BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk...

15
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial atau yang biasa disebut dengan zoon politicon merupakan ciptaan Tuhan yang tidak dapat hidup sendirian tetapi memerlukan bantuan dan interaksi dengan sesama manusia lainnya. Dalam kegiatan berinteraksi antara satu manusia dengan manusia lain tidak selalu berjalan lancar dan tanpa gangguan, terkadang segala macam bentuk perselisihan akan selalu muncul baik bentuk perselisihan kecil yang dapat diselesaikan antar individu manusia secara kekeluargaan maupun bentuk perselisihan besar yang memerlukan bantuan pihak ketiga sebagai penengah. Untuk dapat menghindari perselisihan, manusia membutuhkan adanya pedoman atau kaidah yang mengatur bagaimana baiknya bertingkah laku dalam interaksi kehidupan sehari-hari. Kaidah hukum adalah petunjuk hidup, yaitu petunjuk bagaimana seharusnya kita berbuat, bertingkah laku, tidak berbuat dan tidak bertingkah laku di dalam masyarakat 1 . Kaidah hukum merupakan peraturan-peraturan yang timbul dari norma hukum yang dibuat oleh penguasa negara 2 . Kaidah hukum yang menjadi patokan atau pedoman bersumber dari beberapa hal di antaranya dari Tuhan, Undang-Undang, Yurisprudensi, Doktrin dan Traktat. 1 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.,3. 2 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesa, Rineka Cipta, Jakarta, 2011, hal., 55.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk...

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Manusia sebagai makhluk sosial atau yang biasa disebut dengan

    zoon politicon merupakan ciptaan Tuhan yang tidak dapat hidup sendirian

    tetapi memerlukan bantuan dan interaksi dengan sesama manusia lainnya.

    Dalam kegiatan berinteraksi antara satu manusia dengan manusia lain

    tidak selalu berjalan lancar dan tanpa gangguan, terkadang segala macam

    bentuk perselisihan akan selalu muncul baik bentuk perselisihan kecil yang

    dapat diselesaikan antar individu manusia secara kekeluargaan maupun

    bentuk perselisihan besar yang memerlukan bantuan pihak ketiga sebagai

    penengah. Untuk dapat menghindari perselisihan, manusia membutuhkan

    adanya pedoman atau kaidah yang mengatur bagaimana baiknya

    bertingkah laku dalam interaksi kehidupan sehari-hari. Kaidah hukum

    adalah petunjuk hidup, yaitu petunjuk bagaimana seharusnya kita berbuat,

    bertingkah laku, tidak berbuat dan tidak bertingkah laku di dalam

    masyarakat1. Kaidah hukum merupakan peraturan-peraturan yang timbul

    dari norma hukum yang dibuat oleh penguasa negara2. Kaidah hukum

    yang menjadi patokan atau pedoman bersumber dari beberapa hal di

    antaranya dari Tuhan, Undang-Undang, Yurisprudensi, Doktrin dan

    Traktat.

    1 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta,

    2008, hal.,3. 2 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesa, Rineka Cipta, Jakarta,

    2011, hal., 55.

  • 2

    Sebagai salah satu sumber hukum, Undang-Undang Dasar

    Republik Indonesia Tahun 1945 atau yang biasa disebut UUD 1945

    sebagai dasar konstitusional Indonesia, dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-

    Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah Negara

    hukum”. Ini merupakan sebuah deklarasi tegas bahwa segala hal yang

    berkaitan dengan Indonesia harus didasarkan pada hukum. Setiap

    perbuatan hukum yang dilakukan oleh antar individu akan menimbulkan

    akibat hukum. Seperti pada setiap perselisihan-perselisihan yang terjadi di

    antara rakyat Indonesia jika dirasa dengan cara kekeluargaan kurang

    mencapai rasa keadilan maka dapat diselesaikan dengan ketentuan hukum

    yang berlaku di Indonesia. Karena perselisihan yang terjadi semakin

    banyak dan beraneka macam yang harus segera diselesaikan, maka

    dibutuhkan suatu wadah atau lembaga khusus bagi para pencari keadilan

    yang dapat menampung, menyelesaikan dan mengadili seadil-adilnya

    secara tegas. Suatu wadah atau lembaga khusus yang dimaksud ialah

    lembaga Peradilan. Hal ini dipertegas dimana Negara Indonesia

    merupakan Negara yang menganut prinsip trias politica atau pembagian

    kekuasaan yang terdiri atas lembaga legislative, lembaga eksekutif dan

    lembaga yudikatif . Legislatif adalah lembaga yang membuat undang-

    undang, eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang dan

    yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan

    Negara secara keseluruhan, dengan kata lain yudikatif adalah lembaga

    peradilan. Karena adanya perbedaan masing-masing perselisihan maka

  • 3

    dibutuhkan lembaga peradilan yang berbeda-beda pula yang

    kewenangannya khusus menjadi bagian salah satu lembaga peradilan.

    Peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di

    Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan

    mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan

    hukum “in concreto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal

    yang nyata dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk

    mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan

    menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal3.

    Disimpulkan bahwa peradilan adalah proses untuk mencari dan

    menegakkan keadilan sedangkan pengadilan adalah lembaga atau tempat

    untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Tugas pokok dari Pengadilan

    adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap

    perkara yang diajukan kepadanya, perkara-perkara tersebut haruslah

    perkara yang merupakan kewenangannya4. Kewenangan khusus yang

    dimaksud dari suatu pengadilan yaitu untuk memeriksa, mengadili dan

    memutus suatu perkara yang berkaitan dengan jenis dan tingkatan

    pengadilan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang

    berlaku. Dari pembagian masing-masing lingkungan dan kewenangannya,

    maka antara satu pengadilan dan pengadilan lain memiliki kompetensi

    mengenai kekuasaan mengadili yang disebut yurisdiksi.

    3https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt548d38322cdf2/perbedaan-peradilan-dengan-

    pengadilan, diakses pada tanggal 29 Oktober 2012, pukul 13.35. 4Ibid., hal., 83.

    https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt548d38322cdf2/perbedaan-peradilan-dengan-pengadilanhttps://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt548d38322cdf2/perbedaan-peradilan-dengan-pengadilan

  • 4

    Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 telah mengalami

    Amandemen sebanyak 4 (empat) kali yang dilakukan pada tahun 1999,

    2000, 2001, dan 2002. Dalam Amandemen ketiga, pada bidang kehakiman

    lahirlah lembaga yang kedudukannya sejajar dengan Mahkamah Agung

    (MA) yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini ditegaskan dalam Pasal

    24 Ayat (2) UUD 1945 Amandemen Ketiga bahwa: “Kekuasaan

    Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan

    peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

    lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

    peradilan tata usaha Negara (TUN), dan oleh sebuah Mahkamah

    Konstitusi”. Dilihat dari rumusan pasal tersebut, bahwa badan-badan

    kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga yaitu Mahkamah

    Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung mengawal undang-

    undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya, maka semua

    jenis konflik, pertentangan, pelanggaran norma yang terdapat dalam

    undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya diadili

    dan diputus oleh pengadilan dalam lingkungan Mahkamah Agung,

    sedangkan Mahkamah Konstitusi mengawal UUD 19455.

    Untuk mewujudkan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka,

    maka telah diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14

    Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-

    Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang

    5 Ariesta Carmelia, Peran Pemerintah dan Pengadilan Hubungan Indutrial, Universitas

    Brawijaya, Malang, 2014, hal., 14

  • 5

    Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang

    diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

    Kehakiman, dan sekarang telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor

    48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Disini akan dibahas

    mengenai dua badan pengadilan dalam lingkup peradilan umum yaitu

    Pengadilan Negeri dan Pengadilan Hubungan Industrial.

    Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UU No. 49 Tahun 2009 tentang

    Peradilan Umum yang dimaksud dengan Pengadilan yaitu: “Pengadilan

    adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan

    umum”. Dalam UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, selain

    mengatur mengenai Pengadilan yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan

    Tinggi. Juga mengatur mengenai pengadilan khusus yang dijelaskan dalam

    Pasal 1 Ayat 5 UU No. 49 Tahun 2009, yang dimaksud Pengadilan Khusus

    yaitu: “Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa,

    mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk

    dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah

    Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang”. Dapat dilihat

    bahwa di dalam Pengadilan Negeri Tingkat Pertama di dalamnya juga

    terdapat Pengadilan-pengadilan khusus yang kewenangannya atau

    kompetensi mengadili harus terpisah sesuai bagian masing-masing.

    Pengadilan Negeri merupakan wadah untuk mendapatkan

    ketetapan hukum seperti jenis perkara-perkara perdata tertentu. Adapun

    perkara-perkara perdata tertentu yang dapat diselesaikan di pengadilan

  • 6

    negeri seperti perkara perceraian, wanprestasi, pembagian harta,

    perjanjian, waris, perbuatan melawan hukum dan tanah. Sementara

    pengadilan lain yang berada pada lingkungan peradilan umum juga

    memiliki kekhusususan jenis perkara-perkara tertentu yang hanya dapat

    diselesaikan oleh pengadilan tersebut di luar pengadilan negeri. Salah

    satunya mengenai perkara-perkara ketenagakerjaan yang hanya dapat

    diselesaikan melalui pengadilan hubungan industrial. Kewenangan

    mengadili atau kompetensi absolute dari Pengadilan Hubungan Industrial

    hanya terbatas atau khusus memeriksa, mengadili dan memberikan

    putusan terhadap perselisihan hubungan industrial, yakni perselisihan hak,

    perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan

    perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

    Mengenai masalah ketenagakerjaan, Indonesia memiliki sumber

    hukum formal diantaranya6:

    1. Undang-Undang

    Dua undang-undang yang sangat penting mengatur mengenai masalah

    ketenagakerjaan adalah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang

    Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

    2. Kebiasaan

    6 Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan, Cetakan Kedua, Indeks, Jakarta, 2011, hal., 16-20.

  • 7

    Hukum ketengakerjaan tertulis mengatur sebagian saja dari perilaku

    para subjek hukum ketenagakerjaan, sebagian lain perilaku subjek

    hukum ketenagakerjaan dijumpai dalam kebiasaan.

    3. Keputusan

    Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

    Hubungan Industrial di dalamnya mengatur bahwa jika bermacam-

    macam lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak

    berhasil menyelesaikan perselisihan, maka perselisihan itu dapat

    diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Lahirnya Pengadilan

    Hubungan Industrial lebih memungkinkan pembentukan hukum

    ketenagakerjaan lewat putusan.

    4. Traktat

    Perjanjian internasional memuat peraturan-peraturan hukum yang

    mengikat secara umum, sehingga masing-masing Negara sebagai

    rechtspersoon terikat oleh perjanjian internasional.

    5. Perjanjian

    Salah satu jenis perjanjian dalam bidang ketenagakerjaan adalah

    perjanjian kerja.

    Adanya hubungan kerja yang terjalin antara pekerja dan pengusaha

    didasari oleh suatu perjanjian kerja yang telah disepakati bersama. Di

    dalam isi perjanjian kerja harus memuat klausula-klausula yang mengatur

    tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak. Tanpa adanya suatu

    perjanjian kerja tidak mungkin terjalin suatu hubungan kerja yang

  • 8

    berkekuatan hukum. Berdasarkan Pasal 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan hubungan kerja yaitu: “Hubungan

    antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja,

    yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.” Ketiga unsur

    tersebut yakni pekerjaan, upah dan perintah harus ada di dalam hubungan

    kerja, jika salah satu unsur tidak terdapat maka tidak dapat disebut sebagai

    hubungan kerja. Klausula-klausula mengenai unsur pekerjaan apa saja

    yang akan dilakukan, klausula-klausula mengenai upah-upah apa saja yang

    harus dibayarkan oleh pengusaha dan diterima oleh pekerja/buruh, serta

    klausula-klausula mengenai pengusaha sebagai pemberi perintah dalam

    hubungan kerja harus dicantumkan ke secara jelas dan padat sehingga isi

    perjanjian kerja dapat dipahami oleh pekerja/buruh. Dalam hubungan kerja

    agar tidak bersifat menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak

    lain harus ada suatu ketentuan baku yang dijadikan dasar pijakan,

    ketentuan-ketentuan tersebut salah satunya dibuat oleh pemerintah.

    Pemerintah sebagai aparatur Negara mempunyai kewajiban membuat

    undang-undang dan ketentuan ketenagakerjaan seadil-adilnya sehingga

    kedudukan pengusaha dan pekerja/buruh dapat seimbang. Namun, dalam

    hubungan kerja yang terjalin tidak seluruhnya berjalan lancar, berbagai

    macam bentuk perselisihan akan silih berganti datang menghiasi.

    Perselisihan semacam ini disebut dengan perselisihan hubungan indusrial.

    Seperti pada kasus perselisihan yang terjadi antara PT. East West

    Seed Indonesia dengan Marno dan PT. Benih Citra Asia. Dimana terjadi

  • 9

    konflik atau sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Negeri

    Cilacap dengan Pengadilan Hubungan Industrial Semarang. Kasus yang

    dilatar belakangi oleh Marno sebagai Tergugat bekerja di PT East West

    Seed Indonesia sebagai Penggugat pada 23 April 2001, dari tahun ke tahun

    Tergugat mengalami kenaikan jabatan semula dari Assistent Plant Breeder

    menjadi Senior Plant Breeder dengan melakukan pemuliaan tanaman

    antara lain pada tanaman Semangka Amara; Semangka Palguna;

    Semangka Oriana; dan Paria Dulco. Namun, pada tanggal 7 Mei 2012,

    Tergugat mengundurkan diri dari PT. East West Seed Indonesia. Untuk

    mendapatkan uang pisah dari Penggugat, sesuai dengan Peraturan

    Perusahaan PT. East West Seed Indonesia Pasal 40 Angka (1) huruf b

    Tahun 2011-2013 dikatakan bahwa:

    “Pekerja Mengundurkan Diri

    Pegunduran diri tersebut ditunjukkan kepada pimpinan perusahaan

    atau Bagian HRD dan harus diajukan minimal 1 (satu) bulan

    sebelumnya. Pekerja yang mengundurkan diri akan mendapatkan

    uang pisah apabila:

    b.1 Mengundurkan diri sesuai prosedur.

    b.2 Menandatangani surat pernyataan bermaterai tidak pindah

    bekerja pada Perusahaan sejenis atau kompetitior minimal 1 (satu)

    tahun setelah tanggal berakir kerja.”

    Atas pengunduran dirinya, Tergugat membuat Surat Pernyataan

    Tertanggal 28 Mei 2012 sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 angka (1)

    huruf b poin b.2 Peraturan Perusahaaan yang bermaterai cukup dan

    ditandatangani, yaitu:

    a. Tidak akan melakukan pemuliaan tanaman yang sama/sejenis

    (breeding same crop) yang telah dikerjakan selama di PT. East West

  • 10

    Seed Indonesia pada perusahaan lain selama jangka waktu 2 (dua)

    tahun sejak tanggal pengunduran diri;

    b. Apabila di kemudian hari ingkar terhadap pernyataan yang dibuat

    maka bersedia dituntut secara hukum sesuai dengan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku.

    Bahwa atas pengunduran diri Tergugat, maka Penggugat memberikan

    uang pisah kepada Tergugat sebesar Rp. 53.582.571,- (Lima puluh tiga

    juta lima ratus delapan puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh satu rupiah)

    dengan cara transfer kepada Tergugat.

    Bahwa Surat Pernyataan Tertanggal 28 Mei 2012 tersebut

    merupakan produk hukum yang dibuat dan ditandatangani Tergugat dalam

    keadaan akal dan pikiran yang sehat tanpa pengaruh dan paksaan dari

    pihak manapun. Dan merupakan kewajiban yang harus dijalankan

    Tergugat untuk mengundurkan diri bekerja dari Penggugat, maka demi

    hukum Surat Pernyataan Tertanggal 28 Mei 2012 tersebut patut untuk

    dinyatakan sah dan memiliki kekuatan hukum.

    Dari surat pernyataan yang dibuat dapat disimpulkan bahwa meskipun

    Tergugat telah mengundurkan diri, Tergugat tetap memiliki kewajiban

    kepada Penggugat untuk:

    a. Tidak bekerja pada Perusahaan sejenis atau competitor minimal 1

    (satu) tahun setelah tanggal terhitungnya pengunduran diri. Artinya

    kewajiban Tergugat ini baru akan gugur setelah 1 Juni 2013.

  • 11

    b. Tidak akan melakukan pemuliaan tanaman yang sama/sejenis

    (breeding same crop) yang telah dikerjakannya selama di Penggugat

    pada perusahaan lain selama jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal

    pegunduran diri. Artinya kewajiban Tergugat ini baru akan gugur

    setelah 1 Juni 2014.

    Setelah Tergugat mengundurkan diri dari perusahaan Penggugat,

    Tergugat bekerja pada PT. Benih Citra Asia (Turut Tergugat) yang

    merupakan perusahaan sejenis yang bergerak di bidang pemuliaan bibit

    tanaman. Beberapa bukti bahwa Marno sedang bekerja di PT. Benih Citra

    Asia yaitu dengan adanya Lampiran Keputusan Menteri Pertanian tentang

    Pemberian Tanda Daftar Varietas Tanaman Holtikultura atas tanaman

    „Paria Varietas MC 698‟ yang diterbitkan pada Februari 2013. Di dalam

    Keputusan Menteri tersebut tercantum nama Tergugat sebagai peneliti

    „Paria Varietas MC 698‟ yang dimohonkan oleh Turut Tergugat. Dan

    Lampiran Keputusan Menteri Pertanian tentang Pemberian Tanda Daftar

    Varietas Tanaman Holtikultura atas tanaman „Semangka WM 1410‟ yang

    diterbitkan pada bulan Februari 2013. Di dalam Keputusan Menteri

    tersebut juga dicantumkan nama Tergugat sebagai peneliti „Semangka

    WM 1410‟ yang dimohonkan oleh Turut Tergugat.

    Menanggapi gugatan tersebut, Tergugat memberikan jawaban

    yang berisi bantahan terhadap seluruh gugatan penggugat pada pokok

    perkara. Selain itu, Turut Tergugat juga memberikan jawaban bahwa

    menolak dan membantah seluruh isi gugatan penggugat pada pokok

  • 12

    perkara. Dalam jawabannya, baik Tergugat maupun Turut Tergugat tidak

    menggunakan kesempatannya untuk melakukan eksepsi baik eksepsi

    prosesual maupun eksepsi material. Tergugat dan Turut Tergugat juga

    membuat surat keterangan tertanggal 11 Agustus 2015 bahwa tidak akan

    menghadiri persidangan, dengan demikian Tergugat dan Turut Tergugat

    tidak mengajukan alat bukti apapun.

    Berdasarkan gugatan tersebut, pengadilan menjatuhkan putusan sebagai

    berikut:

    1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.

    2. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum Surat Pernyataan yang

    dibuat dan ditandatangani Tergugat tertanggal 28 Mei 2012.

    3. Menyatakan Tergugat telah wanprestasi terhadap Penggugat.

    4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat

    sebesar Rp. 53.582.571 (Lima puluh tiga juta lima ratus delapan

    puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh satu rupiah).

    5. Menghukum Turut Tergugat untuk mematuhi putusan atas perkara

    ini.

    6. Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul

    dalam perkara ini sejumlah Rp. 621.000 (Enam ratus dua puluh satu

    rupiah).

    7. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.

    Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa dalam kasus

    gugatan oleh PT. East West Seed Indonesia kepada Marmo sebagai

  • 13

    Tergugat dan PT. Benih Citra Asia sebagai Turut Tergugat mengandung

    adanya beberapa unsur, yaitu: hubungan kerja antara PT. East West Seed

    Indonesia dan Marno, pengunduran diri Marno, pemberlakukan peraturan

    perusahaan (PP) pada saat Marno menundurkan diri, dan pelanggaran surat

    pernyataan Marno. Beberapa unsur dalam kasus tersebut menimbulkan

    persoalan tentang sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan

    Negeri Cilacap dengan Pengadilan Hubungan Industrial Semarang,

    sehingga menarik untuk diteliti.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan

    permasalahan sebagai berikut:

    Apakah Pengadilan Negeri Cilacap mempunyai kewenangan untuk

    mengadili perkara antara PT. East West Seed Indonesia dengan Marno dan

    PT. Benih Citra Asia?

    C. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian dari proposal ini yaitu untuk mengetahui apakah

    Pengadilan Negeri Cilacap mempunyai kewenangan mengadili perkara

    antara PT. East West Seed Indonesia kepada Marno dan PT. Benih Citra

    Asia.

    C. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang

    meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem

  • 14

    norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari

    peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta

    doktrin (ajaran)7. Selain itu, menurut Peter Mahmud Marzuki

    penelitian hukum normative adalah suatu proses untuk menemukan

    suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

    hukum untuk menjawab permasalahan yang dihadapi8.

    2. Teknik dan Jenis Pengambilan Data

    a. Teknik pengumpulan data pada skripsi ini melalui studi pustaka.

    b. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

    sekunder. Data Sekunder yang terdiri dari :

    1. Bahan Hukum Primer:

    - Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan;

    - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

    Perselisihan Hubungan Industrial;

    - Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman;

    - Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan

    Umum;

    - Putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor

    27/Pdt.G/2015/PN Clp.

    7Dualisme penelitian hukum,hal., 34.

    8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, 2011, Surabaya, hal., 35.

  • 15

    2. Bahan-bahan hukum sekunder, berupa: Semua publikasi tentang

    hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi

    tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,

    jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan

    pengadilan9. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang

    terdiri atas buku atau jurnal hukum yang berisi mengenai prinsip-

    prinsip dasar (asas hukum), pandangan para ahli hukum (doktrin),

    hasil penelitian hukum, kamus hukum dan ensiklopedia hukum,

    wawancara dengan narasumber seorang ahli hukum untuk

    memberikan pendapat hukum tentang suatu fenomena bisa

    diartikan sebagai bahan hukum sekunder10

    .

    9Ibid., hal., 181.

    10 Dualisme, Opcit., hal., 43.