelaksanaan Jakstranas P4GN Tahun

2011-2015 upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika oleh Bidang

Pencegahan memfokuskan pada :

a. Upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan menengah dan mahasiswa

memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkoba;

b. Upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap, dan

terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, indikator kinerjanya adalah

persentase siswa menengah, mahasiswa, dan pekerja yang telah mengikuti

10

penyuluhan memiliki sikap menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkoba.10

Hal ini sesuai dengan pedoman P4GN Tahun 2007 yang

menyebutkan bahwa strategi BNN dalam hal pecegahan penyalahgunaan

narkotika, dapat dilakukannya upaya salah satunya berupa Pencegahan

Primer.

Pencegahan Primer adalah pencegahan yang ditujukan pada :

a) Ditujukan pada anak-anak dan generasi muda yang belum pernah

menyalahgunakan narkotika.

b) Semua sektor masyarakat yang berpotensi membantu generasi

muda untuk tidak menyalahgunakan narkotika.

Kegiatan pencegahan primer ini terutama dilaksanakan dalam

bentuk penyuluhan, penerangan dan pendidikan.11

Strategi yang sudah dimiliki oleh BNN ini yang akan dijalankan oleh

BNNP, salah satunya adalah BNNP Sumatera Barat sebagai instansi vertikal

BNN yang menjalankan tugas, fungsi dan wewenang BNN dalam wilayah

Provinsi Sumatera Barat, dimana dengan dijalankannya strategi ini

diharapkan akan memperoleh hasil berupa terjadinya penurunan dari jumlah

penyalahguna narkotika khususnya dikalangan remaja di wilayah Provinsi

Sumatera Barat. Namun pada kenyatannya jumlah penyalahguna narkotika di

Provinsi Sumatera Barat tiap tahunnya makin meningkat.

10 LAKIP BNNP SUMBAR 2014

http://bnnpsumbar.com/lakip/, diakses tanggal 1 Desember 2015 11 http://www.bnn.go.id/read/page/7972/profil-deputi-pencegahan, diakses tanggal 7

Desember 2015

11

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “STRATEGI BADAN

NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI (BNNP) SUMATERA BARAT

DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

DIKALANGAN REMAJA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penelitian ini akan dibatasi pada 3 (tiga)

hal, antara lain :

1. Apakah strategi BNNP Sumatera Barat dalam pencegahan

penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja?

2. Apakah kendala yang dihadapi BNNP Sumatera Barat dalam

merealisasikan strategi pencegahan penyalahgunaan narkotika

dikalangan remaja?

3. Bagaimanakah upaya yang dilakukan BNNP Sumatera Barat dalam

mengatasi kendala untuk merealisasikan strategi pencegahan

penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini, antara lain :

1. Untuk mengetahui strategi BNNP Sumatera Barat dalam pencegahan

penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja.

12

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi BNNP Sumatera Barat

dalam merealisasikan strategi pencegahan penyalahgunaan narkotika

dikalangan remaja.

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan BNNP Sumatera Barat dalam

mengatasi kendala untuk merealisasikan strategi pencegahan

penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini penulis mengharapkan ada manfaat yang dapat diambil

yaitu :

1. Secara Teoritis

a. Dapat melatih penulis dalam melakukan suatu penelitian ilmiah

dan menuangkan hasil-hasil penelitian tersebut dalam bentuk

tulisan.

b. Untuk dapat menerapkan ilmu yang secara teoritis diperoleh di

bangku perkuliahan dan dapat menghubungkannya dengan

kegiatan yang ada dalam masyarakat.

c. Agar penelitian ini mampu menjawab rasa keingintahuan penulis

mengenai strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)

Sumatera Barat dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika

dikalangan remaja.

13

2. Secara Praktis

Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi masyarakat yang memiliki minat untuk mendalami

mengenai strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)

Sumatera Barat dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika

dikalangan remaja.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Dalam penulisan skripsi ini diperlukan suatu kerangka teoritis

sebagai landasan teori dan berfikir bagi penulis. Landasan teoritis

yang penulis gunakan yaitu :

Teori Kontrol Sosial

Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai

orang yang secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi

pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak

melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan

dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di

dalam masyarakat, hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh

Travis Hirchi sebagai pelopor teori ini, yakni mengatakan bahwa

Perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok – kelompok sosial

seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikatkan atau

terikat dengan individu. pengertian teori kontrol sosial merujuk pada

pembahasan delekuensi dan kejahatan yang di kaitkan dengan

14

variabel-variabel yang bersifat sosiologis anatara lain struktur

keluarga, pendidikan dan kelompok dominan. Manusia dalam teori

kontrol sosial dipandang sebagai mahluk yang memiliki moral murni,

oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan

sesuatu. Teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan

strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan

membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan kapada aturan-aturan

masyarakat.12

Teori kontrol sosial tertarik pada pertanyaan mengapa sebagian

orang taat pada norma. Para penganut teori ini menerima bahwa

pencurian bisa dilakukan siapa saja, bahwa kenakalan juga bisa

dilakukan siapa saja, bahwa penyalahgunaan obat-obatan terlarang bisa

dilakukan siapa saja. pertanyaannya justru, mengapa orang menaati

norma di tengah banyaknya cobaan, bujukan dan tekanan melakukan

pelanggaran norma. Jawabnnya adalah bahwa anak-anak muda dan

orang dewasa mengikuti hukum sebagai respon atas kekuatan-

kekuatan pengontrol tertentu dalam kehidupan mereka. Mereka

menjadi kriminal ketika kekuatan-kekuatan yang mengontrol tersebut

lemah atau hilang.13

Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai

perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :

12 Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Depok : PT Rajagrafindo Persada, 2013,

hlm. 87 13 Loc.cit

15

a. Kasih sayang

ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan

saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para

pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat

terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak

sebagai sumber kekuatan positif bagi individu.

b. Komitmen

Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam

suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk

hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.

c. Keterlibatan

Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang

untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional

mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai

masyarakat.

d. Kepercayaan

Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral

norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap

konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi

ikatan sosial antara seorang individu dengan lingkungan

masyarakatnya.

2. Kerangka Konseptual

Untuk lebih terarahnya penulisan skripsi ini, disamping perlu

adanya kerangka teoritis juga diperlukan kerangka konseptual yang

16

merumuskan definisi-definisi dari peristilahan yang digunakan

sehubungan dengan judul yang diangkat :

a. Strategi

Pengertian strategi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai

sasaran khusus.

b. BNN

Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23

tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional “Badan Narkotika

Nasional yang selanjutnya dalam Peraturan Presiden Republik

Indonesia ini disebut BNN adalah Lembaga Pemerintah Non

Kementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab

kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia”

c. BNNP

Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor

3 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika

Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota

“Badan Narkotika Nasional Provinsi yang selanjutnya dalam

Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional ini disebut BNNP

adalah instansi vertikal Badan Narkotika Nasional yang

melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang Badan Narkotika

Nasional dalam wilayah Provinsi”.

17

d. Pencegahan

Arti pencegahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

adalah proses, cara, perbuatan mencegah; penengahan; penolakan.

e. Penyalahgunaan Narkotika

Pengertian penyalahgunaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) adalah proses, cara, perbuatan menyalahgunakan;

penyelewengan. Penyalahgunaan narkotika dapat diartikan

sebagai suatu tindakan atau perbuatan seseorang yang menggunakan

narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter, yang

akibatnya sangat membahayakan kehidupan baik perorangan,

masyarakat dan negara, penyalahgunaan narkotika dapat diartikan

juga penggunaan narkotika secara melanggar hukum atau

penggunaan diluar tujuan pengobatan tanpa pengawasan dokter yang

berwenang, atau penggunaan diluar tujuan ilmiah. Penyalahgunaan

narkotika juga dapat disimpulkan sebagai Penggunaan narkotika di

luar indikasi medik, tanpa petunjuk/resep dokter, yang digunakan

secara teratur atau berkala sekurang‐kurangnya selama 1 (satu)

bulan.14

f. Narkotika

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,

yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

14 Badan Narkotika Nasional, Op.cit.,hlm 10.

18

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan

dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang

ini”

g. Remaja

Arti remaja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

mulai dewasa. Remaja dapat diartikan sebagai masa transisi (masa

peralihan) dari masa anak-anak menuju masa dewasa, yaitu saat

manusia tidak mau lagi diperlakukan oleh lingkungan keluarga dan

masyarakat sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisik,

perkembangan psikis (kejiwaan) dan mentalnya belum menunjukkan

tanda-tanda dewasa.15 Sedangkan menurut Zakiah Dradjat, remaja

adalah masa transisi. Seorang individu, telah meninggalkan usia

kanak-kanak yang lemah yang penuh dengan kebergantungan, akan

tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh tanggung jawab,

baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat.16

F. Metode Penelitian

1) Metode Pendekatan

Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan yuridis sosiologis, yaitu pendekatan yang menekankan

pada praktek di lapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau perundang-

15 Abdul Rozak & Wahdi Sayuti, Remaja dan Bahaya Narkoba, Jakarta : Prenada, 2006, hlm.

2. 16 Sofyan S. Willis, Remaja dan Masalahnya: Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja

Seperti Narkoba, Free Sex dan Pemecahannya, Bandung: Alfabeta, 2012, hlm. 22

19

undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Apabila

hukum sebagai gejala sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel

bebas/sebab (independent variable) yang menimbulkan pengaruh dan akibat

pada berbagai aspek kehidupan sosial, kajian itu merupakan kajian hukum

yang sosiologis (Socio-legal research)17

2) Sifat Penelitian

Sifat penjabaran hasil penelitian yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah bersifat deskriptif yaitu menggambarkan data yang

diperoleh secarah ilmiah dari objek penelitian tentang strategi Badan

Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat dalam pencegahan

penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja. Data yang diperoleh akan

dideskripsikan dalam bentuk uraian kalimat. Penelitian jenis ini dapat

mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang ada dibalik pelaksanaan

dan penegakkan hukum.18

3) Jenis dan Sumber Data

Sesuai dengan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini, maka

jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama,19 yakni diperoleh langsung melalui penelitian di lapangan

17Amarudin&Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,Jakarta : PT.Grafindo

Persada,2004,hlm.133. 18Ibid.,hlm.134-135. 19Ibid.,hlm.12.

20

yang dikumpulkan dari Badan Narkotika Nasional Provinsi

(BNNP) Sumatera Barat.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak langsung dari

lapangan, yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang mengikat

seperti Undang-Undang sebagai landasan yuridis, dokumen-

dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dan

sebagainya.

Sumber data pada penelitian ini , penulis berusaha mendapatkan data dari :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Data diperoleh dari penelitian yang dilakukan terhadap bahan-

bahan perpustakaan berupa buku-buku atau bahan lainnya yang

berhubungan dengan skripsi yang ditulis sehingga diperoleh data

sekunder. Adapun bahan hukum yang digunakan untuk

memperoleh data-data yang berhubungan adalah :

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang

mengikat20 atau mempunyai otoritas, bahan hukum primer ini

berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi

(BNNP) Sumatera Barat dalam pencegahan penyalahgunaan

narkotika dikalangan remaja, yang terdiri dari :

20Ibid.,hlm.31.

21

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009

Tentang Narkotika;

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun

2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika;

3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2010 Tentang Badan Narkotika Nasional;

4) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional

Pencegahan dan Pemberantasan Peredaran Gelap Narkoba

(Jakstranas P4GN) Tahun 2011-2015;

5) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 3

Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan

Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional

Kabupaten/Kota.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer21, yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat

membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer

seperti :

a. Rancangan Peraturan Perundang-Undangan;

b. Hasil karya ilmiah para sarjana;

21Ibid.,hlm.32.

22

c. Hasil-hasil penelitian, pendapat pakar hukum;

d. Jurnal buku, dan sebagainya.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder22, seperti kamus (hukum), Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia dan lain-lain.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Data diperoleh dari penelitian langsung di lapangan yakni di Badan

Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat. Data yang

diperoleh dari penelitian ini adalah data primer, yakni data yang

diperoleh langsung dari penelitian lapangan.

6) Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan :

a. Studi dokumen

Yaitu dengan cara mempelajari berkas atau dokumen yang terkait

dengan permasalahan yang diteliti dengan membaca, mempelajari, dan

meneliti literatur dokumen-dokumen tertulis serta dokumen-dokumen

lainnya yang relevan dengan kerangka dasar penelitian. Studi dokumen

merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum baik normatif

maupun sosiologis.

22Loc.cit

23

b. Wawancara (Interview)

Wawancara merupakan dialog atau tanya jawab bertatap muka

langsung dengan pihak yang menjadi narasumber, yang bertujuan

untuk memperoleh data yang lebih mendalam berkaitan dengan

masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis melakukan

wawancara dengan Kepala Bidang Pencegahan Badan Narkotika

Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat.

7) Teknik Pengolahan dan Analisis Data

a. Pengolahan Data

Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan cara/ proses

editing, yaitu proses penelitian kembali terhadap catatan, berkas-

berkas dan informasi yang telah dikumpulkan23.

b. Analisis Data

Data yang telah diperoleh dengan melakukan studi dokumen dan

wawancara, kemudian disusun dan dianalisa dengan menggunakan

metode kualitatif yaitu analisa yang dilakukan melalui penjelasan

dengan menggunakan kalimat yang menghubungkan peraturan

perundang-undangan terkait dengan kenyataan yang ditemukan di

lapangan. Sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh,

lengkap, sistematis, dan akan mendapatkan kesimpulan.

23Ibid.,hlm.168.

24