BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/3109/2/2. BAB 1 PENDAHULUAN.pdfini...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/3109/2/2. BAB 1 PENDAHULUAN.pdfini...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut dan
menjaga kelangsungan Pembangunan Nasional Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dalam suasana aman, tenteram, tertib, dan dinamis baik dalam lingkungan
nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pengendalian terhadap hal-
hal yang dapat mengganggu kestabilan nasional antara lain terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Menurut Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan”
Pada dasarnya narkotika ditujukan untuk kepentingan manusia,
khususnya untuk pengobatan (kesehatan) dan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan. Untuk melakukan pencegahan dan penyediaan narkotika demi
2
kepentingan pengobatan dan pelayanan kesehatan, maka salah satu upaya
pemerintah ialah dengan melakukan pengaturan secara hukum tentang
pengedaran, impor, ekspor, menanam, penggunaan narkotika secara
terkendali dan dilakukan pengawasan yang ketat.1 Penggunaan narkotika
dengan dosis yang diatur oleh dokter untuk kepentingan pengobatan tidak
membawa akibat pada tubuh manusia. Sebaliknya apabila penggunaan
narkotika tanpa pengawasan dokter dan apoteker akan mengakibatkan
kecanduan dan hidupnya tergantung pada zat-zat narkotika. Apabila keadaan
ini tidak dicegah maka jenis narkotika yang digunakan akan semakin kuat dan
semakin besar pengaruhnya. 2 Penggunaan narkotika di luar indikasi medik,
tanpa petunjuk/resep dokter, yang digunakan secara teratur atau berkala
sekurang‐kurangnya selama 1 (satu) bulan itulah yang dapat dikatakan
sebagai penyalahgunaan narkotika,3 dampak yang dapat ditimbulkan dari
penyalahgunaan narkotika ini meliputi dampak fisik, psikologis, sosial dan
ekonomi. Dampak fisik misalnya gangguan pada sistem saraf (neurologis),
kejang-kejang, halusinasi, dan gangguan kesadaran. Dampak psikologis
berupa tidak normalnya kemampuan berpikir, berperasaan cemas,
ketergantungan atau selalu membutuhkan obat. Dampak sosial ekonomi dapat
dilihat dari kerugian sosial dan biaya ekonomi dari penyalahgunaan
narkotika, pada tahun 2004 diketahui tingkat kerugian sebesar Rp.23,6
1Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, Jakarta : Rineka Cipta, 2012,
hlm.1. 2 Soedjono Dirdjosisworo, Narkotika dan Remaja, Bandung : Alumni, 1985, hlm.2. 3 Badan Narkotika Nasional, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Remaja, Jakarta :
Direktorat Diseminasi Informasi Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional Republik
Indonesia, 2012, hlm. 10.
3
trilyun, tahun 2008 sebesar Rp.32,4 trilyun dan tahun 2011 estimasi kerugian
sebesar Rp.48,2 trilyun.4
Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan masalah yang
sangat mengkhawatirkan. Terutama dikalangan remaja, yang saat ini makin
dekat dengan narkotika. Posisi Indonesia yang berada pada posisi silang
antara Benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Hindia,
juga sebagai negara yang memiliki sejumlah pulau besar dan garis pantai
yang panjang menyebabkan Indonesia menjadi sasaran dari peredaran
narkotika. Kondisi ini ditambah dengan jumlah penduduk yang besar,
mencapai kurang lebih 237 juta jiwa dengan 40% diantaranya adalah
generasi muda yang merupakan kelompok rentan bagi penyalahgunaan
narkotika. Berdasarkan Survei Nasional Prevalensi Penyalahguna Narkoba
Tahun Anggaran 2014 oleh BNN dapat diketahui bahwa jumlah penyalah
guna narkotika di Indonesia terus mengalami peningkatan yakni pada tahun
2008 tercatat sebanyak 3.362.527 penyalah guna, pada tahun 2011 tercatat
sebanyak 3.826.974 penyalah guna, dan pada tahun 2014 tercatat sebanyak
4.022.702 penyalah guna. Dari jumlah tersebut sebanyak 22% penyalah guna
narkotika di Indonesia berasal dari kalangan pelajar atau remaja. Hasil
Penelitian Badan Narkotika Nasional tahun 2009 diperoleh data bahwa rata-
rata usia pertama kali menyalahgunakan narkotika adalah pada usia yang
4Laporan BNN Tahun 2014
http://103.3.70.3/portal/_uploads/post/2015/03/11/Laporan_BNN_2014_Upload_Humas_FIX.pdf,
diakses tanggal 21 April 2015
4
sangat muda yaitu 12 - 15 tahun.5 Berdasarkan data BNN juga diketahui
tersangka penyalah guna narkoba yang coba pakai pada tahun 2014,
berjumlah 1.624.026, meningkat 12% dari tahun 2011 sebesar 1.159.649,
yang dimana penyalah guna coba pakai ini terdiri dari remaja atau golongan
pelajar.6
Jumlah penyalah guna dari kelompok remaja tersebut menempati
urutan kedua terbanyak setelah pekerja yang menggunakan narkotika.
Kontribusi jumlah penyalah guna narkotika terbesar yang berasal dari
kelompok pekerja ini dapat dikarenakan mereka memiliki kemampuan secara
finansial dan tekanan kerja yang tinggi sehingga cenderung menggunakan
jenis narkotika yang mampu mendorong stamina agar tetap bugar. Hal yang
perlu mendapat perhatian khusus adalah kelompok pelajar atau remaja yang
menempati urutan kedua terbanyak sebagai penyalah guna narkotika,
dikelompok pelajar/ mahasiwa dalam fase tingkat keingintahuan dan
keegoannya sangat tinggi serta tekanan dalam group/ kelompok yang kuat
sehingga bagi bandar/ pengedar narkotika mereka merupakan pasar yang
amat potensial.7
Memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang
sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara, maka undang-undang yang semula mengatur tentang Narkotika yaitu
5 Badan Narkotika Nasional, Mahasiswa & Bahaya Narkoba, Jakarta : Direktorat Desiminasi
Informasi Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2012, hlm.2. 6 Efrar khalid Hanas, peranan sekolah dalam pencegahan narkoba,
http://indonesiabergegas.bnn.go.id/index.php/en/component/k2/item805-peranan-sekolah-dalam-
pencegahan-narkoba. diakses tanggal 7 Desember 2015 7 BNN & Puslitkes UI, Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun
Anggaran 2014, Depok : Puslitkes UI, 2015, hlm.33.
5
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 jo Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 diperlukan perubahan. Bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang
tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan
sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda
bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang
berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.8
Maka dibentuklah undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang di dalamnya juga mengatur mengenai
pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta
mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial.
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika,
diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan
Narkotika Nasional (BNN). Hal ini di tegaskan dalam Pasal 64 angka 1
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan
dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika, dengan Undang-Undang ini
dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.
Pembentukan BNN sendiri berdasarkan atas landasan hukum yang telah
ditetapkan, yang tercantum dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia
8 Menimbang huruf e dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
6
Nomor 17 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 83 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika
Nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini,
BNN ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah NonKementerian (LPNK)
dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan. Berdasarkan pasal 67 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang narkotika ini, ayat (1) menerangkan bahwa BNN dipimpin oleh
seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa
deputi, ayat (2) menerangkan Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
membidangi urusan:
a.bidang pencegahan;
b.bidang pemberantasan;
c.bidang rehabilitasi;
d.bidang hukum dan kerja sama; dan
e.bidang pemberdayaan masyarakat
Tugas dari BNN yang diatur dalam Undang-Undang ini termuat pada
Pasal 70, yakni yang menjadi tugas BNN adalah :
a) menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
7
b) mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c) berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d) meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat;
e) memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f) memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam
pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
g) melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h) mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i) melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
dan
j) membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN Provinsi dan BNN
8
Kabupaten/Kota.9 Badan Narkotika Nasional Provinsi yang selanjutnya
disebut BNNP adalah instansi vertikal BNN yang melaksanakan tugas,
fungsi, dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi. BNNP berkedudukan di
ibukota Provinsi, berada dan bertanggung jawab kepada Kepala BNN.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Badan
Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat adalah instansi vertikal
BNN yang berkedudukan di ibukota Provinsi Sumatera Barat yang
bertanggung jawab kepada Kepala BNN mempunyai tugas melaksanakan
tugas, fungsi, dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Sedangkan fungsi dari BNNP itu sendiri berdasarkan Pasal 3
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 3 tahun 2015 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan
Narkotika Nasional Kabupaten/Kota. BNNP menyelenggarakan fungsi:
a) pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan rencana kerja
tahunan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif
lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang
selanjutnya disebut P4GN dalam wilayah Provinsi;
b) pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pencegahan, pemberdayaan
masyarakat, rehabilitasi, dan pemberantasan dalam wilayah Provinsi;
c) pelaksanaan pembinaan teknis dan supervisi P4GN kepada BNNK/Kota
dalam wilayah Provinsi;
9Siswanto, 2012, Op.cit.,hlm.2.
9
d) pelaksanaan layanan hukum dan kerja sama dalam wilayah Provinsi;
e) pelaksanaan koordinasi dan kerja sama P4GN dengan instansi pemerintah
terkait dan komponen masyarakat dalam wilayah Provinsi;
f) pelayanan administrasi BNNP; dan
g) pelaksanaan evaluasi dan pelaporan BNNP.
BNN sebagai pusat pengendali berperan sangat penting dalam
menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan
penyalahgunaan narkotika, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 70.
Untuk memaksimalkan usaha pencegahan penyalahgunaan narkotika ini maka
lahirlah Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN) Tahun 2011-2015. Instruksi ini
dibuat dalam upaya untuk memfokuskan pencapaian “Indonesia Negeri Bebas
Narkoba Tahun 2015”, dalam rangka pelaksanaan Jakstranas P4GN Tahun
2011-2015 upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika oleh Bidang
Pencegahan memfokuskan pada :
a. Upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan menengah dan mahasiswa
memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba;
b. Upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap, dan
terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, indikator kinerjanya adalah
persentase siswa menengah, mahasiswa, dan pekerja yang telah mengikuti
10
penyuluhan memiliki sikap menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba.10
Hal ini sesuai dengan pedoman P4GN Tahun 2007 yang
menyebutkan bahwa strategi BNN dalam hal pecegahan penyalahgunaan
narkotika, dapat dilakukannya upaya salah satunya berupa Pencegahan
Primer.
Pencegahan Primer adalah pencegahan yang ditujukan pada :
a) Ditujukan pada anak-anak dan generasi muda yang belum pernah
menyalahgunakan narkotika.
b) Semua sektor masyarakat yang berpotensi membantu generasi
muda untuk tidak menyalahgunakan narkotika.
Kegiatan pencegahan primer ini terutama dilaksanakan dalam
bentuk penyuluhan, penerangan dan pendidikan.11
Strategi yang sudah dimiliki oleh BNN ini yang akan dijalankan oleh
BNNP, salah satunya adalah BNNP Sumatera Barat sebagai instansi vertikal
BNN yang menjalankan tugas, fungsi dan wewenang BNN dalam wilayah
Provinsi Sumatera Barat, dimana dengan dijalankannya strategi ini
diharapkan akan memperoleh hasil berupa terjadinya penurunan dari jumlah
penyalahguna narkotika khususnya dikalangan remaja di wilayah Provinsi
Sumatera Barat. Namun pada kenyatannya jumlah penyalahguna narkotika di
Provinsi Sumatera Barat tiap tahunnya makin meningkat.
10 LAKIP BNNP SUMBAR 2014
http://bnnpsumbar.com/lakip/, diakses tanggal 1 Desember 2015 11 http://www.bnn.go.id/read/page/7972/profil-deputi-pencegahan, diakses tanggal 7
Desember 2015
11
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “STRATEGI BADAN
NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI (BNNP) SUMATERA BARAT
DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
DIKALANGAN REMAJA”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penelitian ini akan dibatasi pada 3 (tiga)
hal, antara lain :
1. Apakah strategi BNNP Sumatera Barat dalam pencegahan
penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja?
2. Apakah kendala yang dihadapi BNNP Sumatera Barat dalam
merealisasikan strategi pencegahan penyalahgunaan narkotika
dikalangan remaja?
3. Bagaimanakah upaya yang dilakukan BNNP Sumatera Barat dalam
mengatasi kendala untuk merealisasikan strategi pencegahan
penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini, antara lain :
1. Untuk mengetahui strategi BNNP Sumatera Barat dalam pencegahan
penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja.
12
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi BNNP Sumatera Barat
dalam merealisasikan strategi pencegahan penyalahgunaan narkotika
dikalangan remaja.
3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan BNNP Sumatera Barat dalam
mengatasi kendala untuk merealisasikan strategi pencegahan
penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja.
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini penulis mengharapkan ada manfaat yang dapat diambil
yaitu :
1. Secara Teoritis
a. Dapat melatih penulis dalam melakukan suatu penelitian ilmiah
dan menuangkan hasil-hasil penelitian tersebut dalam bentuk
tulisan.
b. Untuk dapat menerapkan ilmu yang secara teoritis diperoleh di
bangku perkuliahan dan dapat menghubungkannya dengan
kegiatan yang ada dalam masyarakat.
c. Agar penelitian ini mampu menjawab rasa keingintahuan penulis
mengenai strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)
Sumatera Barat dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika
dikalangan remaja.
13
2. Secara Praktis
Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat yang memiliki minat untuk mendalami
mengenai strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)
Sumatera Barat dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika
dikalangan remaja.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Dalam penulisan skripsi ini diperlukan suatu kerangka teoritis
sebagai landasan teori dan berfikir bagi penulis. Landasan teoritis
yang penulis gunakan yaitu :
Teori Kontrol Sosial
Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai
orang yang secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi
pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak
melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan
dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di
dalam masyarakat, hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Travis Hirchi sebagai pelopor teori ini, yakni mengatakan bahwa
Perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok – kelompok sosial
seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikatkan atau
terikat dengan individu. pengertian teori kontrol sosial merujuk pada
pembahasan delekuensi dan kejahatan yang di kaitkan dengan
14
variabel-variabel yang bersifat sosiologis anatara lain struktur
keluarga, pendidikan dan kelompok dominan. Manusia dalam teori
kontrol sosial dipandang sebagai mahluk yang memiliki moral murni,
oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan
sesuatu. Teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan
strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan
membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan kapada aturan-aturan
masyarakat.12
Teori kontrol sosial tertarik pada pertanyaan mengapa sebagian
orang taat pada norma. Para penganut teori ini menerima bahwa
pencurian bisa dilakukan siapa saja, bahwa kenakalan juga bisa
dilakukan siapa saja, bahwa penyalahgunaan obat-obatan terlarang bisa
dilakukan siapa saja. pertanyaannya justru, mengapa orang menaati
norma di tengah banyaknya cobaan, bujukan dan tekanan melakukan
pelanggaran norma. Jawabnnya adalah bahwa anak-anak muda dan
orang dewasa mengikuti hukum sebagai respon atas kekuatan-
kekuatan pengontrol tertentu dalam kehidupan mereka. Mereka
menjadi kriminal ketika kekuatan-kekuatan yang mengontrol tersebut
lemah atau hilang.13
Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai
perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :
12 Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Depok : PT Rajagrafindo Persada, 2013,
hlm. 87 13 Loc.cit
15
a. Kasih sayang
ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan
saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para
pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat
terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak
sebagai sumber kekuatan positif bagi individu.
b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam
suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk
hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang
untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional
mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai
masyarakat.
d. Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral
norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap
konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi
ikatan sosial antara seorang individu dengan lingkungan
masyarakatnya.
2. Kerangka Konseptual
Untuk lebih terarahnya penulisan skripsi ini, disamping perlu
adanya kerangka teoritis juga diperlukan kerangka konseptual yang
16
merumuskan definisi-definisi dari peristilahan yang digunakan
sehubungan dengan judul yang diangkat :
a. Strategi
Pengertian strategi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai
sasaran khusus.
b. BNN
Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23
tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional “Badan Narkotika
Nasional yang selanjutnya dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia ini disebut BNN adalah Lembaga Pemerintah Non
Kementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia”
c. BNNP
Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor
3 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika
Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota
“Badan Narkotika Nasional Provinsi yang selanjutnya dalam
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional ini disebut BNNP
adalah instansi vertikal Badan Narkotika Nasional yang
melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang Badan Narkotika
Nasional dalam wilayah Provinsi”.
17
d. Pencegahan
Arti pencegahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah proses, cara, perbuatan mencegah; penengahan; penolakan.
e. Penyalahgunaan Narkotika
Pengertian penyalahgunaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah proses, cara, perbuatan menyalahgunakan;
penyelewengan. Penyalahgunaan narkotika dapat diartikan
sebagai suatu tindakan atau perbuatan seseorang yang menggunakan
narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter, yang
akibatnya sangat membahayakan kehidupan baik perorangan,
masyarakat dan negara, penyalahgunaan narkotika dapat diartikan
juga penggunaan narkotika secara melanggar hukum atau
penggunaan diluar tujuan pengobatan tanpa pengawasan dokter yang
berwenang, atau penggunaan diluar tujuan ilmiah. Penyalahgunaan
narkotika juga dapat disimpulkan sebagai Penggunaan narkotika di
luar indikasi medik, tanpa petunjuk/resep dokter, yang digunakan
secara teratur atau berkala sekurang‐kurangnya selama 1 (satu)
bulan.14
f. Narkotika
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
14 Badan Narkotika Nasional, Op.cit.,hlm 10.
18
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
ini”
g. Remaja
Arti remaja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
mulai dewasa. Remaja dapat diartikan sebagai masa transisi (masa
peralihan) dari masa anak-anak menuju masa dewasa, yaitu saat
manusia tidak mau lagi diperlakukan oleh lingkungan keluarga dan
masyarakat sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisik,
perkembangan psikis (kejiwaan) dan mentalnya belum menunjukkan
tanda-tanda dewasa.15 Sedangkan menurut Zakiah Dradjat, remaja
adalah masa transisi. Seorang individu, telah meninggalkan usia
kanak-kanak yang lemah yang penuh dengan kebergantungan, akan
tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh tanggung jawab,
baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat.16
F. Metode Penelitian
1) Metode Pendekatan
Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan yuridis sosiologis, yaitu pendekatan yang menekankan
pada praktek di lapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau perundang-
15 Abdul Rozak & Wahdi Sayuti, Remaja dan Bahaya Narkoba, Jakarta : Prenada, 2006, hlm.
2. 16 Sofyan S. Willis, Remaja dan Masalahnya: Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja
Seperti Narkoba, Free Sex dan Pemecahannya, Bandung: Alfabeta, 2012, hlm. 22
19
undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Apabila
hukum sebagai gejala sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel
bebas/sebab (independent variable) yang menimbulkan pengaruh dan akibat
pada berbagai aspek kehidupan sosial, kajian itu merupakan kajian hukum
yang sosiologis (Socio-legal research)17
2) Sifat Penelitian
Sifat penjabaran hasil penelitian yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah bersifat deskriptif yaitu menggambarkan data yang
diperoleh secarah ilmiah dari objek penelitian tentang strategi Badan
Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat dalam pencegahan
penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja. Data yang diperoleh akan
dideskripsikan dalam bentuk uraian kalimat. Penelitian jenis ini dapat
mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang ada dibalik pelaksanaan
dan penegakkan hukum.18
3) Jenis dan Sumber Data
Sesuai dengan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini, maka
jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama,19 yakni diperoleh langsung melalui penelitian di lapangan
17Amarudin&Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,Jakarta : PT.Grafindo
Persada,2004,hlm.133. 18Ibid.,hlm.134-135. 19Ibid.,hlm.12.
20
yang dikumpulkan dari Badan Narkotika Nasional Provinsi
(BNNP) Sumatera Barat.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak langsung dari
lapangan, yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang mengikat
seperti Undang-Undang sebagai landasan yuridis, dokumen-
dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dan
sebagainya.
Sumber data pada penelitian ini , penulis berusaha mendapatkan data dari :
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Data diperoleh dari penelitian yang dilakukan terhadap bahan-
bahan perpustakaan berupa buku-buku atau bahan lainnya yang
berhubungan dengan skripsi yang ditulis sehingga diperoleh data
sekunder. Adapun bahan hukum yang digunakan untuk
memperoleh data-data yang berhubungan adalah :
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang
mengikat20 atau mempunyai otoritas, bahan hukum primer ini
berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi
(BNNP) Sumatera Barat dalam pencegahan penyalahgunaan
narkotika dikalangan remaja, yang terdiri dari :
20Ibid.,hlm.31.
21
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009
Tentang Narkotika;
2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika;
3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2010 Tentang Badan Narkotika Nasional;
4) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Peredaran Gelap Narkoba
(Jakstranas P4GN) Tahun 2011-2015;
5) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 3
Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional
Kabupaten/Kota.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer21, yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat
membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer
seperti :
a. Rancangan Peraturan Perundang-Undangan;
b. Hasil karya ilmiah para sarjana;
21Ibid.,hlm.32.
22
c. Hasil-hasil penelitian, pendapat pakar hukum;
d. Jurnal buku, dan sebagainya.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder22, seperti kamus (hukum), Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia dan lain-lain.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Data diperoleh dari penelitian langsung di lapangan yakni di Badan
Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat. Data yang
diperoleh dari penelitian ini adalah data primer, yakni data yang
diperoleh langsung dari penelitian lapangan.
6) Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan :
a. Studi dokumen
Yaitu dengan cara mempelajari berkas atau dokumen yang terkait
dengan permasalahan yang diteliti dengan membaca, mempelajari, dan
meneliti literatur dokumen-dokumen tertulis serta dokumen-dokumen
lainnya yang relevan dengan kerangka dasar penelitian. Studi dokumen
merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum baik normatif
maupun sosiologis.
22Loc.cit
23
b. Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan dialog atau tanya jawab bertatap muka
langsung dengan pihak yang menjadi narasumber, yang bertujuan
untuk memperoleh data yang lebih mendalam berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis melakukan
wawancara dengan Kepala Bidang Pencegahan Badan Narkotika
Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat.
7) Teknik Pengolahan dan Analisis Data
a. Pengolahan Data
Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan cara/ proses
editing, yaitu proses penelitian kembali terhadap catatan, berkas-
berkas dan informasi yang telah dikumpulkan23.
b. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dengan melakukan studi dokumen dan
wawancara, kemudian disusun dan dianalisa dengan menggunakan
metode kualitatif yaitu analisa yang dilakukan melalui penjelasan
dengan menggunakan kalimat yang menghubungkan peraturan
perundang-undangan terkait dengan kenyataan yang ditemukan di
lapangan. Sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh,
lengkap, sistematis, dan akan mendapatkan kesimpulan.
23Ibid.,hlm.168.