BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang€¦ · A. Latar Belakang . Hukum adalah suatu tatanan...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang€¦ · A. Latar Belakang . Hukum adalah suatu tatanan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia. Tatanan adalah suatu sistem
aturan, hukum bukanlah seperti yang terkadang dikatakan sebuah peraturan,
melainkan hukum adalah seperangkat aturan yang mengandung semacam kesatuan
yang kita pahami melalui sebuah sistem. Sehingga mustahil untuk menangkap
hakikat hukum jika kita membatasi pemahaman kita pada satu peraturan yang
tersendiri1.
Sebelum penulis memaparkan pokok permasalahan dalam tulisan ini, penulis
akan terlebih dahulu menjelaskan mengenai problematika kaidah tentang syarat calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah mantan terpidana dalam mengikuti pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah baik pada tataran undang-undang, peraturan
dibawah undang-undang, serta beberapa putusan mahkamah kostitusi terkait, dimana
telah beberapakali dilakukan uji materiil.
Awalnya, problematika mengenai syarat calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah mantan narapidana untuk ikut dalam pilkada, dimulai ketika mucul Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Putusan MKRI)
1 Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russel and Russel, 1971)
terjemahan Indonesia Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2016,
h. 3.
2
Nomor.14-17/PUU-V/20072. Dalam perkara ini, H. Muhlis Matu sebagai pemohon I,
ingin mengajukan diri sebagai calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah,
khususnya untuk menjadi Wakil Bupati Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Pemohon I di masa lalunya (sekitar 25 tahun yang lalu) pernah menjalani hukuman
penjara karena dianggap/dinyatakan oleh pengadilan telah melakukan tindak pidana
dengan ancaman hukuman lebih dari 5 (lima) tahun dan sudah selesai menjalani
hukumannya tersebut pada tahun 1987. Selanjutnya, Henry Yosodiningrat S.H.,
Budiman Sudjatmiko, M.Sc., M.Phil., dan Ahmad Taufik sebagai pemohon II,
dimana substansi dari pemohon I dan II adalah sama.
Dalil pemohon I adalah Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pemohon II adalah Pasal 6 huruf t Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal
16 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Pasal 7 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dan Pasal 13 huruf g Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dengan surat permohonannya bertanggal 19 Juni 2007 yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 21 Juni 2007
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) dan diregistrasi dengan Nomor
17/PUU-V/2007, yang diperbaiki pada bulan Juli 2007 dan diterima di Kepaniteraan
2 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor.14-17/PUU-V/2007.
3
Mahkamah pada tanggal 24 Juli 2007, kemudian diperbaiki kembali pada tanggal 10
Agustus 2007 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Agustus
2007. Perbaikan permohonan dimaksud telah melewati jangka waktu yang telah
ditentukan oleh Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, sehingga yang berlaku perbaikan permohonannya yang
diserahkan di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Juli 2007.
Dengan berdasarkan berbagai pertimbangan serta fakta hukum yang ada, maka
MKRI dalam putusanya menyatakan permohonan pemohon I dan II ditolak dengan
dalil bahwa, ketentuan yang mempersyaratkan “tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih”, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16
ayat (1) huruf d UU MKRI, Pasal 7 ayat (2) huruf d UU MARI, dan Pasal 13 huruf g
UU BPK tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang ketentuan dimaksud
diartikan tidak mencakup tindak pidana yang lahir karena kealpaan ringan (culpa
levis) dan tindak pidana karena alasan politik tertentu serta dengan
mempertimbangkan sifat jabatan tertentu yang memerlukan persyaratan berbeda
sebagaimana diuraikan di atas, sehingga permohonan a quo tidak cukup beralasan dan
karenanya dinyatakan ditolak.
Selanjutnya, Putusan MKRI Nomor.4/PUU-VII/20093, dengan pemohon adalah
Robertus, yang mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 12 huruf g dan
Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu, dan Pasal 58 huruf f UU Pemda dimana
3 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor.4/PUU-VII/2009.
4
mengatur salah satu persyaratan untuk dapat berpartisipasi secara formal dalam
pemerintahan mensyaratkan ”tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”,
Sedangkan pemohon pernah dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 365, Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 12/Drt/1951 dan dijatuhi
pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dan 8 (delapan) bulan.
Dengan berbagai pertimbangan dan fakta hukum yang telah diuraikan, maka
MKRI mengeluarkan putusan yang menyatakan mengabulkan permohonan pemohon
untuk sebagian dengan konklusi bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), dan menyatakan Pasal
a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-
syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii)
berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai
menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka
dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
5
(iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Hal serupa, dipertegas
dengan Putusan MKRI Nomor 120/PUU/VII/2009.
Terakhir adalah, Putusan MKRI Nomor 42/PUU-XIII/20154, dengan pemohon
adalah Jumanto dan Fathor Rasyid. Pemohon pada faktanya adalah warga negara
yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun yang mana pada amar putusan
pegadilan, keduanya tidak dijatuhi hukuman tambahan berupa larangan terhadap
pemohon untuk aktif dalam kegiatan politik, dipilih atau memilih dalam suatu
pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) serta telah bebas
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Ham dimana masing-masing
bermaksud untuk mencalonkan diri sebagai Bupati di Kabupaten Probolinggo
(Jumanto) dan sebagai calon Bupati di Kabupaten Situbondo (Farhor Rasyid). Kaidah
yang dimohonkan adalah pengujian Pasal 7 huruf h dan Pasal 4 ayat (2) huruf k
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang. Dengan adanya aturan yang terdapat dalam undang-
undang yang diuji tersebut menjadi mustahi tehadap para pemohon untuk turut serta
dalam Pilkada.
Sehingga berdasarkan berbagai pertimbangan maka MKRI dalam putusanya
menyatakan bahwa mengabulkan permohona pemohon untuk sebagian terhadap Pasal
4 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor. 42/PUU-XIII/2015.
6
7 huruf g Undang-Undang a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi
mantan terpidana yang secara terbuka di dan dujur mengemukakan kepada publik
bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, serta Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-
Undang a quo, Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan putusan a quo, terdapat tiga pendapat berbeda (dissenting opinion)
oleh hakim konstitusi Maria Farida Indrati yang menyatakan bahwa mengenai
ketentuan “syarat tidak pernah di pidana” MKRI telah memutusnya dalam berbagai
putusan diantaranya Putusan MKRI Nomor 14-17/PUU-V2007, Putusan MKRI
Nomor 4/PUU-VII/2009 yang diperkuat kembali dengan Putusan MKRI Nomor
120/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa tentang mantan narapidana yang boleh
menjadi calon kepala daerah menurut Putusan MKRI Nomor 14-17/PUU-V2007
juncto Putusan MKRI Nomor 4/PUU-VII/2009. Norma baru yang lahir karena tafsir
baru tersebut bersifat erga omnes.5
Pendapat berbeda oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo
adalah “terhadap norma undang-undang yang materi muatannya serupa dengan norma
yang terkandung dalam Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya. Dimulai dari Putusan Nomor
14-17/PUU-V/2007 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Nomor
4/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 120/PUU-VII/2009, dan Putusan Nomor 79/PUU-
5 Dissenting Opinion, oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati (dalam Putusan MKRI
Nomor 42/PUU-XIII/2015, h. 77-80.
7
X/2012”6. Inti pendapat Mahkamah dalam putusan-putusannya tersebut adalah bahwa
norma Undang-Undang yang materi muatannya seperti yang termuat dalam Pasal 7
huruf g UU 8/15 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
Syaratnya ialah (1) berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected
officials); (2) berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan
terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) kejujuran atau keterbukaan mengenai latar
belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (4) bukan sebagai pelaku
kejahatan berulang-ulang. Sehingga, keempat syarat tersebut bersifat komulatif.7
Berdasarkan beberapa Putusan MKRI di atas, maka secara garis besar ketentuan
mengenai syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mantan terpidana untuk
mengajukan diri dalam pemilihan kepala daerah telah ditentukan dalam Pasal 7 ayat
(2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota, dan telah diberlakukan saat ini berdasarkan konstitusi serta
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, berkenaan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu)
Tahun 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2018, Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sebagai lembaga penyelanggara pemilu yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri memiliki tugas dan kewenangan yang telah ditentukan oleh undang-
undang. Salah satu tugas KPU adalah menyusun Peraturan Komisi Pemilihan Umum
6 Dissenting Opinion, oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo (dalam
Putusan MKRI Nomor 42/PUU-XIII/2015, h 81. 7 Ibid.,
8
dalam setiap tahapan pemilu, dengan tujuan untuk menjamin penyelanggaraan pemilu
sesuai dengan visi dan misinya.
Dalam rangka menyikapi pesta pilkada tahun 2018, maka pada tanggal 7 (tujuh)
November 2017, KPU Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau
Walikota dan Wakil Walikota, dan telah di undangkan pada tanggal 9 (Sembilan)
November 2017. Kaidah yang paling siknifikan dari Peraturan KPU tersebut adalah
kaidah atau ketentuan yang tertuang dalam Pasal 4 huruf (g) yang menyatakan bahwa
“bagi mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya, secara
kumulatif, wajib memenuhi syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada
publik dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang, kecuali bagi Mantan
Terpidana yang telah selesai menjalani masa pidananya paling singkat 5 (Lima)
tahun sebelum jadwal pendaftaran”.
Berdasarkan fakta hukum, kaidah tersebut menimbulkan banyak pertentangan
khususnya bagi setiap calon maupun pasangan calon yang pernah berstatus mantan
terpidana yang telah menjalankan hukumannya. Sebab, kaidah mengenai syarat untuk
mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah khusus
bagi mantan terpidana, telah di tentukan dalam Undang-Undang Pilkada dan Putusan
MKRI yang mana isi dari keduanya berbeda dengan kaidah dalam Peraturan KPU
tersebut. Sehingga Peraturan KPU terseubut patut di pertanyakan apakah
keberadaanya sesuai dengan hukum atau bertentangan dengan hukum.
9
Selanjutnya, pada pemilu 2019 khusunya pemilihan umum anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Presiden dan Wakil
Presiden. Sehingga, tanggal 30 (tiga puluh) Juni 2018 ditetapkanlah Peraturan KPU
Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota8. Inti dari Peraturan KPU ini, sama halnya dengan Peraturan KPU
yang sebelumya yaitu secara spesifik menegaskan mengenai larangan kepada calon
legislatif yang berstatus mantan terpidana. Hal tersebut secara spesifik ditentukan
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g yang menyatakan bahwa “tidak pernah sebagai
terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; Kaidah tersebut pun
menjadi sorotan dan menimbulkan banyak pertentangan, khususnya kekawatiran bagi
calon legislatif yang pernah berstatus mantan terpidana.
Terkait dengan kaidah larangan bagi mantan terpidana untuk ikut dalam pemilu
2019, Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut MARI) telah
menerima 13 (tiga belas) permohonan pencabutan hak uji materiil Peraturan KPU
Nomor 20 Tahun 2018. Adapun pemohon atara lain Gubernur Aceh Abdullah Puteh
dan mantan anggota DPR Wa Ode Nurhayati. Wa Ode Nurhayati sebagai warga
negara yang merasa hak politiknya dirugikan dan sekaligus pemohon, mengajukan
permohonan pencabutan hak uji materiil atas Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018
8 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota.
10
tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota kepada
Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam perkara Nomor 45 P/HUM/20189 MARI menetapkan, mengabulkan
permohonan pencabutan permohonan hak uji materiil dari pemohon Wa Ode
Nurhayati dengan dalil bahwa Peraturan KPU tersebut Bertentangan dengan hak
politik setiap warga negara serta bertentangan dengan Undang-undang Pemilu.
dengan implikasi bahwa MARI membolehkan mantan narapidana untuk ikut dalam
pemilu 2019.
Penelitian ini hendak mengkritisi kaidah yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf h Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati,
Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota10 (selanjutnya disingkat Peraturan KPU),
dimana pada materinya memuat syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
mantan terpidana.
Pasal 4 ayat (1) Peraturan KPU menentukan bahwa: Warga Negara Indonesia
dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau
9 Putusan MARI Nomor 45 P/HUM/2018. 10 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pe ncalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota (Berita Negara Tahun
2017 Nomor 1586).
11
Walikota dan Wakil Walikota dengan memenuhi syarat sebagai berikut: huruf (h)
bukan mantan terpidana Bandar narkoba atau Mantan Terpidana kejahatan seksual
terhadap anak.
Kaidah mengenai syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mantan
terpidana dalam Peraturan KPU sebagaimana telah dikemukakan diatas, dalam
perkembangannya dianggap melanggar prinsip hirarki peraturan perundang-undangan
yang mana prinsip ini mengharuskan bahwa peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau peraturan yang berada di bawah undang-undang
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Sebab, larangan mengenai syarat
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mantan terpidana telah spasifik
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang
(selanjutnya di sebut UU Pilkada)11 yang menentukan bahwa “…(g) tidak pernah
sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”12
11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5898). 12Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
12
Artinya, kaidah dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g telah secara sah mentukan legalitas
syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam mengikuti Pilkada.
Selanjutnya, kaidah tersebut sejalan dengan isi Putusan MKRI Nomor 42/PUU-
XII/2015 yang menegaskan bahwa: mantan terpidana memenuhi syarat sebagai calon
kepala daerah sepanjang telah secara terbuka dan jujur di depan umum menyatakan
diri bahwa yang bersangkutan mantan terpidana13. Artinya, Peraturan KPU
Khususnya Pasal 4 ayat (1) huruf h pada faktanya menambah kaidah yang mana
ketentuan tersebut tidak sesuai dengan materi muatan yang telah ditentukan oleh
undang-undang (delegans), sehingga ketentuan a quo dianggap tidak sesuai atau
bertentangan dengan hukum. Sebab, ketentuan tersebut apabila di terapkan akan
berdampak pada pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara khususnya
hak untuk turut serta dalam pemerintahan.
Melihat kasus diatas, seharusnya legislatif dalam melegislasi peraturan
perundang-undangan, hendak memperhatikan adanya asas hukum yang menjadi salah
satu dasar pertimbangan dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan. Ada 3
(tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu asas keseimbangan, asas keserasian, dan
asas keselarasan, yang termuat dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yang menjelaskan bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5898). 13 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor. 42/PUU-XII/2015.
13
undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan Negara.14
Sehingga pada akhirnya menjadi menarik jika isu ini dijadikan suatu karya tulis
yang nantinya bermanfaat untuk membantu memberikan kajian terhadap efektifitas
serta legalitas penerapan Pilkada di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan penelitian adalah:
Apakah kaidah dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h terkait syarat bukan mantan terpidana
bandar narkoba atau mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak dalam
Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2017 konstitusional atau tidak?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kaidah dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf h terkait syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mantan terpidana
dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2017 yang pada
prinsipnya bertentangan dengan teori hierarki peraturan perundang-undangan
(stufenbau theory), teori pendelegasian kewenangan (delegated legislation), teori hak
konstitusional warga negara khususnya hak politik (political rights) dan teori
hukuman ganda (double jeopardy).
14 Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82).
14
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
Dari segi manfaat teoritik hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan
ilmu dan memberikan sumbangsi pemikiran kepada seluruh masyarakat dan para ahli
hukum dalam praktik di bidang hukum tata negara.
2. Manfaat Praktik
Pada tataran praktisi, hasil penelitian ini diperuntukkan sebagai bahan masukan
bagi para legislator khususnya pembuat Peraturan KPU, sehingga dalam melegislasi
suatu peraturan perundang-undangan, asas-asas dalam pembentukan perundang-
undangan serta memperhatikan kaidah dalam hukum positif sehingga tidak
menimbulkan contradiktion in terminis pada penerapanya dalam sistem hukum di
Indonesia.
E. Metode Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka untuk menganalisa
kaidah dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h Peraturan KPU, maka metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum. Adapun pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan perbandingan
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach).15
15 Bambang Sugondo, Op., Cit., h. 33.
15
Pendekatan perundang-undangan atau (statute approach) di terapkan karena
bahan hukum yang digunakan adalah berupa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pilkada. Kemudian pendekatan konsep atau (conseptual approach)
digunakan karena penulis akan menggunakan doktrin hukum dan pendapat ahli
hukum. Sedangkan pendekatan kasus atau (case approach) digunakan karena penulis
akan mendasarkan pendiriannya pada beberapa putusan MKRI dalam kasus yang
isinya berkaitan dengan sengketa Pilkada. Pendekatan perbandingan atau
(comparative approach) pendekatan ini dugunakan penulis karena tulisan ini akan
merujuk pada perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara khususnya hak
politik sebagai revolusi dari hak alamiah atau hak asasi manusia yang fundamental.
Dalam hal sumber data dan teknik pengumpulan data dalam tulisan ini
meliputi:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan dan Putusan MKRI yang berkaitan dengan penelitian, yaitu
meliputi: UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan
16
Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan
Wakil Walikota, buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum,
pendapat para sarjana, Ketetapan MPR RI No.II/MPR/2000, Putusan MKRI Nomor
14-17/PUU-V/2007, Putusan MKRI Nomor.4/PUU-VII/2009, dan Putusan MKRI
Nomor 42/PUU-XII/2015.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri dari beberapa buku-
buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, serta pendapat
sarjana dan hasil symposium yang relevan dengan isu dalam penelitian ini.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan arahan, petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.