BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1.pdfsejumlah negara di Asia Pasifik seperti Thailand, India,...

26
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu. Tanpa kesehatan yang prima, akan menyebabkan individu mengalami kendala dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari seperti dalam fungsi bekerja, bersekolah, olahraga, makan, dan sebagainya. Disamping itu, dengan memiliki kesehatan yang prima akan membuat individu lebih efektif dalam menjalankan peran yang dimiliki dalam kehidupan. Kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sempurna fisik, mental, dan kesejahteraan sosial serta tidak semata-mata berupa ketiadaannya penyakit atau kelemahan (World Health Organization [WHO], 2015). Salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perbincangan di dunia adalah HIV-AIDS. Menurut Departemen Kesehatan RI [Depkes RI] (2006), Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus HIV menyerang sel darah putih yang bernama limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 dipermukaannya (Depkes RI, 2006). Limfosit T helper berfungsi untuk menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan antibodi tubuh. Kerusakan sel limfosit T dapat menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh perkembangbiakan virus HIV dan apabila tidak mendapat penanganan akan menyebabkan munculnya infeksi oportunistik (Nettina, 2006). Infeksi oportunistik menurut Gunung, Sumantera, Sawitri, dan Wirawan (2003) merupakan penyakit yang disebabkan oleh organisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit bila sistem imun tubuh dalam keadaan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1.pdfsejumlah negara di Asia Pasifik seperti Thailand, India,...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu. Tanpa

kesehatan yang prima, akan menyebabkan individu mengalami kendala dalam

melaksanakan aktivitas sehari-hari seperti dalam fungsi bekerja, bersekolah, olahraga,

makan, dan sebagainya. Disamping itu, dengan memiliki kesehatan yang prima akan

membuat individu lebih efektif dalam menjalankan peran yang dimiliki dalam

kehidupan. Kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sempurna fisik, mental, dan

kesejahteraan sosial serta tidak semata-mata berupa ketiadaannya penyakit atau

kelemahan (World Health Organization [WHO], 2015).

Salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perbincangan di dunia adalah

HIV-AIDS. Menurut Departemen Kesehatan RI [Depkes RI] (2006), Human

Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab Acquired Immune

Deficiency Syndrome (AIDS). Virus HIV menyerang sel darah putih yang bernama

limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 dipermukaannya (Depkes RI, 2006).

Limfosit T helper berfungsi untuk menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai

perangsang pertumbuhan dan pembentukan antibodi tubuh. Kerusakan sel limfosit T

dapat menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS merupakan

kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh perkembangbiakan virus HIV dan

apabila tidak mendapat penanganan akan menyebabkan munculnya infeksi

oportunistik (Nettina, 2006). Infeksi oportunistik menurut Gunung, Sumantera,

Sawitri, dan Wirawan (2003) merupakan penyakit yang disebabkan oleh organisme

yang biasanya tidak menimbulkan penyakit bila sistem imun tubuh dalam keadaan

2

normal. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel

limfosit, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh

berangsur-angsur menurun. Daya tahan tubuh yang melemah, mengakibatkan risiko

timbulnya penyakit oleh karena infeksi ataupun penyakit lain akan meningkat.

Terdapat perbedaan antara HIV dan AIDS yang selama ini belum jelas

dipahami oleh masyarakat. HIV merupakan virus penyebab AIDS, namun individu

yang terinfeksi HIV belum tentu akan berlanjut menjadi AIDS. AIDS berkembang

pada tahapan terakhir dari fase infeksi HIV (Stolley & Glass, 2009). Individu yang

terinfeksi HIV disebut sebagai individu berstatus HIV positif. Individu yang berstatus

HIV positif belum tentu berkembang menjadi AIDS karena dipengaruhi berbagai

faktor seperti pola hidup serta penanganan medis yang dijalani, salah satunya

konsumsi obat antiretroviral (ARV). Bagi individu dengan HIV positif, ARV

berfungsi untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke

stadium AIDS, sedangkan bagi individu dengan AIDS memerlukan pengobatan ARV

untuk mencegah infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya (Gunung, dkk,

2003). Gunung, dkk (2003) menambahkan bahwa individu yang berstatus HIV positif

dapat tetap hidup sehat bahkan berdaya seperti manusia pada umumnya, individu

berstatus HIV positif dapat tetap hidup positif, bekerja ataupun menjalankan hobi.

HIV-AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan global yang penting

karena jumlah penderita dan tingkat kematian yang tinggi. Laporan temuan United

Nations Programme on HIV-AIDS [UNAIDS] (2014) menemukan bahwa pada tahun

2013 terdapat 35 juta individu berstatus HIV positif di seluruh dunia (UNAIDS, 2014).

Masalah HIV-AIDS diyakini bagaikan fenomena gunung es karena laporan resmi

jumlah kasus tidak mencerminkan masalah yang sebenarnya (Hardisman, 2009).

3

Kasus HIV-AIDS yang terungkap hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kasus

yang terjadi, oleh karena itu tidak dapat mencerminkan masalah yang sebenarnya.

Individu yang berstatus HIV positif di seluruh dunia, sejak tahun 2001 hingga

tahun 2013 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Lebih lanjut, UNAIDS

(2014) menemukan bahwa angka infeksi baru HIV serta kematian akibat AIDS

mengalami penurunan. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya angka individu

dengan HIV-AIDS yang menjalani pengobatan sehingga risiko kematian dapat

diminimalisir. Lebih lanjut ditunjukkan dalam Tabel 1. Data Global Statistik HIV-

AIDS Tahun 2001-2013.

Tabel 1. Data Global Statistik HIV-AIDS Tahun 2001-2013 (Dalam Rata-Rata)

Individu HIV

Positif

Baru

Terinfeksi

HIV

Kematian

Akibat AIDS

Individu dengan HIV-

AIDS Yang Menjalani

Pengobatan

2001 29.8 juta 3.4 juta 2.0 juta

2002 30.7 juta 3.3 juta 2.1 juta

2003 31.4 juta 3.1 juta 2.3 juta

2004 31.8 juta 3.0 juta 2.4 juta

2005 32.1 juta 2.9 juta 2.4 juta

2006 32.4 juta 2.8 juta 2.3 juta

2007 32.4 juta 2.7 juta 2.2 juta

2008 33.1 juta 2.6 juta 2.1 juta

2009 33.4 juta 2.5 juta 2.0 juta 5.2 juta

2010 33.8 juta 2.5 juta 1.9 juta 7.4 juta

2011 34.2 juta 2.4 juta 1.8 juta 9.0 juta

2012 34.6 juta 2.2 juta 1.7 juta 10.6 juta

2013 35.0 juta 2.1 juta 1.5 juta 12.9 juta

Hardisman (2009) menemukan bahwa kasus HIV-AIDS di Indonesia yang

dilaporkan secara resmi relatif lebih rendah daripada kasus yang dilaporkan oleh

sejumlah negara di Asia Pasifik seperti Thailand, India, Cina, Kamboja dan Papua

Nugini. Hardisman (2009) lebih lanjut mengungkapkan bahwa infeksi HIV-AIDS di

Indonesia berkembang menjadi suatu ancaman nasional dengan mengacu pada dua

indikator. Pertama, sejak 10 tahun terakhir jumlah kasus HIV-AIDS memperlihatkan

kecenderungan peningkatan. Kedua, jumlah kasus HIV-AIDS yang dilaporkan tidak

Indikator

Tahun

Sumber : UNAIDS, 2014

4

mencerminkan kondisi yang sesungguhnya di dalam masyarakat Indonesia. Indonesia

merupakan salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV-AIDS yang berkembang

paling cepat (UNAIDS, 2009). Data kasus HIV-AIDS secara nasional pada tahun 2014

mulai 1 Januari hingga 30 September 2014 menemukan terjadi 22.869 kasus HIV dan

1876 kasus AIDS (Kemenkes RI, 2014).

Bali adalah salah satu provinsi di Indonesia yang mengalami pertumbuhan

jumlah individu dengan HIV-AIDS yang sangat cepat. Bali menduduki peringkat ke 3

sebagai provinsi dengan prevalensi kasus HIV-AIDS tercepat di Indonesia (Kemenkes

RI, 2014). Hingga tahun 2014, prevalensi kasus HIV-AIDS di Bali mencapai 109.52

per 100.000 penduduk di Bali (Kemenkes RI, 2014). Jumlah kasus HIV di Bali yang

dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali [Dinkes Pemprov Bali]

(2016) menunjukkan bahwa secara kumulatif, hingga Desember 2015 kasus AIDS di

Bali mencapai 5.910 kasus, sedangkan kasus HIV mencapai 7.456 kasus. Kasus HIV-

AIDS di Bali berada pada tingkat epidemik terkonsentrasi (concentrated level

epidemic) karena prevalensi HIV pada subpopulasi tertentu yaitu pengguna narkoba

suntik, perempuan pekerja seksual langsung serta narapidana mencapai lebih dari 5%

secara terus menerus serta pada ibu hamil kurang dari 1% (Dinkes Pemprov Bali,

2016).

Tabel 2. Situasi Kasus HIV-AIDS Provinsi Bali Menurut Golongan Umur dan

Jenis Kelamin Kumulatif dari tahun 1987 s/d Desember 2015 menunjukkan bahwa

individu dengan HIV-AIDS di Bali terpusat pada golongan usia 20 – 49 tahun (Dinkes

Pemprov Bali, 2016). Menurut Hurlock (1980), masa dewasa dibagi menjadi tiga

pembagian usia, yakni dewasa awal yang dimulai sejak usia 18 tahun hingga 40 tahun.

Dewasa madya dimulai pada usia 40 tahun hingga 60 tahun. Dewasa lanjut (lanjut

5

usia) dimulai pada umur 60 tahun hingga kematian. Hal ini menunjukkan bahwa kasus

HIV-AIDS di Bali paling banyak terjadi pada kategori usia dewasa awal hingga

madya.

Tabel 2. Situasi Kasus HIV-AIDS Provinsi Bali Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin

Kumulatif dari tahun 1987 s/d Desember 2015 Kelompok Usia Total Kasus AIDS Total Kasus HIV Total Total %

<1 79 49 128 1.0

1-4 164 161 325 2.4

5-14 38 43 81 0.6

15-19 88 176 264 2.0

20-29 1.889 3.186 5.075 38.0

30-39 2.197 2.581 4.778 35.7

40-49 1.021 902 1.923 14.4

50-59 326 274 600 4.5

>60 98 68 166 1.2

Tidak diketahui 10 16 26 0.2

Total 5.910 7.456 13.366 100.0

Sumber : Dinkes Pemprov Bali, 2016

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara jumlah individu yang

terinfeksi HIV-AIDS berdasarkan jenis kelamin. Dinkes Pemprov Bali (2016)

menghimpun data situasi kasus berdasarkan rate kumulatif kasus HIV-AIDS

berdasarkan faktor hubungan heteroseksual. Ditemukan bahwa hingga tahun 2015,

invidivu yang berstatus AIDS positif dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 3.114

orang, sedangkan perempuan berjumlah 1.748 orang. Individu yang berstatus HIV

positif dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 2.676 orang, sedangkan perempuan

berjumlah 2.918 orang (Dinkes Pemprov Bali, 2016). Spesifik pada provinsi Bali,

jumlah kasus AIDS pada jenis kelamin laki-laki lebih tinggi daripada jumlah kasus

AIDS pada perempuan, sebaliknya jumlah kasus HIV pada jenis kelamin perempuan

lebih tinggi daripada jumlah kasus HIV pada laki-laki.

Secara keseluruhan, laki-laki tetap menjadi jenis kelamin dengan temuan kasus

HIV-AIDS terbanyak, akan tetapi kasus HIV-AIDS pada perempuan mengalami

peningkatan setiap tahunnya. Secara kumulatif dari tahun 2011 hingga 2015, jumlah

6

perempuan di Bali yang baru terinfeksi HIV-AIDS terus mengalami peningkatan, yang

ditunjukkan dalam Gambar 1. Situasi Kasus HIV menurut Jenis Kelamin per-Tahun

Provinsi Bali Kumulatif dari Tahun 2011 s/d Desember 2015.

Gambar 1. Situasi Kasus HIV menurut Jenis Kelamin per-Tahun Provinsi Bali Kumulatif dari

Tahun 2011 s/d Desember 2015

United Nations Children's Emergency Fund Indonesia [UNICEF Indonesia]

(2012) yang menemukan bahwa terjadi peningkatan feminisasi dalam epidemi

fenomena HIV-AIDS di Indonesia. Hal ini didukung dengan riset yang dilakukan oleh

Kemenkes RI pada tahun 2011 (dalam UNICEF Indonesia, 2012) yang menemukan

bahwa proporsi perempuan untuk infeksi baru HIV di Indonesia telah mengalami

peningkatan dari 34% pada tahun 2008 menjadi 44% pada tahun 2011 dan akan terus

meningkat tiap tahunnya. Perempuan lebih rentan terinfeksi HIV sebagai akibat dari

adanya peran tradisional yang dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat (UNICEF

Indonesia, 2012).

Kasus HIV-AIDS pada jenis kelamin perempuan dengan penggolongan usia

dewasa baik dewasa awal ataupun dewasa madya akan terjadi dan meningkat setiap

tahunnya. Umumnya, perempuan usia dewasa menjalankan peran sebagai seorang ibu

805 824 876

13181547

466648 610

903

1009

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

2011 2012 2013 2014 2015

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2016

Perempuan

Laki-laki

7

rumah tangga. Hal ini sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Kemenkes RI pada

tahun 2013 terkait Estimasi dan Proyeksi HIV-AIDS di Indonesia Tahun 2011-2016

yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV-AIDS pada

kelompok perempuan berisiko rendah, yakni ibu rumah tangga (Kemenkes RI, 2013).

Hingga saat ini, belum terdapat data pasti terkait jumlah ibu rumah tangga yang

terinfeksi HIV-AIDS. Hal ini disebabkan rendahnya kesadaran individu dengan HIV-

AIDS untuk melakukan pendataan secara resmi dengan menggunakan kartu tanda

penduduk, sehingga tidak dapat dilakukan pencatatan secara pasti perihal jumlah ibu

rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS.

Secara global, terdapat empat populasi dengan perilaku risiko tinggi yang

berpotensi dalam penularan HIV-AIDS yakni perempuan pekerja seksual dan

pelanggannya, pengguna narkoba suntik, pelaku hubungan seksual antara sesama laki-

laki (homoseksual), dan individu yang secara rutin berhubungan heteroseksual dengan

banyak partner (WHO, 2012). Populasi yang berisiko tinggi dalam penularan HIV-

AIDS di Indonesia, yakni pengguna narkoba suntik, perempuan pekerja seksual

(transgender dan perempuan) serta laki-laki yang berhubungan seks sesama laki-laki

(UNAIDS, 2009).

Ibu rumah tangga tidak termasuk dalam populasi berisiko tinggi. Lebih lanjut

menurut Kemenkes RI (2013) menyatakan bahwa ibu rumah tangga dikatakan sebagai

kelompok perempuan berisiko rendah karena terinfeksi melalui hubungan seksual

dengan pasangan (suami) yang telah terinfeksi sebelumnya dan ibu rumah tangga tidak

secara langsung melakukan perilaku berisiko yang dapat mengakibatkan HIV-AIDS.

Risiko penularan HIV-AIDS tidak hanya terbatas pada populasi dengan perilaku risiko

tinggi, tetapi lebih luas daripada itu. Infeksi HIV-AIDS tidak pandang bulu, HIV-

8

AIDS dapat menginfeksi orang dari berbagai kalangan ras, umur, profesi, gender,

orientasi seksual hingga latar belakang sosial-ekonomi.

Menurut Dalimoenthe (2011) ibu rumah tangga umumnya terjangkit HIV dari

suaminya yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena sering berganti-ganti

pasangan atau karena penggunaan narkona jenis suntik. Penyebaran virus HIV tidak

hanya mengancam kelompok dengan perilaku seks yang berisiko, tetapi juga

mengancam kalangan ibu rumah tangga yang suaminya telah terinfeksi HIV. Menurut

dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH, Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada masa

kabinet Indonesia Bersatu jilid II, bahwa hingga tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah

penularan HIV dari suami kepada istrinya (Wardah, 2013). Makin meningkatnya

jumlah penularan disebabkan oleh lemahnya kedudukan istri dalam rumah tangga,

yang menyebabkan seorang istri wajib menuruti kemauan suaminya bahkan

mengabaikan perilaku seksual yang aman. Wardah (2013) menambahkan bahwa salah

satu program yang dilaksanakan oleh Kemenkes RI dalam rangka pencegahan

penularan HIV pada kelompok ibu rumah tangga adalah program pengadaan kondom

bagi perempuan guna menekan laju pertumbuhan angka penularan HIV dari suami

kepada istri.

Menjadi ibu rumah tangga bukanlah hal yang mudah karena individu dituntut

mampu memainkan sederet peran secara bersamaan (Baghir, 2003). Peran sebagai ibu

rumah tangga menyebabkan tanggung jawab secara terus-menerus dalam

memperhatikan kesehatan rumah dan tata laksana rumah tangga, mengatur segala

sesuatu di dalam rumah tangga untuk meningkatkan mutu hidup (Hemas dalam

Pujiwati, 1983). Sejalan dengan ide yang dikemukakan oleh Kartono (2006) bahwa

terdapat sejumlah peran yang dijalankan oleh seorang ibu rumah tangga seperti

9

kegiatan yang berpusat mengurusi, mendidik, melayani, mengatur, mengurus anak,

dan suami. Hal ini menjadikan keberadaan seorang ibu rumah tangga di dalam

keluarga sangat krusial. Sebagian waktu ibu rumah tangga berada di dalam rumah yang

memiliki tanggung jawab yang timbul secara spontan dan tidak dapat diramalkan

(Kartono, 2006). Vuuren (dalam Mumtahinnah, 2011) menyatakan bahwa kegiatan

sebagai ibu rumah tangga yang biasa dilakukan seperti memasak di rumah, menjahit,

berbelanja, menyetrika pakaian hingga mengurus anak.

Bukan hal yang mudah bagi seorang ibu rumah tangga dalam menerima

kenyataan terinfeksi HIV terlebih lagi sosok yang menularkan adalah pasangannya

sendiri. Seorang ibu rumah tangga berinisial RT yang terinfeksi HIV dari sang suami

mengisahkan pengalaman yang dimiliki, seperti yang dikutip dalam tulisan online

berikut ini:

“Saya pernah menganggap diri saya tidak berguna setelah terinfeksi HIV. Saya tidak

ingin orang mengalaminya. Saya mau menghapus stigma pada ODHA. Saya mau

menghapus diskriminasi. Saya mengetahui mengetahui status HIV sejak tahun 2009.

Dia mendapat virus itu dari suaminya. Suami saya itu angkatan (TNI-red). Dia

memang sering tugas keluar, suka jajan.” (Edward, 2015)

Pasca terinfeksi HIV, individu akan mengalami perubahan pada berbagai aspek

kehidupannya, mulai dari segi fisik, psikologis ataupun psikososial. Menurut Lubis

(2009), terdapat kecenderungan bagi individu yang menderita suatu penyakit dengan

kondisi parah akan menunjukkan adanya kondisi depresi. Sejalan dengan pemikiran

yang dikemukakan oleh Sarafino dan Smith (2010), bahwa suatu penyakit yang

bersifat parah dapat menimbulkan perasaan negatif seperti kecemasan, depresi, marah,

ataupun rasa tidak berdaya dan perasaan-perasaan negatif tertentu. Menurut Leserman

(dalam Folkman, 2011) kondisi suasana hati yang negatif dapat mempercepat

perkembangan HIV menjadi AIDS. Ketika individu mampu mengembangkan kondisi

10

psikologis secara positif maka dapat mencegah dan memperlambat perkembangan

HIV menjadi AIDS (Ironson & Hayward, 2008).

HIV-AIDS menjadi stigma sosial karena diidentikkan sebagai penyakit seksual

di kalangan masyarakat (Sarikusuma, Herani, & Hasanah, 2012). Individu dengan HIV

memiliki beban berat dalam kehidupannya karena adanya permasalahan yang

kompleks dapat dihadapinya setiap saat. Permasalahan yang timbul tidak hanya yang

berkaitan dengan kondisi penyakit, namun juga kondisi psikososial seperti stigma

sosial, diskriminasi pekerjaan, penerimaan diri, dan hubungan baik dengan pasangan,

keluarga maupun masyarakat disekitarnya. Selain itu, stigma negatif pada individu

dengan HIV tak hanya mengenai diri sendiri, melainkan keluarga dan lingkungan di

sekitarnya.

Guna mengetahui pandangan ibu rumah tangga berstatus HIV positif mengenai

fenomena HIV pada kelompok ibu rumah tangga, dilakukan preliminary study pada

seorang perempuan bernama Lely (bukan nama sebenarnya). Wawancara dilakukan

pada 7–8 September 2015 memperoleh informasi bahwa beliau telah berstatus HIV

positif semenjak tahun 2008. Lely adalah seorang ibu rumah tangga yang tertular HIV

dari sang suami yang telah meninggal dunia pada tahun 2008 akibat AIDS. Lely tidak

menduga akan terinfeksi virus HIV karena menilai bahwa sang suami bersikap sangat

setia dalam ikatan pernikahan yang dijalani. Kenyataan berkata lain, ditemukan fakta

bahwa sang suami pernah berselingkuh dengan mantan kekasih yang berstatus HIV

positif di masa awal pernikahan (Laporan Preliminary Study, 2015).

Lely menilai bahwa sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, menyebabkan

individu tidak memiliki power dan keberanian untuk mengetahui aktivitas suami di

luar rumah. Tuntutan peran sebagai ibu rumah tangga yang memiliki beragam aktivitas

11

di rumah menjadikan seorang ibu rumah tangga kurang peka terhadap kualitas

hubungan dengan pasangan karena lebih fokus mengurusi anak dan rumah. Menjadi

seorang ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif digambarkan sebagai sebuah

kutukan dan akhir dari perjalanan hidupnya. Hari demi hari dilalui dengan keyakinan

bahwa kematian akan segera datang menjemput (Laporan Preliminary Study, 2015).

Menurut Dalimoenthe (2011) terdapat banyak kasus yang menunjukkan bahwa

ketika seorang ibu rumah tangga terinfeksi HIV-AIDS dari suaminya, individu

cenderung memikul beban ganda seperti merawat suami yang sakit, merawat anak

yang juga mungkin sudah tertular, mencari nafkah, sembari juga menghadapi berbagai

perlakuan yang tidak manusiawi seperti stigma ataupun diskriminasi. Dalimoenthe

(2011) menambahkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan penularan

HIV dari suami kepada seorang ibu rumah tangga. Faktor utama adalah rendahnya

bargaining power untuk menegosiasikan hubungan intim, ibu rumah tangga

cenderung tidak sanggup menolak setiap keinginan seksual dari suami, serta

ketidaktahuan dan keengganan meminta informasi kepada pasangan tentang status

kesehatan reproduksi yang dimiliki pasangan. Faktor berikutnya yang membuat

perempuan lebih rentan adalah stigma dan diskriminasi.

Perempuan mengalami stigma ganda, yaitu sebagai perempuan makhluk kelas

dua yang cenderung disalahkan atas apa yang terjadi pada diri sendiri. Masyarakat

menganggap semestinya perempuan dapat menjaga diri, suami, dan keluarganya

sehingga tidak terinfeksi HIV. Stigma kedua yakni pandangan bahwa individu dengan

HIV telah melakukan perilaku tidak bermoral, sehingga harus dijauhi (Dalimoenthe,

2011).

12

Pasca berstatus HIV positif, individu akan menunjukkan reaksi-reaksi terkait

perubahan kondisi dalam hidup, khususnya aspek psikologis. Reaksi-reaksi psikologis

yang dihadapi individu dengan HIV positif menurut Nursalam dan Kurniati (2008)

diantaranya, konflik intergritas ego yang meliputi perasaan tak berdaya dan putus asa,

konflik stress dan respons psikologis yang meliputi penyangkalan, kemarahan,

kecemasan, hingga perasaan irritable.

Proses grieving pertama kali diteliti oleh Dr. Elisabeth Kübler-Ross pada tahun

1969 (Kübler-Ross, 2009). Kübler-Ross melakukan penelitian dengan melibatkan

lebih dari 500 pasien yang menderita berbagai jenis penyakit. Penelitian yang

dilakukan bertujuan untuk melihat reaksi yang ditunjukkan pada individu dalam

mengatasi serta berhadapan dengan kedukaan dan tragedi, terutama ketika didiagnosa

memiliki penyakit berat atau mengalami perubahan yang sangat besar dalam hidupnya.

Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa terdapat lima tahapan dalam proses

grieving yakni penolakan, kemarahan, tawar menawar, depresi, dan penerimaan

(Kübler-Ross, 2009).

Dewasa ini proses grieving telah diterima secara luas sebagai panduan guna

mengetahui respon emosional dan psikologis yang dialami individu ketika berhadapan

dengan kondisi yang mengancam nyawa atau keadaan yang mengubah kehidupan.

Proses grieving memiliki karakteristik yang unik, membutuhkan waktu, dapat

difasilitasi namun tidak dapat dipaksakan dan pada umumnya proses ini mengikuti

tahapan yang telah diprediksi (Rotter, 2009). Tahapan-tahapan ini tidak hanya berlaku

bagi individu yang kehilangan sosok orang terdekat karena kematian tetapi dapat pula

dialami oleh individu yang mengalami peristiwa yang mengubah hidup, seperti

13

perceraian atau putusnya suatu hubungan, atau kehilangan sebuah pekerjaan (Crump,

2001).

Proses grieving memiliki awal dan akhir, namun tidak terdapat aturan mutlak

atau baku. Proses grieving ini bersifat sangat unik dan berbeda pada diri masing-

masing individu (Crump, 2001). Proses grieving umumnya dapat dibagi dalam

beberapa tahapan akan tetapi tahapan ini tidak bersifat linier, melainkan berupa sebuah

siklus (Crump, 2001). Setiap individu mempunyai tahapan tersendiri dalam proses

grieving, dapat urut atau melompat, dapat juga maju kemudian mundur kembali

(Paputungan, 2013).

Proses yang dilalui individu dari awal mengetahui status HIV positif hingga

mampu berdaya dan secara terbuka mengakui identitas diri kepada dunia, sangatnya

kompleks. Perubahan yang dialami oleh ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV sangat

beragam, tidak hanya terbatas pada perubahan fisik seperti kekebalan tubuh melemah

dan rentan terhadap infeksi oportunistik, namun juga perubahan psikis, seperti emosi

mudah marah, bingung, tidak percaya, takut akan kematian, dan takut akan reaksi

negatif orang lain terhadap dirinya (Yulianti & Wahyudi, 2014). Selain itu perubahan

yang biasa dialami oleh penderita HIV adalah mendapat stigma dan diskriminasi yang

menyebabkan individu terisolasi dari lingkungan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,

2010). Tertular HIV dapat menyebabkan timbulnya berbagai kesulitan yang

berhubungan dengan harga diri, isolasi sosial, dan kurangnya kesejahteraan psikologis

(Asante, 2012). Tentunya hal ini menyebabkan seorang ibu rumah tangga akan

mengalami kondisi grieving yang dapat dijabarkan dalam proses grieving.

Ibu rumah tangga yang tertular HIV melalui suaminya cenderung mengalami

tekanan yang lebih berat dalam menghadapi keadaannya, karena tidak melakukan

14

perilaku berisiko namun harus mengalami dampak positif HIV (Riasnugrahaini, 2011).

Menurut Enright dan North (dalam Riasnugrahaini, 2011), offender person adalah

pihak yang dianggap bersalah sehingga bertanggungjawab atas kondisi perubahan

dalam hidup, dalam penelitian ini offender person adalah sosok suami. Menurut

Worthington (2007), individu yang menjadi korban dari ketidakadilan dapat memberi

respon berupa kemarahan, ketakutan, dan kebencian, serta dapat menyimpan dendam

terhadap offender person.

Terdapat tiga bentuk konsekuensi negatif dari konteks perasaan tidak

memaafkan offender person pada kondisi HIV, yakni konsekuensi emosional dan

psikososial, perilaku, serta biomedis (Worthington, 2007). Konsekuensi emosional

dan psikososial dari perasaan tidak memaafkan secara intrapersonal meliputi self-

esteem yang rendah, guilt, keputusasaan, self-blame, dan depresi. Sedangkan, secara

interpersonal perasaan tidak memaafkan akan berdampak pada kemarahan, kebencian,

kurangnya empati, dan perasaan tidak dicintai. Konsekuensi terhadap perilaku secara

intrapersonal meliputi perilaku self-destructive (misalnya ketergantungan terhadap

obat-obatan dan alkohol), dan secara interpersonal meliputi perilaku seksual tidak

bertanggungjawab hingga perilaku berisiko menularkan HIV kepada pihak lain.

Konsekuensi biomedis secara intrapersonal meliputi peningkatan stres, disfungsi

sistem kekebalan tubuh, dan peningkatan perkembangan penyakit. Sedangkan, secara

interpersonal meliputi penyakit infeksi menular seksual (Worthington, 2007).

Apabila individu mempertahankan kondisi grieving yang meliputi bentuk-

bentuk reaksi yang negatif seperti penolakan, kemarahan, tawar-menawar, ataupun

depresi akan menyebabkan munculnya penderitaan psikologis. Menurut Germer

(2009) penderitaan psikologis merupakan akumulasi emosi, reaksi, ataupun perasaan

15

negatif yang dipertahankan secara resisten yang akan berdampak secara desktruktif

kepada individu.

Ketika proses grieving yang dijalani mampu mencapai penerimaan terhadap

status HIV, maka individu mampu bangkit dari kondisi down yang dialami

sebelumnya. Di tahapan ini, individu mulai menanamkan komitmen dan mengubah

pemikiran irasional yang dimiliki serta dikembangkan dalam tahapan-tahapan

sebelumnya. Pada tahapan penerimaan, individu akan menerima kondisi yang dimiliki

sebagai sebuah realita yang harus dijalani (Kübler-Ross, 2009).

Apabila individu mampu mencapai tahap penerimaan terhadap status HIV

positif, memungkinkan individu untuk mengembangkan penerimaan diri yang efektif

terkait status HIV positif yang dimiliki. Salah satu karakteristik individu yang

memiliki penerimaan diri menurut Sheere (dalam Cronbach, 1963) adalah adanya

keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan. Keyakinan individu

akan kemampuan diri lahir dari proses panjang yang telah dilalui, dalam hal ini yakni

proses grieving.

Penerimaan diri menurut Germer (2009) merupakan kemampuan individu

untuk memiliki suatu pandangan positif mengenai diri yang sebenar-benarnya.

Penerimaan diri memungkinkan individu untuk mengevaluasi sifat yang berguna dan

tidak berguna yang dimiliki, serta menerima apapun aspek negatif sebagai bagian dari

kepribadian (Morgado dalam Pamungkas, 2015). Indikator penting dalam penerimaan

diri adalah tidak adanya sikap pasrah dan mampu menerima identitas diri secara positif

(Coleridge, 1993).

Terdapat perbedaan antara tahap penerimaan pada proses grieving dan

penerimaan diri. Penerimaan pada proses grieving hanya berfokus pada aspek kognitif

16

terkait kondisi HIV. Individu akan memulai menanamkan komitmen dan

menghilangkan pemikiran irasional, sedangkan penerimaan diri merupakan

perwujudan dari aspek kognitif menjadi serangkaian perilaku. Sedangkan, penerimaan

diri merupakan kondisi pertumbuhan dan kesejahteraan psikologis individu dengan

status HIV positif.

Maciejewski, Zhang, Block, dan Prigerson (2007) menemukan bahwa terdapat

hubungan dengan sifat berbanding terbalik antara proses grieving dan penerimaan diri.

Penerimaan diri tidak dapat dikembangkan apabila kondisi disbelief, yearning, anger,

dan depression dalam tahapan grieving masih dipertahankan secara kuat. Sebaliknya,

penerimaan diri dapat dikembangkan apabila kondisi-kondisi dalam tahapan grieving

menurun.

Ryff (dalam Snyder, Lopez, & Pedrotti, 2010) menyatakan bahwa penerimaan

diri merupakan karakteristik utama yang mencerminkan kondisi psikologis individu

yang sehat mental dan matang. Individu yang memiliki penerimaan diri yang efektif

ditandai dengan sikap positif terhadap diri sendiri. Individu menunjukkan sikap

mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam diri, baik secara positif

maupun negatif, serta memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula

sebaliknya, individu yang dengan penerimaan diri yang tidak efektif akan

memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan

pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk tidak menjadi diri sendiri

sebagaimana adanya.

Individu yang mampu menerima dan menyadari kondisi diri secara positif

dalam menyadari keterbatasan pada diri, akan mengembangkan serta mempertahankan

hubungan positif dengan sekitarnya sehingga mampu membentuk penguasaan

17

lingkungan. Lebih lanjut, dalam mempertahankan eksistensi diri pada konteks sosial,

individu akan mengembangkan kemandirian, serta tujuan dalam hidup. Pada akhirnya

individu mampu menciptakan kondisi well-being (Ryff dalam Snyder, Lopez, &

Pedrotti, 2010).

Ketika ibu rumah tangga terinfeksi HIV, akan menunjukkan berbagai

perubahan dalam kehidupan baik dari segi fisik hingga psikososial. Stigma dan

diskriminasi terkait HIV yang sangat kuat di kalangan masyarakat, menjadikan

kehidupan yang dijalani oleh ibu rumah tangga menjadi semakin pelik pasca berstatus

HIV positif. Perubahan-perubahan dalam hidup dapat dijelaskan dalam berbagai

bentuk reaksi dalam proses grieving. Proses grieving yang dilalui bersifat unik dan

khas pada setiap individu namun umumnya terjadi berdasarkan tahap-tahap yang dapat

diprediksi. Setelah melalui proses grieving, dimungkinkan individu mengembangkan

penerimaan diri yang efektif terkait status HIV positif pada diri.

Proses grieving dan penerimaan diri merupakan aspek penting untuk diketahui

khususnya pada ibu rumah tangga dengan status HIV positif. Proses grieving dapat

menunjukkan perubahan kondisi psikologis ibu rumah tangga pasca terinfeksi HIV,

yang tentunya dipengaruhi oleh aspek lain seperti aspek fisik ataupun sosial.

Perubahan kondisi psikologis tersebut dapat dijelaskan secara holistik, mulai dari baru

mengetahui diagnosa HIV positif sampai dengan kondisi mampu menerima dan

berdaya dengan status HIV positif. Penerimaan diri pada ibu rumah tangga dengan

status HIV positif dapat menunjukkan kualitas hidup khususnya kesejahteraan

psikologis yang dimiliki, sehingga dapat menjadi bahan evaluasi, khususnya bagi diri

ibu rumah tangga dengan HIV positif.

18

Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana

gambaran proses grieving dan gambaran penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga

berstatus HIV positif, serta kaitan antar kedua aspek tersebut pada ibu rumah tangga

dengan status HIV positif yang tertular melalui suaminya.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini akan difokuskan

pada fenomena ibu rumah tangga berstatus HIV positif yang tertular oleh suaminya,

untuk kemudian akan dilihat bagaimana proses grieving yang dilalui dan bagaimana

penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga berstatus HIV positif.

C. Signifikansi dan Keunikan Penelitian

Beberapa penelitian mengenai proses grieving telah dilakukan di Indonesia

baik dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif, namun

penelitian yang telah ada lebih berfokus pada proses grieving yang dialami terkait

kondisi anggota keluarga seperti kematian dan penyakit. Crump (2001) menyatakan

bahwa kondisi grieving tidak hanya terjadi karena kondisi anggota keluarga ataupun

orang terdekat, namun dapat pula disebabkan oleh kondisi ataupun perubahan pada

diri sendiri. Penelitian yang membahas secara spesifik konteks proses grieving pada

individu yang mengalami perubahan pada diri sendiri, masih sangat sedikit atau

bahkan belum pernah ditemukan. Salah satu penelitian mengenai proses grieving

dilakukan oleh Salim (2013), yang melakukan penelitian terkait proses berduka

(proses grieving) akibat kematian orang yang dicintai yang dialami oleh lansia di

kabupaten Ngada. Proses kedukaan yang dialami oleh responden meliputi depresi,

marah, tawar-menawar, dan mengingkari. Gambaran proses depresi yang

19

teridentifikasi adalah putus asa, perasaan kesepian, dan kesedihan. Gambaran proses

marah yang teridentifikasi adalah memproyeksikan kemarahan pada diri sendiri atau

lainnya. Gambaran proses tawar-menawar yang teridentifikasi adalah mempunyai

keinginan untuk merubah apa yang sudah terjadi. Gambaran proses mengingkari yang

teridentifikasi adalah menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata.

Penelitian yang melihat tentang grieving yang dialami individu dengan status

HIV positif masih sangat terbatas. Peters (2013) melakukan sebuah penelitian dengan

menggunakan metode studi literatur terhadap fenomena grieving pada individu dengan

HIV. Penelitian ini menemukan bahwa individu yang hidup dengan HIV wajar

mengalami proses grieving dalam bentuk yang rumit dan waktu yang panjang. Proses

grieving membutuhkan dukungan sosial dari lingkungan serta dukungan spiritual yang

efektif. Prinsip yang harus dikembangkan para praktisi adalah empati dan berpusat

pada individu dengan HIV. Individu harus diberi kesempatan dalam bercerita tanpa

penghakiman, prasangka serta diskriminasi.

Terkait topik penerimaan diri, adapun beberapa penelitian yang ditemukan

adalah :

1. Evitasari (2014), mengenai proses penerimaan diri remaja tunarungu

berprestasi. Hasil dari penelitian menemukan bahwa menunjukkan bahwa

terdapat tiga fase penerimaan diri yang dialami oleh remaja tunarungu

berprestasi, yaitu fase awal, fase konflik, dan fase menerima. Fase awal

merupakan fase individu memperoleh kondisi tunarungu. Fase konflik adalah

fase timbulnya permasalahan pada individu yang mulai berdamai dengan

kondisi difabel individu karena kondisi tunarungu. Fase menerima adalah fase

individu mulai memahami dan menerima kondisi diri secara utuh. Individu

20

selanjutnya mengalami perubahan ke arah yang lebih positif dan mulai

melakukan penyesuaian pada lingkungan sekitar, serta mulai merencanakan

masa depan hingga keberhasilan meraih salah satu impian yang dimiliki.

2. Ardilla dan Herdiana (2013), mengenai dinamika penerimaan diri pada

narapidana perempuan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa dinamika

penerimaan diri pada narapidana perempuan bergantung pada faktor yang

menjadi pendukung dari penerimaan diri yakni adanya pandangan diri yang

positif, dukungan keluarga terdekat yang diberikan secara konsisten adanya

sikap menyenangkan dari lingkungan baru, dalam hal ini adalah lingkungan di

dalam lapas, serta kemampuan social skill yang baik pada narapidana

perempuan membuat seorang narapidana perempuan dapat menjadikan

pengalaman negatifnya menjadi pelajaran positif dalam hidupnya.

Penelitian yang mengkaji tentang penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang

berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya masih sangat terbatas. Putri

(2014) meneliti penerimaan diri pada perempuan Bali yang positif terinfeksi HIV-

AIDS. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat 9 gambaran penerimaan diri pada

perempuan Bali yang positif terinfeksi HIV-AIDS yaitu bersyukur, optimis, dan

melakukan yang terbaik, menghargai diri sendiri, pembuktian diri, memiliki hak dan

merasa sejajar dengan orang lain, tidak ingin diperlakukan berbeda, ingin membantu

serta dapat berbagi dengan orang lain, introspeksi diri, mendekatkan diri dengan

Tuhan. Penelitian yang dilakukan sama-sama menjadikan individu dengan jenis

kelamin perempuan yang berstatus HIV positif sebagai responden penelitian, akan

tetapi penelitian yang dilakukan tidak secara spesifik meneliti responden dengan latar

21

belakang sebagai seorang ibu rumah tangga serta faktor penularan HIV yang terjadi

pada diri responden.

Terkait dengan responden ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif,

beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia adalah :

1. Dalimoenthe (2011), mengenai kajian sosiologi feminis terkait fenomena

peningkatan jumlah HIV-AIDS pada kalangan ibu rumah tangga. Hasil dari

penelitian ini adalah kalangan ibu rumah tangga terinfeksi HIV-AIDS dari

suaminya yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena sering berganti-

ganti pasangan atau karena pecandu narkoba suntik. Terdapat sejumlah faktor

yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah HIV-AIDS pada kalangan

ibu rumah tangga yakni, faktor biologis, sosio-kultural, dan ekonomi. Faktor

biologis yang menyebabkan ibu rumah tangga rentan terinfeksi HIV-AIDS

karena struktur dalam vagina memiliki banyak lipatan yang membuat

permukaan menjadi luas dan dinding vagina sendiri memiliki lapisan tipis yang

mudah terluka. Anatomi ini memudahkan air mani yang mengandung HIV

akan bertahan lebih lama dalam rongga vagina, sehingga memungkinkan

terjadinya penularan. Faktor kedua yakni sosio-kultural yang disebabkan oleh

budaya patriarki di Indonesia yang sangat kental sehingga kedudukan ibu

rumah tangga di mata suami sangat lemah. Lebih lanjut, ibu rumah tangga tidak

mampu menolak hubungan seksual dengan pasangannya. Faktor ekonomi,

bahwa seorang ibu rumah tangga mengalami ketergantungan secara ekonomi

kepada suami yang sekaligus menjadi tulang punggung keluarga, yang

menjadikan lemahnya daya tawar yang dimiliki ibu rumah tangga terhadap

suami.

22

2. Yulianti dan Wahyudi (2014), mengenai self compassion pada ibu rumah

tangga yang berstatus HIV positif di kelurahan X, kota Bandung. Hasil

penelitian ini menemukan bahwa sebesar 67% dari total responden memiliki

self compassion yang tinggi, sedangkan 33% dari total responden memiliki self

compassion yang rendah. Tolok ukur tinggi-rendahnya self compassion dilihat

berdasarkan tiga aspek, yakni : self kindness-self judgement, common

humanity-isolation, dan mindfulness-over identification.

3. Riasnugrahaini (2011), mengenai forgiveness pada perempuan dengan HIV-

AIDS yang terinfeksi melalui suaminya. Hasil penelitian menemukan bahwa

ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS dari suaminya telah mampu

mempraktekkan forgiveness dalam kehidupannya. Forgiveness yang dimiliki

cenderung dinilai dalam tiga prinsip yakni : forgiveness as lawful expectational

forgiveness (memaafkan karena sesuai dengan harapan dari falsafah hidup dan

agama), forgiveness as social harmony (memaafkan untuk memulihkan

hubungan baik), dan expectational forgiveness (memaafkan karena offender

berpikir bahwa memaafkan harus dilakukan, meskipun masih terdapat

ketidaknyamanan pada diri ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS dari

suaminya).

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran proses grieving dan

penerimaan diri serta hubungan dari proses grieving dan penerimaan diri pada ibu

rumah tangga dengan status HIV positif. Penelitian yang pernah dilakukan oleh

Maciejewski, dkk. (2007) menemukan bahwa terdapat hubungan dengan sifat

berbanding terbalik antara proses grieving dan penerimaan diri. Penerimaan diri dapat

23

meningkat apabila kondisi disbelief, yearning, anger, dan depression dalam tahapan

grieving menurun.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas, dapat dilihat

bahwa penelitian yang spesifik mengkaji proses grieving dan penerimaan diri pada ibu

rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular dari suaminya belum pernah

dilakukan. Penelitian yang ada lebih berfokus pada salah satu variabel baik proses

grieving atau penerimaan diri saja, sehingga belum ada penelitian yang mampu melihat

kedua varibel serta melihat kaitan antara keduanya. Masih sedikit penelitian yang

secara spesifik membahas faktor penularan HIV-AIDS melalui hubungan

heteroseksual dengan pasangan (suami atau istri), khususnya fenomena HIV pada ibu

rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya. Penelitian ini penting untuk dilakukan

mengingat di Indonesia sendiri masih sedikit penelitian yang tertarik untuk meneliti

ibu rumah tangga berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya. Berdasarkan

pemaparan diatas, keaslian dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses grieving dan penerimaan diri

pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya.

24

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoretis

a. Memberi kontribusi dalam bidang psikologi klinis terkait gambaran proses

grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV

positif yang tertular melalui suaminya.

b. Memberi kontribusi pada pengetahuan psikologi kesehatan mental terkait

gambaran proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang

berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif, penelitian ini

diharapkan mampu memberi pemahaman bagi individu untuk memahami

bagaimana proses grieving yang telah dilalui. Pemahaman ibu rumah

tangga terkait proses grieving dan penerimaan diri dapat menjadi bahan

evaluasi dalam meningkatkan kualitas kehidupan yang dijalani.

Diharapkan pula dari penelitian ini mampu menggambarkan penerimaan

diri yang dimiliki sehingga dapat menjadi motivasi bagi individu untuk

mampu hidup dengan bahagia bahkan mampu berdaya upaya dengan baik.

b. Bagi individu yang memiliki persamaan kondisi dengan responden

penelitian, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran

mengenai situasi yang akan dihadapi pasca diagnosa HIV positif khususnya

mengenai kondisi psikologis seperti proses grieving yang wajar dialami

oleh setiap individu dengan HIV

25

c. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang ibu rumah tangga

yang berstatus HIV positif, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

gambaran proses grieving yang telah dialami oleh anggota keluarganya

pasca mengetahui diagnosa HIV positif. Proses grieving mampu

memberikan gambaran kondisi psikologis seperti konflik yang dialami

dalam diri individu, kondisi emosi, dan berbagai perubahan pada diri

individu baik perubahan fisik, afeksi hingga psikososial. Ketika keluarga

telah mampu memahami proses grieving, maka keluarga dapat

memberikan dukungan sosial serta motivasi yang tepat terkait kondisi yang

dialami oleh ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif. Selain proses

grieving, penting bagi keluarga untuk mengetahui penerimaan diri pada diri

ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif. Pengetahuan terkait

penerimaan diri yang dimiliki dapat menjadi indikator kualitas hidup ibu

rumah tangga yang berstatus HIV positif.

d. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi

terkait proses grieving dan penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga yang

berstatus HIV positif, sehingga lebih lanjut dapat bertindak dan berperilaku

secara tepat kepada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif.

Disamping itu, dengan memiliki pengetahuan serta informasi yang benar,

dapat meminimalisir adanya stigma dan perlakuan diskriminatif bagi ibu

rumah tangga yang berstatus HIV positif.

e. Bagi praktisi yang berkecimpung dalam bidang psikologi, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses grieving dan

penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif,

26

sehingga dapat membantu pemahaman untuk psikolog atau ilmuwan

psikologi dalam memberikan penanganan atau intervensi psikologis pada

permasalahan sosial dan emosional yang kerap dialami pada ibu rumah

tangga yang berstatus HIV positif.