BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1.pdfsejumlah negara di Asia Pasifik seperti Thailand, India,...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1.pdfsejumlah negara di Asia Pasifik seperti Thailand, India,...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu. Tanpa
kesehatan yang prima, akan menyebabkan individu mengalami kendala dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari seperti dalam fungsi bekerja, bersekolah, olahraga,
makan, dan sebagainya. Disamping itu, dengan memiliki kesehatan yang prima akan
membuat individu lebih efektif dalam menjalankan peran yang dimiliki dalam
kehidupan. Kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sempurna fisik, mental, dan
kesejahteraan sosial serta tidak semata-mata berupa ketiadaannya penyakit atau
kelemahan (World Health Organization [WHO], 2015).
Salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perbincangan di dunia adalah
HIV-AIDS. Menurut Departemen Kesehatan RI [Depkes RI] (2006), Human
Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS). Virus HIV menyerang sel darah putih yang bernama
limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 dipermukaannya (Depkes RI, 2006).
Limfosit T helper berfungsi untuk menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai
perangsang pertumbuhan dan pembentukan antibodi tubuh. Kerusakan sel limfosit T
dapat menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS merupakan
kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh perkembangbiakan virus HIV dan
apabila tidak mendapat penanganan akan menyebabkan munculnya infeksi
oportunistik (Nettina, 2006). Infeksi oportunistik menurut Gunung, Sumantera,
Sawitri, dan Wirawan (2003) merupakan penyakit yang disebabkan oleh organisme
yang biasanya tidak menimbulkan penyakit bila sistem imun tubuh dalam keadaan
2
normal. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel
limfosit, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh
berangsur-angsur menurun. Daya tahan tubuh yang melemah, mengakibatkan risiko
timbulnya penyakit oleh karena infeksi ataupun penyakit lain akan meningkat.
Terdapat perbedaan antara HIV dan AIDS yang selama ini belum jelas
dipahami oleh masyarakat. HIV merupakan virus penyebab AIDS, namun individu
yang terinfeksi HIV belum tentu akan berlanjut menjadi AIDS. AIDS berkembang
pada tahapan terakhir dari fase infeksi HIV (Stolley & Glass, 2009). Individu yang
terinfeksi HIV disebut sebagai individu berstatus HIV positif. Individu yang berstatus
HIV positif belum tentu berkembang menjadi AIDS karena dipengaruhi berbagai
faktor seperti pola hidup serta penanganan medis yang dijalani, salah satunya
konsumsi obat antiretroviral (ARV). Bagi individu dengan HIV positif, ARV
berfungsi untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke
stadium AIDS, sedangkan bagi individu dengan AIDS memerlukan pengobatan ARV
untuk mencegah infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya (Gunung, dkk,
2003). Gunung, dkk (2003) menambahkan bahwa individu yang berstatus HIV positif
dapat tetap hidup sehat bahkan berdaya seperti manusia pada umumnya, individu
berstatus HIV positif dapat tetap hidup positif, bekerja ataupun menjalankan hobi.
HIV-AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan global yang penting
karena jumlah penderita dan tingkat kematian yang tinggi. Laporan temuan United
Nations Programme on HIV-AIDS [UNAIDS] (2014) menemukan bahwa pada tahun
2013 terdapat 35 juta individu berstatus HIV positif di seluruh dunia (UNAIDS, 2014).
Masalah HIV-AIDS diyakini bagaikan fenomena gunung es karena laporan resmi
jumlah kasus tidak mencerminkan masalah yang sebenarnya (Hardisman, 2009).
3
Kasus HIV-AIDS yang terungkap hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kasus
yang terjadi, oleh karena itu tidak dapat mencerminkan masalah yang sebenarnya.
Individu yang berstatus HIV positif di seluruh dunia, sejak tahun 2001 hingga
tahun 2013 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Lebih lanjut, UNAIDS
(2014) menemukan bahwa angka infeksi baru HIV serta kematian akibat AIDS
mengalami penurunan. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya angka individu
dengan HIV-AIDS yang menjalani pengobatan sehingga risiko kematian dapat
diminimalisir. Lebih lanjut ditunjukkan dalam Tabel 1. Data Global Statistik HIV-
AIDS Tahun 2001-2013.
Tabel 1. Data Global Statistik HIV-AIDS Tahun 2001-2013 (Dalam Rata-Rata)
Individu HIV
Positif
Baru
Terinfeksi
HIV
Kematian
Akibat AIDS
Individu dengan HIV-
AIDS Yang Menjalani
Pengobatan
2001 29.8 juta 3.4 juta 2.0 juta
2002 30.7 juta 3.3 juta 2.1 juta
2003 31.4 juta 3.1 juta 2.3 juta
2004 31.8 juta 3.0 juta 2.4 juta
2005 32.1 juta 2.9 juta 2.4 juta
2006 32.4 juta 2.8 juta 2.3 juta
2007 32.4 juta 2.7 juta 2.2 juta
2008 33.1 juta 2.6 juta 2.1 juta
2009 33.4 juta 2.5 juta 2.0 juta 5.2 juta
2010 33.8 juta 2.5 juta 1.9 juta 7.4 juta
2011 34.2 juta 2.4 juta 1.8 juta 9.0 juta
2012 34.6 juta 2.2 juta 1.7 juta 10.6 juta
2013 35.0 juta 2.1 juta 1.5 juta 12.9 juta
Hardisman (2009) menemukan bahwa kasus HIV-AIDS di Indonesia yang
dilaporkan secara resmi relatif lebih rendah daripada kasus yang dilaporkan oleh
sejumlah negara di Asia Pasifik seperti Thailand, India, Cina, Kamboja dan Papua
Nugini. Hardisman (2009) lebih lanjut mengungkapkan bahwa infeksi HIV-AIDS di
Indonesia berkembang menjadi suatu ancaman nasional dengan mengacu pada dua
indikator. Pertama, sejak 10 tahun terakhir jumlah kasus HIV-AIDS memperlihatkan
kecenderungan peningkatan. Kedua, jumlah kasus HIV-AIDS yang dilaporkan tidak
Indikator
Tahun
Sumber : UNAIDS, 2014
4
mencerminkan kondisi yang sesungguhnya di dalam masyarakat Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV-AIDS yang berkembang
paling cepat (UNAIDS, 2009). Data kasus HIV-AIDS secara nasional pada tahun 2014
mulai 1 Januari hingga 30 September 2014 menemukan terjadi 22.869 kasus HIV dan
1876 kasus AIDS (Kemenkes RI, 2014).
Bali adalah salah satu provinsi di Indonesia yang mengalami pertumbuhan
jumlah individu dengan HIV-AIDS yang sangat cepat. Bali menduduki peringkat ke 3
sebagai provinsi dengan prevalensi kasus HIV-AIDS tercepat di Indonesia (Kemenkes
RI, 2014). Hingga tahun 2014, prevalensi kasus HIV-AIDS di Bali mencapai 109.52
per 100.000 penduduk di Bali (Kemenkes RI, 2014). Jumlah kasus HIV di Bali yang
dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali [Dinkes Pemprov Bali]
(2016) menunjukkan bahwa secara kumulatif, hingga Desember 2015 kasus AIDS di
Bali mencapai 5.910 kasus, sedangkan kasus HIV mencapai 7.456 kasus. Kasus HIV-
AIDS di Bali berada pada tingkat epidemik terkonsentrasi (concentrated level
epidemic) karena prevalensi HIV pada subpopulasi tertentu yaitu pengguna narkoba
suntik, perempuan pekerja seksual langsung serta narapidana mencapai lebih dari 5%
secara terus menerus serta pada ibu hamil kurang dari 1% (Dinkes Pemprov Bali,
2016).
Tabel 2. Situasi Kasus HIV-AIDS Provinsi Bali Menurut Golongan Umur dan
Jenis Kelamin Kumulatif dari tahun 1987 s/d Desember 2015 menunjukkan bahwa
individu dengan HIV-AIDS di Bali terpusat pada golongan usia 20 – 49 tahun (Dinkes
Pemprov Bali, 2016). Menurut Hurlock (1980), masa dewasa dibagi menjadi tiga
pembagian usia, yakni dewasa awal yang dimulai sejak usia 18 tahun hingga 40 tahun.
Dewasa madya dimulai pada usia 40 tahun hingga 60 tahun. Dewasa lanjut (lanjut
5
usia) dimulai pada umur 60 tahun hingga kematian. Hal ini menunjukkan bahwa kasus
HIV-AIDS di Bali paling banyak terjadi pada kategori usia dewasa awal hingga
madya.
Tabel 2. Situasi Kasus HIV-AIDS Provinsi Bali Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin
Kumulatif dari tahun 1987 s/d Desember 2015 Kelompok Usia Total Kasus AIDS Total Kasus HIV Total Total %
<1 79 49 128 1.0
1-4 164 161 325 2.4
5-14 38 43 81 0.6
15-19 88 176 264 2.0
20-29 1.889 3.186 5.075 38.0
30-39 2.197 2.581 4.778 35.7
40-49 1.021 902 1.923 14.4
50-59 326 274 600 4.5
>60 98 68 166 1.2
Tidak diketahui 10 16 26 0.2
Total 5.910 7.456 13.366 100.0
Sumber : Dinkes Pemprov Bali, 2016
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara jumlah individu yang
terinfeksi HIV-AIDS berdasarkan jenis kelamin. Dinkes Pemprov Bali (2016)
menghimpun data situasi kasus berdasarkan rate kumulatif kasus HIV-AIDS
berdasarkan faktor hubungan heteroseksual. Ditemukan bahwa hingga tahun 2015,
invidivu yang berstatus AIDS positif dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 3.114
orang, sedangkan perempuan berjumlah 1.748 orang. Individu yang berstatus HIV
positif dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 2.676 orang, sedangkan perempuan
berjumlah 2.918 orang (Dinkes Pemprov Bali, 2016). Spesifik pada provinsi Bali,
jumlah kasus AIDS pada jenis kelamin laki-laki lebih tinggi daripada jumlah kasus
AIDS pada perempuan, sebaliknya jumlah kasus HIV pada jenis kelamin perempuan
lebih tinggi daripada jumlah kasus HIV pada laki-laki.
Secara keseluruhan, laki-laki tetap menjadi jenis kelamin dengan temuan kasus
HIV-AIDS terbanyak, akan tetapi kasus HIV-AIDS pada perempuan mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Secara kumulatif dari tahun 2011 hingga 2015, jumlah
6
perempuan di Bali yang baru terinfeksi HIV-AIDS terus mengalami peningkatan, yang
ditunjukkan dalam Gambar 1. Situasi Kasus HIV menurut Jenis Kelamin per-Tahun
Provinsi Bali Kumulatif dari Tahun 2011 s/d Desember 2015.
Gambar 1. Situasi Kasus HIV menurut Jenis Kelamin per-Tahun Provinsi Bali Kumulatif dari
Tahun 2011 s/d Desember 2015
United Nations Children's Emergency Fund Indonesia [UNICEF Indonesia]
(2012) yang menemukan bahwa terjadi peningkatan feminisasi dalam epidemi
fenomena HIV-AIDS di Indonesia. Hal ini didukung dengan riset yang dilakukan oleh
Kemenkes RI pada tahun 2011 (dalam UNICEF Indonesia, 2012) yang menemukan
bahwa proporsi perempuan untuk infeksi baru HIV di Indonesia telah mengalami
peningkatan dari 34% pada tahun 2008 menjadi 44% pada tahun 2011 dan akan terus
meningkat tiap tahunnya. Perempuan lebih rentan terinfeksi HIV sebagai akibat dari
adanya peran tradisional yang dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat (UNICEF
Indonesia, 2012).
Kasus HIV-AIDS pada jenis kelamin perempuan dengan penggolongan usia
dewasa baik dewasa awal ataupun dewasa madya akan terjadi dan meningkat setiap
tahunnya. Umumnya, perempuan usia dewasa menjalankan peran sebagai seorang ibu
805 824 876
13181547
466648 610
903
1009
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
2011 2012 2013 2014 2015
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2016
Perempuan
Laki-laki
7
rumah tangga. Hal ini sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Kemenkes RI pada
tahun 2013 terkait Estimasi dan Proyeksi HIV-AIDS di Indonesia Tahun 2011-2016
yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV-AIDS pada
kelompok perempuan berisiko rendah, yakni ibu rumah tangga (Kemenkes RI, 2013).
Hingga saat ini, belum terdapat data pasti terkait jumlah ibu rumah tangga yang
terinfeksi HIV-AIDS. Hal ini disebabkan rendahnya kesadaran individu dengan HIV-
AIDS untuk melakukan pendataan secara resmi dengan menggunakan kartu tanda
penduduk, sehingga tidak dapat dilakukan pencatatan secara pasti perihal jumlah ibu
rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS.
Secara global, terdapat empat populasi dengan perilaku risiko tinggi yang
berpotensi dalam penularan HIV-AIDS yakni perempuan pekerja seksual dan
pelanggannya, pengguna narkoba suntik, pelaku hubungan seksual antara sesama laki-
laki (homoseksual), dan individu yang secara rutin berhubungan heteroseksual dengan
banyak partner (WHO, 2012). Populasi yang berisiko tinggi dalam penularan HIV-
AIDS di Indonesia, yakni pengguna narkoba suntik, perempuan pekerja seksual
(transgender dan perempuan) serta laki-laki yang berhubungan seks sesama laki-laki
(UNAIDS, 2009).
Ibu rumah tangga tidak termasuk dalam populasi berisiko tinggi. Lebih lanjut
menurut Kemenkes RI (2013) menyatakan bahwa ibu rumah tangga dikatakan sebagai
kelompok perempuan berisiko rendah karena terinfeksi melalui hubungan seksual
dengan pasangan (suami) yang telah terinfeksi sebelumnya dan ibu rumah tangga tidak
secara langsung melakukan perilaku berisiko yang dapat mengakibatkan HIV-AIDS.
Risiko penularan HIV-AIDS tidak hanya terbatas pada populasi dengan perilaku risiko
tinggi, tetapi lebih luas daripada itu. Infeksi HIV-AIDS tidak pandang bulu, HIV-
8
AIDS dapat menginfeksi orang dari berbagai kalangan ras, umur, profesi, gender,
orientasi seksual hingga latar belakang sosial-ekonomi.
Menurut Dalimoenthe (2011) ibu rumah tangga umumnya terjangkit HIV dari
suaminya yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena sering berganti-ganti
pasangan atau karena penggunaan narkona jenis suntik. Penyebaran virus HIV tidak
hanya mengancam kelompok dengan perilaku seks yang berisiko, tetapi juga
mengancam kalangan ibu rumah tangga yang suaminya telah terinfeksi HIV. Menurut
dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH, Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada masa
kabinet Indonesia Bersatu jilid II, bahwa hingga tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah
penularan HIV dari suami kepada istrinya (Wardah, 2013). Makin meningkatnya
jumlah penularan disebabkan oleh lemahnya kedudukan istri dalam rumah tangga,
yang menyebabkan seorang istri wajib menuruti kemauan suaminya bahkan
mengabaikan perilaku seksual yang aman. Wardah (2013) menambahkan bahwa salah
satu program yang dilaksanakan oleh Kemenkes RI dalam rangka pencegahan
penularan HIV pada kelompok ibu rumah tangga adalah program pengadaan kondom
bagi perempuan guna menekan laju pertumbuhan angka penularan HIV dari suami
kepada istri.
Menjadi ibu rumah tangga bukanlah hal yang mudah karena individu dituntut
mampu memainkan sederet peran secara bersamaan (Baghir, 2003). Peran sebagai ibu
rumah tangga menyebabkan tanggung jawab secara terus-menerus dalam
memperhatikan kesehatan rumah dan tata laksana rumah tangga, mengatur segala
sesuatu di dalam rumah tangga untuk meningkatkan mutu hidup (Hemas dalam
Pujiwati, 1983). Sejalan dengan ide yang dikemukakan oleh Kartono (2006) bahwa
terdapat sejumlah peran yang dijalankan oleh seorang ibu rumah tangga seperti
9
kegiatan yang berpusat mengurusi, mendidik, melayani, mengatur, mengurus anak,
dan suami. Hal ini menjadikan keberadaan seorang ibu rumah tangga di dalam
keluarga sangat krusial. Sebagian waktu ibu rumah tangga berada di dalam rumah yang
memiliki tanggung jawab yang timbul secara spontan dan tidak dapat diramalkan
(Kartono, 2006). Vuuren (dalam Mumtahinnah, 2011) menyatakan bahwa kegiatan
sebagai ibu rumah tangga yang biasa dilakukan seperti memasak di rumah, menjahit,
berbelanja, menyetrika pakaian hingga mengurus anak.
Bukan hal yang mudah bagi seorang ibu rumah tangga dalam menerima
kenyataan terinfeksi HIV terlebih lagi sosok yang menularkan adalah pasangannya
sendiri. Seorang ibu rumah tangga berinisial RT yang terinfeksi HIV dari sang suami
mengisahkan pengalaman yang dimiliki, seperti yang dikutip dalam tulisan online
berikut ini:
“Saya pernah menganggap diri saya tidak berguna setelah terinfeksi HIV. Saya tidak
ingin orang mengalaminya. Saya mau menghapus stigma pada ODHA. Saya mau
menghapus diskriminasi. Saya mengetahui mengetahui status HIV sejak tahun 2009.
Dia mendapat virus itu dari suaminya. Suami saya itu angkatan (TNI-red). Dia
memang sering tugas keluar, suka jajan.” (Edward, 2015)
Pasca terinfeksi HIV, individu akan mengalami perubahan pada berbagai aspek
kehidupannya, mulai dari segi fisik, psikologis ataupun psikososial. Menurut Lubis
(2009), terdapat kecenderungan bagi individu yang menderita suatu penyakit dengan
kondisi parah akan menunjukkan adanya kondisi depresi. Sejalan dengan pemikiran
yang dikemukakan oleh Sarafino dan Smith (2010), bahwa suatu penyakit yang
bersifat parah dapat menimbulkan perasaan negatif seperti kecemasan, depresi, marah,
ataupun rasa tidak berdaya dan perasaan-perasaan negatif tertentu. Menurut Leserman
(dalam Folkman, 2011) kondisi suasana hati yang negatif dapat mempercepat
perkembangan HIV menjadi AIDS. Ketika individu mampu mengembangkan kondisi
10
psikologis secara positif maka dapat mencegah dan memperlambat perkembangan
HIV menjadi AIDS (Ironson & Hayward, 2008).
HIV-AIDS menjadi stigma sosial karena diidentikkan sebagai penyakit seksual
di kalangan masyarakat (Sarikusuma, Herani, & Hasanah, 2012). Individu dengan HIV
memiliki beban berat dalam kehidupannya karena adanya permasalahan yang
kompleks dapat dihadapinya setiap saat. Permasalahan yang timbul tidak hanya yang
berkaitan dengan kondisi penyakit, namun juga kondisi psikososial seperti stigma
sosial, diskriminasi pekerjaan, penerimaan diri, dan hubungan baik dengan pasangan,
keluarga maupun masyarakat disekitarnya. Selain itu, stigma negatif pada individu
dengan HIV tak hanya mengenai diri sendiri, melainkan keluarga dan lingkungan di
sekitarnya.
Guna mengetahui pandangan ibu rumah tangga berstatus HIV positif mengenai
fenomena HIV pada kelompok ibu rumah tangga, dilakukan preliminary study pada
seorang perempuan bernama Lely (bukan nama sebenarnya). Wawancara dilakukan
pada 7–8 September 2015 memperoleh informasi bahwa beliau telah berstatus HIV
positif semenjak tahun 2008. Lely adalah seorang ibu rumah tangga yang tertular HIV
dari sang suami yang telah meninggal dunia pada tahun 2008 akibat AIDS. Lely tidak
menduga akan terinfeksi virus HIV karena menilai bahwa sang suami bersikap sangat
setia dalam ikatan pernikahan yang dijalani. Kenyataan berkata lain, ditemukan fakta
bahwa sang suami pernah berselingkuh dengan mantan kekasih yang berstatus HIV
positif di masa awal pernikahan (Laporan Preliminary Study, 2015).
Lely menilai bahwa sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, menyebabkan
individu tidak memiliki power dan keberanian untuk mengetahui aktivitas suami di
luar rumah. Tuntutan peran sebagai ibu rumah tangga yang memiliki beragam aktivitas
11
di rumah menjadikan seorang ibu rumah tangga kurang peka terhadap kualitas
hubungan dengan pasangan karena lebih fokus mengurusi anak dan rumah. Menjadi
seorang ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif digambarkan sebagai sebuah
kutukan dan akhir dari perjalanan hidupnya. Hari demi hari dilalui dengan keyakinan
bahwa kematian akan segera datang menjemput (Laporan Preliminary Study, 2015).
Menurut Dalimoenthe (2011) terdapat banyak kasus yang menunjukkan bahwa
ketika seorang ibu rumah tangga terinfeksi HIV-AIDS dari suaminya, individu
cenderung memikul beban ganda seperti merawat suami yang sakit, merawat anak
yang juga mungkin sudah tertular, mencari nafkah, sembari juga menghadapi berbagai
perlakuan yang tidak manusiawi seperti stigma ataupun diskriminasi. Dalimoenthe
(2011) menambahkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan penularan
HIV dari suami kepada seorang ibu rumah tangga. Faktor utama adalah rendahnya
bargaining power untuk menegosiasikan hubungan intim, ibu rumah tangga
cenderung tidak sanggup menolak setiap keinginan seksual dari suami, serta
ketidaktahuan dan keengganan meminta informasi kepada pasangan tentang status
kesehatan reproduksi yang dimiliki pasangan. Faktor berikutnya yang membuat
perempuan lebih rentan adalah stigma dan diskriminasi.
Perempuan mengalami stigma ganda, yaitu sebagai perempuan makhluk kelas
dua yang cenderung disalahkan atas apa yang terjadi pada diri sendiri. Masyarakat
menganggap semestinya perempuan dapat menjaga diri, suami, dan keluarganya
sehingga tidak terinfeksi HIV. Stigma kedua yakni pandangan bahwa individu dengan
HIV telah melakukan perilaku tidak bermoral, sehingga harus dijauhi (Dalimoenthe,
2011).
12
Pasca berstatus HIV positif, individu akan menunjukkan reaksi-reaksi terkait
perubahan kondisi dalam hidup, khususnya aspek psikologis. Reaksi-reaksi psikologis
yang dihadapi individu dengan HIV positif menurut Nursalam dan Kurniati (2008)
diantaranya, konflik intergritas ego yang meliputi perasaan tak berdaya dan putus asa,
konflik stress dan respons psikologis yang meliputi penyangkalan, kemarahan,
kecemasan, hingga perasaan irritable.
Proses grieving pertama kali diteliti oleh Dr. Elisabeth Kübler-Ross pada tahun
1969 (Kübler-Ross, 2009). Kübler-Ross melakukan penelitian dengan melibatkan
lebih dari 500 pasien yang menderita berbagai jenis penyakit. Penelitian yang
dilakukan bertujuan untuk melihat reaksi yang ditunjukkan pada individu dalam
mengatasi serta berhadapan dengan kedukaan dan tragedi, terutama ketika didiagnosa
memiliki penyakit berat atau mengalami perubahan yang sangat besar dalam hidupnya.
Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa terdapat lima tahapan dalam proses
grieving yakni penolakan, kemarahan, tawar menawar, depresi, dan penerimaan
(Kübler-Ross, 2009).
Dewasa ini proses grieving telah diterima secara luas sebagai panduan guna
mengetahui respon emosional dan psikologis yang dialami individu ketika berhadapan
dengan kondisi yang mengancam nyawa atau keadaan yang mengubah kehidupan.
Proses grieving memiliki karakteristik yang unik, membutuhkan waktu, dapat
difasilitasi namun tidak dapat dipaksakan dan pada umumnya proses ini mengikuti
tahapan yang telah diprediksi (Rotter, 2009). Tahapan-tahapan ini tidak hanya berlaku
bagi individu yang kehilangan sosok orang terdekat karena kematian tetapi dapat pula
dialami oleh individu yang mengalami peristiwa yang mengubah hidup, seperti
13
perceraian atau putusnya suatu hubungan, atau kehilangan sebuah pekerjaan (Crump,
2001).
Proses grieving memiliki awal dan akhir, namun tidak terdapat aturan mutlak
atau baku. Proses grieving ini bersifat sangat unik dan berbeda pada diri masing-
masing individu (Crump, 2001). Proses grieving umumnya dapat dibagi dalam
beberapa tahapan akan tetapi tahapan ini tidak bersifat linier, melainkan berupa sebuah
siklus (Crump, 2001). Setiap individu mempunyai tahapan tersendiri dalam proses
grieving, dapat urut atau melompat, dapat juga maju kemudian mundur kembali
(Paputungan, 2013).
Proses yang dilalui individu dari awal mengetahui status HIV positif hingga
mampu berdaya dan secara terbuka mengakui identitas diri kepada dunia, sangatnya
kompleks. Perubahan yang dialami oleh ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV sangat
beragam, tidak hanya terbatas pada perubahan fisik seperti kekebalan tubuh melemah
dan rentan terhadap infeksi oportunistik, namun juga perubahan psikis, seperti emosi
mudah marah, bingung, tidak percaya, takut akan kematian, dan takut akan reaksi
negatif orang lain terhadap dirinya (Yulianti & Wahyudi, 2014). Selain itu perubahan
yang biasa dialami oleh penderita HIV adalah mendapat stigma dan diskriminasi yang
menyebabkan individu terisolasi dari lingkungan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,
2010). Tertular HIV dapat menyebabkan timbulnya berbagai kesulitan yang
berhubungan dengan harga diri, isolasi sosial, dan kurangnya kesejahteraan psikologis
(Asante, 2012). Tentunya hal ini menyebabkan seorang ibu rumah tangga akan
mengalami kondisi grieving yang dapat dijabarkan dalam proses grieving.
Ibu rumah tangga yang tertular HIV melalui suaminya cenderung mengalami
tekanan yang lebih berat dalam menghadapi keadaannya, karena tidak melakukan
14
perilaku berisiko namun harus mengalami dampak positif HIV (Riasnugrahaini, 2011).
Menurut Enright dan North (dalam Riasnugrahaini, 2011), offender person adalah
pihak yang dianggap bersalah sehingga bertanggungjawab atas kondisi perubahan
dalam hidup, dalam penelitian ini offender person adalah sosok suami. Menurut
Worthington (2007), individu yang menjadi korban dari ketidakadilan dapat memberi
respon berupa kemarahan, ketakutan, dan kebencian, serta dapat menyimpan dendam
terhadap offender person.
Terdapat tiga bentuk konsekuensi negatif dari konteks perasaan tidak
memaafkan offender person pada kondisi HIV, yakni konsekuensi emosional dan
psikososial, perilaku, serta biomedis (Worthington, 2007). Konsekuensi emosional
dan psikososial dari perasaan tidak memaafkan secara intrapersonal meliputi self-
esteem yang rendah, guilt, keputusasaan, self-blame, dan depresi. Sedangkan, secara
interpersonal perasaan tidak memaafkan akan berdampak pada kemarahan, kebencian,
kurangnya empati, dan perasaan tidak dicintai. Konsekuensi terhadap perilaku secara
intrapersonal meliputi perilaku self-destructive (misalnya ketergantungan terhadap
obat-obatan dan alkohol), dan secara interpersonal meliputi perilaku seksual tidak
bertanggungjawab hingga perilaku berisiko menularkan HIV kepada pihak lain.
Konsekuensi biomedis secara intrapersonal meliputi peningkatan stres, disfungsi
sistem kekebalan tubuh, dan peningkatan perkembangan penyakit. Sedangkan, secara
interpersonal meliputi penyakit infeksi menular seksual (Worthington, 2007).
Apabila individu mempertahankan kondisi grieving yang meliputi bentuk-
bentuk reaksi yang negatif seperti penolakan, kemarahan, tawar-menawar, ataupun
depresi akan menyebabkan munculnya penderitaan psikologis. Menurut Germer
(2009) penderitaan psikologis merupakan akumulasi emosi, reaksi, ataupun perasaan
15
negatif yang dipertahankan secara resisten yang akan berdampak secara desktruktif
kepada individu.
Ketika proses grieving yang dijalani mampu mencapai penerimaan terhadap
status HIV, maka individu mampu bangkit dari kondisi down yang dialami
sebelumnya. Di tahapan ini, individu mulai menanamkan komitmen dan mengubah
pemikiran irasional yang dimiliki serta dikembangkan dalam tahapan-tahapan
sebelumnya. Pada tahapan penerimaan, individu akan menerima kondisi yang dimiliki
sebagai sebuah realita yang harus dijalani (Kübler-Ross, 2009).
Apabila individu mampu mencapai tahap penerimaan terhadap status HIV
positif, memungkinkan individu untuk mengembangkan penerimaan diri yang efektif
terkait status HIV positif yang dimiliki. Salah satu karakteristik individu yang
memiliki penerimaan diri menurut Sheere (dalam Cronbach, 1963) adalah adanya
keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan. Keyakinan individu
akan kemampuan diri lahir dari proses panjang yang telah dilalui, dalam hal ini yakni
proses grieving.
Penerimaan diri menurut Germer (2009) merupakan kemampuan individu
untuk memiliki suatu pandangan positif mengenai diri yang sebenar-benarnya.
Penerimaan diri memungkinkan individu untuk mengevaluasi sifat yang berguna dan
tidak berguna yang dimiliki, serta menerima apapun aspek negatif sebagai bagian dari
kepribadian (Morgado dalam Pamungkas, 2015). Indikator penting dalam penerimaan
diri adalah tidak adanya sikap pasrah dan mampu menerima identitas diri secara positif
(Coleridge, 1993).
Terdapat perbedaan antara tahap penerimaan pada proses grieving dan
penerimaan diri. Penerimaan pada proses grieving hanya berfokus pada aspek kognitif
16
terkait kondisi HIV. Individu akan memulai menanamkan komitmen dan
menghilangkan pemikiran irasional, sedangkan penerimaan diri merupakan
perwujudan dari aspek kognitif menjadi serangkaian perilaku. Sedangkan, penerimaan
diri merupakan kondisi pertumbuhan dan kesejahteraan psikologis individu dengan
status HIV positif.
Maciejewski, Zhang, Block, dan Prigerson (2007) menemukan bahwa terdapat
hubungan dengan sifat berbanding terbalik antara proses grieving dan penerimaan diri.
Penerimaan diri tidak dapat dikembangkan apabila kondisi disbelief, yearning, anger,
dan depression dalam tahapan grieving masih dipertahankan secara kuat. Sebaliknya,
penerimaan diri dapat dikembangkan apabila kondisi-kondisi dalam tahapan grieving
menurun.
Ryff (dalam Snyder, Lopez, & Pedrotti, 2010) menyatakan bahwa penerimaan
diri merupakan karakteristik utama yang mencerminkan kondisi psikologis individu
yang sehat mental dan matang. Individu yang memiliki penerimaan diri yang efektif
ditandai dengan sikap positif terhadap diri sendiri. Individu menunjukkan sikap
mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam diri, baik secara positif
maupun negatif, serta memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula
sebaliknya, individu yang dengan penerimaan diri yang tidak efektif akan
memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan
pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk tidak menjadi diri sendiri
sebagaimana adanya.
Individu yang mampu menerima dan menyadari kondisi diri secara positif
dalam menyadari keterbatasan pada diri, akan mengembangkan serta mempertahankan
hubungan positif dengan sekitarnya sehingga mampu membentuk penguasaan
17
lingkungan. Lebih lanjut, dalam mempertahankan eksistensi diri pada konteks sosial,
individu akan mengembangkan kemandirian, serta tujuan dalam hidup. Pada akhirnya
individu mampu menciptakan kondisi well-being (Ryff dalam Snyder, Lopez, &
Pedrotti, 2010).
Ketika ibu rumah tangga terinfeksi HIV, akan menunjukkan berbagai
perubahan dalam kehidupan baik dari segi fisik hingga psikososial. Stigma dan
diskriminasi terkait HIV yang sangat kuat di kalangan masyarakat, menjadikan
kehidupan yang dijalani oleh ibu rumah tangga menjadi semakin pelik pasca berstatus
HIV positif. Perubahan-perubahan dalam hidup dapat dijelaskan dalam berbagai
bentuk reaksi dalam proses grieving. Proses grieving yang dilalui bersifat unik dan
khas pada setiap individu namun umumnya terjadi berdasarkan tahap-tahap yang dapat
diprediksi. Setelah melalui proses grieving, dimungkinkan individu mengembangkan
penerimaan diri yang efektif terkait status HIV positif pada diri.
Proses grieving dan penerimaan diri merupakan aspek penting untuk diketahui
khususnya pada ibu rumah tangga dengan status HIV positif. Proses grieving dapat
menunjukkan perubahan kondisi psikologis ibu rumah tangga pasca terinfeksi HIV,
yang tentunya dipengaruhi oleh aspek lain seperti aspek fisik ataupun sosial.
Perubahan kondisi psikologis tersebut dapat dijelaskan secara holistik, mulai dari baru
mengetahui diagnosa HIV positif sampai dengan kondisi mampu menerima dan
berdaya dengan status HIV positif. Penerimaan diri pada ibu rumah tangga dengan
status HIV positif dapat menunjukkan kualitas hidup khususnya kesejahteraan
psikologis yang dimiliki, sehingga dapat menjadi bahan evaluasi, khususnya bagi diri
ibu rumah tangga dengan HIV positif.
18
Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana
gambaran proses grieving dan gambaran penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga
berstatus HIV positif, serta kaitan antar kedua aspek tersebut pada ibu rumah tangga
dengan status HIV positif yang tertular melalui suaminya.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini akan difokuskan
pada fenomena ibu rumah tangga berstatus HIV positif yang tertular oleh suaminya,
untuk kemudian akan dilihat bagaimana proses grieving yang dilalui dan bagaimana
penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga berstatus HIV positif.
C. Signifikansi dan Keunikan Penelitian
Beberapa penelitian mengenai proses grieving telah dilakukan di Indonesia
baik dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif, namun
penelitian yang telah ada lebih berfokus pada proses grieving yang dialami terkait
kondisi anggota keluarga seperti kematian dan penyakit. Crump (2001) menyatakan
bahwa kondisi grieving tidak hanya terjadi karena kondisi anggota keluarga ataupun
orang terdekat, namun dapat pula disebabkan oleh kondisi ataupun perubahan pada
diri sendiri. Penelitian yang membahas secara spesifik konteks proses grieving pada
individu yang mengalami perubahan pada diri sendiri, masih sangat sedikit atau
bahkan belum pernah ditemukan. Salah satu penelitian mengenai proses grieving
dilakukan oleh Salim (2013), yang melakukan penelitian terkait proses berduka
(proses grieving) akibat kematian orang yang dicintai yang dialami oleh lansia di
kabupaten Ngada. Proses kedukaan yang dialami oleh responden meliputi depresi,
marah, tawar-menawar, dan mengingkari. Gambaran proses depresi yang
19
teridentifikasi adalah putus asa, perasaan kesepian, dan kesedihan. Gambaran proses
marah yang teridentifikasi adalah memproyeksikan kemarahan pada diri sendiri atau
lainnya. Gambaran proses tawar-menawar yang teridentifikasi adalah mempunyai
keinginan untuk merubah apa yang sudah terjadi. Gambaran proses mengingkari yang
teridentifikasi adalah menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata.
Penelitian yang melihat tentang grieving yang dialami individu dengan status
HIV positif masih sangat terbatas. Peters (2013) melakukan sebuah penelitian dengan
menggunakan metode studi literatur terhadap fenomena grieving pada individu dengan
HIV. Penelitian ini menemukan bahwa individu yang hidup dengan HIV wajar
mengalami proses grieving dalam bentuk yang rumit dan waktu yang panjang. Proses
grieving membutuhkan dukungan sosial dari lingkungan serta dukungan spiritual yang
efektif. Prinsip yang harus dikembangkan para praktisi adalah empati dan berpusat
pada individu dengan HIV. Individu harus diberi kesempatan dalam bercerita tanpa
penghakiman, prasangka serta diskriminasi.
Terkait topik penerimaan diri, adapun beberapa penelitian yang ditemukan
adalah :
1. Evitasari (2014), mengenai proses penerimaan diri remaja tunarungu
berprestasi. Hasil dari penelitian menemukan bahwa menunjukkan bahwa
terdapat tiga fase penerimaan diri yang dialami oleh remaja tunarungu
berprestasi, yaitu fase awal, fase konflik, dan fase menerima. Fase awal
merupakan fase individu memperoleh kondisi tunarungu. Fase konflik adalah
fase timbulnya permasalahan pada individu yang mulai berdamai dengan
kondisi difabel individu karena kondisi tunarungu. Fase menerima adalah fase
individu mulai memahami dan menerima kondisi diri secara utuh. Individu
20
selanjutnya mengalami perubahan ke arah yang lebih positif dan mulai
melakukan penyesuaian pada lingkungan sekitar, serta mulai merencanakan
masa depan hingga keberhasilan meraih salah satu impian yang dimiliki.
2. Ardilla dan Herdiana (2013), mengenai dinamika penerimaan diri pada
narapidana perempuan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa dinamika
penerimaan diri pada narapidana perempuan bergantung pada faktor yang
menjadi pendukung dari penerimaan diri yakni adanya pandangan diri yang
positif, dukungan keluarga terdekat yang diberikan secara konsisten adanya
sikap menyenangkan dari lingkungan baru, dalam hal ini adalah lingkungan di
dalam lapas, serta kemampuan social skill yang baik pada narapidana
perempuan membuat seorang narapidana perempuan dapat menjadikan
pengalaman negatifnya menjadi pelajaran positif dalam hidupnya.
Penelitian yang mengkaji tentang penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang
berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya masih sangat terbatas. Putri
(2014) meneliti penerimaan diri pada perempuan Bali yang positif terinfeksi HIV-
AIDS. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat 9 gambaran penerimaan diri pada
perempuan Bali yang positif terinfeksi HIV-AIDS yaitu bersyukur, optimis, dan
melakukan yang terbaik, menghargai diri sendiri, pembuktian diri, memiliki hak dan
merasa sejajar dengan orang lain, tidak ingin diperlakukan berbeda, ingin membantu
serta dapat berbagi dengan orang lain, introspeksi diri, mendekatkan diri dengan
Tuhan. Penelitian yang dilakukan sama-sama menjadikan individu dengan jenis
kelamin perempuan yang berstatus HIV positif sebagai responden penelitian, akan
tetapi penelitian yang dilakukan tidak secara spesifik meneliti responden dengan latar
21
belakang sebagai seorang ibu rumah tangga serta faktor penularan HIV yang terjadi
pada diri responden.
Terkait dengan responden ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif,
beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia adalah :
1. Dalimoenthe (2011), mengenai kajian sosiologi feminis terkait fenomena
peningkatan jumlah HIV-AIDS pada kalangan ibu rumah tangga. Hasil dari
penelitian ini adalah kalangan ibu rumah tangga terinfeksi HIV-AIDS dari
suaminya yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena sering berganti-
ganti pasangan atau karena pecandu narkoba suntik. Terdapat sejumlah faktor
yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah HIV-AIDS pada kalangan
ibu rumah tangga yakni, faktor biologis, sosio-kultural, dan ekonomi. Faktor
biologis yang menyebabkan ibu rumah tangga rentan terinfeksi HIV-AIDS
karena struktur dalam vagina memiliki banyak lipatan yang membuat
permukaan menjadi luas dan dinding vagina sendiri memiliki lapisan tipis yang
mudah terluka. Anatomi ini memudahkan air mani yang mengandung HIV
akan bertahan lebih lama dalam rongga vagina, sehingga memungkinkan
terjadinya penularan. Faktor kedua yakni sosio-kultural yang disebabkan oleh
budaya patriarki di Indonesia yang sangat kental sehingga kedudukan ibu
rumah tangga di mata suami sangat lemah. Lebih lanjut, ibu rumah tangga tidak
mampu menolak hubungan seksual dengan pasangannya. Faktor ekonomi,
bahwa seorang ibu rumah tangga mengalami ketergantungan secara ekonomi
kepada suami yang sekaligus menjadi tulang punggung keluarga, yang
menjadikan lemahnya daya tawar yang dimiliki ibu rumah tangga terhadap
suami.
22
2. Yulianti dan Wahyudi (2014), mengenai self compassion pada ibu rumah
tangga yang berstatus HIV positif di kelurahan X, kota Bandung. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa sebesar 67% dari total responden memiliki
self compassion yang tinggi, sedangkan 33% dari total responden memiliki self
compassion yang rendah. Tolok ukur tinggi-rendahnya self compassion dilihat
berdasarkan tiga aspek, yakni : self kindness-self judgement, common
humanity-isolation, dan mindfulness-over identification.
3. Riasnugrahaini (2011), mengenai forgiveness pada perempuan dengan HIV-
AIDS yang terinfeksi melalui suaminya. Hasil penelitian menemukan bahwa
ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS dari suaminya telah mampu
mempraktekkan forgiveness dalam kehidupannya. Forgiveness yang dimiliki
cenderung dinilai dalam tiga prinsip yakni : forgiveness as lawful expectational
forgiveness (memaafkan karena sesuai dengan harapan dari falsafah hidup dan
agama), forgiveness as social harmony (memaafkan untuk memulihkan
hubungan baik), dan expectational forgiveness (memaafkan karena offender
berpikir bahwa memaafkan harus dilakukan, meskipun masih terdapat
ketidaknyamanan pada diri ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS dari
suaminya).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran proses grieving dan
penerimaan diri serta hubungan dari proses grieving dan penerimaan diri pada ibu
rumah tangga dengan status HIV positif. Penelitian yang pernah dilakukan oleh
Maciejewski, dkk. (2007) menemukan bahwa terdapat hubungan dengan sifat
berbanding terbalik antara proses grieving dan penerimaan diri. Penerimaan diri dapat
23
meningkat apabila kondisi disbelief, yearning, anger, dan depression dalam tahapan
grieving menurun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas, dapat dilihat
bahwa penelitian yang spesifik mengkaji proses grieving dan penerimaan diri pada ibu
rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular dari suaminya belum pernah
dilakukan. Penelitian yang ada lebih berfokus pada salah satu variabel baik proses
grieving atau penerimaan diri saja, sehingga belum ada penelitian yang mampu melihat
kedua varibel serta melihat kaitan antara keduanya. Masih sedikit penelitian yang
secara spesifik membahas faktor penularan HIV-AIDS melalui hubungan
heteroseksual dengan pasangan (suami atau istri), khususnya fenomena HIV pada ibu
rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya. Penelitian ini penting untuk dilakukan
mengingat di Indonesia sendiri masih sedikit penelitian yang tertarik untuk meneliti
ibu rumah tangga berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya. Berdasarkan
pemaparan diatas, keaslian dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses grieving dan penerimaan diri
pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya.
24
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoretis
a. Memberi kontribusi dalam bidang psikologi klinis terkait gambaran proses
grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV
positif yang tertular melalui suaminya.
b. Memberi kontribusi pada pengetahuan psikologi kesehatan mental terkait
gambaran proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang
berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif, penelitian ini
diharapkan mampu memberi pemahaman bagi individu untuk memahami
bagaimana proses grieving yang telah dilalui. Pemahaman ibu rumah
tangga terkait proses grieving dan penerimaan diri dapat menjadi bahan
evaluasi dalam meningkatkan kualitas kehidupan yang dijalani.
Diharapkan pula dari penelitian ini mampu menggambarkan penerimaan
diri yang dimiliki sehingga dapat menjadi motivasi bagi individu untuk
mampu hidup dengan bahagia bahkan mampu berdaya upaya dengan baik.
b. Bagi individu yang memiliki persamaan kondisi dengan responden
penelitian, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran
mengenai situasi yang akan dihadapi pasca diagnosa HIV positif khususnya
mengenai kondisi psikologis seperti proses grieving yang wajar dialami
oleh setiap individu dengan HIV
25
c. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang ibu rumah tangga
yang berstatus HIV positif, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
gambaran proses grieving yang telah dialami oleh anggota keluarganya
pasca mengetahui diagnosa HIV positif. Proses grieving mampu
memberikan gambaran kondisi psikologis seperti konflik yang dialami
dalam diri individu, kondisi emosi, dan berbagai perubahan pada diri
individu baik perubahan fisik, afeksi hingga psikososial. Ketika keluarga
telah mampu memahami proses grieving, maka keluarga dapat
memberikan dukungan sosial serta motivasi yang tepat terkait kondisi yang
dialami oleh ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif. Selain proses
grieving, penting bagi keluarga untuk mengetahui penerimaan diri pada diri
ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif. Pengetahuan terkait
penerimaan diri yang dimiliki dapat menjadi indikator kualitas hidup ibu
rumah tangga yang berstatus HIV positif.
d. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
terkait proses grieving dan penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga yang
berstatus HIV positif, sehingga lebih lanjut dapat bertindak dan berperilaku
secara tepat kepada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif.
Disamping itu, dengan memiliki pengetahuan serta informasi yang benar,
dapat meminimalisir adanya stigma dan perlakuan diskriminatif bagi ibu
rumah tangga yang berstatus HIV positif.
e. Bagi praktisi yang berkecimpung dalam bidang psikologi, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses grieving dan
penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif,